Anda di halaman 1dari 72

TUBERKOLUSIS PARU

2.1 Definisi
Tuberkolusis paru adalah suatu penyakit menular yang disebabkan oleh basil
Mikrobacterium tuberkolusis yang merupakan salah satu penyakit saluran pernafasan
bagian bawah yang sebagian besar basil tuberkolusis masuk ke dalam jaringan paru
melalui airbone infection dan selanjutnya mengalami proses yang dikenal sebagai focus
primer dari ghon. ( Hood Alsagaff, th 1995. hal 73).
Tuberkolosis paru merupakan penyakit infeksi yang menyerang paru- paru yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberkulosis

2.2 Etiologi
• Penyakit TB Paru disebabkan oleh Mycobacterium Tuberkulosis.
• Lingkungan yang tidak bersih
• Perokok 

2.3 Manifestasi Klinik 


Gejala dan tanda bermacam-macam atau tanpa keluhan samasekali
1. Demam
2. Batuk, kadang batuk darah ( hemoptoe )
3. Sesak nafas
4. Nyeri dada
5. Malaise

2.5 Pemeriksaan Diagnostik


1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Sputum
  b. Darah
c. Uji Tuberkulin
2. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto thorax postro interior (PA) merupakan pemeriksaan radiologi
standar.

2.6 Penatalaksanaan
1. Obat Anti Tuberkulin (OAT)
• Kemampuan bacteriocidal
• Kemampuan membunuh sejumlah kuman aktif dengan cepat.
• Kemampuan mencegah timbulnya kuman resisten terhadap obat.
2. Panduan obat OAT
• Panduan pengobatan standar jangka pendek minimal selama 6 bulan: 2 bulan H.R.Z/4
bulan H.R 
Keterangan : H: Isoniasid (INH), R: Rifampisin, Z: Pirazinamid, E: Ethambutol, S:
Streptomicyn, T: Thioazetazon.
• Panduan standar jangka pendek 
1. Dep. Kes. RI paket A
2. Berisi kategori : 2 HRZE / 4 H3R3
3. Selama 2 bulan awal diberikan paduan HRZE tiap hari, selama 4 bulan berikutnya
diberikan paduan H dan R 3 kali seminggu.

2.7 Komplikasi
1. Hemoptoe
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial .
3. Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.
4. Pneumotoraks spontan.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dan
sebagainya.
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

DFH DEMAM BERDARAH


A. Definisi Demam Berdarah
Demam berdarah Dengue adalah Infeksi akut yang disebabkan oleh arbovirus
(arthropadborn Virus) dan di tularkan melalui gigitan nyamuk Aides (Aides albipices dan Aedes
Aegypti). Demam berdarah dengue adalah penyakit yang diesebabkan oleh virus dengue sejenis
virus yang tergolong arbovirus dan masuk kedalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk
aedes aegypti (betina), terutama menyerengan anak, remaja, dan dewasa dan seringkali
menyebabkan kematian bagi penderita. Dengue Hemoragic Fever (DHF) adalah penyakit yang
teradapat pada anak-anak dan dewasa dengan gejala utama demam, nyeri otot dan sendi yang
disertai leucopenia, dengan atau tanpa tanda ruam dan limfadenopati.
B. Anatomi dan Fisiologi
Anatomi dan fisiologi yang berhubungan dengan penyakit DHF adalah system sirkulasi.
System sirkulasi adalah sarana untuk menyalurkan makanan dan oksigen dari traktus distivus
dari paru-paru ke sela-sela tubuh. Selain itu, system sirkulasi merupakan sarana untuk
membuang sisa-sisa metabolism dari sel- sel ginjal, paru-paru dan kulit yang merupakan tempat
ekskresi pembuluh darah, dan darah.
1. Jantung.
Jantung merupakan sebuah organ yang terdiri dari otot. Otot jantung merupakan jaringan
istimewa karena kalau dilihat dari bentuk dan susunannya sama dengan otot serat lintang, tetapi
cara bekerjanya menyerupai otot polos yaitu diluar kemauan kita. Bentuk jantung menyerupai
jantung pisang, bagian atasnya tumpul (pangkal jantung) dan disebut juga basis kordis. Disebelah
bawah agak runcing yang disebut apeks cordis. Letak jantung didalam rongga dada sebelah
depan, sebelah kiri bawah dari pertengahan rongga dada, diatas diagfragma dan pangkalnya
terdapat dibelakang kiri antara kosa V dan VI dua jari dibawah papilla mamae. Pada tempat ini
teraba adanya denyut jantung yang disebut iktus kordis. Ukurannya lebih kurang sebesar
genggaman tangan kanan dan beratnya kira-kira 250-300 gram. 2.
Pembuluh Darah Pembuluh darah ada 3 yaitu :
a. arteri
Arteri merupakan pembuluh darah yang keluar dari jantung yang membawa darah
keseluru bagian dan alat tubuh. Pembuluh darah arteri yang paling besar yang keluar dari
ventrikel sinistra disebut aorta. Arteri ini mempunyai dinding yang kuat dan tebal tetapi sifatnya
elastic dan terdiri dari 3 lapisan. Arteri yang paling besar didalam tubuh yaitu aorta dan arteri
pulmonalis, garis tengahnya kira-kira 1-3 cm. arteri ini mempunyai cabang-cabang keseluruhan
tubuh yang disebut arteriola yang akhirnya akan menjadi pembuluh darah rambut (kapiler).
Arteri mendapat darah dari darah yang mengalir didalamnya tetapi hanya untuk tunika intima.
Sedangkan untuk lapisan lainnya mendapat darah dari pembuluh darah yang disebut vasa
vasorum.
b. Vena
Vena (pembuluh darah balik) merupakan pembuluh darah yang membawa darah dari
bagian/alat-alat tubuh masuk ke dalam jantung. Tentang bentuk susunan dan juga pernafasan
pembuluh darah yang menguasai vena sama dengan pada arteri. Katup-katup pada vena
kebanyakan terdiri dari dua kelompok yang gunanya untuk mencegah darah agar tidak kembali
lagi. Vena-vena yang ukurannya besar diantaranya vena kava dan vena pulmonalis. Vena ini juga
mempunyai cabang tang lebih kecil yang disebut venolus yang selanjutnya menjadi kapiler.
c. Kapiler
Kapiler (pembuluh darah rambut) merupakan pembuluh darah yang sangat halus.
Diameternya kira-kira 0,008 mm. Dindingnya terdiri dari suatu lapisan endotel. Bagian tubuh
yang tidak terdapat kapiler yaitu; rambut, kuku, dan tulang rawan. Pembuluh darah
rambut/kapiler pada umumnya meliputi sel-sel jaringan. Oleh karen itu dindingnya sangat tipis
maka plasma dan zat makanan mudah merembes ke cairan jaringan antar sel.
d. Darah
Darah adalah jaringan cair dan terdiri dari dua bagian: bagian cair disebut plasma dan
bagian padat disebut sel darah. Warna merah pada darah keadaannya tidak tetap bergantung
pada banyaknya oksigen dan karbon dioksida didalamnya. Darah yang banyak mengandung
karbon dioksida warnanya merah tua. Adanya oksigen dalam darah diambil dengan jalan
bernafas dan zat ini sangat berguna pada peristiwa pembakaran/metabolisme didalam tubuh.
Pada tubuh yang sehat atau orang dewasa terdapat darah seanyak kira-kira 1/3 dari berat badan
atau kira-kira 4 sampai 5 liter. Keadaan jumlah tersebut pada tiap-tiap orang tidak sama,
bergantung pada umur, pekerjaan, keadaan jantung atau pembuluh darah.
Fungsi darah:
1. Sebagai alat pengangkut
2. Sebagai pertahanan tubuh terhadap serangan penyakit dan racun dalam tubuh dengan
perantaraan leukosit dan antibody/zat-zat antiracun.
3. Mengatur panas keselurh tubuh. Adapun proses pembentukan sel dara terdapat tiga
tempat yaitu: sumsung tulang, hepar, dan limpa.

C. Etiologi
Penyebab penyakit dengue hemoragic fever (DHF) atau demam berdarah adalah virus
dengue. Virus ini tergolong dalam family/suku/grup flaviviridae yang dikenal ada 4 serotipe,
dengue 1, dengue 2, dengue 3, dengue 4, yang ditularkan melalui vector nyamuk aedes aegypti.
Infeksi dengan salah satu serotype akan menimbulkan antibody seumur hidup terhadap serotype
bersangkutan. Tetapi tidak ada perlindungan terhadap serotype lain
D. Patofisiologi
Virus akan masuk kedalam tubuh melalui gigitan nyamuk aedes aegypti pertama-tama
terjadi veremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual nyeri otot,
pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia
tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening,
pembesaran hati, dan pembesaran limpa. Akibat lain dari virus dengue dalam peredaran darah
akan menyebabkan depresi sumsum tulang sehingga akan terjadi trombositopenia yang berlanjut
akan menyebabkan pendarahan kaena gangguan trombosit dan kelainan koagulasi dan sampai
pada pendarahan kelenjar adrenalin . Yang menentukan beratnya penyakit adalah meningkatnya
permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunya volume plasma. Terjadinya hipotensi,
trombositopenia dan diathasis hemorahagic renjatan pasti terjadi secara akut. Adanya kebocoran
plasma ke darah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukan cairan yang tertimbun dalam
rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura dan pericardium yang pada otopsi tenyata
melebihi cairan yang diberikan melalui infuse. Jika renjatan atau syok, hipovelmik berlangsung
lama akan timbul anoreksia jaringan metabolic dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan
baik
E. Klasifikasi
Mengingat derajat beratnya penyakit bervariasi dan sangat erat kaitannya dengan
pengelolarhan dan prognosis, (WHO) membagi DBD dalam 4 derajat, yaiu:
1. derajat 1
Demam mendadak 2-7 hari disertai gejala tidak khas, dan satu-satunya manifestasi
pendarahan adaalh tes toniquet positif.
2. Derajat 2
Derajat 1 dan disertai pendarahan spontan pada kulit atau pendarahan lain.
3. Derajat 3
Ditemukan kegagalan sirkulasi ringan yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan darah rendah,
gelisa, sianosis mulut, hidung dan ujung jari.
4. Derajat 4
Syok hebat dengan tekanan darah atau nadi tidak terdeteksi

F. Manifestasi klinik
Kasus DHF ditandai oleh manifestasi klinik, yaitu: demam tinggi dan mendadak yang
dapat mencapai 40 derajat Celcius atau lebih dan terkadang disertai dengan kejang, demam, sakit
kepala,anoreksia, mual muntah, epigastrik, discomfort, nyeri perut kanan atas atau seluruh
bagian perut dan pendarahan, terutama pendarahan kulit, walaupun hanya berupa uji tourniquet
positif. Selain itu, pendarahan kulit dapat terwujud memar atau juga berupa pendarahan spontan
mulai dari petekie pada ektremitas, tubuh, dan muka, sampai epistaksis dan pendarahan gusi.
Sementara pendarahan gastrointestinal masih lebih jarang terjadi dan biasanya hanya terjadi pada
kasus dengan syok yang berkepanjangan atau setelah syok yang tidak dapat teratasi. Pendarahan
lain seperti pendarahan sub konjungtiva terkadang juga ditemukan. Pada masa konvalisen
seringkali ditemukan eritema pada telapak kaki dan hepatomegali. Hepatomegali biasanya dapat
diraba pada permukaan penyakit dan pembesaran hati ini tidak sejajar dengan beratnya penyakit.
Nyeri tekan seringkali ditemukan tanpa ikters maupun kegagalan pendarahan.
G. Pengobatan dan Pencegahan
Prinsip pencegahan yang tepat dalam pencegahan demam berdarah ialah sebagai
berikut :
a. Memanfaatkan perubahan keadaan nyamuk akibat pengaruh alamiah dengan
melaksanakan pemberantasan vector pada saat sedikit terdapatnya kasus DHF
b. Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vector pada tingkat sangat
rendah untuk memberikan kesempatan penderita veremia sembuh secara spontan
c. Mengusahakan pemberantasan vector dipusat daerah penyebaran.
d. Mengusahakan pemberantasan vector disemua daerah berpotensi penularan tinggi.
Ada 2 macam pemberantasan vector antara lain:
1. Menggunakan insektisida yang lazim digunakan dalam program pemberantasan penyakit
demam berdarah dengue adalah malathion untuk membunuh nymuk dewasa dan
temophos (abate) untuk membunuh jentik.
2. Tanpa insektisida :
 Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1X seminggu
 Menutup tempat-tempat penampungan air rapat
 Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah, dan benda lain yang
memungkinkan nyamuk bersarang.
Pengobatan demam berdarah ini bila dalam tahap awal sebelum ketempat pelayanan
kesehatan yaitu dengan banyak minum dan juga minum obat penurun panas. Bila dilakukan
ditempat pelayanan kesehatan baik itu di RS atau di Puskesmas yang ada rawat inapnya biasanya
diberikan pengobatan dengan:
1. Pemberian cairan infuse yang dilakukan untuk mencegah terjadinya dehidrasi dan juga
hemokonsentrasi yang berlebihan
2. Pemberian obat yang sesuai dengan gejala yang dirasakan pasien seperti antipiretik untuk
menurunkan demam (paracetamol)
3. Pemberian garam elektrolit (oralit) bila pasien mengeluh diare.
4. Pemberian antibiotic untuk mencegah terjadi infeksi sekunder yang bisa ditimbulkan oleh
demam berdarah
5. Pemberian transfuse trombosit sesuai indikasi bila kadar trombositnya menurun.
6. Bedrest total selama perawatan dan fase demam berdarah.

H. Komplikasi
Dalam penyakit DHF atau emam berdarah jika tidak segera ditangani akan menimbulkan
komplikasi adalah sebagai berikut :
1. Pendarahan
2. Kegagalan sirkulasi
3. Hepatomegali
4. Efusi pleura

I. Pemeriksaan penunjang
1. Darah.
a. Trombosit menurun
b. HB meningkat lebih 20%
c. HT meningkat lebih 20%
d. Leukosit menurun pada hari ke-2 dan ke-3
e. Protein dalam darah rendah
f. Ureum PH bisa meningkat .
g. NA dan CL rendah

2. Serologi : HI (Hemaglutination Inhibition Test)


a. Rontgen thorax : efusi ureum
b. Uji tes tuoniket (+)

J. Penatalaksanaan
a. Tirah baring
b. Pemberian makanan lunak
c. Minum banyak (2-2,5 liter/24 jam)
d. Pemberian cairan melalui infuse
e. Pemberian obat-obtan; antibiotic, antipiretik
f. Antikonulsi jika terjadi kejang
g. Monitor TTV
h. Monitor adanya tanda-tanda renjatan
i. Monitor tanda-tanda pendarahan lanjut
j. Periksa HB, HT, dan trombosit setiap hari

K. Pemeriksaan Diagnostik
Untuk mendiagnosis Dengue Hemoragik Fever(DHF) dapat dilakukan
pemeriksaan dan didapatkan gejala seperti yang telah dijelaskan sebelumnya juga dapat
ditegakkan dengan melakuakan beberapa pemeriksaan menurut Soedarto, (2008) sebagai
berikut:
Permeriksaa Laboratorium :
a. Darah Lengkap = Hemokonsentrasi (Hematokrit meningkat 20 % atau lebih )
Thrombocitopeni( 100. 000/ mm3atau kurang)
b. Uji Serologi : Uji HI ( hemaaglutinaion Inhibition Test )
c. Rontgen Thorax = Effusi Pleura, Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak dan
lateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihat ada tidaknya efusi pleura,
terutama pada hemitorakskanan dan pada keadaan perembesan plasma hebat, efusi dapat
ditemukan pada kedua hemitoraks. Asites dan efusi pleuradapat pula dideteksi dengan
USG

MAR MARFORMASI ANOREKTAL


A. Pengertian Malformasi Anorektal
Atresia ani atau anus imperforata atau malformasi anorektal adalah suatu
kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna, termasuk didalamnya
agenesis ani, agenesis rekti dan atresia rekti. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat
muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb).
Malformasi anorektal (MAR) merupakan malformasi septum urorektal secara parsial
atau komplet akibat perkembangan abnormal hindgut, allantois dan duktus Mulleri.
Malformasi anorektal merupakan spektrum penyakit yang luas melibatkan anus dan rektum
serta traktus urinarius dan genitalia.

Etiologi
Atresia ani atau anus imperforata dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur, sehingga bayi lahir tanpa
lubang dubur .
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan.
3. Berkaitan dengan sindrom down.

Malformasi anorektal memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya


adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi
meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan malformasi anorektal
yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000
kelahiran. Penelitian juga menunjukkan adanya hubungan antara malformasi anorektal
dengan pasien dengan trisomi 21 (Down's syndrome). Kedua hal tersebut
menunjukkan bahwa mutasi daribermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan
malformasi anorektal atau dengan kata lain etiologi malformasi anorektal bersifat
multigenik.
Patofisiologi
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya
fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan
segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan
diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus
urinarius menyebabkan infeksi berulang.
Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ
sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum
(rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat
(rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke
uretra (rektouretralis).

Klasifikasi
Klasifikasi yang paling sering digunakan untuk malformasi anorektal adalah
klasifikasi Wingspread yang membagi malformasi anorektal menjadi letak tinggi,
intermedia dan letak rendah. Akan tetapi, untuk tujuan terapi dan prognosis digunakan
klasifikasi yang dibuat berdasarkan jenis.Melbourne membagi berdasarkan garis
pubokoksigeus dan garis yang melewati ischii kelainan disebut.

a. Letak tinggi apabila rektum berakhir diatas muskulus levator ani (muskulus
pubokoksigeus).
b. Letak intermediet apabila akhiran rektum terletak di muskulus levator ani.
c. Letak rendah apabila akhiran rektum berakhir bawah muskulus levator ani.

Gambaran malformasi anorektal pada laki-laki.


Gambaran malformasi anorektal pada perempuan.

