OLEH
Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit,
connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea
aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan
perikranium (Japardi, I., 2002).
2. Tulang Tengkorak
Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian
yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah
yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan
atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada
permukaan dalam ditandai dengan gili-gili dan lekukan supaya dapat sesuai
dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal
sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh
banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah (Pearce,
EC.,2008).
3. Meningeal
Meningeal merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang
belakang. Fungsi meningeal yaitu melindungi struktur saraf halus yang
membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan
memperkecil benturan atau getaran terdiri atas 3 lapisan, yaitu:
a. Durameter (Lapisan sebelah luar)
Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari
jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput
tulang tengkorak dan dura meter propia di bagian dalam. Di dalam
kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Durameter pada tempat
tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak,
rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara
kedua hemisfer otak
b. Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah)
Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan
durameter dengan piameter yang membentuk sebuah kantong atau
balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral.
c. Piameter (Lapisan sebelah dalam)
Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan
jaringan otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui
struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks serebri
membentuk sinus longitudinal inferior dan sinus sagitalis inferior yang
mengeluarkan darah dari flaks serebri. Tentorium memisahkan
cerebrum dengan serebellum (Pearce, EC.,2008).
D. Klasifikasi
Klasifikasi cedera kepala dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Menurut jenis luka atau cedera
a. Cedera kepala terbuka, trauma yang menembus tengkorak dan jaringan
otak
b. Cedera kepala tertutup, dapat disamakan pada pasien dengan gagar otak
ringan dengan edema serebral yang luas
2. Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Gaslow Coma Scale)
a. Cedera kepala ringan (CKR)
GCS 13 15, dapat terjadi kehilangan kesadaran ( pingsan ) kurang dari
30 menit atau mengalami amnesia retrograde. Tidak ada fraktur
tengkorak, tidak ada kontusio cerebral maupun hematoma
b. Cedera kepala sedang: (CKS)
GCS 9 12, kehilangan kesadaran atau amnesia retrograd lebih dari 30
menit tetapi kurang dari 24 jam. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Cedera kepala berat (CKB)
GCS lebih kecil atau sama dengan 8, kehilangan kesadaran dan atau
terjadi amnesia lebih dari 24 jam. Dapat mengalami kontusio cerebral,
laserasi atau hematoma intracranial.
3. Menurut aktif tidaknya kepala
a. Akselerasi
Kepala diam, benda aktif mendekati kepala benda
b. Deselerasi
Kepala aktif mendekati kepala benda
E. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda dari terjadinya cedera kepala ringan adalah: Pingsan tidak lebih
dari 10 menit, tanda-tanda vital dalam batas normal atau menurun, setelah
sadar timbul nyeri, pusing, muntah, GCS 14-15, tidak terdapat kelainan
neurologis. Gejala lain cedera kepala ringan adalah : Pada pernafasan secara
progresif menjadi abnormal, respon pupil mungkin lenyap atau progresif
memburuk, nyeri kepala dapat timbul segera atau bertahap seiring dengan
tekanan intrakranial, dapat timbul muntah-muntah akibat tekanan intrakranial,
perubahan perilaku kognitif dan perubahan fisik pada berbicara serta gerakan
motorik dapat timbul segera atau secara lambat.
F. Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala
sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan
langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasi-
deselarasi gerakan kepala. Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi
peristiwa coup dan contrecoup. Cedera primer yang diakibatkan oleh adanya
benturan pada tulang tengkorak dan daerah sekitarnya disebut lesi coup. Pada
daerah yang berlawanan dengan tempat benturan akan terjadi lesi yang disebut
contrecoup. Akselarasi-deselarasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti
secara mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara
tulang tengkorak (substansi solid) dan otak (substansi semisolid) menyebabkan
tengkorak bergerak lebih cepat dari muatan intrakranialnya. Bergeraknya isi
dalam tengkorak memaksa otak membentur permukaan dalam tengkorak pada
tempat yang berlawanan dari benturan (contrecoup). Cedera sekunder
merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul
sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema
otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan
intrakranial dan perubahan neurokimiawi.
G. Komplikasi
1. Herniasi otak : akibat dari edema dan peningkatan TIK
2. Hidrosefalus : akibat peningkatan akumulasi cairan serebrospinal
3. Infeksi : terjadi pada cedera kepala terbuka
4. SIADH : terjadi bila lesi mengenai hipotalamus
SIADH (Syndrome of Inappropriate Anti Diuretic Hormone secretion) dapat
didefinisikan sebagai gangguan produksi hormon antidiuretik ini
menyebabkan retensi garam atau hiponatremia
H. Pemeriksaan Penunjang
a. CT-Scan : untuk mengidentifikasi adanya SOL hemografi,
menentukan ukuran ventrikuler, pergeseran jaringan.
b. Angiografiserebral : menunjukan kelainan sirkulasi serebral seperti
kelainan pergeseran jaringan otak akibat edema, perdarahan trauma.
c. EEG : untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya
petologis.
d. Sinar X : mendeteksi adanya perubahan struktur tulang ( fraktur)
e. BAER ( Brain Auditori Evoker Respon ) : menentukan fungsi
korteks dan batang otak.
f. PET ( Position Emission Yomography ) menunjukan perubahan
aktivitas metabolisme pada otak.
g. Fungsi Lumbal CSS : dapat menduga adanya perubahan sub
araknoid.
h. Kimia atau elektrolit darah : mengetahui ketidakseimbangan yang
berperan dalam peningkatan TIK atau perubahan status mental.
