Disusun Oleh :
Hillalia Nurseha
2110721107
B. Etiologi
Pneumothorax dapat terjadi setiap kali permukaan paru-paru
pecah dan memungkinkan udara keluar dari paru-paru ke rongga
pleura. Hal ini dapat terjadi ketika luka beberapa tusukan dinding dada
yang memungkinkan udara luar masuk ke ruang pleura. Pneumothorax
spontan dapat terjadi tanpa trauma dada, dan biasanya disebabkan oleh
kista kecil pada permukaan paru-paru. Kista tersebut dapat terjadi
tanpa penyakit paru-paru yang berhubungan, atau mereka dapat
berkembang karena gangguan paru-paru yang mendasari, emfisema
yang paling umum (Tschopp dalam, 2014).
Pneumothoraks dapat terjadi tanpa diketahui dengan jelas faktor
penyebabnya. Beberapa penyakit yang dapat menyebabkan
pneumothoraks adalah tuberkulosis paru, asma, penyakit paru
obstruktif kronik (penyakit yang disebabkan polusi dan rokok), serta
penyakit bawaan (sejak lahir dinding paru sangat tipis) (Wilson,
2005). Namun ada dua faktor sebagai kemungkinan penyebab
pneumothorax yaitu :
1. Faktor infeksi atau radang paru Infeksi atau radang paru
walaupun minimal akan membentuk jaringan parut pada dinding
alveoli yang akan menjadi titik lemah.
2. Tekanan intra alveolar yang tinggi akibat batuk atau
mengejan Dengan pecahnya bleb yang terdapat di bawah pleura
viseralis, maka darah akan masuk kedalam rongga pleura dan
terbentuklah fistula bronkopleura. Fistula ini dapat terbuka terus,
dapat tertutup,dan dapat berfungsi sebagai ventil.
D. Patofisiologi
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis mesoteral, ditunjung
oleh jaringan ikat, pembuluh-pembuluh darah kapiler dan pembuluh
getah bening, rongga pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial,
terdiri atas pleura parietalis yang melapisi otot-otot dinding dada, tulang
dan kartilago, diapragma dan menyusup ke dalam pleura dan tidak
sinsitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10-
20ml) dan berfungsi sebagai pelumas diantara kedua lapisan pleura,
(Prince. 2006).
Patogenesis pneumotorax spontan sampai sekarang belum jelas.
1. Pneumothorax Spontan Primer
Pneumothorax spontan primer terjadi karena robeknya
suatu kantong udara dekat pleura viseralis. Penelitian secara
petologis membuktikan bahwa pasien pneumotorak spontan yang
parunya dipesersi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara
dalam bentuk blab dan bulla. (Prince. 2006).
Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian
oleh pelura fibrotik yang menebal sebagian oleh jaringan fibrosa
paru sendiri dan sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematus.
Blab terbentuk dari suatu alveoli yang pecah melalui suatu
jaringan intertisial kedalam lapisan tipis pleura viseralis yang
kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme
pembentukan bulla/blab belum jelas, banyak pendapat
mengatakan terjadainya kerusakan bagian apeks paru akibat
tekanan pleura lebih negatif. Pada pneumotorak spontan terjadi
apabila dilihat secara patologis dan radiologis terdapat bulla di
apeks paru. Observasi klinik yang dilakukan pada pasien
pneumothorax spontan primer ternyata mendapatkan
pneumothorax lebih banyak dijumpai pada pasien pria berbadan
kkurus dan tinggi. Kelainan intrinsik jaringan konetif
mempunyai kecenderungan terbentuknya blab atau bulla yang
meningkat, (Prince. 2006).
Blab atau bulla yang pecah masih belum jelas hubungan
dengan aktivitas yang berlebihan karena pada orang-orang yang
tanpa aktivitas (istirahat) juga dapat terjadi pneumothorax.
