Anda di halaman 1dari 37

BAB I

PENDAHULUAN

Water Seal Drainage (WSD) adalah suatu tindakan invasif yang dilakukan dengan
memasukkan suatu kateter atau selang kedalam rongga pleura dengan maksud untuk
mengeluarkan udara atau cairan dari rongga tersebut agar mampu mengembang atau berekspansi
kembali secara normal. WSD adalah salah satu modalitas terapi yang paling efektif untuk dua
kelainan kompresi dari cavum pleura yakni pneumothoraks dan efusi pleura. WSD
memungkinkan drainase dari udara, darah, pus,cairan serous atau cairan – cairan abnormal lain
yang berasal dari cavum pleura dengan hanya satu arah, yakni dari cavum pleura menuju ke
botol WSD yang akan menariknya.(Durai, 2010)

Komplikasi pemasangan WSD pada umumnya terjadi oleh karena perlukaan organ
abdomen, thoraks, pecahnya pembuluh darah besar akibat insersi pipa drainase dada. Pelepasan
WSD tanpa memperhatikan prinsip kedap udara dapat menyebabkan masuknya udara ke kavum
pleura melalui luka insersi berakibat peumothoraks iatrogenik. (Mohammed, 2015)

Pada penderita-penderita yang dilakukan pemasangan WSD ataupun pembedahan pada


daerah thorax akan mengalami gangguan dan masalah pada daerah yang terpasang kateter atau
selang WSD akibat ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang
tidak maksimal. Rehabilitasi medik sangat berperan penting dalam meningkatkan kondisi
penderita setelah pemasangan WSD. Intervensi rehabilitasi akan meliputi fisioterapi dada,
mobilisasi dini dan manajemen nyeri akibat ketidaknyamanan dari pemasangan WSD.

1
BAB II

ANATOMI DAN FISIOLOGI SISTEM PERNAFASAN

2.1 Anatomi Rongga Dada

Paru-paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut dan letaknya dalam rongga
dada atau thoraks. Kedua paru saling terpisah oleh mediastinum sentral yang berisi jantung dan
beberapa pembuluh darah besar. Setiap paru-paru mempunyai apex ( bagian atas paru-paru) dan
basis. Pembuluh darah paru-paru dan bronchial, syaraf, dan pembuluh limfe memasuki tiap paru-
paru pada bagian hilus dan membentuk akar paru-paru. Paru-paru kanan lebih besar dari kiri dan
dibagi menjadi tiga lobus. Paru-paru kiri dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi
menjadi beberapa segmen sesuai dengan segmen bronkusnya. Paru-paru kanan dibagi menjadi 10
segmen sedangkan paru-paru kiri dibagi menjadi sembilan segmen. (Tabrani, 1996, English
2006, Domke, 2010)

Suatu lapisan tipis yang kontinu mengandung kolagen dan jaringan elastis dikenal
sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura parietalis) dan menyelubungi paru-paru (pleura
viseralis). Diantara pleura parietalis dan viseralis terdapat cairan pleura yang berfungsi sebagai
pelumas untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernafasan dan untuk
mencegah pemisahan thoraks dan paru-paru, yang dapt dianalogikan seperti dua buah kaca objek
akan saling melekat jika ada air. (English 2006, Domke, 2010)

Karena tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan pleura parietalis dan viseralis,
maka apa yang disebut sebagai ruang pleura hanyalah suatu ruang potensial saja. Membran
permukaan rongga potensial ini biasanya tidak mempunyai resistensi yang cukup bermakna bagi
jalannya cairan, elektrolit atau bahkan protein, yang semuanya dengan mudah keluar masuk
antara rongga dan cairan interstitial paru. Karena itu rongga pleura sebenarnya adalah rongga
jaringan yang besar. Akibatnya cairan dalam kapiler paru yang berdekatan dengan rongga pleura
akan berdifusi tidak hanya kedalam cairan interstitial paru saja tapi juga ke dalam rongga
pleura.Tetapi sistem limfatik bekerja sebagai pengaman terhadap penumpukan cairan di rongga
pleura. Sistem limfatik merupakan jalur tambahan dimana cairan dapat mengalir dari ruang
interstitial paru ke dalam kapiler, selain dapat mengangkut protein dan zat-zat berpartikel besar

2
keluar dari ruang jaringan, yang tidak dapat dipindahkan dengan absorbsi langsung kedalam
kapiler darah. English 2006, Domke, 2010)

2.2. Fisiologi Sistem Pernafasan

Udara mengalir masuk dan keluar paru-paru karena adanya selisih tekanan yang terdapat
antara atmosfer dan intrapulmonal akibat kerja mekanik dari otot-otot pernafasan. Selama
inspirasi, volume thorak bertambah besar karena diafragma turun dan iga terangkat akibat
kontraksi beberapa otot yaitu otot sternokleodomastoideus mengangkat sternum ke atas dan otot
seratus anterior, scalenus dan intercostalis eksternus mengangkat iga-iga. Thoraks membesar ke
tiga arah : anteroposterior, lateral dan vertikal. Peningkatan volume ini menyebabkan penurunan
tekanan intrapleura, dari sekitar – 4 mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) menjadi -8 mmHg
bila paru-paru mengembang pada waktu inspirasi. Pada saat yang sama, tekanan intrapulmonal
menurun dari 0 mmHg menjadi sekitar – 2mmHg (relatif terhadap tekanan atmosfer) pada saat
mulai inspirasi. Selisih tekanan antara intrapulmonal dan atmosfer menyebabkan udara mengalir
kedalam paru-paru sampai tekanan intrapulmonal kembali sama dengan tekanan atmosfer pada
akhir inspirasi.

Selama pernafasan tenang, ekspirasi merupaka gerakan pasif akibat elastisitas dinding
dada dan paru-paru. Pada waktu otot interkostalis eksternus relaksasi, dinding dada turun dan
lengkung diafragma naik ke atas ke dalam rongga thorak, menyebabkan volume thorak
berkurang. Otot interkostalis internus dapat menekan iga ke bawah dan ke dalam dengan kuat
pada waktu ekspirasi kuat dan aktif. Selain itu, otot-otot abdomen dapat berkontraksi sehingga
tekanan intraabdominal membesar dan menekan diafragma ke atas. Pengurangan volume thorak
ini meningkatkan tekanan intrapleura maupun tekanan intrapulmonal. Tekanan intrapulmonal
sekarang meningkat dan mencapai sekitar 1-2 mmHg di atas tekanan atmosfer. Selisih tekanan
antara intrapulmonal dan atmosfer menjadi terbalik, sehingga udara mengalir keluar dari paru-
paru sampai tekanan intrapulmonal dan tekanan atmosfer menjadi sama kembali pada akhir
ekspirasi. Tekanan intrapleura selalu berada dibawah tekanan atmosfer selama siklus pernafasan
(English 2006, Domke, 2010)