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan klien cedera kepala ditentukan atas dasar beratnya cedera dan
dilakukan menurut prioritas, yang ideal penatalaksanaan tersebut dilakukan
oleh tim yang terdiri dari perawat yang terlatih dan dokter spesialis saraf dan
bedah saraf, radiologi, anastesi, dan rehabilitasi medik. Klien dengan cedera
kepala harus dipantau terus dari tempat kecelakaan, selama transportasi : di
ruang gawat darurat, unit radiology, ruang perawatan dan unit ICU sebab
sewaktu-waktu dapat berubah akibat aspirasi, hipotensi, kejang dan
sebagainya. Menurut prioritas tindakan pada cedera kepala ditentukan
berdasarkan beratnya cedera yang didasarkan atas kesadaran pada saat
diperiksa.
1. Klien dalam keadaan sadar ( GCS : 15 )
a. Cedera kepala simpleks ( simple head injury )
Klien mengalami cedera kepala tanpa diikuti dengan gangguan
kesadaran, amnesia maupun gangguan kesadaran lainya. Pada klien
demikian dilakukan perawatan luka, periksa radiologi hanya atas
indikasi, kepada kelurga diminta untuk mengobservasi kesadaran.
b. Kesadaran terganggu sesaat
Klien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah cedera kepala dan
saat diperiksa sudah sadar kembali, maka dilakukan pemeriksaan foto
kepala dan penatalaksanaan selanjutnya seperti cedera kepala simpleks.
2. Klien dengan kesadaran menurun
Cedera kepala ringan atau minor head injury (GCS : 14-15). Kesadaran
disorientasi atau not abay comand tanpa disertai defisit fokal serebral.
Setelah pemeriksaan fisik dilakukan perawatan luka, dilakukan foto kepala,
CT Scan Kepala dilakukan jika dicurigai adanya hematoma intrakranial,
misalnya ada interval lusid, pada follow up kesadaran semakin menurun
atau timbul lateralisasi, observasi kesadaran, pupil, gejala fokal serebral
disamping tanda-tanda vital. Klien cedera kepala biasanya disertai dengan
cedera multipel fraktur, oleh karena itu selain disamping kelainan serebral
juga bisa disertai dengan kelainan sistemik.
Menurut Satyanegara (2010) indikasi rawat inap pada penderita dengan cedera
kepala ringan adalah:
1. Amnesia antegrade/pascatraumatik
2. Adanya keluhan nyeri kepala mulai dari derajat yang moderat sampai berat
3. Adanya riwayat penurunan kesadaran/pingsan
4. Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
5. Adanya fraktur tulang tengkorak
6. Adanya kebocoran likuor serebro-spinalis (ototore/rinorre)
7. Cedera berat bagian tubuh lain
8. Indikasi sosial (tidak ada keluarga/ pendamping di rumah)
Indikasi untuk tindakan operatif pada kasus cedera kepala ditentukan oleh
kondisi klinis pasien, temuan neuroradiologi dan patofisiologi dari lesi. Secara
umum digunakan panduan sebagai berikut :
1. Volume masa hematom mencapai lebih dari 40 ml di daerah supratentorial
atau lebih dari 20 cc di daerah infratentorial
2. Kondisi pasien yang semula sadar semakin memburuk secara klinis, serta
gejala dan tanda fokal neurologis semakin berat
3. Terjadi gejala sakit kepala, mual, dan muntah yang semakin hebat
4. Pendorongan garis tengah sampai lebih dari 3 mm
5. Terjadi kenaikan tekanan intrakranial lebih dari 25 mmhg.
6. Terjadi penambahan ukuran hematom pada pemeriksaan ulang ct scan
7. Terjadi gejala akan terjadi herniasi otak
8. Terjadi kompresi / obliterasi sisterna basalis
J. Asuhan Keperawatan
1. Fokus Pengkajian
Fokus pengkajian pada cedera kepala ringan, meliputi:
a. Riwayat kesehatan meliputi: keluhan utama, kapan cidera terjadi,
penyebab cidera, riwayat tak sadar, amnesia, riwayat kesehatan yang lalu,
dan riwayat kesehatan keluarga.
b. Pemeriksaan fisik head to toe
c. Keadaan umum (tingkat kesadaran dan kondisi umum klien).
d. Pemeriksaan persistem dan pemeriksaan fungsional
1) Sistem persepsi dan sensori (pemeriksaan panca indera: penglihatan,
pendengaran, penciuman, pengecap, dan perasa).
2) Sistem persarafan (tingkat kesadaran/ nilai GCS, reflek bicara, pupil,
orientasi waktu dan tempat).
3) Sistem pernafasan (nilai frekuensi nafas, kualitas, suara, dan
kepatenan jalan nafas).
