FRAKTUR
DI RUANG 19
DEPARTEMEN SURGICAL
Oleh:
ANGGA DWI SAPUTRA
NIM: 135070200111005
1. Definisi Fraktur
Fraktur adalah patah tulang yaitu suatu kondisi dimana terjadi kerusakan atau
diskontinuitas tulang baik pada tulang atau pun tulang rawan yang biasanya juga
mengenai jaringan disekitarnya (Corwin, Elizabeth J, 2009).
Fraktur adalah diskontinuitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan luasnya
(Brunner & Suddarth,2002)
Fraktur adalah kerusakan pada kontinuitas tulang, dimana tulang yang paling
sering terkena adalah klavikula, humerus, radius dan ulna, femur (sering dikaitkan
penganiayaan anak), lempeng epifisis (potensial untuk deformitas pertumbuhan).
(Mary E, 2001)
Tulang merupakan satu-satunya materi dalam tubuh yang mampu melakukan
regenerasi sehingga menjadi baru ( jika terjadi luka pada kulit, kulit akan sembuh
dengan membawa bekas dan tidak sepenuhnya baru, karena pada bekas cedera
kadang tidak dapat muncul rambut,lipatan atau keringat). Namun tulang
sebaliknya, tulang mampu menyembuhkan dirinya sendiri, dan tulang baru yang
tumbuh, pada akhirnya akan menjadi sekuat tulang aslinya (Mehmet, C, 2010).
Fraktur adalah setiap retak atau patah pada tulang yang utuh ( Reavers dan
Lockhart, 2001).
Fraktur femur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang terbesar dan terkuat
pada tubuh (Brooker, 2001).
Kecenderungan tulang untuk mengalami fraktur bergantung pada kekuatan dan
beratnya trauma (Michael. J, 2008).
2. Etiologi Fraktur
Etiologi Fraktur menurut Oswari, E,1993 meliputi :
a. kekerasan langsung
kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik terjadinya
kekerasan. Misalnya pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang patah
secara spontan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis
patah melintang atau miring.
b. kekerasan tidak langsung
kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang ditempat yang jauh dari
tempat terjadinya kekerasan. Misalnya jatuh dengan tangan berjulur dan
menyebabkan fraktur klavikula. Yang patah biasanya adalah bagian yang paling
lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.
c. kekerasan akibat tarikan otot.
Kekerasan tarikan otot dapat menyebabkan dislokasi dan patah tulang. Patah
tulang akibat tarikan otot biasanya jarang terjadi. Contohnya patah tulang
akibat tarikan otot adalah patah tulang patella dan olekranom, karena otot
triseps dan biseps mendadak berkontraksi
d. patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang terjadi. Kekuatan dapat berupa
pemuntiran, penekukan, penekanan, kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.
Etiologi Fraktur (Brunner & Suddarth, 2002) :
a. Fraktur patologik
Fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal karena lemahnya suatu tulang
akibat penyakit infeksi, penyakit metabolisme tulang misalnya osteoporosis,
dan tumor pada tulang. Sedikit saja tekanan pada daerah tulang yang rapuh
maka akan terjadi fraktur. Fraktur karena infeksi seperti Osteomyelitis Rakhitis ,
suatu penyakit tulang yang disebabkan karena defisiensi vitamin D, Rakhitis
bisa disebabkan defisiensi diet, kegagalan arbsorbsi vitamin D, asupan kalsium
atau fosfat rendah
Etiologi Fraktur (Corwin, Elizabeth J, 2009) :
a. Fraktur terjadi ketika tekanan yang menimpa tulang lebih besar dari pada daya
tahan tulang akibat trauma.
