OLEH:
DWI ARIATI
NIM. 2114901056
FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
INSTITUT TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
DENPASAR
2022
A. Tinjauan Kasus
1. Pengertian
Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang rawan baik bersifat
total maupun sebagian, penyebab utama dapat disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik tulang itu sendiri dan jaringan lunak disekitarnya
(Helmi, 2012).
Fraktur atau patah tulang adalah kondisi dimana kontinuitas
jaringan tulang dan atau tulang rawan terputus secara sempurna atau
sebagian yang disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis (Smeltzer &
Bare, 2013).
Fraktur atau patah tulang adalah ganguan dari kontinuitas yang
normal dari suatu tulang (Black 2014). Jika terjadi fraktur, maka jaringan
lunak di sekitarnya juga sering kali terganggu. Radiografi (sinar-x) dapat
menunjukkan keberadaan cedera tulang, tetapi tidak mampu
menunjukkan otot atau ligamen yang robek, saraf yang putus, atau
pembuluh darah yang pecah sehingga dapat menjadi komplikasi
pemulihan klien (Black dan Hawks, 2014).
Fraktur dapat terjadi di bagian ekstremitas atau anggota gerak
tubuh yang disebut dengan fraktur ekstremitas. Fraktur ekstremitas
merupakan fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi
ekstremitas atas (tangan, lengan, siku, bahu, pergelangan tangan, dan
bawah (pinggul, paha, kaki bagian bawah, pergelangan kaki). Fraktur
dapat meimbulkan pembengkakan, hilangnya fungsi normal, deformitas,
kemerahan, krepitasi, dan rasa nyeri (Ghassani, 2016).
Fraktur femur adalah hilangnya kontinuitas tulang paha, kondisi
fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang
disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang disebabkan oleh trauma
langsung pada paha (Helmi, 2014).
2. Klasifikasi
Fraktur dapat dijelaskan dengan banyak cara. Bahkan ada lebih dari
150 tipe fraktur yang telah dinamai bergantung pada berbagai metode
klasifikasi (Black, 2014). Menurut Wiarto (2017) fraktur dapat dibagi
menjadi beberapa klasifikikasi, yaitu:
a. Klasifikasi berdasarkan etiologi:
1) Fraktur traumatik
2) Fraktur patologis, yaitu fraktur yang terjadi pada daerah-daerah
tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor atau proses
patologik lainnya (infeksi dan kelainan bawaan) dan dapat terjadi
secara spontan atau akibat trauma ringan.
3) Fraktur beban (kelelahan), yaitu fraktur yang terjadi pada orang-
orang yang baru saja menambah tingkat aktivitas merka atau
karena adanya stress yang kecil dan berulang-ulang pada daerah
tulang yang menopang berat badan.
b. Berdasarkan sifar fraktur:
1) Fraktur tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
karena kulit masih utuh tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0 : Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa
cedera jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1 : Fraktur dengan abrasi dangkal atau memar
kulit dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2 : Fraktur yang lebih berat dengan kontusio
jaringan lunak bagian dalam dan
pembengkakan.
d) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan
lunak yang nyata ddan ancaman sindroma
kompartement.
2) Fraktur terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
Fraktur terbuka dibagi atas 3 derajat, yaitu:
a) Grade 1 (Sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit).
(1) Luka < 1 cm
(2) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka
remuk
(3) Fraktur sederhana, transversal, atau kominutif ringan
(4) Kontaminasi minimal
b) Grade II (Fraktur terbuka dan sedikit kerusakan kulit).
(1) Laserasi < 1cm
(2) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse.
(3) Fraktur kominutif sedang
(4) Kontaminasi sedang
c) Grade III
Banyak sekali jejas kerusakan kulit, otot jaringan saraf dan
pembuluh darah serta luka sebesar 6-8 cm (Sjamsuhidayat, 2010
dalam Wijaya & Putri, 2013).
c. Berdasarkan komplit atau ketidak komplitan fraktur:
1) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang
tulang atau melalui kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
2) Fraktur Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh
penampang tulang seperti:
a) Hair line fracture (patah retak rambut). Hal ini disebabkan
oleh stress yang tidak biasa atau berulang-ulang dan juga
karena berat badan terus menerus pada pergelangan kaki.
b) Buckle atau torus fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya.
c) Green stick fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
d. Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme
trauma:
1) Fraktur tranversal yaitu fraktur yang arahnya melintang pada
tulang dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik yaitu fraktur yang arah garis patahannya membentuk
sudut terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat trauma
angulasi juga.
