Anda di halaman 1dari 29

TRAUMA KEPALA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah II


Dosen Pengajar Ns.Gad Datak,M.Kep.,SP.MB

Disusun oleh :

Nurul Fitria Oktaviani (PO.62.20.1.16.155)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES PALANGKA RAYA


D IV KEPERAWATAN REGULER III
2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatnya sehingga
Laporan Pendahuluan ini dapat tersusun hingga selesai. Dan tidak lupa saya mengucapkan
banyak terima kasih, terutama kepada Bapak Ns.Gad Datak,M.Kep.,SP.MB selaku
pembimbing dalam penulisan Lapran Pendahuluan sederhana ini.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik
secara moral maupun materil dan saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan pada
laporan pendahuluan ini. Oleh sebab itu saya menantikan adanya kritik dan saran yang
membangun dari para pembaca yang budiman demi perbaikan untuk penulisan yang akan
datang.
Dan harapan saya semoga lapotan pendahuluan sederhana ini dapat memberikan
manfaat yang besar bagi para pembaca khususnya mahasiswa.

Palangka Raya, 16 Febuari 2017

Nurul Fitria Oktaviani

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar........................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang................................................................................................... 1
B. Tujuan Penulisan................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN

I. Konsep Dasar Trauma Medulla Spinalis


A. Definisi Trauma Medulla Spinalis.......................................................................... 3
B. Klasisikasi Trauma Medulla Spinalis..................................................................... 4
C. Etiologi Trauma Medulla Spinalis................................................................ 5
D. Patofisiologi Trauma Medulla Spinalis............................................................ 7
E. Pemeriksaan Penunjang Trauma Medulla Spinalis............................................ 10
F. Manifestasi klinis Trauma Medulla Spinalis........................................................ 10
G. Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis.......................................................... 12
H. Komplikasi Trauma Medulla Spinalis................................................... 14
II. Konsep Asuhan Keperawatan Trauma Medulla Spinalis
A. Pengkajian....................................................................................................... 16
B. Diagnosa Keperawatan................................................................................... 18
C. Intervensi Keperawatan.................................................................................. 18
D. Implementasi.................................................................................................. 22
E. Evaluasi.......................................................................................................... 22

DAFTAR PUSAKA..................................................................................................... 24

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Trauma medulla spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologisyang disebabkan
seringkali oleh kecelakaan lalu lintas. Apabila Trauma itu mengenai daerah L1-L2
dan/atau di bawahnya maka dapat mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik
serta kehilangan fungsi defekasi danberkemih.Cedera medula spinalis adalah cedera yang
mengenai servikalis vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai
tulangbelakang.
Cedera medula spinalis adalah masalah kesehatan mayor yang mempengaruhi
150.000 sampai 500.000 orang hampir di setiap negara,dengan perkiraan 10.000 cedera
baru yang terjadi setiap tahunnya. Kejadianini lebih dominan pada pria usia muda sekitar
75% dari seluruh cedera.Setengah dari kasus ini akibat dari kecelakaan kendaraan
bermotor, selain itubanyak akibat jatuh, olahraga dan kejadian industri dan luka tembak.
Vertebra yang paling sering mengalami cedera adalah medula spinalis pada daerah
servikal ke-5, 6, dan 7, torakal ke-12 dan lumbal pertama.Vertebra ini adalah paling
rentan karena ada rentang mobilitas yang lebihbesar dalam kolumna vertebral pada area
ini. Pada usia 45-an fraktur banyakterjadi pada pria di bandingkan pada wanita karena
olahraga, pekerjaan, dankecelakaan bermotor. Tetapi belakangan ini wanita lebih banyak
dibandingkan pria karena faktor osteoporosis yang di asosiasikan dengan
perubahanhormonal (menopause). Klien yang mengalami trauma medulla spinalis
khususnya bone loss pada L2-L3 membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam
pemenuhan kebutuhan hidup dan dalam pemenuhan kebutuhan untuk mobilisasi. Selain
itu klien juga beresiko mengalami komplikasi trauma spinalseperti syok spinal,
trombosis vena profunda, gagal napas, pneumonia dan hiperfleksia autonomic. Maka dari
itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan
keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dengan cara promotif, preventif,
kuratif, dan rehabilitatif sehingga masalahnya dapat teratasi dan klien dapat terhindar
dari masalah yang paling buruk.
Kecelakaan medula spinalis terbesar disebabkan oleh kecelakaan lalulintas, tempat
yang paling sering terkena cidera adalah regio servikalis danpersambungan thorak dan
regio lumbal. Lesi trauma yang berat dari medulaspinalis dapat menimbulkan transaksi
dari medula spinalis atau merobekmedula spinalis dari satu tepi ke tepi yang lain pada
tingkat tertentu disertai hilangnya fungsi. Pada tingkat awal semua cidera akibat medula
spinalis /tulang belakang terjadi periode fleksi paralise dan hilang semua reflek.
Fungsisensori dan autonom juga hilang, medula spinalis juga bisa menyebabkan
gangguan sistem perkemihan, disrefleksi otonom atau hiperefleksi serta fungsiseksual
juga dapat terganggu.
Perawatan awal setelah terjadi cidera kepala medula spinalis ditujukanpada
pengembalian kedudukan tulang dari tempat yang patah atau dislokasi.Langkah-
langkahnya terdiri dari immobilisasi sederhana, traksi skeletal, tindakan bedah untuk
membebaskan kompresi spina. Sangat penting untuk mempertahankan tubuh dengan
tubuh dipertahankan lurus dan kepala rata.Kantong pasir mungkin diperlukan untuk
mempertahankan kedudukan tubuh.
Dalam kasus pra rumah sakit, penanganan pasien dilakukan setelahpengkajian lokasi
kejadian dilakukan. Apabila pengkajian awal lokasi kejadiantidak dilakukan maka akan
membahayakan jiwa paramedik dan orang lain disekitarnya sehingga jumlah korban akan
meningkat. Dalam kasus ini, kematianmuncul akibat tiga hal: mati sesaat setelah
kejadian, kematian akibatperdarahan atau kerusakan organ vital, dan kematian akibat
komplikasi dankegagalan fungsi organ-organ vital.
Kematian mungkin terjadi dalam hitungan detik pada saat kejadian,biasanya akibat
cedera kepala hebat, cedera jantung atau cedera aortik.Kematian akibat hal ini tidak
dapat dicegah. Kematian berikutnya mungkin muncul sekitar sejam atau dua jam sesudah
trauma. Kematian pada fase inibiasanya diakibatkan oleh hematoma subdural atau
epidural, hemo atau pneumothorak, robeknya organ-organ tubuh atau kehilangan darah.
Kematianakibat cedera-cedera tersebut dapat dicegah. Periode ini disebut sebagai
“golden hour” dimana tindakan yang segera dan tepat dapat menyelamatkan nyawa
korban.
Yang ketiga dapat terjadi beberapa hari setelah kejadian dan biasanyadiaklibatkan
oleh sepsis atau kegagalan multi-organ. Tindakan tepat dansegera untuk mengatasi syok
dan hipoksemia selama “golden hour‟ dapat mengurangi resiko kematian ini.Dalam
menangani kasus ini, meskipun dituntut untuk bekerja secaracepat dan tepat, paramedik
harus tetap mengutamakan keselamatan dirinyasebagai prioritas utama sebelum
menyentuh pasien. Pasien ditangani setelah lokasi kejadian sudah benar-benar aman
untuk tindakan pertolongan.
Berdasarkan uraian diatas di harapkan dengan adanya makalah yang berjudul
“Trauma medulla spinalis” dapat bermanfaat bagi para pembaca untuk dapat
meningkatkan mutu asuhan keperawatan.

B. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan Trauma Medulla Spinalis
2. Untuk mengetahui klasifikasi Trauma Medulla Spinalis
3. Untuk mengetahui etiologi Trauma Medulla Spinalis
4. Untuk mengetahui patofisiologi dari Trauma Medulla Spinalis
5. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang bagi klien dengan Trauma Medulla
Spinalis
6. Untuk mengetahui manifestasi klinis pada pasien yang mengalami Trauma Medulla
Spinalis
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan pada klien yang mengalami Trauma Medulla
Spinalis
8. Untuk mengetahui komplikasi pada klien yang mengalami Trauma Medulla Spinalis
9. Untuk mengetahui asuhan keperawatan klien yang mengalami Trauma Medulla
Spinalis

2
BAB II

PEMBAHASAN

I. KONSEP DASAR TRAUMA MEDULLA SPINALIS

A. Pengertian
Trauma medulla spinalis atau Spinal Cord Injury (SCI) didefinisikan sebagai cidera
atau kerusakan pada medulla spinalis yang menyebabkan perubahan fungsional, baik
secara mental maupun permanen, pada fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Trauma
pada medulla spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi
akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari
medulla spinalis dengan quadriplegia (Fransiska B. Batticaca 2008).
Cedera medula spinalis (CMS) atau spinal cord injury (SCI ) ditandai dengan adanya
tetralegia atau paraplegia, parsial atau komplit, dan tingkatan atau level tergantung area
terjadinya lesi atau CMS. Tetraplegia atau quadriplegia adalah kehilangan fungsi sensorik
dan motorik di segmen servikal medulla spinalis. Sedangkan paraplegia adalah gangguan
fungsi sensorik dan motorik di segmen thorakal, lumbal dan sakrum ( Kirshblum &
Benevento, 2009).
Cedera Medula Spinalis adalah cedera yang mengenai Medula Spinalis baik itu
bagian servikalis, torakalis, lumbal maupun sakral akibat dari suatu trauma yang mengenai
tulang belakang. (Arif Muttaqin,2008).
Medula spinalis terdiri atas 31 segmen jaringan saraf dan masing-masing memiliki
sepasang saraf spinal yang keluar dari kanalis vertebralismelalui foramen inverterbra.
Terdapat 8 pasang saraf servikalis, 12 pasang torakalis, 5 pasang lumbalis, 5 pasang
sakralis, dan 1 pasang saraf kogsigis.
Trauma spinal atau cedera pada tulang belakang adalah cedera yang mengenai
servikalis, vertebralis dan lumbalis akibat dari suatu trauma yang mengenai tulang
belakang, seperti jatuh dari ketinggian, kecelakaan lalu lintas,kecelakaan olahraga,
dan sebagainya. Trauma pada tulang belakang dapatmengenai jaringan lunak pada tulang
belakang yaitu ligamen dan diskus,tulang belakang sendiri dan susmsum tulang belakang
atau spinal kord..Apabila Trauma itu mengenai daerah servikal pada lengan, badan
dan tungkaimata penderita itu tidak tertolong. Dan apabila saraf frenitus itu terserangmaka
dibutuhkan pernafasan buatan, sebelum alat pernafasan mekanik dapat digunakan. (Muttaqin,
2008).
Trauma Medula Spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasiringan yang
terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebebkan transeksi lengkap dari
medula spinalis dengan quadriplegia(Fransisca B.Batticaca,2008 : 30)
Trauma spinal cord adalah cedera yang mengakibatkan fungsikonduksi saraf
terganggu, reflex dan fungsi motorik berkurang, terjadiperubahan sensasi, dan syok
neurogenik. (Campbell, 2004 ; 130)
Trauma Medulla Spinalis adalah Trauma yang terjadi pada jaringanmedulla spinalis
yang dapat menyebabkan fraktur atau pergeseran satu ataulebih tulang vertebrata atau
kerusakan jaringan medulla spinalis lainnyatermasuk akar-akar saraf yang berada
sepanjang medulla spinalis sehingga mengakibatkan defisit neurologi. ( Lynda
Juall,carpenito,edisi 10 ).
Chairuddin Rasjad (1998) menegaskan bahwa semua trauma tulangbelakang harus
dianggap suatu trauma hebat sehingga sejak awal pertolonganpertama dan transportasi ke
rumah sakit, penderita harus diperlakukan secarahati-hati. Trauma tulang belakang dapat
mengenai jaringan lunak pada tulangbelakang yaitu ligamen dan diskus, tulang belakang
dan sumsum tulangbelakang (medula Spinalis).
Cedera Medula spinalis adalah cedera yang biasanya berupa frakturatau cedera lain
pada tulang vertebra, korda spinalis itu sendiri, yang terletakdidalam kolumna vertebralis,
dapat terpotong, tertarik, terpilin atau tertekan.Kerusakan pada kolumna vertaebralis atau
korda dapat terjadi disetiap tingkatan,kerusakan korda spinalis dapat mengenai seluruh
korda atau hanya separuhnya.

Beberapa yang berhubungan dengan trauma medula spinalis seperti :

a. Quadriplegia adalah keadaan paralisis/kelumpuhan padaekstermitas dan terjadi akibat


sistem syaraf otonom khsusnya syaraf simpatis misalnya adanya gangguan
pernapasan
b. Komplit Quadriplegia adalah gambaran dari hilangnya fungsi modula karena
kerusakan diatas segmen serfikal 6 (C6).
c. Inkomplit Quadriplegia adalah hilangnya fungsi neurologi karenakerusakan dibawah
segmen serfikan 6 (C6).
d. Refpiratorik Quadriplegia (pentaplagia) adalah kerusakan yangterjadi pada serfikal
pada bagian atas (C1-C4) sehingga terjadi gangguan pernapasan.
e. Paraplegia adalah paralisis ekstermitas bagian bawah, terjadiakibat kerusakan pada
segmen parakal 2 (T2) kebawah.

