Anda di halaman 1dari 38

LAPORAN PENDAHULUAN

PADA TN.A DENGAN DIAGNOSIS MEDIS POST OP CLOSED


FRAKTUR RADIUS SINISTRA 1/3 DISTAL HARI KE-1
DI RUANG JANGER RSD MANGUSADA
TANGGAL 11 S/D 12 JANUARI 2022

OLEH :
NI MADE MELANDARI
2114901157

FAKULTAS KESEHATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS
INTITUSI TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI
TAHUN AJARAN 2021/2022
A. TINJAUAN KASUS
1. Pengertian
Fraktur adalah patang tulang, biasanya disebabkan oleh trauma
atau tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan
tulang dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah
fratur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap (Price & Wilson, 2006
dalam NANDA, 2015).
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditetukan sesuai
jenis dan luasnya, fraktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih
besar dari yang dapat diabsorpsinya. Fraktur dapat disebabkan pukulan
langsung, gerakan puntir mendadak, gaya remuk dan bahkan kontraksi
otot eksterm (Bruner & Sudarth, 2002).
Fraktur adalah rusaknya kontinuitas dari struktur tulang, tulang
rawan dan lempeng pertumbuhan yang disebabkan oleh trauma dan
nontrauma. Tidak hanya keretakan atau terpisahnya korteks, kejadian
fraktur lebih sering mengakibatkan kerusakan yang komplit dan fregmen
tulang terpisah. Tulang relatif rapuh, namun memiliki kekuatan dan
kelenturan untuk menahan tekanan. Fraktur dapat diakibatkan oleh
cedera, stres yang berulang, kelemahan tulang yang abnormal atau
disebut juga fraktur patologis (Solomon et al.,2015). Fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang, lempeng epiphyseal atau permukaan
rawan sendi. Karena tulang dikelilingi oleh struktur jaringan lunak,
tekanan fisik yang menyebabkan terjadinya fraktur, dan tekanan fisik
juga menimbulkan pergeseran mendadak pada fragmen fraktur yang
selalu menghasilkan cedera jaringan lunak disekitarnya. Hal ini bisa
disebabkan karena: trauma tunggal, trauma yang berulang- ulang,
kelemahan pada tulang atau fraktur patologik (Hardisman dan Riski,
2014).
Fraktur radius distal adalah salah satu dari macam fraktur yang
biasa terjadi pada pergelangan tangan. Umumnya sering terjadi karena
jatuh dalam keadaan tangan menumpu dan biasanya terjadi pada anak-
anak dan lanjut usia. Bila seseorang jatuh dengan tangan yang menjulur,
tangan akan tiba-tiba menjadi kaku, dan kemudian menyebabkan tangan
memutar dan menekan lengan bawah. Jenis luka yang terjadi akibat
keadaan ini tergantung usia penderita. Pada anak-anak dan lanjut usia,
akan menyebabkan fraktur tulang radius Fragmen bagian distal radius
dapat terjadi dislokasi ke arah dorsal maupun volar, radial dan supinasi.
Gerakan ke arah radial sering menyebabkan fraktur avulsi dari prosesus
styloideus ulna, sedangkan dislokasi bagian distal ke dorsal dan gerakan
ke arah radial menyebabkan subluksasi sendi radioulnar distal. (Windi,
2015).

2. Etiologi
Penyebab fraktur secara umum disebabkan karena pukulan
secara langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan bahkan
kontraksi otot eksterm (Suddart, 2014). Sedangkan menurut Henderson,
(2016) fraktur yang paling sering adalah pergerseran condilius lateralis
tibia yang disebabkan oleh pukulan yang membengkokkan sendi lutut
dan merobek ligamentum medialis sendi tersebut. Penyebab terjadinya
fraktur yang diketahui adalah sebagai berikut :
a. Trauma langsung ( direct ) Fraktur yang disebabkan oleh adanya
benturan langsung pada jaringan tulang seperti pada kecelakaan lalu
lintas, jatuh dari ketinggian, dan benturan benda keras oleh kekuatan
langsung,
b. Trauma tidak langsung ( indirect ) Fraktur yang bukan disebabkan oleh
benturan langsung, tapi lebih disebabkan oleh adanya beban yang
berlebihan pada jaringan tulang atau otot , contohnya seperti pada
olahragawan atau pesenam yang menggunakan hanya satu tangannya
untuk menumpu beban badannya.
c. Trauma pathologis Fraktur yang disebabkan oleh proses penyakit seperti
osteomielitis, osteosarkoma, osteomalacia, cushing syndrome,
komplikasi kortison / ACTH, osteogenesis imperfecta (gangguan
congenital yang mempengaruhi pembentukan osteoblast). Terjadi
karena struktur tulang yang lemah dan mudah patah yaitu :
1) Osteoporosis terjadi karena kecepatan reabsobsi tulang melebihi
kecepatan pembentukan tulang, sehingga akibatnya tulang menjadi
keropos dan rapuh dan dapat mengalami patah tulang.
2) Osteomilitis merupakan infeksi tulang dan sum-sum tulang yang
disebabkan oleh bakteri piogen dimana mikroorganisme berasal dari
fokus ditempat lain dan beredar melalui sirkulasi darah.
c.Ostheoartritis itu disebabkan oleh rusak atau menipisnya bantalan
sendi dan tulang rawan (Majoer & Arif, 2018).

Fraktur patologik
Dalam hal ini kerusakan tulang akibat proses penyakit dimana
dengan trauma minor dapat mengakibatkan fraktur, seperti:
1) Tumor tulang (jinak atau ganas), yaitu pertumbuhan jaringan
baru yang tidak terkendali atau progresif.
2) Infeksi seperti mosteomyelitis, dapat terjadi sebagai akibat
infeksi akut atau dapat timbul sebagai salah satu proses yang
progresif, lambat dan sakit nyeri.
3) Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi
Vitamin D.
4) Stress tulang seperti pada penyakit polio dan orang yang bertugas
di kemiliteran (Sachdeva, 2000 dalam Kristiyanasari,2012).

3. Klasifikasi
Klasifikasi fraktur dapat dibagi menjadi beberapa bagian, diantaranya:
a. Klasifikasi berdasarkan etiologi
1) Fraktur traumatik
2) Fraktur patologis, yaitu fraktur yang terjadi pada daerah-daerah
tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor atau proses
patologik lainnya (infeksi dan kelainan bawaan) dan dapat terjadi
secara spontan atau akibat trauma ringan.
3) Fraktur beban (kelelahan), yaitu fraktur yang terjadi pada orang-
orang yang baru saja menambah tingkat aktivitas merka atau
karena adanya stress yang kecil dan berulang-ulang pada daerah
tulang yang menopang berat badan.
b. Klasifikasi berdasarkan sifat
1) Faktur tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara
fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:
a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa cedera
jaringan lunak sekitarnya.
b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan
jaringan subkutan.
c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan
lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata ddan ancaman sindroma kompartement.
2) Fraktur terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara
hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.
a) Grade 1
Sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit.
i) Luka < 1 cm
ii) Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka
remuk
iii) Fraktur sederhana, transversal, atau kominutif ringan
iv) Kontaminasi minimal
b) Grade II
Fraktur terbuka dan sedikit kerusakan kulit.
i) Laserasi < 1cm
ii) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse.
iii) Fraktur kominutif sedang
iv) Kontaminasi sedang
c) Grade III
Banyak sekali jejas kerusakan kulit, otot jaringan saraf dan
pembuluh darah serta luka sebesar 6-8 cm (Sjamsuhidayat,
2010 dalam Wijaya & Putri, 2013).
c. Klasifikasi berdasarkan komplit dan ketidakkomplitan fraktur
1) Fraktur komplit
Bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui
kedua korteks tulang.
2) Fraktur inkomplit
Bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:
a) Hair line fraktur
b) Buckle atau torus fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.
c) Green stick fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi
korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.
d. Klasifikasi berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan
mekanisme trauma
1) Fraktur transversal
Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan
akibat trauma angulasi atau langsung.
2) Fraktur oblik
Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap
sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.
3) Fraktur spiral
Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang
disebabkan trauma rotasi.
4) Fraktur kompresi
Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong
tulang ke arah permukaan lain.
5) Fraktur avulsi
Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot
pada insersinya pada tulang.
e. Berdasarkan jumlah garis patah
1) Fraktur komunitif
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.
2) Fraktur segmental
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.
3) Fraktur multiple
Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.
f. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.
1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser)
Garis patah lengkap ttetapi kedua fragmen tidak bergeser dan
periosteum masih utuh.
2) Fraktur displaced (bergeser)
Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi
fragmen, terbagi atas:
a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran
searah sumbu dan overlapping).
b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).
c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling
menjauh).
g. Berdasarkan posisi fraktur
Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian:
1) 1/3 proksimal
2) 1/3 medial
3) 1/3 distal
4. Patofisiologi
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), trauma dan kondisi patologis
yang terjadi pada tulang yang menyebabkan fraktur. Fraktur
menyebabkan diskontinuitas jaringan tulang yang dapat membuat
penderita mengalami kerusakan mobilitas fisiknya. Diskontinuitas
jaringan tulang dapat mengenai 3 bagian yaitu jaringan lunak, pembuluh
darah dan saraf serta tulang itu sendiri. Jika mengenai jaringan lunak
makan akan terjadi spasme otot yang menekan ujung saraf dan pembuluh
darah dapat mengakibatkan nyeri, deformitas serta syndrome
compartement.
Fraktur adalah semua kerusakan pada kontinuitas tulang, fraktur
beragam dalam hal keparahan berdasarkan lokasi dan jenis fraktur.
Meskipun fraktur terjadi pada semua kelompok usia, kondisi ini lebih
umum pada orang yang mengalami trauma yang terus-menerus dan pada
pasien lansia. Fraktur dapat terjadi akibat pukulan langsung, kekuatan
tabrakan, gerakan memutar tiba-tiba, kontraksi otot berat, atau penyakit
yang melemahkan tulang. Dua mekanisme dasar yang fraktur: kekuatan
langsung atau kekuatan tidak langsung. Dengan kekuatan langsung,
energi kinetik diberikan pada atau dekat tempat fraktur. Tulang tidak
dapat menahan kekuatan. Dengan kekuatan tidak langsung, energi
kinetik di transmisikan dari titik dampak ke tempat tulang yang lemah.
Fraktur terjadi pada titik yang lemah. Sewaktu tulang patah,
pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan
lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami
kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-
sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan
aliran darah ke tempat tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan
terbentuk tulang baru umatur yang disebut callus. Bekuan fibrin di
reabsorpsi dan sel-sel tulang baru mengalami remodeling untuk
membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh darah atau penekanan
serabut saraf yang berkaitan dengan pembekakan yang tidak ditangani
dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan mengakibatkan
kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pebekakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun
jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan syndrom compartment (Brunner
dan Suddarth, 2002).

5. Manifestasi Klinis
Manisfestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstrimitas, krepitus, pembengkakan lokal dan perubahan
warna (Brunner & Suddarth, 2002).
a. Nyeri terus-menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang
di imobilisasi, spasme otot yang menyertai fraktur merupkan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar
fragmen tulang.
b. Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan
cenderung bergerak tidak alamiah bukan seperti normalnya,
pergeseran fraktur menyebabkan deformitas, ekstrimitas yang bisa
diketahui dengan membandingkan dengan ekstrimitas yang normal.
Ekstrimitas tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal
otot bergantung pada integritas tulang tempat melekatnya otot.
c. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat di atas dan di bawah tempat
fraktur.
d. Saat ekstrimitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang
yang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen
satu dengan yang lainnya (uji krepitus dapat merusakkan jaringan
lunak yang lainnnya lebih berat).
e. Pembengkakan akan mengalami perubahan warna lokal pada kulit
terjadi sebagai trauma dan pendarahan akibat fraktur.
6. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
a. Anamnesa atau pemeriksaan umum
b. Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan yang penting adalah pemeriksaan menggunakan sinar
Rontgen (sinar-X) untuk melihat gambaran tiga dimensi dari keadaan
dan kedudukan tulang yang sulit.
c. CT scan
Pemeriksaan bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan jaringan lunak atau cedera ligament atau tendon.
d. X–Ray
Menentukan lokasi, luas, batas dan tingkat fraktur.
e. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang lazim digunakan untuk mengetahui
lebih jauh kelainan yang terjadi meliputi:
1) Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap
penyembuhan tulang.
2) Fosfatase alkali meningkat pada saat kerusakan tulang.
3) Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehydrogenase (LDH-
5), aspratat aminotransferase (AST) dan aldolase meningkat pada
tahap penyembuhan tulang.
f. Pemeriksaan lain-lain:
1) Biopsi tulang dan otot
Pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan di atas, tetapi lebih
diindikasikan bila terjadi infeksi.
2) Elekromiografi
Terdapat kerusakan konduksi saraf akibat fraktur
3) Artroskopi
Didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma
yang berlebihan
4) MRI
Menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur
5) Indigium Imaging
Pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Mansjoer (2000) penatalaksanaan medis yang bisa dilakukan
pada pasien dengan fraktur yaitu :
a. Tindakan konservatif
1) Imobilisasi
Untuk mempertahankan reposisi selama masa penyembuhan
patah tulang misalnya pemasangan gips atau bidai pada fraktur
inkomplit dan fraktur dengan kedudukan yang baik.

2) Rehabilitasi
Proses pemulihan kembali fungsi tulang yang dapat dilakukan
dengan fisiotherapy aktif dan pasif.
3) Reposisi tertutup dan fiksasi dengan gips
Gips merupakan alat imobilisasi eksternal yang kaku yang
dicetak sesuai kontur tubuh dimana gips ini dipasang. Tujuan
pemakaian gips adalah untuk mengimobilisasi bagian tubuh
dalam posisi tertentu dan memberikan tekanan yang merata pada
jaringan lunak yang terdapat didalamnya.
4) Traksi
Pemasangan gaya tarikan ke bagian tubuh. Traksi digunakan
untuk meminimalkan spasme otot untuk mereduksi,
mensejajarkan dan mengimobilisasi fraktur, traksi harus
diberikan dengan arah dan besaran yang diinginkan untuk
mendapatkan efek terapeutik. Secara umum traksi dilakukan
dengan menempatkan beban dengan tali pada ektremitas pasien.
Tempat tarikan disesuaikan sedemikian rupa sehingga arah
tarikan segaris dengan sumbu panjang tulang yang patah.
Jenis-jenis traksi :
a) Traksi kulit buck
Traksi yang paling sederhana ini paling tepat bila dipasang
pada anak muda untuk jangka waktu yang pendek. Indikasi
yang paling sering untuk jenis traksi ini adalah untuk
mengistirahatkan sendi lutut pasca trauma sebelum lutut
tersebut diperiksa dan diperbaiki lebih lanjut.
b) Traksi kulit Bryant
Sering digunakan untuk merawat anak kecil yang mengalami
patah tulang paha.
c) Traksi rangka seimbang
Traksi rangka seimbang ini terutama dipakai untuk merawat
patah tulang pada korpus femoralis orang dewasa,
mempergunakan traksi skeletal dengan beberapa katrol dan
bantalan khusus.
d) Traksi Russell
Traksi Russell ini biasanya digunakan untuk fraktur panggul
dimana paha akan disokong oleh bebat.
b. Tindakan Operatif
Terapi operatif dengan reposisi secara tertutup
1) Reposisi tertutup ( Fiksasi Eksterna )
Setelah reposisi baik berdasarkan kontrol radiologist intra
operatif maka dipasang alat fiksasi eksterna.
2) Reposisi tertutup dengan radiologist diikuti fiksasi interna
Contoh : reposisi tertutup fraktur supra condiclair humerus pada
anak diikuti dengan pemasangan parallel pins. Reposisi fraktur
collum pada anak diikuti dengan pinning dan imobilisasi gips.
Cara ini terus dikembangkan menjadi “close nailing” pada fraktur
femur dan tibia yaitu pemasangan fiksasi interna meduler (PEN)
tanpa membuka frakturnya.
c. ORIF (Open Reduction with Internal fixation)
Tindakan insisi pada tempat yang mengalami cedera dan ditentukan
sepanjang bidang anatomic menuju tempat yang mengalami fraktur.
Keuntungannya yaitu reposisi anatomis dan mobilisasi dini tanpa
fiksasi luar. Indikasi dari ORIF :
1) Fraktur yang tidak bisa sembuh atau bahaya avasculair nekrosis
tinggi.
Contoh : Fraktur talus, fraktur collom femur.
2) Fraktur yang tidak bisa direposisi tertutup
Contoh : fraktur avulasi, fraktur dislokasi
3) Fraktur yang dapat direposisi sulit dipertahankan
Contoh : fraktur pergelangan kaki
4) Fraktur intra-articuler
Contoh : fraktur patela
Penatalaksanaan post ORIF ada prinsip 4R antara lain   recognition
yaitu    diagnosis penilaian fraktur, reduction, retention yaitu
immobilisasi dan rehabilitation   mengembalikan aktifitas
fungsional semaksimal mungkin.Penatalaksanaan awal fraktur
meliputi reposisi dan imobilisasi fraktur dengan splint. Status
neurologis dan vaskuler di bagian distal harus diperiksa baik
sebelum maupun sesudah reposisi dan imobilisasi. Pada pasien
dengan multiple trauma, sebaiknya dilakukan stabilisasi awal
fraktur tulang panjang setelah hemodinamis pasien stabil.
Sedangkan penatalaksanaan definitif fraktur dengan menggunakan
gips atau dilakukan operasi dengan ORIF maupun OREF.
d. OREF (Open Reduction with eksternal Fixation)
Reduksi terbuka dengan alat fiksasi eksternal dengan
mempergunakan kanselosa screw dengan metil metaklirat (akrilik
gigi) atau fiksasi eksternal dengan jenis-jenis lain misalnya dengan
mempergunakan screw schanz. Keuntungannya yaitu darah sedikit
yang hilang, mudah membersihkan luka, sesegera mungkin ambulasi
dan latihan tubuh yang nyeri. Indikasi dari OREF yaitu fraktur
terbuka disertai hilangnya jaringan atau tulang yang hebat, fraktur
dengan infeksi atau infeksi pseudoartrosisi, fraktur yang miskin
jaringan ikat.

8. Kompilkasi
a. Komplikasi awal
yang dapat ditimbulkan dari frakur adalah syok, yang bisa berakibat
fatal dalam beberapa jam setelah cedera, emboli lemak yang dapat
terjadi dalam 48 jam atau lebih dan sindrom kompartemen yang
berakibat kehilangan fungsi ekstremitas permanen jika tidak
ditangani secara segera. Komplikasi awal lainnya yang
berhubungan dengan fraktur adalah infeksi, tromboemboli, emboli
paru yang dapat menyebabkan kematian beberapa minggu setelah
cedera, serta syok hipovolemik atau traumatik akibat perdarahan
dan kehilangan cairan ekstrasel ke jaringan yang rusak. Selain
komplikasi awal juga terdapat komplikasi lambat seperti penyatuan
terlambat atau tidak ada penyatuan, nekrosis avaskuler tulang yang
terjadi bila tulang kehilangan asupan darah kemudian mati dan
reaksi terhadap alat fiksasi interna. Oleh karena itu, fraktur harus
mendapat penanganan yang cepat dan tepat.
b. Komplikasi lanjut
1) Delayed union adalah fraktur yang tidak sembuh setelah selang
waktu 3-5 bulan untuk anggota gerak atas dan 5 bulan untuk
anggota gerak bawah. Hal ini juga merupakan kegagalan
fraktur berkonsolidasi sesuai dengan waktu yang dibutuhkan
tulang untuk menyambung. Hal ini terjadi karena suplai darah
ke tulang menurun.
2) Non-union adalah fraktur yang tidak sembuh antara 6-8 bulan
dan tidak didapatkan konsilidasi sehingga terdapat sendi palsu.
3) Mal-union adalah keadaan ketika fraktur menyembuh pada
saatnya, tetapi terdapat deformitas yang berbentuk anggulasi,
vagus/valgus, rotasi, pemendekan.
Jika penanganan yang dilakukan baik, maka tulang akan menyatu
dengan baik, hal tersebut dapat dilihat melalui tahap – tahap proses
penyembuhan tulang antara lain :
a. Fase hematoma
Pada mulanya terjadi hematoma dan disertai pembengkakan
jaringan lunak, kemudian terjadi organisasi (proliferasi jaringan
penyambung muda dalam daerah radang) dan hematoma akan
mengempis. Tiap fraktur biasanya disertai putusnya pembuluh
darah, sehingga terdapat penimbunan darah di sekitar fraktur. Pada
ujung tulang yang patah terjadi iskemia sampai beberapa milimeter
dari garis patahan yang mengakibatkan matinya osteosit pada
daerah fraktur tersebut.
b. Fase proliferatif
Proliferasi sel-sel periosteal dan endoosteal, yang menonjol adalah
proliferasi sel-sel lapisan dalam periosteal dekat daerah fraktur.
Hematoma terdesak oleh proliferasi ini dan diabsorbsi oleh tubuh.
Bersamaan dengan aktivitas sel-sel sub periosteal maka terjadi
aktifitas sel-sel dari kanalis medularis dari lapisan endosteum dan
dari bone marrow masing-masing fragmen. Proses dari periosteum
dan kanalis medularis dari masing-masing fragmen bertemu dalam
satu proses yang sama, proses terus berlangsung ke dalam dan
keluar dari tulang tersebut, sehingga menjembatani permukaan
fraktur satu sama lain. Pada saat ini mungkin tampak di beberapa
tempat pulau-pulau kartilago, yang mungkin banyak sekali,
walaupun adanya kartilago ini tidak mutlak dalam penyembuhan
tulang. Pada fase ini sudah terjadi pengendapan kalsium.
c. Fase pembentukan callus
Pada fase ini terbentuk fibrous callus dan di sini tulang menjadi
osteoporotik akibat reabsobsi kalsium untuk penyembuhan. Sel-sel
osteoblas mengeluarkan matriks intra selluler yang terdiri dari
kolagen dan polisakarida, yang segera bersatu dengan garam-garam
kalsium, membentuk tulang immature atau young callus, karena
proses pembauran tersebut, maka pada akhir stadium terdapat dua
macam callus yaitu di dalam disebut internal callus dan di luar
disebut external callus.
d. Fase konsolidasi
Pada fase ini callus yang terbentuk mengalami maturisasi lebih
lanjut oleh aktivitas osteoblas, callus menjadi tulang yang lebih
dewasa (mature) dengan pembentukan lamela-lamela. Pada stadium
ini sebenarnya proses penyembuhan sudah lengkap. Pada fase ini
terjadi pergantian fibrous callus menjadi primary callus. Pada saat
ini sudah mulai diletakkan, sehingga sudah tampak jaringan yang
radioopaque. Fase ini terjadi sesudah empat minggu, namun pada
umur-umur lebih mudah lebih cepat. Secara berangsur-angsur
primary bone callus diresorbsi dan diganti dengan second bone
callus yang sudah mirip dengan jaringan tulang yang normal.
e. Fase remodeling
Pada fase ini secondary bone callus sudah ditimbuni dengan
kalsium yang banyak dan tulang sudah terbentuk dengan baik, serta
terjadi pembentukan kembali dari medula tulang. Apabila union
sudah lengkap, tulang baru yang terbentuk pada umumnya
berlebihan, mengelilingi daerah fraktur di luar maupun di dalam
kanal, sehingga dapat membentuk kanal medularis. Dengan
mengikuti stres/tekanan dan tarik mekanis, misalnya gerakan,
kontraksi otot dan sebagainya, maka callus yang sudah mature
secara pelan-pelan terhisap kembali dengan kecepatan yang konstan
sehingga terbentuk tulang yang sesuai dengan aslinya
(Sjamsuhidajat & Wim de Jong, 2016).
B. Konsep Teori Surgikal Tindakan ORIF (Open Reduction Internal
Fixation)
1. Pengertian ORIF
Pasien yang memiliki masalah di bagian musculoskeletal memerlukan
tindakan pembedahan yang bertujuan untuk memperbaiki fungsi dengan
mengembalikan gerahan, stabilisasi, mengurangi nyeri, dan mencegah
bertambah parahnya gangguan musculoskeletal. Salah satu prosedur
pembedahan yang sering dilakukan yaitu dengan fiksasi interna atau
disebut juga dengan pembedahan ORIF (Open Reduction Internal
Fixation). Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah suatu jenis
operasi dengan pemasangan internal fiksasi yang dilakukan ketika
fraktur tersebut tidak dapat direduksi secara cukup dengan close
reduction, untuk mempertahankan posisi yang tepat pada fragmen fraktur
(John C. Adams, 1992 dalam Potter & Perry, 2015). Fungsi ORIF untuk
mempertahankan posisi fragmen tulang agar tetap menyatu dan tidak
mengalami pergerakan. Internal fiksasi ini berupa intra medullary nail,
biasanya digunakan untuk fraktur tulang panjang dengan tipe fraktur
transvers. Open Reduction Internal Fixation (ORIF) adalah sebuah
prosedur bedah medis, yang tindakannya mengacu pada operasi terbuka
untuk mengatur tulang, seperti yang diperlukan untuk beberapa patah
tulang, fiksasi internal mengacu pada fiksasi sekrup dan piring untuk
mengaktifkan atau memfasilitasi penyembuhan (Brunner & Suddart,
2015).
2. Tujuan Orif
Ada beberapa tujuan dilakukannya pembedahan Orif, antara lain:
a. Memperbaiki fungsi dengan mengembalikan gerakan dan stabilitas
b. Mengurangi nyeri
c. Klien dapat melakukan ADL dengan bantuan yang minimal dan
dalam lingkup keterbatasan klien.
d. Sirkulasi yang adekuat dipertahankan pada ekstremitas yang terkena
e. Tidak ada kerusakan kulit
3. Indikasi dan Kontraindikasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
a. Indikasi tindakan pembedahan ORIF:
1) Fraktur yang tidak stabil dan jenis fraktur yang apabila ditangani
dengan metode terapi lain, terbukti tidak memberi hasil yang
memuaskan.
2) Fraktur leher femoralis, fraktur lengan bawah distal, dan fraktur
intraartikular disertai pergeseran.
3) Fraktur avulsi mayor yang disertai oleh gangguan signifikan pada
struktur otot tendon
b. Kontraindikasi tindakan pembedahan ORIF
1) Tulang osteoporotik terlalu rapuh menerima implant
2) Jaringan lunak diatasnya berkualitas buruk
3) Terdapat infeksi
4) Adanya fraktur comminuted yang parah yang menghambat
rekonstruksi.
5) Pasien dengan penurunan kesadaran
6) Pasien dengan fraktur yang parah dan belum ada penyatuan
tulang
7) Pasien yang mengalami kelemahan (malaise)
4. Keuntungan dan Kerugian ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
a. Keuntungan dilakukan tindakan pembedahan ORIF:
1) Mobilisasi dini tanpa fiksasi luar.
2) Ketelitian reposisi fragmen-fragmen fraktur.
3) Kesempatan untuk memeriksa pembuluh darah dan saraf di
sekitarnya.
4) Stabilitas fiksasi yang cukup memadai dapat dicapai
5) Perawatan di RS yang relatif singkat pada kasus tanpa
komplikasi.
6) Potensi untuk mempertahankan fungsi sendi yang mendekati
normal serta kekuatan otot selama perawatan fraktur.
b. Keuntungan dilakukan tindakan pembedahan ORIF:
1) Setiap anastesi dan operasi mempunyai resiko komplikasi bahkan
kematian akibat dari tindakan tersebut.
2) Penanganan operatif memperbesar kemungkinan infeksi
dibandingkan pemasangan gips atau traksi.
3) Penggunaan stabilisasi logam interna memungkinkan kegagalan
alat itu sendiri.
4) Pembedahan itu sendiri merupakan trauma pada jaringan lunak,
dan struktur yang sebelumnya tak mengalami cedera mungkin
akan terpotong atau mengalami kerusakan selama tindakan
operasi.
5. Perawatan Post Operasi ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Perawatan dilakukan untuk meningkatkan kembali fungsi dan kekuatan
pada bagian yang sakit. Tindakan yang dapat dilakukan untuk perawatan
pasca operasi ORIF adalah sebagai berikut:
a. Mempertahankan reduksi dan imobilisasi.
b. Meninggikan bagian yang sakit untuk meminimalkan pembengkak.
c. Mengontrol kecemasan dan nyeri (biasanya orang yang tingkat
kecemasannya tinggi, akan merespon nyeri dengan berlebihan).
d. Latihan otot Pergerakan harus tetap dilakukan selama masa
imobilisasi tulang, tujuannya agar otot tidak kaku dan terhindar dari
pengecilan massa otot akibat latihan yang kurang.
e. Memotivasi klien untuk melakukan aktivitas secara bertahap dan
menyarankan keluarga untuk selalu memberikan dukungan kepada
klien.

C. Tinjauan Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian
a. Anamnesa
1) Identitas pasien
Meliputi: nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama, bahasa yang
digunakan, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi
golongan darah, nomor register, tanggal dan jam masuk rumah
sakit (MRS), dan diagnosis medis.
2) Keluhan utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa
nyeri. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap mengenai
rasa nyeri pasien, perawat dapat menggunakan PQRST.
a) Provocating incident
Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri.
b) Quality of pain
Seperti apa rasa nyeri yang dirasakan pasien, apakah seperti
terbakar, berdenyut/menusuk.
c) Region, radiation, relief
Apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit
menjalar/menyebar dan dimana rasa sakit terjadi.
d) Severity (scale) of pain
Seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan pasien, bisa
berdasarkan skala nyeri/pasien menerangkan seberapa jauh
rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
e) Time
Berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.
3) Riwayat penyakit sekarang
Pada pasien fraktur/patah tulang dapat disebabkan oleh
trauma/kecelakaan degenerative dan patologis yang didahului
dengan perdarahan, kerusakan jaringan sekitar yang
mengakibatkan nyeri, bengkak, kebiruan, pucat/perubhan warna
kulit dan kesemutan.
4) Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien pernah mengalami penyakit ini atau pernah punya
penyakit yang menular/menurun sebelumnya.
5) Riwayat penyakit keluarga
Pada keluarga pasien ada/tidak yang menderita osteoporosis,
arthritis, dan tuberkolosis/penyakit lain yang sifatnya menurun
dan menular.
6) Riwayat psikososial spiritual
Kaji respons emosi pasien terhadap penyakit yang dideritanya,
peran pasien dalam keluarga dan masyarakat, serta respons atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari baik dalam keluarga
maupun dalam masyarakat.
7) Pola fungsi kesehatan
Dalam tahap pengkajian perawat juga perlu mengetahui pola-pola
fungsi kesehatan dalam proses keperwatan pasien fraktur.
8) Pola persepsi dan tatalaksana hidup sehat
Pasien fraktur akan merasa takut terjadi kecacatan pada dirinya
dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu
penyembuhan tulangnya. Selain itu pengkajian juga meliputi
kebiasaan hidup pasien seperti penggunaan obat steroid yang
dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengonsumsian alkohol
yang dapat mengganggu keseimbangan pasien dan apakah pasien
melakukan olahraga atau tidak.
9) Pola nutrisi dan metabolisme
Pada fraktur tidak akan mengalami penurunan nafsu makan,
meskipun menu berubah misalnya makan dirumah gizi tetap
sama sedangkan ketika di RS disesuaikan dengan penyakit dan
diet pasien.
10) Pola eliminasi
Kebiasaan miksi/defekasi sehari-hari, kesulitan waktu defekasi
dikarenakan imobilisasi.
11) Pola aktivitas dan latihan
Aktivitas dan latihan mengalami perubahan/gangguan akibat dari
fraktur sehingga kebutuhan pasien perlu dibantu oleh
perawat/keluarga.
12) Pola persepsi dan konsep diri
Dampak yang timbul pada pasien fraktur adalah timbul ketakutan
akan kecacatan akibat fraktur yang dialaminya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
pandangan terhadap dirinya yang salah atau gangguan citra diri.
13) Pola sensori dan kognitif
Daya raba pasien fraktur berkurang terutama pada bagian distal
fraktur, sedangkan indra yang lain dan kognitifnya tidak
mengalami gangguan, selain itu timbul nyeri akibat fraktur.
14) Pola penanggulangan stress
Pada pasien fraktur timbul rasa cemas akan keadaan dirinya,
yaitu ketakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh pasien dapat tidak efektif.
15) Pola tata nilai dan keyakinan
Pasien fraktur tidak dapat melaksanakan ibadah dengan baik,
terutama frekuensi dan konsentrasi dalam beribadah. Hal ini
dapat disebabkan oleh nyeri dan keterbatasan gerak pasien.
Adanya kecemasan dan stress sebagai pertahanan dan pasien
meminta perlindungan/mendekatkan diri dengan Tuhan YME.

b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum klien
Penampilan klien, ekspresi wajah, bicara, mood, berpakaian dan
kebersihan umum, tinggi badan, BB, gaya berjalan.
2) Tanda-tanda vital
Pemeriksaan pada tanda-tanda vital mencakup suhu, nadi,
pernapasan dan tekanan darah.
3) Pada pemeriksaan fisik regional fraktur batang femur terbuka,
umumnya di dapatkan hal-hal berikut ini:
a) Look
Terlihat adanya luka terbuka dengan deformitas yang jelas.
Kaji berapa luas kerusakan jaringan lunak yang terlibat. Kaji
apakah pada luka terbuka ada fragmen tulang yang keluar dan
apakah terdapat adanya kerusakan pada arteri yang beresiko
akan meningkatkan respons syok hipovolemik. Pada fase awal
trauma sering didapatkan adanya serpihan di dalam luka
terutama pada trauma kecelakaan lalu lintas darat yang
mempunyai indikasi pada resiko tinggi infeksi.
b) Feel
Adanya keluhan nyeri tekan (tenderness) dan adanya
krepitasi.
c) Move
Gerakan pada daerah tungkai yang patah tidak boleh
dilakukan karena akan memberikan respons trauma pada
jaringan lunak disekitar ujung fragmen tulang yang patah.
Pasien terlihat tidak mampu melakukan pergerakkan pada sisi
yang patah (Helmi,2014).
4) Pada pemeriksaan fisik regional fraktur femur tertutup, umumnya
didapatkan hal-hal berikut:
a) Look
Pasien fraktur mempunyai komplikasi delayed union, non-
union, dan malunion. Pada pemeriksaan look akan didapatkan
adanya pemendekan ekstremitas dan akan lebih jelas derajat
pemendekan dengan cara mengukur kedua sisi tungkai dari
spina iliaka ke maleolus.
b) Feel
Adanya nyeri tekan (tenderness) dan krepitasi pada daerah
paha.
c) Move
Pemeriksaan yang di dapat seperti adanya gangguan/
keterbatasan gerak tungkai. Didapatkan ketidakmampuan
menggerakkan kaki dan penurunan kekuatan otot ekstremitas
bawah dan melakukan pergerakkan

5) Diagnosa Keperawatan
a) Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri fisik, spasme otot,
gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak,
pemasangan traksi.
b) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
rangka neuromuscular, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi).
c) Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan fraktur
terbuka atau pemasangan traksi.
d) Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, akan
menjalani operasi, status ekonomi, dan perubahan fungsi
peran.
e) Defisit perawatan diri yang berhubungan dengan kelemahan
neuromuskular dan penurunan kekuatan ekstremitas.
f) Defisit pengetahuan pengetahuan tentang kondisi, prognosis
dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurang
terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi,
keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi
yang ada
g) Risiko infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya
pertahanan perifer, perubahan sirkulasi, dan luka/kerusakan
kulit yang menjadi tempat invasi kuman.
h) Risiko disfungsi neorovaskuler berhubungan dengan
penekanan jaringan vaskuler akibat kerusakan pada pembuluh
darah.
2. Perencanaan
No Dx. Keperawatan Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Nyeri akut Setelah diberikan asuhan a. Observasi tanda-tanda vital a. TTV merupakan salah
berhubungan keperawatan selama 3x24 b. Kaji skala nyeri satu indikator respon
dengan agen injuri jam diharapkan tingkat c. Atur posisi imobilisasi pada fisiologis terhadap nyeri.
fisik, spasme otot, nyeri menurun dan kontrol bagian fraktur. b. Nyeri dipengaruhi oleh
gerakan fragmen nyeri meningkat dengan d. Jelaskan dan bantu pasien kecemasan, ketegangan,
tulang, edema, kriteria hasil: terkait dengan tindakan pereda suhu, distensi kandung
cedera jaringan a. Mampu mengontrol nyeri nonfarmakologi dan kemih, dan berbaring
lunak, pemasangan nyeri (tahu penyebab noninvasif. lama.
traksi. nyeri, mampu e. Ajarkan relaksasi: teknik- c. Imobilisasi yang adekuat
menggunakan teknik teknik mengurangi ketegangan dapat mengurangi
nonfarmakologi untu otot rangka yang dapat pergerakan fragmen
mengurangi nyeri, mengurangi intensitas nyeri. tulang yang menjadi
mencari bantuan). f. Berikan kesempatan waktu unsur utama penyebab
b. Melaporkan bahwa istirahat bila terasa nyeri dan nyeri.
nyeri berkurang dengan berikan posisi yang nyaman, d. Pendekatan dengan
menggunakan misalnya waktu tidur, menggunakan relaksasi
manajemen nyeri. belakang tubuh pasien dan non farmakologi
c. Mampu mengenali dipasang bantal kecil. lainnya efektif dalam
nyeri (skala, intensitas, g. Kolaborasi dalam pemberian mengurangi nyeri.
frekuensi, dan tanda analgesic. e. Teknik ini kan
nyeri). melancarkan peredaran
d. Menyatakan rasa darah sehingga
nyaman setelah nyeri kebutuhan oksigen pada
berkurang. jaringan terpenuhi dan
nyeri berkurang.
f. Istirahat merelaksasi
semua jaringan sehingga
akan meningkatkan
kenyamanan.
g. Analgesik memblok
lintasan nyeri sehingga
nyeri akan berkurang.
2. Gangguan Setelah diberikan asuhan a. Libatkan pasien untuk a. Aktivitas terapeutik
mobilitas fisik keperawatan selama 3x24 melakukan aktivitas terapeutik dapat mempertahankan
berhubungan jam diharapkan mobilitas dan rekreasi, misalnya harga diri dan
dengan kerusakan pasien meningkat dengan mendengarkan musik, menurunkan isolasi
rangka kriteria hasil : menonton tv, atau sosial pasien.
neuromuskular, a. Klien meningkat dalam berkomunikasi dengan teman. b. Pasien immobilitas
nyeri, terapi aktivitas fisik. b. Hindari dari gerakan membutuhkan adaptasi
restriktif b. Mengerti tujuan dan mendadak. pergerakan secara
(imobilisasi). peningkatan mobilitas. c. Ubah posisi secara periodik bertahap untuk
c. Memverbalisasikan sesuai keadaan klien. mengembalikan fungsi
perasaan dalam d. Pertahankan asupan cairan anggota tubuh.
meningkatkan kekuatan e. Kolaborasi untuk pemasangan c. Menurunkan insiden
dan kemampuan fiksasi internal. komplikasi kulit dan
berpindah. pernapasan (dekubitus,
d. Memperagakan atelektasis, penumonia).
penggunaan alat. d. Mempertahankan hidrasi
e. Bantu untuk mobilisasi adekuat, men-cegah
(walker). komplikasi urinarius dan
konstipasi.
e. Fiksasi internal dapat
membantu imobilisasi
fraktur femur sehingga
pergerakan fragmen
berkurang.
3. Gangguan Setelah diberikan asuhan a. Kaji lokasi, ukuran, warna, a. Mengidentifikasi tingkat
integritas kulit keperawatan selama 3x24 bau, serta jumlah dan tipe keparahan luka akan
berhubungan jam diharapkan integritas cairan luka. mempermudah
dengan fraktur kulit dan jaringan b. Pantau peningkatan suhu intervensi.
terbuka atau meningkat dengan kriteria tubuh. b. Suhu tubuh yang
pemasangan traksi. hasil : c. Berikan perawatan luka dengan meningkat dapat
a. Integritas kulit yang teknik aseptic, balut luka diidentifikasikan sebagai
baik bisa dipertahankan dengan kasa kering dan steril adanya proses
(sensasi, elastisitas, d. Kolaborasi pemberian peradangan.
temperature, hidrasi, antibiotic sesuai dengan c. Teknik aseptic
pigmentasi) tidak ada indikasi. membantu mempercepat
luka atau lesi pada penyembuhan luka dan
kulit. mencegah terjadinya
b. Perfusi jaringan baik. infeksi.
c. Menunjukkan d. Antibiotik berguna
pemahaman dalam untuk mematikan
proses perbaikan kulit mikroorganisme
dan mencegah pathogen pada daerah
terjadinya cedera yang beresiko terjadi
berulang. infeksi.
d. Mampu melindungi
kulit dan
mempertahankan
kelembaban kulit dan
perawatan alami.

4. Ansietas yang Setelah diberikan asuhan a. Gunakan pendekatan yang a. Reaksi verbal atau non-
berhubungan keperawatan selama 3x24 menenangkan. verbal dapat
dengan krisis jam diharapkan tingkat b. Jelaskan semua prosedur dan menunjukkan rasa
situasional, akan kecemasan pasien menurun apa yang dirasakan selama marah dan gelisah.
menjalani operasi, dengan kriteria hasil : prosedur. b. Konfrontasi dapat
status ekonomi, a. Klien mampu c. Pahami perspektif pasien meningkatkan rasa
dan perubahan mengidentifikasi dan terhadap situasi stress. marah, menurunkan
fungsi peran. mengungkapkan gejala d. Temani pasien untuk kerjasama dan mungkin
cemas. memberikan keamanan dan memperlambat
b. Mengidentifikasi, mengurangi takut. penyembuhan.
mengungkapkan dan e. Dorong keluarga untuk c. Mengurangi rangsangan
menunjukkan teknik menemani. ekstrernal yang tidak
untuk mengontrol f. Intruksikan pasien perlu.
cemas. menggunakan teknik relaksasi. d. Kontrol sensasi pasien
c. Vital sign dalam batas (dalam mengurangi
normal. ketakutan) dengan cara
d. Postur tubuh, ekspresi memberikan informasi
wajah, bahasa tubuh tentang keadaan pasien.
dan tingkat aktivitas Menekankan
menunjukkan penghargaan terhadap
berkurangnya sumber-sumber koping
kecemasan. (pertahanan diri) yang
positif, membantu
latihan relaksasi dan
teknik-teknik
pengalihan, serta
memberikan umpan
balik yang positif.
e. Orientasi tahap-tahap
prosedur dapat
mengurangi ansietas.
f. Member latihan
relaksasi nafas dalam
dapat meningkatkan rasa
nyaman dan rileks
pasien.
5. Defisit perawatan Setelah diberikan asuhan a. Monitor tingkat a. Tingkat kemandirian
diri yang keperawatan selama 3x24 kemandirian menentukan
berhubungan jam diharapkan perawatan b. Identifikasi kebutuhan alat kemampuan pasien
dengan kelemahan diri pasien meningkat bantu kebersihan diri, dalam perawatan diri.
neuromuskular dan dengan kriteria hasil : berpakaian, berhias dan b. Mempermudah pasien
penurunan a. Verbalisasi keinginan makan dalam melakukan
kekuatan melakukan perawatan c. Siapkan keperluan pribadi perawatan diri
ekstremitas. diri meningkat. pasien untuk perawatan diri walaupun dalam
b. Minat melakukan d. Fasilitasi kemandirian, kondisi imobilisasi.
perawatan diri bantu jika tidak mampu c. Mempermudah pasien
meningkat. melakukan perawatan diri dalam melakukan
c. Mempertahankan e. Anjurkan melakukan perawatan diri.
kebersihan diri perawatan diri secara d. Imobilisasi merupakan
meningkat. konsisten sesuai keterbatasan
kemampuan. pergerakan yang
memungkinkan pasien
sulit dalam memenuhi
kebutuhannya.
e. Personal hygiene dapat
meningkatkan
kebersihan diri pasien.
6. Defisit Setelah diberikan asuhan a. Identifikasi kesiapan dan a. Memastikan kesiapan
pengetahuan keperawatan selama 3x24 kemampuan menerima pikologis pasien
pengetahuan jam diharapkan tingkat informasi mengenai tindakan
tentang kondisi, pengetahuan pasien b. Identifikasi harapan akan pembedahan.
prognosis dan meningkat dengan kriteria pembedahan. b. Memastikan ideal diri
kebutuhan hasil : c. Informasikan jadwal, lokasi pasien terhadap
pengobatan a. Pasien dan keluarga operasi dan lama operasi akan kondisinya.
berhubungan menyatakan tentang berlangsung. c. Pasien dapat melakukan
dengan kurang penyakit, kondisi, d. Jelaskan rutinitas preoperasi persiapan diri terutama
terpajan atau salah prognosis dan program (misalnya anestesi, diet, tes persiapan mental
interpretasi pengobatan. laboratorium, pakaian, ruang sebelum waktu
terhadap informasi, b. Pasien dan keluarga tunggu keluarga dan dilaksanakannya operasi
keterbatasan mampu melaksanakan transportasi ke ruang operasi) d. Pasien mempunyai
kognitif, kurang prosedur yang gambaran mengenai
akurat/lengkapnya dijelaskan secara benar. tindakan yang dilakukan
informasi yang ada. c. Pasien dan keluarga
mampu menjelaskan
kembali apa yang
dijelaskan perawat/tim
kesehatan lainnya.
7. Risiko infeksi Setelah diberikan asuhan a. Monitor tanda-tanda infeksi a. Tanda-tanda infeksi
berhubungan keperawatn selama 3x24 b. Lakukan perawatan luka dalam menunjukan
dengan tidak jam diharapkan infeksi tidak dengan dengan teknik steril. intervensi selanjutnya.
adekuatnya terjadi dengan kriteria hasil : c. Analisa hasil pemeriksaan b. Mempertahankan area
pertahanan perifer, a. Klien bebas dari tanda laboratorium. luka dari
perubahan dan gejala infeksi. d. Jelaskan tanda dan gejala mikroorganisme.
sirkulasi, dan b. Mendeskripsikan infeksi c. Pemeriksaan
luka/kerusakan penularan penyakit, e. Kolaborasi pemberian laboratorium salah satu
kulit yang menjadi faktor yang antibiotic. indicator dalam menilai
tempat invasi mempengaruhi infeksi.
kuman. penularan serta d. Meningkatkan
penatalaksanaanya. pengetahuan pasien
c. Menunjukkan dalam menilai kondisi
kemampuan untuk lukanya.
mencegah timbulnya e. Mencegah
infeksi. perkembangan
d. Jumlah leukosit dalam mikroorganisme.
batas normal.
e. Menunjukkan perilaku
hidup sehat.
8. Risiko disfungsi Setelah diberikan asuhan a. Periksa sirkulasi perifer secara a. Pulsasi, edema,
neorovaskuler keperawatan selama 3x24 menyeluruh (pulsasi perifer, perubahan warna dan
perifer jam diharapkan edema, warna dan suhu suhu menunjukan
berhubungan neurovaskuler pasien ekstremitas). ketidakefektifan
dengan penekanan meningkat dengan kriteria b. Monitor tanda-tanda sirkulasi.
jaringan vaskuler hasil : penurunan sirkulasi vena b. Menentukan intervensi
akibat kerusakan a. Pergerakan sendi (bengkak, nyeri, mati rasa, yang dilakukan
pada pembuluh meningkat. merah, hangat, perubahan selanjutnya.
darah. b. Tingkat nyeri menurun. c. Tekanan pada anggota
c. Nadi dalam rentang warna kulit). tubuh dalam waktu yang
normal (60-100 c. Ubah posisi setiap 2 jam. lama menyebabkan
x/menit) kelembaban dan
hilangnya elastisitas
akibat terhambatnya
oksigen.
3. Implementasi
Implementasi adalah realisasi rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan. Kegiatan dalam implementasi juga meliputi
pengumpulan data berkelanjutan, mengobservasi respon klien selama dan
sesudah pelaksanaan tindakan, serta menilai data yang baru. Pada proses
keperawatan implementasi adalah fase ketika perawat
mengimplementasikan intervensi keperawatan. Berdasarkan terminologi
NIC, implementasi terdiri atas melakukan dan mendokumentasikan
tindakan yang merupakan tindakan keperawatan khusus yang diperlukan
untuk melaksanakan intervensi. Perawat melaksanakan atau
mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun
dalam tahap perencanaan dan kemudian mengakhiri tahap implementasi
dengan mencatat tindakan keperawatan dan respon klien terhadap
tindakan tersebut

4. Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir proses keperawatan.
Evaluasi adalah aspek penting proses keperawatan karena kesimpulan
yang ditarik dari evaluasi menentukan apakah intervensi keperawatan
harus diakhiri, dilanjutkan atau diubah. Evaluasi berjalan kontinyu,
evaluasi yang dilakukan ketika atau segera setelah mengimplementasikan
program keperawatan memungkinkan perawat segera memodifikasi
intervensi. Evaluasi yang dilakukan pada interval tertentu (misalnya satu
kali seminggu untuk klien perawata dirumah) menunjukan tingkat
kemajuan untuk mencapai tujuan dan memungkinkan perawat untuk
memperbaiki kekurangan dan memodifikasi perawat untuk memperbaiki
kekurangan dan memodifikasi rencana asuhan sesuai kebutuhan.
A. Web of Causation
Patologis Trauma langsung/tidak langsung Stress/tekanan tulang
(penurunan densitas tulang karena tumor,
osteoporosis) Jaringan tidak kuat/tidak dapat menahan kekuatan dari luar Ansietas

Konservatif Fraktur Operatif (ORIF/OREF)

Fiksasi eksternal
Perubahan letak Luka terbuka Kerusakan bagian-bagian Perubahan status kesehatan
fragmen/deformitas yang lunak
Traksi/gips Kuman masuk Kurangnya informasi
Kelemahan/kehilangan kedalam luka Jaringan saraf
fungsi gerak rusak/fungsi menurun
Gangguan Mobilitas Defisit Pengetahuan
Fisik Risiko Infeksi
Gerak terbatas Impuls nyeri dibawa ke
otak Kerusakan jaringan
Penekanan pada bagian pembuluh darah
Imobilitas
yang menonjol Gangguan Otak menerjemahkan
Integritas Kulit impuls nyeri
Aliran darah meningkat
Sirkulasi perifer Gangguan Mobilitas
menurun Fisik
Iskemia Nyeri Akut Tekanan pembuluh
darah meningkat
Ketidakmampuan
Nekrosis jaringan dalam perawatan diri
Penekanan pada Edema
Penurunan aliran darah Produksi cairan
jaringan vaskuler
ekstrasel
Gangguan Integritas Defisit Perawatan
meningkat
Kulit Diri Risiko Disfungsi
Neurovaskuler
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah, alih Bahasa:
Waluyo Agung, Yasmin Asih, Juli, Kuncara, I Made Karyasa. Jakarta:
EGC

Jitowiyono, S. & Kristiyanasari, W. 2012. Asuhan Keperawatan Post Operasi


dengan Pendekatan NANDA, Nic, Noc. Yogyakarta: Nuha Medika

NANDA. (2018). NANDA-I Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi


2018-2020. (T. H. Herdman & S. Kamitsuru, Eds.) (11th ed). Jakarta:
EGC.

PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia. Jakarta: PPNI.

PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan


Keperawatan. Jakarta: DPP PPNI.

PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan Pengurus


Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Sjamsuhidajat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi II. Jakarta: EGC.

Wijaya, A. S. & Putri, Y. M. 2013. Keperawatan Medical Bedah 2, Keperawatan


Dewasa Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta: Nuha Medika

Anda mungkin juga menyukai