Anda di halaman 1dari 22

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA AN “M” DENGAN GANGGUAN SISTEM


MUSKULUS SKELETAL PADA KASUS FRAKTUR DIRUANG IRNA IA RUMAH
SAKIT UMUM DAERAH KOTA MATARAM

OLEH:
ANI ANDRIANI
005 STYJ 20

YAYASAN RUMAH SAKIT ISLAM NUSA TENGGARA BARAT


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN YARSI MATARAM
PROGRAM STUDI NERS JENJANG PROFESI
MATARAM
2020/2021
Laporan pendahuluan

1.1 Konsep Dasar Fraktur


A. Definisi Fraktur
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh. Kebanyakan
fraktur disebabkan oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang,
baik berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung (Sjamsuhidajat & Jong,
2014).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertai
dengan luka sekitar jaringan lunak, kerusakan otot, rupture tendon, kerusakan
pembuluh darah, dan luka organ-organ tubuh dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya,
terjadinya fraktur jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang besar dari yang
dapat diabsorbsinya (Smeltzer, 2014).

Fraktur adalah patahnya kontinuitas tulang yang terjadi ketika tulang tidak
mampu lagi menahan tekanan yang diberikan kepadanya. (Doenges, 2013:625).

B. Etiologi
1) Kekerasan langsung
Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya kekerasan.
Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis melintang atau
miring.
2) Kekerasan tidak langsung
Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vector kekerasan.
3) Kekerasan akibat tarikan otot
Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekunan, dan penekanan, kombinasi dari ketiganya dan
penarikan ( Rosyidi, 2013: 35).
Fraktur terjadi karena kelebihan beban mekanis pada suatu tulang, saat
tekanan yang diberikan pada tulang terlalu banyak dibandingkan yang mampu
ditanggungnya. Jumlah gaya pasti yang diperlukan untuk menimbulkan suatu
fraktur dapat bervariasi, Sebagian bergantung pada karakteristik tulang itu
sendiri. Seorang klien dengan gangguan metabolic tulang seperti osteoporosis
dapat mengalami fraktur dari trauma minor karena kerapuhan tulang akibat
gangguan yang telah ada sebelumnya.
Fraktur dapat terjadi karena gaya secara langsung seperti saat sebuah
benda bergerak menghantam suatu area tubuh diatas tulang. Gaya yang terjadi
secara tidak langsung seperti Ketika suatu kontraksi kuat dari otot menekan
tulang. Selain itu tekanan dan kelelahan dapat menyebabkan fraktur karena
penurnan kemampuan tulang menahan gaya mekanikal.
Predisposisi fraktur antara lain berasal dari kondisi biologis seperti
osteopenia atau osteogenesis imperferta, tulang akan menjadi rapuh dan mudah
patah. Neoplasma juga dapat melemahkan tulang dan berperan pada fraktur.
Kehilangan ekstrogen pascamenopause dan malnutrisi protein juga
menyebabkan penurunan massa tulang serta meningkatkan risiko fraktur, bagi
orang sehat fraktur dapat terjadi akibat aktivitas hobi resiko-tinggi atau aktivitas
terkait pekerjaan serta korban kekerasan rumah tangga juga sering dirawat
karena cidera traumatic. (Rosyidi,2013:35)

C. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur secara umum :
1. Berdasarkan tempat (Fraktur humerus, tibia, clavicula, ulna, radius dan cruris
dst).
2. Berdasarkan komplit atau ketidakklomplitan fraktur:
a. Fraktur komplit (garis patah melalui seluruh penampang tulang atau
melalui kedua korteks tulang).
b.  Fraktur tidak komplit (bila garis patah tidak melalui seluruh garis
penampang tulang).
3.  Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a. Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b. Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c.  Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak
pada tulang yang sama
4.   Berdasarkan posisi fragmen :
1) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua
fragmen tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
2) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang
juga disebut lokasi fragmen
5. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a.   Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih
utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri
yang berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan
lunak sekitarnya.
2)  Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
ddan ancaman sindroma kompartement.
b. Fraktur Terbuka (Open/Compound),  bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.Fraktur terbuka dibedakan menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan
jaringan lunak ekstensif.
6. Berdasar bentuk garis fraktur dan hubungan dengan mekanisme trauma :
a.   Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan
merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
b.  Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c. Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
d. Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang
mendorong tulang ke arah permukaan lain.
e. Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi
otot pada insersinya pada tulang.
7.   Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a.  Tidak adanya dislokasi.
b. Adanya dislokasi
- At axim : membentuk sudut.
- At lotus : fragmen tulang berjauhan.
- At longitudinal : berjauhan memanjang.
- At lotus cum contractiosnum : berjauhan dan memendek.
8.  Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a. 1/3 proksimal
b. 1/3 medial
c. 1/3 distal
d. Fraktur Kelelahan       : Fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
e. Fraktur Patologis         : Fraktur yang diakibatkan karena proses
patologis tulang.

