Anda di halaman 1dari 13

Laporan Pendahuluan

Fraktur Pelvis

A. Pendahuluan

Fraktur pelvis secara potensial merupakan cidera yang paling berbahaya, karena dapat

menimbulkan perdarahan eksanguinasi. Sumber perdarahan biasanya pleksus vascular yang

melekat pada dinding pelvis, tetapi dapat juga dari cidera pembuluh darah iliaka, iliolumbal,

atau femoral. Bila terdapat tanda – tanda renjatan hipovolemik, maka harus dilakukan

transfuse darah dini. Selain itu, pasien dapat juga diberikan aplikasi pakaian anti renjatan

pneumatik. Reduksi dari fraktur yang tidak stabil juga dapat mengurangi perdarahan. Pada

fraktur pelvis, fraktur dimana perdarahan paling sering terjadi adalah sacrum atau ilium,

ramus pubis bilateral, separasi dari simfisis pubis, dan dislokasi dari artikulasio sakroiliaka.

Michael Eliastam et al. (1998 : 220)

B. Pengertian

Fraktur adalah terputusnya kontuinitas tulang yang ditandai oleh rasa nyeri,

pembengkakan, deformitas, gangguan fungsi, pemendekan, dan krepitasi. Fraktur adalah

terputusnya jaringan tulang/tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa,

misalnya: kecelakaan,benturan hebat yang ditandai oleh rasa nyeri, pembengkakan,

deformitas, dan lain-lain.

Fraktur pelvis merupakan 5% dari seluruh fraktur, 2/3 trauma pelvis terjadi akibat

kecelakaan lalu lintas. 10% diantaranya disertai trauma pada alat-alat dalam rongga panggul

seperti uretra, buli-buli, rektum serta pembuluh darah.


C. Etiologi

Fraktur tersering disebabkan karena tekanan yang kuat yang diberikan pada tulang

normal atau tekanan yang sedang pada tulang yang terkena penyakit, misalnya osteoporosis.

Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85)

Menurut Oswari E, (1993) ; Penyebab Fraktur adalah :

1. Kekerasan langsung; Kekerasan langsung menyebabkan patah tulang pada titik

terjadinya kekerasan. Fraktur demikian sering bersifat fraktur terbuka dengan garis

patah melintang atau miring.

2. Kekerasan tidak langsung: Kekerasan tidak langsung menyebabkan patah tulang

ditempat yang jauh dari tempat terjadinya kekerasan. Yang patah biasanya adalah

bagian yang paling lemah dalam jalur hantaran vektor kekerasan.

3. Kekerasan akibat tarikan otot: Patah tulang akibat tarikan otot sangat jarang

terjadi. Kekuatan dapat berupa pemuntiran, penekukan, penekukan dan penekanan,

kombinasi dari ketiganya, dan penarikan.

D. MANIFESTASI KLINIS

1. Nyeri

2. Kehilangan fungsi

3. Deformitas, nyeri tekan, dan bengkak

4. Perubahan warna dan memar

5. Krepitasi. (Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85)


E. PATHOFISIOLOGI

Fraktur paling sering disebabkan oleh trauma, hantaman yang keras akibat kecelakaan

yang mengenai tulang akan mengakibatkan tulang menjadi patah dan fragmen tulang tidak

beraturan atau terjadi diskontinuitas di tulang tersebut.

Pada fraktur tibia dan fibula lebih sering terjadi dibanding fraktur batang tulang panjang

lainnya karena periost yang melapisi tibia agak tipis, terutama pada daerah depan yang

hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan karena berada langsung di bawah

kulit maka sering ditemukan adanya fraktur terbuka.


F. PATHWAY

Jatuh, hantaman, kecelakaan, dll Trauma tidak langsung Osteoporosis,


osteomielitis,
keganasan, dll
Trauma langsung
Tekanan pada tulang

Kondisi patologis
Tidak mampu meredam
energy yang terlalu besar
Tulang rapuh

fraktur
Tidak mampu
menahan berat badan
Pergeseran fragmen
tulang

Merusak jaringan Prosedur


sekitar pembedahan

Menembus Pelepasan mediator deformitas Kurang terpapar


kulit inflamasi informasi
mengenai
Gangguan
prosedur
luka vasodilatasi fungsi
pembedahan

Kerusakan Peningkatan aliran Hambata


integritas darah n
mobilitas Ancaman
jaringan kematian
fisik
Peningkatan
Kerusakan permeabilitas Trauma arteri/ Krisis situasional
pertahanan primer kalpiler vena

ansietas
Port de entry kuman Kebocoran perdarahan
cairan ke
intersitial Tindakan infasiv
Resiko infeksi Tidak terkontrol

oedema
Kehilangan
Resiko syok sepsis
volume
Menekan cairan
Pelepasan pembuluh darah
mediator nyeri perifer
(histamine,
prostaglandin,
G. Pemeriksaan Diagnostic

1. Radiografi pada dua bidang (cari lusensi dan diskontinuitas pada korteks tulang)

2. Tomografi, CT scan, MRI (jarang)

3. Ultrasonografi dan scan tulang dengan radioisotop. (Scan tulang terutama berguna

ketika radiografi/ CT scan memberikan hasil negative pada kecurigaan fraktur secara

klinis)