3
Gambar 2.1 Fisiologi Pernafasan (English, 2006)

BAB III
4
WATER SEAL DRAINAGE

3.1. Definisi

Water Seal Drainage (WSD) adalah tindakan pemasangan kateter ke dalam rongga
thoraks dengan tujuan untuk mengambil cairan dengan viskositas yang tinggi ataupun darah,
nanah maupun udara dan menghubungkannya dengan suatu WSD. (Tabrani, 1998). Pada orang
normal, kavum pleura terisi oleh lapisan cairan tipis (cairan serousa) 4 ml yang berfungsi sebagai
pelicin saat terjadi pergerakan paru, pada saat respirasi. Keberadaan cairan ini karena adanya
keseimbangan antara produksi dan reabsorbsi. Pada keadaan patologis keseimbangan ini dapat
terganggu yang mengakibatkan tertumpuknya cairan dalam kavum pleura dalam jumlah yang
banyak dengan manifestasi yang beragam, tergantung faktor etiologi yang merusak
keseimbangan tersebut. Adanya udara atau akumulasi cairan dalam kavum pleura akan
mengganggu mekanisme ventilasi, menimbulkan gangguan fungsi kardiovaskuler dan
memberikan keluhan subyektif berupa sesak nafas. Gejala tergantung jumlah dan kecepatan
proses akumulasi udara atau cairan. (Kane, 2013)

Pemasangan kateter thorak untuk drainase kavum pleura, pertama kali diperkenalkan oleh
Bullen pada tahun 1875. Satu tahun kemudian Croswell Hewett menggambarkan tehnik Drainase
Empiema menggunakan pipa karet yang dimasukkan ke dalam kavum pleura dengan bantuan
trokar. Tehnik ini baru digunakan secara luas pada tahun 1917. Setelah terbukti sukses dalam
pengobatan empiema post influenza. Penggunaan tehnik drainase ini sangat mengurangi kasus
kematian korban trauma thorak selama perang dunia kedua.

Saat ini pemasangan kateter thorak telah dilakukan secara luas pada penderita dengan
trauma thorak, pneumothorak, empiema, efusi pleura yang masif dan chylothorak. Seperti
tindakan invasif lainnya, pemasangan kateter juga dapat menimbulkan komplikasi yang tidak
diharapkan. Dengan indikasi yang tepat, menggunakan tehnik yang benar serta memberikan
perawatan pasca pemasangan secara baik, kita dapat menghindarkan penderita dari komplikasi
yang tidak diharapkan.

5
Gambar 3.1 Insersi WSD Pada Penderita (Kane, 2013)

3.2. Indikasi Pemasangan

Beberapa kasus yang termasuk indikasi pemasangan WSD adalah :

3.2.1. Pneumothoraks

Adalah pengumpulan udara atau gas lain dalam ruang pleura. Gas menyebabkan
paru menjadi kolaps karena gas tersebut menghilangkan tekanan negatif intrapleura dan
suatu tekanan (counterpressure ) yang diberikan untuk melawan paru, yang kemudian
tidak mampu mengembang. Terdapat berbagai mekanisme untuk pneumothoraks.
Mekanisme tersebut terjadi secara spontan atau diakibatkan oleh trauma dada. Misalnya,
disebabkan oleh tikaman atau trauma akibat kecelakaan mobil, akibat ruptur bula
emfisematosa pada permukaan paru (sebuah bula besar akibat kerusakan yang disebabkan
oleh emfisema), atau akibat prosedur invasif, seperti insersi slang intravena subklavia.
Seorang penderita yang mengalami pneumothoraks biasanya merasakan nyeri karena
udara mengiritasi pleura parietalnya. Nyeri dapat berupa nyeri yang tajam dan bersifat
pleuritik. Dispneu merupakan gejala yang umum dan memburuk karena ukuran
pneumothoraks yang meningkat. Untuk mencegah terjadinya sesak nafas berat yang
disebabkan oleh karena meningginya tekanan intratorak, maka diperlukan pemasangan
WSD. Ada pula pendapat yang mengatakan bahwa terdapatnya pneumotorak yang besar

6
merupakan indikasi perlunya pemasangan WSD. Hal ini atas pertimbangan bahwa paru
akan tetap menguncup dalam waktu yang cukup lama. (Jacoby 2001, Kang 2007)

2.2. Hemathoraks

Merupakan akumulasi darah dan cairan di dalam rongga pleura di antara pleura
parietal dan pleura viseral, biasanya merupakan akibat trauma. Hemathoraks
menghasilkan tekanan (counterpressure) dan mencegah paru berekspansi penuh.
Hematothoraks juga disebabkan oleh perdarahan dari jantung, paru, pembuluh darah
besar serta percabangannya, arteri / vena intercostalis, diafragma, pembuluh darah
dinding dada, rupturnya pembuluh darah pada perlekatan pleura, neoplasma, kelebihan
antikoagulan, pascabedah thorak juga ruptur pembuluh darah kecil akibat proses
inflamasi, seperti pneumonia atau tuberkulosis. Selain terjadi nyeri dan dispneu, juga
dapat terjadi tanda dan gejala syok apabila mengalami kehilangan darah yang banyak.
Hemathoraks di atas 400cc (Moderat : 300 – 800 cc , Severe : lebih 800 cc) atau
symptomatis merupakan indikasi pemasangan kateter thorak. Evakuasi darah pada
hemathoraks masif (lebih dari 2000 cc) harus diawali dengan penggantian cairan atau
darah. (Jacoby 2001)

.2.3. Kilotoraks

Suatu keadaan dimana terdapatnya cairan limfa di pleura. Warna cairan ini seperti
susu, hal ini disebabkan oleh karena terdapatnya kilomikron, yakni butir-butirlemak
dengan ukuran 1 mikron yang diserap dari dalam intestinum. Secara kimiawi butir-butir
lemak ini terdiri dari komplek trigliserida dengan lipoprotein, fosfolipid dan
kolesterol.Melalui duktus limfatikus cairan ini sampai ke duktus toraksikus dan oleh
karena sesuatu sebab maka cairan ini masuk ke pleura.Penyebab yang paling sering
adalah trauma, tetapi dapat juga nontrauma, bahkan dapat pula penyebabnya tidak
diketahui (idiopatik). (Townshend, 2007). Bila terjadi trauma, misalnya, maka kilotorak
akan berkumpul di mediastinum dan bila mediastinum ini robek, maka cairan ini akan
masuk ke dalam pleura. Pada penyebab yang nontrauma, terutama disebabkan oleh
kelainan dari duktus toraksikus dan keadaan ini merupakan 50-60% dari kasus
dibandingkan dengan yang trauma, yakni hanya 10-40% dari kasus. (Townshend, 2007)

7
2.4. Empiema

Cairan empiema perlu didrainase secepatnya dan sebanyak-banyaknya, untuk


mengurangi gejala toksis dan mempercepat resolusi proses inflamasi. Pada fase akut,
permukaan paru masih fleksibel dan akan mengembang sempurna setelah cairan empiema
di drainase sampai habis. Keterlambatan drainase sering perlu diikuti dekortikasi, karena
terbentuk peel pada permukaan paru. (Klopp 2008)

2.5. Efusi Pleura

Peningkatan tekanan intra pleura karena cairan akan memberikan pendorongan


pada mediastinum dengan akibat gangguan fungsi paru dan kardiovaskuler. Pemasangan
kateter thorak terutama dilakukan pada efusi pleura maligna dengan tujuan untuk
mengurangi keluhan dan mencegah reakumulasi cairan. Keadaan ini sering harus diikuti
dengan pleurodesis.Cairan hemoragik yang terdapat pada effusi pleura akibat dari
adenokarsinoma dapat berasal dari berbagai organ tubuh, antara lain paru dan ovarium.
(Buaman, 2011)

3.3. Kontra Indikasi Pemasangan WSD

Beberapa hal yang dapat menyebabkan tidak diindikasikannya pasien untuk


dilakukan pemasangan WSD :

1. Kelainan faal hemostasis ( koagulopati ), terjadi gangguan pembekuan darah pada


pasien, sementara pada pemasangan WSD ini dilakukan tindakan invasif dengan
resiko dapat menimbulkan perdarahan lokal.

