Anda di halaman 1dari 19

LAPORAN PENDAHULUAN ILEUS

A. Antomi Fisiologi Saluran Pencernaan


Menurut Bolon dkk, (2020), anatomi dan fisiologi saluran pencernaan sebagai
berikut;
1. Mulut
Mulut merupakan rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air. Atau
jalan masuknya sistem pencernaan, bagian dari mulut dilapisi lendir. Pengecapan
dirasakan oleh organ perasa yang terdapat dipermukaan lidah, terdiri atas manis,
asin dan pahit. Gigi adalah bagian terpenting bagi pencernaan yang berfungsi
mengunyah makanan sehingga menjadi halus.

Gambar 1. Gigi manusia tampak depan dan penampang lapisan gigi


(Bolon dkk, 2020)

2. Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan.
Didalam lengkung faring terdapat tonsil (amandel) yaitu kelenjar limfe yang
banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhadap infeksi,
disini terletak bersimpangan antara jalan nafas dan jalan makanan, letaknya
dibelakang rongga mulut dan rongga hidung,
3. Kerongkongan (Esofagus)
Makanan berjalan melalui kerongkongan dengan menggunakan proses
peristaltic. Yang meliputi gerakan melebar, menyempit, bergelombang dan
meremas-remas agar maknaan terdorong ke lambung. Di kerongkongan makanan
didorong ke esophagus menuju lambung secara peristaltic, terdapat dua otot
lingkar (sfingter) bagian atas esofsagus dan otot lingkar kardia (otot lingkar
esophagus bawah) di dasar esophagus.

Gambar 2. Kerongkongan/esofagus (Bolon dkk, 2020)

4. Lambung
Lambung merupakan organ berbentuk seperti kantong terdiri dari
dinding berotot. Berfungsi sebagai penampung makanan yang masuk melalui
esofagus. Di lambung makanan dihancurkan dan dihaluskan dengan gerakan
peristaltil lambung dan getah lambng.

Gambar 3. Lambung (Bolon dkk, 2020)

Adapun beberapa fungsi lambung diantaranya;

a. Penyimpanan makanan. Kapasitas lambung normal memungkinkan adanya


interval waktu yang panjang antara saat makan dan kemampuan menyimpan
makanan dalam jumlah besar sampai makanan in dapat terakomodasi
dibagian bawah saluran.

b. Memproduksi kimus. Jika lambung beraktivitas akan mengakibatkan


terbentuknya kimus/massa homogeny setengan cair mmepunyai kadar asam
yang tinggi yang berasal dari bolus dan mendorong kedalam duodenum.
c. Digesti protein. saat lambung memulai digesti protein melalui sekresi tripsin
dan asam klirida.

d. Prodeuksi mucus. Mucus berasal dari penghasilan dari kelenjar membentuk


barier setebal 1mm melindungi lambung dari aksi pencernaan dari sekresinya
sendiri.

e. Produksi faktor intrinsic; glikoprotein yang disekresi sel parietal dan vitamin
B12 yang dapat dari makanan yang dicerna lambung

f. Absorpsi. Absorpsi di nutrient yang berjalan dilambung hanya sedikit.

g. Getah lambung mengandung asam lambung (HCL), pepsin yaitu enzim yang
dapat mengubah protein menjadi molekul yang lebih kecil, musin yaitu
mukosa protein yang dapat melicinkan makanan, Renin yaitu berberan
sebagai kaseinogen menjadi kasein, HCl asam klorida berfungsi sebagai
enzim yang berguna untuk memunuh kuman bakteri pada makanan.

5. Usus Halus (Ileus)

Gambar 4. Anatomi Usus Halus (Bolon dkk, 2020)