B. Klasifikasi
Berdasarkan sifat kondisi fraktur yang terjadi, Kelly dan Whitesidesmeng kategorikan
cedera spinal menjadi cedera stabil dan cedera non-stabil.Cedera stabil mencakup cedera
kompresi korpus vertebra baik anterior ataulateral dan burst fracture derajat ringan.
Sedangkan cedera yang tidak stabilmencakup cedera fleksi-dislokasi, fleksi-rotasi,
dislokasi-fraktur (slice injury),dan burst fracture hebat.

1. Cedera stabil
Bila kemampuan fragmen tulang tidak memengaruhi kemampuanuntuk bergeser lebih
jauh selain yang terjadi saat cedera. Komponen arkusneural intak serta ligament yang
menghubungkan ruas tulang belakang,terutama ligament longitudinal posterior tidak
robek. Cedera stabil disebabkanoleh tenga fleksi, ekstensi, dan kompresi yang
sederhana terhadap kolumna tulang belakang dan paling sering tampak pada daerah
toraks bawah sertalumbal (fruktur baji badan ruas tulang belakang sering disebabkan
oleh fleksiakut pada tulang belakang).
a. Fleksi
Cedera fleksi akibat fraktura kompresi baji dari vertebratorakolumbal umum
ditemukan dan stabil. Kerusakan neurologik tidak lazim ditemukan. Cedera ini
menimbulkan rasa sakit, dan penatalaksanaannya terdiri atas perawatan di rumah
sakit selama beberapa hari istorahat total di tempat tidur dan observasi terhadap
paralitik ileus sekunder terhadap keterlibatan ganglia simpatik. Jika baji lebih
besar daripada 50 persen, brace atau gipsdalam ekstensi dianjurkan. Jika tidak,
analgetik, korset, danambulasi dini diperlukan. Ketidaknyamanan yang
berkepanjangan tidak lazim ditemukan.
b. Fleksi ke Lateral dan Ekstensi
Cedera ini jarang ditemukan pada daerah torakolumbal. Cedera inistabil, dan
defisit neurologik jarang. Terapi untuk kenyamananpasien (analgetik dan korset)
adalah semua yang dibutuhkan.
c. Kompresi Vertikal
Tenaga aksial mengakibatkan kompresi aksial dari 2 jenis : (1)protrusi diskus ke
dalam lempeng akhir vertebral, (2) frakturaledakan. Yang pertama terjadi pada
pasien muda dengan protrusinukleus melalui lempeng akhir vertebra ke dalam
tulang berporiyang lunak. Ini merupakan fraktura yang stabil, dan defisit
neurologik tidak terjadi. Terapi termasuk analgetik, istirahat ditempat tidur selama
beberapa hari, dan korset untuk beberapaminggu. Meskipun fraktura ”ledakan”
agak stabil, keterlibatan neurologik dapat terjadi karena masuknya fragmen ke
dalamkanalis spinalis. CT-Scan memberikan informasi radiologik yang lebih
berharga pada cedera. Jika tidak ada keterlibatan neurologik,pasien ditangani
dengan istirahat di tempat tidur sampai gejala-gejala akut menghilang. Brace atau
jaket gips untuk menyokongvertebra yang digunakan selama 3 atau 4 bulan
direkomendasikan. Jika ada keterlibatan neurologik, fragmen harusdipindahkan
dari kanalis neuralis. Pendekatan bisa dari anterior,lateral atau posterior.
Stabilisasi dengan batang kawat, plat ataugraft tulang penting untuk mencegah
ketidakstabilan setelah dekompresi.

2. Cedera Tidak Stabil


Fraktur memengaruhi kemampuan untuk bergeser lebih jauh. Hal inidisebabkan oleh adanyan
elemen rotasi terhadap cedera fleksi atau ekstensiyang cukup untuk merobek ligament
longitudinal posterior serta merusakkeutuhan arkus neural, baik akibat fraktur pada fedekel
dan lamina, maupunoleh dislokasi sendi apofiseal.
a. Cedera Rotasi-Fleksi
Kombinasi dari fleksi dan rotasi dapat mengakibatkan frakturadislokasi dengan
vertebra yang sangat tidak stabil. Karena cederaini sangat tidak stabil, pasien harus
ditangani dengan hati-hatiuntuk melindungi medula spinalis dan radiks. Fraktura
dislokasi inipaling sering terjadi pada daerah transisional T10 sampai L1 dan berhubungan
dengan insiden yang tinggi dari gangguan neurologik. Setelah radiografik yang akurat
didapatkan (terutama CT-Scan), dekompresi dengan memindahkan unsur yang
tergeserdan stabilisasi spinal menggunakan berbagai alat metalikdiindikasikan.b.
b. Fraktura ”Potong”
Vertebra dapat tergeser ke arah anteroposterior atau lateral akibattrauma parah.
Pedikel atau prosesus artikularis biasanya patah.Jika cedera terjadi pada daerah toraks,
mengakibatkan paraplegia lengkap. Meskipun fraktura ini sangat tidak stabil pada
daerahlumbal, jarang terjadi gangguan neurologi karena ruang bebas yang luas pada kanalis
neuralis lumbalis. Fraktura ini ditanganiseperti pada cedera fleksi-rotasi.
c. Cedera Fleksi-Rotasi
Change fracture terjadi akibat tenaga distraksi seperti pada cedera sabuk
pengaman. Terjadi pemisahan horizontal, dan fraktura biasanya tidak
stabil. Stabilisasi bedah direkomendasikan.

Klasifikasi trauma Medula Spinalis


Trauma medula spinalis dapat diklasifikasikan :
1. Komosio modula spinalis adalah suatu keadaan dimana fungsimendula spinalis hilang
sementara tanpa disertai gejala sisa atau sembuh secara sempurna. Kerusakan pada
komosio medula spinalis dapat berupa edema, perdarahan verivaskuler kecil-kecil dan
infarkpada sekitar pembuluh darah.
2. Komprensi medula spinalis berhubngan dengan cedera vertebral,akibat dari tekanan
pada edula spinalis.
3. Kontusio adalah kondisi dimana terjadi kerusakan pada vertebrata,ligament dengan
terjadinya perdarahan, edema perubahan neuron danreaksi peradangan.
4. Laserasio medula spinalis merupakan kondisi yang berat karena terjadikerusakan
medula spinalis. Biasanya disebabkan karena dislokasi, lukatembak. Hilangnya fungsi
medula spinalis umumnya bersifat permanen

C. Etiologi
Menurut Arif Muttaqin (2008) penyebab dari cidera medulla spinalis adalah :
1. otomobil, industri
Kecelakaan yang hebat dapat menyebabkan suatu benturan dari organ tubuh salah satu
yang terjadi adalah cidera tulang belakang secara langsung yang mengenai tulang
belakang dan melampui batas kemampuan tulang belakang dalam melindungi saraf –
saraf yang berada didalamnya.
2. Terjatuh, olahraga
Peristiwa jatuh karena suatu kegiatan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi terjadinya cidera salah satunya karena kegiatan olahraga yang berat
contohnya adalah olahraga motor GP , lari, lompat.
3. Luka tusuk, tembak
Luka tusuk pada abdomen atau tulang belakang dapat dikatakan menjadi faktor
terjadinya cidera karena terjadi suatu perlukaan atau insisi luka tusuk atau luka
tembak.
4. Tumor
Tumor merupakan suatu bentuk peradangan. jika terjadi komplikasi pada daerah
tulang belakang spinal. Ini merupakan bentuk cidera tulang belakang.

Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medulla spinalis seperti spondiliosis
servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit dan mengakibatkan cedera
progresif terhadap medulla spinalis dan akar ; mielitis akibat proses inflamasi infeksi
maupun non infeksi ; osteoporosis yang di sebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra ;
siringmielia ; tumor infiltrasi maupun kompresi ; dan penyakit vascular.

D. Patofisiologi
Columna vertebra berfungsi menyokong tulang belakang dan melindungimodula
spinalis serta syaraf-syarafnya. trauma medula spinalis akibat columnavertebra atau
ligment. Umumnya tempat cedara adalah pada segmen C1 -2, C4-6dan T11 – L2. trauma
modula spinalis mengakibatkan perdarahan pada gray mattermedulla, edema pada jam-jam
pertama pasca trauma.
Mekanisme utama terjadi cedera vertebra adalah karena hiperekstensi,hiperfleksi
trauma kompresi vertical dan rotasi, bisa sendiri atau kombinasi. Cederakarena
hiperekstensi paling umum terjadi pada area cerfical dan kerusakan terjadiakibat kekuatan
akselerasi sampai deselerasi. Cedera akibat hiperfleksi terjadiakibat regangan / tarikan
yang berlebihan, kopresi dan perubahan bentuk danmodula spinalis secara tiba-tiba.
Trauma kopresi vertical umumnya terjadi padaarea thorak lumbal dari T12 – L2, terjadi
akibat kekuatan gaya sepanjang aksistubuh dari atas sehingga mengakibatkan kompresi
medula spinalis kerusakan akarsyaraf disertai serpihan vertebrata.
Kerusakan medula spinalis akibat kompersi tulang, herniasi disk, hematoma,edema,
regangan dari jaringan syaraf dan gangguan sirkulasi pada spinal.
Adanya perdarahan akibat trauma dari gray sampai white matter menurunkan perfusivasku
ler dan menurunnya kadar oksigen mengakibatkan iskemia pada daerahcedera. Keadaan
tersebut lebih lanjut mengabatkan edema sel dan jaringan menjadinekrosis. Sirkulasi
dalam white matter akan kembali normal kurang lebih 24 jam.Perubahan kimia dan
metabolisme yang terjadi adalah meningkatnya asam laktatdalam jaringan dan
menurunnya kadar oksigen secara cepat 30 menit setelahtrauma, meningkatnya kosentrasi
norepprinehine. Meningkatnya norepprinehinedisebabkan karena evek iskemia rupture
vaskuler atau nekrosis jaringan syaraf.
Trauma medula spinalis dapat menimbulkan renjatan spinal (spinal shock).Jika terjadi
keruskan secara transfersal sehingga mengakibatkan pemotongankomplit rangsangan.
Pemotongan komplit rangsangan menimbulkan semua fungsirefloktorik pada semua
sgemen dibawah garis kerusakan akan hilang. Fase rejatanini berlangsung beberapa
minggu sampai beberapa bulan (3-6 minggu).

Pathway

E. Pemeriksaan Penunjang
1. Sinar X spinal
Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), unutk kesejajaran,
reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi
2. Skan ct
Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural
3. MRI
Mengidentifikasi adanya kerusakan saraf spinal, edema dan kompresi
4. Mielografi.
Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya
tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis
(biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).
5. Foto ronsen torak
6. Memperlihatkan keadan paru (contoh : perubahan pada diafragma, atelektasis)
7. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vita, volume tidal)
Mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat
bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot
interkostal).
8. GDA
Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi

F. Manifestasi Klinik
Tanda spinal shock (pemotongan komplit ransangan), meliputi: Flaccidparalisis
dibawah batas luka, hilangnya sensasi dibawah batas luka, hilangnyareflek-reflek spinal
dibawah batas luka, hilangnya tonus vaso motor(Hipotensi),Tidak ada keringat dibawah
batas luka, inkontinensia urine danretensi feses berlangsung lama hiperreflek/paralisis
spasticPemotongan sebagian rangsangan: tidak simetrisnya flaccid paralisis,
tidaksimetrisnya hilangnya reflek dibawah batas luka, beberapa sensasi tetap utuhdibawah batas luka,
vasomotor menurun, menurunnya blader atau bowel,berkurangnya keluarnya keringat
satu sisi tubuh.

Tanda dan Gejala Cedera Medula Spinalis


Tanda dan gejala cedera medula spinalis tergantung dari tingkatkerusakan dan lokasi
kerusakan. Dibawah garis kerusakan terjadi misalnyahilangnya gerakan volunter,
hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan danproprioseption, hilangnya fungsi bowel
dan bladder dan hilangnya fungsi spinaldan refleks autonom.
1. Perubahan refleks
Setelah terjadi cedera medula spinalis terjadi edema medula spinalissehingga stimulus
refleks juga terganggu misalnya rfeleks p[adablader, refleks ejakulasi dan aktivitas
viseral.
2. Spasme otot
Gangguan spame otot terutama terjadi pada trauma komplittransversal, dimana pasien
trejadi ketidakmampuan melakukanpergerakan.
3. Spinal shock
Tanda dan gejala spinal shock meliputi flacid paralisis di bawah gariskerusakan,
hilangnya sensasi, hilangnya refleks– refleks spinal,hilangnya tonus vasomotor yang
mengakibatkan tidak stabilnyatekanan darah, tidak adanya keringat di bawah garis
kerusakan daninkontinensia urine dan retensi feses.
4. Autonomik dysrefleksia
Terjadi pada cedera T6 keatas, dimana pasien mengalami gangguanrefleks
autonom seperti terjadinya bradikardia, hipertensi paroksismal,distensi bladder.
5. Gangguan fungsi seksual
Banyak kasus memperlihatkan pada laki– laki adanya impotensi,menurunnya sensai
dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksitetapi tidak dapat ejakulasi.

