Anda di halaman 1dari 14

LAPORAN PENDAHULUAN

FRAKTUR FEMUR

A. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan
luasnya. Fraktur merupakan salah satu gangguan atau masalah yang terjadi pada
sistem muskuloskeletal yang menyebabkan perubahan bentuk dari tulang maupun
otot yang melekat pada tulang. Fraktur dapat terjadi di berbagai tempat dimana
terdapat persambungan tulang maupun tulang itu sendiri. Salah satu contoh dari
fraktur adalah yang terjadi pada tulang femur.
Fraktur femur atau patah tulang paha adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal
paha yang disaebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, dan kondisi tertentu,
seperti degenerasi tulang atau osteoporosis (Muttaqin, 2008). Fraktur femur terbagi
menjadi :
1) Fraktur batang femur
Fraktur femur mempunyai insiden yang cukup tinggi, diantara jenis-jenis patah
tulang. Umumnya fraktur femur terjadi pada batang femur 1/3 tengah. Fraktur femur
lebih sering terjadi pada laki-laki dari pada perempuan dengan umur dibawah 45
tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau kecelakaan.
2) Fraktur kolum femur
Fraktur kolum femur dapat terjadi langsung ketika pasien terjatuh dengan posisi
miring dan trokanter mayor langsung terbentur pada benda keras seperti jalan. Pada
trauma tidak langsung, fraktur kolum femur terjadi karena gerakan eksorotasi yang
mendadak dari tungkai bawah. Kebanyakan fraktur ini terjadi pada wanita tua yang
tulangnya sudah mengalami osteoporosis

B. Klasifikasi Fraktur Secara Umum


1) Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan).
a) Faktur Tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan
dunia luar, disebut juga fraktur bersih (karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi.
b) Fraktur Terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya perlukaan kulit.
2) Berdasarkan komplit atau ketidak klomplitan fraktur.
a) Fraktur Komplit, bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang seperti terlihat pada foto.
b) Fraktru Inkomplit, bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
c) Hair Line Fraktur (patah retidak rambut)
d) Buckle atau Torus Fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks dengan kompresi
tulang spongiosa di bawahnya.
e) Green Stick Fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi korteks lainnya yang
terjadi pada tulang panjang.
3) Berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan mekanisme trauma.
a) Fraktur Transversal: fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
b) Fraktur Oblik: fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu
tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
c) Fraktur Spiral: fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan
trauma rotasi.
d) Fraktur Kompresi: fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang ke arah permukaan lain.
e) Fraktur Avulsi: fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot pada
insersinya pada tulang
4) Berdasarkan jumlah garis patah.
a) Fraktur Komunitif: fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling
berhubungan.
b) Fraktur Segmental: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
c) Fraktur Multiple: fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
5) Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
a) Fraktur Undisplaced (tidak bergeser): garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen
tidak bergeser dan periosteum masih utuh.
b) Fraktur Displaced (bergeser): terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut
lokasi fragmen, terbagi atas:
c) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran searah sumbu dan
overlapping).
d) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
e) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling menjauh).
6) Berdasarkan posisi frakur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian :
a) 1/3 proksimal
b) 1/3 medial
c) 1/3 distal
7) Fraktur Kelelahan: fraktur akibat tekanan yang berulang-ulang.
8) Fraktur Patologis: fraktur yang diakibatkan karena proses patologis tulang. Pada
fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam
dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan ancaman
sindroma kompartement.

C. Epidemiologi
Fraktur femur yang terbagi dalam beberapa klasifikasi misalnya saja pada fraktur
subtrochanter femur ini banyak terjadi pada wanita tua dengan usia lebih dari 60 tahun
dimana tulang sudah mengalami osteoporotik, trauma yang dialami oleh wanita tua ini
biasanya ringan (jatuh terpeleset di kamar mandi) sedangkan pada penderita muda
ditemukan riwayat mengalami kecelakaan. Sedangkan fraktur batang femur, fraktur
suprakondilar, fraktur interkondilar, fraktur kondilar femur banyak terjadi pada penderita
laki – laki dewasa karena kecelakaan ataupun jatuh dari ketinggian. Sedangkan fraktur
batang femur pada anak terjadi karena jatuh waktu bermain dirumah atau disekolah.
D. Etiologi
Pada dasarnya tulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan daya
pegas untuk menahan tekanan. Penyebab fraktur batang femur antara lain (Muttaqin,
2011):
1) Fraktur femur terbuka
Fraktur femur terbuka disebabkan oleh trauma langsung pada paha.
2) Fraktur femur tertutup
Fraktur femur tertutup disebabkan oleh trauma langsung atau kondisi tertentu, seperti
degenerasi tulang (osteoporosis) dan tumor atau keganasan tulang paha yang
menyebabkan fraktur patologis.

