Anda di halaman 1dari 52

LAPORAN KASUS

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA LOW BACK PAIN WITH

RADICULAR PAIN ET CAUSA SYNDROME PIRIFORMIS

OLEH :

NURHIDAYAH

PO.71.3.241.17.1.036

KEMENTRIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR

PROGRAM STUDI DIPLOMA III

JURUSAN FISIOTERAPI

TAHUN 2019/2020
2

LEMBAR PENGESAHAN

Laporan klinik atas nama NURHIDAYAH Nim : PO.71.3.241.17.1.036 dengan judul

“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Low Back Pain With Radicular Pain Et Causa

Syndrome Piriformis” telah disetujui untuk diajukan sebagai salah satu persyaratan

dalam menyelesaikan praktek klinik di RSUD kota Makassar Mulai tanggal 17 Februari

2020 – 02 Mei 2020.

Makassar,17 Februari 2020

Mengetahui,

Pembimbing klinik Pembimbing Akademik

Ilmiati Janin.S.ST.FT Anshar,SPd.S.FT.Physio.M.Kes

NIP. 197505 1420 0604 2 021 NIP. 19641511 198803 1 001


3

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Puji syukur kehadirat ALLAH SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga

penulis dapat menyelesaikan laporan ini dengan tepat waktu. Pada kesempatan kali ini

penulis menyajikan materi yang berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Low

Back Pain with Radicular Pain Et Causa Syndrome Piriformis” Dalam menulis

laporan ini, tentu saja penulis mengalami beberapa kesulitan. Namun dengan usaha dan

kesungguhan dalam mengerjakan penyusunan laporan ini akhirnya dapat menyajikan

laporan ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak

yang ikut berpartisipasi. Terkhusus kepada Pembimbing Klinik RSUD Kota Makassar

Penulis berharap laporan yang disusun ini dapat bermanfaat bagi kita semua

khususnya yang membaca. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan klinik

ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran

yang membangun agar laporan ini dapat lebih baik lagi.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Penulis
4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sindrom piriformis sering diabaikan secara spesifik pada kasus nyeri

pinggang bawah. Sindrom piriformis memiliki kemiripan dengan nyeri

pinggang. Ketegangan salah satu otot piriformis dapat menyebabkan disfungsi

rotasi dan nyeri di daerah pinggang yang dapat menjadi pemicu timbulnya nyeri

punggung bawah yang menjadi masalah umum musculoskeletal dan alasan

utama keterbatasan aktifitas (Elbkheet et al, 2016).

Menurut studi terbaru, persentase sindrom piriformis dikaitkan dengan

nyeri punggung bawah ditemukan jauh lebih tinggi. Modifikasi FAIR test

dengan Lasegue's test menunjukkan bahwa 17,2% nyeri punggung bawah

berhubungan dengan sindrom piriformis (Elbkheet et al.,2016).

Sindrom piriformis merupakan keluhan umum dengan insidensi sekitar

60–90% selama hidup seseorang. Frekuensi sindrom piriformis diperkirakan

hampir 6% dari total kasus iskialgia dalam praktek dokter keluarga di AS,

sementara di Indonesia belum ada data. Beberapa laporan menunjukkan rasio

angka kejadian perempuan dibanding laki-laki 6:1 (Rizal, 2010).

Insiden dari piriformis syndrome hingga sekarang belum jelas, namun

diduga sekitar 6% sampai 36% piriformis syndrome menjadi penyebab dari low

back pain dan sciatica. Piriformis syndrome paling sering terjadi didekade

keempat dan kelima kehidupan yang sering memengaruhi individu di berbagai


5

tingkatan aktivitas dan pekerjaan. Dalam suatu penelitian ditemukan, 26 dari

3.550 kasus nyeri punggung bawah yang menderita piriformis syndrome, dan 50

% diantaranya memiliki riwayat trauma di pantat atau hip / lower back torsional

injury (Mukhil, 2016).

Dalam kasus ini Leon Chaitow dan Judith Walker Delany

merekomendasikan penggunaan MET dalam peregangan otot Piriformis

(Mukhil, 2016).

Muscle Energy Technique (MET) adalah intervensi terapi manual yang

lembut diarahkan pada sendi atau otot yang melibatkan kontraksi secara sadar

oleh pasien terhadap kekuatan yang diterapkan dari terapis. Selama prosedur,

otot yang terlibat diregangkan dengan lembut hingga batas bebas rasa sakit

(Sami Kucuksen al, 2013).

B. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam laporan kasus ini adalah bagaimana penatalaksanaan

Fisioterapi pada low back pain with radicular pain et causa syndrome

piriformis?

C. Tujuan

Tujuan penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahui penatalaksanaan

Fisioterapi pada low back pain with radicular pain et causa syndrome

piriformis?
6

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. TINJAUAN SYNDROM PIRIFORMIS

1. Definisi Syndrom Piriformis

Sindrom piriformis adalah kondisi dimana otot piriformis yang terletak di

area bokong mengalami ketegangan dan kekakuan, sehingga menjepit saraf

sciatic yang berjalan di antara otot-otot piriformis tersebut dan timbul gejala

seperti nyeri pinggul (sciatic) akibat jepitan saraf sciatic di daerah bokong

(pantat). Piriformis adalah otot kecil yang terletak jauh di dalam bokong (di

belakang otot gluteus maximus). Dimulai pada tulang punggung bagian bawah

dan terhubung ke permukaan atas tulang paha (femur). Berjalan secara diagonal,

dengan secara vertikal langsung di bawahya (meskipun pada beberapa orang

saraf dapat berjalan melalui otot (Suk et al, 2016).

2. Anatomi Fisiologi

a. Myologi

M. Piriformis

Origo : Os sacrum Fasia pelvis

Insertio : Bertendon pada ujung trochanter major

Persarafan : N. Ischiadikus

Fungsi : Abduksi hip, dan eksorotasi.


7

Otot piriformis berperan sebagai eksternal rotator hip, abduktor hip

yang lemah, dan fleksor hip yang lemah, serta memberikan stabilitas

postural selama ambulasi dan berdiri. Otot piriformis berorigo pada

permukaan anterior sacrum, biasanya pada level vertebra S2 – S4, atau

mendekati kapsul sacroiliaca joint. Otot ini berinsersio pada bagian

medial superior dari trochanter mayor melalui tendon yang

mengelilinginya dimana pada beberapa individu bersatu dengan tendon

obturator internus dan gemellus. Otot ini dipersarafi oleh saraf spinal

S1 dan S2, dan kadang-kadang juga oleh L5.

Otot piriformis termasuk group otot external rotator hip bersama 5

otot lainnya yaitu obturator externus dan internus, gemellus superior dan

inferior, dan quadratus femoris. Otot piriformis merupakan otot yang

paling superior dari group otot ini dan sedikit diatas dari hip joint.

Otot piriformis memiliki variasi hubungan dengan saraf sciatic.

Sebanyak 96% populasi, memiliki saraf sciatic yang muncul pada

foramen deep sciatic yang besar sepanjang permukaan inferior dari otot

piriformis. Namun terdapat 22% populasi memiliki saraf sciatic yang

memotong otot piriformis, split atau membelah otot piriformis, atau

kedua-duanya sehingga dapat menjadi faktor resiko dari sindrome

piriformis. Saraf sciatic berjalan secara sempurna melalui muscle belly

otot, atau saraf tersebut berjalan membelah dengan satu cabang (biasanya
8

bagian fibular) memotong otot piriformis dan cabang lainnya (biasanya

bagian tibial) berjalan kearah inferior atau superior sepanjang otot

piriformis. Jarang saraf sciatic muncul pada foramen sciatic yang besar

sepanjang permukaan superior dari otot piriformis.

Saraf sciatic merupakan seberkas saraf sensorik dan motorik yang

meninggalkan fleksus lumbosakralis dan menuju ke foramen

infrapiriformis, kemudian keluar pada permukaan belakang tungkai

dipertengahan lipatan pantat. Saraf sciatic mengandung saraf sensorik

yang berasal dari radiks posterior L4 – S3. Pada spasium poplitea, saraf

sciatic bercabang dua dan jauh lebih ke distal tidak lagi menyandang

nama saraf sciatic (saraf ischiadikus). Kedua cabang saraf tersebut adalah

saraf peroneus komunis dan saraf tibialis.

b. Neurologi

Serabut saraf yang keluar dari vertebralumbal 4 – 5 dan sakral 1–3. N.