2. Perlengketan pleura yang luas karena komplikasi, maka lebih dipertimbangkan


tindakan dekortikasi.

3. Hematothorax masif yang belum mendapat penggantian darah atau cairan, jika belum
ada cairan atau darah pengganti dapat mengakibat syok pada penderita karena
kehilangan darah yang banyak.

4. Tindakan pemasangan WSD ini juga dapat mematikan pada:

8
a. Bullosa paru

b. Penderita dengan PEEP ( Positive End Expiratory Pressure )

c. Penderita dengan satu paru

d. Penderita dengan hemidiafragma, efusi pleura dan splenomegali (Gupta, 2008)

3.4. Lokasi Pemasangan WSD

Lokasi pemasangan adalah :

Apikal : Linea Medio Clavicularis ( MCL ) pada ruang antar iga II – III ( Monaldi ),
dimana selang dimasukkan secara anterolateral, fungsinya : untuk
mengeluarkan udara dari rongga pleura, diperlukan pada kasus pneumothoraks.
Karena udara naik, selang dada (tube) ini diletakkan tinggi, sehingga evakuasi
udara dari ruang dan memungkinkan intrapleural paru-paru untuk reexpand.

Gambar 3.2 Tempat yang umum sebagai insersi WSD (Mohammed, 2015)

Basal : Linea axilaris depan, pada ruang antar iga IX – X ( buelau ). Dapat lebih proximal,
bila perlu. Terutama pada anak-anak karena letak diafragma tinggi. Ada juga
sumber lain yang menyebutkan ruang kelima atau keenam ruang interkostal,
posterior atau lateral. Fungsi untuk mengeluarkan cairan (darah, pus) dari rongga
pleura. Cairan di dalam ruang intrapleural dipengaruhi oleh gravitasi dan lokalisasi
9
di bagian bawah rongga paru-paru ketika penderita duduk tegak. (Coughlin 2006,
Buaman 2011)

3.5. Prinsip Kerja WSD

Prinsip umum yang digunakan pada WSD adalah :

a. Gravitasi

Udara dan cairan mengalir dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih
rendah.

b. Tekanan negatif

Udara atau cairan dalam rongga dada menghasilkan tekanan positif (763 mmHg atau
lebih) dalam rongga pleura. Udara dan cairan pada water seal pada selang dada
menghasilkan tekanan positif yang kecil (761 mmHg ). Sebab udara dan cairan
bergerak dari tekanan yang lebih tinggi ke tekanan yang lebih rendah, maka udara dan
cairan akan berpindah dari tekanan positif yang lebih tinggi pada rongga pleura ke
tekanan positif yang lebih rendah yang dihasilkan oleh water seal.

c. Suction

Suatu kekuatan tarikan yang lebih kecil dari pada tekanan atmosfir (760 mmHg).
Suction dengan kekuatan negatif 20 cmH2O menghasilkan tekanan subatmosfer 746
mmHg sehingga udara atau cairan berpindah dari tekanan lebih tinggi ke tekanan yang
lebih rendah.

d. Water Seal

Tujuan utama dari water seal adalah membiarkan udara keluar dari rongga pleura dan
mencegah udara dari atmosfer masuk ke rongga pleura. Botol water seal diisi dengan
cairan steril yang didalamnya terdapat selang yang ujungnya terendam 2 cm. Cairan

10
ini memberikan batasan antara tekanan atmosfer dengan tekanan subatmosfer (normal
754-758 mmHg). Selang yang terendam 2 cm itu menghasilkan tekanan positif sebesar
1,5 mmHg semakin dalam selang water seal terendam air semakin besar tekanan
positif yang dihasilkan. Pada saat expirasi, tekanan pleura lebih positif sehingga udara
dan air dari rongga pleura begerak masuk ke botol. Pada saat inspirasi tekanan pleura
lebih negatif sehingga water seal mencegah udara atmosfer masuk ke rongga pleura.
(Durai, 2010)

3.6. Komplikasi Pemasangan WSD

Pemasangan kateter juga dapat menimbulkan komplikasi yang tidak diharapkan. Dengan
indikasi yang tepat, menggunakan tehnik yang benar serta memberikan perawatan pasca
pemasangan secara baik, kita dapat menghindarkan penderita dari komplikasi yang tidak
diharapkan.

Komplikasi yang bisa didapat pada waktu pemasangan kateter atau selama perawatan:

1. Kerusakan jaringan paru dan organ visceral abdominal. Komplikasi ini lebih sering
terjadi pada insersi kateter dengan bantuan trokar. Fase respirasi, posisi penderita,
atelektasis, paralisa diafragma, hernia diafragma, distensi abdomen, dapat merubah
posisi diafragma.

2. Nyeri akan terasa setelah efek dari obat bius lokal habis, terutama 12-48 jam setelah
insersi. Setelah 24 jam penderita dapat menyesuaikan diri dan dapat diatasi dengan
analgetik dan tehnik relaksasi dengan breathing control

3. Infeksi lokal, empiema dan osteomyelitis dapat timbul akibat tindakan yang tidak
aseptik.

Dengan kateter yang steril dan dengan yang terpasang baik, maka infeksi jarang
terjadi. Akan tetapi apabila drain tersumbat, maka sangat mudah terinfeksi. Oleh
karena itu bila jumlah cairan yang keluar dibawah 50 cc, maka drain harus dicabut
dari rongga pleura, oleh karena selain cairan sudah tidak ada, juga mudah
menyebabkan terjadinya infeksi

11
4. Emfisema kutis, sering terjadi pada orang tua yang elastisitas kulitnya mulai menurun

5. Kegagalan pengembangan paru

Kegagalan pengembangan paru dapat disebabkan oleh kesalahan letak kateter, lubang
drainase kateter keluar dari kavum pleura, kebocoran udara yang menetap atau akibat
sumbatan pada bronkus.

6. Kateter yang tertekuk atau tersumbat oleh bekuan darah dan pus yang kental

7. Perdarahan lokal akibat laserasi arteri inter kostalis. Perdarahan ini dapat dicegah
dengan membatasi insisi secara tajam hanya pada kulit dan fasia musculus. Hindari
insisi pada lokasi sub kosta.

