Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN NY. M


DENGAN FRAKTUR CRURIS 1/3 DISTAL DEXTRA
DI RUANG OPERASI I RSUD WONOSARI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas individu PKK Perioperatif

Disusun Oleh :

Wahyu Dwi Astuti


2620152757

AKADEMI KEPERAWATAN NOTOKUSUMO


YOGYAKARTA
2017
LEMBAR PENGASUHAN

Laporan asuhan keperawatan pada pasien Ny. “M” dengan diagnosa medis
Fraktur Cruris Dextra 1/3 Distal di ruang operasi I RSUD Wonosari ini disusun
guna memenuhi tugas askep individu PKK Perioperatif, disahkan dan disetujui
pada:

Hari :
Tanggal :

Mengetahui,

Praktikan Ci Lahan

(.................................) (………………………...)
KONSEP DASAR
1. Definisi
Ada beberapa pengertian fraktur menurut para ahli. Fraktur adalah :
1. patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik (Price
dan Wilson, 2006).
2. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).
3. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur
akibat dari trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses
penyakit seperti osteoporosis, yang menyebabkan fraktur yang
patologis (Mansjoer, 2002).
4. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang yang di tandai oleh rasa
nyeri, pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan , dan
krepitasi (Doenges, 2002).
5. Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan
fibulayang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis,
atau persendian pergelangan kaki ( Muttaqin, 2008)
Berdasarkan pengertian para ahli dapat disimpulkan bahwa fraktur cruris
adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan sesuai jenis dan
luasnya, yang di sebabkan karena trauma atau tenaga fisik yang terjadi
pada tulang tibia dan fibula.

2. ETIOLOGI
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
1. Cidera atau benturan
2. Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah
menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
3. Fraktur beban
Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orang- orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru di terima
dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru mulai latihan
lari.

3. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan perubahan
warna.
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
2. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya,
pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di
ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal.
Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
4. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
(Smelzter dan Bare, 2002).
4. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan Bare,
2002).
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat
patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi
menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut aktivitas
osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang disebut
callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel-sel tulang baru mengalami
remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah
atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan pembengkakan yang
tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak terkontrol
pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi
darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut syaraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan sindrom compartment
(Brunner dan Suddarth, 2002 ).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan
fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak
seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare,
2002). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen
tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun pembedahan
meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan itu sendiri
merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang seluruhnya tidak
mengalami cedera mungkin akan terpotong atau mengalami kerusakan
selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).

5. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Doenges ( 2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada
pasien fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis
fraktur.
2. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemo-
konsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur
atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah putih
adalah respon stress normal setelah trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple, atau cedera hati.
6. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price (2005)
antara lain:
1. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak,
sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
a. Syok Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan
(banyak kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan
yang bias menyebabkan penurunan oksigenasi)
b. Sindrom emboli lemak Pada saat terjadi fraktur globula lemak
dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan sumsum
tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin
yang di lepaskan oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi
asam lemak dan memudahkan terjasinya globula lemak pada
aliran darah.
c. Sindroma Kompartement Merupakan masalah yang terjadi saat
perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan untuk
kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran
kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu
ketat, penggunaan gibs atau balutan yang menjerat ataupun
peningkatan isi kompatement otot karena edema atau perdarahan
sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan
cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai
denagan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal,
hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang
disbabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi
pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
e. Infeksi Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada
jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit
(superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus
fraktur terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain
dalam pembedahan seperti pin dan plat.
f. Avaskuler nekrosis Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena
aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang bias
menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya
Volkman’s Ischemia (Smeltzer dan Bare, 2001).
2. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal
union, delayed union, dan non union.
a. Malunion Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang
patah telah sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion
merupaka penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya
tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion
dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
b. Delayed Union Delayed union adalah proses penyembuhan yang
terus berjalan dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan
normal. Delayed union merupakankegagalan fraktur
berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang
untuk menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai
darah ke tulang.
c. Nonunion Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi
dan memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil
setelah 6-9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan
yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. 20 Ini juga disebabkan karena aliran darah
yang kurang (Price dan Wilson, 2006).
7. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang harus
dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi, reduksi,
retensi, dan rehabilitasi.
1. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur
tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang
nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
2. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur
dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin
sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer,
2002).
3. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan
teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan
untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan
diluar kulit untuk menstabilisasikan fragmen tulang dengan
memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang
pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars.
Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada
tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus
dan pelvis (Mansjoer, 2000).
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan,
harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk
mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,
2000)