Ischiadicus meninggalkan pelvis melalui foramen ischiadikus major

turun diantara trochantor mayor os femur dan tuberositas ischiadikus di

sepanjang permukaan posterior paha ke ruang poplitea dimana serabut

saraf ini berakhir dan bercabang menjadi n. tibialisdan n. peroneus

commuis
9

3. Biomekanik

Osteokinematika dan Artrokinematika Hip joint memiliki 3 bidang gerak

yaitu : bidang gerak sagital (fleksi–ekstensi), frontal(abduksi–adduksi) & trans-

versal (internal–eksternal rotasi). ROM Gerakan Abduksi 0– 40 o, Adduksi 0–

250, Eksorotasi 0–45o, Endorotasi 0–30o, Fleksi 0–120o, Ekstensi 0– 150

Hip joint merupakan triaxial joint, karena memiliki 3 bidang gerak. Hip

joint juga merupakan hubungan proksimal dari extremitas inferior.

Dibandingkan dengan shoulder joint yang konstruksinya untuk mobilitas, hip

joint sangat stabil yang konstruksinya untuk menumpuh berat badan. Selama

berjalan, gaya dari extremitas inferior ditransmisikan keatas melalui hip ke

pelvis & trunk, dan aktivitas extremitas inferior lainnya. Dalam suatu gerak

fungsional, terjadi hubungan antara pelvic girdle dan hip joint pelvic girdle akan

mengalami tilting dan rotasi selama gerakan femur. Hubungan tersebut hampir

sama dengan hubungan scapula dengan shoulder joint, perbedaannya adalah


10

scapula kiri & kanan dapat bergerak bebas sedangkan pelvic hanya dapat

bergerak sebagai satu unit. Hip joint dibentuk oleh caput femur yang konveks

bersendi dengan acetabulum yang konkaf. Hip joint adalah ball and socket

(spheroidal) triaxial joint. Acetabulum terbentuk dari penyatuan os ilium,

ischium, dan pubis. Seluruh acetabulum dilapisi oleh cartilago hyaline, & pusat

acetabulum terisi oleh suatu massa jaringan lemak yang tertutup oleh membran

synovial.

Jaringan fibrokartilago yang melingkar datar di acetabulum disebut

dengan labrumacetabular, yang melekat disekeliling margo acetabulum. Labrum

acetabular menutupcartilago hyaline & sangat tebal pada sekeliling acetabulum

dari-pada pusatnya hal ini menambah kedalaman acetabulum. Acetabulum

terletak di bagian lateral pelvis, menghadap ke lateral, anterior & inferior.Caput

femur secara sempurna ditutup oleh cartilago hyaline. Pada pusat caput femurter

dapat lubang kecil yang dinamakan dengan fovea capitis tidak ditutup oleh

cartilage hyaline. Caput femur membentuk sekitar 2/3 dari suatu bola. Caput

femur berbentuk sphericaldan menghadap kearah anterior, medial dan superior.

Hip joint diperkuat oleh kapsul sendi yang kuat, ligamen iliofemoral,

pubofemoral, dan ischiofemoral. Hip joint juga diperkuat olehligamen transverse

acetabular yang kuat & bersambung dengan labrum acetabular. Ligamenteres

femoris merupakan ligamen triangular yang kecil, melekat pada apex fovea

capitis dekat pusat caput femur ke tepi ligamen acetabular. Ligamen teres

femoris berfungsi sebagai pengikat caput femur ke bagian bawah acetabulum

dan memberikan stabilisator yang kuat didalam sendi (intraartikular).


11

Stabilisator bagian luar dihasilkan oleh 3 liga-men yang melekat pada

collum/neck femur yaitu : ligamen iliofemoral, pubofemoral & ischiofemoral.

Ligamen iliofemoral disebut juga ligamen “Y”, karena arah serabut mirip huruf

Y terbalik.

Ligamen iliofemoral memperkuat kapsul sendi bagian anterior. Ligamen

pubofemoral terdiridari ikatan serabut yang kecil pada kapsul sendi bagian

medial anterior dan bawah. Ligamenischiofemoral merupakan ligamen

triangular yang kuat pada bagian belakang kapsul.

4. Etiologi

Sindrom piriformis dapat dibagi atas penyebab primer dan sekunder.

Penyebab primer terjadi akibat kompresi saraf langsung akibat trauma atau

faktor intrinsik otot piriformis, termasuk variasi anomali anatomi otot, hipertrofi

otot, inflamsi kronik otot, dan perubahan sekunder akibat trauma semacam

pelengketan. Penyebab sekunder termasuk gejala yang terkait lesi massa dalam

pelvis, infeksi, anomalia pembuluh darah atau simpai fibrosis yang melintasi

saraf, bursitis tendon piriformis, inflamasi sacroiliaca, dan adanya titik-titik picu

myofascial. Hiperlordosis lumbal dan kontraktur panggul pada posisi fleksi

meningkatkan regangan musculus piriformis juga cenderung menyebabkan

genjala sindrom piriformis. Pasien dengan kelemahan otot-otot abductor atau

ketimpangan panjang tungkai bawah juga cenderung mengalami sindrom ini

(Rizal, 2010).

Ada beberapa penyebab terjadi sindrom piriformis, yaitu :

a. Trauma ke bagian pantat / gluteal.


12

b. Stenosis tulang belakang.

c. Variasi anatomi dari pembagian saraf sciatik

d. Ketika saraf sciatik melewati foramen skiatika yang lebih besar, saraf ini

berada di dekat otot piriformis. Nyeri terjadi akibat kompresi saraf skiatik

oleh otot piriformis.

e. Laminektomi.

f. Injeksi intragluteal.

g. Hipertrofi dan kejang otot piriformis.

h. Latihan berlebihan

i. Perbedaan panjang kaki (menyebabkan perubahan biomekanik yang

menyebabkan peregangan dan pemendekan otot piriformis (fred, 2019).

Sejumlah faktor etiologis yang mungkin menjelaskan keberadaan sindrom

piriformis pada kebanyakan pasien penyebab sindrom piriformis tidak dapat

diidentifikasi. Trauma gluteal sebelumnya dapat menyebabkan nyeri seperti

nyeri pada panggul hal ini mungkin merupakan penyebab paling umum dari

sindrom piriformis. variasi anomali anatomi otot seperti piriformis ganda dan

varian dari perjalanan saraf skiatik, saraf kutaneus posterior, inferior, saraf

gluteal, dan saraf glutealis superior dapat mempengaruhi terjadinya sindrom

piriformis (Danilo, 2013)

5. Patofisiologi

Mekanisme nyeri akibat sindrom piriformis adalah hiperlordosis lumbal

dan kontraktur panggul pada posisi fleksi meningkatkan regangan musculus

piriformis juga cenderung menyebabkan gejala sindrom piriformis. Pasien


13

dengan kelemahan otot-otot abduktor atau ketimpangan panjang tungkai bawah

juga cenderung mengalami sindrom ini. Perubahan biomekanika gaya berjalan

(gait) sebagai penyebab hipertrofi musculus piriformis dan inflamasi kronik,

juga akan memunculkan sindrom piriformis. Dalam proses melangkah, saat fase

berdiri (stance phase) musculus piriformis teregang sejalan dengan beban pada

panggul yang dipertahankan dalam posisi rotasi internal. Saat panggul

memasuki fase ayun (swing phase), musculus piriformis berkontraksi dan

membantu rotasi eksternal. Musculus piriformis tetap dalam kondisi teregang

selama proses melangkah dan cenderung lebih hipertrofi dibanding otot lain di

sekitarnya. Setiap abnormalitas proses melangkah yang melibatkan panggul

dengan posisi rotasi internal atau adduksi yang meningkat dapat semakin

meregangkan musculus piriformis (Rizal, 2010).

Trauma tumpul dapat menyebabkan hematom dan fibrosis di antara nervus

ischiadicus dan otot-otot rotator eksternal pendek, salah satu pemicu gejala

sindrom ini; suatu studi menunjukkan di antara 15 pasien sindroma piriformis

pasca trauma langsung di area pantat, aktifitas normal kembali 2 bulan setelah

operasi pembebasan tendon piriformis tendon dan neurolisis nervus ischiadicus

(Rizal, 2010).

Radikulopati lumbal bagian bawah mengakibatkan iritasi sekunder

musculus piriformis yang nantinya akan memperumit diagnosis dan

memperlambat fisioterapi metode peregangan punggung bawah dan panggul

karena memperberat gejala-gejala sindrom piriformis (Rizal, 2010)

6. Manifestasi Klinis
14

Beberapa tanda dan gejala yang dapat timbul sebagai akibat dari adanya

sindrom piriformis adalah sebagai berikut:

a. Keluhan yang khas adalah kram atau nyeri di pantat atau di area

hamstring.

b. Nyeri ischialgia sampai kaki tanpa nyeri punggung

c. Ganggguan sensorik maupun motorik sesuai distribusi saraf ischiadicus.

d. Keluhan pasien dapat pula berupa nyeri yang semakin menjadi saat

membungkuk, berlama-lama duduk, bangun dari duduk, atau saat

melakukan gerakan internal rotasi hip, juga nyeri saat miksi/defekasi dan

dyspareunia (Rizal, 2010).

