Anda di halaman 1dari 21

KDK H

WHMCDPDM QPUWDJD

H. JFMU@Q GDUD[ Q@MXDJHW


D. Q@MI@[WHDM

Cedera otak adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala tulang
tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala, (Suriadi & Yuliani 2001), sedangkan menurut Black & Jacobs, (1993) Cedera
otak adalah trauma pada otak yang diakibatkan kekuatan fisik eksternal yang
menyebabkan gangguan kesadaran tanpa terputusnya kontinuitas otak.
Cedera otak adalah suatu gangguan trauma dari otak disertai/tanpa perdarahan
intestinal dalam substansi otak, tanpa diikuti terputusnya kontinuitas dari otak (Nugroho,
2011).
Cedera otak adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang

tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung
pada kepala (Suriadi dan Yuliani, 2001).
Menurut Brain Injury Assosiation of America (2001), Cedera otak adalah suatu
kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan
oleh serangan/benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran
yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Cedera otak adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma tumpul
maupun trauma tajam. Deficit neorologis terjadi karena robekannya subtansia alba,
iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta edema serebral disekitar jaringan

otak (Batticaca, 2008).


Berdasarkan defenisi Cedera otak diatas maka penulis dapat menarik suatu
kesimpulan bahwa Cedera otak adalah suatu cedera yang disebabkan oleh trauma benda
tajam maupun benda tumpul yang menimbulkan perlukaan pada kulit, tengkorak, dan
jaringan otak yang disertai atau tanpa pendarahan.
K. @WHFBFIH
Menurut Corwin, (2001) penyebab dari cedera kepala adalah kecelakaan lalu lintas,
perkelahian, jatuh dan cedera olah raga. Cedera kepala terbuka sering disebabkan oleh
peluru atau pisau. Kecelakaan ; jatuh, kecelakaan kendaraan motor atau sepeda, dan mobil.

Kecelakaan pada saat olah raga, anak dengan ketergantungan, dan dapat terjadi pada anak
yang cedera akibat kekerasan, (Suriadi & Yuliani 2001).

1
E. JBDUHNHJDUH
Cedera otak dapat dilasifikasikan sebagai berikut :
1. Berdasarkan Mekanisme
a. Trauma Tumpul : adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor,
kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat

kekerasaan (pukulan).
b. Trauma Tembus : adalah trauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan
benda-benda tajam/runcing.
2. Berdasarkan Beratnya Cidera
Wle Wraumatic Eoma Gata Banj mengklasifisikan berdasarkan Ibasiow Eoma Ucabe
(Mansjoer, dkk, 2000) :
a. Cedera Kepala Ringan/Minor (Kelompok Risiko Rendah) yaitu, GCS 14-15, pasien
sadar dan berorientasi, kehilangan kesadaran atau amnesia < dari 30 menit, tidak ada
intoksikasi alkohol atau obat terlarang, klien dapat mengeluh nyeri kepala dan

pusing, tidak terdapat fraktur tengkorak, kontusio, hematom , tidak ada kriteria
cedera sedang sampai berat.
b. Cedera Kepala Sedang (Kelompok Risiko Sedang) yaitu GCS 9-13 (konfusi, letargi
dan stupor), pasien tampak kebingungan, mengantuk, namun masih bisa mengikuti
perintah sederhana, hilang kesadaran atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam,
konkusi, amnesia paska trauma, muntah, tanda kemungkinan fraktur kranium (tanda
battle, mata rabun, hemotimpanum, otorhea atau rinorhea cairan serebrospinal).
c. Cedera Kepala Berat (Kelompok Risiko Berat) yaitu GCS 3-8 (koma), penurunan
derajat kesadaran secara progresif, kehilangan kesadaran atau amnesia > 24 jam,

tanda neurologis fokal, cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur depresi cranium.
3. Berdasarkan morfologi
a. Fraktur tengkorak
Kranium : linear/ stelatum ; depresi/ nondepresi ; terbuka/ tertutup
Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal dengan tanpa
kelumpuhan nervus VII
b. Lesi intrakranial
Fokal : epidural, subdural, intracerebral
Difus : konkusi ringan, konkusi klasik, cedera aksonal difus.

2
G. QDWFNHUHFBFIH
Adanya cedera kepala dapat menyebabkan kerusakan struktur, misalnya kerusakan
pada parenkim otak, kerusakan pembuluh darah, perdarahan, edema dan gangguan
biokimia otak seperti penurunan adenosis tripospat, perubahan permeabilitas vaskuler.
Kranium merupakan struktur kuat yang berisi darah,jaringan otak dan jaringan

serebrospinal. Fungsi cerebral tergantung pada adekuatnya nutrisi seperti oksigen,


