Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PENDAHULUAN

MULTIPLE FRAKTUR

DISUSUN OLEH :

NAMA : INDRIANA EKA YULIANTI


NIM : 22222033

INSTITUT ILMU KESEHATAN DAN TEKNOLOGI MUHAMMADIYAH


PALEMBANG FAKULTAS ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI
PROFESI NERS
2022
A. Landasan Teoritis Penyakit :
1. Defenisi
Fraktur adalah patah tulang yaitu suatu kondisi dimana terjadi
kerusakan atau diskontinuitas tulang baik pada tulang atau pun tulang rawan
yang biasanya juga mengenai jaringan disekitarnya (Corwin, Elizabeth J,
2009).
Fraktur adalah diskontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan
luasnya ( Brunner & Suddarth, 2005 dalam Wijaya dan putri, 2013). Fraktur
adalah kerusakan pada kontinuitas tulang, dimana tulang yang paling sering
terkena adalah klavikula, humerus, radius dan ulna, femur (sering dikaitkan
penganiayaan anak), lempeng epifisis (potensial untuk deformitas
pertumbuhan) (Mary E, 2001).
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu
sendiri dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur
yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price dan Wilson, 2006).
Fraktur radius adalah fraktur yang terjadi pada bagian tulang radius
akibat jatuh dan tangan menyangga dengan siku ekstensi (Brunner &
Suddarth, 2002). Fraktur femur dan patella adalah terputusnya kontinuitas
tulang femur dan patella. Fraktur femur dapat terjadi pada beberapa tempat.
Bila bagian kaput, kolum atau trokhanter femur yang terkena, maka disebut
fraktur pinggul (Smeltzer & Bare, 2001). Terdapat dua tipe utama fraktur
pinggul, yaitu:
a. fraktur interkapsuler adalah fraktur kolum femur;
b. fraktur ekstrakapsuler adalah fraktur daerah trokhanterik (antara basis
kolum femur dan trokhanter minor femur) dan daerah subtrokhanterik.
Selain itu, fraktur femur juga dapat terjadi pada daerah batang femur dan
di daerah lutut (suprakondiler dan kondiler).
2. Etiologi
Etiologi Fraktur menurut Oswari, E,1993 meliputi :
a. kekerasan langsung kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada
titik terjadinya kekerasan. Misalnya pukulan langsung terhadap tulang
sehingga tulang patah secara spontan. Fraktur demikian sering bersifat
fraktur terbuka dengan garis patah melintang atau miring.
b. kekerasan tidak langsung kekerasan tidak langsung menyebabkan patah
tulang ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Misalnya
jatuh dengan tangan berjulur dan menyebabkan fraktur klavikula. Yang
patah biasanya adalah bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran
vektor kekerasan.
c. kekerasan akibat tarikan otot. Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan
dislokasi dan patah tulang. Patah tulang akibat tarikan otot biasanya
jarang terjadi. Contohnya patah tulang akibat tarikan otot adalah patah
tulang patella dan olekranom, karena otot triseps dan biseps mendadak
berkontraksi
d. patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat
berupa pemuntiran, penekukan, penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan
penarikan.
Etiologi Fraktur (Brunner & Suddarth, 2002) :
a. Fraktur patologik Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena
lemahnya suatu tulang akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme
tulang misalnya osteoporosis, dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan
pada daerah tulang yang rapuh maka akan terjadi fraktur. Fraktur karena
infeksi seperti Osteomyelitis Rakhitis , suatu penyakit tulang yang
disebabkan karena defisiensi vitamin D, Rakhitis bisa disebabkan
defisiensi diet, kegagalan arbsorbsi vitamin D, asupan kalsium atau fosfat
rendah
Etiologi Fraktur (Corwin, Elizabeth J, 2009) :
a. Fraktur terjadi ketika tekanan yang menimpa tulang lebih besar dari pada
daya tahan tulang akibat trauma.
b. Fraktur stress atau fatigue, fraktur yang fatigue biasanya sebagai akibat
dari penggunaan tulang secara berlebihan yang berulang – ulang,karena
