Anda di halaman 1dari 18

Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pada Sistem

Musculoskeletal
(fraktur femur)

Wendi Hidayat

1490120012

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS GALUH CIAMIS
2020/2021
A. Pengertian
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa (Mansjoer,
2007).
Fraktur merupakan suatu keadaan dimana terjadi di istregritas tulang,
penyebab terbanyak adalah insiden kecelakaan tetapi faktor lain seperti proses
degenerative juga dapat berpengaruh terhadap kejadian fraktur (Brunner &
Suddarth, 2008).
Fraktur femur juga didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang
paha, kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka
yang disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung pada paha (Helmi, 2012).
Fraktur femur didefinisikan sebagai hilangnya kontinuitas tulang paha,
kondisi fraktur femur secara klinis bisa berupa fraktur femur terbuka yang
disertai adanya kerusakan jaringan lunak (otot, kulit, jaringan saraf, dan
pembuluh darah) dan fraktur femur tertutup yang dapat disebabkan oleh
trauma langsung pada paha (Zairin, 2012).
Dari beberapa penjelasan tentang fraktur femur diatas, dapat disimpulkan
bahwa fraktur femur merupakan suatu keadaan dimana terjadi kehilangan
kontinuitas tulang femur yang dapat disebabkan oleh trauma langsung maupun
trauma tidak langsung dengan adanya kerusakan jaringan lunak.
B. Etiologi
Etiologi fraktur menurut Muttaqin, A (2008), Fraktur dapat terjadi akibat
adanya tekanan yang melebihi kemampuan tulang dalam menahan tekanan.
Tekanan pada tulang dapat berupa tekanan berputar yang menyebabkan
fraktur bersifat spiral atau oblik, tekanan membengkok yang menyebabkan
fraktur transversal, tekanan sepanjang aksis tulang yang menyebabkan fraktur
impaksi, dislokasi, atau fraktur dislokasi, kompresi vertical dapat
menyebabkan fraktur kominutif atau memecah, misalnya pada badan vertebra,
talus, atau fraktur buckle pada anak-anak.
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir
mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrem. Umumnya fraktur disebabkan
oleh trauma di mana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Fraktur
cenderung terjadi pada laki-laki, biasanya fraktur terjadi pada umur di bawah
45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan, atau luka yang
disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor. Pada orang tua, perempuan
lebih sering mengalami fraktur daripada laki-laki yang berhubungan dengan
meningkatnya insiden osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormone
pada menopause.
C. Manifestasi klinis
Tanda dan gejala fraktur femur umumnya antara lain (Helmi, 2012) :
1. Nyeri
Terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirncang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen
tulang.
2. Kehilangan fungsi
3. Deformitas
4. Daya tarik kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah
kekuatan otot menyebabkan fragmen tulang berpindah dari tempatnya.
5. Pemendekan ekstremitas karena kontraksi otot
6. Terjadi pada fraktur panjang, karena kontraksi otot yang melekat di atas
dan dibawah tempat fraktur.
7. Krepitasi
8. Akibat gerakan fragmen satu dengan yang lainnya.
9. Pembengkakan
10. Perubahan warna lokal pada kulit yang terjadi akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.