Manifestasi Klinis

Gejala yang menunjukan terjadinya malformasi anorektal terjadi dalam waktu 24-48
jam. Gejala itu dapat berupa:

d. Perut kembung
e. Muntah
f. Tidak bisa buang air besar
g. Pada pemeriksaan radiologis dengan posisi tegak serta terbalik dapat dilihat sampai
dimana terdapat penyumbatan.

Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi


anorektal adalah:

1. Kelainan kardiovaskuler
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan anus imperforata. Jenis kelainan yang
paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus,
diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2. Kelainan gastrointestinal
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-
2%)
3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan
kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan
teratoma intraspinal.
4. Kelainan traktus genitourinarius
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada malformasi
anorektal. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan
malformasi anorektal letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan malformasi anorektal
letak rendah 15% sampai 20%.

Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai


VATER (Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb abnormality).

Diagnosa Keperawatan
Diagnosis ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik yang teliti. Pada anamnesis dapat
ditemukan :
a. Bayi cepat kembung antara 4-8 jam setelah lahir
b. Tidak ditemukan anus, kemungkinan juga ditemukan adanya fistula
c. Bila ada fistula pada perineum maka mekoneum (+) dan kemungkinan kelainan adalah
letak rendah
Pena menggunakan cara sebagai berikut:
1. Bayi laki-laki dilakukan pemeriksaan perineum dan urin bila :
a. Fistel perianal (+), bucket handle, anal stenosis atau anal membran berarti atresia
letak rendah maka dilakukan minimal Postero Sagital Anorektoplasti (PSARP)
tanpa kolostomi
b. Bila mekoneum (+) maka atresia letak tinggi dan dilakukan kolostomi terlebih
dahulu, setelah 8 minggi kemudian dilakukan tindakan definitif.

Apabila pemeriksaan diatas meragukan dilakukan invertrogram. Bila akhiran


rektum < 1 cm dari kulit maka disebut letak rendah. Akhiran rektum > 1 cm
disebut letak tinggi. Pada laki-laki fistel dapat berupa rektovesikalis, rektouretralis dan
rektoperinealis.
2. Pada bayi perempuan 90 % atresia ani disertai dengan fistel.
a. Bila ditemukan fistel perineal (+) maka dilakukan minimal PSARP tanpa
kolostomi.
b. Bila fistel rektovaginal atau rektovestibuler dilakukan kolostomi terlebih dahulu.
c. Bila fistel (-) maka dilakukan invertrogram: apabila akhiran < 1 cm dari kulit
dilakukan postero sagital anorektoplasti, apabila akhiran > 1 cm dari kulit
dilakukan kolostomi terlebih dahulu.

Leape (1987) menyatakan bila mekonium didadapatkan pada perineum, vestibulum


atau fistel perianal maka kelainan adalah letak rendah . Bila Pada pemeriksaan fistel
(-) maka kelainan adalah letak tinggi atau rendah. Pemeriksaan foto abdomen setelah
18-24 jam setelah lahir agar usus terisis\ udara, dengan cara Wangenstein Reis (kedua kaki
dipegang posisi badanvertikal dengan kepala dibawah) atau knee chest position (sujud)
dengan bertujuan agar udara berkumpul didaerah paling distal. Bila terdapat fistula
lakukan fistulografi.

Pada pemeriksan klinis, pasien malformasi anorektal tidak selalu menunjukkan


gejala obstruksi saluran cerna. Untuk itu, diagnosis harus ditegakkan pada pemeriksaan
klinis segera setelah lahir dengan inspeksi daerah perianal dan dengan memasukkan
termometer melalui anus.

Mekonium biasanya tidak terlihat pada perineum pada bayi dengan fistula
rektoperineal hingga 16-24 jam. Distensi abdomen tidak ditemukan selama beberapa jam
pertama setelah lahir dan mekonium harus dipaksa keluar melalui fistula rektoperineal atau
fistula urinarius. Hal ini dikarenakan bagian distal rektum pada bayi tersebut dikelilingi
struktur otot-otot volunter yang menjaga rektum tetap kolaps dan kosong. Tekanan
intrabdominal harus cukup tinggi untuk menandingi tonus otot yang mengelilingi rektum.
Oleh karena itu, harus ditunggu selama 16-24 jam untuk menentukan jenis malformasi
anorektal pada bayi untuk menentukan apakah akan dilakukan colostomy atau anoplasty.

Inspeksi perianal sangat penting. Flat "bottom" atau flat perineum, ditandai dengan
tidak adanya garis anus dan anal dimple mengindikasikan bahwa pasien memiliki otot-otot
perineum yang sangat sedikit. Tanda ini berhubungan dengan malformasi anorektal letak
tinggi dan harus dilakukan colostomy.
Tanda pada perineum yang ditemukan pada pasien dengan malformasi anorektal letak
rendah meliputi adanya mekonium pada perineum, "bucket-handle" (skin tag yang terdapat
pada anal dimple), dan adanya membran pada anus (tempat keluarnya mekonium).

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi
harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan
atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini
banyak menimbulkan inkontinen feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena
dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero
sagital anorektoplasti, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan
muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan
fistel.
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka
panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma
psikis. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukankan ketinggian akhiran rektum
yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik,
radiologis dan USG. Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh
karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat,
keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta
perawatan post operasi yang buruk. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda
tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.

Leape (1987) menganjurkan pada :


a. Atresia letak tinggi dan intermediet dilakukan sigmoid kolostomi atau TCD dahulu,
setelah 6 –12 bulan baru dikerjakan tindakan definitif (PSARP)
b. Atresia letak rendah dilakukan perineal anoplasti, dimana sebelumnya dilakukan tes
provokasi dengan stimulator otot untuk identifikasi batas otot sfingter ani ekternus
c. Bila terdapat fistula dilakukan cut back incicion
d. Pada stenosis ani cukup dilakukan dilatasi rutin, berbeda dengan Pena dimana dikerjakan
minimal PSARP tanpa kolostomi.
Pena secara tegas menjelaskan bahwa pada atresia ani letak tinggi dan
intermediet dilakukan kolostomi terlebih dahulu untuk dekompresi dan diversi. Operasi
definitif setelah 4 – 8 minggu. Saat ini teknik yang paling banyak dipakai adalah
posterosagital anorektoplasti, baik minimal, limited atau full postero sagital anorektoplasti.
Teknik Operasi
a. Dilakukan dengan general anestesi, dengan intubasi endotrakeal, dengan posisi
pasien tengkurap dan pelvis ditinggikan.
b. Stimulasi perineum dengan alat Pena Muscle Stimulator untuk identifikasi anal dimple.
c. Insisi bagian tengah sakrum kearah bawah melewati pusat spingter dan berhenti 2
cm didepannya.
d. Dibelah jaringan subkutis, lemak, parasagital fiber dan muscle complex.
e. Os koksigeus dibelah sampai tampak muskulus levator, dan muskulus levator
dibelah tampak dinding belakang rektum.
f. Rektum dibebas dari jaringan sekitarnya.
g. Rektum ditarik melewati levator, muscle complex dan parasagital fiber.
h. Dilakukan anoplasti dan dijaga jangan sampai tension

Perawatan Pasca Operasi PSARP

a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10
hari.
b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali sehari
dan tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai
mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor
13-14 mudah masuk.

Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejakan serta tidak ada
rasa nyeri bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup
kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan.

Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan
pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase
suprapubik diindikasikan pada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm.
Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari, dan antibiotik topikal berupa salep dapat
digunakan pada luka.

Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan oleh
ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan
ataupun keluarga. Setiap minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran yang
diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat lewat
dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan diikuti dengan
dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1 bulan kemudian dan
terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang diinginkan tercapai,
dilakukan penutupan kolostomi.3

Setelah dilakukan penutupan kolostomi, eritema popok sering terjadi karena


kulit perineum bayi tidak pernah kontak dengan feses sebelumnya. Salep tipikal yang
mengandung vitamin A, D, aloe, neomycin dan desitin dapat digunakan untuk mengobati
eritema popok ini

HIDROSEFALUS

2.1 Pengertian

Hydrocephalus merupakan manifestasi klinis dari akumulasi cairan serebrospinal


(cerebrospinal fluid / CSF) yang berlebihan, sehingga terjadi peningkatan tekanan
intraventrikuler dan dilatasi patologis ruang ventrikel. Hal ini terjadi karena adanya
gangguan pada sirkulasi dan/atau absorbsi CSF, ataupun meningkatnya produksi CSF oleh
plexus choroid. Hydrocephalus dapat diturunkan karena kelainan genetik, maupun didapat
karena komplikasi persalinan prematur, tumor, trauma, infeksi, dan gangguan metabolik.

2.2 Etiologi

Etiologi hydrocephalus dibagi menjadi kelainan kongenital, didapat (acquired), dan


normal pressure hydrocephalus serta hydrocephalus ex-vacuo.

Hydrocephalus Kongenital

Etiologi hydrocephalus kongenital antara lain spina bifida, bayi yang lahir prematur,
l hydrocephalus x-linked, kelainan genetik, dan kista arachnoid.
Spina Bifida

Beberapa anak dengan spina bifida, biasanya dengan malformasi Arnold-Chiari II,
mengalami herniasi jaringan otak lewat foramen magnum sehingga menyebabkan oklusi
pada ventrikel keempat, serta sumbatan aliran CSF.

Bayi Prematur

Bayi prematur (lahir sebelum usia kehamilan 37 minggu) rentan mengalami post
hemorrhagic hydrocephalus (PHH) sebagai komplikasi dari perdarahan intraventrikular,
terutama mereka yang lahir pada usia kehamilan <29 minggu (20-30%). Pada neonatus yang
lahir prematur, PHH terjadi karena obstruksi aliran CSF serta respon inflamasi ependim,
sehingga terjadi gangguan komplians dan menurunnya kemampuan reabsorbsi CSF.

Hydrocephalus X-linked

1. Hydrocephalus x-linked disebabkan karena mutasi kromosom X yang menyebabkan


stenosis aquaductus Sylvius.

2. Kelainan Genetik

3. Pada gangguan genetik seperti malformasi Dandy-Walker, dapat terjadi dilatasi


ventrikel ketiga dan lateral sehingga menyebabkan atrioventrikular hydrocephalus
dengan atrofi otak bilateral.

4. Kista Arachnoid

5. Kista arachnoid adalah kantung berisi cairan serebrospinal pada arachnoid.


Manifestasi tipikal pada keadaan ini adalah hydrocephalus kronik pada ventrikel
keempat, vertigo, ataxia, dan terkadang disertai dengan gejala yang timbul karena
kompresi batang otak.

Hydrocephalus Didapat
Hydrocephalus yang didapat (acquired) biasanya terjadi karena komplikasi infeksi,
clotting pada pembuluh darah di otak, tumor otak, cedera kepala, dan stroke juga dapat
menjadi penyebab terjadinya acquired hydrocephalus.

2.4 Komplikasi Infeksi

Infeksi selaput otak (meningitis) serta infeksi sistem saraf pusat saat intrauterin
(infeksi Toxoplasma gondii) dapat menyebabkan hydrocephalus obstruktif. Proses inflamasi
menyebabkan timbulnya agregasi infiltrat, eksudat, serta jaringan fibrosis, terutama pada
ruang subarachnoid sehingga mengganggu absorbsi cairan serebrospinal. Jadi hydrocephalus
obstruktif di sini terjadi karena adanya penyempitan atau oklusi pada aquaductus, karena
kompresi sirkumferensial batang otak oleh eksudat meningeal maupun adhesi dan septum
intraventrikular yang terbentuk oleh proses inflamasi.

 Clotting Pembuluh Darah di Otak

 Clotting pembuluh darah atau trombosis pada vena menyebabkan hydrocephalus


lewat sumbatan yang mengganggu drainase CSF dan aliran balik vena.

 Tumor Otak

 Tumor otak dapat menyebabkan hydrocephalus obstruktif apabila terjadi sumbatan


pada aliran cairan serebrospinal.

 Cedera Kepala dan Stroke Hemorrhagic

 Cedera kepala dan stroke hemorrhagic yang menyebabkan perdarahan


intraventrikular dapat menyebabkan terjadinya hydrocephalus obstruktif maupun
nonobstruktif.

Normal Pressure Hydrocephalus dan Hydrocephalus Ex-Vacuo


Normal Pressure Hydrocephalus (NPH) pada orang dewasa dapat terjadi setelah
cedera kepala, perdarahan otak, maupun infeksi. Namun pada banyak kasus etiologinya
dapat bersifat idiopatik. Sedangkan hydrocephalus ex-vacuo disebabkan oleh pengerutan
jaringan otak sehingga terjadi peningkatan volume ruang ventrikel yang dikompensasi
dengan peningkatan produksi CSF.

2.5 Manifestasi Klinis

Pada anak-anak, dewasa, dan lansia, gejala hidrosefalus yang muncul tergantung
pada usia penderita. Gejala-gejala tersebut antara lain:

1. Sakit kepala
2. Penurunan daya ingat dan konsentrasi
3. Mual dan muntah
4. Gangguan penglihatan
5. Gangguan koordinasi tubuh
6. Gangguan keseimbangan
7. Kesulitan menahan buang air kecil
8. Pembesaran kepala

Hidrosefalus yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan gangguan dalam


perkembangan fisik dan intelektual anak. Pada orang dewasa, hidrosefalus yang terlambat
ditangani dapat menyebabkan gejala menjadi permanen.

2.6 Gejala Hidrosefalus

Hidrosefalus pada bayi ditandai dengan lingkar kepala yang cepat membesar. Selain
itu, akan muncul benjolan yang terasa lunak di ubun-ubun kepala. Selain perubahan ukuran
kepala, gejala hidrosefalus yang dapat dialami bayi dengan hidrosefalus adalah:

1. Rewel
2. Mudah mengantuk
3. Tidak mau menyusu
4. Muntah
5. Pertumbuhan terhambat
6. Kejang

2.7 Patofisiologi

Patofisiologi hydrocephalus intinya adalah ketidakseimbangan antara produksi dan


absorbsi cairan serebrospinal (cerebrospinal fluid / CSF), sehingga terjadi akumulasi CSF
pada ruang ventrikel dan/atau subarachnoid, serta dilatasi dan peningkatan tekanan
intrakranial. Berdasarkan mekanisme terjadinya maka hydrocephalus dibagi menjadi dua,
yaitu :

1. Hydrocephalus obstruktif (non-communicating), terjadi karena adanya obstruksi pada


sistem ventrikel sehingga CSF tidak dapat mengalir dengan mudah sampai ke sinus
sagitalis superior, tempat villi arachnoid mengabsorbsi CSF

2. Hydrocephalus non-obstruktif (communicating), terjadi karena gangguan absorbsi atau


sekresi CSF, dan tidak ada sumbatan pada sistem ventrikel sampai ke ruang
subarachnoid.

Di dalam ventrikel terdapat jaringan yang disebut dengan plexus choroid yang
berfungsi untuk memproduksi CSF. Cairan yang telah diproduksi kemudian sebagian besar
diabsorbsi oleh villi arachnoid, serta lapisan ependimal pada ventrikel dan ruang
subarachnoid dengan kecepatan yang sama dengan kecepatan produksinya. Normalnya
produksi CSF 0,20-0,35 mL/menit, sedangkan kapasitas ventrikel pada orang sehat adalah
20 mL. Total volume CSF pada orang dewasa adalah 120 mL.

Volume CSF yang meningkat di dalam ventrikel dapat dikompensasi melalui


penyerapan transventrikular (aliran subependymal) dan penyerapan sepanjang lengan akar
saraf. Proses kompensasi ini dapat menyebabkan selubung saraf optik membesar. Akibat
peningkatan CSF, tanduk temporal dan frontal membesar terlebih dahulu, seringkali
asimetris. Hal ini menyebabkan peningkatan corpus callosum, peregangan atau perforasi
septum pellucidum, penipisan mantel serebral, pembesaran ventrikel ketiga ke bawah
menekan fossa hipofisis, serta kompresi otak tengah dorsal. Semua kondisi tersebut
memberikan gejala disfungsi hipofisis, juga sindrom Parinaud.

Hydrocephalus Kongenital

Hydrocephalus kongenital berkembang pada periode janin dan bayi, sering dikaitkan
dengan makrosefali. Umumnya disebabkan obstruksi CSF, malformasi Arnold-Chiari atau
malformasi Dandy-Walker.

Akumulasi CSF dapat meningkatkan tekanan intrakranial (intracranial pressure /


ICP), sehingga menekan otak dan mengganggu perkembangan fungsi otak anak, tumbuh
kembang anak, sampai dengan kematian. Kompensasi pada bayi adalah melebarnya sutura
kranialis. Sedangkan pada anak-anak yang sutura dan fontanelnya telah menutup,
kemampuan untuk mengkompensasi peningkatan ICP berkurang, sehingga menjadi rentan
mengalami malfungsi otak akut akibat hydrocephalus.

Hydrocephalus Didapat

Hydrocephalus didapat / acquired disebabkan komplikasi persalinan prematur, tumor


otak, trauma kepala, infeksi, dan gangguan metabolik yang menyebabkan gangguan
absorbsi, sekresi, ataupun obstruksi aliran CSF. Termasuk hydrocephalus didapat adalah
normal pressure hydrocephalus (NPH) dan Hydrocephalus ex-vacuo.

Normal Pressure Hydrocephalus

Pada orang dewasa, dapat terjadi normal pressure hydrocephalus (NPH), ini adalah
keadaan dimana ruang ventrikel mengalami dilatasi namun tekanan intrakranial tidak
meningkat, ditandai dengan opening pressure normal pada saat melakukan pungsi lumbal.
NPH termasuk ke dalam hydrocephalus non-obstruktif. Inti patofisiologi NPH adalah
gangguan reabsorbsi cairan serebrospinal.