Usus halus disebut juga usus kecil yang merupakan bagian dari saluran cerna
terletak diantara lambung dan usus besar. Panjangnya kira-kira 6 meter dan
merupakan saluran pencernaan yang paling panjang dari tempat proses
pencernaan dan absorpsi pencernaan.
Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari (duodenum), usus
jejunum23 meter, dan usus penyerapan (ileum) 4-5 meter.
a. Usus dua belas jari (duodenum)
Usus dua belas jari atau duodenum adalah bagian dari usus halus yang
terletak setelah lambung dan menghubungkannya ke usus kosong (jejunum).
Bagian usus dua belas jari merupakan bagian terpendek dari usus halus,
dimulai dari bulbo duodenale dan berakhir di ligamentum Treitz.
Usus dua belas jari menghasilkan enzim-enzim membantu proses
pencernaan antar lain; Enterokinase fungsinya untuk mengaktifkan peptidase.
Tripsin fungsinya untuk mengubah pepton menjadi asam amino dan gliserol.
Erepsin fungsinya untuk mengubah dipeptida atau pepton menjadi asam
amino. Disakarase fungsinya mengubah disakarida menajdi monosakarida
yang terbagi atas maltose (glukosa +glukosa), sukrose (fruktosa+glukosa),
laktose (galaktosa+glukosa). Lipase mengubah trigeliserida menjadi gliserol
dan asam lemak
b. Usus jejunum
Usus jejunum adalah bagian kedua dari usus halus, di antara usus dua belas
jari (duodenum) dan usus penyerapan (ileum). Usus jejunum dan usus ileus
digantungkan dalam tubuh dengan mesenterium (berbentuk kipas).
c. Usus penyerapan (ileum)
Usus penyerapan atau ileum adalah bagian terakhir dari usus halus. Pada
sistem pencernaan manusia, terletak usus ileus setelah duodenum dan
jejunum, dan dilanjutkan oleh usus buntu. Ileum memiliki pH antara 7 dan 8
(netral atau sedikit basa) dan berfungsi menyerap vitamin B12 dan garam-
garam empedu.
6. Usus Besar (Kolon)

Gambar 5. Usus Besar (Bolon dkk, 2020)


Pada proses pencernaan makanan telah berlangsung di usus kecil dan hanya
air dan penyerapan garam yang terjadi di usus besar. Hal tersebut jelas bahwa
usus besar hanya membantu dalam menjaga keseimbangan cairan darah.
Fungsi dari usus besar manusia antara lain;
a. Menyerap air dan elektrolit, untuk kemudian sisa maasa membentuk massa
yang lembek yang disebut feses.
b. Menyimpan bahan feses. Sampai aat defekasi, feses ini tediri sisa makanan,
serat-serat selulosa, sel-sel epitel baktei, bahan sisa sekrsi (lambung, kelenjar
intestin, hati, pankreas).
7. Rectum dan Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar (setelah
kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai tempat
penyimpanan sementara feses. Biasanya rektum ini kosong karena tinja disimpan
di tempat yang lebih tinggi, yaitu pada kolon desendens. Jika kolon desendens
penuh dan tinja masuk ke dalam rektum, maka timbul keinginan untuk buang air
besar (BAB).

B. Definisi ILEUS
Ileus merupakan penyumbatan total atau sebagian pada usus yang mengakibatkan
gangguan aliran isi usus (Handaya, 2017). Sebagian besar obstruksi usus terjadi pada
usus halus, dimana obstruksi total yang terjadi di usus halus dianggap sebagai
keadaan gawat yang memerlukan diagnosis dini dan tindakan pembedahan darurat
(Nurarif dan Kusuma, 2015).
Ileus adalah penurunan atau hilangnya fungsi usus akibat paralisis atau obstruksi
mekanis yang dapat menyebabkan penumpukan atau penyumbatan zat makanan
(Rasmilia Retno, 2013). Menurut Margaretha Novi Indrayani (2013). Ileus adalah
gangguan atau hambatan isi usus yang merupakan tanda adanya obstruksi usus akut
yang segera membutuhkan pertolongan atau tindakan. Ileus dibagi menjadi dua yaitu
ileus obstruktif dan ileus paralitik. Ileus obstruktif atau disebut juga ileus mekanik
adalah keadaan dimana isi lumen saluran cerna tidak bisa disalurkan ke distal atau
anus karena adanya sumbatan atau hambatan mekanik yang disebabkan kelainan
dalam lumen usus (Ida Ratna, Nurhidayati, 2015). MedLine Plus (2018) menyatakan
Ileus obstruktif atau obstruksi usus adalah suatu gangguan (apapun penyebabnya)
aliran normal isi usus sepanjang saluran isi usus. Sedangkan ileus paralitik adalah
obstruksi usus akibat kelumpuhan seluruh atau sebagian otot-otot usus yang
menyebabkan berkurangnya atau tidak adanya peristaltik (Megan Griffiths, 2020).
Dapat disimpulkan bahwa ileus obstruktif merupakan penyumbatan pada usus
yang disebabkan oleh hernia, adhesi atau pelengketan, tumor yang menyebabkan isi
usus tidak dapat disalurkan ke distal.