8. Penempatan kateter pada posisi yang salah misalnya pada jaringan sub kutan atau
intra abdominal

9. Terhisapnya cairan dalam botol WSD kedalam kavum pleura. Agar tidak terjadi hal
tersebut diatas, posisi botol WSD harus lebih rendah dari tubuh penderita

10. Infark paru dan kontusio paru akibat hisapan kontinyu

11. Distress pernafasan akibat hisapan kontinyu yang dilakukan pada pneumothorax
dengan bronco pleuralfistal yang besar

12. Pneumonia dan atelektasis akibat menahan batuk dan imobilisasi yang terlalu lama
(Rathinam 2007, Davies 2008)

3.7. Sistem dan Jenis WSD

Selang dada dikategorikan sebagai pleural atau mediastinal tergantung lokasi ujung
selang. Penderita dapat dipasang lebih dari satu selang pada lokasi yang berbeda tergantung
tujuan selang. Semua selang dada ditangani sebagai selang intrapleural untuk keamanan
penderita. Selang yang lebih besar (20-36 french) digunakan untuk mengalirkan darah atau
12
drainase pleural yang kental. Selang yang lebih kecil (16-20 french) digunakan untuk membuang
udara. Selang dada bekerja sebagai drain untuk udara dan cairan. Untuk membuat tekanan
negatif intrapleural, sebuah segel diperlukan pada selang dada untuk mencegah udara luar masuk
ke sistem. Cara paling sederhana untuk melakukan ini yaitu dengan menggunakan sistem
drainase dalam air. Tinjauan tentang sistem satu-dua-tiga-botol memberikan dasar pemahaman
semua produk botol yang dijual. Setiap sistem mempunyai keuntungan dan kerugian.
Pengetahuan terhadap sistem ini memungkinkan tenaga kesehatan untuk mengatur dengan aman
sistem drainase selang dada yang paling kompleks sekalipun.

Pemasangan WSD akan menimbulkan beberapa efek pada penderita, antara lain:

1. Nyeri pada daerah dada dan bahkan menyebar keseluruh tubuh terutama pada daerah
insisi

2. Irama jantung tidak teratur / aritmia

3. Mengalami kesulitan bernapas ( dyspnea ) dan kesulitan saat batuk

4. Kecemasan, gelisah dan berkeringat dingin. (Rathinam 2007)

Adapun tipe-tipe sistem drainase yaitu :

1. Sistem WSD Botol Tunggal

Sistem ini terdiri dari satu botol dengan penutup segel. Penutup mempunyai dua
lubang, satu untuk ventilasi udara dan lubang yang lain memungkinkan selang masuk
kedalam botol. (R. S. George, 2016)

Keuntungan :

a. Penyusunan sederhana

b. Memudahkan untuk mobilisasi pasien

Kerugian :

13
a. Saat melakukan drainase, perlu kekuatan yang lebih besar dari ekspansi dada
untukmengeluarkan cairan / udara

b. Untuk terjadinya aliran kebotol, tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan dalam
botol

c. Kesulitan untuk mendrainase udara dan cairan secara bersamaan. (R. S. George,
2016)

Gambar 3.3 Sistem WSD 1 botol (George, 2016)

2. Sistem WSD Dua Botol

Pada sistem dua botol, botol pertama adalah sebagai botol penampung dan yang
kedua bekerja sebagai water seal. Pada sistem dua botol, penghisapan dapat dilakukan
pada segel botol dalam air dengan menghubungkannya ke ventilasi udara.

Keuntungan :

a. Mampu mempertahankan water seal pada tingkat yang konstan

b. Memungkinkan observasi dan tingkat pengukuran jumlah drainase yang keluar


denganbaik

c. Udara maupun cairan dapat terdrainase secara bersama-sama .

Kerugian :

a. Untuk terjadinya aliran, tekanan pleura harus lebih tinggi dari tekanan botol

14
b. Mempunyai batas kelebihan kapasitas aliran udara sehingga dapat terjadi
kebocoran udara. (R. S. George, 2016)

3. Sistem WSD Tiga Botol

Pada sistem tiga botol, sistem dua botol ditambah dengan satu botol lagi yang
berfungsi untuk mengatur / mengontrol jumlah drainase dan dihubungkan dengan
suction. Pada sistem ini yang terpenting adalah kedalaman selang dibawah air pada botol
ketiga. Jumlah penghisap didinding yang diberikan botol ketiga harus cukup untuk
menciptakan putaran-putaran lembut gelembung dalam botol. Gelembung yang kasar
menyebabkan kehilangan air, mengubah tekanan penghisap dan meningkatkan tingkat
kebisingan .

Keuntungan :

a. Sistem paling aman untuk mengatur penghisapan

Kerugian :

a. Perakitan lebih kompleks sehingga lebih mudah terjadi kesalahan pada perakitan dan
pemeliharaan

b. Sulit untuk digunakan jika pasien ingin melakukan mobilisasi (Zisis 2015, R. S.
George, 2016)

15
Gambar 3.4: Jenis-jenis sistem WSD (George, 2016)

4. Sistem Drainase Sekali Pakai ( Pleur Evac)

Sistem tiga ruang yang memiliki ruang drainase, water seal dan suction yang
terpisah. Banyak fasilitas kesehatan menggunakan drainase pleur evac sebagai ganti
sistem tiga botol.

Gambar 3.5 Sistem Drainase Pleur Evac (George, 2015)

16
Keterangan : A: Carrying handle, B: High negativity relief valve, C: High negativity float valve and relief
chamber, D: Collection chamber, E: Patient air leak meter, F: Calibrated water seal, G: Self sealing
diaphragm, H: Suction control chamber, I: Positive pressure relief valve

Keuntungan drainase pleur evac :

a. Bahan dari plastik sehingga tidak mudah pecah seperti botol

b. Bersifat disposible, bentuk tunggal, ringan dan mudah dibawa-bawa.

Kerugian drainase pleur evac :

a. Harga mahal

b. Kehilangan water seal dan keakuratan pengukuran drainase bila unit terbalik.
(George, Papagiannopoulos, 2015)

3.8. Perawatan WSD

Beberapa hal harus kita perhatikan dalam perawatan WSD :

a. Mengisi bilik water seal dengan air steril sampai batas ketinggian yang sama dengan 2
cmH2O

b. Jika digunakan penghisap, isi bilik control penghisap dengan air steril sampai ketinggian
20 cm atau sesuai yang diharuskan

c. Pastikan bahwa selang tidak terlipat,menggulung atau mengganggu gerakan penderita

d. Berikan dorongan penderita untuk mencari posisi yang nyaman dan pastikan selang tidak
tertindih

e. Lakukan latihan rentang gerak untuk lengan dan bahu dari sisi yang sakit beberapa
kali sehari

f. Dengan perlahan pijat selang, pastikan adanya fluktuasi dari ketinggian cairan dalam
bilik WSD yang menandakan aliran masih lancar

17
g. Amati adanya kebocoran terhadap udara dalam sistem drainase sesuai yang diindikasikan
oleh gelembung konstan dalam bilik WSD

h. Observasi dan laporkan adanya pernapasan cepat,dangkal, sianosis, adanya emfisema


subkutan, gejala-gejala perdarahan, dan perubahan yang signifikan pada tanda-tanda vital

i. Anjurkan penderita mengambil napas dalam dan batuk pada interval yang teratur dan
efektif

j. Jika penderita harus dipindahkan ke area lain,letakkan botol dibawah ketinggian dada.
Jika selang terlepas, gunting ujung yang terkontaminasi dari selang dada dan selang.
Pasang konektor steril dalam selang dada dan selang ,sambungkan kembali ke sistem
drainase. Jangan mengklem WSD selama memindahkan penderita.

k. Ganti botol WSD setiap tiga hari atau bila sudah penuh,catat jumlah cairan yang dibuang.
(Zisis, 2015)