B. TINJAUAN ASSESMENT DAN PENGUKURAN FISIOTERAPI

1. Tinjauan Assesment

a. Anamnesis

Anamnesa merupakan suatu tindakan pemeriksaan yang dilakukan dengan

mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung (auto anamnesis)

ataupun dengan mengadakan Tanya jawab kepada pasien secara langsung

(hetero anamnesis) mengenai kondisi/ keadaan penyakit pasien. Dengan

melakukan anamnesis ini akan diperoleh informasi-informasi penting untuk

membuat diagnosis. Anamnesis dikelompokan menjadi dua yaitu anamnesis

umum dan anamnesis khusus. Pada kasus ini berdasarkan auto anamnesis pada

tanggal 17 Februari 2020 diperoleh informasi sebagai berikut :

a) Anamnesis Umum
15

Identitas pasien

Data identitas pasien yang diperoleh berupa  nama, jenis kelamin,

umur, agama, pekerjaan, serta alamat pasien.

b) Anamnesis Khusus

(1) Keluhan utama

Merupakan satu atau lebih keluhan atau gejala dominan yang

mendorong penderita untuk mencari pertolongan.

(2) Kapan terjadi

(3) Riwayat penyakit sekarang

Merupakan rincian keluhan dan menggambarkan proses

terjadinya riwayat penyakit secara kronologis dengan secara jelas

dan lengkap. Yang isinya kapan mulai terjadinya, sifatnya seperti

apa, manifestasi lain yang menyertai, penyebab sakit, dan lain-

lain.

(4) Riwayat penyakit dahulu / penyerta

Pertanyaan diarahkan pada penyakit-penyakit yang pernah

dialami yang tidak berkesinambungan dengan munculnya

keluhan sekarang.

a. Riwayat pribadi

Riwayat pribadi adalah hal-hal atau kegiatan sehari-hari yang

dilakukan pasien menyangkut hobi atau kebiasaan yang

berkaitan dengan penyebab Low Back Pain.

b. Riwayat penyakit keluarga


16

Riwayat keluarga adalah penyakit-penyakit yang bersifat

menurun dari orang tua atau keluarga yang berhubungan

dengan Low Back Pain.

c. Riwayat Perjalanan Penyakit

Pemeriksaan yang dilakukan dibagi menjadi dua, antara lain:

1. Pemeriksaan fisik

a. Tanda – tanda Vital

Pemeriksaan tanda-tanda vital diperoleh data sebagai

berikut:tekanan darah, denyut nadi, pernafasan, temperatur, tinggi

badan, berat badan.

b. Inspeksi

Inspeksi adalah pemeriksaan dengan cara melihat dan mengamati.

Ada dua macam yaitu inspeksi statis dan inspeksi dinamis.

Inspeksi statis adalah inspeksi dimana pasien dalam keadaan

diam, sedangkan inspeksi dinamis adalah inspeksi dimana pasien

dalam keadaan bergerak.

c. Palpasi

Palpasi adalah pemeriksaan dengan cara meraba, menekan dan

memegang bagian tubuh pasien yang akan diperiksa atau yang

dikeluhkan pasien.

2. Pemeriksaan Spesifik

a. Tes Bragard
17

Modifikasi test laseque dengan mendorsofleksikan kaki

sewaktu straight leg rising test sehingga peregangan terhadap

nervus isiadikus maupun penekanan pada radiks di perbesar.Tes

ini merupakan modifikasi dari tes laseque atau SLR dan cara

melakukan tes sama dengan tes laseque atau SLR hanya waktu

mengangkat tungkai disertai dorsifleksi kaki untuk hasilnya atau

interpretasinya sama dengan laseque atau SLR (Tjokorda, 2009).

Namun dalam penderita nyeri punggung bawah miogenik hasil

tes ini negatif, karena tidak ada keterlibatan radik vertebra

(Willms, 2005).

c) FAIR test (flexi, adduksi, internal rotasi)

untuk mendeteksi adanya iritasi nervus sciatik akibat syndrome

piriformis. Posisi pasien terlentang fisioterapis berdiri di sisii lateral

tungkai yang akan di test. Satu tangan di letakkan di knee pasien dan

satu tngan lagi di pada bagian bawah tumit. Kemudian gerakan

tungkai pasien ke arah fleksi (hip 90 derajat knee 90 derajat)

endorotasi dan adduksi.

2. Tinjauan Pengukuran Fisioterapi

a. Visual Analog Scale (VAS)

Visual analog Scale atau VAS adalah sebuah pengukuran intensitas

nyeri unidimensional, yang secara luas banyak digunakan dalam penelitian

klinis.
18

VAS digunakan untuk mebgukur kwantitas dan kwalitas nyeri yang

pasien rasakan, dengan menampilkan suatu kategorisasi nyeri mulai dari

“tidak nyeri, ringan, sedang, atau berat”.

Secara operasional VAS umumnya berupa sebuah garis horizontal

atau vertikal, panjang 10cm (100mm). Pasien menandai garis dengan

memberikan sebuah titik yang mewakili keadaan nyeri yang dirasakan saat

ini.

Gambar 3.1 Visual Analog Scale (VAS)

Parameter VAS :

0-1 = tidak nyeri

1-2 = nyeri ringan

3-6 = nyeri sedang

7-8 = nyeri berat

9-10 = nyeri sangat berat

b. Oswetry Disability Index (ODI)

Diperkenalkan pertama kali pada tahun 1980 oleh Jeremy

Fairbank, Oswetry Disability Index (ODI) adalah metode deteksi skala


19

nyeri yang bertujuan untuk mengukut derajat kecacatan, pun indeks

kualitas hidup dari pasien penderita nyeri, khususnya nyeri pinggang.

Pada penerapannya, pasien akan diminta melakukan serangkaian

tes guna mengidentifikasi intensitas nyeri, kemampuan gerak motorik,

kemampuan berjalan, duduk, fungsi seksual, kualitas tidur, hingga

kehidupan pribadinya. Dari sini, dokter dapat mengetahui skala nyeri dan

memastikan apa penyebab utama dari nyeri yang dirasakan tersebut.

Skor ODI :

0% –20%: Kecacatan minimal

21% –40%: Kecacatan Sedang

41% –60%: Cacat Berat

61% –80%: Nyeri punggung yang melumpuhkan

81% –100%: Pasien-pasien ini terikat di tempat tidur atau

memiliki gejala yang berlebihan.

c. Pemeriksaan Kekuatan Otot (MMT)

Pemeriksaan kekuatan otot ini dilakukan untuk membantu menegakkan

diagnosa fisioterapi dan jenis latihan yang akan diberikan, serta dapat

menentukan prognosis dan dapat digunakan sebagai bahan evaluasi. Maka

pemeriksaan kekuatan otot dianggap penting. Parameter yang digunakan

untuk mengetahui nilai kekuatan otot adalah pemeriksaan kekuatan otot

secara manual atau sering disebut Manual Muscle Testing (MMT) dengan

ketentuan sebagai berikut :


20

Nilai Keterangan
Nilai 0 Otot benar-benar diam pada palpasi atau inspeksi visual
(tidak ada kontraksi)
Nilai 1 Otot ada kontraksi, baik dilihat secara visual atau palpasi,
ada kontraksi satu atau lebih dari satu otot
Nilai 2 Gerak pada posisi yang meminimalkan gaya gravitasi.
Posisi ini sering digambarkan sebagai bidang horizontal
gerakan tidak full ROM
Nilai 3 Gerak melawan gravitasi dan full ROM
Nilai 4 Resistance Minimal
Nilai 5 Resistance Maksimal

C. TINJAUAN INTERVENSI FISIOTERAPI

1. Microwave Diathermy (MWD)

a) Definisi Terapi Microwave Diathermy (MWD)

Microwave Diathermy merupakan suatu pengobatan dengan menggunakan

stessor fisi berupa energi elektromagnetik yang dihasilkan oleh arus bolak-

balik frekuensi 2450 MHz dengan panjang gelombang 12,25 cm.

b) Prosedur Microwave Diathermy (MWD)

Arus dari mesin mengalir ke elektrode melalui co-axial cable, yaitu suatu

kabel yang terdiri dari serangkaian kawat ditengah yang diselubungi oleh

selubung logam yang dikelilingi suatu benda isolator Kawat dan selubung

logam yang dikelilingi suatu benda isolator. Kawat dan selubung logam tadi

berjalan sejajar dan membentuk sebagai kabel output dan kabel bolak-balik

dari mesin. Konstruksi kabel semacam ini diperlukan untuk arus frequensi

yang sangat tinggi dan panjangnya tertentu untuk suatu pengobatan.

c) Efek Terapeutik Microwave Diathermy (MWD) 

(1) Nyeri, hipotonus dan gangguan vascularisasi


21

(2) Menurunkan nyeri, normalisasi tonus otot melalui efek

sedative, serta perbaikan metabolisme.