D. Manifestasi klinis post open reduction internal fixation (ORIF)


Tanda dan gejala post open reduction internal fixation (ORIF) umumnya
antara lain (Appley, 2005) :
1. Nyeri, terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai
alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tukang
2. Deformitas dapat di sebabkan pergeseran fragmen pada eksremitas.
Deformitas dapat di ketahui dengan membandngkan dengan ekstremitas
normal. Ekstremitas tidak dapat berfungsidengan baik karna fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
3. Pemendekan tulang, karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah
tempat fraktur. Fragmen sering melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai
5,5 cm.
4. Krepitasi yaitu pada saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang. Krepitasi yang teraba akibat gesekan antar fragmen satu dengan
yang lainnya.
5. Pembengkakan dan perubahan warna local pada kulit akibat pendarahan yang
mengikuti fraktur. Tanda ini baru terjadi setelah beberapa jam atau beberapa
hari setelah cidera.
6. Peningkatan temperatur local.
7. Pergerakan abnormal.
8. Echymosis (pendarahan subkutan yang lebar)
E. Patofisiologi
Patofisiologi menurut Price (2006), Patah tulang biasanya terjadi karena
benturan tubuh, jatuh atau trauma. Baik itu karena trauma langsung misalnya:
tulang kaki terbentur bemper mobil, atau tidak langsung misalnya : seseorang
yang jatuh dengan telapak tangan menyangga. Juga bisa karena trauma akibat
tarikan otot misalnya: patah tulang patela dan olekranon, karena otot trisep
dan bisep mendadak berkontraksi.
Sewaktu tulang patah perdarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah
dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi peradangan biasanya timbul hebat
setelah fraktur. Sel-sel darah putih dan sel mast berakumulasi menyebabkan
peningkatan aliran darah ketempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-
sisa sel mati dimulai. Di tempat patah terbentuk fibrin (hematoma fraktur) dan
berfungsi sebagai jala-jala untuk melekatkan sel-sel baru. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan
fibrin direabsorbsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati.
Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan
dengan pembengkakan yang tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah
ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak
terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan,
oklusi darah total dapat berakibat anoksia jaringan yang mengakibatkan
rusaknya serabut saraf maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan
sindrom kompartemen.
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekeuatan dan gaya pegas
untuk menahan tekanan Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih
besar dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
fraktur, periosteum dan pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow,
dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai denagn vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya .
F. Patway

Trauma langsung Trauma tidak langsung Kondisi patologis

Fraktur

Diskontinuitas Tulang Pergeseran Pragmen Tulang

Nyeri
Perubahan Jaringan Sekitar

Kerusakan Fragmen Tulang


Pergeseran fragmen tulang

Deformitas
Laserelasi kulit : Spasme Otot

Gangguan Fungsi Putus vena/ arteri


Peningkatan
tekanan kapiler
Perdarahan
Gangguan mobilitas
Pelepasan
Fisik
Kehilangan volume cairan histamin