Pada keadaan normal, ruang ventrikel responsif terhadap perubahan produksi dan
absorbsi CSF, aliran arteri dan vena, dengan tujuan untuk mempertahankan struktur dan
tekanan intrakranial. Pada saat sistolik, terjadi peningkatan tekanan intrakranial karena
influx darah dari arteri meningkat ke otak, namun hal ini dikompensasi dengan peningkatan
outflow CSF ke kanalis spinalis. Namun pada NPH, elastisitas intrakranial menurun,
sehingga mengurangi kemampuan kompensasi tersebut. Akibatnya, CSF mengalir ke arah
depan, tidak ke kanalis spinalis, sehingga menyebabkan kompresi ventrikel lateral dan
meningkatkan pergerakan cairan serebrospinal ke aquaductus cerebri.

Hydrocephalus Ex-Vacuo

Hydrocephalus ex-vacuo adalah jenis lain hydrocephalus yang juga terjadi pada
orang dewasa. Hal ini terjadi ketika terjadi stroke, cedera otak, atau pada pasien yang lebih
tua dengan penyakit Alzheimer. Pada kondisi tersebut menyebabkan pengerutan jaringan
otak yang patologis, sebagai kompensasinya maka produksi CSF meningkat untuk mengisi
“ruang tambahan” yang ada. Pada keadaan ini, ruang ventrikel membesar namun tekanannya
normal.

2.8 Pencegahan Hidrosefalus

Hidrosefalus merupakan kondisi yang sulit dicegah. Namun, risiko hidrosefalus


dapat dihindari dengan beberapa langkah berikut:

 Lakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin saat hamil.


 Kenakan sabuk pengaman saat berkendara menggunakan mobil.
 Gunakan helm saat bersepeda atau mengendarai motor.

2.9 Penatalaksanaan

Tata laksana utama pada hydrocephalus adalah teknik pembedahan, yaitu


pemasangan shunting yang berfungsi sebagai drainage. Tindakan ini bukan untuk
menyembuhkan, namun untuk mengontrol gejala akibat peningkatan tekanan intrakranial.
Pada hydrocephalus kongenital, pembedahan pada bayi berpotensi komplikasi sehingga ahli
bedah saraf mungkin menunda melakukannya (terutama bayi prematur). Untuk mengurangi
progresifitas kerusakan otak, maka bayi hydrocephalus dapat diberikan terapi farmakologi
dahulu sampai pembedahan aman dikerjakan. Pada keadaan peningkatan tekanan
intrakranial akut, biasa terjadi pada hydrocephalus didapat pada pasien anak atau dewasa,
diperlukan tindakan pembedahan secepatnya. Beberapa kasus hydrocephalus didapat,
pembedahan tidak diperlukan karena etiologinya telah membaik, misalnya pada perdarahan
intraventrikular yang sudah reabsorbsi tanpa skar.

1. Terapi Pembedahan

2. Pembedahan merupakan tatalaksana yang paling efektif untuk mengontrol gejala


hydrocephalus karena peningkatan tekanan intrakranial. Pembedahan yang bisa dilakukan
adalah metode pemasangan shunt, endoscopic third ventriculostomy (ETV), atau
alternatif lainnya.

3. Operasi pemasangan shunt

4. Shunt adalah selang khusus yang dipasang di dalam kepala untuk mengalirkan cairan
otak ke bagian lain di tubuh, agar mudah terserap ke dalam aliran darah. Bagian tubuh
yang dipilih untuk mengalirkan cairan otak adalah rongga perut. Operasi ini juga disebut
dengan nama VP shunt. Beberapa penderita hidrosefalus bisa memerlukan shunt untuk
seumur hidupnya. Oleh karena itu, pemeriksaan rutin perlu dilakukan, guna memastikan
shunt tetap bekerja dengan baik.

5. Endoscopic third ventriculostomy (ETV)

6. ETV dilakukan dengan membuat lubang baru di dalam rongga otak, agar cairan di dalam
otak bisa mengalir ke luar. Prosedur ini sering kali diterapkan pada hidrosefalus yang
disebabkan oleh penyumbatan di dalam rongga otak.

2.10 Penyebab Hidrosefalus

Hidrosefalus disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi dan penyerapan


cairan di dalam otak. Akibatnya, cairan di dalam otak terlalu banyak dan membuat tekanan
dalam kepala meningkat. Kondisi ini bisa disebabkan oleh beberapa faktor, yang meliputi:

a. Aliran cairan otak yang tersumbat.

b. Produksi cairan otak yang lebih cepat dibanding penyerapannya.


c. Penyakit atau cedera pada otak, yang memengaruhi penyerapan cairan otak

Hidrosefalus bisa terjadi pada bayi ketika proses persalinan, atau beberapa saat
setelah dilahirkan. Ada beberapa faktor yang dapat memengaruhi kondisi tersebut, di
antaranya:

a. Perdarahan di dalam otak akibat kelahiran prematur.


b. Perkembangan otak dan tulang belakang yang tidak normal, sehingga menyumbat aliran
cairan otak.
c. Infeksi selama masa kehamilan yang dapat memicu peradangan pada otak janin,
misalnya rubella atau sifilis.

Di samping itu, terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko


hidrosefalus pada semua usia, yaitu:

a. Tumor di otak dan saraf tulang belakang.


b. Perdarahan di otak akibat cedera kepala atau stroke.
c. Infeksi pada otak dan saraf tulang belakang, misalnya meningitis.

Cedera atau benturan pada kepala yang berdampak ke otak.

2.11 Faktor Risiko

Faktor risiko hydrocephalus pada neonatus, bayi, dan anak-anak meliputi laki-laki,
kelahiran prematur (usia kehamilan <28 minggu), berat badan lahir yang rendah (di bawah
persentil 10), dan anak pertama. Sedangkan faktor risiko maternal meliputi infeksi
intrauterin (antara lain cytomegalovirus dan Toxoplasma gondii), gangguan metabolik serta
penyakit yang dialami ibu (antara lain hipertensi pada kehamilan, preeklamsia, dan diabetes
gestasional), konsumsi obat-obatan oleh ibu saat kehamilan (antara lain metronidazole
intravaginal, antidepresan serotonin selective reuptake inhibitor / SSRI), serta adanya
riwayat konsumsi alkohol saat kehamilan.

VSD VENTRICULAR SEPTAL DEFECT


2.1 Definisi VSD (Ventricular Septal Defect)

VSD adalah kelainan jantung bawaan berupa tidak sempurnanya penutupan dinding
pemisah antar ventrikel. Kelainan ini paling sering ditemukan pada anak-anak dan bayi dan
dapat terjadi secara congenital dan traumatic (I wadyan Sudarta, 2013: 32).

Jadi, VSD merupakan kelainan jantung bawaan (kongenital) berupa terdapatnya


lubang pada septum interventrikuler yang menyebabkan adanya hubungan aliran darah
antara ventrikel kanan dan kiri.

2.2Etiologi

Sebelum bayi lahir, ventrikel kanan dan kiri belum terpisah, seiring perkembangan
fetus, sebuah dinding/sekat pemisah antara kedua ventrikel tersebut normalnya terbentuk.
Akan tetapi, jika sekat itu tidak terbentuk sempurna maka timbullah suatu keadaan penyakit
jantung bawaan yang disebut defek septum ventrikel. Penyebab terjadinya penyakit jantung
bawaan belum dapat diketahui secara pasti (idopatik), tetapi ada beberapa faktor yang
diduga mempunyai pengaruh pada peningkatan angka kejadian penyakit jantung bawaan
(PJB) yaitu

1. Faktor Prenatal (Faktor Eksogen)


a. Rubella atau infeksi virus lainnya pada ibu hamil
b. Gizi ibu hamil yang buruk
c. Ibu yang alkoholik
d. Usia ibu >40 tahun
e. Ibu menderita diabetes
2. Faktor Genetic (Faktor Endogen)
a. Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
b. Anak yang lahir sebelumnya menderita PJB
c. Kelainan kromosom misalnya sindrom down
d. Lahir dengan kelainan bawaan yang lain

2.3Patofisiologi
Adanya lubang pada septum interventrikuler memungkinkan terjadinya aliran dari
ventrikel kiri ke ventrikel kanan, sehingga aliran darah ke paru bertambah. Presentasi klinis
tergantungnya besarnya aliran pirau melewati lubang VSD serta besarnya tahanan pembuluh
darah paru. Bila aliran pirau kecil umumnya tidak menimbulkan keluhan. Dalam
perjalanannya, beberapa tipe VSD dapat menutup spontan (tipe perimembran dan muskuler),
terjadi hipertensi pulmonal, hipertrofi infundibulum, atau prolaps katup aorta yang dapat
disertai regurgitasi (tipe subarterial dan perimembran) (rianto, 2003; masud 1992).

Defek septum ventricular ditandai dengan adanya hubungan septal yang


memungkinkan darah mengalir langsung antar ventrikel, biasanya dari kiri ke kanan.
Diameter defek ini bervariasi dari 0,5 – 3,0 cm. Perubahan fisiologi yang terjadi dapat
dijelaskan sebagai berikut:

1. Tekanan lebih tinggi pada ventrikel kiri dan meningkatkan aliran darah kaya oksigen
melalui defek tersebut ke ventrikel kanan.

2. Volume darah yang meningkat dipompa ke dalam paru, yang akhirnya dipenuhi
darah, dan dapat menyebabkan naiknya tahanan vascular pulmoner.

3. Jika tahanan pulmoner ini besar, tekanan ventrikel kanan meningkat, menyebabkan
pirau terbalik, mengalirkan darah miskin oksigen dari ventrikel kanan ke kiri,
menyebabkan sianosis.

Keseriusan gangguan ini tergantung pada ukuran dan derajat hipertensi pulmoner.
Jika anak asimptomatik, tidak diperlukan pengobatan; tetapi jika timbul gagal jantung kronik
atau anak beresiko mengalami perubahan vascular paru atau menunjukkan adanya pirau
yang hebat diindikasikan untuk penutupan defek tersebut. Resiko bedah kira-kira 3% dan
usia ideal untuk pembedahan adalah 3 sampai 5 tahun.

Setelah kelahiran (dengan VSD), resitensi pulmonal tetap lebih tinggi melebihi
normal dan ukuran pirau kiri ke kanan terbatas setelah resitensi pulmonal turun pada
minggu-minggu pertama kelahiran, maka terjadi peningkatan pirau kiri ke kanan. Ketika
terjadi pirau yang besar maka gejala dapat terlihat dengan jelas. Pada kebanyakan kasus,
resistensi pulmonal sedikit meningkat dan penyebab utama hipertensi pulmonal adalah aliran
darah pulmonal yang besar. Pada sebagian paien dengan VSD besar, arteriol pulmonal
menebal hal ini dapat menyebabkan penyakit vaskular paru obstruktif. Ketika rasio resistensi
pulmonal dan sistemik adalah 1:1, maka pirau menjadi bidireksional (dua arah), tanda-tanda
gagal jantung menghilang dan pasien menjadi sianotik. Namun hal ini sudah jarang terlihat
karena adanya perkembangan intervensi secara bedah.

2.4Manifestasi Klinis

Tanda gejala umum:

1. Murmur

2. Dipsnea (sesak napas)

3. Anoreksia

4. Takipnea (napas cepat)

5. Ujung-ujung jari hiperemik dan diameter dada bertambah

6. Pada palpasi dan auskultasi tekanan arteri pulmonalis yang tinggi dan penutupan
katup pulmonal teraba jelas pada sela iga ketiga kiri dekat sternum, dan mungkin
teraba getaran bising pada dinding dada.

Tanda gejala berdasarkan lubangnya:

1. Pada VSD kecil: biasanya tidak ada gejala-gejala. Bising pada VSD tipe ini bukan
pansistolik, tapi biasanya berupa bising akhir sistolik tepat sebelum S2.

2. Pada VSD sedang: biasanya juga tidak begitu ada gejala-gejala, hanya kadang-kadang
penderita mengeluh lekas lelah, sering mendapat infeksi pada paru sehingga sering
menderita batuk.

3. Pada VSD besar: sering menyebabkan gagal jantung pada umur antara 1-3 bulan,
penderita menderita infeksi paru dan radang paru. Kenaikan berat badan lambat.
Kadang-kadang anak kelihatan sedikit sianosis, gejala-gejala pada anak yang
menderitanya, yaitu; nafas cepat, berkeringat banyak dan tidak kuat menghisap susu.
Apabila dibiarkan pertumbuhan anak akan terganggu dan sering menderita batuk
disertai demam.

Menurut ukurannya VSD dapat dibagi menjadi:

1. VSD Kecil

a. Biasanya asimptomatik
b. Defek kecil 1-5 mm
c. Tidak ada gangguan tumbuh kembang
d. Bunyi jantung normal, kadang ditemukan bising peristaltic yang menjalar ke
seluruh tubuh pericardium dan berakhir pada waktu distolik karena terjadi
penutupan VSD
e. EKG dalam batas normal atau terdapat sedikit peningkatan aktivitas ventrikel kiri
f. Radiology: ukuran jantung normal, vaskularisasi paru normal atau sedikit
meningkat
g. Menutup secara spontan pada umur 3 tahun
h. Tidak diperlukan kateterisasi

2. VSD Sedang

a. Sering terjadi symptom pada bayi


b. Sesak napas pada waktu aktivitas terutama waktu minum, memerlukan waktu
lebih lama untuk makan dan minum, sering tidak mampu menghabiskan makanan
dan minumannya
c. Defek 5- 10 mm
d. BB sukar naik sehingga tumbuh kembang terganggu
e. Mudah menderita infeksi biasanya memerlukan waktu lama untuk sembuh tetapi
umumnya responsive terhadap pengobatan
f. Takipneu
g. Retraksi bentuk dada normal
h. EKG: terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kiri maupun kanan, tetapi kiri
lebihmeningkat. Radiology: terdapat pembesaran jantung derajat sedang, conus
pulmonalis menonjol, peningkatan vaskularisasi paru dan pembesaran pembuluh
darah di hilus.

3. VSD Besar

a. Sering timbul gejala pada masa neonates


b. Dispneu meningkat setelah terjadi peningkatan pirau kiri ke kanan dalam minggu
pertama setelah lahir
c. Pada minggu ke 2 atau 3 simptom mulai timbul akan tetapi gagal jantung biasanya
baru timbul setelah minggu ke 6 dan sering didahului infeksi saluran nafas bagian
bawah
d. Bayi tampak sesak nafas pada saat istirahat, kadang tampak sianosis karena
kekurangan oksigen akibat gangguan pernafasan
e. Gangguan tumbuh kembang
f. EKG terdapat peningkatan aktivitas ventrikel kanan dan kiri
g. Radiology: pembesaran jantung nyata dengan conus pulmonalis yang
tampakmenonjol pembuluh darah hilus membesar dan peningkatan vaskularisasi paru
perifer

2.5Klasifikasi

Klasifikasi VSD berdasarkan pada lokasi lubang, yaitu:

1. Perimembranous (tipe paling sering, 60%) bila lubang terletak di daerah


parsmembranaceae septum interventricularis.

2. Subarterial doubly commited, bila lubang terletak di daerah septum infundibuler dan
sebagian dari batas defek dibentuk oleh terusan jaringan ikat katup aorta dan katup
pulmonal.

3. Muskuler, bila lubang terletak di daerah septum muskularis interventrikularis.


Berdasarkan lokasi defek, VSD terbagi atas 4 yaitu:

1. Defek subpulmonal, disebabkan oleh kekurangan septum conal.


2. Defek membranous, terletak dibelakang septum dari katup tricuspid
3. Defek Atrioventrikular (AV), disebabkan karena kekurangan komponen endokardial
dari septum interventrikuler.
4. Defek muscular, dapat terjadi dibagian manapun dari septum otot.

Berdasarkan ukuran defek, VSD terbagi atas 3 yaitu:

1. Defek kecil, tidak didapatkan gejala dan murmur jantung pada pemeriksaan rutin.
2. Defek sedang, menyebabkan timbul gejala pada bayi (muncul pada bulan pertama
kehidupan).
3. Defek besar, gejala mulai muncul pada minggu pertama kehidupan.

2.6 Komplikasi

1. Endokarditis Infektif

Penyakit yang disebabkan infeksi mikroba pada lapisan endotel jantung ditandai oleh
vegetasi yang biasanya terdapat pada katup jantung namun dapat terjadi endokardium
di tempat lain.

2. Gagal jantung kronik

Sindrom klinik yang komplek yang disertai keluhan gagal jantung berupa sesak,
fatique, baik dalam keadaan istirahat atau latihan, edema, dan tanda objektif adanya
disfungsi jantung dalam keadaan istirahat. Tanda-tanda gagal jantung; nafas cepat, sesak
nafas, retraksi, bunyi jantung tambahan (murmur), edema tungkai, hepatomegali.

3. Obstruksi pembuluh darah pulmonal (adanya hambatan pada PD pulmonal),

4. Syndrome eisenmenger (Terjadinya perubahan dari pirau kiri ke kanan menjadi kanan
ke kiri yang dapat menyebabkan sianosis).
5. Terjadinya insulisiensi aorta atau stenosis pulmonary (penyempitan pulmonal).

6. Penyakit vascular paru progresif sebagai akibat lanjut dari syndrome eisenmenger.

7. Radang paru-paru (pneumonia/bronkopneumonia) berulang: gejala dan tanda berupa


batuk-batuk dengan sesak nafa disertai panas tinggi.

8. Kerusakan sistem konduksi ventrikel.

2.7Pemeriksaan Penunjang

1. EKG
2. Gambar Radiologi Thorax
3. Echokardiografi
4. Echo Transesofageal dapat meningkatkan sensitivitas akan adanya pirau yang
kecil dan foramen oval paten.
5. Liran radionuklir menilai besarnya pirau dari kiri ke kanan.
6. MRI untuk menjelaskan anatominya. Memberikan gambaran yang lebih baik
terutama VSD dengan lokasi apical yang sulit dilihat.
7. Kateterisasi jantung menunjukkan adanya hubungan abnormal antar ventrikel.
8. Angiografi kontras ventrikel kanan dan ventrikel kiri dapat menunjukkan kelainan
katup terkait atau anomaly aliran vena pulmonalis.