glukosa. Berat ringannya cedera kepala tergantung pada trauma kranium atau otak. Cedera
yang dialami dapat gegar otak, memar otak atau laserasi, fraktur dan atau hematoma
(injury νaskuler, epudural ; epidural atau subdural hematoma). Cedera kepala yang
terjadi dapat berupa percepatan (aselerasi) atau perlambatan (deselerasi). Trauma dapat
primer atau sekunder.
Trauma primer adalah trauma yang langsung mengenai kepala saat kejadian.
Sedangkan trauma sekunder merupakan kelanjutan dari trauma primer. Trauma sekunder
dapat terjadi meningkatnya tekanan intrakranial, kerusakan otak, infeksi dan edema

cerebral.
Epidural hematoma merupakan injury pada kepala dengan adanya fraktur pada
tulang tengkorak dan terdapat lesi antara tulang tengkorak dan dura. Perdarahan ini dapat
meluas hingga menekan cerebral oleh karena adanya tekanan arteri yang tinggi. Gejalanya
akan tampak seperti kebingungan atau kesadaran delirium, letargi, sukar untuk
dibangunkan dan akhirnya bisa koma. Nadi dan nafas menjadi lambat, pupil dilatasi dan
adanya hemiparese. Subdural hematoma adalah cedera kepala dimana adanya ruptur
pembuluh vena dan perdarahan terjadi antara dura dan serebrum atau antara duramater dan
lapisan arakhnoid. Terdapat dua tipe yaitu subdural hematoma akut dan kronik. Bila akut

dapat dikaitkan dengan kontusio atau laserasi yang berkembang beberapa menit atau jam.
Manifestasi tergantung pada besarnya kerusakan pada otak dan usia anak, dapat berupa
kejang, sakit kepala, muntah, meningkatnya lingkar kepala, iritabel dan perasaan
mengantuk. Cerebral hematoma adalah merupakan perdarahan yang terjadi akibat adanya
memar dan robekan pada cerebral yang akan berdampak pada perubahan νaskularisasi,
anoxia dan dilatasi dan edema. Kemudian proses tersebut akan terjadilah herniasi otak
yang mendesak ruang disekitarnya dan menyebabkan meningkatnya tekanan intrakranial.
Dalam jangka waktu 24 ― 72 jam akan tampak perubahan status neurologi.
Fraktur yang terjadi pada cedera kepala dapat berupa fraktur linear, farktur depresi,

fraktur basiler, fraktur compound (laserasi kulit dan fraktur tulang). Perdarahan cerebral
menimbulkan hematoma misalnya pada epidural hematoma, berkumpulnya antara

3
periosteun tengkorak dengan durameter, subdura hematoma akibat berkumpulnya darah
pada ruang antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma adalah
berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada penderita cedera kepala
terjadi karena hipotensi karena gangguan autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi
menimbulkan perfusi jaringan cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto,

2007).
@. ODMHN@UWDUH JBHMHU
Manifestasi klinik dari cedera kepala tergantung dari berat ringannya cedera kepala,
yaitu:
1. Perubahan kesadaran adalah merupakan indikator yang paling sensitive yang dapat
dilihat dengan penggunaan GCS (Ilascow Eoma Ucale).
2. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti: nyeri kepala karena regangan
dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan
pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.

N. JFOQBHJDUH
1. Perdarahan intra cranial
2. Kejang
3. Parese saraf cranial
4. Meningitis atau abses otak
5. Infeksi
I. Q@O@[HJUDDM Q@MPMCDMI
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah, analisa gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan,

determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak.


3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral, seperti perubahan
jaringan otak sekunder menjadi udema, perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis
(perdarahan, edema), fragmen tulang. Ronsent Tengkorak maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernafasan (oksigenasi) jika
terjadi peningkatan tekanan intrakranial.

8. Kadar Elektrolit : Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat


peningkatan tekanan intrakranial (Musliha, 2010).

4
L. Q@MDWDBDJUDMDDM
Penatalaksanaan medik cedera kepala yang utama adalah mencegah terjadinya
cedera otak sekunder. Cedera otak sekunder disebabkan oleh faktor sistemik seperti
hipotensi atau hipoksia atau oleh karena kompresi jaringan otak (Tunner, 2000).
Pengatasan nyeri yang adekuat juga direkomendasikan pada pendertia cedera kepala

(Turner, 2000).
Penatalaksanaan umum adalah:
1. Nilai fungsi saluran nafas dan respirasi
2. Stabilisasi vertebrata servikalis pada semua kasus trauma
3. Berikan oksigenasi
4. Awasi tekanan darah
5. Kenali tanda-tanda shock akibat hipovelemik atau neurogenik
6. Atasi shock
7. Awasi kemungkinan munculnya kejang.