b. Fraktur stress atau fatigue, fraktur yang fatigue biasanya sebagai akibat dari
penggunaan tulang secara berlebihan yang berulang – ulang,karena kekuatan
otot meningkat lebih cpat daripada kekuatan tulang. Biasanya menyertai
peningkatan yang yang cepat tingkat latihan atlet,atau permulaan aktivitas fisik
yang baru. mengangkat beben selama 30 menit/minggu sudah cukup untuk
membantu menjaga dan membangun kepadatan tulang. Sebaiknya latihan
tersebut dilakukan dalam tiga sesi sepuluh menit. Dengan seperti itu, tubuh
bisa dapat mendapatkan manfaatnya selama maksimum. Beberapa latihan
untuk membangun tulang, tidak harus melibatkan beban dari luar, namun
dapat menggunakan berat badan sendiri (Mehmet, C, 2010)
3. Klasifikasi Fraktur
Menurut Corwin, Elizabeth J, 2009 fraktur dapat di klasifikasikan menjadi :
a. Fraktur Komplet
Fraktur yang menegenai tulang secara keseluruhan,tulang bergeser dari posisi
normal atau garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui kedua
korteks tulang.
b. Fraktur Inkomplet
Fraktur yang menegnai tulang secara parsial atau bila garis patah tidak melalui
seluruh garis penampang tulang.
c. Fraktur tertutup (simple)
Fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit. Berdasarkan jumlah garis
fraktur Simple terdapat satu garis fraktur. Berdasarkan luas garis fraktur hair Line
Fraktur, garis fraktur tidak tampak.
d. Fraktur terbuka (compound)
Fraktur yang menyebabkan robeknya kulit
Fraktur tertutup dan terbuka dapat bersifat komplet atau inkomplet.
Sedangkan menurut Brunner & Suddarth tahun 2002,klasifikasi fraktur meliputi :
a. Fraktur Komplet
b. Fraktur Inkomplet
c. Fraktur tertutup (simple)
d. Fraktur terbuka (compound) Fraktur terbuka di gradasi menjadi :
- Grade 1 : luka bersih <1cm panjangngnya
- Grade 2 : Luka bersih tanpa kerusakan jaringan lunaka yang ekstensif
- Grade 3 : luka sanagat terkontaminasi mengalami kerusakan jaringan lunaka
yang ekstensif
e. Jenis Khusus Fraktur
- Greenstick fraktur dimana salah satu sisi tulang patah dana sisi tulang
lainnya membengkok
- Transversal Fraktur sepanjang garis tengah tulang
- Oblik fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak
stabil dibanding transversal)
- Spiral fraktur memuntir seputar batang tulang
- Kominutif fraktur dengan tulang ecah menjadi beberapa fragmen
- Depresi fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering
terjadi ada tulang tengkorak dan tulang wajah)
- Kompresi fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakang)
- Patologik fraktur yang terjadi pada daerah tulang yang berpenyakit (kista
tulang, penyakit paget,metastasis tulang, tumor)
- Avulsi tertariknya fragmen tulangoleh ligamen atau tendo
adaperlekatannya
- Epiviseal fraktur melalui epifisis
- Impaksi fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fagmen tulang
lainnya.
Ada 150 jenis fraktur tapi hanya lima yang utama yaitu (Engram Barabara, 2008) :
a. Fraktur Komplet
b. Fraktur Inkomplet
c. Fraktur tertutup (simple)
d. Fraktur terbuka (compound)
e. Fraktur Patologis
Klasifikasi (Mansjoer, Arif, et al, 2000) :
a. Berdasarkan tempat Fraktur humerus, tibia, clavicula, dan cruris dst.
b. Berdasarkan bentuk dan jumlah garis patah :
- Fraktur kominit garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
- Fraktur segmental (garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
- Fraktur Multipel garis patah lebih dari satu tapi pada tulang yang
berlainan tempatnya, misalnya fraktur humerus, fraktur femur dan
sebagainya.
c. Berdasarkan posisi fragmen :
- Undisplaced (tidak bergeser)/garis patah komplit tetapi kedua fragmen tidak
bergeser.
- Displaced (bergeser) / terjadi pergeseran fragmen fraktur
d. Berdasarkan kedudukan tulangnya :
- Tidak adanya dislokasi.
- Adanya dislokasi
e. Berdasarkan mekanisme terjadinya fraktur :
- Tipe Ekstensi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi hiperekstensi, lengan
bawah dalam posisi supinasi.
- Tipe Fleksi: Trauma terjadi ketika siku dalam posisi fleksi, sedang lengan
dalam posisi pronasi.
Klasifikasi berdasarkan adanya dislokasi atau pergeseran atau displaced (PPNI
Klaten, 2009)
a. At axim : Membentuk sudut
b. At lotus : Fragmen tulang berjauhan
c. At longitudinal : Berjauhan memanjang
d. At lotus cum contractiosnum : Berjauhan dan memendek.
Fraktur yang paling banyak terjadi pada anak (Muscari, M. 2005) :
a. Bend fraktur dikarakteristikkan dengan membengkoknya tulang pada titik yang
patah dan tidak dapat diluruskan tanpa dilakukan suatu intervensi.
b. Buckle fraktur terjadi akibat kegagalan kompresi pada tulang ditandai dengan
tulang yang menerobos dirinya sendiri
Berikut gambar dari fraktur tulang :
5. Faktor Resiko
Menurut penyebabnya (Suratun, dkk.2008) :
a. Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.
b. Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan,
dan kepadatan atau kekerasan tulang.
Faktor resiko secara umum (Suratun, dkk.2008) :
a. Usia
Semakin tinggi usia penderita maka semakin rendah pula ketahanan/imunitas
tubuhnya. Hal ini menyebabkan resiko terjadinya fraktur pun semakin meningkat
dan juga berpengaruh terhadap lamanya penyembuhan karena regenerasi sel
dan jaringan pada usia senja membutuhkan waktu yang lama. Untuk laki-laki
usia di atas 45 tahun lebih berisiko terkena fraktur.
b. Lingkungan kerja
Orang yang pekerjaannya berat seperti kuli panggul cenderung berisiko terkena
fraktur karena aktivitas yang terlalu sering melibatkan otot dan rangka yang
berpotensi cedera berat. Lingkungan kerja. Orang yang pekerjaannya berat
seperti kuli panggul cenderung beresiko terkena fraktur karena aktivitas yang
terlalu sering melibatkan otot dan rangka yang berpotensi untuk cedera berat.
c. Kurangnya asupan kalsium yang diserap tubuh
Kurangnya asupan kalsium yang diserap tubuh dapat menjadi faktor risiko yang
menyebabkan terjadinya fraktur, karena kurangnya asupan kalsium dapat
memicu terjadinya berbagai penyakit tulang (contoh: osteoporosis) yang dapat
mengakibatkan tulang bersifat rapuh dan mudah mengalami fraktur
d. Riwayat penyakit
Penyakit yang dialami dapat memperburuk kondisi frakturnya. Misalnya pada
penderita DM kronis karena luka ulcerdan gangren yang dialami di bagian yang
terkena fraktur.
e. Gaya hidup
Orang yang merokok dan konsumsi alkohol lebih beresiko terkena fraktur
f. Massa tulang
g. Osteoporosis
Cenderung terkena pada wanita usia lanjut (karena menopause)
h. Aktivitas Olahraga
Aktivitas yang berat dengan gerakan yang cepat pula dapat menjadi risiko
penyebab cedera pada otot dan tulang. Daya tekan pada saat berolah raga
seperti hentakan, loncatan atau benturan dapat menyebabkan cedera dan jika
hentakan atau benturan yang timbul cukup besar maka dapat mengarah pada
fraktur. Setiap tulang yang mendapat tekanan terus menerus di luar
kapasitasnya dapat mengalami keretakan tulang. Kebanyakan terjadi pada kaki,
misalnya pada pemain sepak bola yang sering mengalami benturan kaki antar
pemain. Kelemahan struktur tulang juga sering terjadi pada atlet ski, jogging,
pelari, pendaki gunung ataupun olahraga lain yang dilakukan dengan kecepatan
yang berisiko terjadinya benturan yang dapat menyebabkan patah tulang
(Corwin, Elizabeth J, 2009).
Manifestasi Klinis . (Michael J, 2008) :
a. Kekurangan vitamin C, karena Vit C diperlukan untuk sintesis dan maturasi
kolagen tipe I yang merupakan protein struktural utama dalam matriks tulang.
b. Kebiasaan minum kopi, Karena terdapat kandungan kafein yang akan
meningkatkan ekskresi kalsium ke dalam urin.
c. Kebiasaan merokok dapat mengurangi densitas tulang.Konsumsi alkohol,
berhubungan dengan peningkatan resiko terjatuh.
Faktor resiko osteoporosis yang jika dibiarkan akan menyebabkan fraktue tulang
yaitu (Tandra, H. 2009) :
a. Nutisi
b. Gaya hidup yang salah
c. Obat-obatan
d. Merokok
e. Dan faktor lain.
Selama beberapa tahun ini faktor resiko fraktur ditentukan dengan menggunakan
BMD(bone mass dencity) yaitu tingkat kekuatan dan kepadatan tulang. Berbagai
faktor lain yang yaitu (Pranoto,A. 2010) :
a. Umur
b. Jenis kelamin
c. Riwayat keluarga
Berhubungan dengan gen pembentuk tulang (Mehmet, C. 2010).
d. Gaya hidup.
6. Patofisiolologi Fraktur
(Dilampirkan)
9. Komplikasi Fraktur
Komplikasi yang dapat terjadi akibat fraktur (Suratun, dkk. 2008) :
a. Komplikasi awal
- Syok : dapat berakibat fatal dalam beberapa jam setelah edema
- Emboli lemak : dapat terjadi 24-27 jam
- Sindrom kompartemen : perfusi jaringan otot kurang dari kebutuhan
- Infeksi dan tromboemboli
b. Komplikasi lanjutan
- Mal-union/non-union
- Necrosis avaskular tulang
- Reaksi terhadap alat fiksasi intera
Komplikasi dibagi menjadi 3 yaitu (Brooker, C, 2008) :
a. Komplikasi cepat (saat cedera):
- Pendarahan
- Kerusakan arteri dan saraf
- Kerusakan jaringan sekitar
b. Komplikasi awal (beberapa jam-hari):
- Infeksi
- Emboli lemak
- Sindrom kompartemen
c. Komplikasi lambat
- Delay union (penyatuan tulang terlambat): saat fraktur tidak menyatu pada
waktu yang telah diperkirakan.
- Mal union (penyatuan yang salah) : saat fraktur sudah menyatu sepenuhnya
tetapi pada posisi yang salah, dan pembedahan mungkin dilakukan
tergantung pada disabiliti dan hasil potensial
- Non union(tidak ada penyatuan): dapat terbentuk sendi palsu
- Deformitas
- Necrosis avaskular: kematian jaringan tulang akibat tidak adekuatnya
vaskularisasi bagian tersebut
PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga
dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses
keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
1. Pengumpulan Data
a. Anamnesa
1) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status
perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS,
diagnosa medis.
2) Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa
akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang
lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:
a) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi
nyeri.
b) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah
seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.
c) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau
menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa
berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit
mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah buruk pada malam
hari atau siang hari.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya
membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi
terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan
bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme terjadinya
kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
4) Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk
berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti
kanker tulang dan penyakit paget’s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit
untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko
terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses
penyembuhan tulang
5) Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu
faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi
pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
6) Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-
harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat
7) Pola-Pola Fungsi Kesehatan
a) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan
harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya.
Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat
steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang
bisa mengganggu keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
b) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti
kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan
tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat
terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor
predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
c) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun
begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi
alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan
jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak. Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat
mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan
pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur.
d) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi
berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu
dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada beberapa bentuk
pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain
e) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus
menjalani rawat inap
f) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat
frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal,
dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image)
g) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang
pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur
h) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena
harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.
Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya
i) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul
kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa
tidak efektif.
j) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama
frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak
klien
b. Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk
dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya
memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.
1) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
a) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:
(1) Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, komposmentis tergantung pada
keadaan klien.
(2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur
biasanya akut.
(3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.
b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(1) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.
(2) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri
kepala.
(3) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.
(4) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak
ada lesi, simetris, tak oedema.
(5) Mata
Terdapat gangguan seperti konjungtiva anemis (jika terjadi perdarahan)
(6)Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.
(7) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(8) Mulut dan Faring
Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.
(9) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(10) Paru
(a) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang
berhubungan dengan paru.
(b) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(c) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya.
(d) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan
ronchi.
(11) Jantung
(a) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(b) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(c) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(12) Abdomen
(a) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
(b) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(c) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(d) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(13) Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB.
2) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status
neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse,
Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:
a) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(1) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).
(2) Cape au lait spot (birth mark).
(3) Fistulae.
(4) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(5) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).
(6) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(7) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
b) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi
netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan
informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(1) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill
time Normal > 3 detik
(2) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar
persendian.
(3) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau
distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan
atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada
benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya,
pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
c) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan
ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan
lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0
(posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada
gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan
pasif.
2. Pemeriksaan Diagnostik
a. Pemeriksaan Radiologi
Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan”
menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan
dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan
lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi
untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari
bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang
dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:
1) Bayangan jaringan lunak.
2) Tipis tebalnya korteks sebagai akibat reaksi periosteum atau biomekanik atau juga
rotasi.
3) Trobukulasi ada tidaknya rare fraction.
4) Sela sendi serta bentuknya arsitektur sendi.
Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:
1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang
sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana
tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya.
2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan pembuluh darah di ruang
tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.
3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.
4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari
tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.
b. Pemeriksaan Laboratorium
1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan
osteoblastik dalam membentuk tulang.
3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino
Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.
c. Pemeriksaan lain-lain
1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme
penyebab infeksi.
2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas
tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi.
3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang diakibatkan fraktur.
4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang
berlebihan.
5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.
6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur.
Brunner & Suddarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. EGC. Jakarta
Elizabeth J, Corwin. 2008. Buku saku patofisiologi. Jakarta : EGC
Muscari, Mary E. 2001. Panduan Belajar keperawatan Pediatrik Ed:3. Jakarta: EGC
Gibney Michael, dkk. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta: EGC
Suratun, dkk.2008. Klien Dengan Gangguan Sistem Muskuloskeletal : Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta : EGC
Michael. J. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Jakarta : EGC
Mehmet, C. 2010. Sehat tanpa dokter. Bandung : Qanita
Oswari, E.1993. Bedah dan Perawatannya. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Engram Barabara. 2008. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :EGC
Pavey Patrick. 2003. At a Glance Medicine. Jakarta : EGC
Tandra, H. 2009. Mengenal, Mengatasi, dan Mencegah Tulang Keropos. Jakarta: Gramedia.
Niluh, A. 2003. Keperawatan medikal bedah: klien dengangangguan sistem pernapasan.
Jakarta: EGC
Brooker, C. 2008. Ensiklopedia Keperawatan. Jakarta: EGC
Marta D.A. 2011. Asuhan Keperawatan Fraktur.
http://www.scribd.com/doc/86545197/makalah-askep-fraktur (Diakses pada tanggal 12
Desember 2015)
PPNI Klaten. 2009. Fraktur. http://ppniklaten.com/index.php?
option=com_content&view=article&id (Diakses pada tanggal 12 Desember 2015).
Pranoto,A. 2010. FRAX Fracture Risk Assessement Tools.
http://penelitian.unair.ac.id/artikel_dosen_FRAX%20%28Fracture%20Risk
%20Assessmnt%20Tools%29_3415_2099. Diakses tanggal 12 Desember 2015)