HIPOSPADIA
A. Definisi
Hipospadia adalah kelainan kongenital berupa muara uretra yang terletak di sebelah
ventral penis dan proksimal ujung penis. Letak meatus uretra bisa terletak pada grandular hingga
parineal. (Basuki B. Purnomo).
Pada daerah tempat tidak terbentuk uretra, terbentuk korde, yaitu suatu jaringan ikat
berasal dari jaringan meenkim yang seharusnya berdiferensasi menjadi korpus spongionsum,
fasia buck dan fasia dartos. Karena jaringan ikat tidak elastic, korde menyebabkan penis
mebengkok kearah ventral saat ereksi.
B. Etiologi
Penyebab kelainan ini kemungkinan bermula dari proses kehamilan juga karena
maskulinisasi inkomplit dari genetalia karena prematur dari sel interstitial testis. Didalam
kehamilan terjadi penyatuan di garis tengah lipatan uretra tidak lengkap sehingga meatus uretra
terbuka pada sisi ventral penis. Perkembangan uretra in utero normalnya dimulai sekitar usia 8
minggu dan selesai dalam 15 minggu.
Secara umum dipercaya bahwa hipospadia disebabkanoleh produksi androgen yang tak –
adekuat oleh testis fetal. Perbedaan dalam penentuan waktu dan tingkat insufiensi hormonal
kemungkinan menerangkan jenis berbeda dari hipospadia. Bentuk hipospadia urethrae externum
terletak pada badan penis atau perineum, sehingga menganggu urinasi normal pada posisi berdiri
yang lazim pada laki laki.

C. Manifestasi klinis
h. Tidak terdapat prepusium ventral sehingga prepusium dorsal menjadi berlebih (dorsal
hood)
i. Sering disertai korde (penis agulasi ke ventral / penis melengkung kearah bawah
j. Lubang kencing terletak dibagian bawah dari penis.
k. Kebanyakan penderita terdapat penis yang melengkung kearah bawah yang akan tampak
lebih jelas pada saat ereksi.

E. Pemeriksaan penunjang
1. Rongten
2. USG sistem kemih kelamin
3. BNO – IVP karena biasanya pada hipospadia juga disertai dengan kelainan kongenital
ginjal
4. Kultur urine (anak – hipospadia).

F. Penatalaksanaan
Penanganan hipospadia dilakukan dalam 2 tahapan :
l. Operasi reseksi chorda (chordectomy atau release chorda )
1) Bertujuan aar penis tidak melengung ketika ereksi.
2) Tahap pertama dilakukan pada usia 2 tahun ( dapat ditunda ), dengan syarat
dilakukan tes endokrinologi anak (kadar hormon testoteron ) terlebih dahulu
karena pada hipospadia biasanya disertai undescensus testis.
3) Jika kadar hormon rendah sebaiknyya segera di operasi, bila normal maka operasi
dapat di tunda 6 bulan lagi.
2. Uretroplasty
1) Dilakukan 6 bulan setelah chordectomy, untuk menempatkan OUE pada tempatnya.
2) Sebelum usia 4 tahun seluruh tahapan operasii harus selesai, karena bila tidak dapat
enyebabkan gangguan psikis anak.

HERNIA
A. Pengertian
Hernia adalah suatu penonjolan pada organ atau struktur melalui di dinding otot perut.
Hernia meliputi jaringan subkutan yang umumnya terdiri dari kulit , peritoneal kantung, dan
yang mendasarinya adalah Visera, seperti loop usus atau organ-organ internal lainnya.
Pembedahan mendadak termasuk Faktor yang terjadi peningkatan tekanan intra-abdomen,
selama mengangkat penyakit ini terjadi diakaibatkan beban berat atau batuk yang
berkepanjangan sehingga peningkatan tekanan intra-abdomen berhubungan dengan kehamilan,
obesitas, atau asites (Schwartz, 2000).
A. Klasifikasi
1. Berdasarkan Terjadinya
a. Hernia Bawaan atau Kongenital Pada bulan ke-8 kehamilan, terjadi desensus
testis melalui kanal tersebut Kanalis inguinalis adalah kanal yang normal . penonjolan
peritoneum yang disebut dengan prosesus vaginalis peritonei. Pada bayi yang sudah lahir
mengalami ,Penurunan testis tersebut akan menarik peritonium ke daerah skrotum dapat
mengalami prosesus ini telah mengalami obliterasi sehingga isi rongga perut belum dapat
melalui kanalis tersebut.tetapi dalam beberapa hal, kanalis ini belum merekat. Karena testis kiri
turun terlebih dahulu, maka kanalis inguinalis kanan lebih sering terbuka. Bila kanalis kiri
terbuka maka biasanya sebelah kanan bisa terbuka. Dalam keadaan normal, kanalis yang terbuka
ini akan menutup pada usia 2 bulan. Bila prosesus terbuka terus (karena tidak mengalami
obliterasi) akan timbul hernia inguinalis lateralis kongenital. Pada orang tua kanalis tersebut
telah menutup. Namun karena merupakan lokus minoris resistensie, maka pada keadaan yang
menyebabkan tekanan intra-abdominal meningkat, kanal tersebut dapat terbuka kembali dan
timbul hernia inguinalis lateralis akuisita (Erfandi, 2009).
b. Hernia dapatan atau akuisita (acquisitus = didapat) Hernia kongenital / didapat
dan ditemukan pada bayi sedangkan hernia akuisita / didapat, pertama terjadi ketahanan
kibatkan hernia eksternal pada bayi umumnya dikarenakan penyakit kongenital, yakni
penyakit yang terjadi disaat bayi masih dikandungan dan umumnya tidak dipastikan
penyebabnya (Erfandi, 2009).

1. Berdasarkan sifatnya
a. Hernia reponibel/reducible Yaitu jika isi hernia jika keluar masuk. Maka Usus
keluar bila saat berdiri atau jongkok dan mengedan dan bisa masuk lagi jika keadaan terlentang
atau dipaksa masuk, tidak ada keluhan nyeri atau gejala obstruksi usus (Erfandi, 2009).
b. Hernia ireponibel Yaitu keadaan isi dalam rongga hernia belum bisa dikembalikan
ke dalam rongga.biasanya dikarenakan oleh perlekatan dari dalam kantong pada peritonium
kantong hernia. Hernia ini disebut juga hernia akreta (accretus = perlekatan karena fibrosis).
Tidak ada mengeluh rasa nyeri ataupun tanda penyempitan usus (Erfandi, 2009).
c. Hernia strangulata atau inkarserata (incarceratio = terperangkap, carcer = penjara)
Hernia inkarserata Yaitu tidak dapat kembali ke dalam rongga perut disertai akibatnya yang
berupa gangguan pasase atau vaskularisasi bila isi hernia terjepit oleh cincin hernia. berarti isi
kantong terperangkap,. Secara klinis “hernia inkarserata” lebih dimaksudkan untuk hernia
ireponibel dengan gangguan pasase, sedangkan pada gangguan vaskularisasi disebut sebagai
“hernia strangulata”.Hernia strangulata terjadinya nekrosis dari isi abdomen di dalamnya tidak
menghasilkan darah akibat pembuluh terjadi penyempitan atau terjepit. Hernia seperti ini bisa
dikatakan keadaan yang gawat darurat diketahui harus memerlukan pertolongan secepat mungkin
(Erfandi, 2009).
2. Berdasarkan Letaknya
a. Hernia Femoralis Hernia femoralis pengeluaran dari lakuna vasorum kaudal dari
ligamentum inguinale. Kondisi anatomi ini sering menyebabkan inkarserasi hernia femoralis.
Hernia femoralis umumnya ditemui pada perempuan pada usia lanjut,yang sering terjadi
perempuan diperkirakan 4 kali dari lelaki. Keluhan merupakan benjolan di selangkangan paha
yang timbul terutama saat keadaan melakukan kegiatan yang meningkatkan penekanan intra
abdomen seperti mengangkat barang atau batuk. Benjolan ini bisa berkurang pada waktu
terlentang. anulus femoralis. Selanjutnya, isi hernia masuk ke dalam kanalis femoralis yang
berbentuk corong sejajar dengan vena femoralis sepanjang kurang lebih 2 cm dan keluar pada
fosa ovalis di lipat paha ini yang menyebakan Pintu masuk pada hernia femoralis
(Syamsuhidayat, 2004). Menurut Erfandi (2009), penyempitan pada lemak di kanalis femoralis
yang bertambah ukuran dan secara bertahap menarik peritoneum dan hampir tidak dapat
dihindari kandung kemih masuk ke dalam kantung ini dimaksud dengan Hernia femoralis terjadi
melalui cincin femoral dan lebih umum pada wanita daripada pria. Ini mulai sebagai penyumbat
lemak di kanalis femoralis yang membesar dan secara perlahan mendorong peritoneum dan
hampir belum bisa dihindari kandung kemih

masuk ke kerongga kantung Ada kejadian yang lebih meningkat dari inkarserata dan
strangulasi dengan macam hernia ini.
a. Hernia Umbilikalis Hernia umbilikalis membentuk hernia kongenital pada
umbilikus yang bila tertutup peritoneum dan kulit. Hernia ini bisa didapat kkurang lebih 20%
bayi dan angka ini lebihsering terjadi pada bayi prematur. Dan belum bisa membagi angka
kejadian antara bayi laki-laki dan perempuan. Hernia umbilikalis merupakan terjadinya
pembekakan yang terdapat didalam rongga perut yang lewat melalui cincin umbilikus akibat
peningkatan tekanan intraabdomen, dan disertai bayi menangis. Hernia ini tidak menimbulkan
nyeri dan tidak pernah tetapi hanya terjadi sekali sekali inkarserasi (Syamsuhidayat, 2004).
Menurut Erfandi (2009), Hernia umbilikalis terjadi pada orang dewasa lebih banyak dengan
wanita dan oleh sebab itu kemajuan tekanan abdominal. Ini biasanya terjadi pada klien gemuk
dan wanita multipara. kondisi hernia ini terjadi pada pembedahan yang terjasi secara yang tidak
adekuat dikarenkan masalah terjadi pascaoperasi seperti infeksi, nutrisi tidak adekuat, atau
kegemukan.
b. Hernia sikatriks atau hernia insisional Hernia ini yang ada pada luka bekas
laparotomi. anestesi kulit mengakibatkan Sayatan pada nervus dan paralisis otot pada segmen
melalui oleh saraf yang bersangkutan (Syamsuhidayat, 2004).
c. Hernia Inguinalis Hernia Inguinalis adalah merupakan sesuatu usus masuk
melalui sebuah lubang melalalui dinding perut yang suatu kondisi dimana sebagian yang lemah
pada dinding perut ke dalam kanalis inguinalis. Saluran ini berbentuk tabung yaitu Kanalis
inguinalis, yang menyebakan tempat turunnya buah testis (buah zakar) dari perut menuju
skrotum (kantung zakar) hal ini sering terjadi sebelum bayi dilahirkan. Hernia inguinalis didapat
kan sejak dari bawah sebelum melahirkan atau masih dalam kandungan. (kongenital) dan bisa
(akuisita). Klien laki-laki lebih banyak dari pada klien wanita. Pada pria, hernia bisa terjadi di
selangkangan , yaitu terjadi dibagian korda spermatika keluar diantara perut dan masuk ke dalam
skrotum (Subarkah, 2008). Menurut Syamsuhidayat (2004), hernia inguinalis dapat dibagi
menjadi :
1) Hernia inguinalis indirek Hernia ini merupakan hernia inguinal lateralis, karena
melalui antara rongga peritoneum menuju anulus inguinalis internus yang merupakan lateral dari
pembuluh epigastrika inferior, selanjutnya hernia masuk dari kanalis inguinalis dan bila trjadinya
sangat cukup panjang, menonjol keluar dari anulus inguinalis eksternus.Apabila hernia ini
terjadi, maka pembengkaan akan sampai ke menuju skrotum, disebut hernia skrotalis. Kantong
hernia terdapat di dalam muskulus kremaster, terletak anteromedial terhadap vas deferens dan
struktur lain dalam tali sperma (Syamsuhidayat, 2004). Menurut Erfandi (2009), Hernia ini
terjadi apabila terjadi pada cincin inguinalis dan bisa melewati korda spermatikus melalui kanalis
inguinalis. Ini umumnya terjadi pada pria daripada wanita. Insidennya tinggi pada bayi dan anak
kecil. Hernia ini bisa menimgkat sangat besar dan menuju ke skrotum. Pembekakan itu bisa
menjadi mengecil atau menghilang pada saat tidur. Bila menangis, mengejan dan

mengangkat benda dengan kondisi yang berat dengan keadaan posisi klien berdiri bisa
mencul kembali.
2) Hernia inguinalis direk Pembengkakan langsung melalui segitiga Hesselbach, di
bagian inferior daerah yang dibatasi oleh ligamen tuminguinale, pembuluh epigastrika inferior di
daerah lateral dan pinggir otot rektus di antara medial Disebut juga hernia inguinalis medialis.
Berbentuk segitiga Hasselbach terjadi oleh fasia transversal jika dieratkan oleh serat aponeurosis
muskulus transversus abdominis yang seakan akan belum sempurna sehingga keadaan un masih
lemah. Hernia medialis, sebab belum keluar melewati kanalis inguinalis ke skrotum, dasarnya
tidak diikutii strangulasi karena cincin hernia longgar (Syamsuhidayat, 2004). Menurut Erfandi
(2009), Hernia ini melalui tepi abdomen di daerah kelemahan otot, jangan melewati kanal seperti
pada hernia inguinalis dan femoralis indirek. Ini lebih umum pada lansia. Hernia inguinalis direk
secara perlahan terjadi didaerah yang lemah di karena defisiensi kongenital. Hernia ini disebut
direkta secara langsung menuju anulus inguinalis eksterna walaupun anulus inguinalis interna
dipaksa bila klien berdiri atau mengejan, akan timbul benjolan. jika hernia ini sampai ke
skrotum, maka akan sampai ke daerah atas skrotum, walaupun testis dan funikulus spermatikus
belum dapat dipisahkan dari masa hernia. Pada klien terlihat ada massa bundar pada anulus
inguinalis eksterna yang bisa mengecil bila klien terlentang. Karena ukuran lebih besar defek
pada dinding posterior maka hernia ini belum bisa menjadi ireponibilis.
D. Etiologi
Hal-hal yang dapat mengakibatkan timbulnya hernia secara umum adalah mengendong
barang yang sangat berat, batuk, kegemukan, mengedan, asites (terjadi kumpulan cairan
abnormal di daerag rongga perut), aktifitas fisik yang berlebihan. Etiologi terjadinya hernia yaitu
:
1. Hernia Inguinal Menurut Black,J dkk (2002)penyebab Hernia Inguinal adalah
a. Terjadi penurunan kekuatan otot dinding abdomen.
1) Kelemahan jaringan
2) Terdapat tempat dibagian lebar diligamen inguinal
3) Traum
b. Tterjadi tekanan pada intra abdominal.
1) Obesitas
2) Mengaambil barang berat
3) Mengejan Konstipasi
4) Kehamilan
5) Batuk dalam jangka waktu lama
6) prostate Hipertropi
c. Hernia Hiatal faktor Hernia Hiatal biasanya belum diketahui, namun bisa terjadi
karena adanya kelemahan pada jaringan penyokong. Faktor resiko terjadinya Hernia Hiatal
adalah: Pertambahan usia, kegemukan, dan Merokok.
d. Hernia Umbilical Hernia Umbilical/Umbilikus terdapat jika penutupan umbilikus
(didapat tali pusar) tidak sempurna.
e. Hernia Femoralis 1) Akibat adanya hernia Femoralis adalah kehamilan multipara,
kegemukan dan keturunan penahan ikat. 2) Faktor kekurangan bagan fascia dan aponeurosis
tranversa, degenerasi/atropi, tekanan intra abdomen meningkat, pekerjaan mengangkat benda-
benda berat, batuk kronik, gangguan BAB, dan gangguan BAK.

F. Manifestasi klinis
2. Gejala Klinis Gejala klinis hernia banyak diketahui oleh kondisi isi hernia. tanda
yang muncul seperti berupa adanya pembengkakan di selangkangan dipaha yang timbul saat
waktu berdiri, batuk, bersin, atau mengedan dan tidak ada setelah terlentang. Keluhan nyeri
jarang dijumpai bila ada yang dirasakan di dibagian epigastrium atau periumbilical berupa nyeri
visceral karena regangan pada mesenterium sewaktu satu segmen usus halus masuk ke dalam
kantong hernia. Hernia inguinalis yang sering pada anak yaitu hernia inguinalis lateralis
(indirect). 60% dari kasus hernia inguinalis terjadi saat dibagian sisi kanan, 30% pada sisi kiri
dan 10% bilateral.
3. Tanda Klinis Tanda klinis pada pengkajian fisik behubungan dengan isi hernia.
Pada saat inspeksi, pasien diminta mengedan maka akan terlihat benjolan pada lipat paha,
bahkan benjolan sering tampak meskipun klien tidak mengedan. Pada pengkajian dilakukan
palpasi, teraba pembengkaan yang teraba kenyal, isinya berbentuk usus, omentum atau ovarium,
juga dapat ditentukan apakah hernia itu dapat didorong masuk dengan jari/ direposisi. Sewaktu
aukultasi bisa terdengar bising usus dengan melakukan stetoskop yang isi hernia berisi seperti
usus
G. Komplikasi
Akibat dari hernia dapat menimbulkan beberapa komplikasi antaralain :
1. Terjadi perlengketan berupa isi hernia sama isi kantung hernia sehinggaisi
kantung hernia belum diketahui kembalinya lagi, keadaan ini disebut hernia inguinalis lateralis
ireponibilis. saat kondisi ini tidak gangguan penyaluran isi usus. Isi hernia yang tersering
menyebabkan keadaan ireponibilis, adalah omentum, karena mudah melekat pada dinding
herniadan isinya dapat menjadi lebih besar karena infiltrasi lemak. Usus besarlebih sering
menyebabkanireponibilisdaripada usus halus.
2. Terjadi tekanan pada cincin hernia maka terjadi banyaknya usus yang masuk.
Kondisi ini mengakibatkan terjadinya isi usus diikuti dengan gangguan vascular (proses
strangulasi). Keadaan ini di sebut hernia inguinalis strangulata (Mansjoer, 2002).

