Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CHOLELITHIASIS


DI RUANG INSTALASI BEDAH SENTRAL (IBS)
RUMAH SAKIT POLRI

Laporan ini disusun guna memenuhi tugas praktik klinik


Keperawatan Medikal Bedah
Dosen Pengampu : Ns. Mareta Dea Rosaline, M.Kep Sp.Kep KMB

Disusun Oleh :
Hillalia Nurseha
2110721107

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS PROGRAM PROFESI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL VETERAN JAKARTA
2021
A. KONSEP DASAR
1. Anatomi Fisiologi

Kandung empedu bentuknya seperti kantong, organ berongga yang


panjangnya sekitar 10 cm, terletak dalam suatu fossa yang menegaskan batas
anatomi antara lobus hati kanan dan kiri. Kandung empedu merupakan kantong
berongga berbentuk bulat lonjong seperti buah advokat tepat di bawah lobus
kanan hati. Kandung empedu mempunyai fundus, korpus, dan kolum. Fundus
bentuknya bulat, ujung buntu dari kandung empedu yang sedikit memanjang di
atas tepi hati. Korpus merupakan bagian terbesar dari kandung empedu. Kolum
adalah bagian yang sempit dari kandung empedu yang terletak antara korpus dan
daerah duktus sistika.
Empedu yang disekresi secara terus-menerus oleh hati masuk ke saluran
empedu yang kecil dalam hati. Saluran empedu yang kecil bersatu membentuk
dua saluran lebih besar yang keluar dari permukaan bawah hati sebagai duktus
hepatikus kanan dan kiri yang segera bersatu membentuk duktus hepatikus
komunis. Duktus hepatikus bergabung dengan duktus sistikus membentuk duktus
koledokus (Syaifuddin, 2011).

a. Anatomi kandung empedu


1) Struktur empedu
Kandung empedu adalah kantong yang berbentuk bush pir yang terlerak
pada permukaan visceral. Kandung empedu diliputi oleh peritoneum kecuali
bagian yang melekat pada hepar, terletak pada permukaan bawah hati diantara
lobus dekstra dan lobus quadratus hati.
2)  Empedu terdiri dari:
a)  Fundus Vesika fela: berbentuk bulat, biasanya menonjol di bawah tepi
inferior hati, berhubungan dengan dinding anterior abdomen setinggi rawan
ujung kosta IX kanan.
b)  Korpus vesika fela: bersentuhan dengan permukaan visceral hati mengarah
ke atas ke belakang dan ke kiri.
c)  Kolum vesika felea: berlanjut dengan duktus sistikus yang berjalan dengan
omentum minus bersatu dengan sisi kanan duktus hepatikus komunis
membentuk doktus koledukus.
3)  Cairan empedu
Cairan empedu merupakan cairan yang kental berwarna kuning keemasan
(kuning kehijauan) yang dihasilkan terus menerus oleh sel hepar lebih kurang
500-1000ml sehari. Empedu merupakan zat esensial yang diperlukan dalam
pencernaan dan penyerapan lemak.
4)  Unsur-unsur cairan empedu:
a)  Garam – garam empedu: disintesis oleh hepar dari kolesterol, suatu alcohol
steroid yang banyak dihasilkan hati. Garam empedu berfungsi membantu
pencernaan lemak,mengemulsi lemak dengan kelenjar lipase dari pankreas.
b)  Sirkulasi enterohepatik: garam empedu (pigmen empedu) diresorpsi dari
usus halus ke dalam vena portae, dialirkan kembali ke hepar untuk digynakan
ulang. c) Pigmen-pigmen empedu: merupakan hasil utama dari pemecahan
hemoglobin. Sel hepar mengangkut hemoglobin dari plasma dan
menyekresinya ke dalam empedu. Pigmen empedu tidak mempunyai fungsi
dalam proses pencernaan.
d)  Bakteri dalam usus halus: mengubah bilirubin menjadi urobilin, merupakan
salah satu zat yang diresorpsi dari usus, dubah menjadi sterkobilin yang
disekresi ke dalam feses sehingga menyebabkan feses berwarna kuning.
5) Saluran empedu
Saluran empedu berkumpul menjadi duktus hepatikus kemudian bersatu
dengan duktus sistikus, karena akan tersimpan dalam kandung empedu. Empedu
mengalami pengentalan 5-10 kali, dikeluarkan dari kandung empedu oleh aksi
kolesistektomi, suatu hormon yang dihasilkan dalam membran mukosa dari
bagian atas usus halus tempat masuknya lemak. Kolesistokinin menyebab kan
kontraksi otot kandung empedu. Pada waktu bersamaan terjadi relaksasi sehingga
empedu mengalir ke dalam duktus sistikus dan duktus koledukus (Syaifuddin,
2011).