Pecahnya alveoli juga dikatakan berhubungan dengan obstruksi
check-valve pada saluran napas dapat diakibatkan oleh beberapa
sebab antara lain : infeksi atau infeksi tidak nyata yang
menimbulkan suatu penumpukan mukus dalam bronkial, (Prince.
2006).
2. Pneumothorax Spontan Sekunder
Disebutkann bahwa terjadinya pneumothorax ini adalah
akibat pecahnya blab viseralis atau bulla pneumothorax dan
sering berhubungan dengan penyakit paru yang mendasarinya.
Patogenesis pneumothorax ini umumnya terjadi akibat komplikasi
asma, fibrosis kistik, TB paru, penyakit-penyakit paru infiltra
lainnya misalnya pneumotoral supuratif, penumonia carinci.
pneumothorax spontan sekunder lebih serius keadaanya karena
adanya penyakit yang mendasarinya (Corwin, E. 2006).
E. Manifestasi klinik
1. Gejala klinis pneumothorax spontan bergantung pada ada
tidaknya tension pneumothorax serta berat ringan pneumothorax.
Pasien secara spontan mengeluh nyeri dan sesak napas yang
muncul secara tiba-tiba. Berdasarkan anamnesis, gejala-gejala
yang sering muncul adalah:
a. Sesak napas, yang didapatkan pada 80-100% pasien
b. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien
c. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25 35% pasien (Barmawi
dan Budiono. 2006)
2. Menurut Sudoyo (2006), Tanda dan gejala pneumothorax berupa :
a. Sesak napas
a. Dada terasa sempit
b. Gelisah
c. Keringat dingin
d. Sianosis
e. Tampak sisi yang terserang menonjol dan tertinggal dalam
pernapasan
f. Perkusi hipersonor
g. Pergeseran mediastinum ke sisi sehat
h. Pola napas melemah pada bagian yang terkena
i. Suara amforik
j. Saat diperkusi terdengar hiperosa
k. Nyeri pleura
l. Hipotensi
m. Pemeriksaan radiologi
n. AGD : ↓ CO2, ↓ PO2, ↑ PCO2, ↑ pH
F. Pemeriksaan penunjang
Menurut Sudoyo (2006), untuk menentukan diagnosa pada
pneumothorak dapat dilakukan cara sebagai berikut:
1. GDA : variabel tergantung dari derajat fungsi paru
yang dipengaruhi, gangguan mekanisme pernapasan dan
kemampuan mengkompensasi. P4CO2 mungkin normal atau
menurun, saturasi O2 biasanya menurun
2. Sinar X dada : Menyatakan akumulasi udara atau cairan
pada era pleura, dapat menunjukkan penyimpanan struktur
mediatinal jantung
3. Torasentesis : Menyatakan darah atau cairan sero
anguinora (hemotorak)
4. HB : Mungkin menurun, menunjukkan kehilangan darah
(Doenges. 2005)
G. Penatalaksanaan Umum
Penatalaksanaan pneumothorax bergantung pada jenis
pneumothorax yang dialaminya, derajat kolaps, berat ringannya gejala,
penyakit dasar, dan penyulit yang terjadi saat melaksanakan
pengobatan yang meliputi :
1. Tindakan dekompresi
a. Membuat hubungan antara rongga pleura dengan lingkungan
luar dengan cara ; Menusukkan jarum melalui dinding dada
hingga ke rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang
positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif. Hal ini
disebabkan karena udara keluar melalui jarum tersebut. Cara
lainnya adalah melakukan penusukan ke rongga pleura memakai
transfusion set.
b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontraventil :
1) Penggunaan pipa Water Sealed Drainage (WSD)
Pipa khusus (kateter thoraks) steril, dimasukkan ke
rongga pleura dengan perantara troakar atau dengan bantuan
klem penjepit (pen) pemasukan pipa plastic (kateter thoraks)
dapat juga dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan
bantuan insisi kulit dari seala iga ke-4 pada garis klavikula
tengah. Selanjutnya, ujung sealng plastik di dada dan pipa kaca
WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung
pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah
permukaan air supaya gelembung udara dapat mudah keluar
melalui perbedaan tekanan tersebut.