(3) Penyembuhan luka pada jaringan lunak

(4) Meningkatkan proses perbaikan atau respirasi secara

fisiologis.

(5) Kontraktur jaringan

(6) Dengan penigkatan elastisitas jaringan lunak, maka dapat

mengurangi proses kontraktur jaringan.

(7) Gangguan konduktivitas dan ambang rangsang jaringan

saraf

(8) Apabila elastisitas dan ambang rangsang jaringan saraf

semakin membaik, maka konduktivitas jaringan saraf akan

membaik pula.

 Dengan efek-efek dari Microwave Diathermy (MWD) maka akan

terjadi peningkatan sirkulasi, normalisasi jaringan otot dan tendon, serta

pebaikan metabolisme sehingga persepsi nyeri pada jaringan ikat akan

menurun.. 

2. Transcutaneuous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

a. Pengertian

Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation (TENS) merupakan suatu

cara penggunaan energi listrik yang digunakan untuk merangsang sistem saraf dan

peripheral motor yang berhubungan dengan perasaan melalui permukaan kulit


22

dengan penggunaan energi listrik dan terbukti efektif untuk merangsang berbagai

tipe nyeri. TENS mampu mengaktivasi baik syaraf berdiameter besar maupun

kecil yang akan menyampaikan berbagai informasi sensoris ke saraf pusat.

Efektifitas TENS dapat diterangkan lewat teori gerbang kontrol.

Penggunaan TENS terbukti bermanfaat dalam mengurangi nyeri pada

beberapa penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya. Penelitian Facci et al.

(2011) pada subjek dengan diagnosis nyeri punggung bawah menyimpulkan

bahwa terjadi penurunan nyeri dengan penggunaan TENS ber durasi 330 µdetik

dan frekuensi 20 Hz. (Sari,2016).

TENS memiliki tiga bentuk pulsa, antara lain adalah:

1) Monophasic memiliki bentuk gelombang rectangular, trianguler dan

gelombang separuh sinus searah.

2) Biphasic memiliki bentuk gelombang simetris.

3) Polyphasic ada rangkaian gelombang sinus dan bentuk interfensi atau

campuran.

Pulsa monophasic selalu mengakibatkan pengumpulan muatan

listrik pulsa dalam jaringan sehingga akan terjadi reaksi elektrokimia

dalam jaringan yang ditandai dengan rasa panas dan nyeri apabila

penggunaan intensitas dan durasi terlalu tinggi.

Modifikasi Intensitas

Intensitas pulsa yang memadai durasi pulsa akan memberikan

energi listrik ke dalam suatu jaringan pada tiap-tiap fase dari pulsa

disebut muatan pulsa. dengan kata lain muatan pulsa ditentukan oleh
23

intensitas arus dan durasi pulsa. Intensitas tersebut juga berpengaruh

dalam menentukan besarnya muatan arus listrik dalam pulsa dan puncak

arus listrik yang berhubungan langsung dengan penetrasi dalam jaringan.

Muatan pulsa akan menimbulkan reaksi elektrikimia pada

jaringan didalam elektroda. Ukuran elektroda juga akan menentukan

besarnya muatan listrik berkisar antara 20-200 mikrocolums per fase, per

centimeter persegi dari ukuran elektroda.

Intensitas durasi dan pulsa yang tinggi pada aplikasi stimulasi

elektris akan menimbulkan reaksi elektrokimia yang besar yang ditandai

dengan warna kemerah-merahan dan rasa nyeri pada jaringan dibaawah

elektroda. Dengan alasan ini maka dosis stimulasi elektris secara

subjektif ditentukan dengan tolerasi pasien.

Frekuensi Pulsa

Frekuesi pulsa merupakan kecepatan/pulsa rate yang terjadi pada

setiap second sepanjang durasi arus listrik yang mengalir. Frekuensi

pulsa dapat berkisar 1-200 pulsa/detik. Frekwensi juga menyebabkan tipe

respon terhadap motoris maupun sensoris. Frekwensi pulsa tinggi >100

pulsa/detik menimbulkan respon kontraksi tetanik dan sensibilitas

getaran sehingga otot cepat lelah.

Frekuensi arus listrik rendah cenderung bersiafat iritatif terhadap

jaringan kulit sehingga dirasakan nyeri apabila intensitas tinggi. Arus

listrik frekwensi menengah bersifat lebih lebih konduktif untuk stimulasi


24

elektris, karena tidak menimbulkan tahanan kulit atau tidak bersifat

iritatif dan mempunyai penetrasi yang lebih dalam.

Penerapan Elektroda

Penempatan elektrode tidak terbatas pada daerah nyeri saja, tetapi

penempatan elektroda pada daerah nyeri memberikan hasil yang baik

terhadap penurunan tingkat nyeri. bisa juga penempatan elektrode pada

area dermatome, trigger dan pada titik acupuntur.

1) Di sekitar nyeri

Penempatan pada daerah nyeri paling mudah dan paling sering

digunakan.

2) Area dermatom

Mannheim menyarankan 3 cara teknik pada area dermatom yang

mungkin dapat digunakan:

a) Penempatan pada area dermatom yang terlibat.

b) Penempatan pada lokasi spesifik dalam area dermatom.

c) Penempatan pada dua tempat yaitu di anterior dan di posterior

dari suatu area dermatom tertentu.

3) Acupuntur, trigger dan motor point

Area ini mungkin dilakukan oleh pemeriksaan dengan menggunakan

elektronik, sebab titik-titik ini jadi lebih konduktif di sekitar jaringan.

Tahanan rendah pada titik acupuntur bersesuaian pada erea

vasodilatasi atau pada aktive pseudomotor glands.

Prosedur Penerapan TENS


25

1) Persiapan alat

Tentukan prosedur yang akan digunakan, semua tombol dalam

posisi nol. Pad dibasahi terlebih dahulu, untuk pad yang

menggunakan gel diletakan pada permukaan pad yang akan di

kontakan dengan kulit pasien. Pemeriksaan alat yang akan di

gunakan. Pesiapan semua materi yang akan digunakan. Pemanasan

alat yakinkan tombol intensitaas “off”.

2) Persiapan pasien

Posisi pasien senyaman dan serileks mungkin. Periksa area yang

akan di terapi dalam hal ini: kulit harus bersih dan bebas dari lemak,

lotion. Periksa sensasi kulit. Lepaskan semua metal diarea terapi.

Sebelum memulai intervensi, terapist memberi penjelasan mengenai

cara kerja dan efek yang dapat ditimbulkan dari TENS.

3) Intervensi

Pad diletakan pada daerah nyeri, dengan durasi 15 menit dan

fekuensi 6 kali

3. Strengthening Exercises

Latihan penguatan dilakukan untuk membantu pasien meningkatkan

fungsi dari otot. Tujuan akhirnya adalah meningkatkan kekuatan, ketahanan dan

menjaga meningkatkan lingkup gerak sendinya.

Latihan closed chain dilakukan dengan posisi kaki terkunci dengan

tanah. Sebagai contohnya adalah leg squat. Tujuan latihan ini untuk

keseimbangan dan kekuatan otot extremitas bawah. Dengan melakukan legsquat


26

ini otot yang lemah yaitu quadriceps dan lawannya hamstring, keduanya

berkontraksi sehingga kekuatan dan keseimbangan kedua otot tercapai.

Proprioceptive

Propiosepsi adalah rasa untuk mengetahui letak bagian dari tubuh. Ini mungkin

merupakan konsep yang sulit. Ketika anda memegang Sesutu benda sampai anda

kehilangan benda tersebut, karena begitu banyaknya propiosepsi bekerja tanpa

anda sadari. Ketika anda kehilangan propiosepsi, sebagai contohnya sendi

pergelangan kaki setelah sprain/cidera ligament, pasien sering mengeluh

ketidakstabilan sensasi pada sendinya. Latihan propiosepsi mengarahkan tubuh

anda untuk mengontrol posisi dari sendi yang cidera.