b. Fisiologi empedu
Empedu adalah produk hati, merupakan cairan yang mengandung mucus,
mempunyai warna kuning kehijauan dan mempunyai reaksi basa. Komposisi
empedu adalah garam-garam empedu, pigmen empedu, kolesterol, lesitin, lemak
dan garam organic. Pigmen empedu terdiri dari bilirubin dan bilverdin. Pada saat
terjadinya kerusakan butiran-butiran darah merah terurai menjadi globin dan
bilirubin, sebagai pigmen yang tidak mempunyai unsur besi lagi.
Pembentukan bilirubin terjadi dalam system retikulorndotel di dalam
sumsum tulang, limpa dan hati. Bilirubin yang telah dibebaskan ke dalam
peredaran darah disebut hemobilirubin sedangkan bilirubin yang terdapat dalam
empsdu disebut kolebilirubin. Garam empedu dibentuk dalam hati, terdiri dari
natrium glikokolat dan natrium taurokolat. Garam empedu ini akan menyebabkan
kolesterol di dalam empedu dalam keadaan larutan.
Garam-garam empedu tersebut mempunyai sifat hirotropik. Garam empedu
meningkatkan kerja enzim-enzim yang berasal dari pancreas yaitu amylase tripsin
dan lipase. Garam empedu meningkatkan penyerapan meningkatkan penyerapan
baik lemak netral maupun asam lemak. Empedu dihasilkan oleh hati dan disimpan
dalam kandung empedu sebelum diskresi ke dalam usus.
Pada waktu terjadi pencernaan, otot lingkar kandung empedu dalam
keadaan relaksasi. Bersamaan dengan itu tekanan dalam kantong empedu akan
meningkat dan terjadi kontraksi pada kandung empedu sehingga cairan empedu
mengalir dan masuk ke dalam duodenum. Rangsangan terhadap saraf simpatis
mengakibatkan terjadinya kontraksi pada kandung empedu (Suratun, 2010).