E. Tanda dan Gejala


1) Nyeri
2) Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas ekstremitas, yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstremitas
yang normal. Ektremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot..
3) Pemendekan tulang
4) Krepitus tulang (derik tulang)
5) Pembengkakan dan perubahan warna tulang

F. Patofisiologi
Pada dasarnya penyebab fraktur itu sama yaitu trauma, tergantung dimana fraktur tersebut
mengalami trauma, begitu juga dengan fraktur femur ada dua faktor penyebab fraktur femur,
faktor-faktor tersebut diantaranya, fraktur fisiologis merupakan suatu kerusakan jaringan
tulang yang diakibatkan dari kecelakaan, tenaga fisik, olahraga, dan trauma dan fraktur
patologis merupakan kerusakan tulang terjadi akibat proses penyakit dimana dengan trauma
minor dapat mengakibatkan fraktur (Rasjad, 2007).
Fraktur ganggguan pada tulang biasanya disebabkan oleh trauma gangguan adanya gaya
dalam tubuh, yaitu stress, gangguan fisik, gangguan metabolik dan patologik. Kemampuan
otot mendukung tulang turun, baik

yang terbuka ataupun tertutup. Kerusakan pembuluh darah akan mengakibatkan pendarahan,
maka volume darah menurun. COP atau curah jantung menurun maka terjadi perubahan
perfusi jaringan. Hematoma akan mengeksudasi plasma dan poliferasi menjadi edema lokal
maka terjadi penumpukan didalam tubuh. Disamping itu fraktur terbuka dapat mengenai
jaringan lunak yang kemungkinan dapat terjadi infeksi terkontaminasi dengan udara luar dan
kerusakan jaringan lunak yang akan mengakibatkan kerusakan integritas kulit.
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma gangguan metabolik,
patologik yang terjadi itu terbuka atau tertutup. Baik fraktur terbuka atau tertutup akan
mengenai serabut syaraf yang dapat menimbulkan gangguan rasa nyaman nyeri. Selain itu
dapat mengenai tulang sehingga akan terjadi masalah neurovaskuler yang akan
menimbulkan nyeri gerak sehingga mobilitas fisik terganggu. Pada umumnya pada pasien
fraktur terbuka maupun tertutup akan dilakukan immobilitas yang bertujuan untuk
mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya sampai sembuh.
G. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur femur (Muttaqin, 2008),
antara lain:
1) Fraktur leher femur
Komplikasi yang bersifat umum adalah trombosis vena, emboli paru, pneumonias, dan
dekubitus. Nekrosis avaskular terjadi pada 30% klien fraktur femur yang disertai pergeseran
dan 10% fraktur tanpa pergeseran. Apabila lokasi fraktur lebih ke proksimal, kemungkinan
terjadi nekrosis avaskular lebih besar.
2) Fraktur diafisis femur
Komplikasi dini yang biasanya terjadi pada fraktur diafisis femur adalah sebagai berikut:
a) Syok terjadi perdarahan sebanyak 1-2 liter walapun fraktur bersifat tertutup.
b) Emboli lemak sering didapatkan pada penderita muda dengan fraktur femur.
c) Trauma pembuluh darah besar. Ujung fragmen tulang menembus jaringan lunak dan
merusak arteri femoralis sehingga menmyebakan kontusi dan oklusi atau terpotong sama
sekali.
d) Trauma saraf pada pembuluh darah akibat tusukan fragmen dapat disertai kerusakan
saraf yang bervariasi dari neuropraksia sampai ke aksonotemesis. Trauma saraf dapat
terjadi pada nervus iskiadikus atau pada cabangnya, yaitu nervus tibialis dan nervus
peroneus komunis.
e) Trombo emboli. Klien yag mengalami tirah baring lama, misalnya distraksi di tempat
tidur dapat mengalami komplikasi trombo-emboli.
f) Infeksi terjadi pada fraktur terbuka akibat luka yang terkontaminasi. Infeklsi dapat pula
terjadi setelah dilakukan operasi.

H. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan rontgen : menetukan lokasi, luasnya fraktur, trauma, dan jenis fraktur.
2) Scan tulang, temogram, CT scan/MRI :memperlihatkan tingkat keparahan fraktur, juga
dan mengidentifikasi kerusakan jaringan linak.
3) Arteriogram : dilakukan bila dicurigai adanya kerusakan vaskuler.
4) Hitung darah lengkap : Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada multipel trauma)
peningkatan jumlah SDP adalah proses stres normal setelah trauma.
5) Kretinin : trauma otot meningkatkan beban tratinin untuk klien ginjal.
6) Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilingan darah, tranfusi mulpel atau
cedera hati (Lukman & Ningsih, 2009).

I. Asuhan Keperawatan
1. PENGKAJIAN
Pada tahap pengkajian dapat dilakukan anamnesa/wawancara terhadap pasien dengan fraktur
femur yaitu :
1) Identitas pasien
a) Nama : Nama pasien
b) Usia : usia lebih dari 60 tahun dimana tulang sudah mengalami osteoporotik,
penderita muda ditemukan riwayat mengalami kecelakaan, fraktur batang femur pada
anak terjadi karena jatuh waktu bermain dirumah atau disekolah
c) Suku : Suku pasien
d) Pekerjaan : Pekerjaan pasien
e) Alamat : Alamat pasien

2) Riwayat keperawatan
a) Riwayat perjalanan penyakit
b) Riwayat pengobatan sebelumnya
1) Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid
dalam jangka waktu lama
2) Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada
wanita
3) Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
4) Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir

3) Pemeriksaan fisik Mengidentifikasi tipe fraktur


a) Inspeksi daerah mana yang terkena
1. Deformitas yang nampak jelas
2. Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
3. Laserasi
4. Perubahan warna kulit
5. Kehilangan fungsi daerah yang cidera
b) Palpasi
1. Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran
2. Krepitasi
3. Nadi, dingin
4. Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur

4) Pemeriksaan Penunjang
a) Foto Rontgen
b) Artelogram dicurigai bila ada kerusakan vaskuler
c) Hitung darah lengkap HT mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun
(perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).

b. Diagnosa keperawatan
1) Pre operasi
a. Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder pada fraktur
b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar/fraktur
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan kerusakan jaringan
lunak
d. Ansietas berhubungan dengan prosedur pengobatan atau pembedahan
2) Post operasi
a. Nyeri berhubungan dengan proses pembedahan
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan post pembedahan
c. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan luka operasi
d. Perencanaan keperawatan

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

DX1
Nyeri akut berhubungan dengan spasme otot dan kerusakan sekunder pada fraktur
NOC
1. Tingkat nyeri
2. Kontrol nyeri
3. Tingkat kenyamanan
Kriteria Hasil :
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik
nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, mencari bantuan)
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
5. Tanda vital dalam rentang normal
NIC
Manajemen nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi
Rasional : Mengetahui karakteristik nyeri secara menyeluruh untuk menentukan
intervensi selanjutnya
2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan
Rasional : Mengetahui perkembangan respon nyeri
3. Kurangi faktor presipitasi nyeri
Rasional : Mengurangi peningkatan nyeri
4. Ajarkan tentang teknik non farmakologi
Rasional : Meniminalkan nyeri yang dirasakan
5. Evaluasi keefektifan kontrol nyeri
Rasional : Mengetahui keefektifan intervensi
6. Kolaborasikan dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil
Rasional : Pengobatan medis untuk mengurangi nyeri

