TINJAUAN PUSTAKA
2
D. PATOFISIOLOGI
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan
pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan
biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah,jaringan otak dan jaringan
serebrospinal. Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen,
glukosa. Berat ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak. Cedera
yang dialami dapat gegar otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau hematoma
(injury vaskuler, epudural ; epidural atau subdural hematoma). Cedera kepala yang terjadi
dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan (deselerasi). Trauma dapat primer
atau sekunder.
Trauma primer adalah trauma yang langsung mengenai kepala saat kejadian.
Sedangkan trauma sekunder merupakan kelanjutan dari trauma primer. Trauma sekunder
dapat terjadi meningkatnya tekanan intrakranial, kerusakan otak, infeksi dan edema
cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada
tulang tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini dapat
meluas hingga menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi. Gejalanya
akan tampak seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk
dibangunkan dan akhirnya bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan
adanya hemiparese. Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur
pembuluh vena dan perdarahan terjadi antara dura dan serebrum atau antara duramater dan
lapisan arakhnoid. Terdapat dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut
dapat dikaitkan dengan kontusio atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam.
Manifestasi tergantung pada besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa
kejang, sakit kepala, muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan
mengantuk. Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya
memar dan robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan vaskularisasi,
anoxia dan dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak
yang mendesak ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Dalam jangka waktu 24 – 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.
Fraktur yang terjadi pada cedera kepala dapat berupa fraktur linear, farktur depresi,
fraktur basiler, fraktur compound (laserasi kulit dan fraktur tulang). Perdarahan cerebral
menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma, berkumpulnya antara
3
periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma akibat berkumpulnya darah
pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah
berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala
terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi
menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto,
2007).
E. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera kepala,
yaitu:
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indikator yang paling sensitive yang dapat
dilihat dengan penggunaan GCS (Glascow Coma Scale).
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti: nyeri kepala karena regangan
dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan
pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
F. KOMPLIKASI
1. Perdarahan intra cranial
2. Kejang
3. Parese saraf cranial
4. Meningitis atau abses otak
5. Infeksi
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,
determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.
8. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat
peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).
4
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya
cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti
hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000).
Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala
(Turner, 2000).
Penatalaksanaan umum adalah:
1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi tekanan darah
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6. Atasi shock
7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.
Penatalaksanaan lainnya:
1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40
% atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat
diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.
Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa
5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8
jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt
(2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.
Tindakan terhadap peningkatan TIK yaitu:
1. Pemantauan TIK dengan ketat
2. Oksigenisasi adekuat
3. Pemberian manitol
4. Penggunaan steroid
5
5. Peningkatan kepala tempat tidur
6. Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain yaitu:
1. Dukungan ventilasi
2. Pencegahan kejang
3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi
4. Terapi anti konvulsan
5. Klorpromazin untuk menenangkan klien
6. Pemasangan selang nasogastrik (Mansjoer, dkk, 2000).
9
b. Pantau tekanan darah
R/ Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada
saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti
kerusakan vaskularisasi cerebral lokal atau menyebar (menyeluruh)
c. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan
dan reaksinya terhadap cahaya. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya
penglihatan yang kabur, ganda lapang pandang menyempit dan ke dalam persepsi.
R/ Gangguan penglihatan yang dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada
otak,mempunyai konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempengaruhi
pilihan intervensi.
d. Pertahankan kepala/ leher pada posisi tengah atau pada posisi netral. Sokong dengan
gulungan handuk kecil atau bantal kecil
R/ Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat
aliran darah vena,yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.
e. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan dan tingkah laku
yang tidak sesuai lainnya
R/ Petunjuk non verbal mengidentifikasi adanya peningkatan TIK atau menandakan
adanya nyeri ketika pasien yang tidak dapat mengungkapkan keluhannya secara
verbal.
f. Kolaborasi : Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh BUN, protein serum dan
albumin.
R/ Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan menunjukkan kebutuhan intervensi/
perubahan program terapi.
10
b. Catat kompetensi refleks vagal/ menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi
jalan nafas sendiri.