2. Pengertian
Cholelitiasis adalah 90% batu kolesterol dengan komposisi kolesterol lebih
dari 50%, atau bentuk campuran 20-50% berunsurkan kolesterol dan predisposisi
dari batu kolesterol adalah orang dengan usia yang lebih dari 40 tahun, wanita,
obesitas, kehamilan, serta penurunan berat badan yang terlalu cepat. (Cahyono,
2014)
Cholelitiasis adalah terdapatnya batu di dalam kandung empedu yang
penyebab secara pasti belum diketahui sampai saat ini, akan tetapi beberapa faktor
predisposisi yang paling penting tampaknya adalah gangguan metabolisme yang
disebabkan oleh perubahan susunan empedu dan infeksi yang terjadi pada
kandung empedu serta kolesterol yang berlebihan yang mengendap di dalam
kandung empedu tetapi mekanismenya belum diketahui secara pasti, faktor
hormonal selama proses kehamilan, dapat dikaitkan dengan lambatnya
pengosongan kandung empedu dan merupakan salah satu penyebab insiden
kolelitiasis yang tinggi, serta terjadinya infeksi atau radang empedu memberikan
peran dalam pembentukan batu empedu.(Rendi, 2012)
Cholelitiasis merupakan endapan satu atau lebih komponen diantaranya
empedu kolesterol, billirubin, garam, empedu, kalsium, protein, asam lemak, dan
fosfolipid. Batu empedu biasanya terbentuk dalam kantung empedu terdiri dari
unsur- unsur padat yang membentuk cairan empedu, batu empedu memiliki
ukuran, bentuk dan komposisi yang sangat bervariasi. Batu empedu yang tidak
lazim dijumpai pada anak-anak dan dewasa muda tetapi insidenya semakin sering
pada individu yang memiliki usia lebih diatas 40 tahun. setelah itu insiden
cholelitiasis atau batu empedu semakin meningkat hingga sampai pada suatu
tingkat yang diperkirakan bahwa pada usia 75 tahun satu dari 3 orang akan
memiliki penyakit batu empedu, etiologi secara pastinya belum diketahui akan
tetapi ada faktor predisposisi yang penting diantaranya: gangguan metabolisme,
yang menyebabkan terjadinya perubahan komposisi empedu, adanya statis
empedu, dan infeksi atau radang pada empedu. Perubahan yang terjadi pada
komposisi empedu sangat mungkin menjadi faktor terpenting dalam terjadinya
pembentukan batu empedu karena hati penderita cholelitiasis kolesterol
mengekskresi empedu yang sangat jenuh dengan kolesterol. Kolesterol yang
berlebihan tersebut mengendap di dalam kandung empedu (dengan cara yang
belum diketahui secara pasti) untuk membentuk batu empedu, gangguan kontraksi
kandung empedu atau spasme spingterrodi, atau mungkin keduanya dapat
menyebabkan statis empedu dalam kandung empedu. Faktor hormon (hormon
kolesistokinin dan sekretin) dapat dikaitkan dengan keterlambatan pengosongan
kandung empedu, infeksi bakteri atau radang empedu dapat menjadi penyebab
terbentuknya batu empedu. Mukus dapat meningkatkan viskositas empedu dan
unsur sel atau bakteri dapat berperan sebagai pusat pengendapan. Infeksi lebih
timbul akibat dari terbentuknya batu, dibanding penyebab terbentuknya
cholelitiasis. (Haryono, 2012)

3. Klasifikasi
Adapun klasifikasi dari batu empedu menurut (Suratun, 2010) adalah
sebagai berikut:
a. Batu kolestrol
Biasanya berukuran beasar, soliter, berstruktur bulat atau oval, berwarna
kuning pucat dan seringkali mengandung kalsium dan pigmen. Kolesterol yang
merupakan unsur normal pembentuk empedu bersifat tidak larut dalam air.
Kelarutannya bergantung pada asam-asam empedu dan lesitin (fosofolipid)
dalam empedu. Pada klien yang cenderung menderita batu empedu akan terjadi
penurunan sintesis asam empedu dan peningkatan sintesis kolesterol dalam
hati.
b. Batu pigmen
Terdiri atas garam kalsium dan salah satu dari anion (bilirubinat, karbonat,
fosfat, atau asam lemak rantai panjang). Batu-batu ini cenderung berukuran
kecil, multipel, dan berwarna hitam kecoklatan, batu pigmen berwarna coklat
berkaitan dengan infeksi empedu kronis (batu semacam inilebih jarang di
jumpai). Batu pigmen akan berbentuk bila pigmen tidak terkonjugasi dalam
empedu dan terjadi proses presipitasi (pengendapan) sehingga terjadi batu.
Resiko terbentuknya batu semacam ini semakin besar pada klien sirosis,
hemolisis, dan infeksi percabangan bilier.