4. Muscle Energy Technique (MET)

Muscle energy technique (MET) merupakan klasifikasi dari metode

manipulasi osteopatik pada jaringan lunak yang digabungkan secara tepat, dapat

diarahkan, dan dikendalikan yang bertujuan untuk meningkatkan fungsi

muskuloskeletal dan mengurangi rasa sakit dengan kontraksi isometrik dan

isotonic (Chaitow, 2006).

Metode MET hampir digunakan oleh seluruh ahli manual terapi dalam

penatalaksanaannya. Liebenson (chiropractic), Wilson (physical therapy), Fritz

(massage therapy) serta Crenshaw dan koleganya, semuanya menjelaskan

kegunaan MET dengan menggabungkan metodologi MET dalam prakteknya

(Chaitow, 2006).

Dokter osteopathic Ruddy, mengembangkan suatu metode pengobatan

yang melibatkan pasien secara aktif, cepat, kontraksi pulsating (berdenyut)


27

melawan tahanan, yang diberi nama dengan “rapid resistive duction”. Ruddy’s

method dinamakan sebagai rangkaian kontraksi otot cepat dan low-amplitudo

melawan tahanan, biasanya dengan 20 pulsasi dalam 10 detik. Metode kerja dari

Ruddy adalah menggunakan usaha kontraksi isometrik pulsasi yang melibatkan

otot-otot intrinsik mata dalam pendekatannya. Sekarang, pendekatan ini dikenal

sebagai pulsed MET (Chaitow, 2006).

MET dikembangkan pada tahun 1940 oleh Ferd Mitchell, Sr dan

dipublikasikan pada tahun 1979 oleh Fred Mitchell, Jr et al. Teknik ini

menggambarkan sebagai salah satu teknik yang melibatkan kontraksi otot secara

volunteer dalam salam suatu pola yang terkontrol pada segmen-segmen yang

telah ditentukan dengan jelas dan terlokalisir, yang kemudian dimobilisasi

dengan counterforce dari terapis (Chaitow, 2006).

Professor biomechanics Greenman, menjelaskan bahwa setiap sendi pada

tubuh manusia dapat bergerak melalui aksi otot yang voluntary baik secara

langsung maupun tidak langsung, hal ini dapat dipengaruhi oleh metode MET

dimana MET dapat digunakan untuk memanjangkan otot yang memendek,

kontraktur atau spastik, memperkuat secara fisiologis otot atau group otot yang

lemah, menurunkan edema yang terlokalisir, menurunkan kongesti pasif dan

untuk memobilisasi sendi dengan keterbatasan mobilitasnya (Chaitow, 2006).

Stiles merupakan salah satu dokter pelopor MET yang telah

mengembangkan MET. Saat ini, Stiles menggunakan metode MET dalam

pengobatannya sekitar 80% pasiennya dan teknik-teknik fungsional (seperti


28

strain/counterstrain) pada 15 – 20% pasiennya. Dia juga menggunakan high-

velocity thrust pada beberapa kasus.

Dari sebagian besar modalitas manipulasi yang berguna, Stiles tetap

mempertahankan “Muscle Energy Technique” (Chaitow, 2006).. Menurut

Goodridge and Kuchera, MET sebagai metode modern osteopathic menekankan

pada kontraksi yang sangat ringan dengan pertimbangan bahwa lokalisasi gaya

adalah lebih penting daripada intensitas. Lokalisasi bergantung pada palpasi

terhadap persepsi proprioceptive dari gerakan (atau tahanan melawan gerakan)

pada atau sekitar sendi yang spesifik. Monitoring dan batasan gaya terhadap

group otot atau level disfungsi somatik yang terlibat adalah penting untuk

mencapai perubahan yang diinginkan. Sebagian besar hasil yang jelek adalah

seringkali akibat lokalisasi gaya yang tidak tepat, seringkali terjadi usaha pasien

yang berlebihan (Chaitow, 2006).

a. Bentuk Aplikasi MET

Ada 2 bentuk aplikasi MET yaitu postisometric relaxation dan

reciprocal inhibition. Suatu istilah yang banyak digunakan dalam

perkembangan MET baru-baru ini adalah post isometric relaxation (PIR),

khususnya yang berkaitan dengan kerja Lewit. PIR merujuk pada anggapan

bahwa efek penurunan tonus akan terjadi padaotot atau group otot setelah

jangka waktu singkat dari kontraksi isometrik. Suatu variasi MET yang

lebih jauh dapat melibatkan respon fisiologis dari otot antagonis yang secara

isometrik berkontraksi sehingga terjadi reciprocal inhibition (Chaitow,

2006).
29

Konsep RI adalah ketika suatu otot berkontraksi secara isometrik

maka antagonis akan terinhibisi dan akan menunjukkan penurunan tonus

dengan cepat setelah kontraksi tersebut. Dengan demikian, sebagai bagian

dari prosedur MET bahwa otot atau group otot antagonist yang memendek,

dengan kontraksi secara isometrik akan mencapai derajat kenyamanan pada

otot dan terciptanya potensial gerakan tambahan pada jaringan yang

memendek. Kepentingan relatif dari proses ini berdasarkan pada penelitian

evidence based (Chaitow, 2006).

Yale (1991), masih berpegang pada pandangan bahwa suatu

kontraksi isometrik dapat mengatur otot mencapai pemanjangan baru

melalui inhibisi pada golgi tendon organ. Metode lainnya yang nampaknya

menggunakan konsep ini adalah teknik “hold-relax” dan “contract-relax”.

Liebenson, mengemukakan mekanisme yang terlibat dalam penggunaan

MET yaitu ada dua aspek yang terlibat dalam MET ; kemampuannya untuk

merelaksasikan suatu otot yang overaktif, dan kemampuannya untuk

meningkatkan stretch pada otot yang memendek atau kaitannya dengan

fascia ketika terjadi perubahan connective tissue atau viscoelastic (Chaitow,

2006). Greenman menyimpulkan syarat-syarat untuk keberhasilan

penggunaan MET dalam prosedur osteopathic sebagai kontrol, balance, dan

lokalisasi. Greenman menjelaskan elemen-elemen dasar dari MET yang

meliputi (Chaitow, 2006). :


30

1) Suatu kontraksi aktif dari pasien, yang mulai dari posisi terkontrol dan

dalam arah yang spesifik (kearah hambatan keterbatasan atau menjauhi

hambatan keterbatasan).

2) Terapis mengaplikasikan gaya lawanan yang jelas untuk mengatasi

gaya kontraksi dari pasien.

3) Derajat usaha yang dihasilkan harus terkontrol yaitu cukup untuk

memperoleh efek tetapi tidak cukup besar untuk menyebabkan trauma

atau kesulitan dalam mengontrol usaha tersebut.

Goodridge, menyimpulkan bahwa hasil yang baik dari aplikasi MET

bergantung pada akurasi diagnosis, level gaya yang tepat, dan lokalisasi

gaya yang cukup. Sebagian besar hasil terapi yang jelek seringkali

disebabkan oleh diagnosis yang kurang tepat, gaya lokalisasi yang kurang

tepat, atau gaya yang sangat kuat (Chaitow, 2006).

b. Aplikasi MET pada Sendi

Untuk mengaplikasikan prinsip-prinsip aplikasi pada suatu disfungsi

sendi dengan menganut metodologi MET maka seluruhnya diperlukan

pemahaman yang luas tentang hambatan keterbatasan sendi. Hal ini berarti

diperlukan kesadaran dan pemahaman tentang lingkup gerak normal dan

end-feel setiap sendi, sehingga perlu diketahui tentang hambatan fisiologis

dan anatomis pada sendi-sendi tertentu.

Dengan informasi tersebut dan ketajaman sense (rasa) terhadap end-

feel (merasakan akhir gerakan seperti apa dan dibandingkan dengan yang

sehat) akan memberikan pengetahuan tentang apa yang dibutuhkan agar


31

posisi sendi dapat menerima input MET, terlepas dari sendi yang terlibat.

Jika end-feelnya adalah tajam atau tiba-tiba ada tahanan maka kemungkinan

terdapat proteksi spasme dari patologi sendi, seperti arthritis. Manfaat dari

MET pada sendi yang terbatas oleh berbagai patologi seperti arthritis adalah

melepaskan jaringan lunak yang guarding atau spasme (Chaitow, 2006).