R/ Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk
pemeliharaan jalan nafas.
c. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.
R/ Untuk memudahkan ekspansi paru/ ventilasi paru dan menurunkan adanya
kemungknan lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.
d. Lakukan pengisapan lendir dengan ekstra hati-hati selama 10 – 15 detik, catat sifat,
warna dan kekeruhan dari sekret.
R/ Persiapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi
dan tidak dapat membersihkan jalan nafasnya sendiri.
e. Kolaborasi rontgen thoraks ulang.
R/ Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang berkembang.
3. Diagnosa III : Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau defisit
neurologis.
Tujuan : Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi persepsi.
Intervensi :
a. Kaji respons sensori terhadap raba/ sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/ tumpul
dan catat perubahan yang terjadi.
R/ Informasi yang dapat dari pengkajian sangat penting untuk mengetahui tingkat
kegawatan dan kerusakan otak.
b. Observasi respon perilaku seperti rasa bermusuhan, menangis, afektif yang tidak
sesuai, agitasi, halusinasi.
R/ Respon individu mungkin berubah-ubah namun umumnya setiap emosi yang
labil, frustasi, apatis dan muncul tingkah laku impulsif selama proses penyembuhan
dari trauma kepala.
c. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan.
R/ Pasien mungkin mengalami keterbatasaan perhatian/ pemahaman selama fase
akut dan penyembuhan dan tindakan ini dapat membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.
11
d. Berikan keamanan pasien dengan pengamanan sisi tempat tidur, bentuk latihan
jalan dan lindungi cedera kepala.
R/ Gangguan persepsi sensori dan buruknya kesimbangan dapat meningkatkan
resiko pada pasien.
12
5. Diagnosa V : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/
kognitif.
Tujuan : Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagan tubuh yang sakit.
Intervensi :
a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang
terjadi.
R/ Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi
pilihan intervensi yang akan dilakukan.
b. Kaji derajat immobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4).
R/ Pasien mampu mandiri (nilai 0), memerlukan bantuan/ peralatan yang minimal
(nilai 1), memerlukan bantuan sedang/ dengan pengawasan/pengajaran (niali 2),
memerlukan bantuan/peralatan yang terus-menerus dan alat khusus (nilai 3),
tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua
kategori dengan nilai 2-4 mempunyai resiko yang terbesar untuk terjadinya bahaya
tersebut dihubungkan dengan immobilisasi.
c. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
R/ Perubahan posisi yang teratur menyebabklan penyebaran terhadap gerak badan
dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagian tubuh.
d. Sokong kepala dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika pasien berada
dalam kursi roda.
R/ Mempertahankan kenyamanan, keamanan dan postur tubuh yang normal dan
mencegah/ menurunkan resiko kerusakan kulit di daerah kogsigis.
e. Berikan/ bantu latihan rentang gerak.
R/ Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/ posisi normal extremitas dan
menurunkan terjadinya vena yang statis.
13
R/ Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan segera.
c. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka garis jahitan daerah
alat yang dipasang invasi (terpasang infus dan sebagainya)
R/ Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan
dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
d. Berikan perawatan perineal.
R/ Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri/ infeksi yang
merambah naik.
e. Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi
R/ Therapy profilaktik dapat digunakan untuk pasien mengalami trauma (perlukaan),
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial.
14
R/ Meningkatkan perasaan makna diri, meningkatkan kemandirian dan mendorong
pasien untuk berusaha secara kontinu.
D. IMPLEMENTASI
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah kategori dari
perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang
diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry. 2005:
203). Tahap awal tindakan keperawatan menunutut perawat mempersiapkan segala sesuatu
yang diperlukan dalam tindakan. Persiapan tersebut meliputi kegiatan-kegiatan: review
tindakan keperawatan yang diidentifikasi pada tahap perencanaan, menganalisa pengetahuan
dan keterampilan keperawatan yang diperlukan, mengetahui komplikasi dan tindakan
keperawatan yang mungkin timbul, menentukan dan mempersiapkan peralatan yang
diperlukan, mempersiapkan lingkungan yang konduktif sesuai dengan yang akan
dilaksanakan, mengidentifikasi aspek hokum dan etik terhadap resiko dari potensial tindakan.