kekuatan otot meningkat lebih cpat daripada kekuatan tulang. Biasanya
menyertai peningkatan yang yang cepat tingkat latihan atlet,atau
permulaan aktivitas fisik yang baru. mengangkat beben selama 30
menit/minggu sudah cukup untuk membantu menjaga dan membangun
kepadatan tulang. Sebaiknya latihan tersebut dilakukan dalam tiga sesi
sepuluh menit. Dengan seperti itu, tubuh bisa dapat mendapatkan
manfaatnya selama maksimum. Beberapa latihan untuk membangun
tulang, tidak harus melibatkan beban dari luar, namun dapat
menggunakan berat badan sendiri (Mehmet, C, 2010)
3. Klasifikasi
Menurut Corwin, Elizabeth J, 2009 fraktur dapat di klasifikasikan menjadi:
a. Fraktur Komplet Fraktur yang menegenai tulang secara
keseluruhan,tulang bergeser dari posisi normal atau garis patah melalui
seluruh penampang tulang atau melalui kedua korteks tulang.
b. Fraktur Inkomplet Fraktur yang menegnai tulang secara parsial atau bila
garis patah tidak melalui seluruh garis penampang tulang.
c. Fraktur tertutup (simple) Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit.
Berdasarkan jumlah garis fraktur Simple terdapat satu garis fraktur.
Berdasarkan luas garis fraktur hair Line Fraktur, garis fraktur tidak
tampak.
d. Fraktur terbuka (compound) Fraktur yang menyebabkan robeknya kulit
Fraktur tertutup dan terbuka dapat bersifat komplet atau inkomplet.
Sedangkan menurut Brunner & Suddarth tahun 2002,klasifikasi fraktur
meliputi :
a. Fraktur Komplet
b. Fraktur Inkomplet
c. Fraktur tertutup (simple)
d. Fraktur terbuka (compound) Fraktur terbuka di gradasi menjadi :
1) Grade 1 : luka bersih ˂ 1 cm panjangnya
2) Grade 2 : Luka bersih tanpa kerusakan jaringan lunaka yang ekstensif
3) Grade 3 : luka sanagat terkontaminasi mengalami kerusakan jaringan
lunaka yang ekstensif
e. Jenis Khusus Fraktur
1) Greenstick fraktur dimana salah satu sisi tulang patah dana sisi
tulang lainnya membengkok
2) Transversal Fraktur sepanjang garis tengah tulang
3) Oblik fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih
tidak stabil dibanding transversal)
4) Spiral  fraktur memuntir seputar batang tulang
5) Kominutif fraktur dengan tulang ecah menjadi beberapa fragmen
6) Depresi fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering
terjadi ada tulang tengkorak dan tulang wajah)
7) Kompresi fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada
tulang belakang)
8) Patologik fraktur yang terjadi pada daerah tulang yang berpenyakit
(kista tulang, penyakit paget,metastasis tulang, tumor)
9) Avulsi  tertariknya fragmen tulangoleh ligamen atau tendo
ada perlekatannya
10) Epiviseal fraktur melalui epifisis
11) Impaksi fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fagmen
tulang lainnya.
Ada 150 jenis fraktur tapi hanya lima yang utama yaitu (Engram Barabara,
2008) :
a. Fraktur Komplet Patah pada seluruh garis tengah tulang, luas dan
melintang. Biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.
b. Fraktur Inkomplet Bila garis patah tidak melalui seluruh penampang
tulang seperti:
1) Hair Line Fracture adalah salah satu jenis fraktur tidak lengkap pada
tulang. Hal ini disebebkan oleh “stress yang tidak biasa atau
berulang-ulang” dan juga berat badan terus menerus pada
pergelangan kaki atau kaki. Hal ini berbeda dengan jenis patah tulang
yang lain, yang biasanya ditandai dengan tanda yang jelas. Hal ini
dapat digambarkan dengan garis sangat kecilatau retak pada tulang.
Ini biasanya terjadi di tibia, metatarsal (tulang kaki), dan walau tidak
umum kadang bisa terjadi pada tulang femur. Hair Line Fractur atau
Stress Fracture umumnya terjadi paa cidera olahraga, kebanyakan
kasus berhubungan dengan olahraga.
2) Buckle atau Torus Fracture, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa dibawahnya.
3) Green Stick Fracture, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks
lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

c. Fraktur tertutup (simple)