3.9. Indikasi Pencabutan WSD

WSD sudah dapat dicabut apabila ada indikasi pada paru-paru sudah terjadi reekspansi
yang ditandai dengan :

a. Tidak ada undulasi, namun perlu hati-hati karena tidak adanya undulasi juga salah satu
tanda yang menyatakan kondisi motor suction tidak berjalan, selang tersumbat /terlipat
atau paru memang sudah benar-benar mengembang.

b. Tidak ada cairan keluar

c. Tidak ada gelembung udara yang keluar

d. Tidak ada kesulitan bernapas

e. Dari foto rontgent menunjukan tidak ada cairan atau udara

f. Selang WSD tersumbat dan tidak dapat diatasi dengan spooling atau pengurutan
pada selang. (Laws, 2003)

BAB IV
18
PROGRAM REHABILITASI PADA PENDERITA DENGAN PEMAKAIAN WSD

4.1. Tujuan Rehabilitasi Pada Penderita Dengan WSD

Rehabilitasi memiliki peran penting dalam perawatan penderita yang menjalani tindakan
pemasangan WSD, di mana terapi yang adekuat akan mempercepat proses pemulihan..
Penanganan rehabilitasi harus dimulai sedini mungkin. Sebelum memulai penatalaksanaan
rehabilitasi, dokter dan fisioterapis harus mengetahui riwayat kesehatan atau penyakit penderita,
dari anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain yang relevan. Hal penting lain adalah
evaluasi dari pola pernapasan penderita, mobilitas dinding dada dan luas gerak sendi bahu.
(Webber, B.A. 1988).

Tujuan dari terapi rehabilitasi medik pada tindakan pemasangan WSD adalah :

1. Untuk mempertahankan ventilasi yang adekuat.

2. Untuk membantu pengeluaran sekret yang berlebihan.

3. Untuk mempertahankan atau memperoleh kembali ekspansi penuh dari paru.

4. Untuk mempertahankan mobilitas dari bahu, gelang bahu, tulang belakang dan dinding
dada.

5. Untuk mencegah deformitas postural

6. Untuk mengembalikan toleransi latihan (Webber, B.A. 1988, Pryor 2008).

4.2. Anamnesa dan Pemeriksaan Fisik

4.2.1. Anamnesa

a. Keluhan nyeri dada pada inspirasi, pusing, sesak

b. Riwayat penyakit sebelumnya, sudah pernah dilakukan tindakan WSD sebelumnya atau
untuk yang pertama kali

19
c. Riwayat alergi sebelumnya, berupa alergi obat-obatan, lateks, atau apapun yang
diaplikasikan pada kulit.

d. Perubahan status mental (penderita mengalami kecemasan, gelisah dan berkeringat


dingin)

e. Persiapan pada penderita dan keluarga antara lain :

Beri penjelasan pada penderita maupun keluarga tentang tujuan, prosedur, proses (perlu
ajarkan nafas dalam dan batuk efektif pada penderita), serta akibat dari tindakan yang
akan kita lakukan

Ajarkan kepada penderita dan keluarga tentang hal-hal yang perlu dilakukan dan
diperhatikan pada perawatan post tindakan WSD (posisi saat terpasang WSD, aktivitas
sedikit terbatas , menjaga kebersihan luka post WSD, melaporkan jika terjadi perubahan
yang terjadi pada sistem drainase, dan lain-lain (Carroll, 2002)

4.2.2. Pemeriksaan Fisik :

1. Sistem Pernapasan :

a. Sesak napas,

b. Nyeri, batuk

c. Terdapat retraksi klavikula/dada

d. Pengambangan paru tidak simetris

e. Fremitus menurun dibandingkan dengan sisi yang lain

f. Adanya suara sonor/hipersonor/timpani

g. Bising napas yang berkurang/menghilang

h. Pekak dengan batas seperti garis miring/tidak jelas

i. Dispnea dengan aktivitas ataupun istirahat

20
j. Gerakan dada tidak sama waktu bernapas

2. Sistem Kardiovaskuler :

a. Nyeri dada meningkat karena pernapasan dan batuk

b. Takhikardia, lemah, hipotensi

3. Psikologis :

Ansietas, gelisah, bingung, pingsan.

4. Pemeriksaan Diagnostik :

a. Sinar X dada : memperlihatkan akumulasi udara/cairan pada area pleural :

b. Pa Co2 kadang-kadang menurun.

c. Pa O2 normal / menurun.

d. Saturasi O2.

e. Hemoglobin

f. Torakosentesis : dengan hasil darah/cairan (Charnock 2001, Carroll, 2002, Pryor 2008)

4.3. Masalah Rehabilitasi Pada Penderita Dengan Pemasangan WSD

Masalah yang dapat terjadi pasca operasi dari sudut pandang rehabilitasi medik antara l
ain :

a. Nyeri pada daerah operasi/pemasangan drain.

b. Penderita mengalami keluhan nyeri dada yang diakibatkan trauma jaringan dan reflek
spasme otot karena pemasangan selang dada / thorax drainase. Kecemasan juga
menyertai penderita berhubungan dengan prosedur invasif yang akan dilakukan.

c. Ketidak efektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan ekspansi paru yang tidak
maksimal.

21
d. Produksi sputum yang berlebihan, akibat penurunan refleks batuk yang tidak adekuat
serta imobilisasi lama

e. Pada penderita dengan pemasangan WSD sering mengalami pembersihan jalan nafas
yang tidak efektif berhubungan dengan adanya peningkatan sekresi sekret dan penurunan
kemampuan batuk yang efektif akibat nyeri dan keletihan, dan adanya penumpukan
cairan atau udara dalam rongga dada

f. Imobilisasi dengan segala akibatnya.

Pada penderita dengan pemasangan WSD terjadi hambatan mobilitas fisik yang
berhubungan dengan ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk ambulasi dengan
alat eksternal, serta dipengaruhi pula dengan faktor keletihan serta nyeri

g. Terjadi akibat yang lebih lanjut :

i. Perubahan postur tubuh.

ii. Spasme otot bahu, thoraks dan tulang belakang.

iii. Ekspansi thoraks terbatas.

iv. Infeksi saluran napas/paru akibat retensi sputum atau infeksi luka operasi.

v. Paru kolaps/tidak mengembang (Charnock 2001, Kusumastuti, P. 2002, Pryor 2008)

Perlu dijelaskan secara rinci mengenai keadaan sakit, faktor risiko yang ada seperti
penumpukan sputum, kelemahan otot-otot dada yang akan menyebabkan pernapasan menjadi
tidak adekuat dan pentingnya mobilisasi dini. Dijelaskan pula tujuan dan target program
rehabilitasi dan pentingnya latihan yang optimal serta perlunya motivasi dari penderita agar
dicapai pemulihan yang optimal. Edukasi juga penting untuk meningkatkan kepercayaan diri
penderita (Webber, B.A. 1988; Kusumastuti, P. 2002).