Menurut menurut ENA (2000 : 426), tanda dan gejala adalah sebagaiberikut:
1. Pernapasan dangkal
2. Penggunaan otot-otot pernapasan
3. Pergerakan dinding dada
4. Hipotensi (biasanya sistole kurang dari 90 mmHg)
5. Bradikardi
6. Kulit teraba hangat dan kering
7. Poikilotermi (Ketidakmampuan mengatur suhu tubuh, yang manasuhu tubuh
bergantung pada suhu lingkungan)
8. Kehilangan sebagian atau keseluruhan kemampuan bergerak
9. Kehilangan sensasi
10. Terjadi paralisis, paraparesis, paraplegia atauquadriparesis/quadriplegia
11. Adanya spasme otot, kekakuan

Menurut menurut Campbell (2004 ; 133)


1. Kelemahan otot
2. Adanya deformitas tulang belakang
3. Adanya nyeri ketika tulang belakang bergerak
4. Terjadinya perubahan bentuk tulang servikal akibat cedera
5. Kehilangan control dalam eliminasi urin dan feses
6. Terjadinya gangguan pada ereksi penis (priapism)

G. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Kedaruratan
pasien segera ditempat kejadian adalah sangat penting, karena penatalaksanaan yang
tidak tepat dapat menyebabkan kerusakan kehilangan fungsi neurologik.Korban
kecelakaan kendaraan bermotor atau kecelakaan berkendara , Trauma olahraga kontak,
jatuh,atau trauma langsung pada kepala dan leher dan leher harus dipertimbangkan
mengalami Trauma medula spinalis sampai bukti Trauma ini disingkirkan.
1. Ditempat kecelakaan, korban harus dimobilisasi pada papan spinal( punggung)
,dengan kepala dan leher dalam posisi netral, untuk mencegah Trauma komplit.
2. Salah satu anggota tim harus menggontrol kepala pasien untuk mencegah fleksi, rotasi
atau ekstensi kepala.
3. Tangan ditempatkan pada kedua sisi dekat telinga untuk mempertahankan traksi dan
kesejajaran sementara papan spinalatau alat imobilisasi servikal dipasang.
4. Paling sedikit empat orangharus mengangkat korban dengan hati- hati keatas papan
untuk memindahkan memindahkan kerumah sakit. Adanya gerakan memuntir dapat
merusak medula spinais ireversibel yang menyebabkan fragmen tulang vertebra
terputus, patah, atau memotong medula komplit.
Sebaiknya pasien dirujuk keTrauma spinal regional atau pusat trauma karena
personel multidisiplin dan pelayanan pendukung dituntut untuk menghadapi
perubahan dekstruktif yang tejadi beberapa jam pertama setelah
Trauma.Memindahkan pasien, selama pengobatan didepartemen kedaruratan dan
radiologi,pasien dipertahankan diatas papan pemindahan . Pemindahan pasien
ketempat tidur menunjukkan masalah perawat yang pasti. Pasien harus dipertahankan
dalam posisi eksternal.Tidak ada bagian tubuh yang terpuntir atau tertekuk, juga tidak
boleh pasien dibiarkan mengambil posisi duduk.
Pasien harus ditempatkan diatas sebuah stryker atau kerangka pembalik lain ketika
merencanakan pemindahan ketempat tidur. Selanjutnya jika sudah terbukti bahwa ini
bukan Trauma medula, pasien dapat dipindahkan ketempat tidur biasa tanpa
bahaya.Sebaliknya kadang- kadang tindakan ini tidak benar.Jika stryker atau kerangka
pembalik lain tidak tersedia pasien harus ditempatkan diatas matras padat dengan
papan tempat tidur dibawahnya.

Penatalaksanaan Medis

1. Terapi dilakukan untuk mempertahankan fungsi neurologis yang masih ada,


memaksimalkan pemulihan neurologis,tindakan atas cedera lain yang
menyertai,mencegah,serta mengobati komplikasi dan kerusakan neural lebih lanjut.
Reabduksi atas subluksasi (dislokasi sebagian pada sendi di salah satu tulang –ed)
untuk mendekompresi koral spiral dan tindakan imobilisasi tulang belakang untuk
melindungi koral spiral.
2. Operasi lebih awal sebagai indikasi dekompresi neural, fiksasi internal atau
debridement luka terbuka
3. Fiksasi internal elektif dilakukan pada klien dengan ketidakstabilan tulang belakang,
cedera ligament tanpa fraktur, deformitas tulang belakang progresif , cedera yang tak
dapat direabduksi,dan fraktur non-union.
4. Terapi steroid,nomidipin, atau dopamine untuk perbaiki aliran darah
koral spiral.Dosis tertinggi metil prednisolon/bolus adalah 30 mg/kgBB diikuti 5,4
mg/kgBB/jam untuk 23 jam berikutnya.Bila diberikan dalam 8 jam sejak cedera
akan memperbaiki pemulihan neurologis. Gangliosida mungkin juga akan
memperbaiki pemulihan setelah cedera koral spiral.
5. Penilaian keadaaan neurologis setiap jam,termasuk pengamatan fungsi
sensorik,motorik, dan penting untuk melacak deficit yang progresif atau asenden.
6. Mempertahankan perfusi jaringan yang adekuat,fungsi ventilasi, dan melacak
keadaan dekompensasi.
7. Pengelolaan cedera stabil tanpa defisit neurologis seperti angulasi atau baji dari
badan ruas tulang belakang,fraktur proses transverses ,spinosus,dan
lainnya.Tindakannya simptomatis (istirahat baring hingga nyeri
berkurang),imobilisasi dengan fisioterapi untuk pemulihan kekuatan otot secara
bertahap.
8. Cedera tak stabil disertai defisit neurologis.Bila terjadi pergeseran ,fraktur
memerlukan reabduksi dan posisi yang sudah baik harus dipertahankan.
a. Metode reabduksi antara lain :
1) Traksi memakai sepit (tang) yang dipasang pada tengkorak.Beban 20 kg
tergantung dari tingkat ruas tulang belakang, mulai sekitar 2,5 kg pada
fraktur C1
2) Manipulasi dengan anestesi umum
3) Reabduksi terbuka melalui operasi
b. Metode imobilisasi antara lain :
1) Ranjang khusus, rangka,atau selubung plester
2) Traksi tengkorak perlu beban sedang untuk mempertahankan cedera yang
sudah direabduksi
3) Plester paris dan splin eksternal lain
4) Operasi