C. Etiologi
Menurut Sari dkk, (2015) dan Adikhari et al (2010) terjadinya ileus dikarenakan
beberaa hal diantaranya ;
1. Hernia : protusi usus melalui area yang lemah dalam usus atau dinding dan otot
abdomen.
2. Tumor yang berada pada dinding usus dapat meluas ke lumen usus atau tumor di luar
usus dapat menyebabkan tekanan pada dinding usus
3. Adanya perlengketan / Adhesi :Lengkung usus melekat pada area yang sembuh secara
lambat atau pada jaringan parut setelah pembedahan abdomen.
4. Volvulus : Usus besar yang memiliki mesocolon dapat terpuntir sendiri sehingga
menimbulkan penyumbatan dengan menutupnya gelungan usus yang berakibat timbulnya
distensi. Keadaan ini dapat terjadi pada usus halus yag berputar pada mesntriumnya.
5. Intusepsi :Suatu keadaan dimana salah satu bagian usus menyusup ke dalam bagian lain
yang ada di bawahnya yang terjadi akibat penyempitan lumen usus. Segmen usus tertarik
ke dalam segmen berikutnya oleh gerakan peristaltik yang memperlakukan segmen
tersebut seperti usus. Hal ini sering terjadi pada anak- anak dimana kelenjar limfe
mendorong dinding ileum ke dalam dan terpijat disepanjang bagian usus tersebut
(ileocaecal) melewati coecum ke dalam usus besar (colon) dan bahkan sampai sejauh
rectum dan anus.

D. Manifestasi Klinis
Menurut Ansari (2020) dan Handaya (2017) ada beberapa tanda dan gejala dari
ileus, antara lain;
1. Kram perut yang berpusat pada umbilicus atau epigastrium
2. Muntah
3. Nyeri hebat
4. Tidak bisa BAB dan tidak ada flatus
5. Obtipasi pada pasien dengan obstruksi lengkap
6. Diare terjadi pada pasien dengan obstruksi parsial
7. Peristaltic usus yang hiperaktif dengan suara keras dan dengan gerakan cepat
bersamaan dengan kram
8. Syok dan oliguria in merupakan tanda serius yang mengindikasikan obstruksi
sederhana lanjut
9. Foto polos memperlihatkan loop usus halus yang berdilatasi dengan batas udara-
cairan

E. Klasifikasi

Menurut Griffiths dan Damian (2017) dan Handayana (2017) bahwa terdapat 2
tipe dari ileus yaitu ileus obstruktif dan ileus paralitik.
1. Ileus obstruktif/ ileus dinamik merupakan kondisi saat isi lumen saluran cerna
tidak bisa disalurkan ke distal atau anus karena adanya sumbatan yang
disebabkan karena adanya kelainan vaskularisasi pada suatu segmen usus hingga
membuat nekrose pada segmen usus. Tipe in apabila masih terdapat gerakan usus
(peristaltic) untuk melawan mekanisme penyumbatan usus, baik untuk kejadian
obstruksi akut maupun kronis.
2. Ileus paralitik atau adynamic merupakan kondisi ketika usus tidak mampu
melakukan kontraksi peristaltic untuk menyalurkan isinya akibat hilangnya
peristaltic usus tanpa adanya obstruksi dinamik. Tipe ini bila tidak ada lagi
gerakan usus (peristaltic), biasanya ditemukan pada gangguan gerakan usus pada
pascaoperasi, infark (kematian usus), hirshprung (megakolon).
F. Patofisiologi

Obstruksi usus terjadi karena adanya gangguan secara mekanik dan fungsional.
Ileus dinamik disebabkan oleh perlengketan neoplasma, benda asing, striktur.
Sedangkan ileus paralitik dapat mengakibatkan usus tidak mampu melakukan
peristaltik untuk menyalurkan isinya (Neri, 2016). Jika peristaltik terhenti daerah
usus yang disekitarnya akan menjadi kembung dengan gas dan cairan. Dalam satu
hari kurang lebih 8 liter cairan dikeluarkan ke dalam lambung dan usus halus, secara
normal sebagian besar cairan ini direabsorbsi di dalam kolon. Jika peristaltik
terhenti, maka akan banyak cairan tertahan di dalam lambung dan usus kecil, Cairan
tersebut yang akan meningkatkan tekanan pada dinding mukosa namun apabila tidak
dikeluarkan mengakibatkan iskemic nekrosis, invasi bakteri dan mengalami
peritonitis (Catena et al, 2019).