Protein plasma
Syok hipovolemik
hilang

edema
Kerusakan
Integritas Kulit Penekanan
pembuuh darah

Penurunan
Gangguan perfusi
fungsi jaringan
Jaringan
G. Klasifikasi

Meurut helmi (2012) faktur femur dapat dibagi lima jenis berdasarkan
letak garis fraktur seperti dibawah ini :
1. Fraktur intertrokhanter femur
Merupakan patah tulang yang bersifat ekstra kapsuler dari femur, sering
terjadi pada lansia dengan kondisi osteoporosis. Fraktur ini memiliki risiko
nekrotik avaskuler yang rendah sehingga prognosanya baik.
Penatalaksanaannya sebaiknya dengan reduksi terbuka dan pemasangan
fiksasi internal. Intervensi konservatif hanya dilakukan pada penderita yang
sangat tua dan tidak dapat dilakukan dengan anestesi general.
2. Fraktur subtrokhanter femur
Garis fraktur berada 5 cm distal dari trokhanter minor, diklasifikasikan
menurut Fielding & Magliato sebagai berikut:
a. Tipe 1 adalah garis fraktur satu level dengan trokhanter minor.
b. Tipe 2 adalah garis patah berada 1-2 inci di bawah dari batas atas trokhanter
minor.
c. Tipe 3 adalah 2-3 inci dari batas atas trokhanter minor.
Penatalaksanaannya dengan cara reduksi terbuka dengan fiksasi internal dan
tertutup dengan pemasangan traksi tulang selama 6-7 minggu kemudian
dilanjutkan dengan hip gips selam tujuh minggu yang merupakan alternatif
pada pasien dengan usia muda.
3. Fraktur batang femur
Faktur batang femur biasanya disebabkan oleh trauma langsung, secara klinis
dibagi menjadi: 1) fraktur terbuka yang disertai dengan kerusakan jaringan
lunak, risiko infeksi dan perdarahan dengan penatalaksanaan berupa
debridement, terapi antibiotika serta fiksasi internal maupun ekternal; 2)
Fraktur tertutup dengan penatalaksanaan konservatif berupa pemasangan skin
traksi serta operatif dengan pemasangan plate-screw.
4. Fraktur suprakondiler femur
Fraktur ini disebabkan oleh trauma langsung karena kecepatan tinggi sehingga
terjadi gaya aksial dan stress valgus atau varus dan disertai gaya rotasi.
Penatalaksanaan berupa pemasanga traksi berimbang dengan menggunakan
bidai Thomas dan penahan lutut Pearson, cast-bracing dan spika pinggul serta
operatif pada kasus yang gagal konservatif dan fraktur terbuka dengan
pemasangan nail-phroc dare screw.
5. Fraktur kondiler femur
Mekanisme trauma fraktur ini biasanya merupakan kombinasi dari gaya
hiperabduksi dan adduksi disertai dengan tekanan pada sumbu femur ke atas.
Penatalaksanaannya berupa pemasangan traksi tulang selama 4 – 6 minggu
dan kemudian dilanjutkan dengan penggunaan gips minispika sampai
union sedangkan reduksi terbuka sebagai alternatif apabila konservatif gagal.
H. Pemeriksaan Diagnostik
Menurut Doenges (2000) ada beberapa pemeriksaan penunjang pada pasien
fraktur antara lain:
1. Pemeriksaan roentgen : untuk menentukan lokasi, luas dan jenis fraktur
2. Scan tulang, tomogram, CT – scan/MRI : memperlihatkan fraktur dan
mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
3. Pemeriksaan darah lengkap : Ht mungkkin meningkat (hemokonsentrasi) atau
menurun (perdarahan bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma
multiple). Peningkatan sel darah putih adalah respon stress normal setelah
trauma.
4. Kreatinin : Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal.
5. Profil koagulasi : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfuse
multiple, atau cedera hati.
I. Konsep pembedahan
Kata perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencangkup 3 fase
pengalaman pembedahan yaitu praoperatif, intraoperatif, dan pascaoperatif.
1. Fase praoperatif
Merupakan ijin tertulis yang ditandatangani oleh klien untuk melindungi
dalam proses operasi yang akan dilakukan. Prioritas pada prosedur
pembedahan yang utama adalah inform consent yaitu pernyataan persetujuan
klien dan keluarga tentang tindakan yang akan dilakukan yang berguna untuk
mencegah ketidaktahuan klien tentang prosedur yang akan dilaksanakan dan
juga menjaga rumah sakit serta petugas kesehatan dari klien dan keluarganya
mengenai tindakan tersebut. Pada periode pre operatif yang lebih diutamakan
adalah persiapan psikologis dan fisik sebelum operasi.
2. Fase Intraoperatif
Dimulai ketika pasien masuk ke bagian atau ruang bedah dan berakhir saat
pasien dipindahkan ke ruang pemulihan. Lingkup aktifitas keperawatan,
memasang infus, memberikan medikasi intravena, melakukan pemantauan
fisiologis menyeluruh sepanjang prosedur pembedahan dan menjaga
keselamatan pasien.
3. Post operatif
Dimulai pada saat pasien masuk ke ruang pemulihan dan berakhir dengan
evaluasi tindak lanjut pada tatanan klinik atau di rumah. Lingkup aktifitas
keperawatan, mengkaji efek agen anestesi, membantu fungsi vital tubuh, serta
mencegah komplikasi. Peningkatan penyembuhan pasien dan penyuluhan,
perawatan tindak lanjut, rujukan yang penting untuk penyembuhan yang
berhasil dan rehabilitasi diikuti dengan pemulangan (Baradero, 2008).
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan konservatif, merupakan penatalaksanaan non pembedahan
agar immobilisasi pada patah tulang dapat terpenuhi.
1. Proteksi (tanpa reduksi atau immobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk
mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan sling (mitela) pada
anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.
2. Imobilisasi degan bidai eksterna (tanpa reduksi). Biasanya menggunakan
plaster of paris (gips) atau dengan bermacam-macam bidai dari plastic atau
metal. Metode ini digunakan pada fraktur yang perlu dipertahankan posisinya
dalam proses penyembuhan.
3. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi dilakukan
dengan pembiusan umum dan local. Reposisi yang dilakukan melawan
kekuatan terjadinya fraktur.penggunaan gips untuk imobilisasi merupakan alat
utama pada teknik ini.
4. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan ini
mempunyai dua tujuan utama, yaitu berupa reduksi yang bertahap dan
imobilisasi.
Penatalaksanaan pembedahan :

1. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan K-Wire
(kawat kirschner), misalnya pada fraktur jari.
2. Reduksi terbuka dengan fiksasi internal (ORIF : Open Reduction internal
Fixation).
3. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal (OREF : Open reduction Eksternal
Fixation). Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati fraktur terbuka
dengan kerusakan jaringan lunak. Alat ini memberikan dukungan yang stabil
untuk fraktur kominutif (hancur atau remuk).
Penatalaksanaan pembedahan Open Reduction internal Fixation (ORIF):
1. ORIF adalah sebuah prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu pada
operasi terbuka untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk
beberapa patah tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi plate dan screw
untuk mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Smeltzer, 2004).
2. Metode
Menurut Apley (2005) terdapat lima metode fiksasi internal yang digunakan,
antara lain: sekrup kompresi antar fragmen, plat dan sekrup (paling sesuai
untuk lengan bawah), paku intermedula (untuk tulang panjang yang lebih
besar), paku pengikat sambungan dan sekrup (ideal untuk femur dan tibia),
sekrup kompresi dinamis dan plat, ideal untuk ujung proksimal dan distal
femur.
3. Indikasi ORIF
Indikasi ORIF diantaranya adalah : fraktur yang tidak bisa sembuh atau
bahaya avasculair nekrosis tinggi (fraktur collum femur), fraktur yang tidak
bisa direposisi tertutup (fraktur avulse dan fraktur dislokasi), fraktur yang
dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan (fraktur monteggia, fraktur galeazzi,
fraktur antebrachi dan fraktur ankle), fraktur yang berdasarkan pengalaman
memberi hasil yang lebih baik dengan operasi (fraktur femur) (Appley, 2005).
4. Persiapan perioperatif di ruangan
Keadaan preoperasi:
a. Keadaan penderita, kooperatif, tensi 100/80 nadi 84 x/menit.
b. Klien menjalani program puasa 6 jam sebelum operasi dimulai.
Jenis Anestesi:
a. General anastesi : Face Mask
b. Premedikasi yang diberikan : Muscle relaxan : atracurium
c. Induksi anestesi : Untuk induksi digunakan Propofol 80 mg intra vena secara
pelan
d. Anestesi inhalasi : O2, Halothane
e. Rumatan : RL digrojog
f. Posisi anastesi : Terlentang
5. Persiapan atau prosedur di ruang operasi
Persiapan alat dan ruangan
a. Alat tidak steril : Lampu operasi, cuter unit, meja operasi, suction, hepafik,
gunting
b. Alat steril : Duk besar 3, Baju operasi 4, selang suction steril, selang cuter
Steril,side 2/0, palain 2/0, berbagai macam ukuran jarum
c. Set ORIF
1) Koker panjang 2
2) Klem bengkok 6
3) Bengkok panjang 1
4) Pinset cirugis 2
5) Gunting jaringan 1
6) Kom 2
7) Pisturi 1
8) Hand mest
9) Platina 1 set
10) Kassa steril
11) Gunting benang 2
12) Penjepit kasa 1
13) Bor 1
14) Hak pacul 1
15) Hak sedang 1
16) Hak duk 3
d. Prosedur operasi:
1) Pasien sudah teranestesi GA
2) Tim bedah melakukan cuci tangan (Scrub)