DX 2
Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan cedera jaringan sekitar/fraktur
NOC
1. Gerakan: aktif
2. Tingkat mobilitas
3. Perawatan diri: ADL
Kriteria Hasil :
1. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
2. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah
4. Memperagakan penggunaan alat Bantu untuk mobilisasi (walker)
NIC
Latihan Kekuatan
1. Ajarkan dan berikan dorongan pada klien untuk melakukan program latihan secara rutin
2. Ajarkan teknik ambulasi & perpindahan yang aman kepada klien dan keluarga.
3. Sediakan alat bantu untuk klien seperti kruk, kursi roda, dan walker
4. Beri penguatan positif untuk berlatih mandiri dalam batasan yang aman.
5. Ajarkan pada klien & keluarga tentang cara pemakaian kursi roda & cara berpindah dari
kursi roda ke tempat tidur atau sebaliknya.
6. Dorong klien melakukan latihan untuk memperkuat anggota tubuh
7. Ajarkan pada klien/ keluarga tentang cara penggunaan kursi roda

DX3
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan fraktur terbuka dan kerusakan jaringan lunak
NOC :
1. Status imun
2. Kontrol resiko
Kriteria Hasil :
1. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi
2. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi
3. Jumlah leukosit dalam batas normal
4. 4. Menunjukkan perilaku hidup sehat
NIC :
Kontrol infeksi
1. Bersihkan lingkungan setelah dipakai pasien lain
2. Gunakan sabun antimikrobia untuk cuci tangan
3. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan
4. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung
5. Pertahankan lingkungan aseptik selama pemasangan alat
6. Tingktkan intake nutrisi
7. Berikan terapi antibiotic bila perlu
PROSEDURE PEMBIDAIAN

Prosedur dalam melakukan pembidaian diawali dengan menggunakan alat pelindung diri
(APD) untuk melindungi diri dari cairan tubuh pasien, terutama pada pasien dengan fraktur
terbuka.Apabila diputuskan untuk menggunakan analgesik, misalnya saat diputuskan untuk
melakukan reduksi, maka dapat digunakan obat intravena (IV), seperti morfin. Prosedur
selanjutnya tergantung dari jenis bidai yang digunakan.

a. Soft Splint
Contoh penggunaan soft splint adalah pada pasien dengan carpal tunnel syndrome (CTS).
Pada CTS digunakan wrist splint buatan pabrik yang direkatkan pada pergelangan tangan ke
telapak tangan, dengan sendi metacarpophalangeal dibiarkan bebas (tidak ikut difiksasi) agar
jari-jari tangan dapat tetap bergerak. Bagian yang lebih keras diletakkan di dorsal telapak
tangan.
b. Bidai Keras (Hard Splint)
Prosedur pemasangan bidai yang terbuat dari kayu diawali dengan stabilisasi bagian yang
akan dibidai kemudian memposisikan bidai pada bagian yang mengalami cedera setelah
bagian tersebut distabilisasi. Bidai pada ekstremitas atas dipasang minimal pada 2 sisi,
sedangkan pada ekstremitas bawah minimal 3 sisi. Kemudian, dibalut dengan kassa gulung
atau perban dari distal ke proksimal. Setelah itu, dibuat simpul pada akhir balutan.
c. Traction Splint
Sebelum dilakukan bidai, maka tungkai yang cedera harus distabilisasi terlebih dahulu.
Kemudian panjang bidai yang diperlukan diukur sesuai dengan panjang tungkai sebelahnya.
Bidai diletakkan di bawah tungkai dengan bantalan ischial diletakkan pada tuberositas
ischia, kemudian ikatkan ischial strap pada garis lipat paha serta ankle hitch pada pasien.
Lakukan traksi perlahan pada tungkai yang cedera hingga panjang menyerupai tungkai yang
sehat. Setelah diyakini traksi sudah optimal, maka velcro straps lainnya dapat diikatkan pada
tungkai. Jangan lupa untuk menilai kembali fungsi neurovaskular setelah prosedur ini.
d. Air atau Vacuum Splint (Bidai Udara)
Bidai udara dikenakan secara longitudinal sepanjang ekstremitas, kemudian diikat dengan
pengikatnya (straps). Setelah itu, dilakukan ekstraksi udara lewat katup yang ada pada bidai
sehingga selanjutnya bidai akan menyesuaikan bentuk ekstremitas yang mengalami cedera
dan menjadi keras.
e. Anatomic Splint (Bidai Dengan Anggota Tubuh)
Anatomic splint intinya adalah mengeratkan bagian tubuh yang cedera ke bagian tubuh yang
normal, sehingga bagian tubuh yang tidak mengalami cedera dapat berfungsi sebagai “bidai”
untuk bagian tubuh yang tidak mengalami cedera. Sebagai contoh adalah dengan mengikat
tungkai yang fraktur dengan tungkai sebelahnya yang sehat.

