Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN PENDAHULUAN

PENYAKIT FRAKTUR FEMUR DEXTRA

Penyusun:

Nama: Dini dwi septiyani

NPM: 144012413

POLITEKNIK KARYA HUSADA

JAKARTA

2020

1
A.    Konsep Dasar

1.      Definisi

Fraktur adalah terputusnya keutuhan tulang, umumnya akibat trauma dan

digolongkan sesuai dengan jenis arah garis fraktur (Tambayong, 2000 hal : 124).

Menurut Mansjoer (2000,  hal : 346)  fraktur adalah terputusnya kontinuitas 

jaringan tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa.

Smeltzer (2001, hal : 2357) mendefinisikan fraktur sebagai suatu keadaan

terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai dengan jenis dan luasnya.

Sedangkan Price (2005, hal : 1183) mengemukakan bahwa fraktur merupakan

patah tulang yang disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik.  

Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang

disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi-kondisi tertentu seperti

generasi tulang / osteoporosis (Widya, 2009). Sedangkan menurut Hartanto

(2011) fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas  batang femur yang terjadi

akibat trauma langsung dan umumnya sering dialami oleh laki-laki dewasa.

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka penulis menyimpulkan bahwa

fraktur femur ialah rusaknya kontinuitas tulang yang disebabkan oleh trauma fisik

atau tanga fsisik uyang terjadi secara langsung.

2
2.      Etiologi

Corwin (2009, hal : 336) menyebutkan penyebab fraktur yang paling sering

adalah trauma, terutama pada anak-anak dan dewasa muda. Adapun beberapa

jenis penyebab terjadinya fraktur adalah sebagai berikut:

a.       Fraktur patologis, yaitu fraktur yang diakibatkan oleh trauma minimal atau

tekanan ringan dan sering terjadi pada orang tua yang mengidap osteoporosis atau

penderita tumor, infeksi atau penyakit lain.

b.      Fraktur stress (fatigue fraktur), yaitu dapat terjadi pada tulang normal akibat

stres tingkat rendah yang berkepanjangan. Fraktur ini terjadi pada mereka yang

menjalani olahraga daya tahan misalnya lari jarak pendek. 

Menurut Rasjad (2007) bahwa penyebab terjadi fraktur adalah sebagai berikut :

a.       Fraktur fisiologis

Suatu kerusakan jaringan tulang yang diakibatkan oleh kecelakaan, tenaga fisik

dan trauma yaitu dapat disebabkan oleh :

1)   Cedera langsung, yaitu pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah

secara spontan.

2)    Cedera tidak langsung,  yaitu pukulan langsung berada jauh dari lokasi benturan,

misalnya jatuh dengan tangan terjulur menyebabkan fraktur klavikula atau orang

tua yang terjatuh menganai bokong dan berakibat fraktur kolom femur.

b.    Fraktur patologis

Dalam hal ini kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana

dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur. Hal ini dapat terjadi pada

berbagai keadaan, antara lain :  tumor tulang (jinak dan ganas),  infeksi seperti

3
osteomielitis, scurvy (penyakit gusi berdarah), osteomalasia, rakhitis,

osteoporosis.

3.      Manifestasi Klinis

Smeltzer (2001, hal : 2358)  menyebutkan bahwa manifestasi klinis dari fraktur

adalah sebagai berikut :

a.   Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi.

b.   Deformitas terjadi karena pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai,

ekstremitas yang diketahui dengan membandingkan esktremitas normal.

c.   Pemendekan tulang terjadi pada fraktur panjang karena kontraksi otot yang

melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.

d.    Krepitus teraba saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, yang teraba akibat

gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.

e.   Pembengkakan dan perubahan warna kulit lokal pada kulit yang terjadi akibat

trauma dan pendarahan yang mengalami fraktur.    