3) Fraktur spiral yaitu fraktur yang arah garis patahnya berbentuk
spiral yang disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi yaitu fraktur yang terjadi karena trauma aksial
fieksi yang mendorong tulang arah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi yaitu fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
e. Berdasarkan jumlah garis patah yaitu:
1) Fraktur komunitif yaitu fraktur dimana garis patah lebuh dari satu
dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental yaitu fraktur dimana garis patah lebih dari satu
tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur multiple fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak padda tulang yang sama.
f. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang:
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser) yaitu garis patah lengkap
tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser) yaitu terjadi pergeseran fragmen
tulang yang juga disebut lokasi fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad-longitudinam cum contraction (pergeseran searah
sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh.
3. Penyebab
Tekanan berlebihan atau trauma langsung pada tulang
menyebabkan suatu retakan sehingga mengakibatkan kerusakan pada otot
dan jaringan. Kerusakan otot dan jaringan akan menyebabkan
perdarahan, edema, dan hematoma. Lokasi retak mungkin hanya retakan
pada tulang, tanpa memindahkan tulang manapun. Fraktur yang tidak
terjadi disepanjang tulang dianggap sebagai fraktur yang tidak sempurna
sedangkan fraktur yang terjadi pada semua tulang yang patah dikenal
sebagai fraktur lengkap (Digiulio, Jackson dan Keogh, 2014).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010)
dapat dibedakan menjadi:
a) Cedera traumatik
Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh:
1) Cedera langsung yaitu pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan.
2) Cedera tidak langsung yaitu pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga
menyebabkan fraktur klavikula.
3) Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak.
b) Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan:
1) Tumor tulang yaitu pertumbuhan jaringan baru yang tidak
terkendali.
2) Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut atau dapat timbul salah satu proses yang progresif.
3) Rakhitis
4) Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus
menerus
Menurut Helmi (2012), hal-hal yang dapat menyebabkan terjadinya
fraktur adalah:
a. Fraktur traumatik, disebabkan karena adanya trauma ringan atau
berat yang mengenai tulang baik secara langsung maupun tidak.
b. Fraktur stress, disebabkan karena tulang sering mengalami
penekanan.
c. Fraktur patologis, disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi
patologis penyakit yang akan menimbulkan fraktur.
Penyebab dari fraktur femur itu sendiri yaitu:
a. Peristiwa Trauma Tunggal
Sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan
berlebihan seperti:
1) Pemuntiran (rotasi), yang menyebabkan fraktur 21 spiral
2) Penekukan (trauma angulasi atau langsung) yang dapat
menyebabkan fraktur melintang
3) Penekukan dan penekanan, yang mengakibatkan fraktur sebagian
melintang tetapi disertai fragmen kupu-kupu berbentuk segitiga
yang terpisah
4) Kombinasi dari pemuntiran, penekukan, dan penekanan yang
menyebabkan fraktur obliq pendek
5) Penarikan dimana tendon atau ligament benar-benar menarik tulang
sampai terpisah (Helmi, 2014).
b. Kelemahan abnormal pada tulang
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal jika tulang itu
lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh
(misalnya pada penyakit paget) (Helmi, 2014).
4. Patofisiologi
Fraktur adalah semua kerusakan pada kontinuitas tulang, fraktur
beragam dalam hal keparahan berdasarkan lokasi dan jenis fraktur.
Meskipun fraktur terjadi pada semua kelompok usia, kondisi ini lebih
umum pada orang yang mengalami trauma yang terus-menerus dan pada
pasien lansia. Fraktur dapat terjadi akibat pukulan langsung, kekuatan
tabrakan, gerakan memutar tiba-tiba, kontraksi otot berat, atau penyakit
yang melemahkan tulang. Dua mekanisme dasar fraktur yaitu kekuatan
langsung atau kekuatan tidak langsung. Dengan kekuatan langsung,
energi kinetik diberikan pada atau dekat tempat fraktur. Tulang tidak
dapat menahan kekuatan. Dengan kekuatan tidak langsung, energi kinetik
di transmisikan dari titik dampak ke tempat tulang yang lemah.