D. Patofisiologi
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat
diserap tulang, maka terjadi trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau
terputusnya kontuitas tulang. Setelah terjadi fraktur, periosteum dan pembuluh darah
serta saraf dalam korteks, marrow dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak.
Perdarahan terjadi karena kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma dirongga
medulla tulang. Jaringan tulang segera berdekatan kebagian tulang yang patah.
Jaringan yang mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel darah
putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses pemyembuhan tulang
nantinya (Rosyadi, 2013: 36)
Faktor-faktor yang mempengaruhi ffaktur
1. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekananan dari luar bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap besar,
waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur. (Rosyadi, 2013: 36)
2. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya ffaktur seperti kapasitas absorbs dari tekanan, elastis, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang (Rosyadi, 2013: 36)
E. Manifestasi Klinis
Mendiagnosa fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis, klien, riwayar,
pemeriksaan, fisik dan temuan radiologis. Beberapa fraktur tampak jelas, beberapa
lainnya terdeteksi hanya dengan rontgen (Sinar -X).
Berikut adalah hal-hal yang sering ditemukan:
1. Deformitas, pembengkakan dari perdarahan local dapat menyebabkan
deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan
tungkai, deformitas transional atau angulasi. Dibnadingkan sisi yang sehat
lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
2. Pembengkakan, edema dapat muncul segera sebagai akibat dari akumulasi
cairan berosa lokasi fraktur serta ekstravasasi darah kejaringan sekitar.
3. Memar (ekimosis), memar terjadi akibat perdarahan subcutan pada lokasi
fraktur.
4. Spasme otot, sering mengirigi fraktur, spasme otot involuntary sebenarnya
berfungsi sebagai bidai alami untuk mengurangi Gerakan lebih lanjut dari
diafragma fraktur.
5. Nyeri, jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu mengiringi
fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan berbeda dari maisng-masing
klien. Nyeri biasanya terus- menerus, meningkat jika fraktur tidak dimobilisasi.
Hal ini karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan, atau cedera pada
struktur sekitar.
6. Ketegangan, ketegangan diatas fraktur terjadi karena cidera yang terjadi
7. Kehilangan fungsi, hilangnya fungsi yang karena nyeri yang disebabkan fraktur
atau karena hilangnya fungsi pengungkit-lengan pada tungkai yang terkena.
Kelumpuhan juga terjadi karena cidera syaraf.
8. Gerakan abnormal dan krepitasi, manifestasi ini terjadi karena Gerakan dari
bagian tengah tulang atau gesekan antar fragmen fraktur yang menciptakan
sensasi dan suara deritan.
9. Perubahan neurovascular, cedera neurovascular terjadi karena adanya kerusakan
syaraf perifer atau struktur faskuler yang terkait. Klien dapat mengeluh rasa
kebas atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerahh distal fraktur.
10. Syok, fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau
tersembunyinya dapat menyebabkan syok.