2) Pengisapan kontinu (continous suction)
Pengisapan dilakukan secara kontinu apabila tekanan intrapleura
tetap positif. Pengisapan ini dilakukan dengan cara memberi tekanan
negatif sebesar 10-20 cmH2O. Tujuannya adalah agar paru cepat
mengaembang dan segera terjadi perlekatan antara pleura visceral dan
pleura parietalis
3) Pencabutan drain
Apabila paru telah mengambang maksimal dan tekanan
negatif kembali, drain dapat dicabut. Sebelum dicabut, drain
ditutup dengan cara dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila
paru tetap mengembang penuh, drain dapat dicabut.
2. Tindakan bedah
Pembedahan dinding thoraks dengn cara operasi, maka dapat
dicari lubang yang kmenyebabkan terjadinya pneumotorak, lalu lubang
tersebut di jahi. Pada pembedahan,jika dijumpai adanya penebalan
pleura yang menyebabkan paru tidak dapat mengembang, maka dapat
dilakukan pengelupasan atau dekortisasi.
Pembedahan paru kembali dilakukan bila ada bagian paru yang
mengalami robekan atau bila ada fitsel dari paru yang rusak, sehingga
paru tersebut tidak berfungsi dan tidak dapat dipertahankan kembali
3. Penatalaksaan tambahan
Apabila terdapat proses lain di paru, pengobatan tambahan
ditujukan terhadap penyebabnya, yaitu :
a. Terhadap proses tuberculosis paru diberi OAT
b. Untuk pencegahan obstipasi dan memperlancar defekasi,
penderita diberi obat laktasif ringan, dengan tujuan agar saat
defekasi, penderita tidak perlu mengejan terlalu keras
c. Istirahat total, klien dilarang melakukan kerja keras
(mengangkat barang) batuk, bersin terlalu keras, dan mengejan,
(Sudoyo. 2006)
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada pneumothorax antara lain :
1. Hematopneumothorax Spontan
Sekitar 5% pasien dengan pneumothorax akan mengalami hemotoraks.
Mekanisme perdarahan pada hematopneumothorax spontan adalah
perdarahan karena robekan adhesi vaskular apeks antara pleura visceral
dan parietal dan bula pada kolaps paru atau karena ruptur bula
tervaskularisasi. Manifestasi klinis bergantung dengan jumlah kehilangan
darah. Penatalaksanaan hematopneumothorax spontan antara lain
pemasangan selang torakostomi/kateter interkostal untuk drainase
hematopneumothorax dan reekspansi paru. Jika reekspansi paru tidak
menghentikan perdarahan, torakotomi dibutuhkan untuk menghentikan
perdarahan.
2. Fistula Bronkopleural
Fistula bronkopleural dapat terjadi pada pneumothorax spontan primer
(3%-4%), walaupun lebih sering ditemukan pada pasien dengan
pneumothorax spontan sekunder atau pneumothorax traumatik
Kebocoran udara persisten terjadi setelah drainase pneumothorax adalah
tanda klinis awal dari komplikasi ini. Penatalaksanaan dapat dengan
torakotomi, penutupan fistula dan pleurodesis.
3. Pneumomediastinum
Merupakan komplikasi yang jarang terjadi (<1%). Pneumomediastinum
adalah udara bebas di dalam mediastinum. Emfisema subkutis berkaitan
dengan pneumomediastinum. Komplikasi ini terjadi tanpa gejala spesifik
dan biasanya terjadi karena cedera esofagus dan cedera saluran napas
besar.