Frakur terutup tidak menyebabkan robeknya kulit, integritas kulit masih
utuh. Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan
keadaan jaringan lunak sekitar trauma, yaitu:
1) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera
jaringanlunak sekitarnya.
2) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
3) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak
bagian dalam dan pembengkakan.
4) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata
dan ancaman sindroma kompartement.

d. Fraktur terbuka (compound)


Bila terdapat hubungan antara hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar karena adanya perlukaan kulit.Fraktur terbuka dibedakan
menjadi beberapa grade yaitu :
1) Grade I : luka bersih, panjangnya kurang dari 1 cm.
2) Grade II : luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang
ekstensif.
3) Grade III : sangat terkontaminasi, dan mengalami kerusakan jaringan
lunak ekstensif.
e. Fraktur Patologis
Klasifikasi (Mansjoer, Arif, et al, 2000) :
1) Berdasarkan tempat  Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris
dst.
2) Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
a) Fraktur kominit  garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak
berhubungan.
c) Fraktur Multipel garis patah lebih dari satu tapi pada tulang
yang berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur
femur dan sebagainya.

3) Berdasarkan posisi fragmen :


a) Undisplaced (tidak bergeser)/garis patah komplit tetapi kedua
fragmen tidak bergeser.
b) Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur
4) Berdasarkan kedudukan tulangnya :
a) Tidak adanya dislokasi.
b) Adanya dislokasi
5) Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
a) Tipe Ekstensi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi
hiperekstensi, lengan bawah dalam posisi supinasi.
b) Tipe Fleksi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang
lengan dalam posisi pronasi.
6) Klasifikasi berdasarkan adanya dislokasi atau pergeseran atau
displaced (PPNI Klaten, 2009)
a) At axim : Membentuk sudut
b) At lotus : Fragmen tulang berjauhan
c) At longitudinal : Berjauhan memanjang
d) At lotus cum contractiosnum : Berjauhan dan memendek.
7) Fraktur yang paling banyak terjadi pada anak (Muscari, M. 2005) :
a) Bend fraktur dikarakteristikkan dengan membengkoknya tulang
pada titik yang patah dan tidak dapat diluruskan tanpa dilakukan
suatu intervensi.
b) Buckle fraktur terjadi akibat kegagalan kompresi pada tulang
ditandai dengan tulang yang menerobos dirinya sendiri
8) Berikut gambar dari fraktur tulang :