PROSEDURE PERAWATAN PASIEN DENGAN TRAKSI

Persiapan perawatan skeletal traksi Skeletal traksi memberikan tarikan pada bagian tubuh
dengan menarik beban secara langsung pada tulang, dengan menggunakan pins, screw,
wires, atau tongs. Prosedur ini digunakan untuk melakukan imobilisasi pada periode waktu
yang relatif lama. Metode trkasi ini dapat digunakan untuk terapi pada pasien fraktur femur,
tibia, dan tulang servikal. Tanggung jawab perawat pada pasien yang terpasang skeletal
traksi adalah mempertahankan fungsi traksi, mempertahankan posisi tubuh, memonitor
status neurovaskuler, mendukung untuk latihan fisik, mencegah komplikasi dari terapi dan
imobilisasi, dan mencegah infeksi dengan cara perawatan pada lokasi pemasangan pins.
Perawatan pada lokasi pemasangan pins harus dilakukan secara teratur dalam 48 sampai 72
jam setelah pemasangan, jika banyak keluar drainase. Setelah itu, perawatan pada lokasi
pemasangan pins dilakukan setiap hari. Penggantian balutan biasanya dilakukan setelah 48-
72 jam dan setelah itu lokasi pemasangan pins dibiarkan terbuka. Perawatan lokasi
pemasangan pins tergantung dari policy yang ada di rumah sakit.

Prinsip Traksi yang Efektif Contertraksi harus dipasang untuk memberikan traksi yang
efektif Traksi harus dipasang secara terus menerus Skleletal traksi tidak boleh di lepas
kecuali ada kondisi yang mengancam nyawa Beban tidak boleh dilepas kecuali ada program
traksi intermitten Pasien harus dipertahankan dalam kondisi tubuh yang lurus di tengah
tempat tidur Tali penarik traksi tidak boleh terganggu Beban harus menggantung dengan
bebasPeralatan yang dibutuhkan untuk perawatan skeletal traksi adalah : Sarung tangan
steril Alat perawatan luka Bahan untuk membersihkan lokasi pins (biasanya normal saline
atau chlorhexidine, atau sesuai dengan order dokter) Bak instrumen steril Kasa steril Alat
pelindung diri 2. Pengkajian pasien yang akan terpasang skeletal traksi Kaji medical record
pasien, order dokter, dan rencana perawat untuk menentukan tipe traksi yang digunakan,
berat traksi, dan garis penarik. Periksa peralatan traksi untuk memastikan fungsi yang baik.
kaji body aligment pasien. Lakukan pengkajian kulit dan fungsi neurovaskuler. Kaji
komplkasi imobilitas, termasuk fungsi respirasi, intergritas kulit, eliminasi bowel dan urine,
kelemahan otot, kontraktur, tromboflebitis, emboli paru dan fatigue.

Hasil yang diharapkan dan rencana keperawatan pada pasien terpasang skeletal traksiHasil
yang diharapkan didapat setelah pemasangan dan perawatan pasien yang menggunakan skin
traksi adalah traksi dipertahankan dengan kondisi optimal dan pasien bebas dari komplikasi
akibat dari imobilisasi. Hasil lain yang diharapkan adalah berada dalam posisi body aligment
yang baik, melaporkan peningkatan rasa nyaman, dan pasien bebas dari cedera. .

PROSEDUR MEMBANTU PASIEN MENGGUNAKAN KRUK

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam menggunakan kruk 1) Perawat atau keluarga harus
memperhatikan ketika klien akan menggunakan kruk 2) Monitor klien saat memeriksa
penggunaan kruk dan observasi untuk beberapa saat sampai problem hilang 3) Perhatikan
kondisi klien saat mulai berjalan 4) Sebelum digunakan, cek dahulu kruk untuk persiapan 5)
Perhatikan lingkungan sekitar (Suratun dkk, 2008) 1.1.5 Tujuan Penggunaan Kruk 1)
Meningkatkan kekuatan otot, pergerakan sendi dan kemampuan mobilisasi 2) Menurunkan
resiko komplikasi dari mobilisasi 3) Menurunkan ketergantungan pasien pada orang lain 4)
Meningkatkan rasa percaya diri klien (Suratun dkk, 20008) 1.1.6 Fungsi Kruk 1) Sebagai
alat bantu berjalan 2) Mengatur atau memberi keseimbangan waktu berjalan 3) Membantu
menyokong sebagian berat badan klien