4.4. Program Rehabilitasi Pada Penderita Dengan Pemasangan WSD

22
Dalam memberikan terapi rehabilitasi pada pasien dengan pemakaian WSD, terapi yang
dapat kita berikan terkait dengan masalah yang dialami adalah :

4.4.1. Penanganan Nyeri Pasca Pemasangan

a. Tehnik Relaksasi

Pendekatan penanganan nyeri dengan menggunakan teknik relaksasi dan non


farmakologi lainnya telah menunjukkan keefektifan dalam mengurangi nyeri. Sasaran
yang dicapai dengan terapi relaksasi adalah mengurangi tingkat kecemasan dan stress
fisik. Penderita dapat kembali mengontrol dirinya untuk lepas dari stress dan frustasi.
Penderita dapat kita ajarkan teknik relaksasi dengan metode breathing control atau
kontrol pernafasan untuk menurunkan ketegangan otot yang dapat menurunkan intensitas
nyeri dan posisi relaksasi.

Tujuan latihan relaksasi adalah:

1) Menurunkan tegangan otot pernapasan

2) Menghilangkan rasa cemas karena pemasangan WSD atau sesak napas.

3) Memberikan sense of well being.

Penderita dengan pemasangan WSD sering merasa tegang, cemas dan takut
karena prosedur maupun kemungkinan yang terjadi akibat pemasangan WSD tersebut.
Untuk mengatasi keadaan ini penderita berusaha membuat posisi yang menguntungkan
terutama bagi gerakan diafragmanya.

Ada beberapa posisi yang mendukung untuk melakukan pernapasan diafragma


secara optimal atau pernapasan dalam, yaitu posisi semi fowler dengan bantal diletakkan
pada kedua bahu dan lengan dimana ini akan menyebabkan relaksasi dari otot leher,
fleksi 45 derajat pada pinggul dan fleksi kedua lutut dengan diganjal bantal akan
menyebabkan relaksasi pada otot daerah abdominal sehingga memperbaiki gerakan
diafragma (Frownfelter, 1979; Barnes, 2002).

23
Gambar 4.1 Posisi Relaksasi pada Pasien dengan Pemasangan WSD (Barnes, 2002)

b.Pemberian analgetik.

Analgetik memblok lintasan nyeri, sehingga nyeri akan berkurang dan penderita
dapat optimal dalam melaksanakan latihan

c. Penggunaan Transcutaneus Electrical Nerve Stimulation (TENS)

TENS adalah sebuah modalitas yang bertenaga listrik rendah yang dialirikan ke
kulit melewati elektroda yang di letakkan di atas area yang mengalami nyeri. Arus listrik
yang dapat diberikan TENS dapat merangsang sel neuron sensory yang berdiameter besar
untuk masuk lebih dahulu ke gate di substansia gelatinosa dan menghambat sel
nosiceptor yang berdiameter kecil untuk memberikan informasi ke otak, sehingga
rangsang nyeri tidak sampai ke otak dan membuat nyeri berkurang. (Parjoto, 2006).
Randomized Controlled Trial yang dilakukan oleh Gonzales pada 25 pasien yang
diberikan TENS dapat mengurangi nyeri dan mengurangi kebutuhan akan analgesik.
Pada penelitian ini peletakan elektroda diletakkan dengan posisi : Dua elektrode masing-
masig diletakkan sekitar 2 cm masing – masing di area luka dan dua pada bahu, satu pada
anterior dan satu pada posterior untuk mengurangi nyeri area bahu. TENS dilakukan
setiap 8 jam, dengan durasi 30 menit, dilakukan sejak satu hari setelah pemasangan
WSD. (Gonzales, 2015)

24
Gambar 4.2. Tempat Pemasangan Elektroda TENS (Gonzales, 2015)

4.4.2. Latihan Pernapasan

Latihan pernapasan dilakukan setelah latihan relaksasi dikuasai penderita.

Tujuan latihan pernapasan adalah untuk:

a. Mengatur frekuensi dan pola napas sehingga mengurangi air trapping

b. Memperbaiki fungsi diafragma

c. Memperbaiki mobilitas sangkar toraks

d. Memperbaiki ventilasi alveoli untuk memperbaiki pertukaran gas tanpa


meningkatkan kerja pernapasan

e. Mengatur dan mengkoordinir kecepatan pernapasan sehingga bernapas lebih


efektif dan mengurangi kerja pernapasan yang berlebih.

Latihan pernapasan yang dianjurkan untuk penderita dengan pemasangan WSD meliputi :

1) Latihan inspirasi dengan diafragma breathing. Teknik ini dilakukan dengan pasien pada
posisi nyaman misalnya posisi semi fowler, kemudian dilakukan evaluasi pola napas.
Tangan terapis diletakkan di area rektus abdominal di bawah kosta anterior. Pasien
25
diminta untuk inspirasi pelan tetapi dalam melalui hidung dan ekspirasi pelan melalui
mulut, dengan mempertahankan bahu dan dada bagian atas tetap rileks dan tenang.
Tehnik ini dilakukan tiga atau empat kali diikuti istirahat. Untuk dapat melakukan dan
mengontrol tehnik ini dengan baik, pasien diminta untuk meletakkan tangannya di bawah
kosta anterior dan merasakan gerakan yang terjadi.

Gambar 4.3. Latihan Pernapasan dengan Diafragma Breathing (gambar diambil dari
https://skillsmodules.atitesting.com.)

2) Latihan ekspirasi dengan pursed lip breathing, dengan rasio ekspirasi 2x lebih panjang
dari inspirasi. Teknik ini dilakukan dengan posisi pasien rileks dan senyaman mungkin.
Pasien menarik napas dalam melalui hidung secara pelan dan kemudian mengeluarkan
napas melalui mulut secara pelan dengan posisi bibir dikerutkan seperti hendak meniup
lilin. Saat melakukan pursed lip breathing, ekspirasi harus rileks dan tidak dilakukan
secara paksa serta menghindari melakukan kontraksi abdomen agar tidak terjadi
turbulensi udara pada jalan napas

3) Latihan dengan alat insentif spirometer. Teknik ini dilakukan dengan inspirasi penuh
dengan menghisap melalui mouthpiece, tahan selama 3 detik, kemudian ekspirasi secara
pasif. Bola bola atau parameter lain dalam alat akan menjadi visual feedback.

4) Pada penderita dengan pemasangan WSD juga perlu diajarkan segmental breathing atau
latihan pengembangan thorax, dengan cara memberikan tahanan ringan pada akhir
inspirasi.

26
Gambar 4.4. Latihan Pernafasan Dengan Incentif Spirometer (Charnock, 2001)

4.4.3. Program Pengeluaran Sekret

Seringkali pada penderita dengan pemasangan WSD didapatkan timbunan sekret yang
kental, yang jika tidak dikeluarkan akan menyumbat saluran napas dan merupakan media yang
baik bagi pertumbuhan kuman. Infeksi mengakibatkan radang yang menambah obstruksi saluran
napas. Bila berlangsung terus sehingga mengganggu mekanisme batuk dan gerakan mukosilier,
maka timbunan sekret merupakan penyulit yang cukup serius.

Terapi fisik (fisioterapi) dada ditujukan untuk melepaskan dan membantu menggerakkan
sekret dari saluran napas kecil ke trakea, dapat dilakukan dengan cara penderita diminta
mengeluarkan sekretnya dengan teknik batuk yang benar, sehingga sekret dapat dikeluarkan
dengan mudah. (Charnock 2001, Pryor 2008)

Tehnik pengeluaran sekret yang dapat dilakukan untuk penderita dengan pemasangan
WSD di antaranya:

1. Tehnik Batuk Terkontrol.

Teknik batuk terkontrol adalah teknik ekspirasi kuat yang terkontrol untuk
pengeluaran sekret tanpa menyebabkan kolaps saluran nafas. Teknik ini akan lebih
mudah jika dilakukan pada posisi berdiri atau duduk tegak.