4. Etiologi
Menurut Cahyono 2014 etiologi Cholelitiasis yaitu:
1. Supersaturasi kolesterol secara umum komposisi
Komposisi cairan empedu yang berpengaruh terhadap terbentuknya batu
tergantung keseimbangan kadar garam empedu, kolesterol dan lesitin. Semakin
tinggi kadar kolesterol atau semakin rendah kandungan garam empedu akan
membuat keadaan didalam kandung empedu menjadi jenuh akan kolesterol
(Supersaturasi kolesterol).
2. Pembentukan inti kolesterol
Kolesterol diangkut oleh misel (gumpalan yang berisi fosfolipid, garam empedu
dan kolesterol). Apabila saturasi, Kolesterol lebih tinggi edulla akan diangkut
oleh vesikel yang mana vesikel dapat digambarkan sebagai sebuah lingkarandua
lapis. Apabila konsentrasi kolesterol banyak dan dapat diangkut, vesikel
memperbanyak lapisan lingkarannya, pada akhirnya dalam kandung empedu,
pengangkut kolesterol, baik misel maupun vesikel bergabung menjadi satu dan
dengan adanya protein musin akan membentuk kristal kolesterol, kristal kolesterol
terfragmentasi pada akhirnya akan dilem atau disatukan.
3. Penurunan fungsi kandung empedu
Menurunnya kemampuan menyemprot dan kerusakan dinding kandung empedu
memudahkan seseorang menderota batu empedu, kontraksi yang melemah akan
menyebabkan statis empedu dan akan membuat musin yang diproduksi dikandung
empedu terakumulasi seiring dengan lamanya cairan empedu tertampung dalam
kandung empedu. Musin tersebut akan semakin kental dan semakin pekat
sehingga semakin menyukitkan proses pengosongan cairan empedu. Beberapa
keadaan yang dapat mengganggu daya kontraksnteril kandung empedu, yaitu :
hipomotilitas empedu, parenteral total (menyebabkan cairan asam empedu
menjadi lambat), kehamilan, cedera edulla spinalis, penyakit kencing manis.

5. Patofisiologi dan Patoflow


Pembentukan batu empedu dibagi menjadi tiga tahap: (1) pembentukan
empedu yang supersaturasi, (2) nukleasi atau pembentukan inti batu, dan (3)
berkembang karena bertambahnya pengendapan. Kelarutan kolesterol merupakan
masalah yang terpenting dalam pembentukan semua batu, kecuali batu pigmen.
Supersaturasi empedu dengan kolesterol terjadi bila perbandingan asam empedu
dan fosfolipid (terutama lesitin) dengan kolesterol turun di bawah harga tertentu.
Secara normal kolesterol tidak larut dalam media yang mengandung air. Empedu
dipertahankan dalam bentuk cair oleh pembentukan koloid yang mempunyai inti
sentral kolesterol, dikelilingi oleh mantel yang hidrofilik dari garam empedu dan
lesitin. Jadi sekresi kolesterol yang berlebihan, atau kadar asam empedu rendah,
atau terjadi sekresi lesitin, merupakan keadaan yang litogenik.
Pembentukan batu dimulai hanya bila terdapat suatu nidus atau inti
pengendapan kolesterol. Pada tingkat supersaturasi kolesterol, kristal kolesterol
keluar dari larutan membentuk suatu nidus, dan membentuk suatu pengendapan.
Pada tingkat saturasi yang lebih rendah, mungkin bakteri, fragmen parasit, epitel
sel yang lepas, atau partikel debris yang lain diperlukan untuk dipakai sebagai
benih pengkristalan. Batu pigmen terdiri dari garam kalsium dan salah satu dari
keempat anion ini : bilirubinat, karbonat, fosfat dan asam lemak. Pigmen
(bilirubin) pada kondisi normal akan terkonjugasi dalam empedu. Bilirubin
terkonjugasi karena adanya enzim glokuronil tranferase bila bilirubin tak
terkonjugasi diakibatkan karena kurang atau tidak adanya enzim glokuronil
tranferase tersebut yang akan mengakibatkan presipitasi/pengendapan dari
bilirubin tersebut. Ini disebabkan karena bilirubin tak terkonjugasi tidak larut
dalam air tapi larut dalam lemak sehingga lama kelamaan terjadi pengendapan
bilirubin tak terkonjugasi yang bisa menyebabkan batu empedu tapi ini jarang
terjadi.
6. Manifestasi Klinis
Menurut ((Nurarif & Kusuma, 2013) tanda dan gejala kolelitiasis yaitu :
1. Sebagian bersifat asimtomatik
2. Nyeri tekan kuadran kanan atas atau midepigastrik samar yang
menjalar ke punggung atau region bahu kanan
3. Sebagian klien rasa nyeri bukan bersifay kolik melainkan
persisten
4. Mual dan muntah serta demam
5. Icterus obstruksi pengaliran getah empedu ke dalam duodenum
akan menimbulkan gejala yang khas, yaitu: getah empedu yang tidak
lagi dibawa ke dalam duodenum akan diserap oleh darah dan
penyerapan empedu ini membuat kulit dan membrane mukosa
berwarna kuning. Keadaan ini sering disertai dengan gejala gatal-gatal
pada kulit
6. Perubahan warna urine dan feses. Ekskresi pigmen empedu oleh ginjal
akan membuat urine berwarna sangat gelap. Feses yang tidak lagi
diwarnai oleh pigmen empedu akan tampak kelabu, dan biasanya
pekat yang disebut “clay colored”
7. Regurgitas gas: flatus dan sendawa
8. Defisiensi vitamin obstruksi aliran empedu juga akan membantu
absorbsi vitamin A, D, E, K yang larut lemak. Karena itu klien dapat
memperlihatkan gejala defisiensi vitamin-vitamin ini jika obstruksi
atau sumbatan bilier berlangsumg lama. Penurunan jumlah vitamin K
dapat mengganggu pembekuan darah yang normal.