3) Tim bedah telah memakai baju operasi (Gloving)
4) Lakukan disinfeksi pada area yang akan dilakukan sayatan dengan arah
dari dalam keluar, alkohol 2x, betadine 2x
5) Pasang duk pada area yang telah di disinfeksi (Drapping)
6) Hidupkan cuter unit
7) Lakukan sayatan dengan hand mest dengan arah paramedian
8) Robek subkutis dengan menggunakan cuter hingga terlihat tulang yang
fraktur
9) Lakukan pengeboran pada tulang
10) Pasang platina
11) Lakukan pembersihan bagian yang kotor dengan cairan NaCl
12) Jahit subkutis dengan plain 2/0
13) Jahit bagian kulit dengan side 2/0
14) Tutup luka dengan kassa betadine, setelah itu diberi hepafik
K. Komplikasi
Komplikasi setelah fraktur adalah syok yang berakibat fatal dalam
beberapa jam setelah cedera, emboli lemak, yang dapat terjadi dalam 48 jam
atau lebih, dan sindrom kompartemen, yang berakibat kehilangan fungsi
ekstremitas permanent jika tidak ditangani segera. Adapun beberapa
komplikasi dari fraktur femur (Suratun, dkk, 2008) yaitu:
1. Syok
Syok hipovolemik atau traumatik akibat pendarahan (baik kehilangan darah
eksterna maupun interna) dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang
rusak dapat terjadi pada fraktur ekstremitas, toraks, pelvis, dan vertebra karena
tulang merupakan organ yang sangat vaskuler, maka dapat terjadi kehilangan
darah dalam jumlah yang besar sebagai akibat trauma, khususnya pada fraktur
femur pelvis.
2. Emboli lemak
Setelah terjadi fraktur panjang atau pelvis, fraktur multiple atau cidera remuk
dapat terjadi emboli lemak, khususnya pada pria dewasa muda 20-30 tahun.
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat termasuk ke dalam darah karna
tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karna
katekolamin yang di lepaskan oleh reaksi stres pasien akan memobilitasi asam
lemak dan memudahkan terjadiya globula lemak dalam aliran darah.Globula
lemak akan bergabung dengan trombosit membentuk.
L. Asuhan keperawatatan
PENGKAJIAN
1. Riwayat Keperawatan
a. Riwayat perjalanan penyakit
1) Keluhan utama klien datang ke RS atau pelayanan kesehatan
2) Apa penyebabnya, kapan terjadinya kecelakaan atau trauma
3) Bagaimana dirasakan, adanya nyeri, panas, bengkak dll
4) Perubahan bentuk, terbatasnya gerakan
5) Kehilangan fungsi
6) Apakah klien mempunyai riwayat penyakit osteoporosis
b. Riwayat pengobatan sebleumnya
1) Apakan klien pernah mendapatkan pengobatan jenis kortikosteroid
dalam jangka waktu lama
2) Apakah klien pernah menggunakan obat-obat hormonal, terutama pada
wanita
3) Berapa lama klien mendapatkan pengobatan tersebut
4) Kapan klien mendapatkan pengobatan terakhir
c. Proses pertolongan pertama yang dilakukan
1) Pemasangan bidai sebelum memindahkan dan pertahankan gerakan
diatas/di bawah tulang yang fraktur sebelum dipindahkan
2) Tinggikan ekstremitas untuk mengurangi edema
2. Pemeriksaan Fisik
a. Mengidentifikasi tipe fraktur
b. Inspeksi daerah mana yang terkena