Teknik yang dianjurkan adalah sebagai berikut

a. Tarik nafas pelan dan dalam dengan menggunakan pernafasan diafragma.


27
b. Tahan nafas sekitar 2 detik untuk menutup glotis.

c. Batukkan dengan cara mengkontraksikan abdomen, buka glotis dan secara kuat
dan cepat batukkan sambil mengkontraksikan abdomen dan sedikit membungkuk.
Teknik batuk ini dikerjakan 2-3 kali dengan mulut terbuka tanpa sela menarik
nafas.

d. Jeda sejenak, gunakan pernafasan dalam pelan dengan dengusan ringan (sniffing
gently) untuk mencegah sekret masuk kembali

e. Ulangi prosedur langkah diatas 2-3 kali, kemudian istirahat dan nafas secara
normal

2. Teknik Huffing.

Teknik ini mempunyai cara yang hamper sama dengan teknik batuk terkontrol
kecuali glotis tetap terbuka. Penderita inhalasi dalam dan secara cepat mengeluarkan
nafas dengan kontraksi abdomen dengan mengatakan ”ha-ha-ha”.Keuntungan dari
tehnik ini adalah tidak melelahkan, tidak menimbulkan spasme bronkhus dan kurang
menyebabkan kolaps jalan nafas. (Charnock 2001, Pryor 2008)

Gambar 4.5. Latihan Batuk Efektif Pada Penderita Dengan Pemasangan WSD (Pryor, 2008)

3. Drainase Postural

28
Drainase postural adalah teknik membersihkan sekret jalan napas dengan
menempatkan penderita pada posisi tertentu sehingga gaya gravitasi akan menarik
aliran sekret dari jalan napas. Posisi penderita pada teknik ini berdasarkan anatomi dari
percabangan-percabangan bronkus dan didesain untuk mengeluarkan sekret dari
bagian paru tertentu. Mukus akan mengalir dari bronkiolus menuju bronkus 31 dan
akhirnya ke trakea yang kemudian akan dibatukkan keluar atau melalui suction.
Berikan dorongan penderita untuk mencari posisi yang nyaman. (Webber, 1988; Cruz
et al., 2015).

Saat melakukan posisi postural drainase selalu periksa kondisi sistem WSD dan
amati tanda-tanda kesulitan bernafas. Hal-hal yang harus diperhatikan :

a. Cek batas cairan dari botol WSD, pertahankan dan tentukan batas yang telah
ditetapkan serta pastikan ujung pipa berada 2 cm di bawah air

b. Observasi tanda - tanda vital, observasi juga dengan ketat tanda-tanda kesulitan
bernafas, sianosis, emfisema subkutan

c. Perhatikan perban pada insisi, pastikan tidak ada perdarahan

d. Anjurkan penderita memilih posisi yg tepat dan nyaman dengan menghindari posisi
yang menyebabkan selang tertindih

e. Anjurkan penderita untuk memegang selang apabila akan merubah posisi

f. Botol WSD harus selalu lebih rendah dari tubuh, untuk mencegah adanya tekanan
balik

29
Gambar 4.6. Pemeriksaan Selang Saat Memposisikan Pasien (Pryor, 2008)

Drainase sekret akan lebih efektif apabila disertai teknik manual seperti perkusi atau
vibrasi dinding dada, namun belum ada penelitian yang menguji keamanan tindakan ini
dilakukan pada penderita dengan pemasangan WSD. (Zisis, 2015)

4.4.4. Program Mobilisasi Dini

Imobilisasi yang memanjang adalah penyebab utama kelemahan otot pada


penderita dengan penggunaan WSD, dan sebaliknya penderita dengan mobilisasi yang
dilakukan lebih awal memiliki peranan yang penting dalam pemulihan Penderita.
Mobilisasi yang lebih awal disertai latihan otot dapat meningkatkan kondisi fungsional
dan mencegah berbagai komplikasi. Untuk alasan ini latihan yang dilakukan pada
tahapan awal setelah pemasangan WSD, jika memungkinkan, dapat sangat membantu
dalam mencegah komplikasi paru seperti atelektasis, penurunan kebutuhan analgesik,
peningkatan penyembuhan dan pencegahan komplikasi neuromuskuler. (Ambrosino,
2010)

Target yang disarankan pada mobilisasi yang lebih awal dapat berupa:

1. Peningkatan volume paru, optimalisasi ratio ventilasi dan perfusi dan


pembersihan jalan napas yang lebih baik,

2. Penurunan resiko imobilisasi lama

3. Peningkatan kemandirian fungsional,


30
4. Peningkatan kebugaran kardiovaskular

5. Keuntungan secara psikologis

Berikan dorongan penderita untuk mencari posisi yang nyaman. Biasanya dengan
peninggian kepala tempat tidur. Motivasi penderita untuk duduk sebanyak mungkin,
sehingga dapat meningkatkan inspirasi maksimal, meningkatkan ekspansi paru dan
ventilasi. Jika penderita terbaring lateral pastikan selang tidak tertekan. Anjurkan untuk
merubah posisi lebih sering. (Clini, 2005)

Gambar 4.7 Mobilisasi pada penderita dengan pemasangan WSD (Pryor2008, Ambrosino,2010)

Posisi penderita dapat dirubah sesering mungkin untuk meningkatkan drainase,


mencegah deformitas dan kontraktur. Posisi yang baik membantu pernafasan dan
meningkatkan pertukaran gas yang baik. (Webber, B.A. 1988; Kusumastuti, P. 2002).
Selang diatur senyaman mungkin, sehingga selang yang dimasukkan tidak terganggu
dengan bergeraknya penderita, dengan tujuan rasa sakit di bagian masuk selang dapat
dikurangi.(Ambrosino, 2010)

Mobilitas penderita juga dapat terbantu dengan alat bantu berjalan. Pengkleman
selang dada adalah kontra indikasi apabila penderita sedang berjalan atau sedang
dipindahkan. Dokter harus memegang unit drainase dada atau botol dengan hati-hati dan
mempertahankan peralatan drainase dengan posisi di bawah dada penderita. Apabila
selang terputus dari botol, maka dokter harus menginstruksikan penderita untuk
31
mengeluarkan nafas sebanyak mungkin dan menginstruksikan untuk batuk. Manuver ini
menyebabkan pengeluaran udara sebanyak mungkin dari udara di ruang pleura. Dokter
perlu membersihkan ujung selang dan menghubungkan kembali selang ke botol dengan
cepat. (Clini, 2005, Ambrosino, 2010)

Saat melakukan mobilisasi, yang harus diperhatikan undulasi pada selang WSD.
Bila undulasi tidak ada, berbagai kondisi dapat terjadi antara lain :

a. Motor suction tidak berjalan

b. Posisi tak tepat, selang terlipat atau selang tersumbat akibat pengumpulan bekuan
atau cairan pada selang dapat merubah tekanan negatif yang diinginkan

c. Kekusutan atau gulungan atau tekanan pada selang drainase dapat menghasilkan
tekanan balik dan dengan demikian dapat mendorong drainase kembali dalam ruang
pleura.

d. Paru-paru telah mengembang (Laws 2003, Ambrosino, 2010)