4) Sistem kardiovaskuler (nilai TD, nadi dan irama, kualitas, dan
frekuensi).
5) Sistem gastrointestinal (nilai kemampuan menelan, nafsu makan/
minum, peristaltik, eliminasi).
6) Sistem integumen (nilai warna, turgor, tekstur dari kulit, luka/ lesi).
7) Sistem reproduksi.
8) Sistem perkemihan (nilai frekuensi BAK, volume BAB)
9) Pola Makan / cairan.
Gejala: mual, muntah, dan mengalami perubahan selera. Tanda:
muntah kemungkinan muntah proyektil, gangguan menelan (batuk,
air liur keluar,disfagia).
10) Aktifitas / istirahat
Gejala: merasa lemah, letih, kaku, kehilangan keseimbangan. Tanda:
perubahan kesadaran, letargie, hemiparese, kuadreplegia, ataksia,
cara berjalan tak tegap, masalah keseimbangan, kehilangan tonus
otot dan tonus spatik.
11) Sirkulasi
Gejala: normal atau perubahan tekanan darah. Tanda: perubahan
frekuensi jantung (bradikaria, takikardia yang diselingi disritmia).
12) Integritas ego
Gejala: perubahan tingkah laku kepribadian (terang atau dramatis).
Tanda: cemas mudah tersinggung, delirium,agitasi, bingung, depresi
dan impulsive.
13) Eliminasi
Gejala: inkontinensia kandung kemih/usus atau megalami gangguan
fungsi,
14) Neurosensori
Gejala: kehilangan kesadaran, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinnitus, kehilangan pendengaran, Perubahan dalam
penglihatan seperti ketajamannya, diplopia, kehilangan sebagian
lapang pandang, fotopobia.
Tanda: perubahan status mental (oreintasi, kewaspadaan, perhatian
/konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi atau tingkah laku
dan memori). Perubahan pupil (respon terhadap cahaya simetris),
Ketidakmampuan kehilangan pengideraan seperti pengecapan,
penciuman dan pendengaran. Wajah tidak simetris, gengaman lemah
tidak seimbang, reflek tendon dalam tidak ada atau lemah, apaksia,
hemiparese, postur dekortikasi atau deselebrasi, kejang sangat
sensitivitas terhadap sentuhan dan gerakan.
15) Nyeri dan kenyamanan
Gejala: sakit kepala dengan intensitas dengan lokasi yang berbeda
bisaanya sama.
Tanda: wajah menyeringai, respon menarik pada rangsangan nyeri
yang hebat, gelisah, tidak bisa istirahat, merintih.
2. Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b.d agen cidera fisik: post traumatik.
b. Hambatan mobilitas fisik b.d ketidaknyamanan
c. Ketidakefektian pembersihan jalan nafas b.d obstruksi jalan nafas.
d. Defisit perawatan diri total b.d hambatan mobilitas fisik
e. Kerusakan integritas kulit: luka lecet dan luka robek b.d faktor mekanik
Perencanaan
DIAGNOSA TUJUAN & KRITERIA HASIL
RENCANA TINDAKAN
KEPERAWATAN
Nyeri akut b.d agen cidera Tujuan: NIC: Manajemen Nyeri
fisik: post traumatik. Nyeri klien berkurang atau hilang setelah 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif
dilakukan tindakan keperawatan 2x24 2. Observasi adanya petunjuk non verbal mengenai
jam ketidaknyamanan
NOC: 3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk
Kontrol nyeri mengetahui pengalaman nyeri klien.
Kriteria Hasil: 4. Gali bersama klien faktor yang dapat menurunkan dan
1) Mengenali kapan nyeri terjadi memberat nyeri.
2) Menggambarkan faktor penyebab 5. Anjurkan menggunakan teknik non farmakologi dengan
3) Menggunakan tindakan pencegahan teknik distraksi dan relaksasi.
4) Melaporkan perubahan terhadap nyeri 6. Berikan informasi mengenai nyeri yang dirasakan
5) Ekspresi wajah 7. Kolaborasi pemberian analgesik dengan dokter
6) Tanda-tanda vital
Hambatan mobilitas fisik b.d Tujuan: NIC: Exercise Therapy: Join Movement
ketidaknyamanan Klien dapat melakukan mobilisasi dalam 1. Tentukan batasan gerakan
waktu 3 x 24 jam 2. Dorong klien untuk menunjukan gerakan tubuh
NOC: sebelum latihan
Mobility level 3. Bantu pasien untuk mengoptimalkan posisi tubuh
Kriteria Hasil: untuk gerakan pasif atau aktif
1) Klien meningkat dalam aktivitas fisik 4. Lindungi pasien dari trauma selama latihan
2) Mengerti tujuan dari peningkatan 5. Jelaskan pada keluarga/pasien tujuan fungsi
mobilitas. melakukan latihan gerak.
3) Klien terlihat mampu melakukan 6. Kolaborasi dengan fisioterapis dalam mengembangkan
mobilisasi secara bertahap dan menentukan program latihan
4) Mempertahankan koordinasi dan
mobilitas sesuai tingkat optimal
DAFTAR PUSTAKA