4. Pneumothorax Kronik
Pada pneumothorax kronik, terjadi penebalan korteks pleura visceral
mencegah reekspansi paru sehingga terjadi kegagalan prosedur selang
torakostomi/kateter intrakostal. Kondisi ini dapat diatasi dengan
torakotomi dan dekortikasi.
5. Infeksi Ruang Pleura
Terjadi pada pneumothorax traumatik atau pneumothorax spontan yang
menjadi empyema (piopneumothorax). Infeksi dapat disebabkan oleh
bakteri tuberkulosis atau non tuberkulosis seperti infeksi stafilokokus.
Dapat ditangani dengan aspirasi efusi dan obat-obatan antimikroba.
6. Atelektasis
Dapat terjadi pada jenis pneumothorax apapun dan menghambat ekspansi
paru. Dapat diatasi dengan fisioterapi untuk menghilangkan sekret
kental, bronkoskopi dan distensi lobus yang kolaps dengan tekanan
positif menggunakan selang endotrakeal, dan pemberian antibiotik jika
diperlukan.
ASUHAN KEPERAWATAN PNEUMOTHORAX
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan. Pengkajian
keperawatan yaitu suatu usaha yang dilakukan oleh perawat dalam menggali
permasalahan dari pasien meliputi usaha pengumpulan data tentang status
kesehatan secara sistematis, menyeluruh, akurat, singkat, dan berkesinambungan
(Muttaqin, 2014). Pengkajian terdiri atas pengkajian skrining dan pengkajian
mendalam. Pengkajian skrining dilakukan kerika menetukan keadaan normal atau
abnormal. Jika beberapa data ditafsirkan abnormal, maka akan dilakukan
pengkajian mendalam untuk menentukan diagnosa yang tepat (NANDA, 2018).
Dalam SDKI terdapat 14 jenis subkategori data yang harus dikaji meliputi
respirasi, sirkulasi, nutrisi dan cairan, eliminasi, aktivitas dan istirahat,
neurosensory, reproduksi dan seksualitas, nyeri dan kenyamanan, integritas ego,
pertumbuhan dan perkembangan, kebersihan diri, penyuluhan dan pembelajaran,
interaksi sosial, serta keamanan dan proteksi (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2016)
Dalam hal ini, pengkajian pada pasien tuberkulosis paru dengan bersihan jalan
napas tidak efektif termasuk ke dalam kategori fisiologis dan subkategori
respirasi. Pengkajian pada masalah bersihan jalan napas tidak efektif antara lain
sebagai berikut.
a. Identitas
Identitas pasien yang harus dikaji meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat,
agama, suku, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, golongan darah,
nomor rekam medis, tanggal MRS, diagnosa medis.
b. Keluhan utama
Dalam membuat riwayat keperawatan yang berhubungan dengan gangguan
sistem pernapasan, sangat penting untuk mengenal tanda serta gejala untuk
mengetahui dan mengkaji kondisi pasien. Keluhan utama pada pasien
tuberkulosis adalah batuk, produksi spuntum berlebih, batuk darah, sesak
napas, dan nyeri dada (Muttaqin, 2014).
c. Riwayat kesehatan saat ini
Setiap keluhan utama yang ditanyakan kepada pasien akan diterangkan pada
riwayat penyakut saat ini seperti sejak kapan keluhan dirasakan, berapa lama
dan berapa kali keluhan terjadi, bagaimana sifat keluhan yang dirasakan, apa
yang dilakukan saat keluhan timbul, adakah usaha mengatasi keluhan sebelum
meminta pertolongan, berhasil atau tidaknya usaha tersebut, dan sebagainya
(Muttaqin, 2014).
d. Riwayat kesehatan dahulu
Pada umumnya hal-hal yang dikaji pada riwayat kesehatan dahulu meliputi
penyakit-penyakit yang pernah dialami sebelumnya. Pengkajian yang
mendukung pada pasien TB paru adalah dengan mengkaji apakah sebelumnya
pasien pernah menderita TB paru, obat-obatan yang biasa diminum oleh
pasien pada masa lalu yang masih relevan seperti obat anti tuberkulosis (OAT)
(Muttaqin, 2008).