Terdapat beberapa penghambat gerak menurut Kaltenborn berdasarkan

abnormal end-feel, yaitu firm-elastic end-feel yang dapat terjadi ketika scar

tissue membatasi gerakan atau ketika terjadi pemendekan jaringan konektif,

elastic-less soft end-feel yang terjadi ketika terdapat peningkatan tonus otot

yang mencegah kebebasan gerak, hard end-feel yang tiba-tiba umumnya

terjadi akibat perubahan interosseous seperti arthritis, dan empty end-feel

yang terjadi ketika pasien menghentikan gerakan atau menginginkan stop

gerakan sebelum end-feel sebenarnya tercapai. Biasanya sebagai akibat dari

nyeri yang sangat hebat seperti kemungkinan terjadi inflamasi aktif, atau

fraktur, atau karena faktor-faktor psychogenic (Chaitow, 2006).

Dengan melibatkan penghambat tersebut melalui MET, dan

menggunakan derajat usaha isometrik yang tepat maka hambatan tersebut

umumnya dapat terlepas kembali. Mekanisme pelaksanaan MET masih

menggunakan PIR dan reciprocal inhibition. Dalam aplikasi MET pada

sendi tidak digunakan stretching tetapi hanya gerakan atau mobilisasi sendi

setelah kontraksi isometrik (atau penggunaan pulsed MET) sampai

mencapai pembatas baru (ROM baru) tanpa adanya force/paksaan (Chaitow,

2006).
32

MET menekankan pada jaringan lunak didalam melakukan

mobilisasi sendi, dimana Lewit menjelaskan bahwa ketegangan otot itu

sendiri dapat membatasi gerak pasif, dan lesi artikular secara reguler

berhubungan dengan peningkatan ketegangan otot. Namun beberapa fakta

menunjukkan bahwa beberapa keterbatasan sendi bukan dihasilkan oleh

perubahan jaringan lunak, tetapi karena terdapat joint play yang terbatas.

Semenjak joint play sebagai gambaran mobilitas sendi yang bukan

permasalahan pada otot atau kontrol volunter, maka dapat disimpulkan

bahwa terdapat problem jaringan lunak pada keterbatasan sendi cenderung

atau lebih besar sebagai problem sekunder daripada sebagai faktor primer

pada kondisi disfungsi pola nyeri dan/atau keterbatasan lingkup gerak

(blockage) (Chaitow, 2006).

c. Efek Therapeutik MET

Sebagian besar penelitian menunjukkan bahwa terdapat 3

mekanisme fisiologis yang berkaitan dengan perubahan jangka pendek dan

jangka menengah dari ekstensibilitas otot yaitu refleks relaksasi, perubahan

sifat viskoelastik otot, dan perubahan terhadap toleransi stretch (Chaitow,

2006).

1) Refleks relaksasi

Beberapa ahli mengemukakan bahwa teknik MET dapat

memfasilitasi terjadinya stretching dengan menghasilkan refleks

neurologis berupa relaksasi otot setelah kontraksi isometrik. Relaksasi

otot setelah kontraksi dapat terjadi akibat adanya aktivasi pada golgi
33

tendon organ (GTO) dan inhibitor dari GTO dapat mempengaruhi

sekumpulan motor neuron, atau akibat adanya reciprokal inhibisi yang

dihasilkan oleh kontraksi otot antagonis (Chaitow, 2006).

Beberapa penelitian telah mendukung pernyataan bahwa MET

dapat menghasilkan refleks inhibisi terhadap sekumpulan motor neuron,

dan konsisten dengan beberapa protokol yang menganjurkan 5 – 10

detik stretching setelah kontraksi isometrik. Bukti penelitian lainnya

menunjukkan bahwa MET potensial untuk menghasilkan refleks

relaksasi dengan adanya penurunan aktivitas EMG setelah penggunaan

MET (Chaitow, 2006).

2) Perubahan viskoelastik atau sifat otot

Jaringan konektif memperlihatkan sifat mekanikal yang

berkaitan dengan komponen cairan atau gel (viscous) dan sifat

elastiknya, yang dinamakan dengan viskoelastisitas. Jika terjadi gaya

stretching yang konstan pada jaringan konektif maka jaringan konektif

akan merespon dengan pemanjangan yang lambat atau dinamakan

“creep”. Jaringan yang mengalami creep akan menyebabkan hilangnya

energi (hysteresis), dan jika terjadi pengulangan beban/gaya sebelum

jaringan tersebut pulih kembali maka akan menghasilkan deformasi

yang besar. Adanya beban tambahan dapat menyebabkan perubahan

“plastik” yang lebih permanen, yang disebabkan oleh kerobekan kecil

(microtearing) pada serabut kolagen. Hal ini akan menyebabkan


34

perubahan cepat dalam kekakuan (stiffness) jaringan dan diikuti dengan

remodelling serabut sampai panjang yang lebih besar (Chaitow, 2006).

Kontraksi otot secara isometrik telah ditemukan dapat

menghasilkan penurunan tension otot yang sama dihasilkan oleh

passive stretching. Taylor et al. menjelaskan bahwa selama kontraksi

isometrik otot masih tetap dalam panjang yang sama, tetapi jaringan

konektif harus mengalami pemanjangan untuk mengompensasi elemen

kontraktile yang memendek. Mereka menjelaskan bahwa kombinasi

kontraksi dan stretching (sebagaimana digunakan dalam MET) dapat

lebih efektif untuk menghasilkan perubahan viskoelastik dibandingkan

dengan passive stretching itu sendiri, karena lebih besar gaya yang

dapat menghasilkan peningkatan perubahan viskoelastik dan

ekstensibilitas secara pasif (Chaitow, 2006).

3) Perubahan terhadap toleransi stretch

Meskipun masih kurangnya bukti penelitian yang menyangkut

perubahan viskoelastik dari otot manusia setelah aplikasi passive

stretching atau MET, namun beberapa penelitian telah melaporkan

adanya peningkatan lingkup gerak sendi. Mayoritas penelitian telah

menemukan adanya peningkatan lingkup gerak sendi setelah aplikasi

passive stretching tanpa mengukur passive torque yang digunakan

untuk memanjangkan otot sehingga belum memberikan bukti adanya

perubahan sifat fisik dari otot (Chaitow, 2006).


35

Ballantyne et al, juga menemukan bahwa MET (5 detik gaya

kontraksi sedang, 3 detik stretch dan relaksasi, yang dilakukan 4 kali

repetisi) yang diaplikasikan pada hamstring menghasilkan tidak ada

bukti perubahan viscoelastic, tetapi ketika pasif knee extensi dilakukan

sampai toleransi nyeri (pre dan post MET) maka passive torque yang

lebih besar dapat ditolerir setelah aplikasi MET sehingga memberikan

peningkatan lingkup gerak sendi (Chaitow, 2006).

Hasil penelitian Magnusson et al, dan fakta penelitian lainnya

menemukan bahwa MET dapat menghasilkan peningkatan lingkup

gerak sendi yang lebih besar daripada passive stretching, sehingga

sangat dianjurkan menggunakan metode MET karena menghasilkan

perubahan yang lebih besar pada toleransi stretch dibandingkan dengan

passive stretching. Nampaknya aplikasi MET dapat menurunkan

persepsi nyeri otot yang lebih besar daripada passive stretching.

Kombinasi stretching dan kontraksi isometrik dapat merangsang otot,

mekanoreseptor sendi dan proprioseptornya sehingga memungkinkan

dapat meredam sensasi nyeri. Sesuai dengan teori gate control Melzack

and Walls bahwa stimulasi pada mekanoreseptor berdiameter besar

dapat menghasilkan inhibisi terhadap pesan nyeri yang masuk ke cornu

dorsalis spinal cord (Chaitow, 2006). Berdasarkan ketiga efek fisiologi

di atas maka aplikasi MET dapat menghasilkan efek terapeutik terhadap

disfungsi spinal berupa efek peningkatan lingkup gerak sendi dan

penurunan nyeri.
36

4) Efek terhadap ROM

Sejumlah penelitian telah melaporkan bahwa prosedur MET dapat

meningkatkan ROM cervical, thoracal dan lumbal. Schenk et al, telah

meneliti efek dari metode MET selama jangka waktu 4 minggu

terhadap ROM cervical. Delapan belas sampel yang asymptomatik

memiliki keterbatasan gerak aktif (100 atau lebih) pada satu atau lebih

bidang gerak (rotasi, lateral fleksi, fleksi atau ekstensi) kemudian secara

random ditetapkan kedalam kelompok pengobatan atau kelompok

kontrol. Sampel pada kelompok pengobatan memperoleh 7 kali sesi

pengobatan selama jangka waktu 4 minggu dan menggunakan 3 kali

repetisi dengan kontraksi isometrik 5 detik yang ringan. Pre dan post

lingkup gerak cervical diukur dengan menggunakan alat ROM cervical,

dan lingkup gerak post test diukur satu hari setelah sesi pengobatan

terakhir. Beberapa sampel dalam kelompok pengobatan dengan metode

MET mencapai peningkatan rotasi yang signifikan (sekitar 8o),

sedangkan kelompok kontrol menunjukkan sedikit perubahan (Chaitow,

2006).

