Anda di halaman 1dari 14

BAB I

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian
Abses (Latin: abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati) yang
terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh
bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau
jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah
penyebaran/perluasan infeksi ke bagian tubuh yang lain. Abses adalah infeksi kulit dan
subkutis dengan gejala berupa kantong berisi nanah. (Siregar, 2011).
Abses adalah pengumpulan nanah yang terlokalisir sebagai akibat dari infeksi yang
melibatkan organisme piogenik, nanah merupakan suatu campuran dari jaringan nekrotik,
bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh enzim autolitik
(Morison, 2010 dalam Nurarif & Kusuma, 2013).
Abses (misalnya bisul) biasanya merupakan titik “mata”, yang kemudian pecah;
rongga abses kolaps dan terjadi obliterasi karena fibrosis, meninggalkan jaringan parut
yang kecil (Harrison, 2012).
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa abses colli adalah suatu infeksi
kulit yang disebabkan oleh bakteri / parasit atau karena adanya benda asing (misalnya
luka peluru maupun jarum suntik) dan mengandung nanah yang merupakan campuran
dari jaringan nekrotik, bakteri, dan sel darah putih yang sudah mati yang dicairkan oleh
enzim autolitik yang timbul di dalam ruang potensial diantara fasia leher dalam, akibat
perjalanan berbagai sumber infeksi seperti gigi, mulut, tenggorokan, sinus paranasal dan
telinga leher.
Anatomi / Patologi

Rassner et al (1995: 257) mengemukakan bahwa subkutis (hipoderm, panikulus

adiposus) merupakan kompartemen ketiga dari organ kulit disamping epidermis dan dermis.

Subkutis yang letaknya diantara dermis (korium) dan fasia tubuh, membungkus dengan

lapisannya yang relatif tebal.

Epidermis

Dermis

Subkutis

Papila dermis

Papila subkutis

Septa fibrosa

Lobulus lemak dengan sel

lemak

Fasia

Gambar 1: Skema subkutis (Rassner et al, 1995: 257)


Rassner et al (1995: 257) menjelaskan bahwa subkutis terdiri atas sel lemak, jaringan

ikat dan pembuluh darah sel lemak (liposit) di organisir menjadi lemak (mikrolobuli, lobuli,

pembuluh darah) dan ini semua diringkas dalam septa jaringan ikat. Septa jaringan ikat

(septa fibrosa) mengukuhkan subkutis baik dalam fasia tubuh maupun dalam korium dan

bertindak sebagai jalan untuk pembuluh darah dan saraf kulit ke dalam subkutis masuk

folikel, rambut dan kelenjar keringat sebagai adneksa kutis. Selain itu dalam subkutis terdapat

vena-vena besar (misalnya vena saphena) dan saluran limfe disertai dengan kelenjar getah

bening regional superfisialis. Fungsi subkutis antara lain sebagai termoisolasi, depo energi

(penimbunan lemak), fungsi pelindung dari faktor mekanik (lapisan pelindung dan lapisan

penggeser antara korium dan fasia tubuh).

Nadesul, H (1997: 2-3) mengemukakan bahwa didalam kulit juga terdapat pembuluh

darah dan kelenjar getah bening. Pembuluh darah untuk memberi makan kulit. Melalui aliran

darah, zat makanan dan zat asam disalurkan kelenjar getah bening membuat zat anti.

Maksudnya untuk melindungi tubuh dari serangan bibit penyakit, kulit yang memiliki

kelenjar-kelenjar lemak dan kelenjar peluh. Keduanya untuk membasahi kulit agar lembab.

Bahan pelembab ini sekaligus sebagai pelindung kulit terhadap bibir penyakit kulit.

Sedangkan kelenjar peluh sebagai pengalir peluh juga berfungsi mengeluarkan panas tubuh

yang berlebihan.

Rassner et al (1995; 256) mengemukakan bahwa pada penyakit akuisita terdapat

perubahan-perubahan berikut:

1. Perubahan yang bersifat reaktif: hipertrofi /hiperplasi lokal/umum atau atropi.


2. Kerusakan: atrofi, distrofi, jaringan lemak (atrofi dan hiperItrofi), nekrosis jaringan lemak

(akut) atau nekrobiosis (perlahan-lahan). Pembentukan lipogranuloma (makrofag/ lipofag

atau pembentukan serabut), fibrosis jaringan lemak maupun jaringan parut (stadium

terminal)

3. Peradangan: secara global mereka disebut sebagai panikulitis, suatu panikulitis terutama

dapat mengenai lobus (panikulitis lobular) atau didalam septa jaringan ikat (panikulitis

septal)

Proses penyakit dapat menyerang jaringan ikat subkutan atau pembuluh darah

subkutan dan menyebabkan perubahan sekunder jaringan lemak (Rassner et al, 1995:

256).

