1. DEFINISI
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas dari struktur tulang, tulang sendi, tulang rawan epifisis,
yang bersifat total maupun parisal (Stanley, 2011). Fraktur atau patah tulang dapat disebabkan
oleh trauma langsung dan non trauma langsung. Fraktur dapat menyebabkan kerusakan yang
komplit dan beberapa fragmen tulang terpisah.
2. KLASIFIKASI
Menurut Rasjad (2007) dan Novelandi (2011) secara klinis, fraktur dibagi menurut beberapa
macam, yaitu:
A. Hubungan patahan tulang dengan jaringan sekitarnya, yaitu:
1) Fraktur Terbuka (Open fracture)
Tabel 2.1 Derajat fraktur terbuka menurut Gustillo dalam Novelandi (2011), yaitu:
Derajat Luka Fraktur
I - Luka laserasi (robek) < 1 cm Sederhana,
- Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka transversal, oblik,
remuk atau kominutif
- Kontaminasi minimai dan relative bersih ringan
II - Luka laserasi (robek) >1 cm
- Kerusakan jaringan lunak tidak luas, tidak ada avulsi atau Dislokasi fragmen
flap jelas
- Terdapat kontaminasi sedang
III - Kerusakan jaringan lunak yang luas dan rusak atau Kominutif,
hilangnya jaringan disekitarnya, meliputi struktur kulit, segmental,
otot, dan neurovascular. fragmen tulang
- Kontaminasi hebat ada yang hilang
III A Jaringan lunak yang menutupi fraktur tulang adekuat, meskipun terdapat laserasi
luas/flap/avulsi atau fraktur segmental/sangat kominutif yang disebabkan oleh
trauma berenergi tinggi tanpa melihat besarnya ukuran luka.
III B Kehilangan jaringan lunak dengan fraktur tulang yang terpapar atau kontaminasi
masif.
III C Luka pada pembuluh arteri/saraf perifer yang harus diperbaiki tanpa melihat
kerusakan jaringan lunak.
2) Fraktur Tertutup (Close fracture)
Fraktur atau patah tulang yang tidak berhubungan dengan
jaringan sekitarnya, tanpa adanya komplikasi, kulit masih utuh, dan
tulang tidak keluar melalui kulit.
Tabel 2.2 Tingkat fraktur terbuka berdasarkan keadaan jaringan lunak sekitar trauma
Tingkat Luka
0 Fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cidera jaringan lunak sekitarnya
1 Fraktur dengan abrasi dangkal (goresan kecil) atau memar pada kulit dan
jaringan subkutan
2 Fraktur yang lebih berat dengan adanya kontusio (memar) pada jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan
3 Cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang nyata dan adanya
komplikasi terjadinya Compartement syndrom
B. Tipe Fraktur
1) Complete frakture
Tulang terbagi menjadi dua atau lebih fragmen. Patah tulang (fraktur) yang dilakukan
pemeriksaan radiologi dapat membantu untuk memprediksi tindakan yang harus
dilakukan setelah melakukan reduksi. Terdapat beberapa macam complete fraktur, yaitu:
1) Transversal : fraktur yang arahnya melintang pada tulang
2) Oblique : fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang
3) Spiral: fraktur yang arah garis patahnya spiral, akibat trauma rotasi
4) Comminuted : fraktur dengan garis patah >1 dan saling berhubungan, karena kurang
menyatunya permukaan fraktur yang membuat tulang tidak stabil
5) Segmental : fraktur dengan garis patah >1, tetapi tidak saling berhubungan (Rasjad,
2007)
2) Incomplete frakture
3. ETIOLOGI
Penyebab terjadinya open faraktur cruris menurut (Grace & Borley, 2007), yaitu:
1) Trauma Langsung (kecelakaan)
Trauma langsung dapat menyebabkan tulang patah pada titik terjadinya benturan. Patah tulang
demikian sering bersifat terbuka atau komunitif dengan garis patah melintang atau miring, dan
jaringan lunak mengalami kerusakan.
2) Trauma Tidak Langsung
Akibat dari jatuh dengan kaki fleksi (bertumpu pada kaki) menyebabkan dislokasi panggul
posterior jika kaki mengalami fleksi dan adduksi pada pangkal paha. Sedangkan, jika jatuh
dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula. Pada keadaan trauma tidak
langsung jaringan lunak tetap utuh, tekanan membengkok menyebabkan fraktur transversal,
dan jika tekanan berputar (hiperfleksi) menyebabkan fraktur spiral atau oblik dan
mengakibatkan dislokasi.
3) Trauma Patologis
Fraktur akibat suatu kondisi penyakit infeksi dan penyakit metabolism, seperti:
a) Osteoporosis akibat peningkatan reabsorbsi tulang melebihi proses pembentukan tulang,
sehingga tulang menjadi mudah keropos secara cepat dan rapuh yang dapat
mengakibatkan fraktur dengan trauma minimal
b) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum-sum tulang yang disebabkan oleh bakteri
pirogen yang dapat masuk bersama sirkulasi atau aliran darah sistemik
c) Ostheoartritis dapat disebabkan oleh rusak atau menipisnya bantalan sendi dan tulang
rawan (Muttaqin, 2008)
4. FAKTOR RESIKO
Terdapat beberapa faktor yang dapat meningkatkan terjadinya fraktur (patah tulang) menurut
Rohman (2015) dan Muttaqin (2012), diantaranya:
a) Usia
Semakin tinggi usia penderita maka semakin rendah pula ketahanan/imunitas tubuhnya.
Hal ini menyebabkan resiko terjadinya fraktur pun semakin meningkat dan juga berpengaruh
terhadap lamanya penyembuhan karena regenerasi sel dan jaringan pada usia senja
membutuhkan waktu yang lama.
b) Jenis kelamin
Laki-laki mengalami kecelakaan yang menyebabkan fraktur 3x lebih besar daripada
perempuan. Selain itu, laki-laki lebih aktif dan cenderung bekerja dengan beban yang berat,
sehingga mempunyai aktifitas yang lebih banyak dibanding wanita. Namun, pada wanita post
menopause wanita rentan terkena osteoporosis yang dimana juga pastinya rentan akan fraktur.
c) Lingkungan
Orang yang pekerjaannya berat seperti kuli panggul cenderung berisiko terkena fraktur
karena aktivitas yang terlalu sering melibatkan otot dan rangka yang berpotensi cedera berat.
Kondisi jalan raya dengan permukaan yang tidak rata atau berlubang-lubang dan permukaan
yang licin dapat memicu seseorang untuk jatuh yang dimana dapat terjadi fraktur
d) Kurangnya asupan kalsium yang diserap tubuh
Kurangnya asupan kalsium dapat memicu terjadinya berbagai penyakit tulang (contoh:
osteoporosis) yang dapat mengakibatkan tulang bersifat rapuh dan mudah mengalami fraktur
e) Riwayat penyakit
Penyakit yang dialami dapat memperburuk kondisi frakturnya. Misalnya pada penderita
DM kronis karena luka ulcerdan gangren yang dialami di bagian yang terkena fraktur.
Osteoporosis, lebih cenderung terkena pada wanita usia lanjut (karena momopause)
f) Massa tulang
Massa tulang yang ringan cenderung mengalami fraktur. Pada wanita post menopause
dapat beresiko tinggi terkena fraktur karena hormone esterogen yang berkurang sehingga tidak
mampu mengontrol proses penguatan tulang dengan baik.
5. MANIFESTASI
Terdapat beberapa tanda dan gejala akibat terjadinya fraktur,menurut Okike at al. ((2006) dan
Ruedi at al. (2007) diantaranya adalah:
1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi, hematoma,
dan edema
2) Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah
3) Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan
dibawah tempat fraktur
4) Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
Tanda dan gejala klinis Post Operasi pemasangan plate dan screw pada fraktur, yaitu:
a. Rasa nyeri setelah operasi
b. Oedema pada kulit disekitar fraktur
c. Penurunan lingkup gerak sendi dari ankle
d. Penurunan aktivitas fungsional berjalan.
6. PATOFISIOLOGI
(terlampir)
7. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
A. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya:
a. Syok, anemia atau perdarahan.
b. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-
organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen.
c. Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis (penyakit Paget).
2) Feel (palpasi)
Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat
nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan:
a. Temperatur setempat yang meningkat
b. Nyeri tekan; nyeri tekan yang superfisisal biasanya disebabkan oleh kerusakan
jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang.
c. Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati.
d. Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri
dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena.
Refilling (pengisian) arteri pada kuku.
e. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan.
3) Move (pergerakan)
a. Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif.
b. Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya.
c. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga
uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat
menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.
B. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang menurut Muttaqin (2012) yang sering digunakan, yaitu:
Sinar –X
Pemeriksaan Sinar-X diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta eksistensi fraktur.
Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita
mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum
dilakukan pemeriksaan radiologis.
Tujuan pemeriksaan radiologis:
a. Untuk mempelajari gambaran normal tulang dan sendi.
b. Untuk konfirmasi adanya fraktur.
c. Untuk mengetahui sejauh mana pergerakan dan konfigurasi fragmen serta pergerakannya.
d. Untuk menentukan apakah fraktur itu baru atau tidak.
e. Untuk melihat adanya keadaan patologis lain pada tulang.
f. Untuk melihat adanya benda asing.
Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan Rules of Two:
a. Dua pandangan
Fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal dan sekurang-
kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang (AP & Lateral/Oblique).
b. Dua sendi
Pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur atau angulasi. Tetapi
angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi
mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan
saat foto sinar-X.
c. Dua tungkai
Pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur. Foto pada tungkai
yang tidak cedera akan bermanfaat.
d. Dua cedera
Kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1 tingkat.Karena itu bila
ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu juga diambil foto sinar-X pada pelvis dan
tulang belakang.
e. Dua kesempatan
Segera setelah cedera, suatu fraktur mungkin sulit dilihat, kalau ragu-ragu, sebagai
akibatresorbsi tulang, pemeriksaan lebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan
diagnosis.
8. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan yang tepat untuk menangani pasien dengan open fraktur bertujuan untuk
menilai:
a. Penilaian dan perawatan fraktur dilakukan secara simultan selama penanganan darurat
b. Managemen penanganan pertama pada kasus fraktur adalah terfokus pada manajemen jalan
napas, pernapasan, dan manifestasi terjadinya syok
c. Setiap cedera/trauma yang dapat mengancam nyawa harus segera distabilkan (immobilisasi)
d. Fraktur yang tidak menimbulkan kondisi klien mengancam nyawa (pergelangan tangan) dapat
menjadi priortas sekunder dalam manajemen perawatan trauma
e. Adanya dugaan (Susp.) cedera ekstermitas harus dilakukan diagnose secara hati-hati
f. Adanya perdarahan yang berlebihan dapat terjadi pada fraktur yang dekat
g. Remobilisasi dan Rehabilitasi
Terdapat beberapa terapi secara umum yang dapat dilakukan untuk fraktur cruris menurut
Ruedi at al. (2007) dan AORN (2016), diantaranya:
1) Reduksi
Reduksi adalah usaha dan tindakan untuk memanipulasi fragmen tulang yang patah
sedapat mungkin kembali lagi seperti letak asalnya. Reduksi fraktur dapat dilakukan dengan
reduksi tertutup, traksi, atau reduksi terbuka. Reduksi fraktur dilakukan sesegera mungkin
untuk mencegah jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan
perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah
mulai mengalami penyembuhan (Stenley, 2011)
Sebelum dilakukan prosedur reduksi dan imobilisasi, klien akan mendapatkan
analgesic sesuai dengan kebutuhan. Prosedur dilakukannya reduksi secara tertutup (traksi)
atau terbuka (internal fiksasi) menggunakan bantuan sinar-X untuk memastikan bahwa
fragmen tulang benar. Dengan demikian, reduksi yang dilakukan dapat mengurangi keparahan
fraktur dan menstabilkan ekstermitas tulang untuk penyembuhan.
2) Immobilisasi
Setelah fraktur direduksi, fragmen tulang harus diimobilisasi atau dipertahankan
dalam posisi kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan
dengan fiksasi eksternal (pembalutan, gips, bidai, traksi kontinyu, dan pen) dan Fiksasi
Internal (implan logam), serta dilakukan tindakan pembedahan (Okike at al., 2006)
ORIF (Open Reduction with Internal Fixation) adalah suatu tindakan untuk memperbaiki
patah tulang dengan teknik pembedahan yang mencakup pemindahan posisi normal tulang dan
pemasangan pen (plate), skrup, logam atau protesa pada tulang yang patah untuk memobilisasi
fraktur selama penyembuhan (Chen at al., 2014)
Tujuan
a. memperbaiki posisi fragmen tulang pada fraktur terbuka yang tidak dapat di reposisi tapi
sulit dipertahankan.
b. Menurunkan rasa sakit pada tulang yang patah
c. Mencegah terjadinya cedera lebih lanjut
Indikasi (Muttaqin, 2012)
Kondisi fraktur yang diperbolehkan untuk dilakukan prosedur ORIF adalah:
a. Fraktur yang mencuat dari kulit
b. Fraktur yang pecah menjadi beberapa bagian
c. Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
d. Fraktur yang dapat direposisi tetapi sulit dipertahankan
e. Gabungan dislokasi
Prosedur
Menurut Chen at al. (2014) tindakan pembedahan dilakukan pada lengan atau kaki dengan
melalui beberapa tindakan, yaitu:
a. Anestesi: mengontrol rasa sakit saat dilakukan tindakan operasi
b. Insisi: dilakukan oleh dokter bedah untuk membuat sayatan pada kulit di atas tulang
c. Reduksi dan Fiksasi: memindahkan tulang ke posisi yang benar, kemudian dilakukan
pemasangan plate logam, batang, atau sekrup untuk menahan posisi tulang.
d. Sinar-x: melihat posisi plate logam terpasang dengan benar pada tulang
e. Menutup Insisi: dilakukan jahitan pada kulit dan ditutup dengan perban atau balutan.
f. Recovery: setelah tindakan operasi selesai, klien akan ditempatkan di area pemulihan dan
harus dilakukan pemantauan terkait sirkulasi, sensasi, dan perubahan posisi
Indikasi OREF
a. Fraktur terbuka grade II (Seperti grade I dengan memar kulit dan otot) dan III (Luka
sebesar 6-8 cm dengan kerusakan pembuluh darah, syaraf otot dan kulit)
b. Fraktur terbuka yang disertai hilangnya jaringan atau tulang yang parah.
c. Fraktur yang sangat kominutif (remuk) dan tidak stabil.
d. Fraktur yang disertai dengan kerusakan pembuluh darah dan saraf.
e. Fraktur pelvis yang tidak bisa diatasi dengan cara lain.
f. Fraktur yang terinfeksi di mana fiksasi internal mungkin tidak cocok. Misal : infeksi
pseudoartrosis ( sendi palsu ).
g. Non union yang memerlukan kompresi dan perpanjangan (Stenley, 2011)
BACKSLAB
Penggunaan teknik pemasangan di atas backslab lutut merupakan jenis slab plester
yang diterapkan dalam kasus cedera di lutut dan patah tulang pada tibia dan fibula, yang
membentang dari tengah paha sepanjang bagian belakang kaki dan tumit kedasar jari-jari kaki.
Terdapat beberapa cara pemasangan, diantaranya
3) Rehabilitasi
Mengembalikan aktifitas fungsional semaksimal mungkin untuk menghindari atrofi
(pengecilan massa tulang) atau kontraktur (pemendekan tulang). Bila keadaan meungkinkan,
harus segera dimulai melakukan latihan-latihan untuk mempertahankan kekuatan anggota
tubuh dan mobilisasi. Terdapat beberapa penilaian khusus pada kondisi fraktur menurut
Association of periOperative Registered Nurses (AORN) (2016), yaitu:
a. Pembengkakan dapat dikendalikan dengan mengangkat ekstermitas yang terluka dan
menerapkan kompres dingin (mengurangi vasodilatasi pembuluh darah)
b. Monitor status neurovascular sirkulasi, gerakan, dan sensasi untuk mencegah terjadinya
compartment syndrome
c. Melakukan latihan Range Of Motion (ROM) pasif atau latihan isometric untuk
mengurangi atrofi dan meningkatkan sirkulasi
d. Menilai partisipasi klien dalam melakukan aktivitas di kehidupan sehari-hari atau
Activities of Daily Living (ADLs) untuk meningkatkan kemandirian klien dan harga diri.
e. Dilakukan pengkajian secara berkala yang meliputi 6P, yaitu:
1 Pain (nyeri).
2 Parasthesia (tidak mampu merasakan sentuhan pada ekstremitas).
3 Paralysis (kehilangan sensasi motorik pada ekstremitas).
4 Pallor (pucat).
5 Pulseless (menurunnya/tidak adanya denyut nadi).
6 Perishingly cold /Poikilothermia (dingin pada ekstremitas).
a. Fase Hematoma
Setelah terjadi fraktur akan mengakibatkan clot darah pada bagian subperiosteum,
jaringan lunak, dan rongga sumsum tulang selama 1-2 x 24 jam
b. Fase Poliferasi atau Inflamasi
sel-sel berproliferasi dari lapisan dalam periosteum, sekitar lokasi fraktur. Sel-sel ini
menjadi precursor osteoblast dan aktif tumbuh kearah fragmen tulang. Proses proliferasi
terjadi di jaringan sumsum tulang setelah hari ke-2 kecelakaan terjadi
c. Fase reparative (pembentukan kallus)
Osteoblast membentuk tulang lunak (kallus) pada kartilago dan tulang woven pada area
terjadinya fraktur, kallus memberikan rigiditas pada fraktur. Saat dilakukan pemeriksaan
X-ray terlihat adanya masa kallus maka tulang yang fraktur telah menyatu. Terjadi setelah
6-10 hari setelah trauma
d. Fase konsolidasi
Akibat dari kallus yang mengeras dan secara bertahap menjadi tulang mature. Terjadi
pada minggu ke 3-10 setelah trauma
e. Fase remodeling
Lapisan bulbous mengelilingi tulang khususnya pada lokasi fraktur. Tulang yang
berlebihan dibuang oleh osteoklast. Poses remodeling tulang ditadai revitalisasi pada
korteks dan terjadi pada minggu ke 8-12 dan berakhir sampai beberapa tahun dari
terjadinya fraktur (Stenley, 2011)
9. KOMPLIKASI
Terdapat beberapa komplikasi akibat fraktur menurut Grace & Borley (2007) adalah:
Komplikasi awal
a. Keruskan Arteri
Pecahnya arteri akibat patah tulang dapat ditandai oleh tidak terabanya nadi, cyanosis bagian
distal (jari-jari tangan atau kaki), hematoma yang lebar, dan akral teraba dingin. Hal ini dapat
disebabkan oleh emergency splinting, perubahan posisi pada area yang sakit atau patah tulang,
tindakan redukdi, dan pembedahan.
b. Compartement Syndrome
Terjadi peningkatan tekanan intertisial di dalam ruangan yang terbatas, yaitu di dalam
kompartemen osteofasial yang tertutup. Ruangan tersebut berisi otot, saraf dan pembuluh
darah. Ketika tekanan intrakompartemen meningkat, perfusi darah ke jaringan akan berkurang
dan otot di dalam kompartemen akan menjadi iskemik. Tanda klinis yang umum adalah nyeri,
parestesia, paresis, disertai denyut nadi yang hilang. Hal ini disebabkan oleh oedema atau
perdarahan yang menekan otot, saraf, dan pembuluh darah, serta karena tekanan dari luar (gips
dan pembalutan yang terlalu kuat). Jika terlalu lama dapat menimbulkan avaskuler nekrosis.
c. Fat Embolism Syndrom (FES)
Merupakan komplikasi serius yang sering terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES
terjadi karena sel-sel lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai dengan gangguan pernafasan,
tachykardi, hypertensi, tachypnea, demam
d. Infeksi
System pertahanan tubuh mengalami penurunan bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma
orthopedic, infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Sering terjadi pada
kasus fraktur terbuka, tetapi proses infeksi dapat terjadi karena penggunaan bahan lain dalam
pembedahan seperti pen dan plat.
e. Shock
Terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya permeabilitas kapiler yang bisa
menyebabkan menurunnya oksigenasi secara sistemik (Arif Muttaqin, 2008 )
A. PENGKAJIAN
1) Data demografi:
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.
2) Keluhan Utama
Didapatkan keluhan nyeri pada area yang mengalami patah tulang sesak
3) Riwayat penyakit sekarang
Biasanya didapatkan data merasa sulit berpindah posisi dan cemas atau sulit menggerakkan
jari-jari kaki.
4) Riwayat penyakit terdahulu
Pernah mengalami jatuh atau trauma di area yang fraktur
B. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Kesadaran: umumnya kesadaran cukup GCS 456
Suara bicara: kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa
bicara
Tanda-tanda vital: tekanan darah norma, denyut nadi terba lemah, suhu tinggi
berhubungan dengan proses inflamasi, dan RR normal 16-20 x/menit
2) Pemeriksaan integumen
Kulit: menilai keutuhan kulit adanya luka abrasi, kontusio, atau luka tusuk lainya
Kuku : dilakukan penilaian CRT
3) Pemeriksaan kepala dan leher
Kepala : bentuk normocephalik
Leher : kaku kuduk jarang terjadi dan menilai adanya devisiasi trakea
4) Pemeriksaan dada
Pada umumnya jika fraktur di area ekstermitas tidak ditemukan adanya permasalahan
pada pernapasan, cenderung normal
5) Pemeriksaan abdomen
Tidak didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, tetapi kadang-
kadang mengalami penurunan nafsu makan akibat ansietas
6) Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Tidak ditemukan adanya penurunan haluan urin dan cenderung konstipasi akibat semua
aktivitas dilakukan ditempat tidur.
7) Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh (kanan atau kaki), hal ini
berhubungan dengan area cedera atau patah tulang. Kekuatan otot menurun antara tangan
dan kaki kanan atau kiri. Ditemukan adanya patah tulang terbuka yang tampak dari
permukaan kulit atau tertutup yang tampak adanya memar.
8) Pemeriksaan neurologi
Pemeriksaan motorik: terjadi kelemahan pada salah satu sisi tubuh, refleks tendon
melemah secara kontralateral, apraksia
Pemeriksaan sensorik: tidak ditemukan adanya permasalahan jika tidak mengalami
penurunan kesadaran
C. MASALAH KEPERAWATAN
Masalah keperawatan yang biasanya terjadi pada pasien dengan open fraktur cruris, yaitu:
1) Nyeri Akut Pre-Operasi dan Post-Operasi b.d agen cidera fisik akibat luka post opeasi
yang d.d adanya keluhan nyeri pada luka operasi
2) Kerusakan Integritas Jaringan b.d faktor mekanik yang d.d akibat proses kecelakaan
menimbulkan fraktur terbuka
3) Resiko Infeksi b.d trauma jaringan yang d.d adanya open fraktur pada ektermitas dan
proses operasi (pemasangan pin pada tulang)
4) Hambatan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang dan penurunan
kekuatan otot yang d.d adanya proses pembendahan pada bagian tulang yang fraktur
5) Resiko disfungsi neurovaskuler b.d adanya fraktur yang d.d adanya kompresi imobilisasi
post operasi
6) Defisit perawatan diri b/d kerusakan neuromuskuler, penurunan kekuatan dan ketahanan,
kehilangan kontrol, nyeri, depresi
7) Resiko ketidakseimbangan volume cairan b.d adanya fraktur dengan darah>
8) Ketidak efektifan perfusi jaringan perifer b.d terptusnya kontinuitas antar tulang yang d.d
warna kulit tidak kembali ketungkai saat tungkai diturunkan dan warna kulit pucat saat
elevasi
DAFTAR PUSTAKA
Association of periOperative Registered Nurses (AORN). 2016. Guideline for positioning the patient.
In: Guidelines for Perioperative Practice. Denver, CO: AORN, Inc:649-667.
Chen, H., Liu, G., Ou, S., Zhao, G., Pan, J., Wu, L. 2014. Open Reduction and Internal Fixation of
Posterolateral Tibial Plateau Fractures Through Fibula OsteotomyFree Posterolateral
Approach. Journal of Orthopaedic Trauma. Vol 28: 9: p513-517.
Grace, P.A and Borley, N.R. 2007. At a Glance: Ilmu Bedah edisi ketiga. Jakarta : Erlangga Medical
Series.
Muttaqin, A. 2012. Buku saku gangguan muskuluskeletal aplikasi pada praktik klinik keperawatan.
Jakarta : salemba medika.
Novelandi, Roby. 2011. Karakteristik Penderita Fraktur Rawat Inap di Rumah Sakit Umum Daerah
Dr. Pirngadi Medan Tahun 2009. Tugas Akhir. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Okike K, Bhattacharyya T. 2006. Trends in the management of open fractures: a critical analysis. J
Bone Joint Surg Am. 88; 2739-2748
Rasjad, Chairuddin. 2007. Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi. Jakarta : Yarsif Watampone.
Rohman, Mochamad Abdur. 2015. Asuhan Keperawatan Pada Sdr “B” Dengan Gangguan Sistem
Muskuloskeletal Fraktur Cruris Sinistra 1/3 Distal Di Paviliun Asoka Rsud
Jombang. Diploma Thesis, Universitas Pesantren Tinggi Darul Ulum.
Ruedi, T., Buckley R., and Moran C, eds. 2007. Principles of Fracture Management. New York:
Thieme.
Stanley, H. 2011. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur. Jakarta: EGC
Suratun, dkk. 2008. Klien Gangguan System Musculoskeletal: Seri Asuhan Keperawatan. Jakarta :
EGC.