Saat obstruksi dinamik terjadi aliran peristaltik sebelah proksimal dari daerah
obstruksi meningkat sebagai usaha untuk mendorong isi usus melewati obstruksi.
Gerakan peristaltik ini menyebabkan bising usus yang tinggi dan keras. Ileus juga
mengakibatkan distensi akibat adanya gas/udara dan air yang berasal dari lambung,
usus halus, dan pankreas. Cairan yang berada di dalam usus halus ditarik oleh
sirkulasi darah dan sebagian ke interstisial, dan dikeluarkan dengan cara
dimuntahkan secara berlebihan hal tersebut berakibat akan memperburuk keadaan
pasien akibat kehilangan cairan dan kekurangan elektrolit. (Ansari, 2020). Kondisi
lain juga terjadi karena penumpukan gas dan cairan dalam lumen usus juga dapat
menyebabkan terjadinya obstruksi komplit yang dapat meningkatkan gelombang
peristaltik dapat berbalik arah dan menyebabkan isi usus terdorong ke mulut,
keadaan ini akan menimbulkan muntah-muntah yang akan mengakibatkan dehidrasi.

Penumpukan cairan juga mengakibatkan distensi dinding usus sehingga muncul


rasa nyeri, kram dan kolik. Distensi dapat menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Akan terjadi iskemik dinding usus, yang mengakibatkan nekrosis, ruptur
dan perforasi sehingga terjadi pelepasan bakteri dan toksin dari usus yang nekrotik
ke dalam peritoneum dan sirkulasi sistem. Saat pelepasan bakteri dan toksin ke
peritoneum akan menyebabkan peritonitis (Rabee dan Nabil, 2018).

G. Pathway (Terlampir )
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Neri (2016) pemeriksaan penunjang ada beberapa yang dilakukan yaitu;
1. Pemeriksaan laboratorium
Leukosit darah, kadar elektrolit, ureum, glukosa darah, dan amylase. Nilai
laboratorium awalnya normal, kemudian akan terjadi hemokonsentrasi,
leukositosis, dan gangguan elektrolit.
2. Radiografi Polos
Pemeriksaan ini untuk memastikan diagnosis dasar dari obstruksi usus yang
membedakan antara obstruksi mekanik atau dinamis. Hasilnya apabila ditemukan
beberapa level cairan udara dan dilatasi segmen usus di proksimal obstacle dan kolaps di
usus distal
3. CT-Scan Abdominal
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi obstruksi usus dan memperjelas loop kosong dan
juga oklusi usus lengkap pemeriksaan in haryus mendeteksi penyebab obstruksi dengan
mengidentifikasi hernia internal atau parietal, neoplastik atau inflamasi masaa dan dapat
mengetahui komplikasi seperti evolusi iskemik atau nekrotik secara keseluruhan.
4. USG Abdominal
Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi adanya distensi usus, massa abdomen dan
hernia internal yang dapat menjadi situs loop usus yang terjebak, selain juga juga dapat
mengindentifikasi kadar cairan udara, penyebab dan komplikasi obstruksi usus walaupun
kemungkinan kecil dapat dilihat dengan jelas.
5. Magnetic resonance imaging (MRI)
Keakuratan pemeriksaan in sama dengan pemeriksaan CT-Scan yang akan
mengetahui diagnosis dasar dari obstruksi usus, lokasi dan penyebab obstruksi, serta
dapat menunjukkan deteksi yang buruk dari massa dan terjadinya peradangan.
I. Penatalaksanaan
Menurut Neri (2010) dan Warsinggih (2016), bahw penatalaksanaan pada kasus
ileus disesuaikan dengan tipe ileus yaitu;
1. Ileus Obstruktif
Tujuan utama penatalaksanaan adalah dekompresi bagian yang mengalami
obstruksi untuk mencegah perforasi. Tindakan operasi biasanya selalu diperlukan.
Menghilangkan penyebab obstruksi adalah tujuan kedua. Kadang-kadang suatu
penyumbatan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan, terutama jika
disebabkan oleh perlengketan. Penderita penyumbatan usus harus di rawat di
rumah sakit.
Dalam resusitasi yang perlu diperhatikan adalah mengawasi tanda-tanda
vital, dehidrasi dan syok. Pasien yang mengalami ileus obstruksi mengalami
dehidrasi dan gangguan keseimbangan ektrolit sehingga perlu diberikan cairan
intravena seperti ringer laktat. Respon terhadap terapi dapat dilihat dengan
memonitor tanda-tanda vital dan jumlah urine yang keluar. Selain pemberian
cairan intravena, diperlukan juga pemasangan nasogastric tube (NGT). NGT
digunakan untuk mengosongkan lambung, mencegah aspirasi pulmonum bila
muntah dan mengurangi distensi abdomen
Operasi dilakukan setelah rehidrasi dan dekompresi nasogastrik untuk
mencegah sepsis sekunder. Operasi diawali dengan laparotomi kemudian disusul
dengan teknik bedah yang disesuaikan dengan hasil eksplorasi selama laparotomi
2. Ileus Paralitik
Pengelolaan ileus paralitik bersifat konservatif dan suportif. Tindakannya berupa
dekompresi dilakukan pemasangan pipa nasogastrik, menjaga keseimbangan cairan dan
elektrolit, mengobati penyebab atau penyakit primer dan pemberian nutrisi yang adekuat.
Pemberian cairan, koreksi gangguan elektrolit dan nutrisi parenteral. Beberapa obat yang
dapat dicoba yaitu metoclopramide untuk gastroparesis, sisaprid untuk ileus paralitik
pasca operasi, dan klonidin untuk mengatasi ileus paralitik karena obat- obatan.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN ILEUS