4. Manifestasi Klinis
Lima tanda yang terlihat pada semua jenis fraktur adalah nyeri, denyut nadi,
pucat, perestesia, dan paralisis. Temuan karakteristik lainnya antara lain
deformitas, bengkak, memar, spasme otot, nyeri tekan, nyeri, gangguan
sensasi, kehilangan fungsi, mobilitas abnormal, krepitus, syok, atau tidak
mau berjalan (pada anak yang lebih kecil).
a. Nyeri biasanya menyertai patah tulang traumatik dan cedera jaringan
lunak. Spasme otot dapat terjadi setelah patah tulang dan menimbulkan
nyeri. Pada fraktur stres, nyeri biasanya menyertai aktivitas dan
berkurang dengan istirahat. Fraaktu patologis mungkin tidak disertai
nyeri.
b. Krepitus (suara gemeretak) dapat terdengar saat tulang digerakkan karena
ujung-ujung patahan tulang bergeser satu sama lain.
c. Deformitas, dapat disebabkan pergeseran fragmen pada fraktur lengan dan
ekstremitas.
d. Ekimosis ( perdarahan subkutan)
e. Spasme otot karena kontraksi involunter disekitar fraktur
f. Hilangnya atau berkurangnya fungsi normal karena ketidakstabilan tulang,
nyeri atau spasme otot.
g. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain
sampai 2,5-5,5 cm. (PPNI Klaten, 2009)
h. Pembengkakan disekitar tempat fraktur akan menyertai proses inflamasi.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi akibat
trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi
setelah beberapa jam atau beberapa hari setelah cedera.
i. Gangguan sensasi atau kesemutan dapat terjadi, yang menandakan
kerusakan syaraf.
j. Denyut nadi dibagian distal fraktur harus utuh dan sama dengan bagian
nonfraktur. Hilangnya denyut nadi disebelah distal dapat menandakan
sindrom kompartemen.
k. Penurunan sensasi
Disebabkan karena adanya kerusakan pada saraf akibat terjepit atau
terputus oleh fragmen tulang.
1) Temuan pada pemeriksaan diagnostik dan laboratorium (Muscari,
M.2005 ) :
a) Pemeriksaan radiografik menunnjukkan keabnormalan atau
fraktur.
b) Pemeriksaan darah menyatakan pendarahan (penurunan
hematokrit dan hemoglobin) dan kerusakan otot (peningkatan
aspartat transminase [AST] dan lactic dehydrogenase [LDH]).