Penatalaksanaan lainnya:
1. Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema serebral, dosis sesuai
dengan berat ringannya trauma.
2. Terapi hiperventilasi (trauma kepala berat). Untuk mengurangi vasodilatasi.
3. Pemberian analgetika
4. Pengobatan anti oedema dengan larutan hipertonis yaitu manitol 20% atau glukosa 40
% atau gliserol 10 %.
5. Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisilin).
6. Makanan atau cairan. Pada trauma ringan bila terjadi muntah-muntah tidak dapat

diberikan apa-apa, hanya cairan infus dextrosa 5% , aminofusin, aminofel (18 jam
pertama dan terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikana makanan lunak.
Pada trauma berat, hari-hari pertama (2-3 hari), tidak terlalu banyak cairan. Dextrosa
5% untuk 8 jam pertama, ringer dextrose untuk 8 jam kedua dan dextrosa 5% untuk 8
jam ketiga. Pada hari selanjutnya bila kesadaran rendah, makanan diberikan melalui ngt
(2500-3000 tktp). Pemberian protein tergantung nilai urea.
Tindakan terhadap peningkatan TIK yaitu:
1. Pemantauan TIK dengan ketat
2. Oksigenisasi adekuat

3. Pemberian manitol
4. Penggunaan steroid

5
5. Peningkatan kepala tempat tidur
6. Bedah neuro.
Tindakan pendukung lain yaitu:
1. Dukungan ventilasi
2. Pencegahan kejang

3. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi


4. Terapi anti konvulsan
5. Klorpromazin untuk menenangkan klien
6. Pemasangan selang nasogastrik (Mansjoer, dkk, 2000).

HH. ODMDC@O@M J@Q@[DYDWDM


D. Q@MIJDCHDM
1. Identitas pasien.
Identitas pasien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, alamat,

status perkawinan, suku bangsa dan tanggal masuk ruangan.


2. Riwayat Kesehatan dan pemeriksaan fisik
a. Menurut Smeltzer & Bare, (2001), riwayat kesehatan yang perlu dikaji/ ditanyakan
adalah kapan cedera terjadi? Apa penyebab cedera? Peluru kecepatan tinggi? Objek
apa yang terbentur kepala? Dari mana arah dan kekuatan pukulan? Apakah ada
kehilangan kesadaran? Durasi periode tidak sadar? Dapatkah pasien dibangunkan?
Riwayat tidak sadar atau amnesia terhadap cedera kepala menunjukkan derajat
kerusakan otak yang berarti, dimana perubahan selanjutnya dapat menunjukkan
terjadi pemulihan kerusakan otak sekunder.

b. Menurut Engram.B,(1999), riwayat kesehatan yang perlu dilakukan adalah


pengkajian neurologis cepat amati kepala dan belakang kepala bila terjadi luka atau
edema. Periksa hidung dan telinga kalau memungkinkan ada darah atau cairan
bening yang keluar. Bila ada gunakan kertas deabetik untuk memeriksa ada tidaknya
cairan serebrospinal (CSS). Bila tes glukosa positif menunjukkan adanya CSS, bila
pasien sadar dan orientasinya penuh, kaji respon klien terhadap kondisi dan
pemahamannya tentang kondisi serta rencana penanganan.
c. Menurut Suriadi & Yuliani, (2001), pada saat melakukan pengkajian riwayat
kesehatan perlu diperhatikan hal penting, saat kejadian, tempat, bagaimana posisi

saat kejadian, serangan, lamanya, faktor pencetus adanya fraktur dan status
kesadaran. Status neurologis yang perlu dikaji perubahan kesadaran, pusing kepala,

6
vertigo, menurunnya refleks, malaise, kejang, iritabel, kegelisahan atau agitasi.
Pupil yang diperiksa adalah ukuran, refleks terhadap cahaya, hemiparesis, letargi
dan koma, mual muntah, kesukaran bernafas atau sesak, napas lambat, hipotensi ,
bradikardi.
3. Aktivitas/ Istirahat

Gejala : Merasa lemah, lelah, kaku, hilang kesimbangan


Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese, quadreplegia, ataksia, cara
berjalan tak tegap, masalah dalam kesimbangan, cedera (trauma) ortopedi, kehilangan
tonus otot, otot palstik. Penurunan kekuatan, ketahanan, keterbatasan rentang gerak
pada area yang sakit, Gangguan massa otot, perubahan tonus.
4. Sirkulasi
Gejala : Hipotensi (syok), Penurunan nadi perifer distal pada ekstremitas yang cedera,
vaokontriksi perifer umum dengan kehilangan nadi, kulit putih dan dingin. Takikardi
(syok/ ansietas/ nyeri), Disritmia (syok) pembentukan edema jaringan

Tanda : Perubahan tekanan darah atau normal (hipertensi), perubahan frekuensi


5. Integritas Ego
Gejala : Perubahan tingkah laku atau kepribadian (tenang atau dramatis),Masalah
tentang keluarga, pekerjaan, keuangan.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
Menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
6. Eliminasi
Gejala : Inkontenensia kandung kemih/ usus atau mengalami gangguan fungsi
Tanda : Pengeluaran urine menurun atau tak ada selama fase darurat, Diuresis

(setelah kebocoran kapiler dan mobilisasi cairan ke dalam sirkulasi, Penurunan bising
usus/ tak ada.
7. Makanan
Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera
Tanda : Gangguan menelan, (batuk, air liur keluar, disfagia), Edema jaringan umum,
Anoreksia, mual/muntah
8. Neurosensori
Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, νertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, bingung, baal pada ekstremitas.
Perubahan dalam

penglihatan seperti ketajamannya yang diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang,

7
fotofobia, gangguan pengecapan dan penciuman. Kesemutan.

8
Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, Perubahan status mental orientasi
kewaspadaan, perhatian, konsentrasi pemecahan masalah, perubahan pupil (respons
terhadap cahaya, simetri), deviasi pada mata, ketidakmampuan mengikuti kehilangan
pengindraan seperti pengecapan, penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetris,
Gangguan lemah tidak seimbang, refleks tendon dalam tidak ada atau lemah, apraksia,

hemiparese quadreplegia, postur (dekortikasi desebrasi). Kejang sangat sensitive


terhadap sentuhan dan gerakan kehilangan sensasi sebagai posisi tubuh. Perubahan
orientasi, efek perilaku. Penurunan refleks tendon dalam pada cedera extremitas.
9. Nyeri/ ketidaknyamanan
Gejala : Sakit kepala dengan intensitas dan lokasi yang berbeda biasanya lama
Tanda : Wajah menyeringai, respons menarik pada rangsangan nyeri yang hebat,
gelisah, tidak bisa beristirahat, merintih.
10. Keamanan
Gejala : Trauma baru/ trauma karena kecelakaan

Tanda : Fraktur/dislokasi, Gangguan penglihatan, Kulit laserasi, abrasi, perubahan


warna. Tanda battle di sekitar telinga (merupakan tanda adanya trauma). Adanya aliran
cairan (drainase) dari telinga/ hidung serebrospinal (CSS). Gangguan kognitif,
Gangguan rentang gerak, tonus otot hilang kekuatan secara umum mengalami paralisis.
Demam, gangguan dalam regulasi suhu tubuh.
11. Interaksi Sosial.
Tanda : Afasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara berulang-ulang,
disartia, anomia.
12. Pernapasan

Gejala : Serak, batuk, mengi, partikel karbon dalam sputum, ketidakmampuan


menelan sekresi oral, sianosis, indikasi cedera inhalasi.
Tanda : Cemas, mudah tersinggung, delirium, agitasi, bingung, depresi dan impulsif.
Menangis, ketergantungan, menyangkal, menarik diri, marah.
13. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Tucker, et al (2001), pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam
menegakkan diagnosa adalah :
a. Pemeriksaan sinar X tulang tengkorak
b. Pemeriksaan sinar X servikal

c. CT Scan
d. MRI (Magnetic Reaconance Imaging)

9
e. Punksi lumbal, pengambilan contoh CSS
f. Pneumoensefalogram
g. Sistogram
h. GDA (Gas Darah Arteri)
i. EEG (Elektro Ensefalo Grafi)

j. EKG (Elektro Kardio Grafi)


K. GHDIMFUD J@Q@[DYDWDM
Menurut Carpenito, (2001), diagnosa yang muncul pada cedera otak adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan berhentinya aliran darah oleh
hemoragi, hematoma
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskular
3. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma dan deficit neurologis
4. Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan status neurologis
5. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuscular

6. Nyeri berhubungan dengan trauma, diskontinuitas jaringan


7. Resiko tinggi infeksi k`rlukumidm g`midm trduod jdrimidm, pfrt g`‘ `mt`r
mikroorganisme
8. Defisit perawatan diri berhubungan dengan keterbatasan imobilisasi fisik
E. Q@[@MEDMDDM
1. Diagnosa I : Perubahan perfusi jaringan cerebral berhubungan dengan penghentian
aliran darah oleh hemoragi, hematoma
Tujuan :
a. Mempertahankan tingkat kesadaran/perbaikan kognisi dan fungsi motorik/ sensorik.

b. Mendemonstrasikan tanda-tanda vital stabil dan tidak ada tanda-tanda peningkatan


TIK.
Intervensi :
a. Pantau/ catat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan nilai standar
(misalnya GCS)
R/ Mengkaji adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran adan potensi
peningkatan TIK dan bermanfaaat dalam menentukan lokasi, perluasan dan
perkembangan kerusakan susunan saraf pusat (SSP).

10
b. Pantau tekanan darah
R/ Normalnya, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak yang konstan pada
saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik. Kehilangan autoregulasi dapat mengikuti
kerusakan vaskularisasi cerebral lokal atau menyebar (menyeluruh)
c. Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri dan kanan

dan reaksinya terhadap cahaya. Kaji perubahan pada penglihatan, seperti adanya
penglihatan yang kabur, ganda lapang pandang menyempit dan ke dalam persepsi.
R/ Gangguan penglihatan yang dapat diakibatkan oleh kerusakan mikroskopik pada
otak,mempunyai konsekuensi terhadap keamanan dan juga akan mempengaruhi
pilihan intervensi.
d. Pertahankan kepala/ leher pada posisi tengah atau pada posisi netral. Sokong dengan
gulungan handuk kecil atau bantal kecil
R/ Kepala yang miring pada salah satu sisi menekan vena jugularis dan menghambat
aliran darah vena,yang selanjutnya akan meningkatkan TIK.

e. Perhatikan adanya gelisah yang meningkat, peningkatan keluhan dan tingkah laku
yang tidak sesuai lainnya
R/ Petunjuk non verbal mengidentifikasi adanya peningkatan TIK atau menandakan
adanya nyeri ketika pasien yang tidak dapat mengungkapkan keluhannya secara
verbal.
f. Kolaborasi : Awasi pemeriksaan laboratorium, contoh BUN, protein serum dan
albumin.
R/ Nilai rendah menunjukkan malnutrisi dan menunjukkan kebutuhan intervensi/
perubahan program terapi.