Keparahan dari fraktur bergantung pada gaya yang menyebabkan
fraktur. Jika ambang fraktur suatu tulang hanya sedikit terlewati, maka
tulang mungkin hanya retak saja bukan patah. Jika gayanya sangat
ekstrem, seperti tabrakan mobil, maka tulang dapat pecah
berkepingkeping. Saat terjadi fraktur, otot yang melekat pada ujung
tulang dapat terganggu. Otot dapat mengalami spasme dan menarik
fragmen fraktur keluar posisi. Kelompok otot yang besar dapat
menciptakan spasme yang kuat bahkan mampu menggeser tulang besar,
seperti femur. Walaupun 10 bagian proksimal dari tulang patah tetap
pada tempatnya, namun bagian distal dapat bergeser karena faktor
penyebab patah maupun spasme pada otot-otot sekitar. Fragmen fraktur
dapat bergeser ke samping, pada suatu sudut (membentuk sudut), atau
menimpa segmen tulang lain. Fragmen juga dapat berotasi atau
berpindah.
Selain itu, periosteum dan pembuluh darah di korteks serta
sumsum dari tulang yang patah juga terganggu sehingga dapat
menyebabkan sering terjadi cedera jaringan lunak. Perdarahan terjadi
karena cedera jaringan lunak atau cedera pada tulang itu sendiri. Pada
saluran sumsum (medula), hematoma terjadi diantara fragmen-fragmen
tulang dan dibawah periosteum. Jaringan tulang disekitar lokasi fraktur
akan mati dan menciptakan respon peradangan yang hebat sehingga akan
terjadi vasodilatasi, edema, nyeri, kehilangan fungsi, eksudasi plasma
dan leukosit. Respon patofisiologis juga merupakan tahap penyembuhan
tulang (Black dan Hawks (2014)).
5. WOC/Pathway
Terlampir
6. Manifestasi Klinis (Tanda dan Gejala)
Manifestasi Klinis menurut Black dan Hawks (2014) yaitu:
a. Deformitas
Pembengkaan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas
pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan
tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi. Dibandingkan sisi
yang sehat, lokasi fraktur dapat memiliki deformitas yang nyata.
b. Pembengkakan
Edema dapat muncul segera, sebagai akibat dari akumulasi cairan
serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan
sekitar.
c. Memar yang mana terjadi karena perdarahan subkutan pada lokasi
fraktur.
d. Spasme otot
Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk
mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.
e. Nyeri
Jika klien secara neurologis masih baik, nyeri akan selalu
mengiringi fraktur, intensitas dan keparahan dari nyeri akan
berbeda pada masing-masing klien. Nyeri biasanya terus-menerus,
meningkat jika fraktur dimobilisasi. Hal ini terjadi karena spasme
otot, fragmen fraktur yang bertindihan atau cedera pada struktur
sekitarnya.
f. Ketegangan, ini terjadi diatas lokasi fraktur yang disebabkan oleh
cedera yang terjadi.
g. Kehilangan fungsi
Hilangnya fungsi terjadi karena nyeri yang disebabkan fraktur atau
karena hilangnya fungsi pengungkit lengan pada tungkai yang
terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi dari cedera saraf.
h. Gerakan abnormal dan krepitasi
Manifestasi ini terjadi karena gerakan dari bagian tengah tulang
atau gesekan antar fragmen fraktur.
i. Perubahan neurovaskular
Cedera neurovaskuler terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau
struktur vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas
atau kesemutan atau tidak teraba nadi pada daerah distal dari
fraktur
j. Syok
Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar
atau tersembunyi dapat menyebabkan syok.
7. Komplikasi
Menurut Wahid (2013) komplikasi fraktur dibedakan menjadi
komplikasi awal dan lama yaitu:
a. Komplikasi awal
1) Kerusakan arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya
nadi, CRT menurun, sianosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstremitas yang disebabkan oleh tindakan
emergency splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi dan pembedahan.
2) Kompartemen syndrom.
Kompartement sindrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh odema atau peredaran arah yang
menekan otot, tulang, saraaf dan pembuluh darah. Selain itu karena
tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
3) Fat embolism syndrom
Kompilasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang
panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone
marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah yang ditandai dengan gangguan pernafasan,
takikardi, hipertensi, takipneu dan demam.
4) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedik infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan
masuk kedalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka,
tapi bisa juga karena pengunaan bahan lain dalam pembedahan
seperti pin dan plat.
5) Avaskuler nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AV) terjadi karena aliran daarah ke tulang
rusak atau terganngu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan
diawali dengan adanya Volkman Ischemia.
6) Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebakan menurunnya
oksigenasi.
b. Komplikasi lanjut.
Biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah terjadinya
fraktur paada pasien yang telah menjalani proses pembedahan.
Menurut kutipan dari Smeltzer dan Bare (2013), komplikasi ini dapat
berupa:
1) Komplikasi pada sendi seperti kekakuan sendi yang menetap
dan penyakit degeneratif sendi pasca trauma.
2) Komplikasi pada tulang seperti penyembuhan fraktur yang tidak
normal (delayed union, mal union, non-union).
3) Komplikasi pada otot seperti atrofi otot dan rupture tendon
lanjut.
4) Komplikasi pada syaraf seperti tardy nerve palsy yaitu saraf
menebal akibat adanya fibrosis intraneural.
8. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
Menurut Istianah (2017) Pemeriksan Diagnostik antara lain:
a. Foto rontgen (X-ray) untuk menentukan lokasi dan luasnya fraktur.
b. Scan tulang, temogram, atau scan CT/MRIB untuk memperlihatkan
fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Anteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan
vaskuler.
d. Hitung darah lengkap, hemokonsentrasi mungkin meningkat atau
menurun pada perdarahan selain itu peningkatan leukosit mungkin
terjadi sebagai respon terhadap peradangan.
e. Kreatinin yang mana trauma otot meningkat beban kratinin untuk
klirens ginjal.
f. Profil koagulasi yang mana perubahan dapat terjadi pada
kehilangan darah, transfusi atau cedera hati.
Pemeriksaan lain-lain:
a. Biopsi tulang dan otot
Pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih
diindikasikan bila terjadi infeksi.
b. Elekromiografi
Terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur.
c. Artroskopi
Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
d. MRI
Menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
e. Indigium Imaging
Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
9. Penatalaksanaan
Prinsip menangani fraktur adalah mengembalikan posisi patahan ke
posisi semula dan mempertahankan posisi itu selama masa penyembuhan
patah tulang. Menurut Sjamsuhidayat (2010) ada beberapa cara yait:
1. Cara pertama penangan adalah proteksi saja tanpa reposisi atau
imobilisasi, misalnya menggunakan mitela. Biasanya dilakukan pada
fraktur iga dan fraktur klavikula pada anak.
2. Cara kedua adalah imobilisasi luar tanpa reposisi, biasanya dilakukan
pada patah tulang tungkai bawah tanpa dislokasi.
3. Cara ketiga adalah reposisi dengan cara manipulasi yang diikuti
dengan imobilisasi, biasanya dilakukan pada patah tulang radius
distal.
4. Cara keempat adalah reposisi dengan traksi secara terus-menerus
selama masa tertentu. Hal ini dilakukan pada patah tulang yang
apabila direposisi akan terdislokasi di dalam gips.
5. Cara kelima berupa reposisi yang diikuti dengan imobilisasi dengan
fiksasi luar.
6. Cara keenam berupa reposisi secara non-operatif diikuti dengan
pemasangan fiksator tulang secara operatif.
7. Cara ketujuh berupa reposisi secara operatif diikuti dengan fiksasi
interna yang biasa disebut dengan ORIF (Open Reduction Internal
Fixation).
8. Cara yang terakhir berupa eksisi fragmen patahan tulang dengan
prosthesis.
Menurut Istianah (2017) penatalaksanaan medis antara lain:
1. Diagnosis dan penilaian fraktur
Anamnesis pemeriksaan klinis dan radiologi dilakukan dilakukan
untuk mengetahui dan menilai keadaan fraktur. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan komplikasi yang
mungkin terjadi selama pengobatan.
2. Reduksi
Tujuan dari reduksi untuk mengembalikan panjang dan kesejajaran
garis tulang yang dapat dicapai dengan reduksi terutup atau reduksi
terbuka. Reduksi tertutup dilakukan dengan traksi manual atau
mekanis untuk menarik fraktur kemudian, kemudian memanipulasi
untuk mengembalikan kesejajaran garis normal. Jika reduksi
tertutup gagal atau kurang memuaskan, maka bisa dilakukan
reduksi terbuka. Reduksi terbuka dilakukan dengan menggunakan
alat fiksasi internal untuk mempertahankan posisi sampai
penyembuhan tulang menjadi solid. Alat fiksasi interrnal tersebut
antara lain pen, kawat, skrup, dan plat. Alat-alat tersebut
dimasukkan ke dalam fraktur melalui pembedahan ORIF (Open
Reduction Internal Fixation). Pembedahan terbuka ini akan
mengimobilisasi fraktur hingga bagian tulang yang patah dapat
tersambung kembali.