8. Pengkajian Fokus
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur
merujuk pada teori menurut Doenges (2002) dan Muttaqin (2008) ada
berbagai macam meliputi:
a. Riwayat penyakit sekarang
Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang
kruris, pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke
dukun patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka kecelakaan
yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia
proksimal. Adanya trauma angulasi akan menimbulkan fraktur tipe
konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan
menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah kecelakaan
lalu lintas darat.
b. Riwayat penyakit dahulu
Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu
seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di
kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta
penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
c. Riwayat penyakit keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris
adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Aktifitas/ Istirahat 21 Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di
bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri atau
terjadi secara sekunder, dari pembengkakan jaringan, nyeri)
2) Sirkulasi
a) Hipertensi ( kadang – kadang terlihat sebagai respon nyeri
atau ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
b) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)
c) Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang
cedera,pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang
terkena.
d) Pembangkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi
cedera.
3) Neurosensori
a) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
b) Kebas/ kesemutan (parestesia)
c) Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/
hilang fungsi.
d) Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
4) Nyeri / kenyamanan
a) Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak
ada nyeri akibat kerusakan syaraf .
b) Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
5) Keamanan
a) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
b) Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau
tibatiba).
6) Pola hubungan dan peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
7) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul ketakutan
dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa
ketidak mampuan untuk melakukan aktifitasnya secara normal
dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
8) Pola sensori dan kognitif Daya raba pasien fraktur berkurang
terutama pada bagian distal fraktur, sedangkan indra yang lain
dan kognitif tidak mengalami gangguan. Selain itu juga timbul
nyeri akibat fraktur.
9) Pola nilai dan keyakinan Klien fraktur tidak dapat beribadah
dengan baik, terutama frekuensi dan konsentrasi dalam ibadah.
Hal ini disebabkan oel nyeri dan keterbatasan gerak yang di alami
klien.
1. Diagnosa Keperawatan
Pre Operasi
1. Nyeri akut b.d agens cidera fisik
2. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang
3. Kerusakan integritas jaringan b.d faktor mekanik
4. Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan keterbatasan informasi
mengenai pengobatan.
Post Operasi
1. Nyeri akut b.d agens cidera fisik (prosedur bedah)
2. Hambatan mobilitas fisik b.d nyeri

3. Intervensi
Pre Operasi
a. Nyeri akut b.d agens cidera fisik
Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
- Klien menyatajkan nyei berkurang
- Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/ tidur/
istirahat dengan tepat
- Tekanan darahnormal
- Tidak ada eningkatan nadi dan RR
Intervensi:
a. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
b. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
c. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk
melakukan aktivitas hiburan
d. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
e. Jelaskanprosedu sebelum memulai
f. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
g. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh :
relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
h. Observasi tanda-tanda vital
i. Kolaborasi : pemberian analgetik
b. Hambatan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang.
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan
tindakan keperaawatan
Kriteria hasil:
- Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
- Mempertahankan posisi fungsinal
- Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
- Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
a. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
c. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada
ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
d. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah
fraktur ketika bergerak
e. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam
lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi
teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
g. Ubah psisi secara periodik
h. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
c. Cemas berhubungan dengan akan dilakukannya tindakan operasi
Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
dan keluarga tidak mengalami kecemasan.
Kriteria Hasil :
- Monitor Intensitas kecemasan
- Menurunkanstimulasi lingkungan ketika cemas
- Menggunakan strategi koping efektif
- Mencari informasi untuk menurunkan cemas
- Menggunakan teknik relaksasi untuk menurunkan cemas
Intervensi : Penurunan Kecemasan
a. Tenangkan Klien
b. Jelaskan seluruh prosedur tindakan kepada klien dan perasaan
yang mungkin muncul pada saat melakukan tindakan
c. Berikan informasi tentang diagnosa, prognosis, dan tindakan.
d. Temani pasien untuk mendukung keamanan dan menurunkan rasa
sakit.
e. Instruksikan pasien untuk menggunakan metode/ teknik relaksasi.