Pierce A. Grace and Neil R.Borley(2007:85)

H. Penatalaksanaan

1. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakaan alat-alat dalam rongga panggul

2. Stabilisasi Fraktur panggul, misalnya:

a. Fraktur alvusi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti isirahat,

traksi, pelvic sling

b. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksternal atau dengan operasi yang

dikembangkan oleh grup ASIF

I. PROSES KEPERAWATAN

1. Pengkajian

a. Aktivitas/istirahat

b. Sirkulasi

c. Neurosensori

d. Nyeri/kenyamanan

e. Penyuluhan/Pembelajaran
2. Diagnosa Keperawatan

a. Nyeri akut b.d. pergeseran fragmen tulang sekunder fraktur

b. Hambatan mobilitas fisik b.d. deformitas sekunder kerusakan rangka tulang

c. Resiko syok sepsis b.d. infeksi sekunder pemasangan alat fiksasi invasive

d. Ansietas b.d. stress, ancaman kematian

e. Defisit perawatan diri b.d. gangguan mobilitas fisik

3. Perencanaan (NCP)

a. Nyeri akut b.d. pergeseran fragmen tulang sekunder fraktur

Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan selama 1 x 24 jam diharapkan nyeri

klien berkurang dengan kriteria hasil :

1) Klien mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan

tekhnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri, dan mencari bantuan)

2) Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan manajemen nyeri

3) Mampu mengenali nyeri (skala intensitas, frekuensi, dan tanda nyeri)

4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

Rencana Tindakan dan Rasional :

1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik,

durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi

2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

3) Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui pengalaman nyeri

pasien

4) Evaluasi pengalaman nyeri masa lampau


5) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,

pencahayaan, dan kebisingan

6) Kurangi faktor presipitasi nyeri

7) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, non farmakologi, dan

interpersonal)

8) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

9) Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi

10) Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri

11) Evaluasi keefektifan kontrol nyeri

12) Tingkatkan istirahat

13) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri

b. Hambatan mobilitas fisik b.d. deformitas sekunder kerusakan rangka tulang

Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2 x 24 jam

diharapkan hambatan mobilitas klien berkurang dengan kriteria hasil :

1) Kemampuan klien meningkat dalam aktivitas fisik

2) Klien mengerti tujuan dari peningkatan mobilitas

3) Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan

berpindah

4) Mempergunakan alat bantu mobilisasi (walker)

Rencana Tindakan dan Rasional :

1) Monitor vital sign sebelum / sesudah latihan dan lihat respon pasien saat

latihan
2) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan

kebutuhan

3) Bantu klien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap

cidera

4) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang tekhnik ambulasi

5) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi

6) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan ADLS secara mandiri sesuai

kemampuan

7) Damping dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan ADLS

pasien

8) Berikan alat bantu jika klien memerlukan

9) Ajarkan pasien bagaimana cara merubah posisi dan berikan bantuan jika

diperlukan

c. Resiko syok sepsis b.d. infeksi sekunder pemasangan alat fiksasi invasive

Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

diharapkan syok sepsis tidak terjadi dengan kriteria hasil :

1) Nadi dalam batas normal (80 – 100x/menit)

2) Irama jantung dalam batas yang diharapkan yaitu teratur

3) Frekuensi nafas dalam batas yang diharapkan ( 18 – 20x/menit)

4) Irama pernafasan teratur

5) Natrium serum, Kalium serum, Klorida serum, kalsium serum, magnesium

serum, dan pH darah serum dalam batas normal

6) Hidrasi baik dengan indikator :


a. Mata cekung tidak ditemukan

b. Demam tidak ditemukan suhu tubuh dalam rentang normal (36,5 – 37,5oC)

c. Tekanan darah dalam batas normal (120/80 mmHg – 140/85 mmHg)

d. Hematokrit dalam batas normal (36 – 44%)

Rencana Tindakan dan Rasional :

Syok prevention :

1) Monitor status sirkulasi BP, warna kulit, suhu kulit, denyut jantung, HR, dan

ritme, nadi perifer, dan kapiler refill

2) Monitor tanda inadekuat oksigenasi jaringan

3) Monitor suhu dan pernafasan

4) Monitor input dan output

5) Pantau nilai laborat :HB, HT, AGD, dan elektrolit

6) Monitor hemodinamik invasi yang sesuai

7) Monitor tanda dan gejala asites

8) Monitor tanda awal syok

9) Tempatkan pasien pada posisi supine, kaki elevasi untuk peningkatan preload

(tenaga yang menyebabkan otot ventrikel meregang sebelum mengalami

eksitasi dan kontriksi) dengan tepat

d. Ansietas b.d. stress, ancaman kematian

Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 x 24 jam

diharapkan kecemasan pasien berkurang dengan kriteria hasil :