7. Komplikasi
Adapun jenis komplikasi sebagai berikut:
1. Kolesistis
Kolesistitis adalah Peradangan kandung empedu, saluran kandung
empedu tersumbat oleh batu empedu, menyebabkan infeksi dan
peradangan kandung empedu.
2. Kolangitis
Kolangitis adalah peradangan pada saluran empedu, terjadi karena
infeksi yang menyebar melalui saluran-saluran dari usus kecil setelah
saluran-saluran menjadi terhalang oleh sebuah batu empedu.
3. Hidrop
Obstruksi kronis dari kandung empedu dapat menimbulkan hidrops
kandung empedu. Dalam keadaan ini, tidak ada peradangan akut dan
sindrom yang berkaitan dengannya. Hidrops biasanya disebabkan oleh
obstruksi duktus sistikus sehingga tidak dapat diisi lagi empedu pada
kandung empedu yang normal. Kolesistektomi bersifat kuratif.
4. Empiema
Pada empiema, kandung empedu berisi nanah. Komplikasi ini dapat
membahayakan jiwa dan membutuhkan kolesistektomi darurat segera.

8. Penatalaksanaan Medis
Menurut ((Nurarif & Kusuma, 2013) penatalaksanaan pada kolelitiasis
meliputi :
a. Penanganan Non bedah
1) Disolusi Medis
Oral dissolution therapy adalah cara penghancuran batu dengan pemberian
obat-obatan oral. Disolusi medis sebelumnya harus memenuhi kriteria
terapi non operatif diantaranya batu kolestrol diameternya <20mm dan
batu <4 batu, fungsi kandung empedu baik, dan duktus sistik paten.
2)  ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancreatography)
Batu di dalam saluran empedu dikeluarkan dengan basket kawat atau
balon ekstraksi melalui muara yang sudah besar menuju lumen duodenum
sehingga batu dapat keluar bersama tinja. Untuk batu besar, batu yang
terjepit di saluran empedu atau batu yang terletak di atas saluran empedu
yang sempit diperlukan prosedur endoskopik tambahan sesudah
sfingerotomi seperti pemecahan batu dengan litotripsi mekanik
dan litotripsi laser.
3) ESWL (Extracorporeal Shock Wave Lithotripsy)
Litotripsi Gelombang Elektrosyok (ESWL) adalah pemecahan batu dengan
gelombang suara.

b. Penanganan bedah
1) Kolesistektomi laparaskopik
Indikasi pembedahan karena menandakan stadium lanjut, atau kandung
empedu dengan batu besar, berdiameter lebih dari 2cm. kelebihan yang
diperoleh klien luka operasi kecil (2- 10mm) sehingga nyeri pasca bedah
minimal.
2)  Kolesistektomi terbuka
Kolesistektomi adalah suatu tindakan pembedahan dengan cara
mengangkat kandung empedu dan salurannya dengan cara membuka
dinding perut (Sahputra, 2016). Operasi ini merupakan standar terbaik
untuk penanganan klien dengan kolelitiasis sitomatik.

9. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan penunjang menurut ( NANDA NIC-NOC 2015)
1) Pemeriksaan Laboratorium
2) Pemeriksaan Radiolgi
3) USG. Kolesistografi oral, ERC
4) Foto polos abdomen
b. Pemeriksaan penunjang menurut ( Brunner dan Suddrats, 2014)
1) Kolesistogram, kolangiogram arterografi aksis seliak
2) Laparoskopi
3) Ultrasnografi EUS
4) Pemindai CT heliks dan MRI ERCP
5) Fosfase alkalin serum gamma-glutamil ( GGT) gamma-glutamil
Transpeptudase ( GGTP), LDH
6) Kadar kolesterol

B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Disini, semua
data – data dikumpulkan secara sistematis guna menentukan status kesehatan
klien saat ini. Pengkajian harus dilakukan secara komprehensif terkait dengan
aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spritual klien. Tujuan pengkajian
adalah untuk mengumpulkan informasi dan membuat data dasar klien. Metode
utama yang dapat digunakan dalam pengumpulan data adalah wawancara,
observasi, dan pemeriksaan fisik serta diagnostik. (Asmadi, 2008)
1. Identitas pasien
Meliputi: nama, umur, jenis kelamin, alamat, tempat tinggal, tempat tanggal
lahir, pekerjaan dan pendidikan. Kolelitiasis biasanya ditemukan pada 20 -50
tahun dan lebih sering terjadi anak perempuan pada dibanding anak laki – laki.
(Cahyono, 2014)
2. Keluhan utama
Merupakan keluhan yang paling utama yang dirasakan oleh klien saat
pengkajian. Biasanya keluhan utama yang klien rasakan adalah nyeri abdomen
pada kuadran kanan atas, dan mual muntah.
3. Riwayat kesehatan
1) Riwayat kesehatan sekarang
Merupakan pengembangan diri dari keluhan utama melalui metode PQRST,
paliatif atau provokatif (P) yaitu focus utama keluhan klien, quality atau
kualitas (Q) yaitu bagaimana nyeri dirasakan oleh klien, regional (R) yaitu
nyeri menjalar kemana, Safety (S) yaitu posisi yang bagaimana yang dapat
mengurangi nyeri atau klien merasa nyaman dan Time (T) yaitu sejak kapan
klien merasakan nyeri tersebut.
2) Riwayat kesehatan dahulu
Kaji apakah klien pernah menderita penyakit sama atau pernah memiliki
riwayat penyakit sebelumnya.
3)  Riwayat kesehatan keluarga (genogram)
Mengkaji ada atau tidaknya keluarga klien pernah menderita penyakit
kolelitiasis. Penyakit kolelitiasis tidak menurun, karena penyakit ini
menyerang sekelompok manusia yang memiliki pola makan dan gaya hidup
yang tidak sehat. Tapi orang dengan riwayat keluarga kolelitiasis mempunyai
resiko lebih besar dibanding dengan tanpa riwayat keluarga.
4. Pemeriksaan fisik
1)  Pemeriksaan umum. Pemeriksaan tingkat kesadaran, tanda–tanda vital
yaitu tekanan darah, nadi, RR, dan suhu.
2)  Pemeriksaan Fisik Head To Toe
(1)  Kulit
Warna kulit apakah normal, pucat atau sianosis, rash lesi, bintik–bintik,
ada atau tidak. Jika ada seperti apa, warna, bentuknya ada cairan atau
tidak, kelembaban dan turgor kulit baik atau tidak..
(2)  Kepala
Simetris Pada anak dengan glomelurus nefritis akut biasanya ubun-ubun
cekung, rambut kering.
(3)  Wajah.
(4)  Mata
Pada anak dengan glomerulus nefritis akut biasanya nampak edema pada
kelopak mata, konjungtiva anemis, pupil anisokor, dan skelera anemis.
(5)  Telinga
Bentuk, ukuran telinga, kesimetrisan telinga, warna, ada serumen atau
tidak, ada tanda – tanda infeksi atau tidak, palpasi adanya nyeri tekan atau
tidak.
(6)  Hidung
Bentuk, posisi, lubang, ada lendir atau tidak, lesi, sumbatan, perdarahan
tanda–tanda infeksi, adakah pernapasan cuping hidung atau tidak dan nyeri
tekan.
(7)  Mulut
Warna mukosa mulut dan bibir, tekstur, lesi dan stomatitis. Langit– langit
keras (palatum durum) dan lunak, tenggorokan, bentuk dan ukuran lidah,
lesi, sekret, kesimetrisan bibir dan tanda–tanda sianosis.
(8) Dada
Kesimetrisan dada, adakah retraksi dinding dada, adakah bunyi napas
tambahan (seperti ronchi, wheezing, crackels), adakah bunyi jantung
tambahan seperti (murmur), takipnea, dispnea, peningkatan frekuwensi,
kedalaman (pernafasan kusmaul).
(9) Abdomen
nspeksi perut tampak membesar, palpasi ginjal adanya nyeri tekan, palpasi
hepar, adakah distensi, massa, dengarkan bunyi bising usus, palpasi
seluruh kuadran abdomen. Biasanya pada Kolelitiasis terdapat nyeri pada
perut bagian kanan atas.
(10) Genitalia dan rectum
1. Lubang anus ada atau tidak
2. Pada laki–laki inspeksi uretra dan testis apakah terjadi hipospadia
atau epispadias, adanya edema skrotum atau terjadinya hernia serta
kebersihan preputium.
3. Pada wanita inspeksi labia dan klitoris adanya edema atau massa,
labia mayora menutupi labia minora, lubang vagina, adakah sekret
atau bercak darah.
(11) Ekstremitas. Inspeksi pergerakan tangan dan kaki, kaji kekuatan otot,
palpasi ada nyeri tekan, benjolan atau massa.

2. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi, proses inflamasi, prosedur
bedah, infeksi.
2. Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan kehilangan cairan
aktif.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan kurang asupan makanan
4. Hipertermi b.d infeksi pada kandung empedu.
5. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi.
6. Resiko infeksi b.d prosedur pembedahan.

3. Perencanaan keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan obstruksi/spasme duktus, proses inflamasi,
prosedur pembedahan.
a. Melakukan pengkajian secara komperhensif, observasi dan catat lokasi,
beratnya (skala 1-10) dan karakteristik nyeri (menetap, hilang timbul).
b. Observasi tanda - tanda vital tiap 8 jam.
c. Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang.
d. Beri posisi yang nyaman.
e. Anjurkan pasien untuk melakukan teknik relaksasi.
f. Kolaborasi dengan dokter pemberrian terapi secara farmakologis.

2. Kekurangan volume cairan b.d kehilangan cairan aktif.


a. Kaji input dan output cairan.
b. Timbang BB setiap hari.
c. Beri cairan intervena yang terdiri dari glukosa, elektrolit dan vitamin.
d. Anjurkan untuk minum air dengan perlahan.
3. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d ketidakmampuan
makan
a. Catat status nutrisi pasien, BB, integritas mukosa oral, kemampuan
menelan, tonus otot, mual muntah.
b. Perhatikan diet.
c. Awasi masukan serta BB secara periodik.
d. Beri makanan dalam porsi sedikit pada awalnya.
e. Beri makanan dengan cara yang menarik.

4. Hipertermi b.d proses infeksi pada kandung empedu Intervensi


a. Lakukan kompres hangat pada area ketiak atau lipatan paha.
b. Anjurkan pasien mengenakan pakaian tipis.
c. Anjurkan pasien minum sebanyak mungkin air jika tidak di kontra
indikasikan.
d. Pantau suhu tubuh setiap 30 menit – 1 jam, nadi frekuensi napas, dan
tekanan darah.