F. Pemeriksaan Penunjang
Radiologi merupakan metode umum untuk mengkaji fraktur, penggunaan posisi
radiologis yang tepat sangat penting untuk mengkaji kecerigaan fraktur dengan tepat.
Dua posisi (anterior posterior dan lateral) yang diambil pada sudut yang tepat
merupakan jumlah minimal yang diperlukan untuk pengkajian fraktur, dan gambar
tersebut harus mencakup sendi diatas dan dibawah lokasi fraktur untuk
mengidentifikasi adanya dislokasi atau sublikasi. Temuan rontgen yang tidak normal
antara lain edema jaringan lunak atau pergeseran udara karena pergeseran tulang
setelah cidera. Radiografi dari tulang yang patah akan menunjukkan perubahan pada
kontur normalnya dan dirupsi dari hubungan sendi normal. Garis fraktur akan tampak
radiolusen. Radiologi biasanya dilakukan sebelum reduksi fraktur, setelah reduksi dan
kemudian secara periodic saat penyembuhan tulang.
Tomografi computer (computed tomography (CT) dapt digunakan u tuk
mengetahui adanya fraktur. Keuntungan dari CT adalah kita bisa melihat gangguan
(hematoma) pada struktur lain (pembuluh darah).
Hal yang dapat dilakukan selama radiografi dan CT adalah sebagai berikut:
1. Arterogram, digunakan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler
2. Hitung darah lengkap, hemokonsetrasi mungkin meningkat, menurun pada
perdarahan, peningkatan leukosit dan respon terhadap peradangan.
3. Kretinin, trauma otot meningkatkan beban kretinin untuk klien ginjal
4. Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
atau cidera hati.

G. Penatalaksaan
Prinsip peanganan fraktur meliputi
1.  Reduksi Fraktur
Langkah pertama dalam penangan fraktur adalah reduksi adalah
manipulasi tulang untuk mengembalikan kelurusan, posisi, dan panjang dengan
mengembalikan fragmen tualang sedekat mungkin. Reduksi juga disebut dengan
bone setting, mengurangi tekanan atau tarikan pada saraf dan pembuluh drah,
oleh Karena itu reduksi sangat menyakitkan dan dibutuhkan sedasi atau anastesi
local ayau umum.
Tidak semua fraktur harus direduksi. Fraktur yang tidak bergeser masih
memiliki kelurusan yang baik. Pembidaian dan gips akan menjaga kelurusan
tulang saat proses penyembuhan.beberapa fraktur tidak dapat dibidai dengan baik
dan ditangani dengan mengistirahatkan area yang terkena hingga penyembuhan
usai (fraktur tulang distal).
Jika suatu fraktur pada tungkai mematahkan suatu tulang menjadi 2
fragmen, fragmen-fragmen tersebut dibagi menjadi fragmen proksimal (lebih
dekat dari badan) dan distal (lebih jauh dari badan). Oleh karena perlekatan otot
dan lokasinya, maka fragmen proksimal tidak dapat dimanipulasi atau digerakkan
ketika tulang yang patah ditangani. Maka bagian distal yang digerakkan untuk
menyesuaikan kelurusannya dengan fragmen proksimal, metode metode reduksi
dapat digunakan sendiri sendiri atau dalam kombinasi.
2. Reduksi Tertutup
Untuk melakukan reduksi tertutup, seorang tenaga medis memberikan
traksi manual untuk menggerakkan fragmen tulang dan mengembalikan kelurusan
tulang. Reduksi tertutup harus dilakukan segera setelah ciderauntuk
meminimalkan resiko kehilangan fungsi, untuk mencegah atau menghambat
terjadinya artritis traumatic, dan meminimalkan efek deformitas dari cedera
tersebut. Reduksi fraktur bukan prosedur darurat, dan kelangsungan hidup klien
tidak boleh diabaikan dengan melakukan reduksi dini.
Oleh karena fragmen tulang dpat bergerak lagi karena gravitasi , beban
dan kontraksi otot maka alat imobilisasi harus digunakan setelah rontgen (Sinar-
X) mengonfirmasi kelurusan tulang. Alat imobilisasi yang digunakan paling
sering digunakan setelah reduksi tertutup adalah gips, adalah suatu alat sementara
yang terbuat dari bahan sintetik seperti fiberglass, polimer plastic-thermal atau
plaster paris (kalsium fosfat anhidrosa). Selain untuk imobilisasi, gips digunakan
untuk beberaa tujuan : pencegahan atau koreksi deformitas, pemeliharaan,
penyangga, dan pelindung dari tulang yang diluruskan. Untuk gips plaster butuh
paling tidak 24 jam lebih lama dari pada gips sintetik agar dapat kering, dan gips
ini akan kehilangan bentuknya jika basah karena terkena air.
3. Reduksi Terbuka dan fiksasi internal
Beberapa fraktur memiliki terlalu banyak serpihan tulang. Memiliki
cedera neurovascular, atau tidak dapat lurus dengan baik hingga sembuh setelah
reduksi tertutup. Reduksi terbuka merupakan prosedur bedah dimana fragmen
fraktur disejajarkan. Reduksi terbuka sering dkombinasikan dengan fiksasi
internal untuk fraktur femur dan sendi. Skrup, plat, pin, kawat, atau paku dapat
digunakan untuk menjaga kelurusan dari fragmen fraktur . batang logam dapat
ditempatkan melalui fragmen fragmen tulang atau difiksasi terhadap sisi tulang,
atau dapat dimasukkan langsung di dalam rongga medullaris tulang. Fiksasi
internal memberikan imobilisasi dan membantu mencegah deformitas, namun
bukan suatu pengganti untuk penyembuhan tulang, jika penyembuhan gagal, alat
fiksasi internal dapat menjadi longgar atau pecah karena adanya tekanan.
4.  Reduksi Eksternal
Begantung pada kondisi klien dan intruksi dokter, mungkin akan
digunakan alat fiksasi eksternal untuk imobilisasi fragmen fraktur. Misalnya
kerusakan jaringan lunak menghalangi penggunaan gips, fiksasi eksternal dapat
diindikasikan untuk imobilisasi fraktur. Alat fiksasi eksternal menjaga posisi
untuk fraktur fraktur yang tidak stabil dan untuk otot otot yang melemah, dan alat
tersebut dapat menjaga area area dengan infeksi jaringan atau tulang. Alat
tersebut memungkinkan klien menggunakan sendi yang disekatnya sementara
area yang terkena tetap diimobilisasi.fiksasi eksternal juga diindikasikan untuk
non union tulang jika penyembuhan tulang tidak berhasil setelah waktu tertentu,
alat yang digunakan dalam fiksasi eksternal juga cukup rumit.
5.   Traksi
Traksi telah digunakan untuk menangani fraktur sejak masa pra sejarah,
dan prinsip prinsipnya telah diketahui dengan baik oleh Hipokrates. Traksi adalah
pemberian gaya tarik terhadap baian tubuh yang cedera atau kepada tungkai,
sementara kontraksi akan menarik kearah yang berlawanan. Gaya tarik ini yang
dapat dicapai dengan menggunakan tangan atau lebih umum dengan pemberian
beban. Traksi tungkai bawah seperti traksi buck atau russel saat ini
penggunaannya sangat terbatas pada manajemen pra operasi untuk klien dengan
misalnya patah panggul. Bagaimanapun juga traksi skeletal menjadi salah satu
pilihan untuk klien dengan rauma multiple yang bukan merupakan prioritas untuk
reduksi terbuka, dan fiksasi internal. Berbagai jenis traksi juga menjadi pilihan
terapi sebelum dan setelah pembedahan reduksi fraktur seperti fraktur servikal.