Post Operasi

a. Nyeri akut b.d agens cidera fisik (prosedur bedah)


Tujuan ; nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil:
- Klien menyatajkan nyei berkurang
- Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/ tidur/
istirahat dengan tepat
- Tekanan darahnormal
- Tidak ada eningkatan nadi dan RR
Intervensi:
j. Kaji ulang lokasi, intensitas dan tpe nyeri
k. Pertahankan imobilisasi bagian yang sakit dengan tirah baring
l. Berikan lingkungan yang tenang dan berikan dorongan untuk
melakukan aktivitas hiburan
m. Ganti posisi dengan bantuan bila ditoleransi
n. Jelaskanprosedu sebelum memulai
o. Akukan danawasi latihan rentang gerak pasif/aktif
p. Drong menggunakan tehnik manajemen stress, contoh :
relasksasi, latihan nafas dalam, imajinasi visualisasi, sentuhan
q. Observasi tanda-tanda vital
r. Kolaborasi : pemberian analgetik
b. Hambatan mobilitas fisik b.d Nyeri.
Tujuan : kerusakn mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan
tindakan keperaawatan
Kriteria hasil:
- Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
- Mempertahankan posisi fungsinal
- Meningkaatkan kekuatan /fungsi yang sakit
- Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi:
i. Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
j. Tinggikan ekstrimutas yang sakit
k. Instruksikan klien/bantu dalam latian rentanng gerak pada
ekstrimitas yang sakit dan tak sakit
l. Beri penyangga pada ekstrimit yang sakit diatas dandibawah
fraktur ketika bergerak
m. Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
n. Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan AKS dalam
lngkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan’Awasi
teanan daraaah, nadi dengan melakukan aktivitas
o. Ubah psisi secara periodik
p. Kolabirasi fisioterai/okuasi terapi
PROSEDUR PEMBEDAHAN