c) Hasil foto rontgen yang abnormal


d) Kelemahan terbesar tulang adalah ketika tulang mengalami
fraktur maka akan menghabiskan waktu 3-6 bulan untuk
mendapatkan tulang seperti aslinya lagi. Dan ketika mengalami
fraktur, tulang akan menyebabkan jaringan disekitarnya baik otot
atau sendi melemah (Mehmet, C. 2010).
2) Menurut penyebabnya (Suratun, dkk.2008) :
a) Faktor Ekstrinsik Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada
tulang yang tergantung terhadap besar, waktu, dan arah tekanan
yang dapat menyebabkan fraktur.
b) Faktor Intrinsik Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang
menentukan daya tahan untuk timbulnya fraktur seperti kapasitas
absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan kepadatan atau
kekerasan tulang.
3) Faktor resiko secara umum (Suratun, dkk.2008) :
a) Usia Semakin tinggi usia penderita maka semakin rendah pula
ketahanan/imunitas tubuhnya. Hal ini menyebabkan resiko
terjadinya fraktur pun semakin meningkat dan juga berpengaruh
terhadap lamanya penyembuhan karena regenerasi sel dan
jaringan pada usia senja membutuhkan waktu yang lama. Untuk
laki-laki usia di atas 45 tahun lebih berisiko terkena fraktur.
b) Lingkungan kerja Orang yang pekerjaannya berat seperti kuli
panggul cenderung berisiko terkena fraktur karena aktivitas yang
terlalu sering melibatkan otot dan rangka yang berpotensi cedera
berat. Lingkungan kerja. Orang yang pekerjaannya berat seperti
kuli panggul cenderung beresiko terkena fraktur karena aktivitas
yang terlalu sering melibatkan otot dan rangka yang berpotensi
untuk cedera berat.
c) Kurangnya asupan kalsium yang diserap tubuh Kurangnya
asupan kalsium yang diserap tubuh dapat menjadi faktor risiko
yang menyebabkan terjadinya fraktur, karena kurangnya asupan
kalsium dapat memicu terjadinya berbagai penyakit tulang
(contoh: osteoporosis) yang dapat mengakibatkan tulang bersifat
rapuh dan mudah mengalami fraktur
d) Riwayat penyakit Penyakit yang dialami dapat memperburuk
kondisi frakturnya. Misalnya pada penderita DM kronis karena
luka ulcerdan gangren yang dialami di bagian yang terkena
fraktur.
e) Gaya hidup Orang yang merokok dan konsumsi alkohol lebih
beresiko terkena fraktur
f) Massa tulang
g) Osteoporosis Cenderung terkena pada wanita usia lanjut (karena
menopause)
h) Aktivitas Olahraga Aktivitas yang berat dengan gerakan yang
cepat pula dapat menjadi risiko penyebab cedera pada otot dan
tulang. Daya tekan pada saat berolah raga seperti hentakan,
loncatan atau benturan dapat menyebabkan cedera dan jika
hentakan atau benturan yang timbul cukup besar maka dapat
mengarah pada fraktur. Setiap tulang yang mendapat tekanan
terus menerus di luar kapasitasnya dapat mengalami keretakan
tulang. Kebanyakan terjadi pada kaki, misalnya pada pemain
sepak bola yang sering mengalami benturan kaki antar pemain.
Kelemahan struktur tulang juga sering terjadi pada atlet ski,
jogging, pelari, pendaki gunung ataupun olahraga lain yang
dilakukan dengan kecepatan yang berisiko terjadinya benturan
yang dapat menyebabkan patah tulang (Corwin, Elizabeth J,
2009).
4) Manifestasi Klinis . (Michael J, 2008) :
a) Kekurangan vitamin C, karena Vit C diperlukan untuk sintesis
dan maturasi kolagen tipe I yang merupakan protein struktural
utama dalam matriks tulang.
b) Kebiasaan minum kopi, Karena terdapat kandungan kafein yang
akan meningkatkan ekskresi kalsium ke dalam urin.
c) Kebiasaan merokok dapat mengurangi densitas tulang.Konsumsi
alkohol, berhubungan dengan peningkatan resiko terjatuh.
5. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan pada fraktur adalah
(Brunner & Suddarth. 2002 ) :
1) Laboratorium : Pada fraktur test laboratorium yang perlu diketahui :
Hb, hematokrit sering rendah akibat perdarahan, laju endap darah
(LED) meningkat bila kerusakan jaringan lunak sangat luas. Pada
masa penyembuhan Ca dan P meengikat di dalam darah.
2) Radiologi :
a) X-Ray dapat dilihat gambaran fraktur, deformitas dan
metalikment.
b) Venogram/anterogram menggambarkan arus vascularisasi.
c) CT scan untuk mendeteksi struktur fraktur yang kompleks.
d) Tomografi, MRI - Ultrasonografi & scan ulang dengan radio
isotop (pavey patrick,2003)
b. Pemeriksaan Diagnostik (Marta D, 2011) :
1) Myelografi: Menggambarkan cabang-cabang syaraf spinal dan
pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan
akibat trauma.
2) Arthrografi: Menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena
ruda paksa.Biopsi tulang dan otot: lebih di indikasikan bila terjadi
infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan
fraktur.
c. Pemeriksaan diagnostik :

1) anamnesis ada trauma, kapan terjadi, bagaimana nyerinya.