6. Traksi kulit
  

 traksi kulit adalah pemberan gaya tarik secara langsung pada kulit dengan
menggunakan skin trips , sepatu boot, atau bidai busa. Traksu bucj adalah jenis
traksi yang paling umum digunakan. Untuk traksi buck, sebuah bot busa
diletakkan pada tungkai klien yang terluka dan disambungkan dengan beban yang
menggantung pada ujung tulang. Tipe traksi ini dapat digunakan pada klien
dengan fraktur pelvis yang tidak dapat menjalani pembedahan hingga secara
medis dapat distabilkan traksi kulit memeberikan beban gaya longitudinal yang
randah yang memberikan efektivitas yang cukup rendah. Oleh karena adanya
resiko kerysakan kulit, traks ini digunakan secara sementara.
7. Traksi skeletal
Traksi skeletal menggunakan pin untuk memberikan gaya pada tulang.
Pada traksi ini gaya dapat langsung diberikan setelah dokter memasukkan pin
stainlees steel melalui tulang itu sendiri. Lokasi yang paling sering dilakukannya
insersi pin adalah femur distal, tibia proksimal dan ulna proksimal. Traksi skeletal
dapat ditoleransi untuk waktu yang lama dibandingkan traksi kulit. Biasanya
digunakan berat lebih daro 10 pon.
Berdasarkan car pemberiannya traksi dapat digolongkan menjadistatis
(terus menerus), atau dinamis (inteniten). Suspense dapat bersifat langsung atau
lurus (memberikan tarikan langsung kepada bagian yang sakit) atu seimbang
(memberikan tarikan pada bagian yang sakit dan juga menyangga ekstremitas
dalam suatu bidai ).Kerugian yang banyak terjadi antara lain akibat dari
keharusan tirah baring lebih lama dan dari imobilitas yang diperlama. Rawat inap
tidak selalu diperpanjang jika klien dengan traksi dapat dirawat dirumah
bergantung jenis traksinya, mendapat terapi tambahan sebagai klien rawat jalan.