A. Pengkajian
1. Identitas klien
Identitas umum, meliputi nama, tempat tanggal lahir/umur, pendidikan, suku bangsa,
pekerjaan, agama, dan alamat rumah.
Alasan masuk RS: Pasien mengalami nyeri akut, sianosis, bibir mukosa kering,
takikardia, hipotensi (tanda hipovolemia)
2. Primary Survey
a. Airway: Lihat patensi jalan nafas, adakah suara nafas tambahan seperti
snoring, gargling.
b. Breathing:
 Inspeksi : Nafas pasien, perkembangan dada, adanya penggunaan otot bantu
nafas, jejas/luka, frekuensi nafas, irama, kedalaman, simetris atau tidak.
 Palpasi : Adanya nyeri tekan dan benjolan

 Perkusi : Sonor, dan redup apabila ada cairan, serta hipersonor apabila
terdapat penumpukan udara di rongga paru.
 Auskultasi : Apakah terdapat suara nafas tambahan berupa ronkhi atau wheezing.
c. Circulation:
 Palpasi nadi karotis, frekuensi nadi, tekanan darah, observasi adanya
gangguan perfusi (CRT>3 detik,nadi perifer menurun, akral dingin, wana
kulit pucat, konjungtiva anemis, turgor kulit menurun). Ada tidaknya
perdarahan eksternal dan internal.
d. Disability: Observasi tingkat kesadaran, GCS, pupil, kemampuan motorik.
e. Exposure: Observasi adanya jejas/luka, fraktur, edema, benjolan.
3. Secondary Survey
a. Riwayat kesehatan sekarang : Pasien mengungkapkan hal yang menyebabkan ia
mencari pertolongan. Narasi singkat perjalanan pasien hingga datang ke RS
disertai hasil pengkajian yang ditemukan dan tindakan yang telah dilakukan.
b. Riwayat kesehatan dahulu : Penjelasan mengenai apakah sebelumnya pasien
pernah mengalami penyakit pada sistem pencernaan, atau adanya riwayat
operasi pada sistem pencernaan.
c. Alergi : Alergi makanan atau obat yang pernah dialami.
d. Obat yang biasa digunakan
4.Pemeriksaan Fisik (Head to Toe)
a. Keadaan umum, GCS : Pasien tampak lemah dan gelisah.
b. TTV dan Nyeri
Pengukuran dan observasi tekanan darah, nadi, pernafasan, saturasi oksigen, dan suhu
badan. Apabila terjadi takikardia, pucat dan pasien hipotensi merupakan tanda syok.
Pengkajian nyeri PQRST.
c. Kepala:
-Inspeksi: Tidak terdapat massa (benjolan), tidak terdapat lesi, wajah simetris, tidak
terdapat lesi pada wajah, ekspresi meringis kesakitan.
-Palpasi: Tidak ada nyeri kepala atau pun benjolan.
d. Mata:
-Inspeksi: Mata simetris, konjungtiva anemis sebagai tanda intake cairan yang kurang,
bola mata simetris, dan tidak terdapat gangguan penglihatan
-Palpasi: Nyeri tekan tidak ada
e. Telinga:
-Inspeksi: Tidak terdapat lesi atau serumen yang keluar dari telinga. Bentuk daun
telinga normal dan simetris, tidak ada nyeri tekan pada tragus, tidak ada gangguan
pendengaran, tidak menggunakan alat bantu pendengaran, tidak ada benjolan dan
tanda-tanda peradangan
-Palpasi: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
f. Hidung:
-Inspeksi: Bentuk hidung simetris, tidak terdapat pernafasan cuping hidung,