E. EVALUASI
Evaluasi adalah langkah final dari proses keperawatan, yaitu suatu metode sistematik
untuk mengorganisasi dan memberikan asuhan keperawatan (Potter & Perry. 2005: 224).
Evaluasi juga adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya
sudah berhasil dicapai, melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor
“kealpaan” yang terjadi selam tahap pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksaan
tindakan.
15
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Honorer
Pendidikan : Diploma-III Farmasi
Status Perkawinan : Belum Kawin
Alamat : Buntok
Tanggal MRS : 21 Mei 2015
Nomor MR : 20.24.xx
Diagnosa Medis : Cedera Otak Ringan + Fraktur Basis Cranii
2. Riwayat Kesehatan/Perawatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri seperti berdenyut-denyut pada area mulut dan hidung dengan
skala nyeri 3. Nyeri dirasakan saat beraktivitas maupun istirahat.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Pada tanggal 20 Mei 2015 pasien mengalami kecelakaan lalu lintas di Buntok.
Pasien terjatuh dengan posisi wajah lebih dahulu mendarat ke tanah. Pasien sempat
pingsan selama ± 30 menit lalu dibawa ke IGD RS Buntok. Setelah dirawat selama 1
hari di RS Buntok pasien lalu dirujuk ke RS Doris Sylvanus Palangka Raya pada
tanggal 21 Mei 2015.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Tidak ada riwayat penyakit atau melakukan operasi sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit keturunan pada keluarga
.
16
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Hubungan keluarga
: Garis keturunan
: Tinggal serumah
: Sudah meninggal
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, terpasang infuse RL 20 tpm pada tangan sebelah kanan,
terdapat brill hematoma (+), terdapat luka jahitan sepanjang ± 3 cm pada lutut
sebelah kanan, pasien tampak lemah dan lebih sering tidur.
b. Status Mental
1) Tingkat Kesadaran : Compos Mentis
2) Ekspresi wajah : Normal
3) Bentuk badan : Kurus
4) Cara berbaring/bergerak : Normal
5) Berbicara : Normal
6) Suasana Hati : Baik
7) Penampilan : Bersih, rapi
8) Fungsi Kognitif :
a) Orientasi waktu : Pasien mampu menjawab dengan benar saat ditanya
tentang siang atau malam.
b) Orientasi orang : Pasien mampu menjawab dengan benar saat diminta
menyebutkan nama ibu ayah dan menunjuknya.
c) Orientasi tempat : Pasien dapat menjawab dengan benar saat ditanya
sedang berada dimana sekarang.
17
9) Tidak ada halusinasi, insight baik, proses berpikir baik, mekanisme pertahanan
diri adaptif (berdoa), tidak ada keluhan lainnya.
c. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 92x/menit, Pernapasan 22x/menit, Suhu 37,3’C.
d. Pernapasan (Breathing)
Bentuk dada normal, kebiasaan merokok (-), tidak ada sianosis, tidak ada nyeri dada,
tipe pernapasan dada, irama pernapasan teratur, secret tidak bisa keluar, suara napas
ronchi basah (crales), pasienmengatakan sulit untuk batuk.
Masalah Keperawatan : Bersihan jalan napas tidak efektif
e. Kardiovaskuler (Bleeding)
Tidak ada nyeri dada, CRT < 2 detik, Tidak terlihat iktus cordis, tidak terjadi
peningkatan vena jugularis, suara jantung S1 S2 tunggal, tidak terdapat riwayat
penyakit jantung.
f. Persyarafan (Brain)
Nilai GCS E : 4 V : 5 M : 6 ( 15 : Compos Mentis), Pupil Isokor, Refleks cahaya
+/+, bicara normal, reflex babiski -/-, diagnosa medis cedera otak ringan, terdapat
fraktur di basis crania. Pasien mengatakan “saya merasa pusing jika duduk”.