H. Proses Penyembuhan Luka


Tulang bisa bergenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur merangsang
tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk tulang baru
di antara ujung patahan tulang .tulang baru dibentuk oleh aktifitas sel-sel tulang .ada
lima stadium penyembuhan tulang, yaitu :
1. Stadium satu – pembentukan hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma di sekitar daerah fraktur. Sel-sel
darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai tempat
tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24-48 jam dan
perdarahan berhenti sama sekali.
2. Stadium dua – proliferasi seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan diverent siasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum, endosteum dan bone marrow yang telah mengalami
trauma. Sel-sel yang mengalami profeliferasi ini terus masuk kedalam lapisan
yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi proses
osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuknya tulang baru yang
menggabungkan ke dua fregman tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama 8
jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3.  Stadium tiga – pembentukan kalus
Sel-sel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik, bila
diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan kartilago.
Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast mulai
berfungsi dengan mengabsorpsi sel-sel tulang yang mati. Massa sel yang tebal
dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kalus atau bebat pada
permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur anyaman
tulang menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur berkurang pada
4 minggu setelah fraktur menyatu.
4.   Stadium empat – konsolidasi
Bila aktifitas osteoklast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah menjadi
lameral. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat di belakangnya
osteoklast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang yang
baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan sebelum
tualang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium lima – remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama beberapa
bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses resopsi dan
pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal diletakkan
pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak di kehendaki
dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur yang mirip
dengan normalnya. (Rosyidi, 2013 : 44)
I. Pathway

J. Komplikasi
Ada beberapa komplikasi fraktur. Komplikasi bergantung pada jenis cedera., usia
klien, dan adanya masalah kesehatan lain (komordibitas), dan penggunaan obat yang
mempengarui perdarahan , seperti warfarin, kortikosteroid, dan NSAID. Pengkajian
yang berkelanjutan dari status neurovaskuler klien untuk adanya komplikasi sangatlah
penting, seperti halnya intervensi yang cepat untuk meminimalkan efek samping yang
ada.
1.  Cedera saraf. Fragmen tulang dan edema jaringan yang berkaitan dengan cedera
dapat menyebabkan cedera syaraf. Hati hati jika ada pucat dan tungkai klien yang
sakit teraba dingin, perubahan pada kemampuan klien untuk menggerakkan jari
jari tangan atau tungkai, parestesia, atau adanya keluhannyeri yang meningkat.
2. Sindroma kompartemen. Kompartemen otot pada tungkai bawah dilapisi oleh
jaringan fasia yang keras dan tidak elastis yang tidak akan membesar jika otot
mengalami pembengkakan. Edema yang terjadi sebagai respon terhadap fraktur
dapat menyebabkan peningkatan tekanan kompartemen yang dapat mengurangi
perfusi darah kapiler.
3. Kontraktur Volkmann. Kontraktur Volkmann adalah suatu deformitas tungkai
akibat sindroma kompartemen yang tidak tertangani. Oleh karena tekanan terus
menerus mengakibatkan iskemia, otot kemudian perlahan diganti oleh jaringan
fibrosa yang menjepit tendon dan syaraf.
4. Sindroma emboli lemak
Emboli lemak serupa dengan emboli paru, kecuali bahwa embolusnya adalah
lemak dan kondisi ini muncul pada klien dengan fraktur. Imsidensi tinggi hingga
90% dari keseluruhan kasus, dari sindroma embolilemak terjadi setelah fraktur
dari tulang panjang, seperti femur, tibia, tulang rusuk, fibula dan panggul.
5. Trombosis Vena Dalam dan Emboli Paru
Klien dengan cedera tulang beresiko tinggi mengalami kondisi trombone,bolik
seperti thrombosis vena dalam dan emboli paru. Peningkatan resiko ini terjadi
karena statis dari aliran darah vena, peningkatan koagulabilitas, dan cedera pada
pembuluh darah. Pencegahan DVT merupakan tujuan utama. Profilaksis
pengumpulan direkomendasikan dengan menggunakan agen farmakologis seperti
antikoagulan oral atau heparin  berat-molekul-rendah subkutan  (dosis tetap atau
disesuaikan –berat). Untuk klien tertentu beberaa alat fsik –mekanikal seperti alat
kompresi pneumatic intermiten atau stoking elastis dapat berperan dalam
pencegahan DVT.
6. Sindroma gips 
Sindroma gips (sindroma arterymesenterika superior) terjadi hanya pada gips
spika badan. Duodenum tertekan antara arteri mesenterika superior dibagian
depan dan aorta serta badan vertebral dibagian belakang, menyebabkan penurunan
aliran darah yang dapat menyebabkan perdarahan dan nekrosis dari usus.
Sindroma gips terjadi dari beberapa hari hingga minggu setelah imobilisasi,
terutama jika klien mengalami penurunan berat badan dari hilangnya lemak
retroperitoneal.
2.2 PENGKAJIAN ASUHAN KEPERAWATAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai,
status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no.
register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2)  Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri
tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk
memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a. Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b.  Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c. Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d. Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan  skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e. Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur,
yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap
klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga
nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana
yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan
menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan
penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit
untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki
sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga
diabetes menghambat proses penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan
salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes,
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetic
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya
dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam
masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a. Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan
pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk
membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga
meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol
yang bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan
olahraga atau tidak
b. Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola
nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak
adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang
kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal
terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat
degenerasi dan mobilitas klien
c. Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi,
tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna
serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi
uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua
pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal
ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga,
pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan,
kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur.
d. Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan
klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang
lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama
pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk
terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain
e. Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena
klien harus menjalani rawat inap
f.  Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk
melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang
salah (gangguan body image)
g.  Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur,
sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada
kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri
akibat fraktur
h. Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual
karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang
dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk
jumlah anak, lama perkawinannya
i.  Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme
koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