MET juga dapat menghasilkan peningkatan lingkup gerak ketika

diaplikasikan pada segmen gerak tunggal. Fryer dan Ruszkowski, telah

meneliti efek dari aplikasi MET secara tunggal yang diarahkan pada

keterbatasan rotasi dari atlanto-axial joint. Segmen atlanto-axial joint

dipilih karena menggunakan leverage fleksi dan rotasi cervical, yang

memungkinkan untuk mengisolasi lingkup gerak pada sendi tersebut.


37

Lima puluh dua sampel asymptomatik yang menunjukkan keterbatasan

4o asimetris pada rotasi aktif atlanto-axial joint (rotasi dengan posisi

fleksi cervical sekitar 450 untuk mengunci segmen dibawahnya) secara

random dialokasikan kedalam kelompok perlakuan (MET) atau

kelompok kontrol (teknik fungsional) (Chaitow, 2006).

Aplikasi MET dengan fase kontraksi isometrik 20 detik juga

dapat menghasilkan peningkatan lingkup gerak sendi tetapi nampaknya

kurang efektif dibandingkan kelompok perlakuan dengan kontraksi

isometrik 5 detik (Chaitow, 2006).

5) Efek terhadap nyeri

Singh (2016) dalam penilitiannya menggunakan MET dengan

jumlah pasien 30 orang menunjukan adanya penurunan nyeri yang

cukup besar pada pasien dengan sindrom piriformis.

Penurunan nyeri aplikasi MET dengan menggunakan teknik PIR

berkaitan dengan terjadinya penurunan tonus otot setelah otot agonis

berkontraksi secara isometric (sharma, 2014). Hal ini dapat

menghentikan implus motor neuron efferent, sehingga dapat mencegah

kontraksi yang lebih lanjut dan terjadi relaksasi (sonal, 2016). Selain

itu, penurunan nyeri setelah aplikasi MET dengan menggunakan teknik

PIR berkaitan dengan mekanisme perifer dan sentral seperti

teraktivasinya mekanoseptor pada otot (Fryer, 2011).

d. Indikasi dan kontraindikasi MET


38

MET di indikasikasikan untuk otot yang mengalami hipertonus

dengan ciri-ciri seperti spasme, nyeri tekan, kelemahan, trauma akibat

kecelakaan, kram atau kejang otot, kontaktur, keterbatasan lingkup gerak

sendidan postur serta untuk tendon dan sendi (Chaitow, 2006).

Kontraindikasi dari teknik ini yakni apabila diduga terdapat penyakit

patologi seperti osteoporosis, arthritis, dan sebagainya penggunaan teknik

harus disesuaikan dosisnya.


39

BAB III

PROSES FISIOTERAPI

A. Diagnosa Medis

Low Back Pain (LBP)

B. Identitas Umum Pasien

Nama : Ny. A

Umur : 40 Thn

Agama : Islam

Pekerjaan : IRT

Jenis Kelamin : Perempuan

Alamat : Jl. Mangga 3

C. Anamnesis Khusus

Keluhan Utama : Pasien merasakan nyeri pada bagian bokong

yang kadang menjalar hingga ke tungkai bagian

kiri.

Lokasi Keluhan : Daerah bokong hingga ke tungkai kiri

Kapan Terjadi : 2 bulan yang lalu

Riwayat Perjalanan Penyakit : nyeri dirasakan 2 bulan yang lalu,awalnya pasien

hanya merasa nyeri ringan dan pegal di sekitaran

daerah pangulnya tetapi makin hari nyerinya

bertambah dan menjalar ke tungkai kiri di

sebabkan karena aktifitas duduk yang terlalu lama.

Riwayat Penyakit Penyerta :-


40

D. Inspeksi/Observasi

1. Statis : Adanya kelainan postur, pelvic bagian kiri pasien lebih rendah

daripada pelvic bagian kanan pasien.

2. Dinamis : pasien saat berjalan terkesan menmpukan berat badan pada sisi

yang sehat sehingga cara berjalannya sedikit pincang

E. Palpasi

Dengan cara meraba dan menekan otot sekitaran panggul pasien

Hasil : Terdapat spasme otot dan nyeri tekan pada daerah otot gluteus maximus,dan

piriformis.

F. Pemeriksaan Spesifik dan Pengukuran Fisioterapi

1. Pemeriksaan Fisik

a. Vital Sign

Tekanan Darah : 110/80 mmHg

Pernafasan : 20 x/menit

Denyut Nadi : 68 x/menit

Suhu : 36,3 °C

b. Indeks Massa Tubuh

Berat Badan : 52 Kg

Tinggi Badan : 150 Cm

2. Pengukuran dan Pemeriksaan Spesifik

a. Pengukuran Fisioterapi
41

1) Manual Muscle Testing (MMT)

Otot Nilai Otot


Fleksor Hip 3
Ekstensor Hip 3
Abduksi Hip 3
Adduksi Hip 3
Eksorotasi Hip 3
Endorotasi Hip 3

2) Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar

Pemeriksaan aktif pada lumbal

1) Fleksi Lumbal : (+) nyeri dan ROM normal

2) Ektensi Lumbal : (-) nyeri dan full ROM

3) Lateral fleksi kanan/kiri : (-) nyeri dan ROM normal

4) Rotasi kanan/kiri : (-) nyeri dan ROM normal

b. Pemeriksaan Spesifik

1) Pengukuran Intensitas Nyeri Menggunakan VAS

Tes dilakukan dengan menggunakan VAS, dimana penderita di


instruksikan untuk menandai sendiri nilai pada skala sesuai dengan
intensitas nyeri yang dirasakan.
42

Parameter VAS :

0-1 = tidak nyeri

1-2 = nyeri ringan

3-6 = nyeri sedang

7-8 = nyeri berat

9-10 = nyeri sangat berat

Hasil = 7 (Nyeri berat)

2) Oswestry Disability Index ( ODI )

pasien akan diminta melakukan serangkaian tes guna

mengidentifikasi intensitas nyeri, kemampuan gerak motorik,

kemampuan berjalan, duduk, fungsi seksual, kualitas tidur, hingga

kehidupan pribadinya. Dari sini, dokter dapat mengetahui skala

nyeri dan memastikan apa penyebab utama dari nyeri yang

dirasakan tersebut.

Skor ODI :

0% –20%: Kecacatan minimal

21% –40%: Kecacatan Sedang

41% –60%: Cacat Berat

61% –80%: Nyeri punggung yang melumpuhkan

81% –100%: Pasien-pasien ini terikat di tempat tidur atau

memiliki gejala yang berlebihan

Hasil : 10% (kecacatan minimal)


43

3) Tes Neuorologi daerah Lumbal

a.) Bragard’s tes

Tujuan : Tes untuk mengidentifikasi patologi pada durameter atau

lesi pada spinal cord.

Prosedur Test : Prosedur sama seperti Lasegue’s test. Bedanya pada

Bragard’s test, praktikkan menambahkan fleksi cervical pasien

secara pasif, disertai dorsofleksi ankle pasien (tension yang terjadi

pada area cervicothoracic junction adalah normal dan tidak

semestinya menimbulkan gejala. Jika gejalah timbul pada lumbar,

tungkai, atau lengan, berarti jaringan saraf terlibat). Praktikkan

kemudian secara perlahan dan hati-hati menurunkan kepala dan

tungkai pasien sehingga pasien tidak merasakan nyeri atau tightness.

Positif Test : Peningkatan nyeri dengan fleksi cervical, dorsofleksi

ankle, atau keduanya mengindikasikan penguluran pada dura meter

dari spinal cord atau lesi pada spinal cord ( seperti; disc heniation,

tumor, meningitis). Nyeri yang tidak meningkat dengan fleksi

servical mengindikasikan lesi pada area hamstring (tight hamstring)

atau pada lumbosacral atau area sacroiliac joint.

Hasil : positif nyeri

b.) FAIR test (flexi, adduksi, internal rotasi)

Tujuan : untuk mendeteksi iritasi nervus sciatik akibat syndrome

piriformis
44

Prosedur tes : posisi pasien terlentang fisioterapis berdiri di sisi

lateral tungkai yang akan di test. Satu tangan di letakkan di knee

pasien dan satu tngan lagi di pada bagian bawah tumit. Kemudian

gerakan tungkai pasien ke arah fleksi (hip 90 derajat knee 90 derajat)

endorotasi dan adduksi.

Positif test : nyeri pada daerah glutea akibat syndrome piriformis

nyeri yang terjadi di dalam anterior paha akibat femoral acetabular

Interprestasi : lokasi nyeri berkorespondensi terhadap disfungsi pada

area tersebut.

Hasil : positif nyeri

3) Tes pada daerah pelvic

a) Patrik tes

Tujuan : Tes untuk mendeteksi patologi pada hip, lumbar, atau S1

joint dysfunction.

Prosedur Tes : Pasien telentang dalam posisi comfortable.

Praktikkan selanjutnya secara pasif menggerakkan tungkai pasien

yang di tes kearah flexi knee dengan menempatkan ankle di atas

knee pada tungkai pasien yang satunya Praktekkan kemudian

memfiksasi SIAS pasien pada tungkai yang tidak di tes dengan

menggunakan satu tangan dan tangan satunya pada sisi medial knee

pasien yang di tes, lalu menekan tungkai pasien kearah abduksi.

Ulangi prosedur tes yang sama pada tungkai pasien yang satunya.

Positif Test : Nyeri di bagian dalam hip, lumbal, atau SI..


45

Hasil : nyeri daerah belakang

b) Anti patrik tes

Tujuan : Untuk mendeteksi iritasi nervus sciatic akibat syndrome

piriformis.

Prosedur tes : Pasien terlentang dalam posisi confortable

Praktikan meletakan kedua tangan di atas knee, masing-masing pada

sisi lateral dan medial knee untuk menyiapkan stabilisasi. Praktekkan

selanjutnya secara pasif menggerakan tungkai pasien kearah fleksi

hip 900, endorotasi, adduksi, dan knee 900

positif tes : nyeri pada dearah glutea/sciatic akibat syndrome

piriformis, nyeri yang terjadi di daerah dalam anterior paha akibat

femoral acetabular impigiment

hasil : positif nyeri

F. Diagnosa dan Problematik Fisioterapi

1. Diagnosa

“Low Back Pain With Radicular Pain Et Causa Syndrome Piriformis”

2. Problematik Fisioterapi

a) Impairment

a. pelvic bagian kiri pasien lebih rendah daripada pelvic bagian kanan

pasien.

b. Terdapat spasme otot dan nyeri tekan pada daerah otot gluteus

maximus,dan piriformis.
46

c. Terdapat kelemahan pada otot fleksor hip,ekstensor hip, Abduksi

Hip,adduksi hip,eksorotasi hip, dan endorotasi hip

b) Functional Limitation

a. Kesulitan mengangkat beban yang berat

b. Kesulitan berlari

c) Participation Restriction

a. Kesulitan dalam melakukan kegiatan di lingkungan kerja

G. Tujuan Intervensi Fisioterapi

a) Tujuan jangka pendek

- Menurunkan nyeri .

- Mengurangi spasme otot.

b) Tujuan jangka panjang

Mengembalikan kapasitas fungsional berjalan bebas nyeri.

H. Program Intervensi Fisioterapi

1. Microwave Diathermy (MWD)

Tujuan : Menurunkan nyeri, serta memanaskan jaringan dibawah kulit dan

meningkatkan proses perbaikan atau respirasi secara fisiologis

Teknik : Posisi pasien tidur dalam posisi tengkurap, posisikan elektroda di

sekitar lumbal dan m.piriformis pasien

Dosis : dilakukan 2x seminggu dengan durasi selama 10 menit. 

2. Transcutaneuous Electrical Nerve Stimulation (TENS)

Tujuan : Mengurangi nyeri dan meransang jaringan saraf


47

Teknik : Posisi pasien tidur dalam posisi tengkurap, pad dipasang pada lumbal

dan M. Piriformis

Dosis :

Frekuensi : 2 x seminggu

Intensitas : 70 MHz

Teknik : coplanar dengan 2 pad

Time : 10 menit

3. Strengthening Exercises

Tujuan : Untuk membantu pasien meningkatkan fungsi dari otot Dosis

: 2x seminggu (6 kali repetisi)

Posisi Pasien : Pasien tidur terlentang di atas bed dengan posisi tungkai

rileks

Posisi Fisioterapist : berdiri di samping bed kemudian menginstruksikan

pasien untuk melawan tahanan terhadap gerakan yang diberikan.

4. Muscle Energy Technique (MET)


48

Tujuan : Untuk meningkatkan tonus otot yang lemah, melepaskan

hipertonus, stretching ketegangan otot dan fascia dan meningkatkan

fungsi muskuloskeletal dan mengurangi nyeri.

Prosedur kerja : Otot yang terkena ditempatkan dalam posisi mid-range.

Pasien diminta untuk mendorong kuat tahanan yang diberikan oleh

terapis. Terapis menjaga tahanannya agar terjadi kontraksi isometrik

atau bila tidak memungkinkan gerakan dikombinasi dengan kontraksi

isotenik. Beberapa tingkat gerakan rotasi atau diagonal dapat

dimasukkan ke dalam prosedur. Pada akhir kontraksi, pasien menghirup

dan menghembuskan napas penuh, pada saat tersebut terapis secara

pasif mengulur otot pasien.

Dosis : 2x seminggu (6 kali repetisi)


49

I. Evaluasi Fisioterapi

No Hari,Tangga Problematik Intervensi Evaluasi

l
1 Senin, 9 Spasme otot MWD Spasme otot

September Nyeri tekan TENS Nyeri tekan

2020 Nyeri menjalar MET Kelemahan otot hamstring dan

Kelemahan otot Strengthening quadriceps

hamstring dan

quadriceps

2 Jumat, 13 Spasme otot Mwd Spasme otot

September Nyeri tekan Tens Nyeri tekan

2020 Kelemahan otot Met Kelemahan otot hamstring dan

hamstring dan Strengthening quadriceps

quadriceps
3 Februari Spasme otot Mwd Spasme otot

2020 Nyeri tekan Tens Nyeri tekan

Kelemahan otot Met Kelemahan otot hamstring

hamstring dan strenthening dan quadricep

quadriceps
50

BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian tersebut diatas diketahui akan adanya kemajuan yang

signifikan dalam proses penyembuhan dibandingkan sebelum dilakukan

tindakan fisioterapi,  Kemajuan tersebut selain dari keinginan dan semangat

pasien untuk sembuh serta didukung oleh modalitas fisioterapi yang diberikan

yaitu MWD, TENS, Strengthening Exercises, MET serta didukung dengan

latihan-latihan untuk home program. Diperoleh hasil: pasien merasakan

penurunan nyeri.

B. Saran

Suatu keberhasilan terapi juga ditentukan oleh sikap dari pasien itu

sendiri,  jadi perlu ada kerjasama dengan baik antara terapis, pasien serta

keluarga pasien. Untuk mengoptimalkan hasil terapi yang diberikan maka

disarankan kepada:

a. Fisioterapis hendaknya sebelum melakukan terapi kepada pasien diawali

dengan pemeriksaan yang teliti, mencatat permasalahan pasien, menegakkan

diagnosis dengan tepat, memilih modalitas yang sesuai dengan permasalahan

pasien, melakukan evaluasi dan memberikan edukasi pada pasien sehingga

nantinya akan memperoleh hasil yang optimal.

b. Kepada pasien:

1) Rutin dalam melakukan terapi ke fisioterapi.


51

2) Untuk sementara waktu menghindari aktivitas berat yang dapat

menimbulkan cedera.

c. Keluarga pasien,hendaknya memberikan motivasi kepada pasie untuk rajin

terapi dan melakukan home program/ edukasi- edukasi yang telah diberikan

oleh terapis untuk mendukung proses kesembuhannya.

d. Masyarakat dan pembaca, agar segera konsultasi ke dokter, ke fisioterapi

atau tenaga medis lain, bila dijumpai atau dirasakan keluhan seperti:nyeri

pada lutut yang menyebabkan gangguan akvitas fungsional dan kemampuan

fisik dansebagainya. Ini dimaksud, agar dapat diberikan tindakan

sedinimungkin sehingga komplikasi yang akan timbul dapat dicegah.


52

DAFTAR PUSTAKA

http://adeputrasuma.blogspot.com/2013/07/transcutaneous-electrical-nerve.html

http://eprints.ums.ac.id/1777/2/J100050040.pdf

http://eprints.ums.ac.id/36007/1/Naskah%20Publikasi.pdf

https://www.academia.edu/16462246/makalah_low_back_pain_atau_sakit_tulang_b

elakang

https://id.scribd.com/doc/101927057/Makalah-pre-klinis-lbp

https://www.researchgate.net/publication/253335936_Brief_review_Piriformis_syndrome

_Etiology_diagnosis_and_management.

Anda mungkin juga menyukai