1.1.7 Teknik Penggunaan Kruk 1.

Cara berjalan dengan kruk (Supatmi, 2013) 1) Gaya berjalan 4 titik tumpu (1) Langkahkan
kruk sebelah kanan ke depan. (2) Langkahkan kaki sebelah kiri ke depan. (3) Langkahkan
kaki sebelah kanan ke depan. 2) Gaya berjalan 3 titik tumpu (1) Kedua kruk yang menjadi
penopang dan kaki yang tidak boleh menyangga dimajukan, kemudian menyusul kaki yang
sehat.

(2) Kedua kruk yang menjadi penopang kemudian segera dipindahkan ke titik awal dan pola
yang tadi diulang. 3) Gaya berjalan 2 titik tumpu (1) Kruk sebelah kiri dan kaki kanan maju
secara bersama-sama (2) Kruk sebelah kanan dan kaki kiri maju bersama-sama 4) Gaya
melayang swing to gait (1) Langkahkan kedua kruk bersama-sama (2) Kedua kaki diangkat
dan diayunkan maju sampai pada garis yang menghubungkan kedua tangan atau ujung kruk.
5) Gaya melayang swing through gait (1) Langkahkan kedua kruk bersama-sama. (2) Kedua

kaki

diangkat,

diayunkan

melewati

garis

yang

menghubungkan kedua tangan atau ujung kruk. 2. Cara menggunakan kruk (Pronajaya,
2016) 1) Cara naik (1) Lakukan posisi tiga titik. (2) Bebankan berat badan pada kruk. (3)
Julurkan tungkai yang tidak sakit antar kruk dan anak tangga. (4) Pindahkan beban berat
badan dari kruk ke tungkai yang tidak sakit. (5) Luruskan kedua kruk dengan kaki yang
tidak sakit di atas anak tangga. 2) Cara Turun (1) Bebankan berat badan pada kaki yang
tidak sakit. (2) Letakkan kruk pada anak tangga dan mulai memindahkan berat badan pada
kruk, gerakkan kaki yang sakit ke depan. (3) Luruskan kaki yang tidak sakit pada anak
tangga dengan kruk. (4) Ajarkan klien tentang cara duduk di kursi dan cara beranjak dari
kursi 3) Cara Duduk (1) Klien di posisi tengah depan kursi dengan aspek posterior kaki
menyentuh kursi. (2) Klien memegang kedua kruk dengan tangan berlawanan dengan
tungkai yang sakit. Jika kedua tungkai sakit, maka kruk ditahan dan pegang pada tangan
klien yang lebih kuat.

(3) Klien meraih tangan kursi dengan tangan yang lain dan merendahkan tubuh ke kursi. 4)
Cara Bangun (1) Lakukan tiga langkah diatas dalam urutan sebaliknya (2) Cuci tangan (3)
Catat cara berjalan dan prosedur yang diajrakan serta kemampuan klien untuk melakukan
cara berjalan dalam catatan perawat.
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.

Lukman, N & Ningsih, N. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: Penerbit Salemba Medika.

Mansjoer, A. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi 3. Jakarta: Medica Aesculpalus.

Moffat, D & Faiz, O. 2002. At a Glance Series Anatomi. Jakarta: PT. Glora Aksara Pratama.

Muttaqin, A. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan


Muskuloskeletal. Jakarta:EGC.

Muttaqin, A. 2011. Buku Saku Gangguan Mulskuloskeletal Aplikasi pada Praktik Klinik
Keperawatan. Jakarta:EGC.

Rasjad, C. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta: PT.Yarsif Watampone.

Siddiqui, Z. 2015. Rehabilitations Following Intramedullary Nailing Of Femoral Shaft


Fracture: A Case Report. International Journal of Physical Therapy & Rehabilitation
Science. Vol 1 (1): 30-3

Anda mungkin juga menyukai