Masalah Keperawatan : Gangguan Perfusi Jaringan Serebral
g. Eliminasi Uri (Bladder)
Produksi urine : 1.200 cc/hari, warna kuning jernih, bau khas amoniak
h. Eliminasi Alvi (Bowel)
Pada bibir terdapat luka lecet, lebam dan bengkak, sebagian besar gigi tanggal akibat
kecelakaan, oral hygiene jarang dilakukan, gusi berwarna merah muda, terdapat luka
pada gusi, palatum robek, lidah lembab dan normal, mukosa lembab, tidak ada
hemoroid, BAB 1x/hari berwarna kuning pucat dengan konsistensi lunak, bising
usus 13x/menit, tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan. Pasien mengatakan “saya
jarang membersihkan mulut karna takut terasa nyeri”. Pasien mengatakan “sulit
untuk mengunyah”.
Masalah Keperawatan : Resiko Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh, Resiko
Infeksi
i. Tulang, Otot, Integumen
Kemampuan pergerakan sendi bebas, ukuram otot simetris, tidak ada deformitas
tulang, terdapat luka robek (hecting) pada kaki sebelah kanan dan luka robek pada
18
palatum, tidak ada peradangan, tulang belakang normal, kekuatan otot normal.
Pasien mengatakan “nyeri pada luka”
Masalah Keperawatan : Gangguan rasa nyaman : nyeri akut, Resiko Infeksi
j. Kulit-kulit rambut
Tidak ada riwayat alergi, suhu kulit hangat, warna kulit normal, turgor kulit baik,
tekstur halus, bentuk kuku simetris, tidak ada clubbing finger.
k. Sistem Penginderaan
Fungsi penglihatan normal, gerakan bola mata normal, sclera putih, kornea bening,
fungsi pendengaran baik, bentuk hidung asimetris, terdapat nyeri tekan pada sinus,
terdapat lesi pada hidung, cavum nasal berwarna merah muda dengan integritas baik,
septum nasal normal.
Masalah Keperawatan : Gangguan rasa nyaman : nyeri akut
l. Leher dan Kelenjar Limfe
Tidak ada massa, tidak ada jaringan parut, kelenjar limfe tidak teraba, kelenjar tyroid
tidak teraba, mobilitas leher bebas.
m. Sistem Reproduksi : Tidak dikaji
4. Pola Fungsi Kesehatan
a. Persepsi terhadap kesehatan dan penyakit
Orang tua pasien mengatakan bila sakitnya saat ini adalah ujian yang harus dijalani
agar bisa menjadi hamba Tuhan yang kuat.
b. Nutrisida Metabolisme
TB : 172 cm
BB Sekarang : Tidak terkaji
BB Sebelum sakit : 65 kg
Diet nasi lunak, diet TKTP, reflex menelan kurang baik.
Pasien mengatakan “nafsu makan berkurang”
No Pola makan sehari-hari Sebelum sakit Selama sakit
Frekuensi/hari 3x/hari 3x/hari
Porsi 1 porsi ¼ porsi
Nafsu makan Baik Berkurang
Jenis makanan Nasi biasa, lauk, sayur Nasi lunak, lauk, sayur
Jenis minuman Air putih, teh manis Air putih
Jumlah minuman/cc/24 jam 2.500 cc 2.000 cc
Kebiasaan makan Tidak ada Tidak ada
Masalah Keperawatan : Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
19
c. Pola Istirahat dan tidur
Selama berada di RS pasien dapat istirahat dan tidur seperti biasa
d. Kognitif
Status kognitif pasien baik
e. Konsep Diri
Tidak ada masalah
f. Aktivitas sehari-hari
Selama berada di RS pasien lebih banyak tidur.
g. Koping-Toleransi terhadap stress
Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien sering mengajaknya untuk berdoa
bersama memohon kesembuhan dari Tuhan.
h. Nilai-Pola Keyakinan
Pasien dan keluarga beragama Kristen Protestan. Pasien dan keluarga percaya bahwa
Tuhan itu ada dan selalu menjaga mereka sepanjang waktu.
5. Sosial dan Spiritual
a. Kemampuan Berkomunikasi
Pasien mampu berkomunikasi dengan baik dengan keluarga maupun perawat, lebih
banyak dengan non-verbal.
b. Bahasa sehari-hari
Bahasa Indonesia/Bahasa banjar
c. Hubungan dengan keluarga
Harmonis dan baik
d. Hubungan dengan teman/petugas kesehatan
Pasien kooperatif dan menerima kehadiran tim medis dengan baik.
e. Orang berarti/terdekat
Ibu
f. Kegiatan beribadah
Pasien berdoa bersama dengan orang tuanya.
6. Data Penunjang
a. Hasil pemeriksaan laboratorium (Tanggal 21 Mei 2015) :
- Hb : 14,4 gr/dL - GDS : 98 mg/dL
- Leukosit : 23.290/uL
- Trombosit : 267.000/uL
- Creatinin : 0,4 mg/dL
20
b. Hasil CT-Scan (Tanggal 21 Mei 2015)
- Multiple fraktur tulang mandibula, zygomaticum bilateral dan tulang dinding
maxillabilateral dan Os. nasak (Fr de port III)
- Hematosisnus maxilla bilateral, disertai perdarahan pada cavum cranii
- Tidak tampak perdarahan intrakranial
7. Penatalaksanaan Medis
IVFD RL : D5% = 2 : 1 20 tpm
Injeksi :
- Antrain 3 x 1 gr (k/p) : analgesic
- Cefriaxone 2 x 2 gr : antibiotic
- Ondansentron 2 x 8 gr : antivomitus/antiemesis
21
Analisa Data
No Data Fokus Etiologi Masalah
1 DS: Trauma Gangguan Perfusi Jaringan
Pasien mengatakan, “saya merasa Serebral
pusing jika duduk” Fraktur Basis Cranii
DO :
- Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi Robekan durameter
92x/menit, Pernapasan 22x/menit,
Suhu 37,3’C Kebocoran CSS
- Hasil CT-Scan : Fraktur basis cranii,
Hematosisnus maxilla bilateral, TIK tidak stabil
disertai perdarahan pada cavum
crania TIK atau TIK
- Advis dokter : Pasien dianjurkan
untuk tirah baring Peredaran darah otak
terganggu
Penumpukan secret
22
DO :
- Bising usus 13x/menit Nyeri
- Hasil CT-Scan : terdapat fraktur pada
os. nasal dan tulang maxilla Imobilisasi
- Palatum robek
- Porsi makan ¼ porsi Penumpukan secret
- Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi
92x/menit, Pernapasan 22x/menit, Oral hygiene kurang
Suhu 37,3’C
Rasa tidak nyaman dimulut
23
B. DIAGNOSA (PRIORITAS MASALAH)
1. Gangguan Perfusi Jaringan Serebral b.d Trauma, Fraktur Basis Cranii, Robekan
durameter, Kebocoran CSS, TIK tidak stabil, TIK meningkat atau TIK menurun,
Peredaran darah otak terganggu ditandai dengan pasien mengeluh pusing, terdapat
fraktur pada basis crania (dasar tengkorak), pasien dianjurkan untuk tirah baring.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d t trauma, fraktur os nasal dan maxilla, terjadi
perdarahan dalam nasal, airway terganggu, sekret tidak bisa keluar, penumpukan secret
ditandai dengan suara napas ronchi basah (crales)
3. Gangguan rasa nyaman : nyeri akut b.d trauma, fraktur os nasal dan maxilla,
diskontinuitas jaringan, merangsang syaraf nyeri, nyeri ditandai dengan skala nyeri 3,
ekspresi pasien tampak meringis.
4. Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d trauma, fraktur os nasal dan maxilla,
diskontinuitas jaringan, merangsang syaraf nyeri, nyeri, imobilisasi, penumpukan
secret, oral hygiene kurang, rasa tidak nyaman dimulut, tidak nafsu makan ditandai
dengan pasien mengeluh sulit untuk mengunyah, nafsu makan berkurang, jarang
membersihkan mulut, porsi makan hanya dihabiskan ¼ porsi saja.