Corwin (2009, hal 337) juga menyebutkan dan menjelaskan bahwa manifestasi

klinis dari fraktur adalah sebagai berikut :

a.       Nyeri biasanya patah tulang traumatik dan cedera jaringan lunak. Spasme otot

dapat terjadi setelah patah tulang dan menimbulkan nyeri aktivitas dan berkurang

dengan istirahat. Fraktur patologis mungkin tidak disertai nyeri.

b.      Posisi tulang atau ekstremitas yang tidak alami mungkin tampak jelas.

c.       Pembengkakan di sekitar tempat fraktur akan menyertai proses inflamasi.

4
d.    Gangguan sensasi atau kesemutan dapat terjadi, yang menandakan kerusakan

saraf. Denyut nadi di bagian distal fraktur harus utuh dan sama dengan bagian

nonfraktur. Hilangnya denyut nadi di sebelah distal dapat menandakan sindrom

kompartemen.

e.    Krepitus (suara gemeretak) dapat terdengar saat tulang digerakkan karena ujung

ujung patahan tulang bergeser satu sama lain. 

4.      Klasifikasi

Corwin (2009, hal : 335) mengemukakan istilah-istilah yang digunakan

untuk menjelaskan berbagai jenis fraktur, antara lain :

a.    Fraktur komplit, yaitu fraktur yang mengenai suatu tulang secara keseluruhan.

b.    Fraktur inkomplit, yaitu fraktur yang meluas secara parsial pada tulang.

c.    Fraktur sederhana (tertutup), yaitu fraktur yang tidak menyebabkan robeknya

kulit.

d.   Fraktur compound (terbuka), yaitu fraktur yang menyebabkan robeknya kulit.

Menurut  Mansjoer (2000, hal : 364)  klasifikasi fraktur adalah sebagai berikut :

a.   Fraktur tertutup (closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang

dengan dunia luar.

b.   Fraktur terbuka (open compund), bila terdapat hubungan antara fragmen tulang

dengan dunia luar karena  adanya  perlukaaan di kulit.

Adapun klasifikasi fraktur terbuka berdasarkan tingkat derajatnya, yaitu :

5
1)   Derajat I : luka kurang 1 cm, kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda

luka remuk, fraktur sederhana, transversal, oblik / kominutif ringan dan

kontaminasi minimal.

2)   Derajat II : Laserasi kurang 1 cm, kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap /

avulsi, fraktur kominutif sedang, kontaminasi sedang.

3)   Derajat III : terjadi kerusakan jaringan lunak yang luas, meliputi struktur kulit,

otot dan neurovaskuler serta kontaminasi derajat tinggi.

Smeltzer (2001, hal : 2358) menyebutkan bahwa klasifikasi fraktur berdasarkan

pergeseran anatomis  tulang bergeser atau tidak bergeser, adalah sebagai berikut :

a.     Greenstik, yaitu fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi lainnya.

b.    Transversal, yaitu fraktur sepanjang garis tengah tulang.

c.    Oblik, yaitu fraktur yang membentuk sudut garis tengah tulang (lebih tidak

stabil dibandingkan transversal)

d.    Spiral, yaitu fraktur memuntir seputar tulang.

e.    Kominutif, yaitu fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen.

f.    Depresi, yaitu fraktur dengan fragmen patahan dorongan ke dalam (sering terjadi

pada tulang tengkorak dan wajah).

g.   Kompresi, yaitu fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang

belakang).

h.   Patologik, yaitu fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista tulang,

metastasis tulang, tumor).

i.   Avulsi, tertariknya fragmen oleh ligament / tendon pada perlekatannya.

j.   Epifesial, yaitu fraktur melalui epifisis.

6
k.   Impaksi, yaitu fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang

lainnya.

Selanjutnya, Smeltzer (2001) menyebutkan bahwa klasifikasi fraktur femur ada 6

(enam) tipe, antara lain :

a.   Fraktur Subtrochanter Femur

Fraktur subtrochanter femur yaitu fraktur di mana garis patahnya berada 5 cm dari

distal trochanter minor, fraktur ini dibagi dalam beberapa klasifikasi tetapi lebih

sederhana dan mudah dipahami adalah klasifikasi Fielding dan Magliato, yaitu :

1)      Tipe I yaitu garis fraktur satu level dengan trochanter minor.