2. Diagnosa II : Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan neurovaskuler


Tujuan :
Mempertahankan pola pernafasan normal/ efektif, bebas sianosis, dengan AGD dalam
batas normal.
Intervensi :
a. Pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan, catat ketidakteraturan pernafasan.
R/ Perubahan dapat menandakan awitan komplikasi pulmonal (umumnya mengikuti
cedera otak) atau menandakan lokasi/ luasnya keterlibatan otak. Pernafasan lambat,

periode apnoe dapat menandakan perlunya ventilasi mekanis.

11
b. Catat kompetensi refleks vagal/ menelan dan kemampuan pasien untuk melindungi
jalan nafas sendiri.
R/ Kemampuan memobilisasi atau membersihkan sekresi penting untuk
pemeliharaan jalan nafas.
c. Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai indikasi.

R/ Untuk memudahkan ekspansi paru/ ventilasi paru dan menurunkan adanya


kemungknan lidah jatuh yang menyumbat jalan nafas.
d. Lakukan pengisapan lendir dengan ekstra hati-hati selama 10 ― 15 detik, catat sifat,
warna dan kekeruhan dari sekret.
R/ Persiapan biasanya dibutuhkan jika pasien koma atau dalam keadaan imobilisasi
dan tidak dapat membersihkan jalan nafasnya sendiri.
e. Kolaborasi rontgen thoraks ulang.
R/ Melihat kembali keadaan ventilasi dan tanda-tanda komplikasi yang berkembang.

3. Diagnosa III : Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan trauma atau defisit
neurologis.
Tujuan : Mempertahankan tingkat kesadaran dan fungsi persepsi.
Intervensi :
a. Kaji respons sensori terhadap raba/ sentuhan, panas/ dingin, benda tajam/ tumpul
dan catat perubahan yang terjadi.
R/ Informasi yang dapat dari pengkajian sangat penting untuk mengetahui tingkat
kegawatan dan kerusakan otak.
b. Observasi respon perilaku seperti rasa bermusuhan, menangis, afektif yang tidak

sesuai, agitasi, halusinasi.


R/ Respon individu mungkin berubah-ubah namun umumnya setiap emosi yang
labil, frustasi, apatis dan muncul tingkah laku impulsif selama proses penyembuhan
dari trauma kepala.
c. Bicara dengan suara yang lembut dan pelan.
R/ Pasien mungkin mengalami keterbatasaan perhatian/ pemahaman selama fase
akut dan penyembuhan dan tindakan ini dapat membantu pasien untuk
memunculkan komunikasi.

12
d. Berikan keamanan pasien dengan pengamanan sisi tempat tidur, bentuk latihan
jalan dan lindungi cedera kepala.
R/ Gangguan persepsi sensori dan buruknya kesimbangan dapat meningkatkan
resiko pada pasien.

4. Diagnosa IV : Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis.


Tujuan : Mempertahankan/ melakukan kembali orientasi mental dan realita biasanya.
Intervensi :
a. Kaji rentang perhatian, kebingunagn dan catat tingkah laku ansietas pasien.
R/ Rentang/ perhatian untuk berkonsentrasi mungkin memendek secara tajam yang
menyebabkan potensi terhadap terjadinya ansietas mempengaruhi proses pikir
pasien.
b. Usahakan untuk menghadirkan realitas secara konsisten dan jelas, hindari pikiran-
pikiran yang tidak masuk akal.

R/ Pasien mungkin tidak menyadari adanya trauma secara total ( amnesia) dari
perluasan trauma dan karena itu pasien perlu dihadapkan pada kenyataan terhadap
terjadinya trauma pada dirinya.
c. Jelaskan pentingnya melakukan pemeriksaan neurologis secara berulang dan teratur.
R/ Pemahaman bahwa pengkajian dilakukan secara teratus untuk mencegah/
membatasi komplikasi yang mungkin terjadi dan tidak menimbulkan suatu hal yang
serius pada pasien dapat membantu menurunkan ansietas.
d. Pertahankan harapan realitas dari kemampuan pasien untuk mengontrol tingkah
lakunya sendiri, memahami dan mengingat informasi yang ada.

R/ Mempertahankan harapan dari kemampuan untuk meningkatkan dan melanjutkan


sampai pada tingkat fungsi lebih tinggi untuk mempertahankan harapan dan
meningkatkan aktivitas rehabilitas kontinu.
e. Kurangi stimulus yang merangsang kritik yang negatif, argumentasi.
R/ Menurunkan resiko terjadinya respon pertengkaran dan penolakan.

13
5. Diagnosa V : Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi/
kognitif.
Tujuan : Mempertahankan kekuatan dan fungsi bagan tubuh yang sakit.
Intervensi :
a. Periksa kembali kemampuan dan keadaan secara fungsional pada kerusakan yang

terjadi.
R/ Mengidentifikasi kemungkinan kerusakan secara fungsional dan mempengaruhi
pilihan intervensi yang akan dilakukan.
b. Kaji derajat immobilisasi pasien dengan menggunakan skala ketergantungan (0-4).
R/ Pasien mampu mandiri (nilai 0), memerlukan bantuan/ peralatan yang minimal
(nilai 1), memerlukan bantuan sedang/ dengan pengawasan/pengajaran (niali 2),
memerlukan bantuan/peralatan yang terus-menerus dan alat khusus (nilai 3),
tergantung secara total pada pemberi asuhan (nilai 4). Seseorang dalam semua
kategori dengan nilai 2-4 mempunyai resiko yang terbesar untuk terjadinya bahaya

tersebut dihubungkan dengan immobilisasi.


c. Letakkan pasien pada posisi tertentu untuk menghindari kerusakan karena tekanan.
R/ Perubahan posisi yang teratur menyebabklan penyebaran terhadap gerak badan
dan meningkatkan sirkulasi pada seluruh bagian tubuh.
d. Sokong kepala dan badan, tangan dan lengan, kaki dan paha ketika pasien berada
dalam kursi roda.
R/ Mempertahankan kenyamanan, keamanan dan postur tubuh yang normal dan
mencegah/ menurunkan resiko kerusakan kulit di daerah kogsigis.
e. Berikan/ bantu latihan rentang gerak.

R/ Mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi/ posisi normal extremitas dan


menurunkan terjadinya vena yang statis.

6. Diagnosa VI : Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan jaringan trauma.


Tujuan : Mempertahankan normotermia, bebas tanda-tanda infeksi.
Intervensi :
a. Berikan perawatan aseptik dan antiseptik. Pertahankan teknik cuci tangan yang baik.
R/ Cara pertama untuk menghindari terjadinya infeksi nosokomial.
b. Pantau suhu tubuh secara teratur, catat adanya demam menggigil, diaforesis, dan

perubahan fungsi mental

14
R/ Dapat mengindikasikan perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan
evaluasi atau tindakan segera.
c. Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan (seperti luka garis jahitan daerah
alat yang dipasang invasi (terpasang infus dan sebagainya)
R/ Deteksi dini perkembangan infeksi memungkinkan untuk melakukan tindakan

dengan segera dan pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.


d. Berikan perawatan perineal.
R/ Menurunkan kemungkinan terjadinya pertumbuhan bakteri/ infeksi yang
merambah naik.
e. Kolaborasi berikan antibiotik sesuai indikasi
R/ Therapy profilaktik dapat digunakan untuk pasien mengalami trauma (perlukaan),
kebocoran CSS atau setelah dilakukan pembedahan untuk menurunkan resiko
terjadinya infeksi nosokomial.

7. Diagnosa VII : defisit keperawatan diri berhubungan dengan keterbatasan imobilisasi


fisik.
Tujuan : Tujuan keperawatan diri terpenuhi.
Intervensi :
a. Kaji derajat ketidakmampuan klien dalam hal perawatan diri
R/ Mengetahui sejauh mana keterbatasan kemampuan individual.
b. Berikan bantuan dengan aktivitas perawatan diri yang diperlukan
R/Memenuhi kebutuhan akan perawatan diri.
c. Anjurkan kepada keluarga untuk membantu memenuhi aktivitas perawatan diri yang

diperlukan klien
R/ Membantu memenuhi kegiatan aktivitas perawatan diri klien.
d. Hindari melakukan sesuatu untuk pasien yang dapat dilakukan pasien sendiri tetapi
berikan bantuan sesuai kebutuhan.
R/ Pasien mungkin menjadi sangat ketakutan dan sangat tergantung dan meskipun
bantuan yang diberikan bermanfaat dalam mencegah frustasi adalah sangat penting
bagi pasien untuk melakukan sebanyak mungkin untuk diri sendiri untuk
mempertahankan harga diri dan meningkatkan pemulihan.
e. Berikan umpan balik yang positif untuk semua usaha yang dilakukan atau

keberhasilannya.

15
R/ Meningkatkan perasaan makna diri, meningkatkan kemandirian dan mendorong
pasien untuk berusaha secara kontinu.
G. HOQB@O@MWDUH
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah kategori dari
perilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk mencapai tujuan dan hasil yang

diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan dan diselesaikan (Potter & Perry. 2005:
203). Tahap awal tindakan keperawatan menunutut perawat mempersiapkan segala sesuatu
yang diperlukan dalam tindakan. Persiapan tersebut meliputi kegiatan-kegiatan: review
tindakan keperawatan yang diidentifikasi pada tahap perencanaan, menganalisa pengetahuan
dan keterampilan keperawatan yang diperlukan, mengetahui komplikasi dan tindakan
keperawatan yang mungkin timbul, menentukan dan mempersiapkan peralatan yang
diperlukan, mempersiapkan lingkungan yang konduktif sesuai dengan yang akan
dilaksanakan, mengidentifikasi aspek hokum dan etik terhadap resiko dari potensial tindakan.
@. @VDBPDUH

Evaluasi adalah langkah final dari proses keperawatan, yaitu suatu metode sistematik
untuk mengorganisasi dan memberikan asuhan keperawatan (Potter & Perry. 2005: 224).
Evaluasi juga adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya
sudah berhasil dicapai, melalui evaluasi memungkinkan perawat untuk memonitor
“kealpaan” yang terjadi selam tahap pengkajian, analisa, perencanaan, dan pelaksaan
tindakan.

16
BAB II
ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

1. Identitas Pasien
Nama : Tn. A
Umur : 24 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku/Bangsa : Dayak/Indonesia
Agama : Islam
Pekerjaan : Honorer
Pendidikan : Diploma-III Farmasi
Status Perkawinan : Belum Kawin

Alamat : Buntok
Tanggal MRS : 21 Mei 2015
Nomor MR : 20.24.xx
Diagnosa Medis : Cedera Otak Ringan + Fraktur Basis Cranii
2. Riwayat Kesehatan/Perawatan
a. Keluhan Utama
Pasien mengeluh nyeri seperti berdenyut-denyut pada area mulut dan hidung dengan
skala nyeri 3. Nyeri dirasakan saat beraktivitas maupun istirahat.
b. Riwayat Penyakit Sekarang

Pada tanggal 20 Mei 2015 pasien mengalami kecelakaan lalu lintas di Buntok.
Pasien terjatuh dengan posisi wajah lebih dahulu mendarat ke tanah. Pasien sempat
pingsan selama ± 30 menit lalu dibawa ke IGD RS Buntok. Setelah dirawat selama 1
hari di RS Buntok pasien lalu dirujuk ke RS Doris Sylvanus Palangka Raya pada
tanggal 21 Mei 2015.
c. Riwayat Penyakit Sebelumnya
Tidak ada riwayat penyakit atau melakukan operasi sebelumnya.
d. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada riwayat penyakit keturunan pada keluarga

17
Keterangan :
: Laki-laki
: Perempuan
: Pasien
: Hubungan keluarga
: Garis keturunan
: Tinggal serumah
: Sudah meninggal

3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Pasien tampak sakit sedang, terpasang infuse RL 20 tpm pada tangan sebelah kanan,
terdapat brill hematoma (+), terdapat luka jahitan sepanjang ± 3 cm pada lutut
sebelah kanan, pasien tampak lemah dan lebih sering tidur.
b. Status Mental
1) Tingkat Kesadaran : Compos Mentis
2) Ekspresi wajah : Normal
3) Bentuk badan : Kurus

4) Cara berbaring/bergerak : Normal


5) Berbicara : Normal
6) Suasana Hati : Baik
7) Penampilan : Bersih, rapi
8) Fungsi Kognitif :
a) Orientasi waktu : Pasien mampu menjawab dengan benar saat ditanya
tentang siang atau malam.
b) Orientasi orang : Pasien mampu menjawab dengan benar saat diminta
menyebutkan nama ibu ayah dan menunjuknya.

c) Orientasi tempat : Pasien dapat menjawab dengan benar saat ditanya


sedang berada dimana sekarang.

18
9) Tidak ada halusinasi, insight baik, proses berpikir baik, mekanisme pertahanan
diri adaptif (berdoa), tidak ada keluhan lainnya.
c. Tanda-tanda Vital
Tekanan darah 130/80 mmHg, Nadi 92x/menit, Pernapasan 22x/menit, Suhu 37,3‘C.
d. Pernapasan (Breathing)

Bentuk dada normal, kebiasaan merokok (-), tidak ada sianosis, tidak ada nyeri dada,
tipe pernapasan dada, irama pernapasan teratur, secret tidak bisa keluar, suara napas
ronchi basah (crales), pasienmengatakan sulit untuk batuk.
Masalah Keperawatan : Bersihan jalan napas tidak efektif
e. Kardiovaskuler (Bleeding)
Tidak ada nyeri dada, CRT < 2 detik, Tidak terlihat iktus cordis, tidak terjadi
peningkatan vena jugularis, suara jantung S1 S2 tunggal, tidak terdapat riwayat
penyakit jantung.
f. Persyarafan (Brain)