B. Jenis – jenis Abses


1. Abses Ginjal
Abses ginjal yaitu peradangan ginjal akibat infeksi. Ditandai dengan pembentukan
sejumlah bercak kecil bernanah atau abses yang lebih besar yang disebabkan oleh
infeksi yang menjalar ke jaringan ginjal melalui aliran darah.
2. Abses Perimandibular
Bila abses menyebar sampai di bawah otot-otot pengunyahan, maka akan timbul
bengkak-bengkak yang keras, di mana nanah akan sukar menembus otot untuk keluar,
sehingga untuk mengeluarkan nanah tersebut harus dibantu dengan operasi
pembukaan abses.
3. Abses Rahang gigi
Radang kronis, yang terbungkus dengan terbentuknya nanah pada ujung akar gigi
atau geraham. Menyebar ke bawah selaput tulang (sub-periostal) atau di bawah
selaput lendir mulut (submucosal) atau ke bawah kulit (sub-cutaneus). Nanah bisa
keluar dari saluran pada permukaan gusi atau kulit mulut (fistel). Perawatannya bisa
dilakukan dengan mencabut gigi yang menjadi sumber penyakitnya atau perawatan
akar dari gigi tersebut.
4. Abses Sumsum Rahang
Bila nanah menyebar ke rongga-rongga tulang, maka sumsum tulang akan terkena
radang (osteomyelitis). Bagian-bagian dari tulang tersebut dapat mati dan kontradiksi
dengan tubuh. Dalam hal ini nanah akan keluar dari beberapa tempat (multiple fitsel).
5. Abses dingin (cold abcess)
Pada abses ini, karena sedikitnya radang, maka abses ini merupakan abses menahun
yang terbentuk secara perlahan-lahan. Biasanya terjadi pada penderita tuberkulosis
tulang, persendian atau kelenjar limfa akibat perkijuan yang luas.
6. Abses hati
Abses ini akibat komplikasi disentri amuba (Latin: Entamoeba histolytica), yang
sesungguhnya bukan abses, karena rongga ini tidak berisi nanah, melainkan jaringan
nekrotik yang disebabkan oleh amuba. Jenis abses ini dapat dikenali dengan
ditemukannya amuba pada dinding abses dengan pemeriksaan histopatologis dari
jaringan.
7. Abses (Lat. abscessus)
Rongga abnormal yang berada di bagian tubuh, ketidaknormalan di bagian tubuh,
disebabkan karena pengumpulan nanah di tempat rongga itu akibat proses radang
yang kemudian membentuk nanah. Dinding rongga abses biasanya terdiri atas sel
yang telah cedera, tetapi masih hidup. Isi abses yang berupa nanah tersebut terdiri
atas sel darah putih dan jaringan yang nekrotik dan mencair. Abses biasanya
disebabkan oleh kuman patogen misalnya: bisul.
C. Etiologi
Menurut Siregar (2004) suatu infeksi bakteri bisa menyebabkan abses melalui beberapa
cara:
1. Bakteri masuk ke bawah kulit akibat luka yang berasal dari tusukan jarum yang tidak
steril
2. Bakteri menyebar dari suatu infeksi di bagian tubuh yang lain
3. Bakteri yang dalam keadaan normal hidup di dalam tubuh manusia dan tidak
menimbulkan gangguan, kadang bisa menyebabkan terbentuknya abses.
Peluang terbentuknya suatu abses akan meningkat jika :
a. Terdapat kotoran atau benda asing di daerah tempat terjadinya infeksi
b. Daerah yang terinfeksi mendapatkan aliran darah yang kurang
c. Terdapat gangguan sistem kekebalan
Bakteri tersering penyebab abses adalah Staphylococus Aureus
D. Manifestasi Klinis
Abses bisa terbentuk diseluruh bagian tubuh, termasuk paru-paru, mulut, rektum, dan
otot. Abses yang sering ditemukan didalam kulit atau tepat dibawah kulit terutama jika
timbul diwajah. Menurut Smeltzer & Bare (2001), gejala dari abses tergantung kepada
lokasi dan pengaruhnya terhadap fungsi suatu organ saraf. Gejalanya bisa berupa:

1. Nyeri
2. Nyeri tekan
3. Teraba hangat
4. Pembengakakan
5. Kemerahan
6. Demam
Suatu abses yang terbentuk tepat dibawah kulit biasanya tampak sebagai benjolan.
Adapun lokasi abses antara lain ketiak, telinga, dan tungkai bawah. Jika abses akan
pecah, maka daerah pusat benjolan akan lebih putih karena kulit diatasnya menipis. Suatu
abses di dalam tubuh, sebelum menimbulkan gejala seringkali terlebih tumbuh lebih
besar. Paling sering, abses akan menimbulkan Nyeri tekan dengan massa yang berwarna
merah, hangat pada permukaan abses , dan lembut.
1. Abses yang progresif, akan timbul "titik" pada kepala abses sehingga Anda dapat
melihat materi dalam dan kemudian secara spontan akan terbuka (pecah).
2. Sebagian besar akan terus bertambah buruk tanpa perawatan. Infeksi dapat menyebar
ke jaringan di bawah kulit dan bahkan ke aliran darah.
Jika infeksi menyebar ke jaringan yang lebih dalam, Anda mungkin mengalami demam
dan mulai merasa sakit. Abses dalam mungkin lebih menyebarkan infeksi keseluruh
tubuh.
E. Patofisiologi
Jika bakteri masuk ke dalam jaringan yang sehat, maka akan terjadi suatu infeksi.
Sebagian sel mati dan hancur, meninggalkan rongga yang berisi jaringan dan sel-sel yang
terinfeksi. Sel-sel darah putih yang merupakan pertahanan tubuh dalam melawan infeksi,
bergerak kedalam rongga tersebut, dan setelah menelan bakteri, sel darah putih akan mati,
sel darah putih yang mati inilah yang membentuk nanah yang mengisi rongga tersebut.
Akibat penimbunan nanah ini, maka jaringan di sekitarnya akan terdorong. Jaringan pada
akhirnya tumbuh di sekeliling abses dan menjadi dinding pembatas. Abses dalam hal ini
merupakan mekanisme tubuh mencegah penyebaran infeksi lebih lanjut. Jika suatu abses
pecah di dalam tubuh, maka infeksi bisa menyebar kedalam tubuh maupun dibawah
permukaan kulit, tergantung kepada lokasi abses. (Utama, 2001).
F. Komplikasi
Komplikasi mayor dari abses adalah penyebaran abses ke jaringan sekitar atau
jaringan yang jauh dan kematian jaringan setempat yang ekstensif (gangren). Pada
sebagian besar bagian tubuh, abses jarang dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga
tindakan medis secepatnya diindikasikan ketika terdapat kecurigaan akan adanya abses.
Suatu abses dapat menimbulkan konsekuensi yang fatal. Meskipun jarang, apabila abses
tersebut mendesak struktur yang vital, misalnya abses leher dalam yang dapat menekan
trakea. (Siregar, 2004).
G. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium : Peningkatan jumlah sel darah putih.
2. Untuk menentukan ukuran dan lokasi abses dilakukan pemeriksaan rontgen, USG, CT
Scan, atau MRI.
H. Penatalaksanaan Medis
Abses luka biasanya tidak membutuhkan penanganan menggunakan antibiotik.
Namun demikian, kondisi tersebut butuh ditangani dengan intervensi bedah dan
debridement. Suatu abses harus diamati dengan teliti untuk mengidentifikasi
penyebabnya, terutama apabila disebabkan oleh benda asing, karena benda asing tersebut
harus diambil. Apabila tidak disebabkan oleh benda asing, biasanya hanya perlu dipotong
dan diambil absesnya, bersamaan dengan pemberian obat analgetik dan antibiotik.
Drainase abses dengan menggunakan pembedahan diindikasikan apabila abses
telah berkembang dari peradangan serosa yang keras menjadi tahap nanah yang lebih
lunak. Drain dibuat dengan tujuan mengeluarkan cairan abses yang senantiasa diproduksi
bakteri.
Apabila menimbulkan risiko tinggi, misalnya pada area-area yang kritis, tindakan
pembedahan dapat ditunda atau dikerjakan sebagai tindakan terakhir yang perlu
dilakukan. Memberikan kompres hangat dan meninggikan posisi anggota gerak dapat
dilakukan untuk membantu penanganan abses kulit.
Karena sering kali abses disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus,
antibiotik antistafilokokus seperti flucloxacillin atau dicloxacillin sering digunakan.
Dengan adanya kemunculan Staphylococcus aureus resisten Methicillin (MRSA) yang
didapat melalui komunitas, antibiotik biasa tersebut menjadi tidak efektif. Untuk
menangani MRSA yang didapat melalui komunitas, digunakan antibiotik lain:
clindamycin, trimethoprimsulfamethoxazole, dan doxycycline.
Adapun hal yang perlu diperhatikan bahwa penanganan hanya dengan
menggunakan antibiotik tanpa drainase pembedahan jarang merupakan tindakan yang
efektif. Hal tersebut terjadi karena antibiotic sering tidak mampu masuk ke dalam abses,
selain itu antibiotik tersebut seringkali tidak dapat bekerja dalam pH yang rendah.
I. Pencegahan
Menjaga kebersihan kulit dengan sabun cair yang mengandung zat anti-bakteri
merupakan cara terbaik untuk mencegah terjadinya infeksi atau mencegah penularan.
BAB II
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
Meliputi : nama, alamat, umur, nomer register, usia, jenis kelamin,
Abses bisa menyerang siapa saja dan dari golongan usia berapa saja, namun
yang paling sering diserang adalah bayi dan anak-anak.
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan utama
Nyeri, panas, bengkak, dan kemerahan pada area abses.
2) Riwayat kesehatan sekarang
a) Abses di kulit atau dibawah kulit sangat mudah dikenali, sedangkan abses
dalam seringkali sulit ditemukan.
b) Riwayat trauma, seperti tertusuk jarum yang tidak steril atau terkena
peluru, dll.
c) Riwayat infeksi (suhu tinggi) sebelumnya yang secara cepat menunjukkan
rasa sakit diikuti adanya eksudat tetapi tidak bisa dikeluarkan.
3) Riwayat kesehatan keluarga
Riwayat penyakit menular dan kronis, seperti TBC dan diabetes mellitus.
4) Keadaan psikologis Perilaku, Pola emosional, Konsep diri, Penampilan
intelektual, Pola pemecahan masalah, Daya ingat.
2. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan Umum.
2) Tanda-tanda vital : Tekanan Darah, Suhu, Nadi, Respirasi.
3) Sistem Pencernaan
Bentuk bibir, lesi mukosa mulut, kelengkapan gigi, muntah, kemampuan
menelan, mengunyah, bentuk peut, BU, distensi abdomen, dll.
4) Sistem Pernafasan
Kesimetrisan hidung, pernafasan cuping hidung, deformitas, bersin, warna
mukosa, perdarahan, nyeri sinus, bentuk dada, kesimetrisan, nyeri dada,
frekwensi pernafasan, jenis pernafasan, bunyi nafas, dll.
5) Sistem cardiovaskuler
Konjungtiva anemis/tidak, akral dingin/hangat, CRT, JVP, bunyi jantung,
tekanan darah, pembesaran jantung, Cyanosis, dll.
6) Sistem integumen
Warna kulit, turgor kulit, temperatur, luka/lesi, kebersihannya, integritas,
perubahan warna, keringat, eritema, kuku, rambut (kebersihan, warna, dll.)
7) Sistem persyarafan
Tingkat kesadaran, kepala ukuran, kesimetrisan, benjolan, ketajaman mata,
pergerakan bola mata, kesimetrisan, reflek kornea, reflek pupil, nervus 1 s.d.
12, kaku kuduk, dll.
8) Sistem endokrin
Pertumbuhan dan perkembangan fisik, proporsi dan posisi tubuh, ukuran
kepala dan ekstremitas, pembesaran kelaenjar tyroid, tremor ekstremitas, dll.
9) Sistem muskuloskeletal
Rentang gerak sendi, gaya berjalan, posisi berdiri, ROM, kekuatan otot,
deformitas, kekakuan pembesaran tulang, atrofi, dll.
10) Sistem reproduksi
Laki-laki: penis skrotum, testis, dll.
Perempuan: pembengkakan benjolan, nyeri, dll.
11) Sistem perkemihan
Jumlah, warna, bau, frekwensi BAK, urgensi, dysuria, nyeri pinggang,
inkontinensia, retensi urine, dll.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan rontgen, USG, CT, Scan, atau MRI.
4. Therapi

5. Diagnosa Keperawatan
a. Pre operasi
1) Nyeri Akut berhubungan dengan agen injuri biologi
2) Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
b. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan
2) Resiko penyebaran infeksi berhubungan dengan luka terbuka
3) Kerusakan Intergritas kulit berhubungan dengan trauma jaringan.
6. Perencanaan Keperawatan
Berdasarkan diagnosa keperawatan dengan menetapkan tujuan,
kriteria hasil, dan menentukan rencana tindakan yang akan dilakukan:
a. Pre operasi
1) Nyeri berhubungan dengan reaksi peradangan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1×24 jam diharapkan
gangguan rasa nyaman nyeri teratasi.
Kriteria Hasil : Klien mengungkapkan secara verbal rasa nyeri berkurang, klien
dapat rileks, klien mampu mendemonstrasikan keterampilan relaksasi dan
aktivitas sesuai dengan kemampuannya, TTV dalam batas normal; TD : 120 /
80 mmHg, Nadi : 80 x / menit, pernapasan : 20 x / menit.
Intervensi :
1) Observasi TTV
2) Kaji lokasi, intensitas, dan lokasi nyeri.
3) Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan.
4) Dorong menggunakan teknik manajemen relaksasi.
5) Kolaborasikan obat analgetik sesuai indikasindikasi
2) Gangguan thermoregulator berhubungan dengan proses peradangan
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1×24 jam diharapkan
Hipertermi dapat teratasi.
Kriteria hasil : Suhu tubuh dalam batas normal (36 0C– 37 0C).
Intervensi :
1) Observasi TTV, terutama suhu tubuh klien.
2) Anjurkan klien untuk banyak minum, minimal 8 gelas / hari.
3) Lakukan kompres hangat.
4) Kolaborasi dalam pemberian antipiretik.
b. Post Operasi
1) Nyeri berhubungan dengan luka insisi akibat pembedahan.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan gangguan rasa
nyaman nyeri teratasi.
Kriteria Hasil : Klien mengungkapkan secara verbal rasa nyeri berkurang, klien
dapat rileks, klien mampu mendemonstrasikan keterampilan relaksasi dan
aktivitas sesuai dengan kemampuannya, TTV dalam batas normal; TD : 120 / 80
mmHg, Nadi : 80 x / menit, pernapasan : 20 x / menit.
Intervensi :
1) Observasi TTV
2) Kaji lokasi, intensitas, dan lokasi nyeri.
3) Observasi reaksi non verbal dari ketidaknyamanan.
4) Dorong menggunakan teknik manajemen relaksasi.
5) Kolaborasikan obat analgetik sesuai indikasi
7. Implementasi Keperawatan
Implementasi dimulai setelah rencana tindakan disusun dan ditujukan untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari pelaksanaan yaitu
mencapai tujuan yang telah ditetapkan, peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,
pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping.
8. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang
menandakan seberapa jauh diagnose keperawatan, rencana tindakan, dan pelaksanaan
sudah berhasil.

DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, Lynda Juall & Moyet, Buku Saku; Diagnosis Keperawatan, 13 th Edition,
Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2013 (diakses tanggal 6
november 2014)
Harrison. Prinsip-prinsip ilmu penyakit dalam. Editor dalam bahasa Inggris : kurt J.
Lessebacher. Et. Al : editor bahasa Indnesia Ahmad H. Asdie. Edisi 13.
jakarta : EGC. 2005. (diakses tanggal 6 November 2014)
Nanda International, Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi, Penerbit
Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 2012 (diakses tanggal 6 November
2014)
Nurarif, Amin Huda & Hardi Kusuma, Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA; NIC-NOC, Mediaction Publishing, Jakarta,
2013 (diakses tanggal 6 November 2014)
Siregar, R,S. Atlas Berwarna Saripati Kulit. Editor Huriawati Hartanta. Edisi 2.
Jakarta:EGC,2004. (diakses tanggal 6 November 2014)
Suzanne, C, Smeltzer, Brenda G Bare. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah
Bruner and Suddarth. Ali Bahasa Agung Waluyo. ( et,al) Editor bahasa
Indonesia :Monica Ester. Edisi 8 jakarta : EGC,2007. (diakses tanggal 6
November 2014)

Pathway
Bakteri gram positif
(Staphylococcus aureus Streptococcus

Mengeluarkan enzim hyaluronidase dan enzim


koagulase

merusak jembatan antar sel

transpor nutrisi antar sel


terganggu

Jaringan rusak/ mati/


nekrosis

Media bakteri yang


baik

Peradangan Jaringan
terinfeksi

Demam Sel darah putih


mati

Gangguan Jaringan menjadi abses


Thermoregulator & berisi PUS Pembedahan
(Pre Operasi)

Pecah
Luka insisi
Reaksi Peradangan
(Rubor, Kalor, Tumor, Resiko Penyebaran Infeksi
Dolor, Fungsiolaesea) Nyeri
(Post Operasi)

Nyeri
(Pre operasi)

Anda mungkin juga menyukai