2)      Tipe II yaitu garis patah berada 1-2 inch di bawah dari batas trochanter minor.

3)      Tipe III yaitu garis patah berada 2-3 inch di distal dari batas atas trochanter

minor. 

b.   Fraktur Batang Femur (Dewasa)

Fraktur batang femur biasanya terjadi karena truma langsung akibat kecelakaan

atau jatuh dari ketinggian, patah pada daerah ini dapat menimbulkan perdarahan

yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan penderita jatuh dalam shock, salah

satu klasifikasi fraktur batang femur dibagi berdasarkan adanya luka  yang

berhubungan dengan daerah yang patah, yaitu dengan 2 jenis antara lain:

7
1)      Fraktur tertutup

2)      Fraktur terbuka, ketentuan fraktur femur bila terdapat hubungan tulang yang

patah dengan dunia luar dibagi dalam 3 (tiga) derajat, yaitu :

a)      Derajat I, terjadi apabila hubungan dengan dunia luar timbul luka kecil,

biasanya diakibatkan oleh tusukan fragmen tulang dari dalam  menembus keluar.

b)      Derajat II, terjadinya luka lebih besar (> 1 cm) dan luka ini disebabkan karena

benturan dari luar.

c)      Derajat III, terjadinya luka lebih luas dari derajat kedua, lebih kotor  dan

jaringan lunak banyak yang ikut rusak.

c.       Fraktur Supracondyler Femur

Fraktur supracondyler femur fragmen bagian distal selalu terjadi dislokasi

ke posterior, hal ini biasanya disebabkan karena adanya tarikan dari otot-otot

gastrocnemius, bisanya fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena

kecepatan tinggi sehingga terjadi gaya axial stres valgus  atau varus disertai

rotasi.   

d.      Fraktur Intercondyler Femur

Fraktur intercondyler femur biasanya diikuti oleh fraktur supercondyler,

sehingga terjadi bentuk T atau Y  pada fraktur.

e.       Fraktur Condyler Femur

Mekanisme trauma fraktur condyler femur biasanya merupakan kombinasi

dari gaya hiperabduksi dan abduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur ke

atas.

8
f.       Fraktur Colum Femur

Fraktur colum femur dapat disebabkan oleh trauma langsung, misalnya

penderita jatuh dengan posisi miring dimana daerah trochanter mayor langsung

terbentur dengan benda keras (jalanan) ataupun disebabkan oleh trauma tidak

langsung yaitu karena gerakan exorotasi yang mendadak dari tungkai bawah.

Fraktur ini dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu :

1)      Fraktur intrakapsuler yaitu fraktur femur yang terjadi di dalam sendi, panggul

dan kapsula, melalui kepala femur (capital fraktur) dan melalui leher dari femur.

2)      Fraktur ekstrakapsuler yaitu fraktur yang terjadi di luar sendi dan kapsul

melalui trochanter femur yang lebih besar / kecil pada daerah intertrochanter dan

terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 (dua) inch di

bawah trochanter kecil.

5.      Patofisiologi

Corwin (2009, hal : 337) menjelaskan bahwa  patofisologi pada fraktur

yaitu ketika tulang patah, sel tulang mati. Perdarahan biasanya terjadi di sekitar

tempat patah dan ke dalam jaringan lunak di sekitar tulang tersebut. Jaringan

lunak biasanya mengalami kerusakan akibat cedera. Reaksi inflamasi yang intens

terjadi setelah patah tulang. Sel darah putih dan sel mast berakumulasi sehingga

menyebabkan peningkatan aliran darah ke area tersebut. Fagositosis dan

pembersihan debris sel mati dimulai. Bekuan fibrin (hematoma fraktur)  terbentuk

di tempat patah dan berfungsi sebagai jala untuk melekatnya sel-sel baru.

9
Aktivitas osteoblas segera terstimulasi dan terbentuk tulang baru imatur yang

disebut kalus.  Bekuan fibrin segera direabsorbsi dan sel tulang baru secara

perlahan mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati.