2) pemeriksaan umum
3) pemeriksaan status lokasi -inspeksi: deformitas,bengkak, ada
luka/tidak ada laserasi/tidak ada perubahan warna kulit. -
palpasi:nyeri tekan, krepitasi , as druk pain
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan medis
Penatalaksanaan medis menurut Chaeruddin Rosjad, 1998. Sebelum
menggambil keputusan untuk melakukan penatalaksanaan definitive.
Prinsip penatalaksanaan fraktur ada 4 R yaitu :
1) Recognition : diagnosa dan penilaian fraktur
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anannesis, pemeriksaan kelinis dan radiologi. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan : lokasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan tehnik yang sesuai untuk pengobatan, komplikasi yang
mungkin terjadi selama pengobatan.
2) Reduction :
Tujuannya untuk mengembalikan panjang & kesegarisan tulang.
Dapat dicapai yang manipulasi tertutup/reduksi terbuka progresi.
Reduksi tertutup terdiri dari penggunaan traksimoval untuk menarik
fraktur kemudian memanupulasi untuk mengembalikan kesegarisan
normal/dengan traksi mekanis.Reduksi terbuka diindikasikan jika
reduksi tertutup gagal/tidak memuaskan. Reduksi terbuka merupakan
alat frusasi internal yang digunakan itu mempertahankan dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid seperti pen, kawat,
skrup dan plat. Reduction internafixation (orif) yaitu dengan
pembedahan terbuka kan mengimobilisasi fraktur yang berfungsi
pembedahan untuk memasukkan skrup/pen kedalam fraktur yang
berfungsi untuk menfiksasi bagian-bagian tulang yang fraktur secara
bersamaan.
3) Retention, imobilisasi fraktur
Tujuannya mencegah pengeseran fregmen dan mencegah pergerakan
yang dapat mengancam union. Untuk mempertahankan reduksi
(ektrimitas yang mengalami fraktur) adalah dengan traksi.Traksi
merupakan salah satu pengobatan dengan cara menarik/tarikan pada
bagian tulang-tulang sebagai kekuatan dngan kontrol dan tahanan
beban keduanya untuk menyokong tulang dengan tujuan mencegah
reposisi deformitas, mengurangi fraktur dan dislokasi,
mempertahankan ligamen tubuh/mengurangi spasme otot,
mengurangi nyeri, mempertahankan anatomi tubuh dan
mengimobilisasi area spesifik tubuh. Ada 2 pemasangan traksi yaitu :
skin traksi dan skeletal traksi.
4) Rehabilitation, mengembalikan aktiftas fungsional seoptimal
mungkin
Cara Konservatif Dilakukan pada anak-anak dan remaja dimana
masih memungkinkan terjadinya pertumbuhan tulang panjang. Selain
itu, dilakukan karena adanya infeksi atau diperkirakan dapat terjadi
infeksi. Tindakan yang dilakukan adalah dengan gips dan traksi.
a) Gips
Gips yang ideal adalah yang membungkus tubuh sesuai dengan
bentuk tubuh.
b) Traksi (mengangkat / menarik)
Secara umum traksi dilakukan dengan menempatkan beban
dengan tali pada ekstermitas pasien. Tempat tarikan disesuaikan
sedemikian rupa sehingga arah tarikan segaris dengan sumbu
panjang tulang yang patah.
c) Debridemen
d) Penutupan luka

Luka tipe i yang kecil dan tidak terkontaminasi, yang dibalut


dalam beberapa jam setelah cidera, setelah debridement, dapat
dijahit. Luka yang laim harus dibiarkan terbuka hingga bahay
infeksi telah dilewati. Luka itu dibalut sekedarnya dengan kasa
steril dan diperiksa setelah 5 hari. Kalau bersih, luka tersebut
dijahit.
e) Diet tinggi protein, karbohidrat, vitamin D dan mineral serta
tinggi kalsium (Brunner And Suddarth 2001)
f) Pemberian analgesik untuk mengurangi tingkat nyeri (Niluh, A.
2003)
5) Penanganan pada fraktur terbuka:
a) Lakukan penanganan cepat maksimal 6-7 jam pasca fraktur
b) Pemberian antibiotik, toksoid tetanus
c) Lakukan kultur tulang, serum, untuk mengetahui adanya infeksi
dan mikroorganisme yang menyebabkan infeksi
d) Tindakan debridement

b. Penatalaksanaan keperawatan
1) Perawatan Luka
2) Ambulasi
7. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur (Suratun, dkk. 2008) :
a. Komplikasi awal
1) Syok : dapat berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema
2) Emboli lemak : dapat terjadi 24-27 jam
3) Sindrom kompartemen : perfusi jaringan otot kurang dari kebutuhan
4) Infeksi dan tromboemboli
b. Komplikasi lanjutan
1) Mal-union/non-union
2) Necrosis avaskular tulang

3) Reaksi terhadap alat fiksasi intera

c. Komplikasi dibagi menjadi 3 yaitu (Brooker, C, 2008) :


1) Komplikasi cepat (saat cedera):
a) Pendarahan
b) Kerusakan arteri dan saraf
c) Kerusakan jaringan sekitar
2) Komplikasi awal (beberapa jam-hari):
a) Infeksi
b) Emboli lemak
c) Sindrom kompartemen
3) Komplikasi lambat
a) Delay union (penyatuan tulang terlambat): saat fraktur tidak
menyatu pada waktu yang telah diperkirakan.
b) Mal union (penyatuan yang salah) : saat fraktur sudah menyatu
sepenuhnya tetapi pada posisi yang salah, dan pembedahan
mungkin dilakukan tergantung pada disabiliti dan hasil
potensial
c) Non union(tidak ada penyatuan): dapat terbentuk sendi palsu
d) Deformitas
e) Necrosis avaskular: kematian jaringan tulang akibat tidak
adekuatnya vaskularisasi bagian tersebut.
8. Pathway
B. Landasan Teoritis Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang
menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah
rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit
terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang
dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien
menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi
kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah
bertambah buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain.
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget’s
yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk
menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki
sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan
juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetic.
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat.
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti
penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme
kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu
keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau
tidak.
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang.
Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan
penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi
komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau
protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan
faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada
lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan
mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi,
kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga
dikaji ada kesulitan atau tidak.
d) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur
klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya
tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur
serta penggunaan obat tidur.
e) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain.
f) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap.
g) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image).
h) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan.begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami
gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
i) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak,
lama perkawinannya.
j) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi
tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak
efektif.
k) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal
ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal
ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit
tetapi lebih mendalam.
l) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda,
seperti:
a) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah,
komposmentis tergantung pada keadaan klien.
b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang,
berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.
c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik
fungsi maupun bentuk.
Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
h) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,
mukosa mulut tidak pucat.
i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
j) Paru
Inspeksi, pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru;
Palpasi, pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama;
Perkusi, suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya; Auskultasi, suara nafas normal, tak ada wheezing, atau
suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.
k) Jantung
Inspeksi, tidak tampak iktus jantung; Palpasi, nadi meningkat,
iktus tidak teraba; Auskultasi, suara S1 dan S2 tunggal, tak ada
mur-mur.
l) Abdomen
Inspeksi, bentuk datar, simetris, tidak ada hernia; Palpasi, tugor
baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba; Perkusi,
suara thympani, ada pantulan gelombang cairan; Auskultasi,
peristaltik usus normal  20 kali/menit.
m) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama
mengenai status neurovaskuler. Pemeriksaan pada system
muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cictriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan
seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau
hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal
yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada
dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien. Yang perlu
dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit.
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal,tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,
dan ukurannya.
c) Move (pergeraka terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini
perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan
sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari
tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam
ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat
adalah gerakan aktif dan pasif.
(1) Diagnosa Keperawatan
(a) Kerusakan integritas kulit
(b) Resiko infeksi
(c) Nyeri akut
(d) Inefektif perfusi jaringan perifer
(e) Resiko syok hipovolemik
(f) Hambatan mobilitas fisik
(g) Ansietas
(h) Resiko cidera
DAFTAR ISI
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC.
Jakarta
Elizabeth J, Corwin. 2008. Buku saku patofisiologi. Jakarta : EGC
Muscari, Mary E. 2001. Panduan Belajar keperawatan Pediatrik Ed:3. Jakarta:
EGC
Gibney Michael, dkk. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC
Suratun, dkk.2008. Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Seri
Asuhan Keperawatan. Jakarta : EGC
Michael. J. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC
Mehmet, C. 2010. Sehat tanpa dokter. Bandung : Qanita
Oswari, E.1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka
Utama.
Engram Barabara. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta
:EGC
Pavey Patrick. 2003. At a Glance Medicine. Jakarta : EGC
Tandra, H. 2009. Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang Keropos.
Jakarta: Gramedia.
Niluh, A. 2003. Keperawatan medikal bedah: klien dengangangguan sistem
pernapasan. Jakarta: EGC
Brooker, C. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai