Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN

KEPERAWATAN DENGAN DIAGNOSA


TRAUMA KEPALA DI RUANG IGD RSUD
BANGIL

DISUSUN OLEH :
KHUSNUL DWIYANTI
2022611003

PROFESI NERS FAKULTAS


ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS TRIBHUWANA
TUNGGADEWI MALANG
2023
LAPORAN PENDAHULUAN TRAUMA KEPALA

A. PENGERTIAN
Menurut Brain Injury Association Of America (2019), trauma kepala
adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat congenital atau
degenerative, tetapi disebabkan oleh benturan fisik dari luar yang dapat
mengakibatkan kerusakan kemampuan kognitif maupun fisik. Trauma
kepala adalah gangguan fungsi normal otak karena trauma baik trauma
tumpul maupun trauma tajam. Deficit neorologis terjadi karena robekanya
subtansia alba, iskemia, dan pengaruh massa karena hemorogik, serta
edema serebral disekitar jaringan otak (Batticaca,2018).
B. ANATOMI FISIOLOGI SISTEM
1. Anatomi
Tengkorak dibentuk oleh beberapa tulang, masing-masing tulang
kecuali mandibula disatukan pada sutura. Sutura dibentuk oleh selapis
tipis jaringan fibrosa yang mengunci piringan tulang yangbergerigi.
Sutura mengalami osifikasi setelah umur 35 tahun. Pada atap
tengkorak, permukaan luar dan dalam dibentuk oleh tulang padat
dengan lapisan spongiosa yang disebut diploie terletak diantaranya.
Terdapat variasi yang cukup besar pada ketebalan tulang tengkorak
antar individu. Tengkorak paling tebal dilindungi oleh otot
(Westmoreland, 2018).
Jenis-jenis Tulang tengkorak:
- Os Frontale
- Os Parietal dextra dan sinistra
- Os Occipital
- Os Temporal dextra dan sinistra
- Os Ethmoidale
- Os spenoidale
- Maxila
- Mandibula
- Os Zigomatikum dextra dan sinistra
- Os Platinum dextra dan sinistra
- Os Nasal dextra dan sinistra
- Os Lacrimale dextra dan sinistra
- Vomer
- Concha dextra dan sinistra

2. Fisiologi

Fungsi tengkorak (Westmoreland, 2018) adalah:

- Melindungi otak , indra penglihatan dan indra pendengaran

- Sebagai tempat melekatnya otot yang bekerja pada kepala

- Sebagai tempat penyangga

C. ETIOLOGI

Trauma kepala dapat disebabkan oleh beberapa peristiwa, diantaranya:

a. Kecelakaan lalu lintas.

b. Benturan pada kepala.

c. Jatuh dari ketinggian dengan dua kaki.

d. Menyelam di tempat yang dalam.

e. Olahraga yang keras.


f. Anak dengan ketergantungan.

Cedera pada trauma capitis dapat terjadi akibat tenaga dari luar (Arif
Musttaqin, 2020) berupa:

1) Benturan/jatuh karena kecelakaan

2) Kompresi/penetrasi baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru


dan ledakan panas. Akibat cedera ini berupa memar, luka jaringan
lunak, cedera muskuloskeletal dan kerusakan organ.
D. PATOFISIOLOGI

Fase pertama kerusakan serebral paska terjadinya trauma kepala


ditandai oleh kerusakan jaringan secara langsung dan juga gangguan
regulasi peredaran darah serta metabolisme otak. Pola ischaemia-like ini
menyebabkan asumsi asam laktat sebagai akibat dari terjadinya
glikolisis anaerob. Selanjutnya, terjadi peningkatan permeabilitas
pembuluh darah diikuti dengan pembentukan edema. Akibat
berlangsungnya metabolism anaerob, sel-sel otak kekurangan cadangan
energy yang turut menyebabkan kegagalan pompa ion di membrane sel
yang bersifat energy-dependent (Werner dan Engelhard, 2019). Fase
kedua dapat dijumpai depolarisasi membrane terminal yang diikuti
dengan pelepasan neurotransmitter eksitatori (glutamate dan asparat)
yang berlebihan (Werner dan Engelhard, 2019).
Patofisiologi cedera kepala dapat terbagi atas dua proses yaitu cedera
kepala primer dan cedera kepala sekunder, cedera kepala primer
merupakan suatu proses biomekanik yang terjadi secara langsung saat
kepala terbentur dan dapat memberi dampak kerusakan jaringan otat.
Pada cedera kepala sekunder terjadi akibat dari cedera kepala primer,
misalnya akibat dari hipoksemia, iskemia dan perdarahan.

Perdarahan cerebral menimbulkan hematoma misalnya pada


epidural hematoma, berkumpulnya antara periosteun tengkorak dengan
durameter, subdural hematoma akibat berkumpulnya darah pada ruang
antara durameter dengan subaraknoid dan intra cerebral, hematoma
adalah berkumpulnya darah didalam jaringan cerebral. Kematian pada
penderita cedera kepala terjadi karena hipotensi karena gangguan
autoregulasi, ketika terjadi autoregulasi menimbulkan perfusi jaringan
cerebral dan berakhir pada iskemia jaringan otak (Tarwoto, 2018)
E. PATHWAY
F. TANDA DAN GEJALA

Menurut Manurung (2018), tanda dan gejala dari cedera kepala antara
lain:

1. Commotio Cerebri

a. Tidak sadar selama kurang atau sama dengan 10 menit

b. Mual dan muntah

c. Nyeri kepala (pusing)

d. Nadi, suhu, tekanan darah menurun atau normal

2. Contosio cerebri

a. Tidak sadar lebih 10 menit

b. Amnesia anterograde

c. Mual dan muntah

d. Penurunan tingkat kesadaran

e. Gejala neurologi, seperti parese

f. Perdarahan

3. Laserasio Serebri

a. Jaringan robek akibat fragmen patah

b. Pingsan maupun tidak sadar selama berhari-hari/berbulan-bulan

c. Kelumpuhan anggota gerak

d. Kelumpuhan saraf otak

Gejala klinis dari trauma kapitis ditentukan oleh derajat cedera dan
lokasinya.
Derajat cedera otak kurang lebih sesuai dengan tingkat gangguan
kesadaran
penderita. Tingkat yang paling ringan ialah pada penderita gegar
otak, dengan
gangguan kesadaran yang berlangsung hanya beberapa menit saja,
atas dasar ini
trauma kepala dapat digolongkan menjadi:

a) Cedera kepala ringan (kelompok risiko rendah)

- Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, alternative dan


orientatif)

- Tidak ada kehilangan kesadaran (misalnya konkusi)

- Tidak ada intoksikasi alcohol atau obat terlarang

- Klien dapat mengeluh nyeri kepala dan pusing.

- Pasien dapat mengeluh abrasi, laserasi atau hematoma kulit


kepala

- Tidak adanya kriteria cedera, sedang berat.

b) Cedera kepala sedang (kelompok risiko sedang)

- Skor skala koma Glasgow 9-14 (kontusi, latergi atau stupor)

- Konfusi

- Amnesia pasca trauma

- Muntah

- Tanda kemungkinan fraktur cranium (tanda battle, mata rabun,


hemotimpanum, otore atau rinore cairan cerebrospinal

- Kejang

c) Cedera kepala berat (kelompok risiko berat)

- Skor skala koma Glasgow 3-8 (koma)

- Penurunan derajat kesadaran secara progersif

- Tanda neurologis fokal

- Cedera kepala penetrasi atau serba fraktur depresi cranium.


G. MEKANISME CEDERA
Mekanisme cedera /trauma kepala, meliputi:

1. Akselerasii

jika benda bergerak membentur kepala yang tidak bergerak, contohnya


pada orang yang diam kemudian dipukul atau dilempar.

2. Deselerasi

Jika kepala yang bergerak membentur benda yang diam,


contohnyapada kepala yang menabrak dinding .

3. Deformitas
Perubahan atau kerusakan pada bagian tubuh yang terjadi akibat
trauma, contoh adanya fraktur pada tulang kepala, kompressi,
ketegangan atau pemotongan pada jaringan otak.
H. KLASIFIKASI

Klasifikasi Cedera Kepala ( Arif Muttaqin, 2020 )

1. Cedera Kepala Primer


Cedera Kepala Primer mencakup: Fraktur tulang, cedera fokal,
cedera otak difusa, yang masing-masing mempunyai mekanisme
etiologis dan fatofisiologis yang unik.

2. Kerusakan Otak Sekunder


Cedera kepala berat seringkali menampilkan gejala
abnormalitas/gangguan sistemik akibat hipoksia dan hipotensi,
dimana keadaan-keadaan ini merupakan penyebab yang sering pada
kerusakan otak sekunder.

3. Edema Serebral
Tipe yang terpenting pada kejadian cedera kepala adalah edema
vasogenik dan edema iskemik

4. Pergeseran Otak (Brain Shift)


Adanya sat massa yang berkembang membesar (Haematoma, abses
atau pembengkakan otak) disemua lokasi dalam kavitas Intra
Kranial, biasanya akan menyebabkan pergerakan dan distorsi otak

I. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Foto polos kepala

Indikasi dilakukannya pemeriksaan meliputi jejas lebih dari 5 cm, luka


tembus (peluru/tajam), deformasi kepala (dari inspeksi dan palpasi),
nyeri kepala yang menetap, gejala fokal neurologis, gangguan
kesadaran.

2. CT-Scan

Indikasi CT-Scan adalah:

a) Nyeri kepala menetap atau muntah-muntah yang tidak


menghilang setelah pemberian obat-obatan analgesia.

b) Adanya kejang-kejang, jenis kejang fokal lebih bermakna terdapat


pada lesi intrakranial dibandingkan dengan kejang general.

c) Penurunan GCS lebih dari 1 dimana factor-faktor ekstrakranial


telah disingkirkan (karena penurunan GCS dapat terjadi karena
syok, febris, dll).

d) Adanya fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai.

e) Luka tembus akibat benda tajam dan peluru.

f) Perawatan selama 3 hari tidak ada perubahan yang membaik dari


GCS (Sthavira, 2021).

3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI digunakan untuk pasien yang memiliki abnormalitas status


mental yang digambarkan oleh CT-Scan. MRI telah terbukti lebih
sensitive daripada CT-Scan, terutama dalam mengidentifikasi lesi
difus non hemoragig cedera aksonal.

4. X-Ray

X-Ray berfungsi mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),


perubahan struktur garis (perdarahan /edema), fragmen tulang (Rasad,
2019).

5. BGA ( Blood Gas Analyze)


Mendeteksi masalah pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan
tekanan intra kranial (TIK).

6. Kadar elektrolit
Mengoreksi keseimbangan elektrolit sebgai akibat peningkatan
tekanan intra kranial (Musliha, 2020)

J. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pasien dengan cedera kepala meliputi sebagai berikut
(Manurung, 2018):

1. Keperawatan

a. Observasi 24 jam

b. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.


Makanan atau cairan, pada trauma ringan bila muntah-muntah,
hanya cairan infus dextrose 5%, amnifusin, aminofel (18 jam
pertama dari terjadinya kecelakaan), 2-3 hari kemudian diberikan
makanan lunak

c. Berikan terapi intravena bila ada indikasi

d. Pada anak diistirahatkan atau tirah baring

2. Medis

a. Terapi obat-obatan

- Dexamethason/kalmethason sebagai pengobatan anti edema


serebral, dosis sesuai dengan berat ringannya trauma

- Pengobatan anti edema dengan larutan hipertonis yaitu


mannitol 20 % atau
glukosa 40 % atau gliserol 10 %

- Antibiotika yang mengandung barrier darah otak (penisillin)


atau untuk infeksi anaerob diberikan metronidasol

- Pembedahan bila ada indikasi (hematom epidural besar,


hematom sub dural,
cedera kepala terbuka, fraktur impresi >1 diplo)

- Lakukan pemeriksaan angiografi serebral, lumbal fungsi, CT


Scan dan MRI
(Satyanegara, 2018).
Menurut Rendy & Margaret Clevo (2019) penatalaksanaan
konservatif adalah sebagai berikut.