1) Deformitas yang nampak jelas


2) Edema, ekimosis sekitar lokasi cedera
3) Laserasi

4) Perubahan warna kulit


5) Kehilangan fungsi daerah yang cidera
c. Palpasi

1) Bengkak, adanya nyeri dan penyebaran

2) Krepitasi

3) Nadi, dingin

4) Observasi spasme otot sekitar daerah fraktur

M. Diagnosa yang mungkin muncul


1) Hambatan Mobilitas Fisik b.d gangguan muskuloketeletal
2) Kerusakan intergritas kulit b.d medikasi
3) Nyeri akut b.d agen cidera fisik
4) Resiko syok hipovolemi

N. Rencana Keperawatan
Diagnosa Keperawatan
1. Hambatan Mobilitas Fisik b.d gangguan muskuloketeletal
- NOC
1. Joint Movement : Active
2. Mobility level
3. Self care : ADLs
4. Transfer performance
Kriteria hasil :
a. Klien meningkat dalam aktivitas fisik
b. Mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas
c. Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan
kemampuan berpindah
d. Memperagakan penggunaan alat bantu untuk mobilisasi
- NIC
Exercise therapy : ambulation
1. Konsultasi dengan terapi fisik tentang rencana ambulansi sesuai
kebutuhan
2. Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah
terhadap cedera
3. Kaji kemampuan klien dalam mobilisasi
4. Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLs secara
mandiri sesuai kemampuan
5. Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi
6. Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan
bantuan jika diperlukan
2. Kerusakan integritas kulit
- NOC
1. Tissue integrity : skin and mocus
2. Membranes
3. Hemodyalisis akses
Kriteria hasil:
a. Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan
b. Tidak ada luka/lesi pada kulit
c. Perfusi jaringan baik
d. Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan
mencegah terjadinya cedera berulang
e. Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembaban
kulit dan perawatan alami
- NIC
Insision site care
1. Membersihkan, memantau dan meningkatkan proses penyembuhan pada
luka yang ditutup dengan jahitan klip atau strapless
2. Monitor proses kesembuhan area insisi
3. Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi sekitar
4. Bersihkan area sekitar jahitan atau strepless menggunakan lidi kapas steril
5. Gunakan preparat antiseptic sesuai program
6. Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap
terbuka (tidak dibalut) sesuai program
3. Nyeri akut b.d agen cidera fisik
- NOC
1. Pain level
2. Pain control
3. Comfort level
Kriteria hasil:
a. Mampu mengontrol nyeri
b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen
nyeri
c. Mampu mengenali nyeri
d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang
- NIC
Paint management
1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, durasi,
karakteristik, frekuensi, kualitas, intensitas atau beratnya nyeri dan
faktor pencetus
2. Observasi adanya petunjuk nonverbal mengenai ketidaknyamanan
terutama pada mereka yang tidak dapat berkomunikasi secara efektif
3. Gunakan strategi komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman
nyeri dan sampaikan penerimaan pasien terhadap nyeri
4. Pertimbangkan tipe dan sumber nyeri ketika memilih strategi nyeri
5. Ajarkan penggunaan teknik non farmakologi
6. Berikan individu penurun nyeri yang optimal dengan peresepan analgesik
7. Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak
berhasil
4. Resiko syok hipovolemi
- NOC
1. Syok prevention
2. Syok management
Kriteria hasil:
a. Nadi dalam batas yang diharapkan
b. Irama jantung pada batas yang diharapkan
c. Frekuensi nafas dalam batas yang diharapkan
d. Irama pernafasan dalam batas yang diharapkan
e. Natrium serum dalam batas normal
f. Kalium serum dbn
g. Klorida serum dbn
h. Kalsium serum dbn
i. Magnesium serum dbn
j. Ph darah serum dbn
- NIC
1. Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung, HR
dan ritme nadi perifer, dan kapiler refill
2. Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan
3. Monitor suhu dan pernafasan
4. Monitor input dan output
5. Pantau nilai labor: HB, HT, AGD dan elektrolit
6. Monitor hemodinamik invasi yang sesuai
7. Monitor tanda dan gejala asites
8. Monitor tanda gejala awal syok
9. Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi untuk meningkatkan
preload dengan tepat
10. Lihat dan pelihara kepatenan jalan nafas
11. Berikan cairan iv, oral yang tepat
12. Berikan vasodilator yang tepat
13. Ajarkan keluarga dan pasien tentang tanda dan gejala datangnya syok
14. Ajarkan keluarga dan pasien tentang langkah untuk mengatasi gejala
syok

Syok management
1. Monitor fungsi neurologis
2. Monitor fungsi renal
3. Monitor tekanan nadi
4. Monitor status cairan, input output
5. Catat gas darah arteri dan oksigen dijaringan
6. Memonitor EKG
7. Monitor nilai labor
8. Monitor gejala gagal pernafasan
DAFTAR PUSTAKA

Appley, G. A. 2005. Orthopedi dan Fraktur Sistem Appley, Edisi VII. Jakarta:
Widya Medika.
Baradero, Mary. 2008. Keperawatan perioperatif .Jakarta : EGC.
Brunner & Suddarth. (2008). Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta :
EGC
Grace, Pierce A., dan Borley, Neil R., 2006. Nyeri Abdomen Akut. Dalam: Safitri,
Amalia, ed. At a Glance Ilmu Bedah. Edisi ketiga. Jakarta : Erlangga.
Juniartha. 2007. Angka Kejadian Fraktur. http://okezone.com diakses pada tanggal
14 September 2016
Lukman & Ningsih, Nurma. (2009). Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Musculoskeletal. Jakarta: Salemba Medik
Mansjoer, A dkk. 2007. Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1 edisi 3. Jakarta: Media
Aesculapius
Marilynn E, Doengoes. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Edisi 3. EGC :
Jakarta
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. EGC: Jakarta.
Noor Helmi, Zairin, 2012. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal; jilid 1, Jakarta:
Salemba Medika
Price, dkk. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses – Proses Penyakit, Ed. 6,
volume 1&2. EGC: Jakarta.
Smeltzer, Suzanne, C. Bare Brenda, G. 2004. Buku Ajar Keperawatan Medikal
Bedah, Brunner & Suddarth, Edisi VIII. Jakarta: EGC.
Suratun,.2008. Klien Gangguan System Muskuloskelata. Seri Asuhan Keperawatan ;
Editor Monika Este. EGC: Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai