Mahasiswa :
A. DEFINISI
Fraktur Costa adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang / tulang rawan yang disebabkan
oleh rudapaksa pada spesifikasi lokasi pada tulang costa. Fraktur costa akan menimbulkan rasa
nyeri, yang mengganggu proses respirasi, disamping itu adanya komplikasi dan gangguan lain
yang menyertai memerlukan perhatian khusus dalam penanganan terhadap fraktur ini. Pada
anak fraktur costa sangat jarang dijumpai oleh karena costa pada anak masih sangat lentur
(Almazini, 2012).
Fraktur tulang rusuk (rib fracture) merupakan patah tulang tulang rusuk/kosta yang
umumnya disebabkan trauma pada dinding dada. Benturan kecepatan tinggi atau kecepatan
rendah dapat menyebabkan fraktur tulang rusuk, baik karena trauma kecelakaan maupun non-
kecelakaan seperti kekerasan pada anak atau pada rumah tangga. Fraktur tulang rusuk juga dapat
disebabkan oleh stres dan kondisi patologi yang mendasari (Kowalak, 2011).
Fraktur iga (costae) merupakan kelainan tersering yang diakibatkan trauma tumpul pada
dinding dada. Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga oleh karena luas permukaan
yang sempit sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga (Ruhyanudin, 2013).
B. ETIOLOGI
Costa merupakan tulang pipih dan memiliki sifat yang lentur. Oleh karena tulang ini
sangat dekat dengan kulit dan tidak banyak memiliki pelindung, maka setiap ada trauma
dada akan memberikan trauma juga kepada costa. Fraktur costa dapat terjadi dimana saja
disepanjang costa tersebut. Dari keduabelas pasang costa yang ada, tiga costa pertama paling
jarang mengalami fraktur hal ini disebabkan karena costa tersebut sangat terlindung. Costa
ke 4-9 paling banyak mengalami fraktur, karena posisinya sangat terbuka dan memiliki
pelindung yang sangat sedikit, sedangkan tiga costa terbawah yakni costa ke 10-12 juga jarang
mengalami fraktur oleh karena sangat mobile.
Secara garis besar penyebab fraktur costa dapat dibagi dalam 2 kelompok :
a. Disebabkan trauma
- Trauma tumpul
2
Penyebab trauma tumpul yang sering mengakibatkan adanya fraktur costa antara lain :
kecelakaan lalu lintas, kecelakaan pada pejalan kaki, jatuh dari ketinggian, atau jatuh
pada dasar yang keras atau akibat perkelahian.
- Trauma tembus
Penyebab trauma tembus yang sering menimbulkan fraktur costa : luka tusuk dan luka
tembak
- Trauma tajam
Trauma tajam lebih jarang mengakibatkan fraktur iga, oleh karena luas permukaan trauma
yang sempit, sehingga gaya trauma dapat melalui sela iga. Fraktur iga terutama pada iga
IV-X (mayoritas terkena). Perlu diperiksa adanya kerusakan pada organ-organ intra-toraks
dan intra abdomen. Kecurigaan adanya kerusakan organ intra abdomen (hepar atau
spleen) bila terdapat fraktur pada iga VIII-XII. Kecurigaan adanya trauma traktus
neurovaskular utama ekstremitas atas dan kepala (pleksus brakhialis, subklavia),bila
terdapat fraktur pada iga I-III atau fraktur klavikula.
b. Disebabkan bukan trauma
Yang dapat mengakibatkan fraktur costa ,terutama akibat gerakan yang menimbulkan
putaran rongga dada secara berlebihan atau oleh karena adanya gerakan yang berlebihan
dan stress fraktur, seperti pada gerakan olahraga : lempar martil, soft ball, tennis, golf.
C. KLASIFIKASI
a. Menurut jumlah costa yang mengalami fraktur dapat dibedakan :
Fraktur simple : bila tidak terdapat hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar,
disebut juga fraktur bersih karena kulit masih utuh tanpa komplikasi
Fraktur multiple : Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak padda tulang
yang sama.
b. Menurut letak fraktur dibedakan :
Superior (costa 1-3 )
1. Fraktur costa atas (1-3) dan fraktur scapula diakibatkan dari tenaga yang besar
2. Meningkatnya resiko trauma kepala dan leher, spinal cord, paru, pembuluh
darah besar
3. Mortalitas sampai 35%.
Median (costa 4-9)
1. Peningkatan signifikansi jika multiple
2. Fraktur kosta simple tanpa komplikasi dapat ditangani pada rawat jalan
3. MRS jika pada observasi
4. Penderita dispneu
5. Mengeluh nyeri yang tidak dapat dihilangkan
6. Penderita berusia tua
3
7. Memiliki preexisting lung function yang buruk
Inferior (costa 10-12 )
Fraktur costae bawah terkait dengan resiko injury pada hepar dan spleen
d. Menurut posisi :
Anterial : tulang costae bagian depan
Lateral : tulang costae bagian samping
Posterior : tulang costae bagian belakang
D. MANIFESTASI KLINIS
a. Sesak napas
Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke rongga pleura
sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan jaringan pada rongga dada lalu
dapat terjadi pneumothoraks dan hemothoraks yang akan menyebabkan gangguan
ventilasi sehingga menyebabkan terjadinya sesak napas.
b. Tanda-tanda insuffisiensi pernapasan: Sianosis, takipnea
Pada fraktur costa terjadi gangguan pernapasan yang disertai meningkatnya penimbunan
CO2 dalam darah (hiperkapnia) yang bermanifestasi menjadi sianosis
c. Nyeri tekan pada dinding dada
Pada fraktur costa terjadi pendorongan ujung-ujung fraktur masuk ke rongga pleura
sehingga mengakibatkan terjadinya kerusakan struktur dan jaringan pada rongga dada
dan terjadi stimulasi pada saraf sehingga menyebabkan terjadinya nyeri tekan pada
dinding dada.
d. Kadang akan tampak ketakutan dan kecemasan
Rasa takut dan cemas yang dialami pada pasien fraktur costa diakibatkan karena saat
bernapas akan bertambah nyeri pada dada.
e. Adanya gerakan paradoksal
Proses bernafas melibatkan gerakan otot diafragma yang menekan kebawah untuk
membuat paru-paru mengembang sehingga memungkinkan udara dari luar terhirup masuk
ke dalam. Namun, kelainan otot bisa membuat diafragma dan paru justru bekerja
sebaliknya. kondisi ini disebut paradoxical breathing atau pernafasan paradoksal.
4
E. WOC
5
F. MASALAH YANG LAZIM MUNCUL
1. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik (trauma) d/d mengeluh nyeri, tampak meringis,
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, TD meningkat, nafsu makan berubah.
2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan integritas struktur tulang d/d mengeluh sulit
menggerakkan ekstermitas,kekuatan otot menurun, ROM menurun, nyeri saat bergerak,
enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat bergerak, sendi kaku, gerakan tidak
terkoordinasi, gerakan terbatas, fisik lemah.
3. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi d/d dispnea, PCO2
meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardia, pH arteri menurun/ meningkat, bunyi nafas
tambahan, pusing, penglihatan kabur, sianosis, gelisah, nafas cuping hidung, pola nafas
abnormal (cepat/lambat, reguler/irreguler, dalam/dangkal), warna kulit abnormal (pucat,
kebiruan), kesadaran menurun
4. Risiko infeksi d/d kerusakan integritas kulit
5. Gangguan integritas kulit b/d kekurangan volume cairan d/d kerusakan jaringan
atau lapisan kulit, nyeri, perdarahan, kemerahan, hematoma
6. Risiko disfungsi neurovaskuler d/d fraktur
G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1) Rontgen thorax
Rontgen thorax anteroposterior dan lateral dapat membantu diagnosis hematothoraks dan
pneumothoraks ataupun contusio pulmonum, mengetahui jenis dan letak fraktur costae. Foto
oblique membantu diagnosis fraktur multiple pada orang dewasa. Pemeriksaan Rontgen
toraks harus dilakukan untuk menyingkirkan cedera toraks lain, namun tidak perlu untuk
identifikasi fraktur iga.
2) X-ray
menentukan lokasi/luasnya fraktur
3) Scan tulang
memperlihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
4) Arteriogram dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler
5) Hitung darah lengkap
hemokonsentrasi mungkin meningkat, menurun pada pendarahan, peningkatan leukosit
sebagai respon terhadap peradangan. Profil koagulasi, perubahan dapat terjadi pada
kehilangan darah, tranfusi atau cidera hati
6) Kretinin trauma otot meningkatkan kreatinin untuk klirens ginjal.
H. PENATALAKSANAAN
1. Fraktur iga tanpa adanya penyulit/kelainan lain : konservatif (analgetika)
6
2. Fraktur >2 iga : waspadai kelainan lain (flail chest, edema paru, hematotoraks,
pneumotoraks)
3. Penatalaksanaan pada fraktur iga multipel tanpa penyulit pneumotoraks, hematotoraks,
atau kerusakan organ intratoraks lain, adalah :
• Analgetik yang adekuat (oral/ iv / intercostal block)
• Bronchial toilet
• Cek Lab berkala : Hb, Ht, Leko, Tromb, dan analisa gas darah
• Cek Foto Ro berkala
4. Dengan blok saraf interkostal, yaitu pemberian narkotik ataupun relaksan otot merupakan
pengobatan yang adekuat. Pada cedera yang lebih hebat, perawatan rumah sakit diperlukan
untuk menghilangkan nyeri, penanganan batuk, dan pengisapan endotrakeal.
I. KOMPLIKASI
a. Syok
Syok hipovolemik atau traumatic, akibat perdarahan (banyak kehilangan darah eksternal
maupun yang tidak kelihatan yang bias menyebabkan penurunan oksigenasi) dan kehilangan
cairan ekstra sel ke jaringan yang rusak, dapat terjadi pada fraktur ekstrimitas, thoraks, pelvis
dan vertebra.
b. Sindrom emboli lemak
Pada saat terjadi fraktur globula lemak dapat masuk kedalam pembuluh darah karena tekanan
sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler atau karena katekolamin yang di lepaskan
oleh reaksi stress pasien akan memobilisasi asam lemak dan memudahkan terjasinya globula
lemak pada aliran darah.
c. Sindroma Kompartement
Merupakan masalah yang terjadi saat perfusi jaringan dalam otot kurang dari yang
dibutuhkan untuk kehidupan jaringan. Ini bisa disebabkan karena penurunan ukuran
kompartement otot karena fasia yang membungkus otot terlalu ketat, penggunaan gibs atau
balutan yang menjerat ataupun peningkatan isi kompatement otot karena edema atau
perdarahan sehubungan dengan berbagai masalah (misalnya : iskemi,dan cidera remuk).
d. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak ada nadi, CRT menurun, syanosis
bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada ekstrimitas yang disbabkan oleh
tindakan emergensi splinting, perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan
pembedahan.
e. Infeksi
Sistem pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada trauma orthopedic infeksi
dimulai pada kulit (superficial) dan masuk ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur
terbuka, tapi bias juga karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
7
f. Avaskuler nekrosis
Avaskuler nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak atau terganggu yang
bias menyebabkan nekrosis tulang dan di awali dengan adanya Volkman’s Ischemia
(Smeltzer dan Bare, 2015).
B. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Nyeri akut b/d agen pencedera fisik (trauma) d/d mengeluh nyeri, tampak meringis,
gelisah, frekuensi nadi meningkat, sulit tidur, TD meningkat, nafsu makan berubah.
9
2. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan integritas struktur tulang d/d mengeluh sulit
menggerakkan ekstermitas,kekuatan otot menurun, ROM menurun, nyeri saat bergerak,
enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat bergerak, sendi kaku, gerakan tidak
terkoordinasi, gerakan terbatas, fisik lemah.
3. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi d/d dispnea, PCO2
meningkat/menurun, PO2 menurun, takikardia, pH arteri menurun/ meningkat, bunyi nafas
tambahan, pusing, penglihatan kabur, sianosis, gelisah, nafas cuping hidung, pola nafas
abnormal (cepat/lambat, reguler/irreguler, dalam/dangkal), warna kulit abnormal (pucat,
kebiruan), kesadaran menurun
4. Risiko infeksi d/d kerusakan integritas kulit
5. Gangguan integritas kulit b/d kekurangan volume cairan d/d kerusakan jaringan
atau lapisan kulit, nyeri, perdarahan, kemerahan, hematoma
6. Risiko disfungsi neurovaskuler d/d fraktur
C. INTERVENSI
No Diagnosa SLKI SIKI
Keperawatan
1. Nyeri Akut D. 0077 Tingkat Nyeri L.08066 Manajemen Nyeri I.08238
setelah dilakukan tindakan Observasi
keperawatan 3x24 jam 1. lokasi, karakteristik, durasi,
diharapkan tingkat nyeri frekuensi, kualitas, intensitas
menurun dengan kriteria nyeri
hasil sbb : 2. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri 3. Identifikasi respon nyeri non
menurun verbal
2. Meringis menurun Terapeutik
3. Sikap protektif 4. Berikan teknik
menurun nonfarmakologis untuk
4. Gelisah menurun mengurangi rasa nyeri (mis.
5. Kesulitan tidur TENS, hypnosis, akupresur,
menurun terapi musik, biofeedback,
6. Frekuensi nadi terapi pijat, aroma terapi, teknik
membaik imajinasi terbimbing, kompres
hangat/dingin, terapi bermain)
7. Pola nafas membaik
5. Control lingkungan yang
8. Tekanan darah
memperberat rasa nyeri (mis.
membaik
Suhu ruangan, pencahayaan,
9. Nafsu makan
kebisingan)
membaik
Edukasi
10. Pola tidur membaik 6. Jelaskan penyebab, periode, dan
pemicu nyeri
7. Anjurkan menggunakan
analgetik secara tepat
8. Ajarkan teknik nonfarmakologis
untuk mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi
10
9. Kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
12
7. suhu kulit membaik 9. Pertahan kan teknik seteril saaat
perawatan luka
10. Ganti balutan sesuai jumlah
eksudat dan drainase
11. Jadwalkan perubahan posisi setiap
dua jam atau sesuai kondisi pasien
12. Berika diet dengan kalori 30-35
kkal/kgBB/hari dan protein1,25-
1,5 g/kgBB/hari
13. Berikan suplemen vitamin dan
mineral (mis vitamin A,vitamin
C,Zinc,Asam amino),sesuai
indikasi
14. Berikan terapi TENS(Stimulasi
syaraf transkutaneous), jika perlu
Edukasi
15. Jelaskan tandan dan gejala infeksi
16. Anjurkan mengonsumsi makan
tinggi kalium dan protein
17. Ajarkan prosedur perawatan luka
secara mandiri
Kolaborasi
18. Kolaborasi prosedur
debridement(mis: enzimatik
biologis mekanis,autolotik), jika
perlu
19. Kolaborasi pemberian
antibiotik, jika perlu
6. Risiko disfungsi Neurovaskuler perifer L. Manajemen sensasi perifer I. 06195
neurovaskuler D. 06051 Observasi
0067 setelah dilakukan tindakan 1. identifikasi penyebab perubahan
keperawatan 3x24 jam sensasi
diharapkan neurovaskuler 2. identifikasi penggunaan alat
perifer meningkat dengan pengikat, prostesis, sepatu,
kriteria hasil sbb : pakaian
1. sirkulasi arteri meningkat 3. periksa perbedaan sensasi tajam
2. sirkulasi vena meningkat dan tumpul
3. pergerakan sendi 4. periksa perbedaan sensasi panas
meningkat atau dingin
4. nyeri menurun 5. periksa kemampuan
5. perdarahan menurun mengidentifikasi lokasi dan
6. nadi membaik tekstur benda
7. suhu tubuh membaik 6. monitor terjadinya parestesia, jika
perlu
7. monitor perubahan kulit
8. monitor adanya tromboflebitis dan
tromboemboli vena
Terapeutik
9. hindari pemakaian benda-benda
yang berlebihan suhunya (terlalu
dingin atau panas)
Edukasi
10. anjurkan penggunaan termometer
untuk menguji suhu air
11. anjurkan pengguanaan sarung
tangan termal saat memasak
13
12. anjurkan memakai sepatu lembut
dan bertumit rendah
Kolaborasi
13. kolaborasi pemberian analgetik,
jika perlu
14. kolaborasi pemberian
kortikosteroid, jika perlu
D. IMPLEMENTASI
Merupakan pelaksanaan tindakan yang sudah direncanakan dengan tujuan kebutuhan
pasien terpenuhi secara optimal dalam rencana keperawatan. Tindakan keperawatan
mencakup tindakan mandiri (independent), saling ketergantungan/kolaborasi, dan
tindakan rujukan/ ketergantungan (dependent).
E. EVALUASI
Menurut (Tartowo & Wartonah, 2015) Adalah proses keperawatan dengan cara melakukan
identifikasi sejauh mana tujuan dari rencana keperawatan tercapai atau tidak dan
perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang
telah ditetapkan, keluarga dan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi untuk melihat
kemampuan klien dalam mencapai tujuan yang disesuaikan dengan kriteria hasil pada tahap
perencanaan.
14
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer (2015). Buku Ajar Keperawatan medikal Bedah Edisi 8 volume 2. Jakarta : EGC
Kowalak (2011). Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC
Ruhyanudin (2013). Asuhan keperawatan penyakit dalam. Bengkulu.
PPNI (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia: Definisi dan Indikator Diagnostik,
Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia: Definisi dan Tindakan
Keperawatan, Edisi 1. Jakarta:DPP PPNI
PPNI (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia: Definisi dan Kriteria Hasil, Edisi 1.
Jakarta:DPP PPNI
15