4.4.5. Koreksi Postur Dan Latihan Gerak Sendi Bahu

Penderita dengan pemasangan WSD cenderung menegangkan otot-otot leher, otot


dada dan bahu serta otot dinding perut, yang menyebabkan pernapasan tidak efisien. Di
samping itu postur tubuh menjadi bungkuk dengan bahu yang naik akibat dari posisi
menahan nyeri. Lakukan koreksi postur secara rutin dan latihan rentang gerak untuk
lengan dan bahu dari sisi yang sakit beberapa kali sehari. Anlgesik mungkin diperlukan.
Latihan membantu mencegah kaku pada bahu, dan membantu dalam mengurangi nyeri
dan rasa tidak nyaman pasca operasi. (Charnock 2001, Pryor 2008)

32
Gambar 4.8. Latihan luas gerak sendi bahu (Pryor, 2008)

33
BAB V

PENUTUP

Water Seal Drainage (WSD) adalah suatu tindakan invasif yang dilakukan dengan
memasukkan suatu kateter atau selang kedalam rongga pleura dengan maksud untuk
mengeluarkan udara atau cairan dari rongga tersebut agar mampu mengembang atau berekspansi
kembali secara normal. WSD atau dikenal juga sebagai tube thoracostomy adalah salah satu
modalitas terapi yang paling efektif untuk dua kelainan kompresi dari cavum pleura yakni
pneumothoraks dan efusi pleura. WSD memungkinkan drainase dari udara, darah, pus,cairan
serous atau cairan – cairan abnormal lain yang berasal dari cavum pleura dengan hanya satu arah,
yakni dari cavum pleura menuju ke botol WSD yang akan menariknya.

Pada penderita-penderita yang dilakukan pemasangan WSD ataupun pembedahan pada


daerah thorax akan mengalami gangguan dan masalah pada daerah yang terpasang kateter atau
selang WSD akibat ketidakefektifan pola pernapasan berhubungan dengan ekspansi paru yang
tidak maksimal. Rehabilitasi medik sangat berperan penting dalam meningkatkan kondisi
penderita setelah pemasangan WSD. Intervensi rehabilitasi akan meliputi fisioterapi dada,
mobilisasi dini dan manajemen nyeri akibat ketidaknyamanan dari pemasangan WSD.

34
DAFTAR PUSTAKA

1. R. Durai, H. Hoque, T.W. Davies,. 2010. Managing a chest tube and drainase system,
AORN, 91(2), pp. 275–283.
2. H.M Mohammed, 2015. Chest tube care in critically ill patient: A comprehensive review,
Egyptian Journal of Chest Diseases and Tuberculosis, 64, pp.849–855

3. Tabrani Rab , Ilmu Penyakit Paru, Bandung: Hipokrates (1996)

4. J.C. English, K.O. Leslie, 2006. Pathology of the pleura, Clin. Chest Med. 27(2), pp.157–
180.
5. M. Domke, 2010. Getting a positive outcome from negative pressure, Nurs. Made
Incredibly Easy, 8 (1), pp.20–29
6. M. Buaman, C. Handley, 2011. Chest tube care: the more you know, the easier it gets,
Am. Nurse Today, 6(9), pp. 27–32.
7. A.M. Coughlin, C. Parchinsky, 2006. Go with the flow of chest tube therapy, Nursing,
36(3), pp.36–41.
8. C.J. Kane, N.L. York, L.A. Minton, 2013. Chest tubes in the critically ill patient, Dimens.
Crit. Care Nurs. 32(3),pp. 111–117
9. S. Gupta, M.E. Hicks, M.J. Wallace, et al, 2008. Outpatient management of postbiopsy
pneumothorax with small-caliber chest tubes: factors affecting the need for prolonged
drainase and additional intervention, Cardiovasc. Intervent. Radiol. 31 (12), pp.342–348
10. R. S. George, K. Papagiannopoulos, 2016. Advances in chest drain management in
thoracic disease, Journal Thorac Disc, 8 (1), pp.55-S64
11. C Zisis, K Tsirgogianni, et al, 2015. Chest Drainase Systems In Use, Ann
Transl Med, 3(3),pp. 43
12. Webber, B.A.. 1998. ‘Surgical conditions’, in The Brompton Hospital Guide to Chest
Physiotherapy, Fifth Edition, Blackwell Scientific Publications, Victoria,pp. 79-108
13. Kusumastuti, P., 2002. ‘Rehabilitasi Bedah Paru : Latihan Pra dan Pasca Operasi’, in
Rachmad, K.B., Penanganan Trauma Thoraks, Pendidikan Berkelanjutan untuk Ahli
Bedah, , Subbagian Bedah Thoraks, Bagian Ilmu Bedah FKUI/RSUPNCM, Jakarta,pp.
95-101
35
14. Ambrosino N, Gabbrielli L. 2010. Physiotherapy in the perioperative period. Best Pract
Res Clin Anaesthesio, 24, pp.283–289.
15. Clini E, Ambrosino N. 2005. Early physiotherapy in the respiratory intensive care unit.
Respir Med , 99, pp.1096–1104.
16. Laghi F, Tobin MJ. 2003. Disorders of the respiratory muscles. Am J Respir Crit Care
Med,168, pp.10–48.
17. Wynne R, Botti M: 2004. Postoperative pulmonary dysfunction in adults aftercardiac
surgery with cardiopulmonary bypass: clinical significance and implications for practice.
Am J Crit Care, 13,pp.384–393.
18. Hulzebos EH, Helders PJ, Favié NJ, De Bie RA, Brutel de la Riviere A, Van Meeteren
NL: 2006. Preoperative intensive inspiratory muscle training to prevent postoperative
pulmonary complications in high-risk patients undergoing CABG surgery. A randomized
clinical trial. JAMA, 296,pp.1851–1857.
19. Savci S, Degirmenci B, Saglam M, Arikan H, Inal-Ince D, Turan HN, Demircin M. 2011.
Short-term effects of inspiratory muscle training in coronary artery bypass graft surgery:
a randomized controlled trial. Scand Cardiovasc J. 45,pp.286–293.
20. Gonzales P.E, Novoa M.N. 2014. Transcutaneal Electrical Nerve Stimulation Reduces
Pain and Ipsilateral Shoulder Pain. A Porspective Random Study. Archivos De
Bronconeumologia, 51 :621-628
21. Nomori H, Kobayashi R, Fuyuno G, Morinaga S, Yashima H. 1994. Preoperative
respiratory muscle training: assessment in thoracic surgery patients with special reference
to postoperative pulmonary complications, 105, pp.1782–1788.
22. Moodie L, Reeve J, Elkins M. 2011. Inspiratory muscle training increases inspiratory
muscle strength in patients weaning from mechanical ventilation: a systematic review. J
Physiother, 57,pp.213–221.
23. Laws D, Neville E, Duffy J. 2003. BTS guidelines for the insertion of a chest drain.
Thorax, 58(2), pp. 53
24. Charnock Y, Evans D.2001. Nursing management of chest drains: a systematic review.
Australian Critical Care, 14(4), pp. 156-60.
25. Pryor JA, Prasad AS. 2008. Physiotherapy for respiratory and cardiac problems: adults
and paediatrics. Elsevier Health Sciences
36
37

Anda mungkin juga menyukai