9. Cedera stabil disertai defisit neurologis .Bila fraktur stabil, kerusakan neurologis
disebabkan oleh :
a. Pergeseran yang cukup besar yang terjadi saat cedera menyebabkan trauma
langsung terhadap koral spiral atau kerusakan vascular.
b. Tulang belakang yang sebetulnya sudah rusak akibat penyakit sebelumnya
seperti spondiliosis servikal.
c. Fragmen tulang atau diskus terdorong ke kanal spiral.
10. Pengelolaan kelompok ini tergantung derajat kerusakan neurologis yang tampak
pada saat pertama kali di periksa :
a. Transeksi neurologis lengkap terbaik dirawat konservatif
b. Cedera didaerah servikal ,leher dimobilisasi dengan kolar atau sepit (caliper)
dan diberi metil prednisolon
c. Pemeriksaan penunjang MRI
d. Cedera nurologis tak lengkap konservatif
e. Bila terdapat atau didasari kerusakan adanya spondiliosis servikal, traksi
tengkorak, dan metil prednisolon
f. Bedah bila spondiliosis sudah ada sebelumnya
g. Bila tak ada perbaikan atau ada perbaikan tetapi keadaan memburuk maka
lakukan mielografi
h. Cedera tulang tak stabil
i. Bila lesinya total, dilakukan reabduksi yang diikuti imobilisasi. Melindungi
dengan imobilisasi seperti penambahn perawatan paraplegia
j. Bila defisit neurologis tak lengkap, dilakukan reabduksi ,diikuti imobilisasi
untuk sesuai jenis cederanya
k. Bila diperlukan operasi dekompresi kanal spiral dilakukan pada saat yang sama
l. Cedera yang menyertai dan komplikasi :
1) Cedera mayor berupa cedera kepala atau otak,toraks,berhubungan dengan
ominal, dan vascular
2) Cedera berat yang dapat menyebabkan kematian,aspirasi,dan syok

I. Komplikasi
1. Neurogenik shock
Syok Neurogenik adalah kondisi medis yang ditandai dengan ketidakcukupan aliran
darah ke tubuh yang disebabkan karena gangguan sistem saraf yang mengendalikan
konstriksi dari pembuluh-pembuluh darah. Gangguan ini menyebabkan kehilangan
sinyal saraf tiba-tiba, yang menyebabkan terjadinya relaksasi dan pelebaran pembuluh-
pembuluh darah
2. Hipoksia.
Hipoksia merupakan kondisi di mana berkurangnya suplai oksigen ke jaringan di
bawah level normal yang tentunya tidak dapat memenuhi kebutuhan tubuh.
3. Hipoventilasi
Hipoventilasi adalah kurangnya ventilasi dibandingkan dengan kebutuhan metabolik,
sehingga terjadi peningkatan PCO2 dan asidosis respiratorik
4. Instabilitas spinal
Instabilitas spinal adalah hilangnya kemampuan jaringan lunak pada spinal (contoh :
ligamen, otot dan diskus) untuk mempertahankan kontrolintersegmental saat terjadinya
beban atau stress fisiologis.
5. Orthostatic Hipotensi
Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darah yang terjadi tiba-tiba saat
berubah posisi dari telentang ke posisi duduk atau tegak. Hal ini lebih sering pada
pasien yang mengambil obat antihipertensi. Gejala seperti lemah tiba-tiba, pusing,
terasa pingsan dan pingsan dapat terjadi.
6. Ileus Paralitik
Ileus paralitik adalah keadaan abdomen akut berupa kembung distensi usus karena
usus tidak dapat bergerak (mengalami dismolititas).
7. Infeksi saluran kemih
Infeksi Saluran Kemih adalah infeksi bakteri yang mengenai bagian dari saluran
kemih. Ketika mengenai saluran kemih bawah dinamai sistitis (infeksi kandung kemih)
sederhana, dan ketika mengenai saluran kemih atas dinamai pielonefritis (infeksi
ginjal).
8. Kontraktur
Kontraktur adalah hilangnya atau kurang penuhnya lingkup gerak sendi secara pasif
maupun aktif karena keterbatasan sendi, fibrosis jaringan penyokong, otot dan kulit.
9. Dekubitus
Dekubitus adalah kerusakan/kematian kulit sampai jaringan dibawah kulit, bahkan
menembus otot sampai mengenai tulang akibat adanya penekanan pada suatu area
secara terus menerus sehingga mengakibatkan gangguan sirkulasi darah setempat.
Dekubitus atau luka tekan adalah kerusakan jaringan yang terlokalisir yang disebabkan
karena adanya kompresi jaringan yang lunak diatas tulang yang menonjol (bony
prominence) dan adanya tekanan dari luar dalam jangka waktu yang lama.
10. Inkontinensia blader
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih yang tidak
terkendali atau terjadi di luar keinginan. (Brunner&Suddarth, 2002).
11. Konstipasi (Fransisca B. Batticaca 2008)
Konstipasi adalah kondisi tidak bisa buang air besar secara teratur atau tidak bisa sama
sekali. Jika mengalaminya, Anda biasanya akan mengalami gejala-gejala tertentu.
Misalnya tinja Anda menjadi keras dan padat dengan ukuran sangat besar atau sangat
kecil.
II. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS
A. Pengkajian
Pengumpulan data
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register,
diagnose medis.
2. Keluhan utama
Cedera medulla spinalis mempunyai keluhan atau gejala utama yang berbeda-beda
tergantung letak lesi dan luas lesi. Keluhan utama yang timbul seperti nyeri, rasa
bebal, kekakuan pada leher atau punggun dan kelemahan pada ekstremitas atas
maupun bawah.
3. Riwayat penyakit sekarang
Pengkajian ini sangat penting dalam menentukan derajat kerusakan dan adanya
kehilangan fungsi neurologic. Medulla spinalis dapat mengalami cedera melalui
beberapa mekanisme, cedera primer meliputi satu atau lebih proses verikut dan gaya :
kompresi akut, benturan, destruksi, laserasi dan trauma tembak.
4. Riwayat penyakit dahulu
Klien dengan cedera medulla spinalis bias disebabkan oleh beberapa penyakit seperti
Reumatoid Artritis, pseudohipoparatiroid, Spondilitis, Ankilosis, Osteoporosis maupun
Tumor ganas.
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Perlu ditanyakan riwayat penyakit keluarga yang dapat memperberat cedera medulla
spinlis.
6. Riwayat Psiko-Sosio-Spiiritual
Pengkajian meliputi : Bagaimana emosi klien ? Apakah klien memiliki kebiasaan
meminum minuman keras dan suka mabuk? Bagaimana keyakinan klien terhadap sakit
yang dialaminya? Apakah ada penyangkalan tentang penyakitnya ? Bagaimana emosi
klien : sedih, marah, takut, cemas, gelisah, menarik diri maupun tidak percaya diri?
Pemeriksaan fisik:

Pemeriksaan fisik mengacu pada pengkajian B1-B6 dengan pengkajian focus ditujukan
pada gejala-gejala yang muncul akibat cedera medulla spinalis.

Keadaan umum : (Arif muttaqin 2008) Pada keadaan cidera tulang belakang umumnya
tidak mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan pada tanda-tanda vital, meliputi
bradikardi dan hipotensi.

1. B1 (BREATHING)
Perubahan pada sistem pernapasan bergantung pada gradasi blok saraf parasimpatis
klien mengalami kelumpuhan otot otot pernapasan dan perubahan karena adanya
kerusakan jalur simpatetik desending akibat trauma pada tulang belakang sehingga
mengalami terputus jaringan saraf di medula spinalis, pemeriksaan fisik dari sistem ini
akan didapatkan hasil sebagai berikut inspeksi umum didapatkan klien batuk
peningkatan produksi sputum, sesak napas.dst
2. B2 (BLOOD)
Pengkajian pada sistem kardiovaskuler didapatkan rejatan syok hipovolemik yang
sering terjadi pada klien cedera tulang belakang. Dari hasil pemeriksaan didapatkan
tekanan darah menurun nadi bradikardi dan jantung berdebar-debar. Pada keadaan
lainnya dapat meningkatkan hormon antidiuretik yang berdampak pada kompensasi
tubuh.
3. B3 (BRAIN)
Pengkajian ini meliputi tingkat kesadaran, pengkajian fungsi serebral dan pengkajian
saraf kranial. Pengkajian tingkat kesadaran : tingkat keterjagaan klien dan respon
terhadap lingkungan adalah indikator paling sensitif untuk disfungsi sistem
persyarafan. Pengkajian fungsi serebral : status mental observasi penampilan, tingkah
laku nilai gaya bicara dan aktivitas motorik klien Pengkajian sistem motorik : inspeksi
umum didapatkan kelumpuhan pada ekstermitas bawah, baik bersifat paralis,
paraplegia, maupun quadriplegia Pengkajian sistem sensori : ganguan sensibilitas pada
klien cedera medula spinalis sesuai dengan segmen yang mengalami gangguan.
4. B4 (BLADDER)
Kaji keadaan urine meliputi warna ,jumlah,dan karakteristik urine, termasuk berat jenis
urine. Penurunan jumlah urine dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat
menurunnya perfusi pada ginjal. Bila terjadi lesi pada kauida ekuina kandung kemih
dikontrol oleh pusat (S2-S4) atau dibawah pusat spinal kandung kemih akan
menyebabkan interupsi hubungan antara kandung kemih dan pusat spinal.
5. B5 (BOWEL)
Pada keadaan syok spinal, neuropraksia sering didapatkan adanya ileus paralitik,
dimana klinis didapatkan hilangnya bising usus, kembung,dan defekasi, tidak ada. Hal
ini merupakan gejala awal dari tahap syok spinal yang akan berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu.
6. B6 (BONE)
Paralisis motorik dan paralisis organ internal bergantung pada ketinggian lesi saraf
yang terkena trauma. Gejala gangguan motorik sesuai dengan distribusi segmental dari
saraf yang terkena.disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan
dan kelumpuhan.pada saluran ekstermitas bawah. Kaji warna kulit, suhu, kelembapan,
dan turgor kulit dst.

B. Diagnosa Keperawatan
1. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan /paralisis
otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik dan
sesorik.
3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan penurunan
immobilitas, penurunan sensorik.
4. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih secara
spontan.
5. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan
autonomik.
6. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, Trauma psikis dan
alat traksi
(Diane C. Boughman, 2008 : 90)
C. Intervensi Keperawatan
Rencana keperawatan dari diagnosa keperawatan diatas adalah :
1. Ketidak efektifan pola pernapasan yang berhubungan dengan kelemahan
/paralisis otot-otot abdomen dan intertiostal dan ketidakmampuan untuk
membersihkan sekresi.
Tujuan : Meningkatkan pernapasan yang adekuat
Kriteria hasil : Batuk efektif, pasien mampu mengeluarkan seket, bunyi napas normal,
jalan napas bersih, respirasi normal, irama dan jumlah pernapasan, pasien, mampu
melakukan reposisi, nilai AGD : PaO2 > 80 mmHg, PaCO2 = 35-45 mmHg, PH =
7,35 – 7,45.

Intervensi
1) Kaji kemampuan batuk dan reproduksi sekret
R/ Hilangnya kemampuan motorik otot intercosta dan abdomen berpengaruh
terhadap kemampuan batuk.
2) Pertahankan jalan nafas (hindari fleksi leher, brsihkan sekret)
R/ Menutup jalan nafas.
3) Monitor warna, jumlah dan konsistensi sekret, lakukan kultur
R/ Hilangnya refleks batuk beresiko menimbulkan pnemonia.
4) Lakukan suction bila perlu
R/ Pengambilan secret dan menghindari aspirasi.
5) Auskultasi bunyi napas
R/ Mendeteksi adanya sekret dalam paru-paru.
6) Lakukan latihan nafas
R/ mengembangkan alveolu dan menurunkan prosuksi sekret.
7) Berikan minum hangat jika tidak kontraindikasi
R/ Mengencerkan sekret
8) Berikan oksigen dan monitor analisa gas darah
R/ Meninghkatkan suplai oksigen dan mengetahui kadar olsogen dalam darah.
9) Monitor tanda vital setiap 2 jam dan status neurologi
R/ Mendeteksi adanya infeksi dan status respirasi.
2. Kerusakan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kerusakan fungsi motorik
dan sesorik.
Tujuan : Memperbaiki mobilitas
Kriteria Hasil : Mempertahankan posisi fungsi dibuktikan oleh tak adanya kontraktur,
footdrop, meningkatkan kekuatan bagian tubuh yang sakit /kompensasi,
mendemonstrasikan teknik /perilaku yang memungkinkan melakukan kembali
aktifitas.

Intervensi
1) Kaji fungsi-fungsi sensori dan motorik pasien setiap 4 jam.
R/ Menetapkan kemampuan dan keterbatasan pasien setiap 4 jam.
2) Ganti posisi pasien setiap 2 jam dengan memperhatikan kestabilan tubuh dan
kenyamanan pasien.
R/ Mencegah terjadinya dekubitus.
3) Beri papan penahan pada kaki
R/ Mencegah terjadinya foodrop
4) Gunakan otot orthopedhi, edar, handsplit
R/ Mencegah terjadinya kontraktur.
5) Lakukan ROM Pasif setelah 48-72 setelah Trauma 4-5 kali /hari
R/ Meningkatkan stimulasi dan mencehag kontraktur.
6) Monitor adanya nyeri dan kelelahan pada pasien.
R/ Menunjukan adanya aktifitas yang berlebihan.
7) Konsultasikan kepada fisiotrepi untuk latihan dan penggunaan otot seperti splints
R/ Memberikan pancingan yang sesuai.

3. Resiko terhadap kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan


penurunan immobilitas, penurunan sensorik.
Tujuan : Mempertahankan Intergritas kulit
Kriteria Hasil : Keadaan kulit pasien utuh, bebas dari kemerahan, bebas dari infeksi
pada lokasi yang tertekan.

Intervensi
1) Kaji faktor resiko terjadinya gangguan integritas kulit
R/ Salah satunya yaitu immobilisasi, hilangnya sensasi, Inkontinensia bladder
/bowel.
2) Kaji keadaan pasien setiap 8 jam
R/ Mencegah lebih dini terjadinya dekubitus.
3) Gunakan tempat tidur khusus (dengan busa)
R/ Mengurangi tekanan 1 tekanan sehingga mengurangi resiko dekubitas
4) Ganti posisi setiap 2 jam dengan sikap anatomis
R/ Daerah yang tertekan akan menimbulkan hipoksia, perubahan posisi
meningkatkan sirkulasi darah.
5) Pertahankan kebersihan dan kekeringan tempat tidur dan tubuh pasien.
R/ Lingkungan yang lembab dan kotor mempermudah terjadinya kerusakan kulit
6) Lakukan pemijatan khusus / lembut diatas daerah tulang yang menonjol setiap 2
jam dengan gerakan memutar.
R/ Meningkatkan sirkulasi darah
7) Kaji status nutrisi pasien dan berikan makanan dengan tinggi protein
R/ Mempertahankan integritas kulit dan proses penyembuhan
8) Lakukan perawatan kulit pada daerah yang lecet / rusak setiap hari
R/ Mempercepat proses penyembuhan

4. Retensi urine yang berhubungan dengan ketidakmampuan untuk berkemih


secara spontan.
Tujuan : Peningkatan eliminasi urine
Kriteria Hasil : Pasien dpat mempertahankan pengosongan blodder tanpa residu dan
distensi, keadaan urine jernih, kultur urine negatif, intake dan output cairan seimbang
1) Kaji tanda-tanda infeksi saluran kemih
R/ Efek dari tidak efektifnya bladder adalah adanya infeksi saluran kemih
2) Kaji intake dan output cairan
R/ Mengetahui adekuatnya gunsi gnjal dan efektifnya blodder.
3) Lakukan pemasangan kateter sesuai program
R/ Efek trauma medulla spinalis adlah adanya gangguan refleks berkemih sehingga
perlu bantuan dalam pengeluaran urine
4) Anjurkan pasien untuk minum 2-3 liter setiap hari
R/ Mencegah urine lebih pekat
5) Cek bladder pasien setiap 2 jam
R/ Mengetahui adanya residu sebagai akibat autonomic hyperrefleksia
6) Lakukan pemeriksaan urinalisa, kultur dan sensitibilitas
R/ Mengetahui adanya infeksi
7) Monitor temperatur tubuh setiap 8 jam
R/ Temperatur yang meningkat indikasi adanya infeksi.

5. Konstipasi berhubungan dengan adanya atoni usus sebagai akibat gangguan


autonomik.
Tujuan : Memperbaiki fungsi usus
Kriteria hasil : Pasien bebas konstipasi, keadaan feses yang lembek, berbentuk.
1) kaji pola eliminasi bowel
R/ Menentukan adanya perubahan eliminasi
2) Berikan diet tinggi serat
R/ Serat meningkatkan konsistensi feses
3) Berikan minum 1800 – 2000 ml/hari jika tidak ada kontraindikasi
R/ Mencegah konstipasi
4) Auskultasi bising usus, kaji adanya distensi abdomen
R/ Bising usus menentukan pergerakan perstaltik
5) Hindari penggunaan laktasif oral
R/ Kebiasaan menggunakan laktasif akan tejadi ketergantungan
6) Lakukan mobilisasi jika memungkinkan
R/ Meningkatkan pergerakan peritaltik
7) Berikan suppositoria sesuai program
R/ Pelunak feses sehingga memudahkan eliminasi
8) Evaluasi dan catat adanya perdarah pada saat eliminasi
R/ Kemungkinan perdarahan akibat iritasi penggunaan suppositoria

6. Nyeri yang berhubungan dengan pengobatan immobilitas lama, Trauma psikis


dan alat traksi
Tujuan : Memberikan rasa nyaman
Kriteria hasil : Melaporkan penurunan rasa nyeri /ketidak nyaman,
mengidentifikasikan cara-cara untuk mengatasi nyeri, mendemonstrasikan penggunaan
keterampilan relaksasi dan aktifitas hiburan sesuai kebutuhan individu.

Intervensi
1) Kaji terhadap adanya nyeri, bantu pasien mengidentifikasi dan menghitung nyeri,
misalnya lokasi, tipe nyeri, intensitas pada skala 0 – 1-
R/ Pasien biasanya melaporkan nyeri diatas tingkat Trauma misalnya dada /
punggung atau kemungkinan sakit kepala dari alat stabilizer
2) Berikan tindakan kenyamanan, misalnya, perubahan posisi, masase, kompres
hangat / dingin sesuai indikasi.
R/ Tindakan alternatif mengontrol nyeri digunakan untuk keuntungan emosionlan,
selain menurunkan kebutuhan otot nyeri / efek tak diinginkan pada fungsi
pernafasan.
3) Dorong penggunaan teknik relaksasi, misalnya, pedoman imajinasi visualisasi,
latihan nafas dalam.
R/ Memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol, dan dapat
meningkatkan kemampuan koping
4) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi, relaksasi otot, misalnya dontren
(dantrium); analgetik; antiansietis.misalnya diazepam (valium)
R/ Dibutuhkan untuk menghilangkan spasme /nyeri otot atau untuk
menghilangkan-ansietas dan meningkatkan istrirahat.

D. Implementasi
Implementasi disesuaikan dengan intervensi.

E. Evaluasi
1. Klien dapat meningkatkan pernafasan yang adekuat
2. Klien dapat memperbaiki mobilitas
3. Klien dapat mempertahankan integritas kulit
4. Klien mengalami peningkatan eliminasi urine
5. Klien mengalami perbaikan usus / tidak mengalami konstipasi
6. Klien menyatakan rasa nyaman
DAFTAR PUSTAKA

https://www.scribd.com/doc/29588443/Laporan-Pendahuluan-ASUHAN-KEPERAWATAN-
KLIEN-dengan-Cedera-Medulla-Spinalis

http://www.academia.edu/8493928/MAKALAH_trauma_medula_spinalis_baruu

http://www.academia.edu/11908531/ASUHAN_KEPERAWATAN_PASIEN_DENGAN_CE
DERA_MEDULA_SPINALIS_Sistem_Neurobehaviour

https://maike470.wordpress.com/asuhan-keperawatan-pada-klien-cedera-spinalis/

http://www.riyawan.com/2014/06/makalah-medulla-spinalis.html

https://plus.google.com/111876121943239617552/posts/STBBsuqoAm2

Anda mungkin juga menyukai