H. Pemeriksaan penunjang
Pengecekan laboratorium supaya dapat diketahui kerusakan pada organ yaitu jantung dan
ginjal. a. Untuk mengetahui hasil hipertropi ventrikel kiri dengan cara EKG b. Pemeriksaan
Urinalisa untuk mendapatkan hasil urine,glukosa,urine,darah, protein Pemeriksaan : pemeriksaan
fungsi ginjal terpisah dan penentuan kadar urin. pielogram intravena arteriogram renal,renogram,
c. Rontgen dan CT scan.

HIPERBILIRUBIN

A. DEFINISI
Hiperbilirubinemia adalah berlebihannya akumulasi bilirubin dalam darah (level normal 5 mg/dl
pada bayi normal) yang mengakibatkan jaundice, warna kuning yang terlihat jelas pada kulit,
mukosa, sklera dan urine. (Doenges, Marilyn E, Maternal 1988).
B. ETIOLOGI
1. Peningkatan produksi :
a. Hemolisis, misal pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian
golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus ABO.
b. Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran
c. Ikatan bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada
bayi Hipoksia atau Asidosis
d. Defisiensi G6PD/Glukosa 6 Phospot Dehidrogenase
e. Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta), diol
(steroid)
f. Kurangnya enzim Glukoronil Transeferase, sehingga kadar bilirubin indirek meningkat
misalnya pada berat lahir rendah.
g. Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemina
2. Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada
hiperbilirubinemia atau karena pengaruh obat-obatan tertentu misalnya Sulfadiasine.
3. Gangguan fungsi hati yang disebabkan oleh bebrapa mikroorganisme atau toksion yang
dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti infeksi, Tokosplasmosis, Shipilisis.
4. Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
5. Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif

D. KLASIFIKASI
a. Derajat I : Daerah kepala dan leher, perkiraan kadar bilirubin 5,0mg%
b. Derajat II : sampai badan atas, perkiraan kadar bilirubin 9,0mg%
c. Derajat II : Sampai badan bawah hingga tungkai, bilirubin 11,4mg%
d. Derajat IV : Sampai daerah lengan, kaki bawah lutut 12,4mg%
e. Derajat V : Sampai daerah telapak tangan dan kaki 16,0mg%
Bilirubin Ensefalopati dan kemiterus
E. MANIFESTASI KLINIS
Gambaran klinis ikterus fisiologis :
a. Tampak klinis ikterus fisiologis
b. Bayi tampak sehat(normal)
c. Kadar bilirubin total <12mg%
d. Menghilang paling lambat 10-14 hari
e. Tak ada faktor resiko
f. Sebab : proses fisiologis (berlangsung dalam kondisi fisiologis) (Sarwono et al, 1994)
Gambaran klinik ikterus patologis :
a. Timbul pada umur <36 jam
b. Cepat berkembang
c. Bisa disertai anemia
d. Menghilang lebih dari 2 minggu
e. Ada faktor resiko
f. Dasar : proses patologis (Sarwono et al, 1994)
F. KOMPLIKASI
a. Sebagian besar kasus hiperbiliruinemia tidak berbahaya, tetapi kadang kadar bilirubin
yang sangat tinggi bisa menyebabkan kerusakan otak (keadaannya disebut kern ikterus). Kern
ikterus adalah suatu keadaan dimana terjadi penimbunan bilirubin di dalam otak, sehingga terjadi
kerusakan otak.
b. Efek jangka panjang dari kern ikterus aalah keterbelakangan mental, kelumpuhan
serebral (pengontrolan oto yang abnormal, cerebral palsy), tuli dan mata tidak dapat digerakan ke
atas

SEPSIS NEONATORUM
A. Definisi
Sepsis neonatorum adalah infeksi berat yang diderita neonatus dengan gejala sistemik dan
terdapat bakteri dalam darah. Perjalanan penyakit sepsis neonatorum dapat berlangsung cepat
sehingga seringkali tidak terpantu, tanpa pengobatan yang memadai bayi dapat meninggal dalam
24 sampai 48 jam.
Sepsis neonatorum merupakan penyebab kematian utama pada neonatus. Hal ini karena neonatus
rentan terhadap infeksi. Kerentanan neonatus terhadap infeksi dipengaruhi oleh berbagai faktor,
antara lain kulit dan selaput lendir yang tipis dan mudah rusak, kemampuan fagositosis dan
leukosit imunitas masih rendah, imunoglobulin yang kurang efisien dan luka umbilikus yang
belum sembuh. Bayi berat badan lahir rendah (BBLR) kondisinya lebih berat sehingga sepsis
lebih sering ditemukan pada BBLR. Selain itu, infeksi lebih sering ditemukan pada bayi yang
lahir di Rumah Sakit. Ini dapat terjadi karena bayi terpajan pada kuman yang berasal dari orang
lain karena bayi tidak memiliki imunitas terhadap kuman tersebut. Tindakan invasif yang dialami
neonatus juga meningkatkan resiko terjadinya sepsis karena tindakan invasif meningkatkan
resiko terjadinya infeksi nasokomial.
B. Etiologi
Penyebab neonatus sepsis/sepsis neonatorum adalah berbagai macam kuman seperti bakteri,
virus, parasit, atau jamur. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri.
1) Bakteri escherichia koli
2) Streptococus group B
3) Stophylococus aureus
4) Enterococus
5) Listeria monocytogenes
6) Klepsiella
7) Entererobacter sp
8) Pseudemonas aeruginosa
9) Proteus sp
10) Organisme anaerobik
Streptococcus grup B dapat masuk ke dalam tubuh bayi selama proses kelahiran. Menurut
Centers for Diseases Control and Prevention (CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakteria pada
vagina atau rektum pada satu dari setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi
selama melahirkan. Bayi prematur yang menjalani perawatan intensif rentan terhadap sepsis
karena sistem imun mereka yang belum berkembang dan mereka biasanya menjalani prosedur-
prosedur invasif seperti infus jangka panjang, pemasangan sejumlah kateter, dan bernafas
melalui selang yang dihubungkan dengan ventilator. Organisme yang normalnya hidup di
permukaan kulit dapat masuk ke dalam tubuh kemudian ke dalam aliran darah melalui alat-alat
seperti yang telah disebut di atas.
Faktor- faktor yang mempengaruhi kemungkinan infeksi secara umum berasal dari tiga
kelompok, yaitu :
1. Faktor Maternal
2. Faktor Neonatatal
3. Faktor Lingkungan
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa cara,
yaitu :
a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir.
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan umbilikus masuk dalam tubuh
bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus
plasenta antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.
Bakteri yang dapat melalui jalur ini, antara lain malaria, sipilis, dan toksoplasma.
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan.
Infeksi saat persalinan terjadi karena yang ada pada vagina dan serviks naik mencapai korion dan
amnion. Akibatnya, terjadi amniotis dan korionitis, selanjutnya kuman melalui umbilikus masuk
dalam tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan amnion yang sudah terinfeksi akan
terinhalasi oleh bayi dan masuk dan masuk ke traktus digestivus dan traktus respiratorius,
kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain cara tersebut di atas infeksi pada
janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau port de entre lain saat bayi melewati jalan lahir yang
terkontaminasi oleh kuman. Beberapa kuman yang melalui jalan lahir ini adalah Herpes
genetalis, Candida albican,dan N.gonorrea.
c. Infeksi paska atau sesudah persalinan.
Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nosokomial dari
lingkungan di luar rahim (misal melalui alat- alat : penghisap lendir, selang endotrakhea, infus,
selang nasogastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut menangani bayi
dapat menyebabkan terjadinya infeksi nosokomil. Infeksi juga dapat terjadi melalui luka
umbilikus (AsriningS.,2003)
C. Tanda dan Gejala
Gejala infeksi sepsis pada neonatus ditandai dengan:
1. Bayi tampak lesu
2. tidak kuat menghisap
3. denyut jantung lambat dan suhu tubuhnya turun-naik
4. gangguan pernafasan
5. kejang
6. jaundice (sakit kuning)
7. muntah
8. diare
9. perut kembung
D. Faktor Risiko
1. Sepsis Dini
a) Kolonisasi maternal dalam GBS, infeksi fekal
b) Malnutrisi pada ibu
c) Prematuritas, BBLR
2. Sepsis Nosokomial
a) BBLR–>berhubungan dengan pertahanan imun
b) Nutrisi Parenteral total, pemberian makanan melalui selang
c) Pemberian antibiotik (superinfeksi dan infeksi organisme resisten)
E. Patofisiologi
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus
melalui beberapa cara, yaitu :
1. Pada masa antenatal atau sebelum lahir.
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan
umbilikus masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi
adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo,
koksaki, hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria,
sifilis, dan toksoplasma.
2. Pada masa intranatal atau saat persalinan.
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan
serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya, terjadi amnionitis dan korionitis.
Selanjutnya kuman melalui umbilikalis masuk ke tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan.
Cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh bayi dan masuk ke traktus digestivus
dan traktus respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui
cara tersebut, infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi dan port the entry lain saat bayi
melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh kuman (misalnya : herpes genitalis, candida
albican dan n. Gonorrea).
3. Pada masa pascanatal atau sesudah persalinan.
Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi nasokomial dari
lingkungan di luar rahim (misalnya melalui alat-alat pengisap
lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol minuman atau dot). Infeksi juga dapat
terjadi melalui luka umbilikus.
Terdapat berbagai faktor predisposisi terjadinya sepsis, baik dari ibu maupun bayi. Faktor
predisposisi tersebut diantaranya :
1. Penyakit infeksi yang diderits ibu selama kehamilan.
2. Perawatan antenatal yang tidak memadai.
3. Ibu menderita eklampsi, DM.
4. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan tindakan.
5. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.
6. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada neonatus.
7. Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak.
8. Ketuban pecah dini, amnion hijau kental dan berbau.
F. Manifestasi Klinik
1. Umum : panas, hipotermia, tampak tidak sehat, malas minum, letargi, sklerema.
2. Saluran cerna : distensi abdomen, anoreksia (nafsu makan buruk), muntah, diare,
3. Saluran nafas : apneu, dispneu, takipneu, retraksi, nafas tidak teratur, merintih,
4. Sistem kardiovaskuler : pucat, sianosis, kutis marmorata, kulit lembab, hipotensi,
5. Sistem saraf pusat : iritabilitas, tremor, kejang, hiporefleksi, aktivitas menurun- letargi,
koma, peningkatan atau penurunan tonus, gerakan mata abnormal, ubun- ubun membonjol.
6. Hematologi : pucat, ptekie, purpura, perdarahan, ikterus.
7. Sistem sirkulasi : pucat, sianosis, kulit dingin, hipotensi, edema, denyut jantung
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikrokopis maupun pembiaakan terhadap contoh darah air kemih, jika diduga suatu
meningitis, maka dilakukan fungsi lumbal.
1. Bila sindroma klinis mengarah ke sepsis, perlu dilakukan evaluasi sepsis secara
menyeluruh. Hal ini termasuk biakan darah, fungsi lumbal, analisis dan kultur urin.
a) Leukositosis (>34.000×109/L)
b) Leukopenia (< 4.000x 109/L)
c) Netrofil muda 10%
d) Perbandingan netrofil immature(stab) dibanding total ( stb + segmen ) atau I/T ratio >0,2
e) Trombositopenia (< 100.000 x 109/L)
f) CRP >10mg /dl atau 2 SD dari normal
g) Factor-faktor pada masalah hematology:
h) Peningkatan kerentaan kapiler
i) Peningkatan kecenderungan perdarahan(kadar protrombin plasma rendah)
j) Perlambatan perkembangansel-sel darah merah
k) Peningkatan hemolisis
l) Kehilangan darah akibat uji laboratorium yang sering dilakukan
H. PENATALAKSANAAN
1. Diberikan kombinasi antibiotika golongan Ampisilin dosis 200 mg/kg BB/24 jam i.v
(dibagi 2 dosis untuk neonatus umur < 7 hari, untuk neonatus umur > 7 hari dibagi 3 dosis), dan
Netylmycin (Amino glikosida) dosis 7 1/2 mg/kg BB/per hari i.m/i.v dibagi 2 dosis (hati-hati
penggunaan Netylmycin dan Aminoglikosida yang lain bila diberikan i.v harus diencerkan dan
waktu pemberian ? sampai 1 jam pelan-pelan).
2. Dilakukan septic work up sebelum antibiotika diberikan (darah lengkap, urine, lengkap,
feses lengkap, kultur darah, cairan serebrospinal, urine dan feses (atas indikasi), pungsi lumbal
dengan analisa cairan serebrospinal (jumlah sel, kimia, pengecatan Gram), foto polos dada,
pemeriksaan CRP kuantitatif).
3. Pemeriksaan lain tergantung indikasi seperti pemeriksaan bilirubin, gula darah, analisa
gas darah, foto abdomen, USG kepala dan lain-lain.
4. Apabila gejala klinik dan pemeriksaan ulang tidak menunjukkan infeksi, pemeriksaan
darah dan CRP normal, dan kultur darah negatif maka antibiotika diberhentikan pada hari ke-7.
5. Apabila gejala klinik memburuk dan atau hasil laboratorium menyokong infeksi, CRP
tetap abnormal, maka diberikan Cefepim 100 mg/kg/hari diberikan 2 dosis atau Meropenem
dengan dosis 30-40 mg/kg BB/per hari i.v dan Amikasin dengan dosis 15 mg/kg BB/per hari i.v
i.m (atas indikasi khusus). Pemberian antibiotika diteruskan sesuai dengan tes kepekaannya.
Lama pemberian antibiotika 10-14 hari. Pada kasus meningitis pemberian antibiotika minimal 21
hari.
6. Pengobatan suportif meliputi :
Termoregulasi, terapi oksigen/ventilasi mekanik, terapi syok, koreksi metabolik asidosis, terapi
hipoglikemi/hiperglikemi, transfusi darah, plasma, trombosit, terapi kejang, transfusi tukar.
I. KOMPLIKASI
a) Kelainan bawaan jantung,paru,dan organ-organ yang lainnya
b) Sepsis berat : sepsis disertai hipotensi dan disfungsi organ tunggal
c) Syok sepsis : sepsis berat disertai hipotensi\
d) Sindroma disfungsi multiorgan (MODS)
e) Perdarahan
f) Demam yang terjadi pada ibu
g) Infeksi pada uterus atau plasenta
h) Ketuban pecah dini (sebelum 37 minggu kehamilan)
i) Ketuban pecah terlalu cepat saat melahirkan (18 jam atau lebih sebelum melahirkan)
j) Proses kelahiran yang lama dan sulit
J. PENCEGAHAN
1. Pada masa Antenatal :Perawatan antenatal meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara
berkala, imunisasi, pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita ibu, asupan gizi yang
memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan kesehatan ibu dan janin.
Rujuk ke pusat kesehatan bila diperlukan.
2. Pada masa Persalinan : Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik.
3. Pada masa pasca Persalinan : Rawat gabung bila bayi normal, pemberian ASI secepatnya,
jaga lingkungan dan peralatan tetap bersih, perawatan luka umbilikus secara steril.

Tetanus Neonatorum

1. Definisi Tetanus Neonatorum


Tetanus Neonatorum adalah penyakit tetanus pada bayi baru lahir dengan tanda klinik yang khas,
setelah 2 hari pertama bayi baru hidup, menangis dan menyusu secara normal, pada hari ketiga
atau lebih timbul kekakuan seluruh tubuh dengan kesulitan membuka mulut dan menetek di
susul dengan kejang-kejang (WHO, 1989 )
2. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh karena clostridium tetani yang bersifat anaerob dimana kuman
tersebut berkembang tanpa adanya oksigen. Tetanus pada bayi ini dapat disebabkan karena
tindakan pemotongan tali pusat yang kurang steril, untuk penyakit ini masa inkubasinya antara 5
– 14 hari (Hidayat, 2008)
3. Patofisiologi
Virus yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobit berubah menjadi bentuk vegetatif dan
berbiak sambil menghasilkan toksin dalam jaringan yang anaerobit ini terdapat penurunan
potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya pus,
nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara intra aksonal toksin disalurkan ke
sel syaraf yang memakan waktu sesuai dengan panjang aksonnya dan aktifitas serabutnya.
Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel syaraf walaupun toksin telah terkumpul dalam
sel. Dalam sum-sum tulang belakang toksin menjalar dari sel syaraf lower motorneuron
keluksinafs dari spinal inhibitorineurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada
inhibitoritransmiter dan menimbulkan kekakuan.
( Aang, 2011)
4. Manifestasi klinis
Tanda dan gejalanya meliputi :
a. Kejang sampai pada otot pernafasan
b. Leher kaku
c. Dinding abdomen keras
d. Mulut mencucu seperti mulut ikan.
e. Suhu tubuh dapat meningkat. (Deslidel, 2011)
5. Komplikasi
a. Bronkopneumonia
b. Asfiksia akibat obstruksi sekret pada saluran pernafasan
c. Sepsis neonatorum.
6. Pemeriksaan Penunjang
a. pemeriksaan laboratorium didapati peninggian leukosit
b. pemeriksaan cairan otak biasanya normal
c. pemeriksaan elektromiogram dapat memperlihatkan adanya lepas muatan unit motorik
secara terus-menerus . (Teddi, 2010)
7. Penatalaksanaan dan Pengobatan Tetanus Neonatorum
Penatalaksanaan tetanus neonatorum adalah perawatan tali pusat dengan alat – alat yang steril.
(Deslidel, 2011)
Pengobatan tetanus ditujukan pada :
a. Netralisasi tosin yang masih ada di dalam darah sebelum kontak dengan sistem saraf,
dengan serum antitetanus (ATS teraupetik)
b. Membersihkan luka tempat masuknya kuman untuk menghentikan produksi toksin
c. Pemberian antibiotika penisilin atau tetrasiklin untuk membunuh kuman penyebab
d. Pemberian nutrisi, cairan dan kalori sesuai kebutuhan
e. Merawat penderita ditempat yang tenang dan tidak terlalu terang
f. Mengurangi serangan dengan memberikan obat pelemas otot dan sesedikit mungkin
manipulasi pada penderita. (Maryunani , 2010)
DIARE PADA ANAK
A. Definisi
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan jumlah tinja yang lebih banyak dari
biasanya (normal 100-200 cc/jam tinja). Dengan tinja berbentuk cair /setengah padat, dapat
disertai frekuensi yang meningkat. Menurut WHO (1980), diare adalah buang air besar encer
lebih dari 3 x sehari.
Menurut pedoman MTBS (2000), diare dapat dikelompokkan menjadi :
1. Diare akut : terbagi atas diare dengan dehidrasi berat, diare dengan dehidrasi sedang,
diare dengan dehidrasi ringan
2. Diare persiten : jika diare berlangsung 14 hari/lebih. Terbagi atas diare persiten
dengan dehidrasi dan persiten tanpa dehidrasi
3. Disentri : jika diare berlangsung disertai dengan darah.

B. Etiologi
1. Faktor infeksi : Bakteri ( Shigella, Shalmonella, Vibrio kholera), Virus (Enterovirus),
parasit (cacing), Kandida (Candida Albicans).
2. Faktor parentral : Infeksi dibagian tubuh lain (OMA sering terjadi pada anak-anak).
3. Faktor malabsorbsi : Karbohidrat, lemak, protein.
4. Faktor makanan : Makanan basi, beracun, terlampau banyak lemak, sayuran dimasak
kurang matang.
5. Faktor Psikologis : Rasa takut, cemas.
6. Obat-obatan : antibiotic.
7. Penyakit usus : colitis ulcerative, crohn disease, enterocolitis, obstruksi usus

C. Patofisiologi
Mekanisme dasar yang menyebabkan timbulnya diare ialah:
1. Gangguan osmotic
Adanya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik
dalam lumen usus meningkat sehingga terjadi pergeseran air dan elektroloit ke dalam lumen
usus. Isi rongga usus yang berlebihan akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga
timbul diare.
2. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan
sekresi, air dan elektrolit ke dalam lumen usus dan selanjutnya timbul diare kerena peningkatan
isi lumen usus.
3. Gangguan motilitas usus
Hiperperistaltik akan menyebabkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap
makanan sehingga timbul diare. Sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan
bakteri tumbuh berlebihan, selanjutnya dapat timbul diare pula.
4. Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke
dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme tersebut
berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi
yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:
a) Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan (input),
merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.
b) Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis)
Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak tidak
sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat
karena adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena
tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na
dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler.
c) Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih sering pada anak yang
sebelumnya telah menderita KKP. Hal ini terjadi karena adanya gangguan
penyimpanan/penyediaan glikogen dalam hati dan adanya gangguan absorbsi glukosa. Gejala
hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40 mg% pada bayi dan 50%
pada anak-anak
d) Gangguan gizi
Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini disebabkan oleh:
• Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntah yang
bertambah hebat.
• Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran dan
susu yang encer ini diberikan terlalu lama.
• Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik
karena adanya hiperperistaltik.
e) Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik, akibatnya perfusi
jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan
perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal.

D. Manifestasi Klinik
1. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah
2. Suhu tubuh meninggi/demam
3. Feces encer, berlendir atau berdarah
4. Warna feces kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu
5. Anus lecet
6. Muntah sebelum dan sesudah diare
7. Anoreksia
8. Gangguan gizi akibat intake makanan kurang
9. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, yaitu penurunan berat badan, turgor kulit
berkurang, mata dan ubun-ubun besar cekung, membran mukosa kering.
10. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer
11. Keram abdominal
12. Mual dan muntah
13. Lemah
14. Pucat
15. Perubahan TTV : Nadi dan pernafasan cepat.
16. Menurun atau tidak ada pengeluaran urine

E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Riwayat alergi pada obat-obatan atau makanan
2. Kultur tinja
3. Pemeriksaan elektrolit, BUN, creatinine, dan glukosa.
4. Pemeriksaan tinja : pH, leukosit, glukosa, dan adanya darah

F. PENATALAKSANAAN
1. Medis
a. Pemberian cairan.
1) Cairan per oral.
2) Cairan parenteral.
Mengenai seberapa banyak cairan yang harus diberikan tergantung dari berat badan atau
ringannya dehidrasi, yang diperhitungkan kehilangan cairan sesuai dengan umur dan berat
badannya.
Jadwal pemberian cairan
1) Belum ada dehidrasi
- Oral: 1 gelas setiap kali anak buang air besar
- Parenteral dibagi rata dalam 24 jam
2) Dehidrasi ringan
- 1 jam pertama: 25-50 ml/kgBB peroral atau intragastrik
- Selanjutnya: 125 ml/kgBB/hari
3) Dehidrasi sedang
- 1 jam pertama: 50-100ml/kgBB peroral atau intragastrik
- Selanjutnya: 125 ml/kgBB/hari
4) Dehidrasi berat
Jadwal pemberian cairan didasarkan pada umur dan BB anak

b. Diatetik : pemberian makanan dan minuman khusus pada klien dengan tujuan
penyembuhan dan menjaga kesehatan adapun hal yang perlu diperhatikan :
1) Memberikan asi.
2) Memberikan bahan makanan yang mengandung kalori, protein, vitamin, mineral
dan makanan yang bersih.
3) Makanan setengah padat (bubur) atau makanan padat (nasi tim) bila anak tidak
mau minum susu.
4) Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu
rendah laktosa atau asam lemak yang berantai sedang atau tidak jenuh.
c. Obat-obatan.
Prinsip pengobatan diare adalah menggantikan cairan yang hilang melalui tinja dengan
atau tanpa muntah, dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain
(gula, air tajin, tepung beras, dll)
- Obat anti sekresi.
- Obat anti spasmolitik.
- Obat pengeras tinja.
- Obat antibiotik.
Pencegahan diare bisa dilakukan dengan mengusahakan lingkungan yang bersih dan
sehat :
1) Usahakan untuk selalu mencuci tangan sebelum menyentuh makanan.
2) Usahakan pula menjaga kebersihan alat-alat makan.
3) Sebaiknya air yang diminum memenuhi kebutuhan sanitasi standar di lingkungan
tempst tinggal. Air dimasak benar-benar mendidih, bersih, tidak berbau, tidak berwarna dan tidak
berasa.
4) Tutup makanan dan minuman yang disediakan di meja.
5) Setiap kali habis pergi usahakan selalu mencuci tangan, kaki, dan muka.
6) Biasakan anak untuk makan di rumah dan tidak jajan di sembarangan tempat.
Kalau bisa membawa makanan sendiri saat ke sekolah.
7) Buatlah sarana sanitasi dasar yang sehat di lingkungan tempat tinggal, seperti air
bersih dan jamban/WC yang memadai.
8) Pembuatan jamban harus sesuai persyaratan sanitasi standar. Misalnya, jarak
antara jamban (juga jamban tetangga) dengan sumur atau sumber air sedikitnya 10 meter agar air
tidak terkontaminasi. Dengan demikian, warga bisa menggunakan air bersih untuk keperluan
sehari-hari, untuk memasak, mandi, dan sebagainya.

G. KOMPLIKASI
Sebagai akibat kehilangan cairan dan elektrolit secara mendadak, dapat terjadi berbagai
macam komplikasi, seperti:
1. Dehidrasi
a. Dehidrasi Ringan
Kehilangan cairan 2 – 5 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit kurang
elastis, suara serak, klien belum jatuh pada keadaan syok.
Penatalaksanaan : Berikan cairan 1 jam pertama 25-50 ml/kg bb selanjutnya 125 ml/kg
bb/hari
b. Dehidrasi Sedang
Kehilangan cairan 5 – 8 % dari berat badan dengan gambaran klinik turgor kulit jelek,
suara serak, presyok nadi cepat dan dalam.
Penatalaksanaan : Berikan cairan 1 jam pertama 50-100 ml/kg bb selanjutnya 125 ml/kg
bb/hari
c. Dehidrasi Berat
Kehilangan cairan 8 - 10 % dari berat badan dengan gambaran klinik seperti tanda-tanda
dehidrasi sedang ditambah dengan kesadaran menurun, apatis sampai koma, otot-otot kaku
sampai sianosis.

Kejang Demam Pada Anak

A. Definisi
Kejang demam merupakan tipe kejang yang paling sering dijumpai pada massa kanak-
kanak (American Academy of Pediatrics,2008;Johnston, 2007). Kejang demam biasanya
menyerang anak dibawah umur 5 tahun, dengan insiden puncak yang terjadi pada anak usia
antara 14 dan 18 bulan. Kejang demam jarang terjadi pada anak dibawah 6 bulan dan di atas 5
tahun. Kejang demam lebih sering terjadi pada anak laki-laki dan terjadi peningkatan risiko pada
anak yanga memiliki riwayat kejang demam pada keluarga. Kejang demam berkaitan dengan
demam, biasanya terkait penyakit virus. Kejang tersebut biasanya jinak, tetapi dapat sangat
menakutkan baik bagi anak maupun keluarga. Pada sebagian besar kasus, prognosis sangat baik.
Kejang demam ini terjadi tanpa adanya infeksi intracranial, gangguan metabolik, (Reese C, et al,
2012).

B. Epidemiologi
Angka kejadian kejang demam pada 2-4% anak berumur 6 bulan- 5 tahun. Anak laki-laki
dibandingkan anak perempuan, dengan perbandingan sekitar 1,4 : 1. Kejang demam pertama
paling sering terjadi pada usia 1 hingga 2 tahun (Pusponegoro dkk,2006, Lumbantobing,2007).

C. Etiologi
Faktor penting dalam kejang demam adalah demam, umur, genetik, riwayat prenatal dan
perinatal. Infeksi saluran napas atas merupakan penyakit yang paling sering berhubungan dengan
kejang demam. Gastroenteritis terutama yang disebabkan oleh Shigella atau Campylobacter, dan
infeksi saluran kemih merupakan penyebab lain yang lebih jarang (Moe, et al, 2007).

D. Patofisiologi
Patofisiologi kejang demam sampai saat ini belum jelas. Diduga penyebab kejang demam
adalah respon otak imatur terhadap peningkatan suhu yang cepat. Penyebab kejang diduga
berhubungan dengan puncak suhu. Hipertermia mengurangi mekanisme yang menghambat aksi
potensial dan meningkatkan transmisi sinaps eksitatorik. pada penelitian hewan didapatkan
peningkatan ekstabilitas neuron otak selama proses maturasinya. Suhu yang sering menimbulkan
kejang demam adalah 38,5%0C (Basuki, 2009).
Penelitian pada kejang demam berhasil mengidentifikasi febrile seizures susceptibility
genes pada 2 lokus, yaitu FEB1 (kromosom 8q13-q21) dan FEB2 (kromosom 19p13.3), bersifat
autosomal dominan dengan penetrasi tidak lengkap. Hal ini menjelaskan mengapa kejang demam
lebih sering terjadi dalam satu keluarga. Mutasi genetik dari kanal ion natrium atau
Na’channelopathy dan gaminobutiric acid A receptor merupakan gangguan genetik yang
mendasari terjadinya kejang demam.
Penelitian pada hewan coba menunjukan kemungkinan peran pirogen endogen seperti
interleukin 1β yang dengan meningkatkan eksitabilitas neuron, mungkin menghubungkan
demam dengan bangkitan kejang. Penelitian pendahuluan pada anak mendukung hipotesis bahwa
cytokine network teraktivasi dan diduga berperan dalam pathogenesis kejang demam. Namun,
segnifikansi klinis dan patologis pengamatan ini masih belum jelas (Gatti, 2002).
Beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang demam antara lain:
1. Demam itu sendiri
2. Efek produk toksik dari mikroorganisme terhadap otak
3. Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4. Perubahan keseimbangan atau elektrolit
5. Ensefalitis viral
Dari beberapa faktor diatas yang menyebabkan kejang demam maka masalah yang bisa
muncul diantaranya ialah:
Perfusi jaringan serebral yang tidak efektif disebabkan karena rangsang mekanik dan
biokimia yang menyebabkan perubahan konsentrasi ion di ruang ekstraseluler difusi Na dan K
yang akhirnya terjadi kejang kurang dari 15 menit atau lebih dari 15 menit yang menimbulkan
resiko kerusakan sel neuron, selain itu resiko cedera juga terjadi dikarenakan adannya
inkordinasi kontraksi otot mulut dan lidah saat anak mengalami kejang, hipertermi pada anak
terjadi setelah kejang saat aktivitas otot meningkat, metabolisme dan suhu juga mengalami
peningkatan dan kurangnya pengetahuan orang tua dalam menangani dan mencegah kejang
demam pada anak.

E. Faktor Risiko
Faktor risiko yang bisa mencetuskan kejang demam antara lain :
1. Faktor Demam
Anak dengan lama demam kurang dari dua jam untuk terjadinya bangkitan kejang
demam 2,4 kali lebih besar dibandingkan anak yang mengalami demam lebih dari dua jam. Anak
dengan demam lebih besar dari 390C memiliki risiko 10 kali lebih besar untuk menderita
bangkitan kejang demam disbanding dengan anak yang demam kurang 390C.
2. Faktor Usia
Anak dengan kejang demam usia kurang dari dua tahun mempunyai risiko bangkitan
kejang demam 3,4 kali lebih besar disbanding yang lebih dari dua tahun. (Fuadi,2010).
3. Faktor Riwayat Kejang dalam Keluarga
Keluarga dengan riwayat pernah menderita kejang demam sebagai faktor risiko untuk
terjadi kejang demam pertama adalah kedua orang tua ataupun saudara kandung (first degree
relative).
a) Bila kedua orangnya tidak mempunyai riwayat pernah menderita kejang demam
maka risiko terjadi kejang demam hanya 9%.
b) Apabila salah satu orang tua penderita dengan riwayat pernah menderita kejang
demam mempunyau risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam 20%-22%.
c) Apabila kedua orang tua penderita tersebut mempunyai riwayat pernah menderita
kejang demam maka risiko untuk terjadi bangkitan kejang demam meningkat menjadi 59%-64%.
Demam diwariskan lebih banyak oleh ibu dibandingkan ayaj, 27% berbanding 7% (Fuadi,2010)
4. Faktor Perinatal dan Pascanatal
• Kehamilan pada umur lebih 35 tahun
• Barat lahir sangat rendah atau amat sangat rendah memudahkan timbulnya
bangkitan kejang demam (Fuadi,2010).
5. Faktor Vaksinasi/Imunisasi
Risiko kejang demam dapat meningkat setelah beberapa imunitas pada anak, seperti
imunisasi difteri, tetanus dan pertuasis (DPT) atau measles-mumps-rubella (MMR). (Mayo
Clinic, 2012).

F. Klasifikasi
1. Kejang demam Sederhana (KDS)
Kejang demam yang berlangsung singkat, kurang dari 15 menit dan umumnya akan
berhenti sendiri. Kejang berbentuk umum tonik atau klonik, tanpa gerakan fokal. Kejang tidak
berulang dalam waktu 24 jam. Kejang demam sederhana merupakan 80% dari seluruh kejadian
kejang demam (Pusponegoro, 2006).
2. Kejang Demam Kompleks (KDK)
Kejang demam kompleks merupakan kejang demam dengan salah satu ciri kejang lama
yang berlangsung > 15 menit, kejang fokal atau parsial satu sisi, atau kejang umum didahului
kejang parsial, atau berulang lebih dari 1 kali dalam 24 jam. Kejang lama adalah kejang yang
berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang berulang lebih dari 2 kali dan diantara bangkitan
kejang anak tidak sadar. Kejang lama terjadi pada 8% kejang demam (Pusponegoro,2006).

G. Manifestasi klinis
• Kejang demam berlangsung singkat, serangan kejang klonik atau tonik klonik
bilateral.
• Seringkali kejang berhenti sendiri.
• Setelah kejang berhenti, anak tidak memberi reaksi apapun untuk sejenak.
• Setelah beberapa detik atau menit anak terbangun dan sadar kembali tanpa deficit
neurologis.
• Peningkatan suhu tubuh mendadak hingga ≥ 38OC

H. Pemeriksaan Penunjang
Batas suhu yang bisa mencetuskan kejang demam 38OC atau lebih, tetapi suhu
sebenarnya pada waktu kejang sering tidak diketahui. Pemeriksaan fisik lainnya bertujuan untuk
mencari sumber infeksi dan kemungkinan adanya infeksi intrakranial meningitis atau ensefalitis
(Basuki, 2009)
Pemeriksaan Penunjang :
1. Laboratorium darah
Untuk mencari etiologic kejang demam. Darah lengkap, kultur darah, glukosa darah,
elektrolit, magnesium, kalsium, fosfar, urinalisa, kultur urin (The Barbara, 2011).
2. Urinalisis
Urinalisis direkomendasikan untuk pasien-pasien yang tidak ditemukan focus infeksinya
(Guidelines, 2010).
3. Fungsi Lumbal
Untuk menegakkan atau menyingkirkan kemungkinan meningitis.
4. Radiologi
Neuroimaging tidak diindikasikan setelah kejang demam sederhana. Dipertimbangkan
jika terdapat gejala klinis gangguan neurologis.
5. Elekroensefalografi (EEG)
Untuk menyingkirkan kemungkinan epilepsi.
LEUKIMIA PADA ANAK

A. Definisi
Istilah leukemia pertama kali dijelaskan oleh Virchow sebagai “darah putih” pada tahun
1874, adalah penyakit neoplastik yang ditandai dengan diferensiasi dan proliferasi sel induk
hematopoetik.
Leukemia adalah suatu keganasan yang berasal dari perubahan genetik pada satu atau
banyak sel di sumsum tulang. Pertumbuhan dari sel yang normal akan tertekan pada waktu sel
leukemia bertambah banyak sehingga akan menimbulkan gejala klinis. Keganasan hematologik
ini adalah akibat dari proses neoplastik yang disertai gangguan diferensiasi pada berbagai
tingkatan sel induk hematopoetik sehingga terjadi ekspansi progresif kelompok sel ganas
tersebut dalam sumsum tulang, kemudian sel leukemia beredar secara sistemik.

B. Etiologi
Penyebab leukemia masih belum diketahui secara pasti hingga kini. Menurut hasil
penelitian, orang dengan faktor risiko tertentu lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit
leukemia.
1. Host
a) Umur, jenis kelamin, ras
b) Faktor Genetik
2. Agent
a) Virus
b) Sinar Radioaktif
c) Zat Kimia
d) Merokok
e) Lingkungan (Pekerjaan)

C. Patofisiologi
Pada keadaan normal, sel darah putih berfungsi sebagai pertahanan tubuh terhadap
infeksi. Sel ini secara normal berkembang sesuai perintah, dapat dikontrol sesuai dengan
kebutuhan tubuh. Leukemia meningkatkan produksi sel darah putih pada sumsum tulang yang
lebih dari normal. Mereka terlihat berbeda dengan sel darah normal dan tidak berfungsi seperti
biasanya. Sel leukemi memblok produksi sel darah normal, merusak kemampuan tubuh terhadap
infeksi. Sel leukemi juga merusak produksi sel darah lain pada sumsum tulang termasuk sel
darah merah dimana sel tersebut berfungsi untuk menyuplai oksigen pada jaringan.
Analisis sitogenik menghasilkan banyak pengetahuan mengenai aberasi kromosomal
yang terdapat pada pasien dengan leukemia. Perubahan kromosom dapat meliputi perubahan
angka, yang menambahkan atau menghilangkan seluruh kromosom, atau perubahan struktur
termasuk translokasi (penyusunan kembali), delesi, inversi dan insersi. Pada kondisi ini, dua
kromosom atau lebih mengubah bahan genetik, dengan perkembangan gen yang berubah
dianggap menyebabkan mulainya proliferasi sel abnormal.
Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih
mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut
seringkali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom (bahan genetik sel yang
kompleks). Translokasi kromosom mengganggu pengendalian normal dari pembelahan sel,
sehingga sel membelah tidak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai
sumsum tulang dan menggantikan tempat dari sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang
normal. Kanker ini juga bias menyusup ke dalam organ lainnya termasuk hati, limpa, kelenjar
getah bening, ginjal, dan otak.

D. Manifestasi Klinis
Gejala klinis dari leukemia pada umumnya adalah anemia, trombositopenia, neutropenia,
infeksi, kelainan organ yang terkena infiltrasi, hipermetabolisme.
a. Leukemia Limfositik Akut
Gejala klinis LLA sangat bervariasi. Umumnya menggambarkan kegagalan sumsum
tulang. Gejala klinis berhubungan dengan anemia (mudah lelah, letargi, pusing, sesak, nyeri
dada), infeksi dan perdarahan. Selain itu juga ditemukan anoreksi, nyeri tulang dan sendi,
hipermetabolisme.21 Nyeri tulang bisa dijumpai terutama pada sternum, tibia dan femur.
b. Leukemia Mielositik Akut
Gejala utama LMA adalah rasa lelah, perdarahan dan infeksi yang disebabkan oleh
sindrom kegagalan sumsum tulang. perdarahan biasanya terjadi dalam bentuk purpura atau
petekia. Penderita LMA dengan leukosit yang sangat tinggi (lebih dari 100 ribu/mm3) biasanya
mengalami gangguan kesadaran, napas sesak, nyeri dada dan priapismus. Selain itu juga
menimbulkan gangguan metabolisme yaitu hiperurisemia dan hipoglikemia.
c. Leukemia Limfositik Kronik
Sekitar 25% penderita LLK tidak menunjukkan gejala. Penderita LLK yang mengalami
gejala biasanya ditemukan limfadenopati generalisata, penurunan berat badan dan kelelahan.
Gejala lain yaitu hilangnya nafsu makan dan penurunan kemampuan latihan atau olahraga.
Demam, keringat malam dan infeksi semakin parah sejalan dengan perjalanan penyakitnya.
d. Leukemia Granulositik/Mielositik Kronik
LGK memiliki 3 fase yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase krisis blas. Pada fase
kronik ditemukan hipermetabolisme, merasa cepat kenyang akibat desakan limpa dan lambung.
Penurunan berat badan terjadi setelah penyakit berlangsung lama. Pada fase akselerasi ditemukan
keluhan anemia yang bertambah berat, petekie, ekimosis dan demam yang disertai infeksi.

E. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah tepi dan pemeriksaan
sumsum tulang.
1) Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita leukemia jenis LLA ditemukan leukositosis (60%) dan kadang-kadang
leukopenia (25%). Pada penderita LMA ditemukan penurunan eritrosit dan trombosit. Pada
penderita LLK ditemukan limfositosis lebih dari 50.000/mm3, sedangkan pada penderita
LGK/LMK ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm3.
2) Pemeriksaan Sumsum Tulang
Hasil pemeriksaan sumsum tulang pada penderita leukemia akut ditemukan keadaan
hiperselular. Hampir semua sel sumsum tulang diganti sel leukemia (blast), terdapat perubahan
tiba-tiba dari sel muda (blast) ke sel yang matang tanpa sel antara (leukemic gap). Jumlah blast
minimal 30% dari sel berinti dalam sumsum tulang. Pada penderita LLK ditemukan adanya
infiltrasi merata oleh limfosit kecil yaitu lebih dari 40% dari total sel yang berinti. Kurang lebih
95% pasien LLK disebabkan oleh peningkatan limfosit B. Sedangkan pada penderita LGK/LMK
ditemukan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas
granulopoeisis. Jumlah granulosit lebih dari 30.000/mm3.

F. Penatalaksanaan
a. Kemoterapi
a) Kemoterapi pada penderita LLA
b) Kemoterapi pada penderita LMA
c) Kemoterapi pada penderita LLK
d) Kemoterapi pada penderita LGK/LMK
b. Radioterapi
Radioterapi menggunakan sinar berenergi tinggi untuk membunuh sel-sel leukemia. Sinar
berenergi tinggi ini ditujukan terhadap limpa atau bagian lain dalam tubuh tempat menumpuknya
sel leukemia. Energi ini bisa menjadi gelombang atau partikel seperti proton, elektron, x-ray dan
sinar gamma. Pengobatan dengan cara ini dapat diberikan jika terdapat keluhan pendesakan
karena pembengkakan kelenjar getah bening setempat.
c. Transplantasi Sumsum Tulang
Transplantasi sumsum tulang dilakukan untuk mengganti sumsum tulang yang rusak
dengan sumsum tulang yang sehat. Sumsum tulang yang rusak dapat disebabkan oleh dosis
tinggi kemoterapi atau terapi radiasi. Selain itu, transplantasi sumsum tulang juga berguna untuk
mengganti sel-sel darah yang rusak karena kanker. Pada penderita LMK, hasil terbaik (70-80%
angka keberhasilan) dicapai jika menjalani transplantasi dalam waktu 1 tahun setelah
terdiagnosis dengan donor Human Lymphocytic Antigen (HLA) yang sesuai.
d. Terapi Suportif
Terapi suportif berfungsi untuk mengatasi akibat-akibat yag ditimbulkan penyakit
leukemia dan mengatasi efek samping obat. Misalnya transfusi darah untuk penderita leukemia
dengan keluhan anemia, transfusi trombosit untuk mengatasi perdarahan dan antibiotik untuk
mengatasi infeksi. 

THALASEMIA PADA ANAK


A. Definisi Thalasemia
Thalasemia merupakan gangguan sintesis hemoglobin (Hb), khususnya rantai globin,
yang diturunkan. Penyakit genetik ini memiliki jenis dan frekuensi terbanyak di dunia.
Thalasemia mempengaruhi kemampuan dalam menghasilkan hemoglobin yang berakibat pada
penyakit anemia. Hemoglobin adalah suatu protein dalam sel darah merah yang mengangkut
oksigen dan nutrisi lainnya ke sel-sel lainnya dalam tubuh. Thalasemia merupakan penyakit
kongenetal herediter yang diturunkan secara autosomal berdasarkan kelainan hemoglobin ,
dimana satu atau dua rantai Hb kurang atau tidak terbentuk secara sempurna sehingga terjadi
anemia hemolitik. Kelainan hemolitik ini mengakibatkan kerusakan pada sel darah merah di
dalam pembuluh darah (Kliegam,2012).

B. Etiologi Talasemia Pada Anak


Penyakit thalassemia adalah penyakit keturunan yang tidak dapat ditularkan. Banyak
diturunkan oleh pasangan suami isteri yang mengidap thalassemia dalam sel – selnya/ Faktor
genetik (Suriadi, 2001). Thalassemia bukan penyakit menular melainkan penyakit yang
diturunkan secara genetik dan resesif. Penyakit ini diturunkan melalui gen yang disebut sebagai
gen globin beta yang terletak pada kromosom 11. Pada manusia kromosom selalu ditemukan
berpasangan. Gen globin beta ini yang mengatur pembentukan salah satu komponen pembentuk
hemoglobin. Bila hanya sebelah gen globin beta yang mengalami kelainan disebut pembawa sifat
thalassemia-beta.
Seorang pembawa sifat thalassemia tampak normal/sehat, sebab masih mempunyai 1
belah gen dalam keadaan normal (dapat berfungsi dengan baik). Seorang pembawa sifat
thalassemia jarang memerlukan pengobatan. Bila kelainan gen globin terjadi pada kedua
kromosom, dinamakan penderita thalassemia (Homozigot/Mayor). Kedua belah gen yang sakit
tersebut berasal dari kedua orang tua yang masing-masing membawa sifat thalassemia. Pada
proses pembuahan, anak hanya mendapat sebelah gen globin beta dari ibunya dan sebelah lagi
dari ayahnya.
Bila kedua orang tuanya masing-masing pembawa sifat thalassemia maka pada setiap
pembuahan akan terdapat beberapa kemungkinan. Kemungkinan pertama si anak mendapatkan
gen globin beta yang berubah (gen thalassemia) dari bapak dan ibunya maka anak akan
menderita thalassemia. Sedangkan bila anak hanya mendapat sebelah gen thalassemia dari ibu
atau ayah maka anak hanya membawa penyakit ini. Kemungkinan lain adalah anak mendapatkan
gen globin beta normal dari kedua orang tuanya.

C. Klasifikasi Talasemia Pada Anak


Thalasemia dapat diklasifikasikan berdasarkan jenis hemoglobin yang mengalami
gangguan menjadi Thalasemia alfa dan beta. Sedangkan berdasarkan jumlah gen yang
mengalami gangguan, thalasemia diklasifikasikan menjadi (Samuel, 2010) :
1. Thalasemia minor (Trait)
Thalasemia minor merupakan keadaan yang terjadi pada seseorang yang sehat namun
orang tersebut dapat mewariskan gen Thalasemia pada anak-anaknya. Thalasemia trait sudah ada
sejak lahir dan tetap akan ada sepanjang hidup penderita. Penderita tidak memerlukan transfusi
darah dalam hidupnya.
2. Thalasemia Intermedia
Thalasemia intermedia merupakan kondisi antara Thalasemia mayor dan minor. Penderita
Thalasemia ini mungkin memerlukan transfusi darah secara berkala, dan penderita Thalasemia
jenis ini dapat bertahan hidup sampai dewasa.
3. Thalasemia Mayor
Thalasemia jenis ini sering disebut Cooley Anemia dan terjadi apabila kedua orangtua
mempunyai sifat pembawa Thalasemia (Carrier). Anak-anak dengan Thalasemia mayor tampak
normal saat lahir, tetapi akan menderita kekurangan darah pada usia 3-18 bulan. Penderita
Thalasemia mayor akan memerlukan transfusi darah secara berkala seumur hidupnya dan dapat
meningkatkan usia hidup hingga 10-20 tahun. Namun apabila penderita tidak dirawat penderita
Thalasemia ini hanya bertahan hidup sampai 5-6 tahun (Hockenberry & Wilson, 2009).

D. Manifestasi Klinik Talasemia Pada Anak


Thalassemia memiliki gejala yang mirip terapi beratnya bervariasi, sebagian besar
mengalami gangguan anemia ringan (Samuel, 2010) :
1. Thalasemia minor (thalasemia heterogen) umumnya hanya memiliki gejala berupa
anemia ringan sampai sedang dan mungkin bersifat asimtomatik dan sering tidak terdeksi.
2. Thalasemia mayor, pada umumnya menampakkan manifestasi klinis pada usia 6
bulan, setelah efek Hb 7 menghilang, anemia, demam, yang tidak dapat dijelaskan, cara makan
yang buruk, penurunan BB dan pembesaran limpa.
3. Gejala lain penderita Thalasemia ialah jantung mudah berdebar-debar, karena
oksigen yang dibawah tersebut kurang, maka jantung juga akan berusaha bekerja lebih keras
sehingga jantung penderita akan mudah berdebar-debar, dan semakin lama jantung akan bekerja
lebih keras sehingga lebih cepat lelah. Sehingga terjadi lemah jantung, limfa penderita menjadi
besar dikarenakan pengahancuran darah terjadi disana, dan selain itu sumsum tulang belakang
juga bekerja lebih keras berusaha mengkompensasi kekurangan Hb, sehingga tulang menjadi
tipis dan rapuh. Jika ini terjadi pada muka tulang hidung maka wajah akan berubah bentuk,
batang hidung akan hilang atau melesak kedalam (fasise cookey) ini merupakan salah satu tanda
khas penderita thalassemia. (Hockenberry & Wilson, 2009)
4. Perubahan pada tulang karena hiperaktivitas sumsum merah berupa deformitas
dan fraktur spontan, terutama pada kasus yang tidak atau kurang mendapat tranfusi darah.
Deformitas tulang, disamping mengakibatkan muka mongoloid, dapat menyebabkan
pertumbuhan berlebihan tulang prontal dan zigomatin serta maksila, serta pertumbuhan gigi
biasanya buruk.
5. Pada anak lemah, pucat, perkembangan fisik tida sesuai umur, berat badan
kurang, perut membuncit. Jika pasien tidak sering mendapat tranfusi darah kulit menjadi kelabu
serupa dengan besi akibat penimbunan besi dalam jaringan kulit.
6. Pada hapusan darah tepi di dapatkan gambaran hipokrom mikrositik, anisositosis,
polklilositosis, dan adanya sel target (fragmentasi dan banyak sel normoblas).
7. Kadar besi dalam serum (SI) meninggi dan daya ikat serum terhadap besi (IBC)
menjadi rendah dan dapat mencapai nol.
8. Kadar bilirubin dalam serum meningkat, karena kerusakan parankim hati oleh
hemosiderosis.

F. Komplikasi Talasemia Pada Anak


Komplikasi jangka panjang sebagai akibat dari hemokromatosis dengan kerusakan sel
resultan yang dapat mengakibatkan (Hockenberry & Wilson, 2009):
1. Splenomegali.
2. Komplikasi skeletal, seperti menebalan tulang kranial, pembesaran kepala, tulang
wajah menonjol, maloklusi gigi, dan rentan terhadap fraktur spontan.
3. Komplikasi jantung, seperti aritmia, pericarditis, CHF (Gagal Jantung) dan
fibrosis serat otot jantung.
4. Penyakit kandung empedu, termasuk batu empedu.
5. Pembesaran hepar dan berlanjut menjadi sirosis hepatis.
6. Perubahan kulit, seperti ikrerus dan fragmentasi coklat akibat defisit zat besi.

G. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Thalasemia terdapat dua, yaitu secara screening test dan definitive test.
1. Screening test
Di daerah endemik, anemia hipokrom mikrositik perlu diragui sebagai gangguan
Thalasemia (Wiwanitkit, 2007).
a. Interpretasi apusan darah
Dengan apusan darah anemia mikrositik sering dapat dideteksi pada kebanyakkan
Thalasemia kecuali Thalasemia α silent carrier. Pemeriksaan apusan darah rutin dapat membawa
kepada diagnosisThalasemia tetapi kurang berguna untuk skrining.
b. Pemeriksaan osmotic fragility (OF)
Pemeriksaan ini digunakan untuk menentukan fragiliti eritrosit. Secara dasarnya resistan
eritrosit untuk lisis bila konsentrasi natrium klorida dikurangkan dikira. Studi yang dilakukan
menemui probabilitas formasi pori-pori pada membran yang regang bervariasi mengikut order
ini: Thalasemia < kontrol < spherositosis. Studi OF berkaitan kegunaan sebagai alat diagnostik
telah dilakukan dan berdasarkan satu penelitian di Thailand, sensitivitinya adalah 91.47%,
spesifikasi 81.60, false positive rate 18.40% dan false negative rate 8.53%. (Hockenberry &
Wilson, 2009).
c. Indeks eritrosit
Dengan bantuan alat indeks sel darah merah dapat dicari tetapi hanya dapat mendeteksi
mikrositik dan hipokrom serta kurang memberi nilai diagnostik. Maka metode matematika
dibangunkan (Hockenberry & Wilson, 2009)
2. Definitive test
a. Elektroforesis hemoglobin
Pemeriksaan ini dapat menentukan berbagai jenis tipe hemoglobin di dalam darah. Pada
dewasa konstitusi normal hemoglobin adalah Hb A1 95-98%, Hb A2 2-3%, Hb F 0.8-2% (anak
di bawah 6 bulan kadar ini tinggi sedangkan neonatus bisa mencapai 80%). Nilai abnormal bisa
digunakan untuk diagnosis Thalassemia seperti pada Thalassemia minor Hb A2 4-5.8% atau Hb
F 2-5%, Thalassemia Hb H: Hb A2 <2% dan Thalassemia mayor Hb F 10-90%. Pada negara
tropikal membangun, elektroporesis bisa juga mendeteksi Hb C, Hb S dan Hb J (Wiwanitkit,
2007).
b. Kromatografi hemoglobin
Pada elektroforesis hemoglobin, HB A2 tidak terpisah baik dengan Hb C. Pemeriksaan
menggunakan high performance liquid chromatography (HPLC) pula membolehkan
penghitungan aktual Hb A2 meskipun terdapat kehadiran Hb C atau Hb E. Metode ini berguna
untuk diagnosa Thalassemia β karena bisa mengidentifikasi hemoglobin dan variannya serta
menghitung konsentrasi dengan tepat terutama Hb F dan Hb A2. (Wiwanitkit, 2007)
c. Molecular diagnosis
Pemeriksaan ini adalah gold standard dalam mendiagnosis Thalassemia. Molecular
diagnosis bukan saja dapat menentukan tipe Thalassemia malah dapat juga menentukan mutasi
yang berlaku.

H. Penatalaksanaan Medis
Menurut (Suriadi, 2001) Penatalaksaan Medis Thalasemia antara lain:
1. Pemberian transfusi hingga Hb mencapai 9-10g/dl. Komplikasi dari pemberian
transfusi darah yang berlebihan akan menyebabkan terjadinya penumpukan zat besi yang disebut
hemosiderosis. Hemosiderosis ini dapat dicegah dengan pemberian deferoxamine (Desferal),
yang berfungsi untuk mengeluarkan besi dari dalam tubuh (iron chelating agent). Deferoxamine
diberikan secar intravena, namun untuk mencegah hospitalisasi yang lama dapat juga diberikan
secara subkutan dalam waktu lebih dari 12 jam.
2. Splenectomy: dilakukan untuk mengurangi penekanan pada abdomen dan
meningkatkan rentang hidup sel darah merah yang berasal dari suplemen (transfusi).
3. Pada thalasemia yang berat diperlukan transfusi darah rutin dan pemberian
tambahan asam folat. Penderita yang menjalani transfusi, harus menghindari tambahan zat besi
dan obat-obat yang bersifat oksidatif (misalnya sulfonamid), karena zat besi yang berlebihan bisa
menyebabkan keracunan. Pada bentuk yang sangat berat, mungkin diperlukan pencangkokan
sumsum tulang. Terapi genetik masih dalam tahap penelitian.
4. Menurunkan atau mencegah hemosiderosis dengan pemberian parenteral obat
penghelasi besi (iro chelating drugs), de feroksamin diberikan subkutan dalam jangka 8-12 jam
dengan menggunakan pompa portabel kecil (selamat tidur), 5-6 malam/minggu.

ANEMIA PADA ANAK


1. Definisi
1. Suatu keadaan menurunnya kadar hemoglobin dan atau jumlah eritrosit lebih
rendah dari nilai normal. (Mansjoer, 2001)
2. Etiologi
Penyebab terjadinya anemia dapat dikelompokkan sebagai berikut :
1. Perdarahan
a. Akut : karena trauma yang terjadi secara mendadak
b. Kronis : karena perdarahan pada saluran pencernaan atau menorhagia
2. Gangguan pembentukan sel darah merah (eritrosit)
a. Infiltrasi sumsum tulang, misalnya karena karsinoma
b. Perubahan sintesa hemoglobin (Hb) sehingga dapat menimbulkan anemia
defisiensi zat besi, thalasemia, dan anemia infeksi kronik
c. Perubahan sintesa DNA akibat kekurangan nutrien yang dapat menimbulkan
anemia pernisiosa dan anemia defisiensi asam folat
d. Gangguan pada sel induk (stem sel) sehingga menimbulkan anemia aplastik dan
leukimia
e. Bahan baku pembentukan eritrosit tidak ada, seperti asam folat, zat besi, dan
vitamin B12.
3. Meningkatnya proses pemecahan eritrosit (hemolisis)
a. Faktor didapat : adanya zat yang dapat merusak eritrosit, misalnya ureum pada
darah karena gangguan ginjal atau penggunaan obat acetosal
b. Faktor bawaan : kekurangan enzim G6PD (untuk mencegah kerusakan eritrosit)
5. Manifestasi klinis
1. Lemas, lekas lelah
2. Cianosis pada mukosa bibir dan faring, telapak tangan, dasar kuku
3. Konjungtiva okular berwarna kebiruan atau putih mutiara (pearly white)
4. Iritabel
5. Papil lidah atrofi
6. Pot Belly : perut buncit pada anak MEP dengan infestasi ankylostoma
7. Pada MEP yang berat dapat ditemukan hepatomegali dan diatesis hemoragik
8. Pica
9. Takikardia
10. Kuku rapuh dan berbentuk sendok

6. Klasifikasi Anemia
1. Anemia pasca perdarahan
2. Anemia Defisiensi (ex: Def. Fe, as. folat)
3. Anemia Hemolitik (ex: talasemia, G6PD)
4. Anemia Aplastik

7. Komplikasi
Anemia juga juga menyebabkan daya tahan tubuh berkurang. Akibatnya, penderita
anemia akan mudah :
1. Terkena infeksi
2. batuk-pilek
3. Mudah flu atau mudah terkena infeksi saluran nafas
4. Jantung menjadi mudah lelah, karena harus memompa darah lebih kuat.

8. Pemeriksaan penunjang
1. Kadar Hb, hematokrit, indek sel darah merah, penelitiansel darah putih, kadar (Fe,
pengukuran kapasitas ikatan besi, kadar folat, vitamin )B12, hitung trombosit, waktu perdarahan,
waktu protrombin, dan waktu tromboplastin parsial.
2. Aspirasi dan biopsy sumsum tulang. Unsaturated iron - binding capacity serum
3. Pemeriksaan diagnostic untuk menentukan adanya penyakit akut dan kronis serta
sumber kehilangan darah kronis.
RDS PADA ANAK

1. Definisi
Sindrom Distres Pernapasan adalah perkembangan yang imatur pada sistem pernapasan
atau tidak adekuatnya jumlah surfaktan dalam paru. RDS dikatakan sebagai hyalin membrane
diseaser (Suriadi dan Yulianni, 2006).

2. Etiologi
Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) etiologi dari RDS yaitu:
1. Ketidakmampuan paru untuk mengembang dan alveoli terbuka.
2. Alveoli masih kecil sehingga mengalami kesulitan berkembang dan
pengembangan kurang sempurna. Fungsi surfaktan untuk menjaga agar kantong alveoli tetap
berkembang dan berisi udara, sehingga pada bayi prematur dimana surfaktan masih belum
berkembang menyebabkan daya berkembang paru kurang dan bayi akan mengalami sesak nafas.
3. Membran hialin berisi debris dari sel yang nekrosis yang tertangkap dalam
proteinaceous filtrat serum (saringan serum protein), di fagosit oleh makrofag.
4. Berat badan bayi lahir kurang dari 2500 gram.
5. Adanya kelainan di dalam dan di luar paru
Kelainan dalam paru yang menunjukan sindrom ini adalah
pneumothoraks/pneumomediastinum, penyakit membran hialin (PMH).
6. Bayi prematur atau kurang bulan
Diakibatkan oleh kurangnya produksi surfaktan. Produksi surfaktan ini dimulai sejak
kehamilan minggu ke-22, semakin muda usia kehamilan, maka semakin besar pula kemungkinan
terjadi RDS.

3. Patofisiologi
Faktor-faktor yang memudahkan terjadinya RDS pada bayi prematur disebabkan oleh
alveoli masih kecil sehingga kesulitan berkembang, pengembangan kurang sempurna karena
dinding thorax masih lemah, produksi surfaktan kurang sempurna. Kekurangan surfaktan
mengakibatkan kolaps pada alveolus sehingga paru-paru menjadi kaku. Hal tersebut
menyebabkan perubahan fisiologi paru sehingga daya pengembangan paru (compliance)
menurun 25% dari normal, pernafasan menjadi berat, shunting intrapulmonal meningkat dan
terjadi hipoksemia berat, hipoventilasi yang menyebabkan asidosis respiratorik. Telah diketahui
bahwa surfaktan mengandung 90% fosfolipid dan 10% protein, lipoprotein ini berfungsi
menurunkan tegangan permukaan dan menjaga agar alveoli tetap mengembang. Secara
makroskopik, paru-paru nampak tidak berisi udara dan berwarna kemerahan seperti hati. Oleh
sebab itu paru-paru memerlukan tekanan pembukaan yang tinggi untuk mengembang. Secara
histologi, adanya atelektasis yang luas dari rongga udara bagian distal menyebabkan edema
interstisial dan kongesti dinding alveoli sehingga menyebabkan desquamasi dari epithel sel
alveoli type II. Dilatasi duktus alveoli, tetapi alveoli menjadi tertarik karena adanya defisiensi
surfaktan ini. Dengan adanya atelektasis yang progresif dengan barotrauma atau volutrauma dan
keracunan oksigen, menyebabkan kerosakan pada endothelial dan epithelial sel jalan pernafasan
bagian distal sehingga menyebabkan eksudasi matriks fibrin yang berasal dari darah. Membran
hyaline yang meliputi alveoli dibentuk dalam satu setengah jam setelah lahir. Epithelium mulai
membaik dan surfaktan mulai dibentuk pada 36- 72 jam setelah lahir. Proses penyembuhan ini
adalah komplek; pada bayi yang immatur dan mengalami sakit yang berat dan bayi yang
dilahirkan dari ibu dengan chorioamnionitis sering berlanjut menjadi Bronchopulmonal Displasia
(BPD).

4. Tanda dan gejala


1. Pernapasan cepat
2. Pernapasan terlihat parodaks
3. Cuping hidung
4. Apnea
5. Murmur
6. Sianosis pusat

5. Komplikasi
Menurut Suriadi dan Yulianni (2006) komplikasi yang kemungkinan terjadi pada
RDS yaitu:
a. Komplikasi jangka pendek
1) Kebocoran alveoli
2) Jangkitan penyakit karena keadaan penderita yang memburuk dan adanya
perubahan jumlah leukosit dan thrombositopeni. Infeksi dapat timbul kerana tindakan invasif
seperti pemasangan jarum vena, kateter, dan alat-alat respirasi.
3) Perdarahan intrakranial dan leukomalacia periventrikular: perdarahan
intraventrikuler terjadi pada 20-40% bayi prematur dengan frekuensi terbanyak pada bayi RDS
dengan ventilasi mekanik.
b. Komplikasi jangka panjang
1) Bronchopulmonary Dysplasia (BPD)
Merupakan penyakit paru kronik yang disebabkan pemakaian oksigen pada bayi dengan
masa gestasi 36 minggu. BPD berhubungan dengan tingginya volume dan tekanan yang
digunakan pada waktu menggunakan ventilasi mekanik, adanya infeksi, inflamasi, dan defisiensi
vitamin A. Insiden BPD meningkat dengan menurunnya masa gestasi.
2) Retinopathy prematur
Kegagalan fungsi neurologi, terjadi sekitar 10-70% bayi yang berhubungan dengan masa
gestasi, adanya hipoxia, komplikasi intrakranial, dan adanya infeksi.

6. Penatalaksanaan Medis
Menurut Suriadi dan Yuliani (2001) tindakan untuk mengatasi masalah kegawatan
pernafasan meliputi:
1. Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi adekuat.
2. Mempertahankan keseimbangan asam basa.
3. Mempertahankan suhu lingkungan netral.
4. Mempertahankan perfusi jaringan adekuat.
5. Mencegah hipotermia.
6. Mempertahankan cairan dan elektrolit adekuat.
ASFIKSIA PADA ANAK

1. Definisi
Asfiksia neonatrum merupakan suatu kondisi di mana bayi tidak dapat bernafas secara
spontan dan teratur segera setelah lahir (Betz dan Sowden, 2002). Keadaan tersebut dapat
disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea, sampai asidosis. Asfiksia ini dapat terjadi karena
kuangnya kemampuan organ bayi dalam menjalankan fungsinya, seperti pengembangan paru
(Hidayat, Aziz Alimul. 2013).
2. Klasifikasi
1. Asfiksia Livida, ciri-cirinya : warna kulit kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi
rangsangan positif, bunyi jantung reguler, prognosi lebih baik.
2. Asfiksia Pallida, ciri-cirinya : warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang, tidak ada
reaksi rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis jelek (Respatiningrum, dkk. 2013).
3. Etiologi
Asfiksia neonatorum dapat disebabkan oleh beberapa factor, di antaranya adalah:
1.Adanya penyakit pada ibu hamil seperti hipertensi, gangguan dan penyakit paru, dan
gangguan kontraksi uterus.
2. Pada ibu yang kehamilannya berisiko
3. Factor plasenta, seperti janin dengan solusio plasenta
4. Factor janin itu sendiri, seperti terjadi kelainan pada tali pusat, seperti tali pusat
menumbung atau melilit pada leher atau juga kompresi pada tali pusat antara janin dan jalan lahir
5. Factor persalinan seperti partus lama dan partus dengan tindakan tertentu (Hidayat,
Aziz Alimul. 2013).
4. Tanda dan Gejala Asfiksia
1. Bayi tidak bernafas atau bernafas megap-megap
2.Denyut jantung kurang dari 100 kali permenit
3.Warna kulit sianosis, (pucat atau kebiruan)
4.Tonus otot menurun
5. Kejang
6. Untuk diagnosis asfiksia tidak perlu menunggu nilai / APGAR Skor (Respatiningrum,
dkk. 2013).
5. Patofisiologi
Sebagian besar pengetahuan mengenai respons terhadap asfiksia akut pada janin dan bayi
baru lahir berasal dari penelitian pada hewan (Dawes, 1968). Dengan pembatasan tertentu, hal ini
member gambaran yang jelas tentang proses asfiksia pada manusia dan juga dasar logis untuk
resusitasineonates. Gangguan suplai darah teroksigenasi melalui vena umbilical dapat terjadi
pada saat antepartum, intrapartum, dan tentunya, pascapartum saat tali pusat dipotong. Hal ini
diikuti oleh serangkaian kejadian berikut yang dapat diperkirakan ketika asfiksia bertambah berat
(Gbr. 2.1).
1. Awalnya hanya ada sedikit napas. Sedikit napas ini maksudnya untuk mengembangkan
paru, tetapi bila paru mengembang saat kepala masih di janin lahir, atau bila paru tidak
mengembang karena suatu hal, aktifitas singkat ini akan diikuti oleh henti napas komplet.
Kejadian ini disebut apnea primer.
2. Setelah waktu singkat –lama asfiksia tidak dikaji dalam situasi klinis karena dilakukan
tindakan resusitasi yang sesuai-usaha bernapas otomatis dimulai. Hal ini hanya akan membantu
dalam waktu singkat, kemudian jika paru tidak mengembang, secara bertahap terjadi penurunan
kekuatan dan frekuensi prnapasan. Selanjutnya, bayi akan memasuki periode apnea terminal.
Kecuali dilakukan resusitasi yang tepat, pemulihan dalam keadaan terminal ini tidak akan terjadi.
3. Frekuensi jantung menurun selama apneas primer dan akhirnya turun di bawah 100
kali/menit, yang dikenal secara internasional sebagai titik aksi resusitasi. Frekuensi jantung
mungkin sedikit meningkat pada saat bayi bernapas terengah-engah, tetapi bersama dengan
menurun dan berhentinya napas terengah-engah bayi, frekuensi jantung terus berkurang.
Keadaan asam-basa semakin memburuk, metabolisme selular gagal, dan jantung pun berhenti.
Keadaan ini akan terjadi dalam waktu yang cukup lama.
4. Selama apnea primer, tekanan darah meningkat bersama dengan pelepasan
katekolamin dan zat kimia stress lainnya. Walaupun demikian, tekanan darah yang terkait erat
dengan frekuensi jantung, mengalami penurunan tajam selama apnea terminal. Volume sekuncup
pada neonates tetap dan curah jantung ditentukan hampir sepenuhnya oleh frekuensi jantung.
5. Terjadi penurunan pH yang hampir linier sejak awitan asfiksia. Hal ini disebabkan leh
penumpukan asam laktat dan asam lainnya yang diprodksi oleh glikosis anaerob pada jaringan
yang mengalami hipoksia. Meskipun demikian, sayangnya, keadaan bayi klinis saat itu dan
prognosis jangka panjang. Pada satu penelitian terbaru, tidak ada bayi dengan pH> 7,00
mengalami komplikasi asfiksia. Dari 23 bayi dengan pH> 7,00 hanya dua yang mengalami
komplikasi asfiksia dan keduanya dapat di kenali secara klinis karena skor Apgarnya terus-
menerus rendah (Winkler etal,. 1991).
6. Komplikasi
Adapun komplikasi yang muncul pada asfiksia neonatus antara lain :
1).Edema otak dan Perdarahan otak
2)Anuria atau Oliguria
3).Kejang
4).koma (Respatiningrum, dkk. 2013).
7. Penatalaksanaan
1.Pemantauan gas darah, denyut nadi, fungsi system jantung, dan paru dengan melakukan
resusitasi, memberikan oksigen yang cukup, serta memantau perfusi jaringan tiap 2-4 jam.
2.Mempertahankan jalan nafas agar tetap baik, sehingga proses oksigenasi cukup agar
sirkulasi darah tetap baik.
Cara mengatasinya adalah sebagai berikut:
1).Bayi dibungkus dengan kain hangat
2).Bersihkan jalan nafas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian mulut
3).Bersihkan badan dan tali pusat
4).Lakukan observasi tanda vital, pantau APGAR skor, dan masukkan ke dalam incubator

Anda mungkin juga menyukai