penggunaan oksigen, tidak ada serumen atau sekret yang keluar dari hidung.
-Palpasi: tidak ada nyeri tekan dan benjolan
g. Mulut:
-Inspeksi: Mukosa bibir kering, sianosis, ttidak ada benjolan/tanda peradangan.
h. Leher:
-Inspeksi: Bentuk leher simetris, tidak ada benjolan pada leher, trakea simetris, tidak
terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan vena jugularis, dan tidak ada pembesaran
pada kelenjar tiroid.
-Palpasi: tidak ada nyeri tekan dan benjolan, teraba nadi karotis
i. Dada:
 Paru-paru
- Inspeksi : bentuk dada, warna kulit, pengembangan paru simetris, tidak ada
penggunaan otot bantu nafas, irama nafas tidak teratur, nafas pendek.
- Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada krepitasi.
- Perkusi : perkusi paru sonor.
- Auskultas : tidak ada suara ronkhi, wheezing
 Jantung
- Inspeksi : tidak ada pembesaran pada dada sebelah kiri.
- Palpasi : ictus cordis teraba.
- Perkusi : suara jantung terdengar pekak
- Auskultasi : suara S1 dan S2 normal, tidak ada suara jantung abnormal.
j. Abdomen:
- Inspeksi : Tidak terdapat hiperpigmentasi, bentuk asimetris (apabila ada tumor
yang menyebabkan lumen usus melebar), tidak ada benjolan atau lesi, kondisi
bersih, dan tidak ada asites, mual muntah, terlihat gerakan peristaltik
(hiperperistaltik dan dilatasi karena obstruksi lumen usus).
- Auskultasi: Hiperperistaltik pada ileus obstruktif (terdengar keras dan bernada
tinggi) dan hipoperistaltik pada ileus paralitik (Indrayani, 2018). Bising usus
normal 15-30 x/menit pada dewasa (Muttaqin, 2008).
- Perkusi : timpani dan pekak (adanya cairan bebeas di dalam rongga abdomen).
- Palpasi : nyeri tekan dan lepas, teraba massa
k. Urogenital:
Warna kuning pekat, jumlah, frekuensi BAB dan BAK.
l. Ekstremitas:
- Ekstremitas atas : Pergerakan ekstremitas, letak infus, kekuatan otot, edema
- Ekstremitas bawah : Pergerakan ekstremitas, letak infus, kekuatan otot, edema
m. Kulit dan kuku:
- Kulit : Tidak terdapat hiperpigmentasi, warna kulit pucat, akral dingin, kulit dalam
keadaan bersih, tidak ada edema
- Kuku : Warna kuku pucat, kondisi kuku tidak retak/pecah, tidak ada
lesi/peradangan, CRT > 3 detik.
B. Diagnosa Keperawatan berdasarkan NANDA 2015
1. Kekurangan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak
adekuat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan adanya
mual, muntah, demam dan diaforesis.
2. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan edema.

3. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen

4. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi


motilitasusus.
5. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen

6. Gangguan rasa nyaman berhubungan dengan proses penyakit

7. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.

C. Perencanaan Keperawatan

1. Kelebihan volume cairan dan elektrolit berhubungan dengan intake yang tidak
adequat dan ketidakefektifan penyerapan usus halus yang ditandai dengan
adanya mual, muntah, demam dandiaforesis.
Tujuan/Goal: Kebutuhan cairan dan elektrolit terpenuhi
Kriteria hasil:
- Tanda vital normal (N:70-80 x/menit, S: 36-37 C, TD:
110/70 - 120/80 mmHg)
- Intake dan output cairan seimbang
- Turgor kulitelastic
- Mukosa lembab
- Elektrolit dalam batas normal (Na: 135-147 mmol/L, K:
3,5-5,5 mmol/L, Cl: 94-111mmol/L)
Intervensi :
a. Kaji kebutuhan cairanpasien
Rasional:untuk mengetahui kebutuhan cairan pasien.
b. Observasi tanda-tanda vital: N, TD, P,S
Rasional: Perubahan yang drastis pada tanda-tanda vital merupakan indikasi
kekurangan cairan.
c. Observasi tingkat kesadaran dan tanda-tandasyok
Rasional: kekurangan cairan dan elektrolit dapat mempengaruhi tingkat
kesadaran dan mengakibatkan syok.
d. Observasi bising usus pasien tiap 1-2 jam
Rasional: Menilai fungsiusus
e. Monitor intake dan output secara ketat Rasional:
untuk menilai keseimbangan cairan
f. Pantau hasil laboratorium serum elektrolit, hematokrit Rasioanal:
Untuk menilai keseimbangan cairan danelektrolit
g. Beri penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang dilakukan:
pemasangan NGT dan puasa.
Rasional: Untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga serta
kerjasama antara perawat-pasien-keluarga.
h. Kolaborasi dengan medik untuk pemberian terapi intravena
i. Rasional: Untuk memenuhi kebutuhan cairan dan elektrolitpasien.

2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan distensi abdomen


Tujuan : pola nafas menjadi efektif
Kriteria hasil :
- Pasien memiliki pola pernafasan
- Irama vesikuler
- Rekuensi: 18-20x/menit
Intervensi :
a. Observasi TTV: Pernapasan, Tekanan Darah,Nadi
Rasional: Perubahan pada pola nafas akibat adanya distensi abdomen dapat
mempengaruhi peningkatan hasil TTV.
b. Kaji status pernafasan: pola, frekuensi,kedalaman
Rasional: Adanya distensi pada abdomen dapat menyebabkan perubahan pola
nafas.
c. Kaji bising usus pasien
Rasional: Berkurangnya/hilangnya BU menyebabkan terjadi distensi abdomen
sehingga mempengaruhi pola nafas.
d. Tinggikan kepala tempat tidur 40-60 derajat.
Rasional: Untuk mengurangi penekanan pada paru akibat distensi abdomen.
e. Observasi adanya tanda-tanda hipoksia jaringan perifer: sianosis
Rasional: Perubahan pola nafas akibat adanya distensi abdomen dapat
menyebabkan oksigenasi perifer terganggu yang dimanifestasikan
dengan adanya sianosis.
f. Berikan penjelasan kepada keluarga pasien tentang penyebab terjadinya distensi
abdomen yang dialami oleh pasien.
Rasional: Untuk meningkatkan pengetahuan dan kerjasama dengan keluarga
pasien.
g. Laksanakan program medik pemberian terapi oksigen Rasional: Untuk
memenuhi kebutuhan oksigenasi pasien.

3. Gangguan pola eliminasi: konstipasi berhubungan dengan disfungsi motilitasusus.


Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pola eliminasi
kembalinormal.
Kriteria hasil:
- Pola eliminasi BAB normal: 1x/hari, dengan konsistensi lembek
- BU normal: 5-35 x/menit
- tidak ada distensi abdomen.
Intervensi
a. Kaji dan catat frekuensi, warna dan konsistensifeces
Rasional: Untuk mengetahui ada atau tidaknya kelainan yang terjadi pada
eliminasifekal.
b. Auskultasi bising usus
Rasional: Untuk mengetahui normal atau tidaknya pergerakan usus.
c. Kaji adanya flatus
Rasional: Adanya flatus menunjukan perbaikan fungsi usus.
d. Kaji adanya distensi abdomen
Rasional: Gangguan motilitas usus dapat menyebabkan akumulasi gas di dalam
lumen usus sehingga terjadi distensi abdomen.
e. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga penyebab terjadinya gangguan
dalamBAB
Rasinal: Untuk meningkatkan pengetahuan pasien dan keluarga serta untuk
meningkatkan kerjasana antara perawat-pasien dan keluarga.
f. Kolaborasi dalam pemberian terapi pencahar(Laxatif)
Rasional: Untuk membantu dalam pemenuhan kebutuhan eliminasi

4. Nyeri berhubungan dengan distensi abdomen


Tujuan : rasa nyeri teratasi atauterkontrol
Kriteria hasil:
- Pasien mengungkapkan penurunan ketidaknyamanan
- Menyatakan nyeri pada tingkat dapat ditoleransi
- Menunjukkan relaks.
Intervensi:
a. Observasi Tanda Tanda Vital (TTV)
Rasional: Nyeri hebat yang dirasakan pasien akibat adanya distensi abdomen dapat
menyebabkan peningkatan hasih TTV.
b. Kaji keluhan nyeri, karakteristik dan skala nyeri yang dirasakan pesien
sehubungan dengan adanya distensi abdomen.
Rasional Untuk mengetahui kekuatan nyeri yang dirasakan pasien dan menentukan
tindakan selanjutnya guna mengatasi nyeri.
c. Berikan posisi yang nyaman: posisi semi fowler.