- Bedrest Total

- Pemberian Obat-Obatan

 Obat Anti Kejang

Profilaksis anti kejang efektif diberikan pada 1 minggu


pertama pasca trauma. Alternatif obat yang efektif
adalah phenytoin dan levetiracetam. Pengobatan
profilaksis anti kejang sebaiknya tidak rutin dilakukan
setelah 7 hari pasca trauma karena tidak menurunkan
risiko kejang fase lanjut pasca trauma. Pemberian
profilaksis fenitoin efektif untuk mencegah kejang
fasedini pasca trauma.

 Manitol dan Sodium Laktat Hipertonis


Manitol membantu menurunkan TIK pada pasien COB.
Pemberian secara bolus dengan dosis 0,25–1gr/kgBB
lebih dianjurkan dibandingkan pemberian secara terus
menerus

 Antibiotika Profilaksispada Pemasangan Kateter


Ventrikel Pemberian
antibiotik pada pemasangan dan penggantian kateter
ventrikel setiap 5 hari tidak mengurangi risiko infeksi.
Penggunaan antibiotik lokal maupun sistemik tidak
menurunkan risiko infeksi pada pemasangan kateter
ventrikel.

 Analgetik Ketorolac dan acetaminophen dapat


digunakan pada pasien trauma kepala. Ketorolac hanya
boleh diberikan maksimal 5 hari. Obat-obatan NSAID
lainnya seperti ibuprofen dan naproxen bisa diberikan
per-oral. Ketoprofen supp dan acetaminophen supp
bermanfaat menguranginyeri pada
COR.

 Kortikosteroid Terapi dengan dan tanpa kortikosteroid


pada pasien memar
otak secara statistic hasil terapi tidak berbeda bermakna

 Sedatif/Tranquilizer
Midazolam mengurangi CBF sehingga cenderung aman
dan efektif untuk anestesiadan sedasi pasien dengan
peningkatan ICP. Propofol memberikan hasil yang baik
dalam fungsi sedasi serta memudahkan dalam evaluasi
fungsi neurologis secara awal. Dexmedetomidine
merupakan sedasi tanpa efek neurologis dan
memberikan efek proteksi pada otak (Wahyuhadi et al.,
2019)

b) Sirkulasi (circulation)
Hipotensi menyebabkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Hipotensi disebabkan oleh hipovolemia akibat
perdarahan luar, ruptur organ dalam, trauma dada disertai
temponade jantung atau pneumotoraks dan syok septic. Tindakan
adalah menghentikan perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.

c) Jalan nafas (airway)


Bebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi dengan memasang orofaryngeal airway
(OPA) atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasogastrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.

d) Pernafasan (breathing)
Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral dan
perifer. Kelainan sentral dalah depresi pernafasan pada lesi medulla
oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenic hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,
trauma dada, edema paru, emboli paru, infeksi. Gangguan
pernafasan dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan
dengan pemberian O2 kemudian cari dan atasi factor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.

Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat


didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6
B”(Arif Muttaqin 2020), yakni:

1) Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan
penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan
dengan tindakan-tindakan : suction, inkubasi, trakheostomi.
Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu,
merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan
edema cerebri.

2) Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan
laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah
dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu
peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang
menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya
syok hipovolemik akibat perdarahan dan memerlukan tindakan
transfusi.

3) Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon
mata, motorik dan verbal (GCS). Perubahan respon ini
merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu
pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran,
bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola
mata.

4) Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter)
mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu
rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial
cenderung lebih meningkat.

5) Bowel
Produksi urine perlu dipantau selama pasien dirawat. Bila
produksi
urine tertampung di vesika urinaria maka dapat meningkatkan
tekanan intra cranial (TIK).

6) Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder
infeksi
K. KOMPLIKASI
Komplikasi trauma kepala dapat meliputi :
1. Perdarahan intra cranial
2. Kejang
3. Parese saraf cranial

4. Meningitis atau abses otak

5. Infeksi

6. Edema cerebri

7. Kebocoran cairan serobospinal


KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. PENGKAJIAN

Pengkajian keperawatan adalah suatu tindakan peninjauan situasi


manusia untuk memperoleh data tentang klien dengan maksud
menegaskan situasi penyakit, diagnosa masalah klien, penetapan
kekuatan, dan kebutuhan promosi kesehatan klien. Pengkajian
keperawatan merupakan proses pengumpulan data. Pengumpulan data
adalah pengumpulan informasi tentang klien yang dilakukan secara
sistematis untuk menentukan masalah-masalah, serta kebutuhan-
kebutuhan keperawatan, dan kesehatan klien. Pengumpulan informasi
merupakan tahap awal dalam proses keperawatan. Dari informasi yang
terkumpul, didapatkan data dasar tentang masalah-masalah yang dihadapi
klien. Selanjutnya, data dasar tersebut digunakan untuk menentukan
diagnosis keperawatan, merencanakan asuhan keperawatan, serta
tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah- masalah klien
(Kemenkes RI, 2017).

Untuk mengumpulkan data pasien ada beberapa yang harus dikaji


yaitu:

1. Identitas klien

Nama, jenis kelamin, alamat , No. MR, tanggal lahir, asal pasien,
kondisi saat masuk, tingkat kegawatan/triage. Pengkajian mengenai
identitas klien dan keluarga mengenai nama, umur, dan jenis kelamin
karena pengkajian umur dan jenis kelamin diperlukan pada klien
dengan asma.

2. Keluhan utama

Klien asma akan mengluhkan sesak napas, bernapas terasa berat pada
dada, dan adanya kesulitan untuk bernapas.

3. Riwayat penyakit saat ini


Klien dengan riwayat serangan asma datang mencari pertolongan
dengan keluhan sesak nafas yang hebat dan mendadak, dan berusaha
untuk bernapas panjang kemudian diikuti dengan suara tambahan
mengi (wheezing), kelelahan, gangguan kesadaran, sianosis, dan
perubahan tekanan darah.

4. Pengkajian Primer

a) Sirkulasi (circulation)
Hipotensi menyebabkan iskemik yang dapat mengakibatkan
kerusakan sekunder. Hipotensi disebabkan oleh hipovolemia akibat
perdarahan luar, ruptur organ dalam, trauma dada disertai
temponade jantung atau pneumotoraks dan syok septic. Tindakan
adalah menghentikan perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan
mengganti darah yang hilang dengan plasma atau darah.

b) Jalan nafas (airway)


Bebaskan jalan nafas dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi dengan memasang orofaryngeal airway
(OPA) atau pipa endotrakheal, bersihkan sisa muntahan, darah,
lendir atau gigi palsu. Isi lambung dikosongkan melalui pipa
nasogastrik untuk menghindarkan aspirasi muntahan.

c) Pernafasan (breathing)

Gangguan pernafasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral dan


perifer. Kelainan sentral dalah depresi pernafasan pada lesi medulla
oblongata, pernafasan cheyne stokes, ataksik dan central
neurogenic hyperventilation. Penyebab perifer adalah aspirasi,
trauma dada, edema paru, emboli paru, infeksi. Gangguan
pernafasan dapat menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia. Tindakan
dengan pemberian O2 kemudian cari dan atasi factor penyebab dan
kalau perlu memakai ventilator.

Penanganan kasus-kasus cedera kepala di unit gawat darurat


didasarkan atas patokan pemantauan dan penanganan terhadap “6
B”(Arif Muttaqin 2020), yakni:

1) Breathing
Perlu diperhatikan mengenai frekuensi dan jenis pernafasan
penderita. Adanya obstruksi jalan nafas perlu segera dibebaskan
dengan tindakan-tindakan : suction, inkubasi, trakheostomi.
Oksigenasi yang cukup atau hiperventilasi bila perlu,
merupakan tindakan yang berperan penting sehubungan dengan
edema cerebri.

2) Blood
Mencakup pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan
laboratorium darah (Hb, leukosit). Peningkatan tekanan darah
dan denyut nadi yang menurun mencirikan adanya suatu
peninggian tekanan intracranial, sebaliknya tekanan darah yang
menurun dan makin cepatnya denyut nadi menandakan adanya
syok hipovolemik akibat perdarahan dan memerlukan tindakan
transfusi.

3) Brain
Penilaian keadaan otak ditekankan terhadap respon-respon
mata, motorik dan verbal (GCS). Perubahan respon ini
merupakan implikasi perbaikan/perburukan kiranya perlu
pemeriksaan lebih mendalam mengenai keadaan pupil (ukuran,
bentuk dan reaksi terhadap cahaya) serta gerakan-gerakan bola
mata.

4) Bladder
Kandung kemih perlu selalu dikosongkan (pemasangan kateter)
mengingat bahwa kandung kemih yang penuh merupakan suatu
rangsangan untuk mengedan sehingga tekanan intracranial
cenderung lebih meningkat.

5) Bowel
Produksi urine perlu dipantau selama pasien dirawat. Bila
produksi
urine tertampung di vesika urinaria maka dapat meningkatkan
tekanan intra cranial (TIK).

6) Bone
Mencegah terjadinya dekubitus, kontraktur sendi dan sekunder
infeksi

5. Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat penyakit klien yang diderita pada masa- masa dahulu


meliputi penyakit yang berhubungan dengan sistem pernapasan
seperti infeksi saluran pernapasan atas, sakit tenggorokan, sinusitis,
amandel, dan polip hidung.

6. Riwayat penyakit keluarga

Pada klien dengan asma juga dikaji adanya riwayat penyakit yang
sama pada anggota keluarga klien.

7. Pengkajian psiko-sosio-kultural

Kecemasan dan koping tidak efektif, status ekonomi yang berdampak


pada asuhan kesehatan dan perubahan mekanisme peran dalam
keluarga serta faktor gangguan emosional yang bisa menjadi pencetus
terjadinya serangan asma.

8. Pola Resepsi dan tata laksana hidup sehat

Gejala asma dapat membatasi klien dalam berperilaku hidup normal


sehingga klien dengan asma harus mengubah gaya hidupnya agar
serangan asma tidak muncul.

9. Pola hubungan dan peran

Gejala asma dapat membatasi klien untuk menjalani kehidupannya


secara normal sehingga klien harus menyesuaikan kondisinya dengan
hubungan dan peran klien.
10. Pola persepsi dan konsep diri

Persepsi yang salah dapat menghambat respons kooperatif pada diri


klien sehingga dapat meningkatkan kemungkinan serangan asma
yang berulang.

11. Pola Penanggulangan dan Stress

Stress dan ketegangan emosional merupakan faktor instrinsik


pencetus serangan asma sehingga diperlukan pengkajian penyebab
dari asma.

12. Pola Sensorik dan Kognitif

Kelainan pada pola persepsi dan kognitif akan mempengaruhi konsep


diri klien yang akan mempengaruhi jumlah stressor sehingga
kemungkinan serangan asma berulang pun akan semakin tinggi.

13. Pola Tata Nilai dan Kepercayaan


Kedekatan klien dengan apa yang diyakini di dunia ini dipercaya
dapat meningkatkan kekuatan jiwa klien sehingga dapat menjadi
penanggulangan stress yang konstruktif.

14. Pemeriksaan fisik head to toe

a. Kepala

Kelainan atau luka kulit kepala dan bola mata, telinga bagian
luar dan membrana timpani, cedera jaringan lunak periorbital

b. Leher

Adanya luka tembus leher, vena leher yang mengembang

c. Neurologis

Penilaian fungsi otak dengan Glasgow Coma Score (GCS)

d. Dada

Pemeriksaan klavikula dan semua tulang iga, suara nafas dan


jantung, pemantauan EKG

e. Abdomen

Kaji adanya luka tembus abdomen, pasang NGT dengan trauma


tumpul abdomen

f. Pelvis dan ekstremitas

Kaji adanya fraktur, denyut nadi perifer pada daerah trauma,


memar dan cedera yang lain

g. Aktivitas/istirahat

Gejala : Merasa lelah, lemah, kaku, hilang keseimbangan.

Tanda : Perubahan kesadaran, letargi, hemiparese,


puandreplegia, ataksia, cara berjalan tidak tegang.

h. Sirkulasi

Gejala : Perubahan tekanan darah (hipertensi) bradikardi,


takikardi.

i. Integritas Ego

Gejala : Perubahan tingkah laku dan kepribadian.

Tanda : Cemas, mudah tersinggung, angitasi, bingung, depresi


dan impulsif.

j. Makanan/cairan

Gejala : Mual, muntah dan mengalami perubahan selera.

Tanda : muntah, gangguan menelan.

k. Eliminasi

Gejala : Inkontinensia, kandung kemih atau usus atau


mengalami gangguan fungsi.

l. Neurosensori

Gejala : Kehilangan kesadaran sementara, amnesia, vertigo,


sinkope, kehilangan pendengaran, gangguan pengecapan dan
penciuman, perubahan penglihatan seperti ketajaman.

Tanda : Perubahan kesadaran bisa sampai koma, perubahan


status mental, konsentrasi, pengaruh emosi atau tingkah laku dan
memoris.

m. Nyeri/kenyamanan

Gejala : Sakit kepala.

Tanda : Wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan


nyeri yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.

n. Pernafasan

Tanda : Perubahan pola pernafasan (apnoe yang diselingi oleh


hiperventilasi nafas berbunyi)

o. Keamanan
Gejala : Trauma baru/trauma karena kecelakaan.

Tanda : Fraktur/dislokasi, gangguan penglihatan, gangguan


rentang gerak, tonus otot hilang, kekuatan secara umum
mengalami paralisis, demam, gangguan dalam regulasi suhu
tubuh.

p. Interaksi sosial

Tanda : Apasia motorik atau sensorik, bicara tanpa arti, bicara


berulang-ulang, disartria.

B. DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosis keperawatan merupakan suatu penilaian klinis mengenai


respons klien terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang
dialaminya baik yang berlangsung aktual maupun potensial. Diagnosis
keperawatan bertujuan untuk mengidentifikasi respons klien individu,
keluarga dan komunitas terhadap situasi yang berkaitan dengan kesehatan
(PPNI,2017). Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan yang dapat
muncul pada pasien asma menurut SDKI yaitu sebagai berikut :

1. Risiko perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan edema


serebral dan peningkatan tekanan intrakranial (D.0017)

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi


trakeobronkial, neurovaskuler, kerusakan medula oblongata
neuromaskuler (D.0005)

3. Risiko ketidakseimbangan elektrolit berhubungan dengan


pengeluaran urine dan elektrolit meningkat (D.0037)

4. Deficit nutrisi berhubungan dengan melemahnya otot yang digunakan


untuk mengunyah dan menelan (D.0019)

5. Neri akut berhubungan dengan cedera psikis, alat traksi (D.0077)

6. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan perubahan persepsi


sensori dan kognitif, penurunan kekuatan dan kelemahan (D.0054)
7. Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan
kesadaran, peningkatan tekanan intra kranial (D.0085)

8. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan cedera otak dan


penurunan keseadaran (D.0119)

9. Resiko infeksi berhubungan dengan jaringan trauma, kerusakan kulit


kepala (D.0142)

C. INTERVENSI

Perencanaan keperawatan adalah tahap ketiga dari proses keperawatan


dimana perawat menetapkan tujuan dan hasil yang diharapkan bagi
pasien, ditentukan dan merencanakan intervensi keperawatan
(Dermawan, 2020).