Nilai GCS E : 4 V : 5 M : 6 ( 15 : Compos Mentis), Pupil Isokor, Refleks cahaya


+/+, bicara normal, reflex babiski -/-, diagnosa medis cedera otak ringan, terdapat
fraktur di basis crania. Pasien mengatakan “saya merasa pusing jika duduk”.
Masalah Keperawatan : Gangguan Perfusi Jaringan Serebral
g. Eliminasi Uri (Bladder)
Produksi urine : 1.200 cc/hari, warna kuning jernih, bau khas amoniak
h. Eliminasi Alvi (Bowel)
Pada bibir terdapat luka lecet, lebam dan bengkak, sebagian besar gigi tanggal akibat
kecelakaan, oral hygiene jarang dilakukan, gusi berwarna merah muda, terdapat luka

pada gusi, palatum robek, lidah lembab dan normal, mukosa lembab, tidak ada
hemoroid, BAB 1x/hari berwarna kuning pucat dengan konsistensi lunak, bising
usus 13x/menit, tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan. Pasien mengatakan “saya
jarang membersihkan mulut karna takut terasa nyeri”. Pasien mengatakan “sulit
untuk mengunyah”.
Masalah Keperawatan : Resiko Nutrisi Kurang dari Kebutuhan Tubuh, Resiko
Infeksi
i. Tulang, Otot, Integumen
Kemampuan pergerakan sendi bebas, ukuram otot simetris, tidak ada deformitas

tulang, terdapat luka robek (hecting) pada kaki sebelah kanan dan luka robek pada

19
palatum, tidak ada peradangan, tulang belakang normal, kekuatan otot normal.
Pasien mengatakan “nyeri pada luka”
Masalah Keperawatan : Gangguan rasa nyaman : nyeri akut, Resiko Infeksi
j. Kulit-kulit rambut
Tidak ada riwayat alergi, suhu kulit hangat, warna kulit normal, turgor kulit baik,

tekstur halus, bentuk kuku simetris, tidak ada clubbing finger.


k. Sistem Penginderaan
Fungsi penglihatan normal, gerakan bola mata normal, sclera putih, kornea bening,
fungsi pendengaran baik, bentuk hidung asimetris, terdapat nyeri tekan pada sinus,
terdapat lesi pada hidung, cavum nasal berwarna merah muda dengan integritas baik,
septum nasal normal.
Masalah Keperawatan : Gangguan rasa nyaman : nyeri akut
l. Leher dan Kelenjar Limfe
Tidak ada massa, tidak ada jaringan parut, kelenjar limfe tidak teraba, kelenjar tyroid

tidak teraba, mobilitas leher bebas.


m. Sistem Reproduksi : Tidak dikaji
4. Pola Fungsi Kesehatan
a. Persepsi terhadap kesehatan dan penyakit
Orang tua pasien mengatakan bila sakitnya saat ini adalah ujian yang harus dijalani
agar bisa menjadi hamba Tuhan yang kuat.
b. Nutrisida Metabolisme
TB : 172 cm
BB Sekarang : Tidak terkaji

BB Sebelum sakit : 65 kg
Diet nasi lunak, diet TKTP, reflex menelan kurang baik.
Pasien mengatakan “nansu makan berkurang”

No Pola makan sehari-hari Sebelum sakit Selama sakit


Frekuensi/hari 3x/hari 3x/hari
Porsi 1 porsi ¼ porsi
Nafsu makan Baik Berkurang
Jenis makanan Nasi biasa, lauk, sayur Nasi lunak, lauk, sayur
Jenis minuman Air putih, teh manis Air putih
Jumlah minuman/cc/24 jam 2.500 cc 2.000 cc
Kebiasaan makan Tidak ada Tidak ada
Masalah Keperawatan : Resiko nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.

20
c. Pola Istirahat dan tidur
Selama berada di RS pasien dapat istirahat dan tidur seperti biasa
d. Kognitif
Status kognitif pasien baik
e. Konsep Diri

Tidak ada masalah


f. Aktivitas sehari-hari
Selama berada di RS pasien lebih banyak tidur.
g. Koping-Toleransi terhadap stress
Orang tua pasien mengatakan bahwa pasien sering mengajaknya untuk berdoa
bersama memohon kesembuhan dari Tuhan.
h. Nilai-Pola Keyakinan
Pasien dan keluarga beragama Kristen Protestan. Pasien dan keluarga percaya bahwa
Tuhan itu ada dan selalu menjaga mereka sepanjang waktu.

5. Sosial dan Spiritual


a. Kemampuan Berkomunikasi
Pasien mampu berkomunikasi dengan baik dengan keluarga maupun perawat, lebih
banyak dengan non-verbal.
b. Bahasa sehari-hari
Bahasa Indonesia/Bahasa banjar
c. Hubungan dengan keluarga
Harmonis dan baik
d. Hubungan dengan teman/petugas kesehatan

Pasien kooperatif dan menerima kehadiran tim medis dengan baik.


e. Orang berarti/terdekat
Ibu
f. Kegiatan beribadah
Pasien berdoa bersama dengan orang tuanya.
6. Data Penunjang
a. Hasil pemeriksaan laboratorium (Tanggal 21 Mei 2015) :
- Hb : 14,4 gr/dL - GDS : 98 mg/dL
- Leukosit : 23.290/uL

- Trombosit : 267.000/uL
- Creatinin : 0,4 mg/dL

21

Anda mungkin juga menyukai