3. Retensi
Imobilisasi fraktur bertujuan untuk mencegah pergeseran fragmen
dan mencegah pergerakan yang dapat mengancam penyatuan.
Pemasangan plat atau traksi dimaksudkan untuk mempertahankan
reduksi ekstremitas yang mengalami fraktur.
4. Rehabilitasi
Mengembalikan aktivitas fungsional seoptimal mungkin. Setelah
pembedahan, pasien memerlukan bantuan untuk melakukan latihan.
Menurut Kneale dan Davis (2011) latihan rehabilitasi dibagi
menjadi tiga kategori yaitu:
a. Gerakan pasif bertujuan untuk membantu pasien
mempertahankan rentang gerak sendi dan mencegah
timbulnya pelekatan atau kontraktur jaringan lunak serta
mencegah strain berlebihan pada otot yang diperbaiki post
bedah.
b. Gerakan aktif terbantu dilakukan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pergerakan, sering kali dibantu dengan tangan
yang sehat, katrol atau tongkat.
c. Latihan penguatan adalah latihan aktif yang bertujuan
memperkuat otot. Latihan biasanya dimulai jika kerusakan
jaringan lunak telah pulih, 4-6 minggu setelah pembedahan
atau dilakukan pada pasien yang mengalami gangguan
ekstremitas atas.
b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum klien
Penampilan klien, ekspresi wajah, bicara, mood, berpakaian dan
kebersihan umum, tinggi badan, BB, gaya berjalan.
2) Tanda-tanda vital
Pemeriksaan pada tanda-tanda vital mencakup suhu, nadi,
pernapasan dan tekanan darah.
3) Pada pemeriksaan fisik farktur left supracondiler humerus
tertutup, umumnya didapatkan hal-hal berikut:
a) Look
Pada pemeriksaan look akan didapatkan adanya
pemendekan ekstremitas dan akan lebih jelas derajat
pemendekan dan mengalami pembengkak
b) Feel (Adanya nyeri)
c) Move
Pemeriksaan yang di dapat seperti adanya gangguan
ketidak mampuan menggerakan bahu, mengalami sensasi
bergemetaar saat digerakan, sulit digerakan jika mengalami
cidera saraf, dan deformitas ( pergeseran tulang fragmen pada
fraktur)
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan merupakan keputusan klinis mengenai
seseorang, keluarga atau masyarakat sebagai akibat dari masalah
kesehatan atau proses kehidupan yang aktual atau potensial. Setelah
mengumpulkan data-data klien yang relevan, informasi tersebut
dibandingkan dengan ukuran normal sesuai umur klien, jenis kelamin,
tingkat perkembangan, latar belakang sosial dan psikologis. Diagnosa
keperawatan menggunakan Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(PPNI, 2017):
a. Diagnosa Keperawatan Pre-Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot,
gerakan fragmen tulang, cedera jaringan lunak
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
rangka neuromuscular.
3) Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, akan
menjalani operasi, status ekonomi, dan perubahan fungsi
peran, kurangnya informasi.
4) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan,
perubahan status metabolik, terdapat luka terbuka, terdapat
jaringan nekrosis.
5) Resiko infeksi berhubungan dengan respon inflamasi, prosedur
invasif dan luka akibat kuman yang masuk.
b. Diagnosa Keperawatan Post-Operasi
1) Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, dan luka/kerusakan
kulit yang menjadi tempat invasi kuman.
2) Resiko cedera berhubungan dengan gangguan integritas tulang.
3) Intoleransi aktivitas berhubungan dengan imobiliasai
pemasangan pen/gips.
3. Perencanaan/Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah segala treatment yang dikerjakan
oleh perawat yang didasarkan pada pengetahuan dan penilaian kelinis
untuk mencapai luaran (outcome) yang diharapkan (Tim Pokja SIKI DPP
PPNI, 2018).
a. Pre-Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot,
gerakan fragmen tulang, cedera jaringan lunak.
a) Tujuan dan kriteria hasil
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan tingkat nyeri
menurun dan kontrol nyeri meningkat dengan kriteria hasil:
(1) Tanda-tanda vital dalam rentang normal
Tekanan darah : 110-120 (sistolik) 60-90 (diastolik)
Nadi : 60-100 x/menit
Respirasi : 16-24 x/menit
Suhu : 36,5-37.5° C
(2) Kemampuan mengenali penyebab nyeri
(3) Kemampuan menggunakan teknik non-farmakologis
b) Intervensi
(1) Observasi tanda-tanda vital
Rasional : TTV merupakan salah satu indikator
respon fisiologis terhadap nyeri.
(2) Kaji skala nyeri
Rasional : Nyeri dipengaruhi oleh kecemasan,
ketegangan, suhu, distensi kandung kemih,
dan berbaring lama.
(3) Jelaskan dan bantu pasien terkait dengan tindakan pereda
nyeri nonfarmakologi dan noninvasif.
Rasional : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi
dan non farmakologi lainnya efektif dalam
mengurangi nyeri.
(4) Ajarkan relaksasi yaitu teknik-teknik mengurangi
ketegangan otot rangka yang dapat mengurangi intensitas
nyeri.
Rasional : Teknik ini akan melancarkan peredaran
darah sehingga kebutuhan oksigen pada
jaringan terpenuhi dan nyeri berkurang.
(5) Berikan kesempatan waktu istirahat bila terasa nyeri dan
berikan posisi yang nyaman, misalnya waktu tidur,
belakang tubuh pasien dipasang bantal kecil.
Rasional : Istirahat merelaksasi semua jaringan
sehingga akan meningkatkan kenyamanan.
(6) Kolaborasi dalam pemberian obat (baik analgesic, antibiotik
maupun antiinflamasi)
Rasional : Pemberian obat analgesic, antibiotic
maupun antiinflamasi dapat memblok
lintasan nyeri serta membunuh kuman
bakteri. Setengah dari obat-obatan analgesik
adalah obat antiinflamasi, yang
menghilangkan rasa nyeri dengan
mengurangi radang yang terjadi.
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka
neuromuscular
a) Tujuan dan kriteria hasil
Setelah diberikan asuhan keperawatan diharapkan mobilitas
fisik meningkat dengan kriteria hasil:
(1) Pergerakan ekstremitas meningkat
(2) Kekuatan otot meningkat
(3) Rentang gerak (ROM) meningkat
b) Intervensi
(1) Identifikasi toleransi fisik melakukan pergerakan
Rasional : Menilai sejauh mana pergerakan dapat
dilakukan pasien
(2) Monitor sirkulasi pergerakan dan sensasi pada ekstremitas
yang cedera
Rasional : Imobilisasi menyebabkan penurunan
sirkulasi
(3) Ajarkan pasien untuk latihan rentang gerak pada ekstremitas
yang sehat
Rasional : Imobilisasi pada salah satu ekstremitas
akan menyebabkan enggan untuk melakukan
aktivitas pada ekstremitas yang sehat
(4) Libatkan pasien untuk melakukan aktivitas terapeutik dan
rekreasi, misalnya mendengarkan musik, menonton tv, atau
berkomunikasi dengan teman.
Rasional : Aktivitas terapeutik dapat mempertahankan
harga diri dan menurunkan isolasi sosial
pasien.
Patologis
Adanya Trauma /adanya luka Trauma langsung/tidak langsung (penurunan densitas tulang karena
sobek sayat tusk dan tembak
tumor, osteoporosis)
Jaringan tidak kuat/tidak dapat menahan kekuatan dari luar
Pemasangan gips/pen
Fraktur tertutup Luka terbuka Insisi Operasi
Kerusakan rangka
neurovaskuler Kurang Terputusannya Perubahan pada anggota
Kuman masuk Kerusaka
pengetahuan Kontinuitas jaringan tubuh
kedalam luka n
tentang tindakan
Integritas
operasai
Daya Topang Tubuh Port de entry Proses penyatuan tulang
berkurang Risiko Infeksi menggunakan pen
Koping
Individu Tidak Sulit bergerak
Jaringan saraf Resiko Infeksi
efektif
Keterbatasan rusak/fungsi menurun
dalamgerak
Ansietas Imobilisasi
Inpuls nyeri di
bawa ke otak Intoleransi
Gangguan Mobilitas aktivitas Menggunakan
Fisik alat bantu
Otak menangkap Nyeri Akut
inplus nyeri
Resiko Cedera