1) Klien mampu mengidentifikasi dan mengungkapkan gejala cemas


2) Mengidentifikasi, mengungkapkan, dan menunjukkan tekhnik untuk

mengontrol cemas

3) Vital sign dalam batas normal (TD : 120/80 mmHg – 140/85 mmHg, RR : 18

– 20 x/menit, HR : 80 – 100 x/menit, suhu : 36,5 – 37,5oC)

4) Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh, dan tingkat aktivitas

menunjukkan berkurangnya kecemasan)

Rencana Tindakan dan Rasional :

1) Gunakan pendekatan yang menenangkan

2) Jelaskan semua prosedur dan apa yang dilakukan selama prosedur

3) Pahami perspekstif pasien terhadap situasi stress

4) Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi takut

5) Dengarkan dengan penuh perhatian

6) Identifikasi tingkat kecemasan

7) Bantu pasien mengenal situasi yang menimbulkan kecemasan

8) Dorong pasien mengungkapkan perasaan, ketakutan, persepsi

9) Instruksikan pasien menggunakan tekhnik relaksasi

10) Berikan obat untuk mengurangi kecemasan

e. Defisit perawatan diri berpakaian, eliminasi, makan , mandi b.d. gangguan

mobilitas fisik

Rencana Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam

diharapkan kemampuan perawatan diri pasien mengalami peningkatan dengan

kriteria hasil :
1) Mampu melakukan tugas fisik yang paling mendasar dan aktivitas perawatan

pribadi secara mandiri dengan atau tanpa alat bantu

2) Mampu mengenakan pakaian dengan mampu merisleting, mengancingkan

pakaian, menggunakan pakaian secara rapi dan bersih, serta mampu melepas

pakaia, dan kaos kaki

3) Mampu berhias sendiri secara mandiri atau tanpa alat bantu dan menunjukkan

rambut yang rapi dan bersih

4) Mampu mempertahankan kebersihan pribadi dan penampilan yang rapi secara

mandiri dengan atau tanpa alat bantu

5) Dapat memilih pakaian dan mengambilnya dari lemari atau laci bajuRencana

Tindakan dan Rasional

6) Perawatan diri eliminasi : mampu melakukan aktivitas eliminasi secara

mandiri atau tanpa alat bantu

7) Mampu duduk dan turun dari kloset dan membersihkan diri setelah eliminasi

8) Mengenali dan mengetahui kebutuhan bantuan untuk eliminasi

9) Perawatan diri mandi : mampu menbersihkan tubuh sendiri secara mandiri

dengan atau tanpa alat bantu

10) Perawatan diri higiene oral : mampu untuk merawat mulut dan gigi secara

mandiri dengan atau tanpa alat bantu

11) Mampu mempertahankan mobilitas yang diperlukan untuk ke kamar mandi

dan menyediakan perlengkapan mandi serta membersihkan dan mengeringkan

tubuh

Rencana Tindakan dan Rasional :


1) Pantau tingkat kekuatan dan toleransi aktivitas

2) Pantau peningkatan dan penurunan kemampuan untuk berpakaian dan

melakukan perawatan rambut

3) Pertimbangkan budaya pasien ketika mempromosikan aktivitas perawatan diri

4) Pertimbangkan usia dan budaya pasien ketika mempromosikan aktivitas

perawatan diri

5) Bantu pasien memilih pakaian yang mudah dipakai dan dilepas dan sediakan

pakaian pasien pada tempat yang mudah dijangkau (disamping tempat tidur)

6) Dukung kemandirian pasien dalam berpakaian , berhias, bantu pasien jika

diperlukan, fasilitasi pasien untuk menyisir rambut bila memungkinkan, dan

pertahankan privasi saat pasien berpakaian

7) Beri pujian atas usaha untuk berpakaian sendiri

8) bantu pasien ke toilet atau membantu pasien dengan alat bantu eliminasi

seperti pispot, memfasilitasi kebersihan toilet setelah selesai eliminasi, dan

menyiramkan toilet atau pispot

9) monitor kemampuan pasien untuk menelan

10) Identifikasi diet yang diresepkan

11) Ciptakan lingkungan yang nyaman selama makan seperti memindahkan

pispot, urinal, dsb keluar ruangan

12) Sediakan penghilang rasa sakit dan sediakan kesehatan mulut yang memadai

sebelum makan

13) Menyediakan sedotan untuk membantu pasien minum dan menyediakan

makanan pada kondisi hangat


DAFTAR PUSTAKA

Michael Eliastam, George L. Sternbach, Michael Jay Bresler.1998.

Buku Saku Penuntun Kedaruratan Medis.Jakarta:EGC.

Pierce A. Grace and Neil R.Borley.2007.At a Glance Ilmu Bedah.Jakarta:Erlangga.

Oswari, E (1993) Bedah dan Perawatannya, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Daryadi,Muhammad. “Askep Fraktur Pelvis”. 1 Agustus 2015.

http://nsyadi.blogspot.com/2011/12/askep-fraktur-pelvis.html.

Nurarif, Amin Huda & Hardhi Kusuma.2015.Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan

Diagnosa Medis dan Nanda (Nort American Nursing Diagnosis Assosiation)NIC -

NOC.Jogjakarta:Mediaction.

Anda mungkin juga menyukai