j. Pola Tata Nilai dan Keyakinan


Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan
baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri
dan keterbatasan gerak klien
Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu
untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi
hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis
tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada
kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun
bentuk.    
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
Sistem Integumen
- Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak,
oedema, nyeri tekan.
Kepala
- Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
Leher
- Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan
ada.
Muka
- Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi
maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
Mata
-  Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
·  Telinga
- Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau
nyeri tekan.

Hidung
- Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
 Mulut dan Faring
-  Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut
tidak pucat.
Thoraks
- Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
 Paru
 Inspeksi
- Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat
penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
Palpasi
- Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
        Perkusi
- Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
        Auskultasi
- Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti
stridor dan ronchi.
Jantung
Inspeksi
- Tidak tampak iktus jantung.
Palpasi
- Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
Auskultasi
- Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
 Abdomen
Inspeksi
- Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
 Palpasi
- Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
 Perkusi
- Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
Auskultasi
- Peristaltik usus normal ± 20 kali/menit.
Inguinal-Genetalia-Anus
- Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.

Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan fragmen tulang, edema dan
cedera pada jaringan, alat traksi/immobilisasi, stress, ansietas.
2. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan status metabolik,
kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi dibuktikan oleh terdapat luka / ulserasi,
kelemahan, penurunan berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
3.  Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri/ketidak nyamanan, kerusakan
muskuloskletal, terapi pembatasan aktivitas, dan penurunan kekuatan/tahanan.
4. Risiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respons inflamasi tertekan, prosedur
invasif dan jalur penusukkan, luka/kerusakan kulit, insisi pembedahan.
5.   Kurang pengetahuan tantang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan
dengan keterbatasan kognitif, kurang terpajan/mengingat, salah interpretasi informasi.
1 DS: Kecelakaan Nyeri
·         Klien mengeluh nyeri  
DS:
·         Biasanya klien tampak
meringis
·         Tanda-tanda vital tarauma langsung
menigkat
·         Sekala nyeri menigkat
·         Terdapat luka tekan tekanan padatulang
 

tidak mampu meredam energy


 

yang terlalu besar


 

fraktur
 

merusak jaringan sekitar


 

pelepasan mediator nyeri


(histamine, prostaglandin, bradi
kinin, serotonin)
 