Rasional: Posisi yang nyaman dapat mengurangi rasa nyeri yang dirasakan
pasien
d. Ajarkan dan anjurkan tehnik relaksasi tarik nafas dalam saat merasa nyeri.
Rasional: Relaksasi dapat mengurangi rasa nyeri
e. Anjurkan pasien untuk menggunakan tehnik pendalihan saat merasa nyerihebat.
Rasional: Untuk mengurangi nyeri yang dirasakan pasien.
f. Kolaborasi dengan medic untuk terapi analgetik
Rasional: Analgetik dapat mengurangi rasanyeri

5. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status kesehatan.


Tujuan: Kecemasanteratasi
Kriteria hasil :
- Pasien mengungkapkan pemahaman tentang penyakit saat ini
- Mendemonstrasikan keterampilan koping positif.
Intervensi :
a. Observasi adanya peningkatan kecemasan: wajah tegang, gelisah. Rasional:
Rasa cemas yang dirasakan pasien dapat terlihat dalam ekspresi wajah dan
tingkahlaku.
b. Kaji adanya rasa cemas yang dirasakanpasien
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kecemasan pasien.
c. Berikan penjelasan kepada pasien dan keluarga tentang tindakan yang akan
dilakukan sehubungan dengan keadaan penyakitpasien.
Rasional : Dengan mengetahui tindakan yang akan dilakukan akan mengurangi
tingkat kecemasan pasien dan meningkatkan kerjasama
d. Berikan kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan rasa takut atau
kecemasan yang dirasakan.
Rasional: Dengan mengungkapkan kecemasan akan mengurangi rasa
takut/cemas pasien
e. Pertahankan lingkungan yang tenang dan tanpastres.
Rasional: Lingkungan yang tenang dan nyaman dapat mengurangi stress pasien
berhadapan dengan penyakitnya

f. Dorong dukungan keluarga dan orang terdekat untuk memberikan support


kepadapasien
Rasional: Support system dapat mengurani rasa cemas dan menguatkan pasien
dalam memerima keadaansakitnya.

D. Implementasi
Implementasi akan memastikan asuhan keperawatan yang efisien, aman dan
efektif. Implementasi intervensi keperawatan yang berhasil membutuhkan
ketrampilan kognitif, interpersonal dan psikomotor.
1. Ketrampilan kognitif
Ketrampilan kognitif meliputi aplikasi pemikiran kritis pada proses keperawatan.
Untuk melaksanakan intervensi dibutuhkan pertimbangan yang baik dan
kepututsan klinis yang jelas, ini berarti intervensi keperawatan tidak otomatis.
Perawat harus berpikir dan mengantisipasi secara kontinyu sehingga perawat
dapat menyesuaikan perawatan klien dengantepat.
2. Interpersonal
Ketrampilan ini dibutuhkan untuk terwujudnya tindakan keperawatan yang efekif.
Perawat membangun hubungan kepercayaan, menunjukkan perhatian dan
berkomunikasi denganjelas.
3. Psikomotor
Ketrampilan psikomotor membutuhkan integrasi antara aktivitas kognitif dan
motorik. Sebagai contoh, saat melakukan penyuntikan, perawat harus memahami
anatomi dan farmakologi (kognitif), serta menggunakan koordinasi dan presisi
untuk melakukan penyuntikan denngan tepat (motorik). Ketrampilan ini sangat
penting untuk membangun kepercayaaan klien. (Potter & Perry.2009)

E. Evaluasi
Adapun tahapan-tahapan evaluasi menurut Potter & Perry (2009) yaitu:
1. Mengidentifikasi kriteria dan standard evaluasi
2. Mengumpulkan data untuk menentukan apakah criteria dan standard
telahterpenuhi.
3. Menginterpretasi dan meringkasdata
4. Menghentikan, meneruskan atau merevisi rencanaperawatan.

Anda mungkin juga menyukai