Selanjutnya, Corwin (2009, hal : 337) menambahkan bahwa tulang sejati

menggantikan kalus dan secara perlahan mengalami kalsifikasi. Penyembuhan

memerlukan waktu beberapa minggu sampai beberapa bulan (fraktur pada anak

sembuh lebih cepat). Penyembuhan dapat terganggu atau terlambat apabila

hematoma fraktur atau kalus rusak sebelum tulang sejati terbentuk, atau apabila

sel tulang baru rusak selama kalsifikasi dan pengerasan.

6.      Penatalaksanaan  

Suratun (2008, hal : 150) menyebutkan bahwa ada 4 (empat) konsep dasar

yang harus dipertimbangkan untuk menangani fraktur, yaitu :

a.      Rekognisi, yaitu menyangkut diagnosis fraktur pada tempat kecelakaan dan

selanjutnya di rumah sakit dengan melakukan pengkajian terhadap riwayat

kecelakaan, derajat keparahan, jenis kekuatan yang berperan pada peristiwa yang

terjadi, serta menentukan kemungkinan adanya fraktur melalui pemeriksaan dan

keluhan dari klien.

b.     Reduksi fraktur, yaitu mengembalikan posisi tulang ke posisi anatomis, dengan

cara :

1)      Reduksi terbuka : dengan pembedahan, memasang alat fiksasi interna (misalnya

pen, kawat, sekrup, plat, paku dan batangan logam).

10
2)      Reduksi tertutup :ekstremitas dipertahankan dengan gips, traksi, brace, bidai,

dan fiksator eksternal.   

c.       Imobilisasi : setelah direduksi, fragmen  tulang harus diimobilisasi atau

dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar hingga terjadi penyatuan.

Metode imobilisasi dilakukan dengan fiksasi eksterna dan interna. 

d.      Mempertahankan dan mengembalikan fungsi, meliputi :

1)      Mempertahankan reduksi dan imobilisasi

2)      Meninggikan daerah fraktur untuk meminimalkan pembengkakan

3)      Memantau status neuromuskular

4)      Mengontrol kecemasan dan nyeri

5)      Latihan isometrik dan setting otot

6)      Kembali pada aktivitas semula secara bertahap

Menurut Corwin (2009, hal : 339) penatalaksanaan yang dilakukan  pada

kasus fraktur, yaitu :

a.       Fraktur harus segera diimobilisasi untuk memungkinkan pembentukan

hematoma fraktur dan meminimalkan kerusakan.

b.      Penyambungan kembali tulang (reduksi) penting dilakukan agar terjadi

pemulihan posisi dan rentang gerak kembali normal. Sebagian besar reduksi dapat

dilakukan tanpa intervensi bedah (reduksi tertutup). Apabila diperlukan

pembedahan untuk fiksasi (reduksi terbuka), pin atau sekrup dapat dipasang untuk

mempertahankan sambungan. Traksi dapat diperlukan untuk mempertahankan

reduksi dan menstimulasi penyembuhan.

11
c.     Imobilisasi jangka panjang setelah reduksi penting dilakukan agar terjadi

pembentukan kalus dan tulang baru. Imobilisasi jangka panjang biasanya

dilakukan dengan pemasangan gips, atau penggunaan bidai.

Smeltzer (2001, hal 2359) menjelaskan bahwa penatalaksanaan kedaruratan yang

dilakukan pada kasus fraktur adalah sebagai berikut :

a.     Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan bingung, tidak menyadari

adanya fraktur dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah. Maka bila

dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera

sebelum pasien dipindahkan. Bila pasien yang mengalami cedera harus

dipindahkan dari kenderaan sebelum dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas

harus disangga di atas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi

maupun angulasi. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri,

kerusakan jaringan lunak dan perdarahan lebih lanjut.

b.    Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan

menghindarkan gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian

yang memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh

fragmen tulang.

c.    Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan

bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang. Imobilisasi

tulang panjang ekstremitas bawah juga dapat dilakukan dengan membebat kedua

tungkai bersama, dengan ekstremitas yang sehat bertindak sebagai bidai bagi

ekstremitas yang cedera. Pada cedera ekstremitas atas, lengan dapat dibebatkan ke

dada, atau lengan bawah yang cedera digantung pada sling. 