5. Resiko infeksi b.d trauma, fraktur os nasal dan maxilla, diskontinuitas jaringan, port de’
enter mokroorganisme ditandai dengan nilai leukosit: 23.290/ul, hasil ct-scan : terdapat
fraktur pada os. Nasal dan tulang maxilla, palatum robek.
24
C. INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa
No Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi Rasional
Keperawatan
1 Gangguan Perfusi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi/ catat status neurologis Mengkaji adanya kecenderungan pada
Jaringan Serebral b.d selama 7 x 24 jam tidak terjadi gangguan secara teratur dan bandingkan tingkat kesadaran adan potensi
Trauma, Fraktur perfusi jaringan serebral dengan kriteria dengan nilai standar (misalnya peningkatan TIK dan bermanfaaat
Basis Cranii, hasil : GCS) dalam menentukan lokasi, perluasan
Robekan durameter, 1. TTV dalam rentang normal dan perkembangan kerusakan susunan
Kebocoran CSS, TIK 2. Tidak ada tanda-tanda peningkatan saraf pusat (SSP).
tidak stabil, TIK atau penurunan TIK
meningkat atau TIK 3. Tidak terjadi kebocoran CSS 2. Observasi tekanan darah Normalnya, autoregulasi
menurun, Peredaran mempertahankan aliran darah otak yang
darah otak terganggu konstan pada saat ada fluktuasi tekanan
ditandai dengan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi
pasien mengeluh dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi
pusing, terdapat cerebral lokal atau menyebar
fraktur pada basis (menyeluruh)
crania (dasar
tengkorak), pasien 3. Observasi keadaan pupil, catat Gangguan penglihatan yang dapat
dianjurkan untuk ukuran, ketajaman, kesamaan diakibatkan oleh kerusakan
tirah baring. antara kiri dan kanan dan reaksinya mikroskopik pada otak,mempunyai
terhadap cahaya. Kaji perubahan konsekuensi terhadap keamanan dan
pada penglihatan, seperti adanya juga akan mempengaruhi pilihan
penglihatan yang kabur, ganda intervensi.
lapang pandang menyempit dan ke
dalam persepsi.
4. Pertahankan kepala/ leher pada Kepala yang miring pada salah satu sisi
posisi tengah atau pada posisi menekan vena jugularis dan
netral. Sokong dengan gulungan menghambat aliran darah vena,yang
handuk kecil atau bantal kecil selanjutnya akan meningkatkan TIK.
25
5. Perhatikan adanya gelisah yang Petunjuk non verbal mengidentifikasi
meningkat, peningkatan keluhan adanya peningkatan TIK atau
dan tingkah laku yang tidak sesuai menandakan adanya nyeri ketika pasien
lainnya yang tidak dapat mengungkapkan
keluhannya secara verbal.
2 Bersihan jalan napas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi TTV Sebagai acuan dalam memberikan
tidak efektif b.d t selama 7 x 24 jam diharapkan bersihan tindakan yang tepat bagi pasien
trauma, fraktur os jalan napas menjadi lebih efektif dengan
nasal dan maxilla, kriteria hasil : 2. Berikan O2 3L/mnt Untuk memenuhi kebutuhan oksigen ke
terjadi perdarahan 1. Sesak napas berkurang atau hilang seluruh jaringan tubuh
dalam nasal, airway 2. RR : 16 – 20 x /mnt
terganggu, sekret 3. Sekret lebih encer dan dapat 3. Posisikan pasien semi fowler Posisi ini bertujuan agar ekspansi paru
tidak bisa keluar, dikeluarkan maksimal
penumpukan secret 4. Irama napas teratur/regular
ditandai dengan suara 5. Tidak terdapat suara napas tambahan 4. Auskultasi bunyi napas Untuk mengetahui derajat spasme
napas ronchi basah
(crales) 5. Ajarkan tehnik napas dalam Tehnik napas dalam bertujuan untuk
memaksimalkan pengembangan paru
sehingga oksigen yang masuk adekuat
26
saat batuk
3 Gangguan rasa Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Observasi/kaji skala nyeri. Untuk mengetahui tingkat kebutuhan
nyaman : nyeri akut selama 3 x 24 jam diharapkan nyeri pasien dalam penanganan nyeri
b.d trauma, fraktur, berkurang atau hilang dengan kriteria
diskontinuitas hasil : 2. Observasi tanda-tanda vital. Digunakan sebagai acuan dalam
jaringan, merangsang 1. Skala nyeri berkurang menentukan status kesehatan pasien
syaraf nyeri, nyeri 2. TTV dalam rentang normal
ditandai dengan skala 3. Ekspresi pasoen normal 3. Anjurkan pasien istirahat atau Diharapkan agar dapat menghemat
nyeri 3, ekspresi membatasi aktivitas energy guna mengurangi rasa nyeri
pasien tampak
meringis. 4. Posisikan pasien senyaman Posisi yang nyaman diharapkan dapat
mungkin meningkatkan rasa nyaman pasien
27
4 Resiko nutrisi kurang Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji kebiasaan diet, masukan Pasien dengan cedera otak sering
dari kebutuhan tubuh selama 3 x 24 jam diharapkan nutrisi makanan saat ini. Catat derajat anoreksia karena dispnea, produksi
b.d trauma, fraktur, pasien dapat terpenuhi dengan kriteria kesulitan makan. Evaluasi berat sputum dan obat.
diskontinuitas hasil : badan dan ukuran tubuh.
jaringan, merangsang 1. BB tidak turun
syaraf nyeri, nyeri, 2. Nafsu makan membaik 2. Berikan perawatan oral hygiene, Rasa tak enak, bau dan penampilan
imobilisasi, 3. Pasien mampu menghabiskan 1 porsi buang sekret, berikan wadah adalah pencegah utama terhadap nafsu
penumpukan secret, makanannya khusus untuk sekali pakai dan tisu. makan dan dapat membuat mual dan
oral hygiene kurang, 4. Tidak ada mual muntah muntah
rasa tidak nyaman
dimulut, tidak nafsu 3. Hindari makanan penghasil gas dan Dapat menghasilkan distensi abdomen
makan ditandai minuman karbonat yang menggangu napas dan gerakan
dengan pasien diafragma, dan dapat meningkatkan
mengeluh sulit untuk dispnea.
mengunyah, nafsu
makan berkurang,
jarang membersihkan 4. Hindari makanan yang panas atau Suhu ekstrem dapat
mulut, porsi makan sangat dingin. mencetuskan/meningkatkan spasme
hanya dihabiskan ¼ batuk.
porsi saja.
5. Anjurkan keluarga untuk Memaksimalkan intake pasien agar
memberikan makanan sedikit tapi dapat terpenuhi
sering
28
5 Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Berikan perawatan aseptik dan Cara pertama untuk menghindari
trauma, fraktur, selama 7 x 24 jam diharapkan integritas antiseptik. Pertahankan teknik cuci terjadinya infeksi nosokomial.
diskontinuitas kulit terjaga dengan kriteria hasil : tangan yang baik.
jaringan, port de’ 1. Tidak terjadi dekubitus
enter 2. Kulit utuh dan normal 2. Pantau suhu tubuh secara teratur, Dapat mengindikasikan perkembangan
mokroorganisme 3. Tidak terjadi lesi catat adanya demam menggigil, sepsis yang selanjutnya memerlukan
ditandai dengan nilai diaforesis, dan perubahan fungsi evaluasi atau tindakan segera.
