Anda di halaman 1dari 39

LAPORAN INDIVIDU

LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR


Disusun untuk Memenuhi Tugas Laporan Individu Profesi Ners Departemen Surgikal
di Ruang OK RS Panti Nirmala

OLEH :
MEGA CAHYA VIDYANINGRUM
150070300011115
KELOMPOK 3
REGULER 2

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
FRAKTUR dan Tindakan ORIF

Oleh :
Mega Cahya Vidyaningrum
NIM. 150070300011115

Telah diperiksa dan disetujui pada :


Hari

Tanggal

Pembimbing Akademik

Pembimbing Lahan

1. Definisi
Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang yang ditentukan sesuai jenis dan
luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat
diabsorbsinya (Smelzter & Bare, 2002).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, kebanyakan fraktur akibat dari
trauma, beberapa fraktur sekunder terhadap proses penyakit seperti osteoporosis, yang
menyebabkan fraktur yang patologis (Mansjoer, 2001).
Menurut Lukaman dan Ningsih (2009), fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang, retak atau patahnya tulang yang utuh, yang biasanya disebabkan oleh trauma,
rudapaksa atau tenaga fisik yang ditentukan jenis dan luasnya trauma.

2. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem (smeltzer, 2002). Umumnya fraktur
disebabkan oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur
cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah 45 tahun
dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang disebabkan oleh
kecelakaan kendaraan bermotor, sedangkan pada orang tua, perempuan lebih sering
mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan meningkatnya insiden
osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon pada menopause (reeves, 2001).
Faktor-faktor yang mempengaruhi fraktur :

1)

Faktor Ekstrinsik
Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap
besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

2)

Faktor Intrinsik
Beberapa sifat yang terpenting dari tulang yang menentukan daya tahan untuk
timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbsi dari tekanan, elastisitas, kelelahan, dan
kepadatan atau kekerasan tulang.

3. Klasifikasi
Menurut smeltzer (2002), jenis jenis fraktur :

a.Fraktur komplet adalah patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya
mengalami pergeseran (bergeser dari posisi normal).
b.Fraktur tidak komplet adalah patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah
tulang.

a.

Fraktur tertutup (fraktur simpel) tidak menyebabkan robeknya kulit.


Pada fraktur tertutup ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan

lunak sekitar trauma, yaitu:


1) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera jaringan lunak
2)

sekitarnya.
Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan jaringan

3)

subkutan.
Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan lunak bagian dalam

4)

dan pembengkakan.
Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan
ancaman sindroma kompartement.

b.

Fraktur terbuka (fraktur komplikata/kompleks) merupakan fraktur dengan luka


pada kulit atau membrana mukosa sampai ke patahan tulang. Gustilo Anderson
membagi menjadi :

Grade I
Patah tulang terbuka dengan luka < 1 cm, relatif bersih, kerusakan
jaringan lunak minimal, bentuk patahan simpel/transversal/oblik.

Grade II
Patah tulang terbuka dengan luka > 1 cm, kerusakan jaringan lunak
tidak luas, bentuk patahan simpel.

Grade III
Patah tulang terbuka dengan luka > 10 cm, kerusakan jaringan lunak
yang luas, kotor dan disertai kerusakan pembuluh darah dan saraf.

III A

Patah

tulang

terbuka

dengan

kerusakan

jaringan luas,

tapi

masih bisa menutupi patahan tulang waktu dilakukan perbaikan.

III B
Patah tulang terbuka dengan kerusakan jaringan lunak hebat dan atau
hilang (soft tissue loss) sehingga tampak tulang (bone-exposs)

III C
Patah tulang terbuka dengan kerusakan pembuluh darah dan atau
saraf yang hebat

Menurut smeltzer (2002), terdapat berbagai jenis khusus fraktur berdasarkan


pergeseran antomis fragmen tulang (fraktur bergeser/tidak bergeser):
a. Greenstick adalah fraktur dimana salah satu sisi tulang patah sedangkan sisi
lainnya membengkok
b. Kominutif adalah fraktur dengan tulang pecah menjadi beberapa fragmen
c. Impaksi adalah fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya.

d. Transversal adalah fraktur sepanjang garis tengah tulang


e. Oblik adalah fraktur membentuk sudut dengan garis tengah tulang (lebih tidak
f.

stabil dibanding transversal)


Spiral adalah fraktur memuntir seputar batang tulang

g. Depresi adalah fraktur dengan fragmen patahan terdorong kedalam (sering


terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah)

h. Kompresi adalah fraktur dimana tulang mengalami kompresi (terjadi pada tulang
belakang)

i.

Patologik adalah fraktur yang terjadi pada daerah tulang berpenyakit (kista
tulang, penyakit paget, metastasis tulang, tumor)

j.

Avulsi adalah tertariknya fragmen tulang oleh ligamen atau tendon pada

perlekatannya.
k. Impaksi adalah fraktur dimana fragmen tulang terdorong ke fragmen tulang
lainnya.

l.

Epifiseal adalah fraktur melalui epifisis

4. Manifestasi klinis
Lewis (2006) menyampaikan manifestasi klinik fraktur adalah sebagai berikut:
a. Nyeri
Nyeri dirasakan langsung setelah terjadi trauma.Hal ini dikarenakan adanya spasme
otot, tekanan dari patahan tulang atau kerusakan jaringan sekitarnya.
b. Bengkak / edema.
Edema muncul lebih cepat dikarenakan cairan serosa (protein plasma) yang
terlokalisir pada daerah fraktur dan extravasi daerah di jaringan sekitarnya.
c. Memar / ekimosis

Merupakan perubahan warna kulit sebagai akibat dari extravasi daerah di jaringan
sekitarnya.
d. Spasme otot
Merupakan kontraksi otot involunter yang terjadi disekitar fraktur.
e. Penurunan sensasi
Terjadi karena kerusakan syaraf, tertekannya syaraf karena edema.
f.

Fungsiolesa
Terjadi karena ketidakstabilan tulang yang fraktur, nyeri atau spasme otot, paralysis
dapat terjadi karena kerusakan syaraf.

g. Mobilitas abnormal
Adalah pergerakan yang terjadi pada bagian-bagian yang pada kondisi normalnya
tidak terjadi pergerakan.Ini terjadi pada fraktur tulang panjang.
h. Krepitasi
Merupakan rasa gemeretak yang terjadi jika bagian-bagaian tulang digerakkan.
i.

Deformitas
Abnormalnya posisi dari tulang sebagai hasil dari kecelakaan atau trauma dan
pergerakan otot yang mendorong fragmen tulang ke posisi abnormal, akan
menyebabkan tulang kehilangan bentuk normalnya.

j.

Gambaran X-ray menentukan fraktur


Gambaran ini akan menentukan lokasi dan tipe fraktur

5. Patofisiologi
(Terlampir)
6. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien fraktur diantaranya berupa
pemeriksaan radiologi dan laboratorium.
a. Pemeriksaan radiologi
1. Sinar X
Dengan pemeriksaan klinik

kita

sudah

dapat

mencurigai

adanya

fraktur.Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan


keadaan, lokasi serta eksistensi fraktur.Untuk menghindari nyeri serta kerusakan

jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang


bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan
radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:

Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.

Untuk konfirmasi adanya fraktur.

Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta


pergerakannya.

Untuk mengetahui teknik pengobatan.

Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.

Untuk menentukan apakah fraktur intra-artikuler atau ekstra-artikuler.

Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.

Untuk melihat adanya benda asing.

Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan Rules of Two:

Dua pandangan
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal
dan sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang (AP &
Lateral/Oblique).

Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur
atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang
lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan
di bawah fraktur keduanya harus disertakan dalam foto sinar-X.

Dua tungkai
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur.
Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat.

Pencitraan Khusus : Umumnya dengan foto polos kita dapat mendiagnosis


fraktur, tetapi perlu dinyatakan apakah fraktur terbuka atau tertutup, tulang mana
yang terkena dan lokalisasinya, apakah sendi juga mengalami fraktur serta
bentuk fraktur itu sendiri. Konfigurasi fraktur dapat menentukan prognosis serta
waktu

penyembuhan

fraktur, misalnya

penyembuhan

fraktur

transversal

lebihlambat dari fraktur oblik karena kontak yang kurang. Kadang-kadang fraktur
atau keseluruhan fraktur tidak nyata pada sinar-X biasa.Tomografi mungkin
berguna untuk lesi spinal atau fraktur kondilus tibia. CT atau MRI mungkin
merupakan satu-satunya cara yang dapat membantu, sesungguhnya potret
transeksional sangat penting untuk visualisasi fraktur secara tepat pada tempat
yang sukar. Radioisotop scanning berguna untuk mendiagnosis fraktur-tekanan
yang dicurigai atau fraktur tak bergeser yang lain
2. Computed fotografhy (CT scan)
Mengidentifikasi lokasi dan panjang patah tulang yang sulit dievaluasi (misal
asetabulum)

dan

bertujuan

untuk

memperlihatkan

tingkat

keperahan

fraktur.Hasil CT Scan lebih jelas jika kerusakan banyak terjadi pada jaringan.
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Merupakan teknik pencitraan khusus, non invasif yang menggunakan medan
magnet, gel radio dan komputer untuk memperlihatkan abnormalitas jaringan
lunak sepertio otot, tendon, dan tulang rawan. Hasil pemeriksaan MRI akan
terlihat lebih bagus jika ingin melihat keparahan dari kerusakan yang terjadi
pada tulangnya dibandngkan dengan jaringannya.
4. Angiografi
Pemeriksaan struktur vaskuler, arteriografi adalah pemeriksaan sistem arteri
untuk mengkaji perfusi arteri dan bisa digunakan untuk tingkat amputasi yang
akan dilakukan, pasien dibiarkan berbaring selama 12 24 jam untuk
mencegah perdarahan tempat penusukan arteri.
b. Pemeriksaan laboratorium
1. Pemeriksaan darah lengkap meliputi HB, leukosit, pembekuan darah dan Ht
serta jumlah SDP. Peningkatan SDP adalah proses stress normal setelah
trauma.
2. Kreatinin, trauma otot merupakan beban kreatinin dan output ginjal yang
banyak dilepaskan jika terjadi kerusakan muskulo dan klirens ginjal.
3. Kadar enzim serum kreatinin kinase (ck) dan SGOT akan meningkat pada
kerusakan otot

4. Kadar kalsium urine biasanya meningkat pada destruksi tulang


5. Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi
multipel atau cidera hati.

7. Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan fraktur dibagi menjadi beberapa bagian, antara lain :
a. Penatalaksanaan Kadaruratan
1. Segera setelah cedera, pasien berada dalam keadaan, bingung, tidak menyadari
adanya fraktur, dan berusaha berjalan dengan tungkai yang patah. Maka bila
dicurigai adanya fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh segera
sebelum pasien dipindahkan.
2. Bila pasien yang mengalami cedera harus dipindahkan dari kendaraan sebelum
dapat dilakukan pembidaian, ekstremitas harus disangga di atas dan di bawah
tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi maupun angulasi.
3. Gerakan fragmen patahan tulang dapat menyebabkan nyeri, kerusakan jaringan
lunak, dan perdarahan lebih lanjut.
4. Nyeri sehubungan dengan fraktur sangat berat dan dapat dikurangi dengan
menghindari gerakan fragmen tulang dan sendi sekitar fraktur. Pembidaian yang
memadai sangat penting untuk mencegah kerusakan jaringan lunak oleh
fragmen tulang.
5. Daerah yang cedera diimobilisasi dengan memasang bidai sementara dengan
bantalan yang memadai, yang kemudian dibebat dengan kencang.
6. Imobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan dengan
membebat kedua tungkat bersama, dengan ekstremitas yang sehat bertindak
sebagai bidai bagi ekstremitas yang cedera. Pada cedera ekstremitas atau
lengan dapat dibebatkan ke dada, atau lengan bawah yang cedera digantung
pada sling.
7. Peredaran didistal cedera harus dikaji untuk menentukan kecukupan perfusi
jaringan perifer.
8. Pada fraktur terbuka, luka ditutup dengah pembalut bersih (steril) untuk
mencegah kontaminasi jaringan yang lebih dalam. Jangan sekali-kali melakukan
reduksi fraktur, bahkan ada fragmen tulang yang keluar melalui luka. Pasanglah

bidai sesuai yang diterangkan di atas.


9. Pada bagian gawat darurat, pasien dievaluasi dengan lengkap. Pakaian
dilepaskan dengan lembut, pertama pada bagian tubuh sehat dankemudian dari
sisi cedera. Pakaian pasien mungkin harusdipotong pada sisi cedera.
Ekstremitas sebisa mungkin jangan sampai digerakkan untuk mencegah
kerusakan lebih lanjut.
b. Perawatan Pasien dengan Fraktur Terbuka atau Fraktur Tertutup
Perawatan pada pasien fraktur meliputi prinsip 4R, yaitu rekognisi, reduksi, retensi,
dan rehabilitasi.
1. Rekognisis/Pengenalan
Riwayat kejadian harus jelas untuk mentukan diagnosa dan tindakan
selanjutnya.
2. Reduksi/Manipulasi/Reposisi
Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti semula
secara optimun.Dapat juga diartikan Reduksi fraktur (setting tulang) adalah
mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasfanatomis
(Smeltzer dan Bare, 2002).Reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka dapat
dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat
fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap, sama. Biasanya dokter
melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak
kehilaugan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan.
Pada kebanyakan kasus, roduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera
sudah mulai mengalami penyembuhan.Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur,
pasien harus dipersiapkan untuk menjalani prosedur; harus diperoleh izin untuk
melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu
dilakukan anastesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan
lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup
Pada kebanyakan kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan
fragmen tulang keposisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan
manipulasi dan traksi manual. Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang
diinginkan, sementara gips, bidai dan alat lain dipasang oleh dokter. Alat
immobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk
penyembuhan tulang. Sinar-x harus dilakukan untuk mengetahui apakah
fragmen tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Macam Gips
1. Gips lengan pendek. Gips ini dipasang memanjang dari bawah siku
sampai lipatan telapak tanga, dan melingkar erat didasar ibu jari

2.

Gips lengan panjang. Gips ini dipasang memanjang. Dari setinggi lipat
ketiak sampai disebelah prosimal lipatan telapak tangan. Siku biasanya

di imobilisasi dalam posisi tegak lurus.


3. Gips tungkai pendek. Gips ini dipasang memanjang dibawah lutut
sampai dasar jari kaki, kaki dalam sudut tegak lurus pada posisi netral,
4. Gips tungkai panjang, gips ini memanjang dari perbatasan sepertiga
atas dan tengah paha sampai dasar jari kaki, lutut harus sedikit fleksi.
5. Gips berjalan. Gips tungkai panjang atau pendek yang dibuat lebih kuat
dan dapat disertai telapak untuk berjalan
6. Gips tubuh. Gips ini melingkar di batang tubuh
7. Gips spika.gipsini melibatkan sebagian batang tubuh dan satu atau dua
ekstremitas (gips spika tunggal atau ganda)
8. Gips spika bahu. Jaket tubuh yang melingkari batang tubuh, bahu dan
siku
9. Gips spika pinggul. Gips ini melingkari batang tubuh dan satu
ekstremitas bawah (gips spika tunggal atau ganda)
Macam bahan gips
1. Plester. Gips pembalut dapat mengikuti kontur tubuh secara halus .
gulungan krinolin diimregasi dengan serbuk kalsium sulfat anhidrus
( Kristal gypsum ). Jika basah terjadi reaksi kristalisasi dan
mengeluarkan panas. Kristalisasi menghasilkan pembalut yang kaku .
kekuatan penuh baru tercapai setelah kering , memerlukan waktu 24-72
jam untuk mongering. Gips yang kering bewarna mengkilap ,
berdenting, tidak berbau,dan kaku, sedangkan gips yang basah
berwarna abu-abu dan kusam, perkusinya pekak, terba lembab, dan
berbau lembab.
2. Nonplester. Secara umum berarti gips fiberglass, bahan poliuretan yang
di aktifasi air ini mempunyai sifat yang sama dengan gips dan
mempunyai kelebihan karna lebih ringan dan lebih kuat, tahan air dan
tidak mudah pecah.di buat dari bahan rajuutan terbuka, tidak menyerap,
diimpregnasi dengan bahan pengeras yang dapat mencapai kekuatan
kaku penuhnya hanya dalam beberapa menit.
3. Nonplester berpori-pori, sehingga masalah kulit dapat di hindari . gips
ini tidak menjadi lunak jika terkena air,sehingga memungkinkan hidro

terapi. Jika basah dapat dikeringkan dengan pengering rambut.


Traksi
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imoblisasi.
Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-x
digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang.

Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-x. Ketika
kalus telah kuat dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan

imobilisasi.
Reduksi Terbuka
Dengan tindakan bedah, fragmen tulang direduksi. Fiksasi interna dalam
bentuk pin, kawat, sekrup, plat, atau batangan logam mempertahankan
tulang dalam posisinya. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung
ke rongga sumsum tulang (Gbr. 64-3); alat tersebut menjaga aproksimasi

dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.


3. Retensi/Immobilisasi
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimun.
Imobilisasi fraktur.
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi, atau
dipertahankan dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau
interna. Metode fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi
kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat
digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur.
4. Rehabilitasi
Menghindari atropi dan kontraktur dengan fisioterapi.

Segala upaya

diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi
harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (mis. pengkajian
peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi
diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas
dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (mis. meyakinkan,
perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika).
Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
disuse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup
sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga-diri.
Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutika. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli
bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya
gerakan dan stres pada ekstrermitas yang diperbolehkan, dan menentukan
tingkat aktivitas dan beban berat badan.
c. Proses Penyembuhan Tulang

Tulang bisa beregenerasi sama seperti jaringan tubuh yang lain. Fraktur
merangsang tubuh untuk menyembuhkan tulang yang patah dengan jalan membentuk
tulang baru diantara ujung patahan tulang.Tulang baru dibentuk oleh aktivitas sel-sel
tulang. Ada lima stadium penyembuhan tulang, yaitu:
1. Stadium Satu-Pembentukan Hematoma
Pembuluh darah robek dan terbentuk hematoma disekitar daerah fraktur. Selsel darah membentuk fibrin guna melindungi tulang yang rusak dan sebagai
tempat tumbuhnya kapiler baru dan fibroblast. Stadium ini berlangsung 24 48
jam dan perdarahan berhenti sama sekali.
2. Stadium Dua-Proliferasi Seluler
Pada stadium ini terjadi proliferasi dan differensiasi sel menjadi fibro kartilago
yang berasal dari periosteum,`endosteum, dan bone marrow yang telah
mengalami trauma. Sel-sel yang mengalami proliferasi ini terus masuk ke dalam
lapisan yang lebih dalam dan disanalah osteoblast beregenerasi dan terjadi
proses osteogenesis. Dalam beberapa hari terbentuklah tulang baru yang
menggabungkan kedua fragmen tulang yang patah. Fase ini berlangsung selama
8 jam setelah fraktur sampai selesai, tergantung frakturnya.
3. Stadium Tiga-Pembentukan Kallus
Selsel yang berkembang memiliki potensi yang kondrogenik dan osteogenik,
bila diberikan keadaan yang tepat, sel itu akan mulai membentuk tulang dan juga
kartilago. Populasi sel ini dipengaruhi oleh kegiatan osteoblast dan osteoklast
mulai berfungsi dengan mengabsorbsi sel-sel tulang yang mati.Massa sel yang
tebal dengan tulang yang imatur dan kartilago, membentuk kallus atau bebat
pada permukaan endosteal dan periosteal. Sementara tulang yang imatur
(anyaman tulang ) menjadi lebih padat sehingga gerakan pada tempat fraktur
berkurang pada 4 minggu setelah fraktur menyatu.
4. Stadium Empat-Konsolidasi
Bila aktivitas osteoclast dan osteoblast berlanjut, anyaman tulang berubah
menjadi lamellar. Sistem ini sekarang cukup kaku dan memungkinkan osteoclast
menerobos melalui reruntuhan pada garis fraktur, dan tepat dibelakangnya
osteoclast mengisi celah-celah yang tersisa diantara fragmen dengan tulang
yang baru. Ini adalah proses yang lambat dan mungkin perlu beberapa bulan
sebelum tulang kuat untuk membawa beban yang normal.
5. Stadium Lima-Remodelling
Fraktur telah dijembatani oleh suatu manset tulang yang padat. Selama
beberapa bulan atau tahun, pengelasan kasar ini dibentuk ulang oleh proses
resorbsi dan pembentukan tulang yang terus-menerus. Lamellae yang lebih tebal
diletidakkan pada tempat yang tekanannya lebih tinggi, dinding yang tidak
dikehendaki dibuang, rongga sumsum dibentuk, dan akhirnya dibentuk struktur

yang

mirip

dengan

normalnya.

(Black,

J.M,

et

al,

1993

dan Apley,

A.Graham,1993)
Lamanya proses penyembuhan untuk tiap tulang berbeda, tergantung
dengan ketebalan dan besarnya tulang secara relative, serta macamnya tulang :
1.

Fraktur cruris

: 8 minggu

2.

Fraktur femur

: 10 minggu

3.

Ante brachii

: 4 minggu

4.

Brachii dan humerus

: 6 Minggu

8. Komplikasi
Komplikasi dalam waktu dekat
Shock Neurogenik
Pada fraktur sering terjadi nyeri yang sangat hebat terutama apabila
penanganan awal dilakukan dengan cara yang kurang benar (cara mengangkat,
pembidaian dan pengangkutan). Shock bisa juga terjadi sebagai kompensasi jika

terjadi perdarahan hebat.


Infeksi
Biasanya terjadi pada fraktur akibat trauma dan berupa fraktur terbuka.
Kerusakan jaringan lunak akan memudahkan timbulnya infeksi baik pada jaringan

lunak itu sendiri maupun sampai di jaringan tulang itu sendiri ( osteomyelitis ).
Nekrosis divaskuler
Jaringan nekrosis bila masuk ke pembuluh darah vaskuler akan menjadi
emboli (benda asing yang terangkut mengikuti aliran darah dari tempat asalnya dan
dapat tersangkut pada suatu tempat menyebabkan sumbatan aliran darah.) dan

dapat mengganggu system peredaran darah dibawahnya.


Cedera vaskuler dan saraf
Cedera vaskuler dan saraf pada kondisi fraktur dapat terjadi baik secara
langsung oleh trauma bersamaan dengan terjadinya fraktur, ataupun secara tidak

langsung karena tertusuk fragmen tulang atau tertekan edem disekitar fraktur.
Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
CRT menurun, cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting, perubahan posisi

pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.


Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi karena
terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam jaringan parut. Ini
disebabkan oleh edema atau perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh
darah. Selain itu karena tekanan dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu
kuat.
Tanda kompartemen sindrome disebut 7P

Pain
Paresthesi
Pallor
Puffines
Pulselessness
Paralisis
Poikilotermis

: Nyeri
: Rasa kesemutan
: Pucat
: Kulit yang tegang
: Hilangnya pulsasi nadi
: Hilangnya respon sensori
: Teraba dingin

Fat Embolism Syndrom


Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering terjadi
pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel lemak yang
dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan menyebabkan tingkat
oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan,
tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam.

Komplikasi dalam waktu lama

Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi (patah tulang
tidak nyambung kembali) sesuai dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk

menyambung. Ini disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.


Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan memproduksi
sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9 bulan. Nonunion ditandai
dengan adanya pergerakan yang berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi

palsu atau pseudoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang namun posisi anatominya tidak
tepat/ tidak normal, misalnya tulangnya sembuh tapi bengkok. Malunion dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain interposisi jaringan lunak, fraktur
communited, fraktur tulang dengan vaskulerisasi kurang baik, reposisi kurang baik,

immobilisasi yang salah dan infeksi.


Luka akibat tekanan
Luka ini biasanya timbul pada fase immobilisasi (suatu keadaan tidak dapat
bergerak ) karena pasien tidur dengan posisi menetap dalam jangka waktu yang

lama.
Kaku sendi
Hal ini terjadi apabila sendi sendi disekitar fraktur tidak/ kurang digerakkan
sehingga terjadi perubahan synovial sendi, penyusutan kapsul, inextensibility otot,
pengendapan callus dipermukaan sendi dan timbulnya jaringan fibrous pada
ligament.

d. Penatalaksanaan Keperawatan
Di dalam memberikan asuhan keperawatan digunakan system atau metode proses
keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian,
diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan,
untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien
sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan
proses keperawatan sangat bergantuang pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:
2. Pengumpulan Data

1) Anamnesa
a) Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.
b)

Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya
serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa
nyeri klien digunakan:

(1)

Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang


menjadi faktor presipitasi nyeri.

(2)

Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau


digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.

(3)

Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah


rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

(4)

Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang


dirasakan klien, bisa berdasarkan

skala nyeri atau klien

menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan


fungsinya.

(5)

Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah


buruk pada malam hari atau siang hari.

c) Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
(Ignatavicius, Donna D, 1995).

d) Riwayat Penyakit Dahulu


Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit pagets
yang

menyebabkan

fraktur

patologis

yang

sering

sulit

untuk

menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat


beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes
menghambat proses penyembuhan tulang

e) Riwayat Penyakit Keluarga


Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
(Ignatavicius, Donna D, 1995).

f)

Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan
peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Donna D, 1995).

g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan


(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak. (Ignatavicius,
Donna D,1995).
(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi
kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C
dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi
terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab
masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi
yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
(3) Pola Eliminasi
Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola
eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi,
konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi.
Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya,

warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada
kesulitan atau tidak.
(4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak,
sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien.
Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur,
suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta
penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).
(5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua
bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu
banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah
bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada
beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur
dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Donna D, 1995).
(6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius,
Donna D, 1995).

(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri


Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan
kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan
untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap
dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Donna D,
1995).
(8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada
bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul
gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan.

Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur. (Ignatavicius, Donna
D, 1995).
(9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu
juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama
perkawinannya (Ignatavicius, Donna D, 1995).
10)

Pola Penanggulangan Stress


Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya,
yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

11)

Pola Tata Nilai dan Keyakinan


Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan
beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini
bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

2) Pemeriksaan Fisik
Dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk
mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini
perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan
dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi
lebih mendalam.
a) Gambaran Umum
Perlu menyebutkan:
(1) Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tandatanda, seperti:
(a) Kesadaran

penderita:

apatis,

sopor,

komposmentis tergantung pada keadaan klien.

koma,

gelisah,

(b) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat


dan pada kasus fraktur biasanya akut.
(c) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi
maupun bentuk.
(2) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin
(a) Sistem Integumen
Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat,
bengkak, oedema, nyeri tekan.
(b) Kepala
Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada
penonjolan, tidak ada nyeri kepala.
(c) Leher
Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek
menelan ada.
(d) Muka
Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.
(e) Mata
Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena
tidak terjadi perdarahan)
(f) Telinga
Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada
lesi atau nyeri tekan.
(g) Hidung
Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.
(h) Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan,


mukosa mulut tidak pucat.
(i) Thoraks
Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.
(j) Paru
(1) Inspeksi
Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung
pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.
(2) Palpasi
Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama.
(3) Perkusi
Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan
lainnya.
(4) Auskultasi
Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan
lainnya seperti stridor dan ronchi.
(k) Jantung
(1) Inspeksi
Tidak tampak iktus jantung.
(2) Palpasi
Nadi meningkat, iktus tidak teraba.
(3) Auskultasi
Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.
(l) Abdomen
(1) Inspeksi
Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.

(2) Palpasi
Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba.
(3) Perkusi
Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan.
(4) Auskultasi
Peristaltik usus normal 20 kali/menit.
(m)Inguinal-Genetalia-Anus
Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan
BAB.
b) Keadaan Lokal
Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal
terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler
5P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan
pada sistem muskuloskeletal adalah:
(1) Look (inspeksi)
Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:
(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti
bekas operasi).
(b) Fistulae.
(c) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi.
(d) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang
tidak biasa (abnormal).
(e) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)
(f) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)
(2) Feel (palpasi)
Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita
diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya

ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah,


baik pemeriksa maupun klien.
Yang perlu dicatat adalah:
(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal 3 5
(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian.
(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3
proksimal, tengah, atau distal).
Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang
terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat
benjolan

perlu

dideskripsikan

permukaannya,

konsistensinya,

pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak,


dan ukurannya.
(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan
dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif. (Reksoprodjo, Soelarto, 1995)

3.

Diagnosa Keperawatan
a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan
lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
b. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan
membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi
restriktif (imobilisasi)
d. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
e. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma
jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)
f.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d


kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif,
kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada
(Doengoes, 2000)

4. Intervensi Keperawatan
a.

Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
Tujuan:

Setelah

dilakukan

tindakan

keperwatan

selama

3x24

jam,

klien

mengatakan nyeri berkurang atau hilang


Kriteria Hasil: klien menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam
beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan
keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi
individual

INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Pertahankan imobilasasi bagian yang


sakit dengan tirah baring, gips, bebat
dan atau traksi

RASIONAL

Mengurangi nyeri dan mencegah


malformasi.

2. Tinggikan

posisi

ekstremitas

yang

terkena.

Meningkatkan

aliran

balik

vena,

mengurangi edema/nyeri.
3. Lakukan

dan

awasi

latihan

gerak

pasif/aktif.

Mempertahankan kekuatan otot dan


meningkatkan sirkulasi vaskuler.

4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan


kenyamanan

(masase,

perubahan

posisi)

Meningkatkan

sirkulasi

umum,

menurunakan area tekanan lokal dan


kelelahan otot.

5. Ajarkan

penggunaan

teknik

manajemen nyeri (latihan napas dalam,


imajinasi visual, aktivitas dipersional)

Mengalihkan

perhatian

terhadap

nyeri, meningkatkan kontrol terhadap


nyeri yang mungkin berlangsung

6. Lakukan kompres dingin selama fase


akut

(24-48

jam

pertama)

lama.

sesuai

keperluan.
7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai
indikasi.

Menurunkan edema dan mengurangi


rasa nyeri.
Menurunkan

nyeri

melalui

mekanisme penghambatan rangsang


nyeri baik secara sentral maupun
perifer.

8. Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk


verbal dan non verval, perubahan
tanda-tanda vital)

Menilai
klien.

perkembangan

masalah

b.

Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli,


perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan


menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi

Kriteria Hasil: klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas
normal
INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Instruksikan/bantu

latihan

napas

dalam dan latihan batuk efektif.

yang aman sesuai keadaan klien.

pemberian

Meningkatkan ventilasi alveolar dan


perfusi.

2. Lakukan dan ajarkan perubahan posisi

3. Kolaborasi

RASIONAL

Reposisi meningkatkan drainase


sekret dan menurunkan kongesti paru.

obat

Mencegah terjadinya pembekuan

antikoagulan (warvarin, heparin) dan

darah pada keadaan tromboemboli.

kortikosteroid sesuai indikasi.

Kortikosteroid telah menunjukkan


keberhasilan untuk
mencegah/mengatasi emboli lemak.

Penurunan PaO2 dan peningkatan


4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb,
kalsium, LED, lemak dan trombosit

PCO2 menunjukkan gangguan


pertukaran gas; anemia, hipokalsemia,
peningkatan LED dan kadar lipase,
lemak darah dan penurunan trombosit
sering berhubungan dengan emboli
lemak.
Adanya takipnea, dispnea dan
perubahan mental merupakan tanda
dini insufisiensi pernapasan, mungkin
menunjukkan terjadinya emboli paru

5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan

tahap awal.

upaya bernapas, perhatikan adanya


stridor,

penggunaan

otot

aksesori

pernapasan, retraksi sela iga dan


sianosis sentral.

c. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi


restriktif (imobilisasi)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien dapat
meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi
Kriteria Hasil : Klien dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan
kekuatan/fungsi

yang

sakit

dan

mengkompensasi

bagian

tubuh

menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas


INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Pertahankan
rekreasi
kunjungan

pelaksanaan

terapeutik

aktivitas

RASIONAL

Memfokuskan perhatian,

(radio,

koran,

meningkatakan rasa kontrol

teman/keluarga)

sesuai

diri/harga diri, membantu

keadaan klien.

menurunkan isolasi sosial.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif

Meningkatkan sirkulasi darah

pada ekstremitas yang sakit maupun

muskuloskeletal, mempertahankan

yang sehat sesuai keadaan klien.

tonus otot, mempertahakan gerak


sendi, mencegah kontraktur/atrofi
dan mencegah reabsorbsi kalsium
karena imobilisasi.

Mempertahankan posis fungsional


3. Berikan
gulungan

papan

penyangga

trokanter/tangan

kaki,
sesuai

ekstremitas.

indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan diri

Meningkatkan kemandirian klien

(kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan

dalam perawatan diri sesuai kondisi

klien.

keterbatasan klien.

5. Ubah posisi secara periodik sesuai


keadaan klien.

Menurunkan insiden komplikasi kulit


dan pernapasan (dekubitus,
atelektasis, penumonia)

6. Dorong/pertahankan

asupan

cairan

2000-3000 ml/hari.

Mempertahankan hidrasi adekuat,


men-cegah komplikasi urinarius dan
konstipasi.

Kalori dan protein yang cukup


diperlukan untuk proses

7. Berikan diet TKTP.

penyembuhan dan mempertahankan fungsi fisiologis tubuh.

Kerjasama dengan fisioterapis perlu


untuk menyusun program aktivitas
8. Kolaborasi

pelaksanaan

fisioterapi

fisik secara individual.

sesuai indikasi.
Menilai perkembangan masalah
klien.

9. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien


dan program imobilisasi.

d. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat,
sekrup)
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam klien
menyatakan ketidaknyamanan hilang,
Kriteria Hasil: klien menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan
kulit/memudahkan

penyembuhan

sesuai

indikasi,

mencapai

penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi


INTERVENSI KEPERAWATAN

1.

RASIONAL

Pertahankan tempat tidur yang

nyaman dan aman (kering, bersih,

Menurunkan risiko kerusakan/abrasi


kulit yang lebih luas.

alat tenun kencang, bantalan bawah


siku, tumit).

2.

Masase

kulit

terutama

daerah

penonjolan tulang dan area distal


bebat/gips.

3.

Lindungi

Meningkatkan sirkulasi perifer dan


meningkatkan kelemasan kulit dan
otot terhadap tekanan yang relatif
konstan pada imobilisasi.

kulit

dan

gips

pada

daerah perianal

Mencegah gangguan integritas kulit


dan jaringan akibat kontaminasi
fekal.

4.

Observasi

keadaan

kulit,

penekanan gips/bebat terhadap kulit,


insersi pen/traksi.

Menilai perkembangan masalah


klien.

e.

Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,


taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 5x24 jam klien mencapai
penyembuhan luka sesuai waktu
Kriteria hasil: bebas drainase purulen atau eritema dan demam
INTERVENSI KEPERAWATAN

1. Lakukan perawatan pen steril dan


perawatan luka sesuai protokol

2. Ajarkan klien untuk mempertahankan

RASIONAL

Mencegah infeksi sekunderdan


mempercepat penyembuhan luka.

Meminimalkan kontaminasi.

sterilitas insersi pen.

3. Kolaborasi pemberian antibiotika dan


toksoid tetanus sesuai indikasi.

Antibiotika spektrum luas atau spesifik


dapat digunakan secara profilaksis,
mencegah atau mengatasi infeksi. .

4. Analisa

hasil

pemeriksaan

Leukositosis biasanya terjadi pada

laboratorium (Hitung darah lengkap,

proses infeksi, anemia dan

LED,

peningkatan LED dapat terjadi pada

Kultur

dan

sensitivitas

luka/serum/tulang)

osteomielitis. Kultur untuk


mengidentifikasi organisme penyebab
infeksi.

Mengevaluasi perkembangan masalah


5.

Observasi
vital dan

tanda-tanda

tanda-tanda peradangan

klien.

lokal pada luka.

h.

Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan


pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi,
keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.
Tujuan

: Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam klien akan


menunjukkan pengetahuan meningkat

Kriteria hasil : klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya


INTERVENSI KEPERAWATAN

1.

Kaji

kesiapan

klien

mengikuti

program pembelajaran.

RASIONAL

Efektivitas proses pemeblajaran


dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan
mental klien untuk mengikuti program
pembelajaran.

Meningkatkan partisipasi dan


2.

Diskusikan metode mobilitas dan


ambulasi sesuai program terapi fisik.

kemandirian klien dalam perencanaan


dan pelaksanaan program terapi fisik.

Meningkatkan kewaspadaan klien


3.

Ajarkan tanda/gejala klinis yang


memerluka

evaluasi medik

(nyeri

berat, demam, perubahan sensasi

untuk mengenali tanda/gejala dini


yang memerulukan intervensi lebih
lanjut.

kulit distal cedera)


Upaya pembedahan mungkin
4.

Persiapkan klien untuk mengikuti


terapi pembedahan bila diperlukan.

diperlukan untuk mengatasi maslaha


sesuai kondisi klien.

Daftar Pustaka

Mansjoer, Arif dkk.2000. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 2. Jakarta: Media


Aesculapius.346-37
Brunner and Suddarth (2000). Text book of Medical Surgical Nursing, alih bahasa: Agung
Waluyo. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8. Vol. 2. Jakarta :EGC
Mansjoer, Arif (2000). Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga. Jilid 2. Jakarta : Media
Aesculapius
Putz R, Pabst R. 2000. Atlas Anatomi Manusia Sobotta, Jilid 2. Jakarta: EGC.284.
Susan Martin Tucker, dkk, 1995, Standart Keperawatan Pasien, Buku Kedokteran EGC,
Jakarta
Nasrul Effendi, 1995, Pengatar Proses Keperawatan, Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Perry, Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan. Konsep, Proses dan Praktik
Edisi 4 Vol.1. Jakarta: EGC
Price, Silvia Anderson dan Lorraine M Wilson. 1995. Patofisiologi. Konsep Klinis ProsesProses penyakit Edisi Vol. 2. Jakarta: EGC
Price A S, Wilson. 2006. Patofisiologi. Konsep Klinis Proses-Proses penyakit Edisi Vol. 2.
Jakarta: EGC
Rasjad, Chairudin. 1998. Ilmu Bedah Orthopedi. Ujung Pandang : Bintang Lamupate.
Smeltzer Suzanne, C . 2002. Buku Ajar Medikal Bedah, Brunner & Suddart. Jakarta:
EGC

LAPORAN PENDAHULUAN
FRAKTUR

DI RUANG 19 Rumah Sakit dr. Saiful Anwar Malang

Disusun untuk memenuhi Tugas Kepaniteraan klinik Departemen Surgikal

Disusun Oleh :
Catur Maya Lupitasari
150070300011066

JURUSAN ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2016

Anda mungkin juga menyukai