12
d.     Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengan pembalut bersih (steril) untuk

mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan

reduksi fragmen, bahkan bila ada fragmen tulang yang keluar melalui luka maka

pasangkan bidai sesuai yang diterangkan diatas.

e.      Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian

dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh yang sehat dan kemudian

dari sisi yang cedera. Pakaian pasien mungkin harus dipotong pada sisi yang

cedera. Ekstremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah

kerusakan lebih lanjut.       

7.      Komplikasi

Menurut Suratun (2008, hal : 150) komplikasi pada kasus fraktur adalah

sebagai berikut :

a.       Komplikasi awal

1)      Syok yaitu dapat berupa fatal dalam beberapa jam setelah odema

2)      Emboli lemak yaitu dapat terjadi 24-72 jam

b.      Komplikasi lanjutan

1)      Mal union / non union

2)      Nekrosis avaskular tulang

3)      Reaksi terhadap alat fiksasi interna

13
8.      Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur

Smeltzer (2001, hal 2361) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi penyembuhan fraktur adalah sebagai berikut :

a.       Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur, yaitu :

1) Imobilisasi fragmen tulang,

2) Kontak fragmen tulang maksimal,

3) Asupan darah yang memadai,

4) Nutrisi yang baik,

5) Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang,

6) Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik,

7) Potensial listrik pada patahan tulang

b.     Faktor yang memperlambat penyembuhan fraktur, yaitu :

1) Trauma lokal akstensif,

2) Kehilangan tulang,

3) Imobilisasi tidak memadai,

4) Rongga atau jaringan diantara fragmen,

5) Infeksi,

6) Keganasan lokal,

7) Penyakit tulang metabolik,

8) Radiasi tulang (nekrosis radiasi),

9)  Nekrosis avaskuler,

14
10) Fraktur intraartikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin, yang akan

melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan jendalan),

11) usia (lansia sembuh lebih lama),

12) kortikosteroid (menghambat percepatan perbaikan).

B.     Asuhan Keperawatan

1.      Pengkajian

Menurut Doenges (1999, hal : 761) pengkajian pada klien fraktur,

didasarkan pada gejala-gejala yang tergantung pada sisi, beratnya dan jumlah

kerusakan pada struktur lain, yang meliputi :

a. Aktivitas / istirahat

Tanda : keterbatasan / kehilangan fungsi yang efektif (perkembangan sekunder

dari jaringan yang bengkak / nyeri)

b. Sirkulasi

Tanda : hipertensi (kadang terlihat sebagai respon terhadap nyeri / ansietas) atau

hipotensi (kehilangan darah), takikardia (respon stres, hipovelemi), penurunan

nadi pada distal yang cedera, pengisian kapiler lambat, pembengkakan jaringan

atau hematoma pada sisi yang cedera.

c. Neurosensori

Gejala : hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot, kebas / kesemutan (parestesia).

Tanda : deformitas lokal ; angulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi,

spasme otot, terlihat kelemahan / hilangnya fungsi, agitasi (mungkin berhubungan

dengan nyeri / ansietas atau trauma lain).

15
d. Nyeri / keamanan

Gejala : nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokasi pada area

jaringan / kerusakan saraf, spasme / kram (setelah imobilisasi).

e. Keamanan 

Tanda : laserasi kulit, avulse jaringan, perdarahan, perubahan warna,

pembengkakan lokal.

f. Penyuluhan / pembelajaran

Gejala : lingkungan cedera.

Pertimbangan rencana pemulangan : memerlukan bantuan dengan transportasi,

aktivitas perawatan diri dan tugas pemeliharaan / perawatan rumah.

g. Pemeriksaan diagnostik 

Adapun pemeriksaan yang dilakukan pada klien fraktur adalah sebagai berikut :

1)      Pemeriksaan rontgen : menentukan lokasi/ luasnya fraktur  atau trauma.