Leukosit: 23.290/uL, mental
Hasil CT-Scan :
terdapat fraktur pada 3. Observasi daerah kulit yang Deteksi dini perkembangan infeksi
os. nasal dan tulang mengalami kerusakan (seperti luka memungkinkan untuk melakukan
maxilla, Palatum garis jahitan daerah alat yang tindakan dengan segera dan pencegahan
robek. dipasang invasi (terpasang infus terhadap komplikasi selanjutnya.
dan sebagainya)
29
D. IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tanda Tangan
Hari/Tanggal/Jam Implementasi Evaluasi dan Nama
Perawat
Selasa, 26 Mei 2015 1. Mengobservasi/ catat status neurologis GCS S : Pasien mengatakan, “masih pusing
05.30WIB 2. Mengbservasi tekanan darah jika duduk”
3. Mempertahankan kepala/ leher pada posisi tengah atau O:
pada posisi netral. Sokong dengan gulungan handuk - Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi
kecil atau bantal kecil 90x/menit, Pernapasan 22x/menit,
4. Mengajarkan keluarga bagaimana cara memobilisasi Suhu 37’C
pasien dengan tepat - Hasil CT-Scan : Fraktur basis cranii,
Hematosisnus maxilla bilateral,
disertai perdarahan pada cavum crania
- Advis dokter : Pasien dianjurkan untuk
tirah baring
A : Masalah Belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi 1-7
Selasa, 26 Mei 2015 1. Memberikan posisi pasien semi fowler S : Pasien mengatakan, “masih sulit
15.00 WIB 2. Mengajarkan tehnik napas dalam batuk”
3. Mengajarkan tehnik batuk efektif O:
4. Melakukan fisioterapi dada dan postural drainage - Suara napas ronchi basah (crales)
A : Masalah Belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi 1-7
Selasa, 26 Mei 2015 1. Mengukur tanda-tanda vital. S : Pasien mengatakan, “saat relaksasi
18.00 WIB nyeri terasa berkurang”
2. Menganjurkan pasien istirahat atau membatasi
O:
aktivitas - Skala nyeri berkurang menjadi 2
- Ekspresi pasien normal
3. Memberikan posisi pasien senyaman mungkin
- Tekanan darah 120/80 mmHg, Nadi
30
4. Mengajarkan teknik relaksasi napas dalam 88x/menit, Pernapasan 22x/menit,
Suhu 36,8”C
5. Melakukan kolaborasi dalam pemberian analgetik :
A : Masalah teratasi sebagian
injeksi Antrain 1 gr/IV P : Lanjutkan Intervensi 1-6
Rabu, 27 Mei 2015 5. Memberikan perawatan oral hygiene, buang sekret, S : Pasien mengatakan “nafsu makan saya
15.0 WIB berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan tisu. masih kurang baik”
6. Menganjurkan untuk menghindari makanan penghasil O :
gas dan minuman karbonat - Palatum robek
7. Menganjurkan untuk menghindari makanan yang - Porsi makan ¼ porsi
panas atau sangat dingin. - Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi
8. Menganjurkan keluarga untuk memberikan makanan 90x/menit, Pernapasan 22x/menit,
sedikit tapi sering Suhu 37,4’C
A : Masalah belum teratasi
P : Lanjutkan Intervensi 1-6
Jumat, 29 Mei 2015 1. Memberikan perawatan aseptik dan antiseptik. S : Keluarga pasien mengatakan “sudah
08.00WIB Pertahankan teknik cuci tangan yang baik. mengerti bagaimana cara membersihkan
2. Memantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya mulut”
demam menggigil, diaforesis, dan perubahan fungsi
O:
mental
3. Mengobservasi daerah kulit yang mengalami - Mulut pasien bersih
kerusakan (seperti luka garis jahitan daerah alat yang - Luka pasien bersih
dipasang invasi (terpasang infus dan sebagainya) A : Masalah teratasi
4. Memberikan pendidikan kesehatan tentang oral P : Hentikan intervensi (Pasien dirujuk)
hygiene.
5. Memberikan perawatan oral hygiene
6. Memberikan perawatan luka
7. Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi :
Cefriaxone 2 gr/IV
31
DAFTAR PUSTAKA
2. Azwar, A., Agoes, Achdiat., Agoes, Arizal. Penyakit Di Usia Tua. 2010.
Jakarta. EGC
Jakarta. EGC
10. Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah. 2001 Volume 1 dan 2.
2001. EGC
34