A. Pengertian
Open Reduction Interna Fixation (ORIF) adalah fiksasi interna dengan
pembedahan terbuka untuk mengistirahatkan fraktur dengan melakukan
pembedahan untuk memasukkan paku, screw, pen kedalam tempat fraktur
untuk menguatkan/mengikat bagian-bagian tulang yang fraktur secara
bersamaan (Reeves, 2001).
B. Prosedur ORIF
Persiapan Alat :
Instrumen Instrumen Tambahan
Basic set : Slang suction
Bengkok 1 Benang cide 2/0, cromik 0,
dexon(surgicryl)
Nailpuder 2 Jarum tapper dan silinder
Klem arteri bengkok 10 Bisturi 22
Kom 2 Duk sedang 2
Skapel 2 Duk lobang 1
Kooker 6 Duk kaki 1
Gunting jaringan 2 Bor
Gunting benang 2 Mata bor
Pinset anatomis 2 Respatrium
Pinset srirugis 2 Nagle tang
Klem arteri lurus 10 Cobra
Pinset srilugis manis 1 Kuret
Wound hakgigi 2 Reduction
Elize 2 Drifer
Ohak 2 Bone klem
Duk klem 5 Hak besar
Langen hak 2 Tang
Kanul section 1 Pengukur
Klem ovarium 2 Baut
Plat
C. Pelaksanaan atau tindakan
No. Tindakan
1 Memposisikan pasien supinasi dan mengfiksasi
2 Melepas bidai dengan gunting
3 Memasang perlak dibawah area operasi
4 Mencuci tangan steril dengan handiscrab dan air mengalir
5 Memakai jas operasi
6 Memakai handscone steril
7 Disinfeksi daerah operasi mulai dengan handiscrub kemudian dikeringkan
memakai kasa, diteruskan dengan alkohol kemuadian dikeringkan memakai
kasa dan yang terakhir adalah dengan batadine.
8 Penutupan area operasi (draping) dengan duk besar lobang 1, duk tanggung
rapat 2 dan duk kaki 1, kemudian dirapihkan dan difiksasi mengunakan duk
klem.
9 Insisi lokasi operasi femur 1/3 proksimal mulai dari kulit-subcutis
menggunakan bisturi No.22.
10 Menghentikan perdarahan dengan menggunakan cutter.
11 Menggunting facia dengan gunting jaringan.
12 Memperjelas area pandang operasi dengan menyedot perdarahan menggunakan
suction
13 Mengedep perdarahan dengan kasa kering
14 Memasang hak besar
15 Memisahkan /diseksi otot dengan tulang dengan menggunakan respatrium
16 Mengambil jaringan tulang yang tak berfungsi dengan nagle tang
17 Mencari ujung kedua tulang yang patah
18 Memasang cobra
19 Menyatukan ke-2 ujung tulang yang patah dengan bon klem
21 Kuretase tulang dengan kuret
22 Memasang reduction ditengah-tengah ujung tulang yang patah
23 Memasang plat tulang
24 Mengebor tulang sesuai jumlah lubang pada plat dan mengukur kedalaman
lubang.
25 Membuat lubang untuk masuk baut
25 Memasang baut sejumlah lubang yang ada dengan menggunakan scrub driver
26 Setelah baut terpasang semua bersihkan area opersi dengan NACL
27 Disinfeksi luka operasi dengan betadine
28 Memasang drain dengan NGT No.18
29 Menjahit facia jarum dalam dan benang dexon
30 Menjahit sub cutis dengan benang cromik no.0
31 Menjahit kulit dengan jarum luar dan benang cide N0.2/0
32 Membersihkan luka operasi dengan NACL
33 Disinfeksi luka operasi dengan betadine dan kasa steril
34 Menutup luka dengan kasa steril rangkap 2
35 Memasang sofban
36 Mengitung instrument bekas operasi
37 Menghitung kasa bekas operasi
38 Membersihkan dan merapihkan alat
39 Memindahkan pasien ke Bed
40 Mendokumentasikan di status pasien

D. Indikasi dilakukan prosedur bedah ORIF


1. Fraktur yang tidak dapat direduksi kecuali dengan operasi.
2. Fraktur yang tidak stabil secara bawaan dan cenderung mengalami
pergeseran kembali setelah reduksi, selain itu juga fraktur yang
cenderung
ditarik terpisah oleh kerja otot.
3. Fraktur yang penyatuannya kurang sempurna dan perlahan-lahan
terutama
fraktur pada leher femur.
4. Fraktur patologik dimana penyakit tulang dapat mencegah penyembuhan.
5. Fraktur multiple, bila fiksasi dini mengurangi resiko komplikasi umum
dan kegagalan organ pada bagian system.
6. Fraktur pada pasien yang sulit perawatannya.
E. Kontra indikasi dilakukan bedah ORIF
1. Pasien dengan penurunan kesadaran
2. Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan tulang
3. Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
DAFTAR PUSTAKA

Carpenito, Lynda Juall. 2007. Rencana Asuhan dan Pendokumentasian.


Keperawatan. Alih bahasa Monika Eister. Edisi 2. Jakarta : EGC.

Doengoes, ME. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC.

Masjoer, Arif dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta : Media
Aesculapius

Muttaqin, Arif. 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem


Muskuloskeletal. Jakarta : EGC

Price, A. S. Dan Wilson, M.L. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit. Jakarta : EGC.

Smeltzer, S.C dan Bare, B. G. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner Sudarth. Edisi 8. Jakarta : Penerbit B EGC.

Herdman, T. Heather. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi & Klasifikasi. Edisi


10. Jakarta : EGC

Mooerhead, sue dkk. 2016. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi 5.


Jakarta : Elsevier Global Rights.

Bulechek, Gloria. 2016. Nursing Interventions Classification (NIC), Edisi 6.


Jakarta : Elsevier Global Rights.

Anda mungkin juga menyukai