Diagnosa keperawatan 1 pola napas tidak efektif

Tujuan : setelah dilakukan tindakan 2x24 jam masalah dapat teratasi


SLKI : pola napas (L.01004))
a. Penggunaan otot bantu napas

b. Dispnea

c. Pemanjangan fase ekspirasi

d. Frekuensi napas

e. Kedalaman napas

SIKI : pemantauan respirasi (1.01014)

Observasi

a) Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas

b) monitor pola napas

c) auskultasi bunyi napas

d) monitor saturasi oksigen


Terapeutik

a) atur interval pemantauan respirasi sesuai kondisi pasien

Edukasi

a) jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan

Diagnosa keperawatan 2 risiko perfusi serebral tidak efektif

Tujuan : setelah dilakukan tindakan 2x24 jam masalah dapat teratasi


SLKI : perfusi serebral (L.02014)
a) tingkat kesadaran
b) nilai rata-rata tekanan darah

c) kesadaran

d) refleks saraf

e) tekanan darah sistolik

f) tekanan darah diastolik


SIKI : manajemen peningkatan tekanan intrakranial (1.06194)
Observasi

a) monitor tanda/gejala peningkatan TIK

b) monitor stats pernafasan

c) monitor intake dan output cairan Terappeutik

a) berikan posisi semi fowler

b) pertahankan suhu tubuh normal kolaborasi

a) Kolaborasi pemberian diuretik osmosis

D. IMPLEMENTASI

Implementasi adalah pelaksanaan dari intervensi untuk mencapai


tujuan yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah intervensi
disusun dan ditujukan pada nursing orders untuk membantu klien
mencapai tujuan yang diharapkan (Nursalam, 2018).
E. EVALUASI

Menurut Surasmi (2019) Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk


melengkapi proses keperawatan yg menandakan seberapa jauh diagnosa
keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaannya sudah berhasil
dicapai. Mengakhiri rencana tindakan (klien telah mencapai tujuan yg
ditetapkan). Menurut setiadi (2018) dalam buku konsep dan penulisan
asuhan keperawatan tahapan penilaian atau evaluasi adalah perbandingan
yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang
telah ditetapkan, dilakukan dengan cara berkesinambungan dengan
melibatkan klien, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya.

S: Data yang diperoleh dari pasien / keluarga secara langsung O: Data


yang diperoleh perawat dengan mengamati langsung
A: Penilaian yang dilakukan perawat apakah kriteria hasil berhasil
dicapai

P: Rencana tindakan yang akan dilakukan apabila masih terdapat hal


yangyang belum teratasi
DAFTAR PUSTAKA

Batticaca, F. B. 2018. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan Gangguan Sistem


Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.
Brain Injury Association of America. (2019). Types of Brain Injury.
http://www.biausa.org/pages/type of brain injury. html. [Accessed 21 mei
2023].
Rasad Sjahriar. Radiologi Diagnostik. 2rd eds. New Delhi: Jaypee Brothers
Medical Publishers, 2019: 150-4, 604-7.
Tarwoto, Wartonah, Suryati, 2018. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan
Sistem Persyarafan. Jakarta: SagungSeto.
Werner, C., dan K. Engelhard, 2019. Pathophysiology of Traumatic Brain Injury.
British Journal of Anaesthesy 99.
Musliha. 2020. Keperawatan Gawat Darurat. Yogyakarta: Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai