Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN DAN KONSEP ASUHAN

KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN FRAKTUR KRURIS


DI RUANG SERUNI
RSD dr. SOEBANDI JEMBER

Oleh:
Sovilia Adeliana
1601032004

PROGRAM STUDI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2016

PERSETUJUAN
Laporan Pendahuluan dan Konsep Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan
Fraktur Cruris di Ruang Seruni RSD dr. Soebandi Jember.

Jember,
Pembimbing Ruangan

Pembimbing Akademik

(.)

(.)

Kepala Ruangan,

Sugito Tri Gunarto,S.Kep.Ners.MM.Kes


NIP. 19730326 199603 1 002

Dok FIKes UNMUH Jember

Desember 2016

KONSEP PENYAKIT DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PADA


PASIEN DENGAN FRAKTUR CRURIS
A. Konsep Teori
1. Pengertian Fraktur Cruris
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan di tentukan
sesuai jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang di kenai stress yang
lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya (Smeltzer dan Bare, 2002).
Fraktur cruris merupakan suatu istilah untuk patah tulang tibia dan
fibulayang biasanya terjadi pada bagian proksimal (kondilus), diafisis,
atau persendian pergelangan kaki ( Muttaqin, 2008).
2. Klasifikasi
a. Menurut Mansjoer (2002) ada tidaknya hubungan antara patahan
tulang dengan dunia luar di bagi menjadi 2 antara lain:
1) Fraktur tertutup (closed)
Dikatakan tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar, disebut dengan fraktur bersih (karena
kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup ada
klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0 : fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1 : fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit
dan jaringan subkutan.
c) Tingkat 2 : fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3 : Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak
yang

nyata

dan

ancaman

sindroma

kompartement.
2) Fraktur terbuka (open/compound fraktur) Dikatakan terbuka bila
tulang yang patah menembus otot dan kulit yang memungkinkan /
potensial untuk terjadi infeksi dimana kuman dari luar dapat

masuk ke dalam luka sampai ke tulang yang patah. Derajat patah


tulang terbuka :
a) Derajat I : Laserasi < 2 cm, fraktur sederhana, dislokasi
fragmen minimal.
b) Derajat II: Laserasi > 2 cm, kontusio otot dan sekitarnya,
dislokasi fragmen jelas.
c) Derajat III: Luka lebar, rusak hebat, atau hilang jaringan
sekitar.
b. Menurut Mansjoer (2002) derajat kerusakan tulang dibagi menjadi 2
yaitu:
1) Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
Dikatakan lengkap bila patahan tulang terpisah satu dengan yang
lainya, atau garis fraktur melibatkan seluruh potongan menyilang
dari tulang dan fragmen tulang biasanya berubak tempat.
2) Patah tulang tidak lengkap ( Incomplete fraktur )
Bila antara oatahan tulang masih ada hubungan sebagian. Salah
satu sisi patah yang lainya biasanya hanya bengkok yang sering
disebut green stick.
Menurut Price dan Wilson ( 2005) kekuatan dan sudut dari tenaga
fisik,keadaan tulang, dan jaringan lunak di sekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak
lengkap. Fraktur lengkap terjadi apabila seluruh tulang patah,
sedangkan pada fraktur tidak lengkap tidak melibatkan seluruh
ketebalan tulang.
c. Menurut Mansjoer (2002) bentuk garis patah dan hubungannya
dengan mekanisme trauma ada 5 yaitu:
1) Fraktur Transversal : fraktur yang arahnya malintang pada tulang
dan merupakan akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur Oblik : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut
terhadap sumbu tulang dan merupakan akibat dari trauma
angulasi juga.

3) Fraktur Spiral : fraktur yang arah garis patahnya sepiral yang di


sebabkan oleh trauma rotasi.
4) Fraktur Kompresi : fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi
yang mendorong tulang kea rah permukaan lain.
5) Fraktur Afulsi : fraktur yang di akibatkan karena trauma tarikan
atau traksi otot pada insersinya pada tulang.
d. Menurut Smeltzer dan Bare (2001) jumlah garis patahan ada 3 antara
lain:
1) Fraktur Komunitif : fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan
saling berhubungan. Patah tulang lengkap (Complete fraktur)
2) Fraktur Segmental : fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi
tidak berhubungan.
3) Fraktur Multiple : fraktur diman garis patah lebih dari satu tapi
tidak pada tulang yang sama.
3. Etiologi
Etiologi dari fraktur menurut Price dan Wilson (2006) ada 3 yaitu:
a. Cidera atau benturan
b. Fraktur patologik Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang
yang telah menjadi lemah oleh karena tumor, kanker dan osteoporosis.
c. Fraktur beban Fraktur baban atau fraktur kelelahan terjadi pada orangorang yang baru saja menambah tingkat aktivitas mereka, seperti baru
di terima dalam angkatan bersenjata atau orang- orang yang baru
mulai latihan lari.
4. Patofisiologi
Fraktur dibagi menjadi fraktur terbuka dan fraktur tertutup.
Tertutup bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia
luar. Sedangkan fraktur terbuka bila terdapat hubungan antara fragmen
tulang dengan dunia luar oleh karena perlukaan di kulit (Smelter dan
Bare, 2002). Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar
tempat patah ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan
lunak juga biasanya mengalami kerusakan. Reaksi perdarahan biasanya
timbul hebat setelah fraktur. Sel- sel darah putih dan sel anast

berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ketempat tersebut


aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur yang
disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsidan sel- sel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi
pembuluh darah atau penekanan serabut syaraf yang berkaitan dengan
pembengkakan yang tidak di tangani dapat menurunkan asupan darah ke
ekstrimitas dan mengakibatkan kerusakan syaraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan akan mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoreksia mengakibatkan
rusaknya serabut syaraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini di namakan
sindrom compartment (Brunner dan Suddarth, 2002 ).
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidak seimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur terbuka dan
fraktur tertutup. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak
seperti tendon, otot, ligament dan pembuluh darah ( Smeltzer dan Bare,
2001). Pasien yang harus imobilisasi setelah patah tulang akan menderita
komplikasi antara lain : nyeri, iritasi kulit karena penekanan, hilangnya
kekuatan otot. Kurang perawatan diri dapat terjadi bila sebagian tubuh di
imobilisasi, mengakibatkan berkurangnyan kemampuan prawatan diri
(Carpenito, 2007).
Reduksi terbuka dan fiksasi interna (ORIF) fragmen- fragmen
tulang di pertahankan dengan pen, sekrup, plat, paku. Namun
pembedahan meningkatkan kemungkinan terjadinya infeksi. Pembedahan
itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak dan struktur yang
seluruhnya tidak mengalami cedera mungkin akan terpotong atau
mengalami kerusakan selama tindakan operasi (Price dan Wilson, 2006).
5. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi,
deformitas, pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan local, dan
perubahan warna.
a. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk

bidai alamiah yang di rancang untuk meminimalkan gerakan antar


fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya,
pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bias di
ketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal.
Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
d. Saat ekstrimitas di periksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainya.
e. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit terjadi sebagai
akibat dari trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
biasanya baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera
(Smelzter dan Bare, 2002).
6. Penatalaksanaan
Menurut Mansjoer (2000) dan Muttaqin (2008) konsep dasar yang
harus dipertimbangkan pada waktu menangani fraktur yaitu : rekognisi,
reduksi, retensi, dan rehabilitasi.
a. Rekognisi (Pengenalan )
Riwayat kecelakaan, derajat keparahan, harus jelas untuk menentukan
diagnosa dan tindakan selanjutnya. Contoh, pada tempat fraktur
tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak. Kelainan bentuk yang
nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka.
b. Reduksi (manipulasi/ reposisi)
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen
fragmen tulang yang patah sedapat mungkin kembali lagi seperti letak
asalnya. Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali
seperti semula secara optimal. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur

dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak


kehilangan

elastisitasnya

akibat

infiltrasi

karena

edema

dan

perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin


sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan (Mansjoer,
2002).
c. Retensi (Immobilisasi)
Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga
kembali seperti semula secara optimal. Setelah fraktur direduksi,
fragmen tulang harus diimobilisasi, atau di pertahankan dalam posisi
kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat
dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi
eksterna meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin, dan
teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat di gunakan
untuk fiksasi intrerna yang brperan sebagai bidai interna untuk
mengimobilisasi fraktur. Fiksasi eksterna adalah alat yang diletakkan
diluar

kulit

untuk

menstabilisasikan

fragmen

tulang

dengan

memasukkan dua atau tiga pin metal perkutaneus menembus tulang


pada bagian proksimal dan distal dari tempat fraktur dan pin tersebut
dihubungkan satu sama lain dengan menggunakan eksternal bars.
Teknik ini terutama atau kebanyakan digunakan untuk fraktur pada
tulang tibia, tetapi juga dapat dilakukan pada tulang femur, humerus
dan pelvis (Mansjoer, 2000).

Gambar: Pemasangan OREF pada tibia dan fibula

Prinsip dasar dari teknik ini adalah dengan menggunakan pin yang
diletakkan pada bagian proksimal dan distal terhadap daerah atau zona
trauma, kemudian pin-pin tersebut dihubungkan satu sama lain dengan
rangka luar atau eksternal frame atau rigid bars yang berfungsi untuk
menstabilisasikan fraktur. Alat ini dapat digunakan sebagai temporary
treatment untuk trauma muskuloskeletal atau sebagai definitive
treatment berdasarkan lokasi dan tipe trauma yang terjadi pada tulang
dan jaringan lunak (Muttaqin, 2008).
d. Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk
menghindari atropi atau kontraktur. Bila keadaan mmeungkinkan,
harus

segera

dimulai

melakukan

latihan-latihan

untuk

mempertahankan kekuatan anggota tubuh dan mobilisasi (Mansjoer,


2000).
7. Pemeriksaan Penunjang
Ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien fraktur antara lain:
a. Pemeriksaan roentgen: untuk menentukan lokasi, luas dan jenis
fraktur
b. Scan tulang, tomogram, CT- scan/ MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak.
c. Pemeriksaan

darah

lengkap:

Ht

mungkkin

meningkat

(hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan bermakna pada sisi


fraktur atau organ jauh pada trauma multiple). Peningkatan sel darah
putih adalah respon stress normal setelah trauma.
d. Kreatinin: Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens
ginjal.
e. Profil koagulasi: perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah,
transfuse multiple, atau cedera hati.

8. Komplikasi
Komplikasi fraktur menurut Smeltzer dan Bare (2001) dan Price
(2005) antara lain:
a. Komplikasi awal fraktur antara lain: syok, sindrom emboli lemak,
sindrom kompartement, kerusakan arteri, infeksi, avaskuler nekrosis.
1) Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak
kehilangan darah eksternal maupun yang tidak kelihatan yang
bias menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan cairan
ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur
ekstrimitas, thoraks, pelvis dan vertebra.
2) Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam
pembuluh darah karena tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari
tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan oleh
reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan
memudahkan terjasinya globula lemak pada aliran darah.
3) Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot
kurang dari yang dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa
disebabkan karena penurunan ukuran kompartement otot karena
fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau
balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot
karena edema atau perdarahan sehubungan dengan berbagai
masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
4) Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bias ditandai denagan tidak ada
nadi, CRT menurun, syanosis bagian distal, hematoma yang lebar,
dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh tindakan
emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan
reduksi, dan pembedahan.

5) Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan.
Pada trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial)
dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pin dan plat.
6) Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang
rusak atau terganggu yang bias menyebabkan nekrosis tulang dan
di awali dengan adanya Volkmans Ischemia (Smeltzer dan Bare,
2001).
b. Komplikasi dalam waktu lama atau lanjut fraktur antara lain: mal
union, delayed union, dan non union.
1) Malunion
Malunion dalam suatu keadaan dimana tulang yang patah telah
sembuh dalam posisi yang tidak seharusnya. Malunion merupaka
penyembuhan tulang ditandai dengan meningkatnya tingkat
kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas). Malunion dilakukan
dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.
2) Delayed Union
Delayed union adalah proses penyembuhan yang terus berjalan
dengan kecepatan yang lebih lambat dari keadaan normal.
Delayed union merupakankegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang
3) Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah
6-9 bulan. Nonunion di tandai dengan adanya pergerakan yang
berlebih pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau
pseuardoarthrosis. Ini juga disebabkan karena aliran darah yang
kurang (Price dan Wilson, 2006).

Pathway

B. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
C.
Pada pengkajian fokus yang perlu di perhatikan pada pasien fraktur
merujuk pada teori Muttaqin (2008) ada berbagai macam meliputi:
a. Riwayat penyakit sekarang
D. Kaji kronologi terjadinya trauma yang menyebabkan patah tulang
kruris, pertolongan apa yang di dapatkan, apakah sudah berobat ke
dukun patah tulang. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan, perawat dapat mengetahui luka kecelakaan
yang lainya. Adanya trauma lutut berindikasi pada fraktur tibia
proksimal. Adanya trauma angulasi akan menimbulkan fraktur tipe
konversal atau oblik pendek, sedangkan trauma rotasi akan
menimbulkan tipe spiral. Penyebab utama fraktur adalah kecelakaan
lalu lintas darat.
b. Riwayat penyakit dahulu
E. Pada beberapa keadaan, klien yang pernah berobat ke dukun patah
tulang sebelumnya sering mengalami mal-union. Penyakit tertentu
seperti kanker tulang atau menyebabkan fraktur patologis sehingga
tulang sulit menyambung. Selain itu, klien diabetes dengan luka di
kaki sangat beresiko mengalami osteomielitis akut dan kronik serta
penyakit diabetes menghambat penyembuhan tulang.
c. Riwayat penyakit keluarga
F. Penyakit keluarga yang berhubungan dengan patah tulang cruris
adalah salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan dan kanker
tulang yang cenderung diturunkan secara genetik.
d. Pola kesehatan fungsional
1) Aktifitas/ Istirahat
2) Keterbatasan/ kehilangan pada fungsi di bagian yang terkena
(mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder,
dari pembengkakan jaringan, nyeri)
G.
3) Sirkulasi
a) Hipertensi ( kadang kadang terlihat sebagai respon nyeri
atau ansietas) atau hipotensi (kehilangan darah)
b) Takikardia (respon stresss, hipovolemi)

c) Penurunan / tidak ada nadi pada bagian distal yang


cedera,pengisian kapiler lambat, pusat pada bagian yang
terkena.
d) Pembangkakan jaringan atau masa hematoma pada sisi
cedera.
4) Neurosensori
a) Hilangnya gerakan / sensasi, spasme otot
b) Kebas/ kesemutan (parestesia)
c) Deformitas local: angulasi abnormal, pemendekan, rotasi,
krepitasi (bunyi berderit) Spasme otot, terlihat kelemahan/
hilang fungsi.
d) Angitasi (mungkin badan nyeri/ ansietas atau trauma lain)
5) Nyeri / kenyamanan
a) Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera (mungkin terlokalisasi
pada area jaringan / kerusakan tulang pada imobilisasi ), tidak
ada nyeri akibat kerusakan syaraf.
b) Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
6) Keamanan
a) Laserasi kulit, avulse jaringan, pendarahan, perubahan warna
b) Pembengkakan local (dapat meningkat secara bertahap atau
tiba- tiba).
7) Pola hubungan dan peran
H.
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat karena klien harus menjalani rawat inap.
8) Pola persepsi dan konsep diri
I.
Dampak yang timbul dari klien fraktur adalah timbul
ketakutan dan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa
cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan aktifitasnya
secara normal dan pandangan terhadap dirinya yang salah.
9) Pola sensori dan kognitif
J.
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitif tidak
mengalami gangguan. Selain itu juga timbul nyeri akibat fraktur.
10) Pola nilai dan keyakinan
K.
Klien fraktur tidak dapat beribadah dengan baik, terutama
frekuensi dan konsentrasi dalam ibadah. Hal ini disebabkan oel
nyeri dan keterbatasan gerak yang di alami klien.
2. Diagnosis Keperawatan

a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan


fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat traksi/
immobilisasi, stress, ansietas.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan
status metabolic, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi
dibuktikan oleh terdapat luka/ ulserasi, kelemahan, penurunan berat
badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
c. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri / ketidak
nyamanan, kerusakan musculoskeletal, terapi pembatasan aktifitas,
penurunan kekuatan / tahanan.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan stasis cairan tubuh, respon
inflamasi tertekan, prosedur invasi dan jalur penusukan, luka/
kerusakan kulit, insisi pembedahan.
e. Defisit perawatan diri berhubungan dengan factor (kolaboratif): traksi
atau gibs pada ekstrimitas
f. Resiko ketidak seimbangan

nutrisi

kurang

dari

kebutuhan

berhubunngan dengan intake yang tidak adekuat.


g. Harga diri rendah berhubungan dengan penurunan fungsi tubuh.
L.
M.
N.
3. Intervensi
a. Nyeri berhubungan dengan terputusnya jaringan tulang, gerakan
fragmen tulang, edema dan cedera pada jaringan, alat kontraksi/
immobilisasi, stress, ansietas.
O. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan klien mampu
beradaptasi dengan nyeri yang di alami.
P. Kriteria hasil: nyeri berkurang atau hilang, klien tampak tenang.
Q. Intervensi:
1) Lakukan pendekatan pada klien dan keluarga.
R.
Rasional: hubungan yang baik membuat klien dan keluarga
kooperatif.
2) Kaji tingkat intensitas dan frekuensi nyeri.
S.
Rasional: tingkat intensitas nyeri
menunjukan skala nyeri.
3) Jelaskan pada klien penyebab nyeri.
T.
Rasional: memberikan penjelasan

dan

akan

frekwensi

menambah

pengetahuan klien tentang nyeri.


4) Observasi tanda- tanda vital.
U.
Rasional: untuk mengetahui perkembangan klien.

5) Melakukan kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian


analgetik.
V.
Rasional: merupakan tindakan dependent perawat, dimana
analgetik berfungsi untuk memblok stimulasi nyeri.
W.
b

Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tekanan, perubahan


status metabolik, kerusakan sirkulasi dan penurunan sensasi
dibuktikan oleh terdapat luka atau ulserasi, kelemahan, penurunan
berat badan, turgor kulit buruk, terdapat jaringan nekrotik.
X. Tujuan : setelah di lakukan tindakan pemenuhan masalah
kerusakan kulit dapat teratasi, penyembuhan luka sesuai waktu.
Y. Kriteria hasil : tidak ada tanda- tanda infeksi seperti pus,
kemerahan, luka bersih tidak lembab dan tidak kotor, tanda- tanda
vital dalam batas normal atau dapat di toleransi.
Z. Intervensi :
1) Kaji kulit dan identitas pada tahap perkembangan luka.
AA. Rasional: mengetahui sejauhmana perkembangan luka
mempermudah dalam melakukan tindakan yang tepat.
2) Kaji lokasi, ukuran, warna, bau, serta jumlah dan tipe cairan luka.
AB. Rasional: mengidentifikasi tingkat keparahan luka akan
mempermudah intervensi.
3) Pantau peningkatan suhu tubuh.
AC. Rasional: suhu tubuh yang meningkat dapat diidentifikasi
sebagai adanya proses peradangan.
4) Berikan perawatan luka dengan tehnik aseptic. Balut luka dengan
kasa kering dan steril, gunakan plester kertas.
AD. Rasional:

tehnik

aseptik

membantu

mempercepat

penyembuhan luka dan mencegah terjadinya infeksi.


5) Jika pemulihan tidak terjadi kolaborasi tindakan lanjutan,
misalnya debridement.
AE. Rasional: agar benda asing atau jaringan yang terinfeksi
tidak menyebar luas pada area kulit normal lainya.
6) Setelah debridement, ganti balutan sesuai kebutuhan.

AF.

Rasional: balutan dapat diganti satu atau dua kali sehari

tergantung kondisi parah/ tidaknya luka, agar tidak terjadi infeksi.


7) Kolaborasi pemberian anti biotic sesuai indikasi.
AG. Rasional:

anti

biotik

berguna

untuk

mematikan

mikroorganisme pathogen pada daerah yang beresiko terjadi


infeksi.
AH.
AI.
AJ.
AK.
AL.

AM.

DAFTAR PUSTAKA

AN.

Anonymous.
2009.
Fraktur
Patah
(http://perawatpskiatri.blogspot.com/search/label).

Tulang

(online).

AO.

Hermansyah, MD. 2009 Fraktur Shaft Humerus (.ppt) (online).


(http://www.google.com//fraktur-shaft-humerus-hermansyah-MD.pdf.)

AP.

Mansjoer A. 2008. Kapita Selekta Kedokteran Jilid III. Jakarta. Medika


Aesculapius FKUI.

AQ.

Rasjad C.2007. Pengantar Bedah Ortopedi. Jakarta: PT. Yarsef


Watampone.

AR.

Santoso M.W.A, Alimsardjono H dan Subagjo. 2002. Anatomi Bagian I.


Surabaya: Penerbit Laboratorium Anatomi-Histologi Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga.

AS.

Wim de Jong & Sjamsuhidajat R. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke
2. : Jakarta: EGC.

Anda mungkin juga menyukai