Ditangkap resepator nyeri perifer


 

Inflak ke otak
 
Persepsi nyeri
 

nyeri
ANALISA KEPERAWATAN

NCP (RENCANA KEPERAWATAN)


N DIAGNOSA RENCANA KEPERAWATAN
O KEPERAWATAN
TUJUAN (NOC) INTERVENSI (NIC)
1 Nyeri berhubungan dengan NOC 1)      Lakukan pengkajian secara
luka post oprasi di tandai o   Pain level komprensif termasuk lokasi
dengan o   Pain control karakteristik dan durasi
DS: o   Compont level
·         Laporan secara verbal Setelah dilakukan tindakan 2)      Observasi TTV
tentang nyeri keperawatan
DO: selama…………..diharapkan
         Posisi untuk menahan nyeri masalah keperawatan dapat 3)      Kontrol lingkungan mempengaruhi
·         Tingkah laku berhati-hati teratasi dengan criteria hasil: nyeri, seperti suhu ruangan,
·         Ganguan tidur ü  Mampu mengontrol nyeri pencahayaan dan kebisingan
·         Terfokus pada diri sendiri ü  Melaporkan nyeri berkurang
·         TTV Meningkat ü  Sekala nyeri berkurang 4)      Bantu klien dan keluarga untuk
·         Sekala nyeri meningkat ü  TTV dalam rentang normal mencari menemukan dukungan
·         Tampak luka tekan ü  Tidak mengalami ganguan tidur
ü  Tidak terdapat luka tekan 5)      Ajarkan tentang therapy non
farmakologi
ü  Teknik nafas dalam
ü  Distraksi
ü  Rileksasi
ü  Kompres hangat

6)      Tingkatkan istirahat

7)      Kolaborasi dengan dokter untuk


pemberian analgetik

8)      Monitor vital sign sebelum dan


sesudah analgetik pertamakali
DAFTAR PUSTAKA

Brunner&Suddarth.2014.KEERAWATAN MEDIKAL BEDAH.Jakarta.EGC


Lukman, Ningsih. 2013. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
MUSKULOSKELETAL. Jakarta : Salemba Medika.
M. Black, Hawks. 2014. Keperawatan Medikal Bedah. Singapura : CV Pentasada Media Edukasi.
M. Wilkinson, Nanc. 2015. Buku Saku Diagnosa Keperawatan. Jakarta : EGC.
Nurarif, Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda
NIC-NOC. Jogjakarta : MediAction
Rosyidi Kholid. 2013. MUSKULOSKELETAL. DKI Jakarta : CV. TRANS INFO MEDIA.
Brunner, Suddarth. 2015. Buku Ajar keperawtan medikal bedah, edisi 8 vol.3. EGC. Jakarta
Carpenito, LJ. 2011. Buku Saku Diagnosa Keperawatan edisi 6 . Jakarta: EGC
Doengoes, M.E., 2010, Rencana Asuhan Keperawatan, EGC, Jakarta.
Ircham Machfoedz, 2007. Pertolongan Pertama di Rumah, di Tempat Kerja, atau di
Perjalanan.  Yogyakarta: Fitramaya
Johnson, M., et all. 2014. Nursing Outcomes Classification (NOC) Second Edition. New Jersey: Upper
Saddle River
Mansjoer, A dkk. 2013. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media Aesculapius
Mc Closkey, C.J., et all. 1996. Nursing Interventions Classification (NIC) Second Edition. New Jersey:
Upper Saddle River
Santosa, Budi. 2013. Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA 2005-2006. Jakarta: Prima Medika
Smeltzer, S.C., 2013, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, EGC, Jakarta.
Brunner dan Suddarth, 2002, Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 3, EGC, Jakarta
Carpenito (2013), Diagnosa Keperawatan-Aplikasi pada Praktik Klinis, Ed. 6, EGC, Jakarta
Doenges at al (2015), Rencana Asuhan Keperawatan, Ed.3, EGC, Jakarta
Herman Santoso, dr., SpBO (2016), Diagnosis dan Terapi Kelainan Sistem Muskuloskeletal, Diktat
Kuliah PSIK, tidak dipublikasikan.

Anda mungkin juga menyukai