e. Riwayat keluarga
Pengkajian riwayat penyakit keluarga merupakan hal yang penting untuk
mendukung keluhan dari pasien. Hal yang perlu dikaji adalah riwayat keluarga
yang memberikan presdisposisi keluhan seperti adanya riwayat sesak napas,
batuk lama, batuk darah dari generasi terdahulu (Muttaqin, 2014).
f. Data fisiologis
Pada pasien dengan bersihan jalan napas tidak efektif termasuk dalam kategori
fisiologis dan subkategori respirasi, perawat harus mengkaji data mayor dan
minor yang tercantum dalam Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia (Tim
Pokja SDKI DPP PPNI, 2016) diantara sebagai berikut.
1) Gelaja dan tanda mayor
a) Subjektif: (tidak tersedia)
b) Objektif: batuk tidak efektif, tidak mampu batuk, spuntum berlebih, mengi,
wheezing dan/atau ronkhi kering.
2) Gejala dan tanda minor
a) Subjektif: dispnea, sulit bicara, ortopnea
b) Objektif: gelisah, sianosis, bunyi napas menurun, frekuensi napas berubah,
dan pola napas berubah
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang dapat muncul pada pneumothorax antara lain :
- Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan ekspansi paru,
akumulasi udara dalam pleura
- Nyeri akut berhubungan dengan agen injury fisik (luka insisi post
pemasanga n WSD)
- Resiko infeksi berhubungan dengan diskontinuit as jaringan
3. Intervensi
Dx
No. NOC NIC
keperawatan
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan tindakan - Identifikasi faktor penyebab
pola nafas b.d keperawatan diharapkan kolaps: trauma, infeksi
ekspansi paru, pola nafas pasien kembali komplikasi mekanik
pernapasan
akumulasi udara efektif dengan kriteria
- Observasi TTV
dalam pleura. hasil: - Kaji kualitas, frekuensi dan
1. Keluhan sesak kedalaman napas, dan vokal
napas fermitus laporkan setiap
berkurang, perubahan yang terjadi
2. Menunjukkan - Auskultasi bunyi napas
jalan nafas yang - Baringkan klien dalam posisi
yang nyaman, atau dalam
paten
posisi duduk bantu pasien
3. Nafas ringan, untuk kontrol diri drngan
tidak nyeri saat menggunakan pernapasan
melakukan lebih lambat atau dalam
4. pernapasan, bebas - Pertahankan posisi nyaman,
dari tanda biasanya dengan peninggian
sianosis kepala tempat tidur. Baik ke
sisi yang sakit untuk kontrol
pasien untuk sebanyak
mungkin
- Kolaborasi untuk tindakan
dekompresi dengan
pemasangan selang WSD
- Catat karakter/ jumlah
drainase selang dada
2. Nyeri akut Setelah dilakukan tindakan
b.d agen injury keperawatan nyeri - Kaji nyeri secara
fisik (luka insisi berkurang dengan kriteria komprehensif.
post pemasanga n hasil: - Monitor vital sign
WSD) 1. Mampu - Observasi reaksi non verbal
mengontrol nyeri dari ketidaknyamanan
2. Melaporkan - Gunakan teknik komunikasi
bahwa nyeri terapeutik untuk mengetahui
berkurang pengalaman nyeri
3. Mampu - Kurangi factor presipitasi
mngenali nyeri nyeri.
4. Mengatakan rasa Ajarkan tentnag teknik non
nyaman setelah farmakologi untuk
nyeri berkurang mengurangi nyeri (relaksasi
nafas dalam)
- Kolaborasi medis dalam
- pemberian analgetik (injeksi
ketorolac 30mg)
3. Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan tindakan
diskontinuit as keperawatan diharapkan - Kaji tanda dan gejala infeksi
jaringan tidak ada tanda- tanda sistemik dan local.
infeksi dengan kriteria - Monitor tanda– tanda vital
hasil: - Bersihkan lingkungan pasien
1. Pasien bebas dari - Cuci tangan setiap sebelum
tanda dan gejala dan sesudah tindakan
infeksi keperawatan.