2)      Scan tulang, tomogram, scan CT / MRI : memperlihatkan fraktur dan juga dapat

digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.

3)      Arteriogram : dilakukan apabila kerusakan vaskuler dicurigai.

4)      Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat  (hemokonsentrasi) atau

menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma

multipel), peningkatan jumlah SDP adalah respon stres normal  setelah trauma.

5)      Kreatin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.

6)      Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, tranfusi

multipel, atau cedera hati.

16
2.      Diagnosa Keperawatan

Doenges (1999, hal : 763-775) menyebutkan bahwa diagnosa keperawatan

yang didapat pada klien fraktur adalah sebagai berikut : 

a. Risiko cidera berhubungan dengan hipoksia jaringan.

b. Nyeri (akut) berhubungan dengan gerakan fragmen tulang, edema dan cedera

pada jaringan lunak.

c. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri.

d. Resiko intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakbugaran status fisik.

e. Kurang pengetahuan tentang penyakit berhubungan dengan kurang


terpaparnya informasi tentang penyakit.

3.      Rencana Asuhan Keperawatan

Menurut Doenges (1999, hal : 763-775) perencanaan yang akan

dilaksanakan pada diagnosa keperawatan klien fraktur adalah sebagai berikut

Diagnosa Tujuan (Kriteria Hasil) Intervensi

17
Keperawatan

1. Risiko cidera Setelah dilakukan tindakan Observasi


keperawatan selama 3x24 jam, - Identifikasi area
berhubungan maka diharapkan nyeri lingkungan yang
berkurang atau terkontrol berpotensi
dengan
dengan kriteria hasil : menyebabkan
hipoksia cedera
- Tingkat cedera - Identifikasi obat
jaringan menurun yang berpotensi
- Toleransi aktivitas menyebabkan
cedera
Meningkat - Identifikasi
kesesuaian alas
- Toleransi makanan
kaki atau stoking
meningkat
elastis pada
- Kejadian cedera ekstermitas bawah
menurun Terapeutik
- Sediakan
- Luka atau lecet pencahayaan yang
menurun memadai
- Gunakan lampu
- Ketegangan otot
tidur selama jam
menurun
tidur
- Fraktur menurun - Sosialisasikan
pasien dan keluarga
- Perdarahan menurun dengan lingkungan
- Ekspresi wajah ruang rawat (mis
kesakitan menurun penggunaan
telepon, tempat
- Agitas menurun tidur, penerangan
ruangan, lokasi
- Iribilitasi menurun
kamar mandi)
- Gangguan mobilitas - Gunakan alas lantai
menurun jika mengalami
cedera serius
- Gangguan kognitif - Sediakan alas kaki
menurun antislip
- Sediakan pispot,
- Tekanan darah
atau urinal untuk
membaik
eliminasi di tempat

18
- Frekuensi nadi tidur jika perlu
- Patikan bel
- Frekuensi napas panggilan mudah di
membaik jangkau
- Denyut jantung apikal - Pastikan barang-
membaik barang pribadi
mudah di jangkau
- Denyut jantung radialis - Pertahankan posisi
membaik tempat tidur di
posisi terendah saat
- Pola atau istirahat tidur
di gunakan
membaik
- Pastikan roda
tempat tidur
terkunci
- Gunakan
pengaman tempat
tidur sesuai dengan
kebijakan fasilitas
Kesehatan
- Diskusikan
mengenai Latihan
dan terapi fisik
yang di perlukan
- Diskusikan
mengenai alat
bantu mobiltas
yang sesuai (mis,
tongkat atau alat
bantu jalan)
- Diskusikan
Bersama anggota
keluarga yang
dapat mendampingi
pasien
- Tingkatkan
frekuensi observasi
dan pengawasan
pasie, sesuai
kebutuhan
Edukasi

19
- Jelaskan alasan
intervensi
pencegahan jatuh
ke pasien dan
keluarga
- Anjurkan berganti
posisi secara
perlahan dan duduk
selama beberapa
menit sebelum
berdiri.

Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi


keperawatan
2. Nyeri (akut) Setelah dilakukan asuhan Observasi
berhubungan keperawatan Pasien 3x24
dengan jam memiliki cukup energi - Identifikasi lokasi,
gerakan karakteristik, durasi,
untuk beraktivitas. Kriteria
fragmen frekuensi, kualitas,
tulang, hasil :
intensitas nyeri
edema dan
- Keluhan nyeri
cedera pada - Identifikasi skala nyeri
menurun
jaringan
lunak - Indentifikasi respons
- Meringis menurun
nyeri non verbal
- Sikap protektif

20
menurun - Identifikasi faktor yang
memperberat dan
- Gelisah menurun memperingan nyeri
- Kesulitan tidur - Identifikasi pengetahuan
menurun dan keyakinan tentang
nyeri
- Menarik diri
menurun - Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
- Berfokus pada diri
sendiri meningkat nyeri

- Identifikasi pengaruh
- Diaforesis
menurun nyeri pada kualitas hidup

- Monitor keberhasilan
- Perasaan depresi
(tertekan) menurun terapi komplementer yang
sudah diberikan
- Perasaan takut
mengalami cedera - Monitor efek samping
berulang menurun penggunaan analgetik

- Anoreksia Teraupetik
menurun
- Berikan Teknik
- Perineum terasa nonfarmakologis untuk
tertekan menurun mengurangi rasa nyeri
(mis, hypnosis akupresur,
- Uterus teraba kompres hangat/dingin)
membulat menurun
- Kontrol lingkungan yang
- Ketegangan otot memperberat rasa nyeri
menurun (mis, suhu ruangan,
pencahayaan, kebisingan
- Pupil dilatasi
menurun - Fasilitas istirahat dan
tidur
- Muntah menurun
- Pertimbangkan jenis dan
- Mual menurun
sumber nyeri dalam
- Pola nafas pemilihan strategi
membaik meredakan nyeri

- Tekanan darah Edukasi

21
membaik - Jelaskan penyebab,
periode, dan pemicu nyeri
- Proses berpikir
membaik - Jelaskan strategi
meredakan nyeri
- Fokus membaik
- Anjurkan memonitor
- Fungsi berkemih nyeri secara mandiri
membaik
1. Anjurkan menggunakan
- Perilaku membaik analgetik secara tepat

- Nafsu makan 2. Anjurkan Teknik


membaik nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
- Pola tidur
membaik Kolaborasi

- Kolaborasi pemberian
analgetik, jika perlu

Diagnosa Tujuan Kriteria Hasil Intervensi


keperawatan
3. Hambatan Setelah dilakukan - Kaji kebutuhan akan pelayanan
mobilitas fisik asuhan keperawatan kesehatan dan kebutuhan akan
berhubungn 3x24 jam peralatan.
dengan nyeri - Tentukan tingkat motivasi
Tujuan : pasien akan pasien dalam melakukan
menunjukkan tingkat aktivitas.
- Ajarkan dan pantau pasien
mobilitas optimal.
dalam hal penggunaan alat
Kriteria hasil : bantu.
- Ajarkan dan dukung pasien
- penampilan yang
dalam latihan ROM aktif dan
seimbang.
pasif.
- melakukan
- Kolaborasi dengan ahli terapi
pergerakkan dan
fisik atau okupasi.
perpindahan.
- mempertahankan
mobilitas optimal
yang dapat di

22
toleransi.