5. Kurang pengetahuan berhubungan kurang terpapar informasi Intervensi


a. Kaji pengetahuan klien tentang penyakitnya.
b. Jelaskan proses penyakit (tanda dan gejala).
c. Jelaskan program pengobatan alternatif.
d. Instruksikan kapan harus ke pelayanan kesehatan.
e. Tanyakan kembali pengetahuan klien tentang penyakit, prosedur
perawatan dan cara pengobatan.

6. Resiko infeksi b.d prosedur pembedahan


a. Kaji adanya tanda-tanda infeksi.
b. Observasi vital sign
c. Observasi kulit yang mengalami kerusakan(luka, garis jahitan), alat infasis
(infus, kateter).
d. Kolaborasi dengan tim medis untuk pemberian obat antibiotik.
4. Implementasi keperawatan
Implementasi yang merupakan komponen dari proses keperawatan adalah
kategori dari prilaku keperawatan dimana tindakan yang diperlukan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan
dan diselesaikan. Dalam teori, implementasi dari rencana asuhan keperawatan
mengikuti komponen perencanaan dari proses keperawatan. Namun demikian,
dibanyak lingkungan perawatan kesehatan, implementasi mungkin dimulai secara
langsung setelah pengkajian. (Potter & Perry, 2005)

5. Evaluasi keperawatan
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan yang merupakan
perbandingan yang sistematis dan terencana antara hasil akhir yang teramati dan
tujuan atau kriteria hasil yang dibuat pada tahap perencanaan. Evaluasi dilakukan
secara berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya.
Jika hasil evaluasi menunjukan tercapainya tujuan dan kriteria hasil, klien bisa
keluar dari siklus proses keperawatan. Jika sebaliknya, klien akan masuk kembali
dalam siklus tersebut mulai dari pengkajian ulang (reassesment) secara umum
evaluasi ditunjukan untuk :
1. Melihat dan menilai kemampuan klien dalam mencapai tujuan
2. Menentukan apakah tujuan keperawatan telah tercapai atau belum
3. Mengkaji penyebab jika tujuan asuhan keperawatan belum tercapai
(Asmadi, 2008).
Evaluasi formatif : dilakukan setiap kali selesai melakukan tindakan,
mengevaluasi proses keperawatan yang telah dilakukan, dan biasanya berupa
catatan perkembangan. Evaluasi sumatif : menggunakan rekapan terakhir secara
paripurna, menggunakan catatan naratif, dan pada saat pasien pulang atau pindah.
DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardi. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis


& NANDA NIC-NOC Jilid 3. Jogjakarta : Mediaction.
D. D.Ignatavicius dan M.V.Bayne. Medical Surgical Nursing, A Nursing Process
Approach. W. B. Saunders Company, Philadelpia. 2011.
Fa. Davis Company, Marllyn E. Doengoes. Nursing Care Plan. Philadelpia,P :
523- 536.
Harahap. 2016. Hubungan Gaya Hidup Dengan Kejadian Penyakit Cholelitiasis
Di Ruang Rawat Inap Rsi Surakarta. Naskah Publikasi, 1-18.
Haryono,2012. 2013. Karakteristik Pasien Koleliatis Di Rsup Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar.
Nucleus Precise New Sletter, Edisi 72, 2011.
Soe Moorhed,Marion Johnson,Meridean L.Maas, Nursing outcomes clsification
(NOC), Edisi 5. Elisabeth Swanson : Singapore, 2016.
Sutrisna Himawan. 2011. Pathologi (kumpulan kuliah), FKUI. Jakarta 250 - 251.
Sylvia Anderson Price. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih
Bahasa Adi Dharma, Edisi II.P: 329-330.
Tjokropawiro, 2012. (2015). Analisis Praktik. Juliana Br Sembiring, FIK UI.
2015.

Anda mungkin juga menyukai