2. Menunjukan - Anjurkan untuk masukan
kemampuan untuk nutrisi yang cukup
mencegah - Anjurkan pasien untuk
timbulnya infeksi istirahat yang cukup.
- Kolaborasi medis dalam
pembarian antibiotik (injeksi
ceftriaxon 1 gr)
4. Implementasi
Pada proses keperawatan, implementasi adalah fase ketika perawat
mengimplementasikan intervensi keperawatan. Perawat melaksanakan atau
mendelegasikan tindakan keperawatan untuk intervensi yang disusun dalam tahap
perencanaan (Kozier, Erb, Berman, & Snyder, 2011a). Tindakan keperawatan adalah
perilaku atau aktivitas spesifik yang dikerjakan oleh perawat untuk
mengimplementasikan intervensi keperawatan diantaranya observasi, terapeutikm
edukasim dan kolaborasi (Tim Pokja SIKI DPP PPNI, 2018). Setelah melakukan
tindakan pengimplementasian keperawatan kemudian perawat akan mencatat
tindakan keperawatan yang dilakukan serta respons pasien terhadap tindakan tersebut
(Kozier et al., 2011a). Pada kegiatan implementasi diperlukan kemampuan perawat
terhadap penguasaan teknis keperawatan, kemampuan hubungan interpersonal, dan
kemampuan intelektual untuk menerapkan teori-teori keperawatan ke dalam praktek
keperawatan terhadap pasien (Manurung, 2011).
5. Evaluasi
Evaluasi adalah fase kelima dan fase terakhir dalam proses keperawatan. Evaluasi
adalah aktivitas yang direncanakan, berkelanjutan, dan terarah ketika pasien dan
professional kesehatan menentukan kemajuan pasien menuju pencapaian tujuan/hasil
dan keefektifan rencana asuhan keperawatan (Kozier et al., 2011a). Evaluasi dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi
formatif dilakukan segera setelah perawat mengimplementasikan rencana
keperawatan untuk menilai keefektifan tindakan keperawatan. Sedangkan evaluasi
sumatif adalah evaluasi yang dilakukan setelah semua tindakan dalam proses
keperawatan selesai dilakukan. Tujuan evaluasi sumatif ini untuk menilai dan
memonitor kualitas asuhan keperawatan yang telah diberikan (Asmadi, 2008).
Dalam perumusan evaluasi keperawatan menggunakan empat komponen yang
dikenal dengan SOAP. S (Subjektif) adalah data informasi berupa ungkapan
pernyataan keluhan pasien. O (Objektif) merupakan data hasil pengamatan, penilaian,
dan pemeriksaan pasien. A (Assessment) merupakan perbandingan antara data
subjektif dan data objektif dengan tujuan dan kriteria hasil untuk menilai sejauh mana
tujuan yang telah ditetapkan dalam rencana keperawatan tercapai. Dapat dikatakan
tujuan tercapai apabila pasien mampu menunjukkan perilaku sesuai kondisi yang
ditetapkan pada tujuan, tercapai sebagian apabila perilaku pasien tidak seluruhnya
tercapai sesuai dengan tujuan, dan tidak tercapai apabila pasien tidak mampu
menunjukkan perilaku yang diharapkan sesuai dengan tujuan. P (Planning)
merupakan rencana asuhan keperawatan lanjutan yang akan dilanjutkan,
dimodifikasi, atau ditambahkan dari rencana tindakan keperawatan yang telah
ditentukan sebelumnya (Dinarti, Aryani, Nurhaeni, & Chairani, 2013).
DAFTAR PUSTAKA