Diagnosa Tujuan kriteria hasil Intervensi

keperawatan
4. Resiko Setelah dilakukan asuhan Observasi
keperawatan 3x24 jam pasien di
intoleransi harapkan memiliki kriteria hasil - Identifikasi gangguan

aktivitas - Frekuensi nadi meningkat fungsi tubuh yang

berhubungan - Saturasi oksigen meningkat mengakibatkan kelelahan

dengan - Kemudahan dalam melakukan - Monitor kelelahan fisik

ketidakbugara sehari-hari meningkat dan emosional

n status fisik - Kecepatan berjalan meningkat - Monitor pola dan jam

- Jarak berjalan meningkat tidur

23
- Kekuatan tubuh bagian atas - Monitor lokasi dan

meningkat ketidaknyamanan selama

- Kekuatan bagian tubuh bagian melakukan aktivitas

bawah meningkat Terapeutik

- Toleransi dalam menaiki tangga - Sediakan lingkungan

meningkat nyaman dan rendah

- Keluhan Lelah menurun stimulus

- Dispnea saat aktivitas menurun - Lakukan Latihan rentang

- Dispnea setelah aktivitas gerak pasif dan atau aktif

menurun - Berikan aktivitas distraksi

- Perasaan lemah menurun yang menenangkan

- Aritmia saat aktivitas menurun - Fasilitas duduk di sisi

- Aritmia setelah aktivitas tempat tidur, jika tidak

menurun dapat berpindah atau

- Sianosi menurun berjalan

- Warna kulit membaik Edukasi

- Tekanan darah membaik - Anjurkan melakukan

- Frekuensi napas membaik aktivitas secara perlahan

- Ajarkan strategi koping

untuk mengurangi

kelelahan

24
Diagnosa Tujuan kriteria Intervensi

Keperawatan
5. Kurang Setelah dilakukan - Kaji tingkat
pengetahuan asuhan keperawatan pengetahuan klien dan
tentang 3x24 jam pasien di keluarga tentang
penyakit
harapkan memiliki penyakitnya.
berhubungan
dengan kurang kriteria hasil
- Berikan penjelasan
terpaparnya
Tujuan : pada klien tentang
informasi
tentang penyakit dan
- pasien kondisinya sekarang.
penyakit
mengutarakan
pemahaman - Anjurkan klien dan
tentang kondisi, keluarga untuk
efek prosedur memperhatikan diet
makanan nya.
- dan proses
pengobatan. - Minta klien dan
Kriteria Hasil : keluarga mengulangi
kembali tentang
- melakukan materi yang telah
prosedur yang

25
diperlukan dan diberikan
menjelaskan
alasan dari suatu
tindakan.

- memulai
perubahan gaya
hidup yang
diperlukan dan
ikut serta dalam
regimen
perawatan

DAFTAR PUSTAKA

NISA, ISMI MUFADILATUN. "ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN


POST OPERASI ORIF FRAKTUR FEMUR DEXTRA DENGAN NYERI
AKUT DI RUANG MARJAN ATAS RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR
SLAMET GARUT." (2020).

NISA, I. M. (2020). ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN POST


OPERASI ORIF FRAKTUR FEMUR DEXTRA DENGAN NYERI AKUT DI
RUANG MARJAN ATAS RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR SLAMET
GARUT.

NISA, ISMI MUFADILATUN. ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN


POST OPERASI ORIF FRAKTUR FEMUR DEXTRA DENGAN NYERI

26
AKUT DI RUANG MARJAN ATAS RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR
SLAMET GARUT. 2020.

Widiyawati, Andani, and Ida Mardalena. PENERAPAN MOBILISASI DINI PADA


ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN POST OPERASI FRAKTUR FEMUR
DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS DI RSUD
SLEMAN. Diss. poltekkes kemenkes yogyakarta, 2018.

Widiyawati, A., & Mardalena, I. (2018). PENERAPAN MOBILISASI DINI PADA


ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN POST OPERASI FRAKTUR FEMUR
DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS DI RSUD
SLEMAN (Doctoral dissertation, poltekkes kemenkes yogyakarta).

WIDIYAWATI, Andani, et al. PENERAPAN MOBILISASI DINI PADA ASUHAN


KEPERAWATAN PASIEN POST OPERASI FRAKTUR FEMUR DENGAN
GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN AKTIVITAS DI RSUD SLEMAN.
2018. PhD Thesis. poltekkes kemenkes yogyakarta.

27

Anda mungkin juga menyukai