Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan


nasional, hakikatnya adalah upaya peningkatan derajat kesehatan bagi setiap
penduduk agar mampu melaksanakan produktifitas dan aktifitasnya semaksimal
mungkin (Depkes RI, 1984).

Adanya pergeseran pola kependudukan maka bergeser pula pola penyakit di


masyarakat yaitu yang semula penyakit infeksi kearah penyakit degeneratif
(Fransisca, 2001) salah satu jenis penyakit degeneratif adalah osteoartritis.
Osteoartritis merupakan jenis artritis yang paling sering dijumpai baik di
Indonesia maupun diseluruh dunia (Isbagio, 2001). Penyakit ini bersifat kronik,
berjalan progresif lambat, tidak meradang, dan ditandai oleh adanya deteriosasi
dan abrasi dari rawan sendi dan adanya pembentukan tulang baru pada permukaan
persendian (Silvia & Lorraine, 1995).

Osteoartritis merupakan penyakit rematik sendi yang paling banyak dijumpai


terutama pada orang-orang diatas 40 tahun di seluruh penjuru dunia. Pada suatu
survei radiografi pada wanita di bawah 40 tahun hanya 2% mempunyai OA, akan
tetapi pada usia 45 - 46 tahun angka kejadiannya lebih dari 65%. Pada laki–laki
ini sedikit lebih rendah di banding dengan wanita. OA jarang sekali dijumpai pada
anak-anak (Kalim,1996).

Di Indonesia prevalensi Osteoarthritis (OA) pada lutut cukup tinggi yaitu


mencapai 15,5% pada pria dan 12,7% pada wanita. Prevalensi ini semakin
meningkat dengan bertambahnya usia. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan
sifatnya yang ktronik-progresif, OA mempunyai dampak sosio ekonomik yang
besar baik di negara maju maupun di negara berkembang. Diperkirakan 1 sampai
2 juta orang lanjut usia di Indonesia menderita cacat karena OA. “Pada abad

1
mendatang tantangan terhadaap dampak OA akan semakin besar karena semakin
banyaknya populasi yang berumur tua.

Faktor predisposisi yang mempengaruhi penyakit OA adalah usia, obesitas,


trauma, keturunan, atau penyakit sendi lain. Gejala yang sering ditemukan pada
penyakit OA lutut antara lain nyeri, kekakuan, benkak, atau bahkan dapat terjadi
deformitas (Dieppe, 1995).

Osteoarthritis pada sendi lutut merupakan salah satu jenis penyakit degeneratif
yang dapat mengganggu gerak dan fungsi dari sendi lutut sehingga dapat
mengubah gaya hidup dan interaksi penderita terhadap lingkunganya serta
mempengaruhi produktifitas dan aktifitas kesehariannya (Soeparman dkk, 2000) 3.
Penderita OA sering mengalami kesulitan dalam melaksanakan aktivitas
fungsional dasar seperti bangkit dari duduk, jongkok, berjalan, naik turun tangga,
atau aktivitas fungsional yang membebani lutut. OA lutut berhubungan dengan
berbagai defisit patofisiologi seperti instabilitas sendi lutut, menurunnya lingkup
gerak sendi, disuse atrofi dari otot-otot quadrisep, nyeri lutut sangat kuat
berhubungan dengan penurunan kekuatan otot quadrisep yang merupakan
stabilisator utama sendi lutut dan sekaligus berfungsi melindungi struktur sendi
lutut (Parjoto, 2000).

Fisioterapi merupakan upaya pelayanan kesehatan professional yang


bertanggung jawab terhadap kesehatan individu, keluarga maupun masyarakat,
khususnya dalam gangguan gerak dan fungsi. Tujuan utama Fisioterapi adalah
mengurangi nyeri dan kekakuan sendi, mempertahankan gerak sendi mencegah
kontraktur serta mempertahankan atau memperbaiki kekuatan otot (Fisher N.M,
1991). Peran fisioterapi pada OA lutut adalah untuk menjaga mobilitas dari sendi
lutut sehingga dapat berfungsi sebagaimana mestinya.

Dengan penanganan dan edukasi yang tepat, dapat mengurangi kemungkinan


problematika yang muncul. Salah satunya adalah keterbatasan aktifitas fungsional
pada penderita OA lutut, sehingga pasien diharapkan mampu memahami dan
menjaga kondisinya serta dapat membantu dirinya sendiri ketika terjadi serangan.

2
Dalam makalah ini akan dibahas secara mendalam tentang penurunan
fleksibilitas pada lansia ec neuropatik diabetus mellitus, dengan judul
“Penatalaksanaan Fisioterapi pada Lansia dengan Penurunan Keseimbangan dan
koordinasi ec Osteoarthritis knee bilateral di RSJ Prof Dr Soerojo Magelang”

B. Rumusan masalah

Adapun rumusan masalah dari latar belakang di atas adalah sebagai berikut :
(1) Apa sajakah permasalahan yang timbul pada Lansia dengan Penurunan
Keseimbangan dan koordinasi ec Osteoarthritis knee bilateral?, (2) Bagaimana
penatalaksanaan fisioterapi pada Lansia dengan Penurunan Keseimbangan dan
koordinasi ec Osteoarthritis knee bilateral di RSJ Prof Dr Soerojo Magelang?
C. Tujuan masalah

Adapun tujuan-tujuan dari penulisan makalah ini adalah sebagai berikut : (1)
Untuk mengetahui permasalah-permasahan yang timbul pada Penurunan
Keseimbangan dan koordinasi ec Osteoarthritis knee bilateral, (2) Untuk
mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada Lansia dengan Penurunan
Keseimbangan dan koordinasi ec Osteoarthritis knee bilateral di RSJ Prof Dr
Soerojo Magelang.

3
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Kajian teori

1. Definisi Osteoarthritis lutut

Osteoarthritis lutut adalah kelainan pada sendi lutut yang bersifat non
inflamasi, tidak simetris dan tidak sistemik dengan perubahan patologi pada
tulang rawan sendi dan tulang subkondral berupa kerusakan fokal tulang rawan
sendi yang progresif dan merangsang pembentukan tulang baru (osteofit) pada
dasar lesi tulang rawan sendi dan tepi sendi (Kalim, 1996) yang dapat
menyebabkan ketidakstabilan sendi sehingga fungsi sendi berkurang atau sampai
hilang (Rini E, 2000).

2. Anatomi Fungsional

Pada sendi lutut terdapat tiga hubungan persendian yaitu tibio femoral joint,
patella femoral joint, superior tibia fibular joint. Dari ketiga hubungan persendian
tersebut, tibio femoral joint yang mempunyai gerak yang paling luas dan nyata
yaitu fleksi-ekstensi disamping gerakan asesoris yaitu eksorotasi dan endorotasi.
Pada patella femoral joint terjadi gerakan longitudinal yaitu chepal-caudal dan
gerakan transversal yaitu lateral dan medial. Sedangkan pada superior tibio fibular
joint terjadi gerakan anterior-posterior dan chepal-caudal.

Gerakan sendi lutut sangat ditentukan oleh bentuk permukaan sendi,


kekuatan atau stabilitas dari ligamen krusiatum untuk stabilitator pada posisi
fleksi dan mencegah melesetnya sendi kearah anterior-posterior, kekuatan ligamen
kollateral yang mencegah gerakan lutut ke lateral, serta kekuatan otot-otot
penggerak lutut yaitu quadriceps dan hamstring (de Wolf, 1990).

Selain tersebut diatas dalam struktur sendi lutut terdapat bursa yang
berfungsi sebagai absorber yaitu bursa supra patellaris, prepatellaris, dan infra
patellaris.

4
a. Gerakan Fleksi-ekstensi

Di dalam lutut terdapat ligamentum cruciatum anterius dan ligamentum


cruciatum posterior. Di sebelah medial dan lateral terdapat ligamen-ligamen
colateral, ligamen colateral medial dan ligamen colateral lateral. Ke empat
ligamen ini mengendalikan lutut dalam gerakan antara fleksi dan ekstensi. (de
Wolf, 1990).

Axis pada gerakan ini adalah transversal yang terletak di atas permukaan
sendi melewati condylus femoris. Otot penggerak fleksi lutut adalah hamstring
yang terdiri dari biceps femoris, semi tendinosus dan semi membranosus.
Sedangkan otot penggerak ekstesi lutut adalah rectus femoris, vastus lateralis,
vastus intermedius dan vastus medialis.

Pada gerakan fleksi-ekstensi patella akan bergerak pada tulang femur. Jarak
antara patella dengan tibia saat terjadi gerakan adalah tetap tetapi jarak dengan
femur akan berubah. Patella disamping sebagai perlekatan tendo quadriceps juga
sebagai pengungkit pengedang sendi lutut. Posisi patella pada posisi fleksi 90°
kedudukanya diantara kedua condylus femoris dan saat ekstesi terletak pada
anterior femur (Suparman, 1988). Untuk lingkup gerak sendi, gerakan fleksi lutut
berkisar antara 120 derajat – 140 derajat bila posisi hip fleksi penuh dan mencapai
140 derajat bila posisi hip ekstensi penuh. Untuk gerakan ekstensi berkisar antara
5 derajat – 10 derajat (hiperekstensi) atau 0 derajat. (Kapandji, 1987).

Persyarafan yang memelihara artikulatio genu dan otot–otot penggerak


sendi lutut yaitu nervus femoralis, nervus obturatorius, nervus ishiadicus. Dan
peredaran darah yang memelihara daerah lutut dan sekitarnya adalah arteri genu
decendens, arteri poplitea, arteri reccurent tibialis anterior dan arteri profunda
femoralis.

b. Gerak Rotasi
Dalam keadaan ekstensi lutut dapat terjadi gerakan rotasi karena pada
posisi tersebut terjadi regangan ligament collateral. Gerakan rotasi terbesar dapat
dilakukan dengan mudah baik secara aktif maupun pasif saat sendi lutut pada

5
posisi 90° fleksi. Axis gerakan ini adalah longitudinal pada bidang transversal.
Otot penggerak eksorotasi yaitu biceps femoris dan tensor facia latae, sedang otot
penggerak endorotasinya adalah popliteus, gracillis dan hamstring bagian dalam.

3. Patologi
Cartilago articularis pada sebagian besar sendi orang dewasa bergaris
cartilage hyalin dan merupakan jaringan yang avascular, alymphatic, dan aneural
yang menutupi permukaan persendian dari tulang panjang. Fungsi yang esensial
dari cartilage articularis adalah sebagai bantalan penutup ujung tulang panjang
pada sendi synovial memungkinkan (1) menahan tekanan pada permukaan
persendian, (2) menstransmisikan dan mendistribusikan beban yang meningkat,
(3) Mempertahankan kontak dengan tahanan gesek yang minimal.

Tulang rawan sendi yang mengalami degenerasi menjadi tidak kenyal dan
mudah rapuh. Proses degeneratif yang lain adalah terbentuknya cairan pada sendi
lutut yang berlebihan, terutama apabila penderita memberi beben pada sendi yang
terkena (Prasetya H, 2002).

Dari uraian tersebut maka bagian sendi yang mendapat serangan pertama
adalah rawan sendi (cartilago) dimana tempat ini sering mendapat tekanan-
tekanan atau trauma. Pada permukaan sendi terjadi fibrilasi dan pengikisan rawan
sendi sehingga jaringan tulang menjadi terbuka, pada tempat-tempat ini akan
mudah terangsang terbentuknya osteofit yang akan mengganggu gerakan sendi.
Rasa nyeri disebabkan karena terbentuknya atau berkembangnya osteofit-osteofit
yang baru sehingga menjepit maupun merusak jaringan sekitar yang terdapat
syaraf sensoris nyeri (nociceptif), selain itu juga dapat menyebabkan
pembengkakan dan penebalan jaringan lunak di sekitar sendi sehingga bila ada
suatu gerakan akan timbul rasa nyeri. Sebenarnya secara fisiologis di dalam tubuh
terdapat system perbaikan sendiri apabila terjadi kerusakan. Penebalan tulang dan
kapsul maupun cartilagonya sendiri merupakan respon dari penyembuhan.
Kadang-kadang sendi tersebut benar-benar sembuh dan stabil kembali setelah
terjadi suatu tingkat kerusakan tertentu, tetapi tidak sedikit pula yang berlanjut
kearah perubahan-perubahan yang lebih berat (Dippe, 1995).

6
Secara ringkasnya pada OA terdapat proses regradasi, reparasi dan inflamasi
yang terjadi dalam jaringan ikat, lapisan rawan, sinovium dan tulang subkondral.
Pada saat penyakit aktif salah satu proses dapat dominan atau beberapa proses
terjadi bersama dalam tingkat intensitas yang berbeda. Perubahan yang terjadi
sebagai berikut :

a) Degradasi rawan.
Degradasi timbul sebagai akibat dari ketidak seimbangan antara
regenerasi (reparasi) dengan degenerasi rawan sendi melalui beberapa tahap yaitu
fibrilasi, pelunakan, perpecahan dan pengelupasan lapisan rawan sendi. Proses ini
dapat berlangsung cepat atau lambat. Yang cepat dalam waktu 10 – 15 tahun,
sedang yang lambat 20 – 30 tahun. Akhirnya permukaan sendi menjadi botak
tanpa lapisan rawan sendi.

b) Osteofit.
Bersama timbulnya dengan degenerasi rawan, timbul reparasi.
Reparasi berupa pembentukan osteofit di tulang subkondral.

c) Sklerosis subkondral
Pada tulang subkondral terjadi reparasi berupa sklerosis (pemadatan
atau penguatan tulang tepat di bawah lapisan rawan yang mulai rusak).

d) Sinovitis
Sinovitis adalah inflamasi dari sinovium dan terjadi akibat proses
sekunder degenerasi dan fragmentasi. Matrik rawan sendi yang terdiri dari
kondrosit yang menyimpan proteoglikan yang bersifat imunogenik dan dapat
mengaktivasi lekosit. Sinovitis dapat meningkatkan cairan sendi. Cairan lutut
yang mengandung bermacam-macam enzim akan tertekan kedalam celah–celah
rawan. Ini mempercepat proses pengrusakan tulang rawan sendi. Pada tahap lanjut
terjadi tekanan tinggi dari cairan sendi tehadap permukaan sendi yang botak.
Cairan ini akan didesak kedalam celah-celah tulang subkondral dan akan
menimbulkan kantong yang di sebut kista subkondral (Parjoto,2000).

4. Etiologi

7
Osteoarthritis diklasifikasikan menjadi dua yaitu primer dan skunder. OA
skunder merupakan akibat dari bentuk lain arthritis baik karena faktor mekanik
maupun metabolic, misalnya pasca fraktur, arthritis reumathoid, trauma atau yang
lain. Sedangkan OA primer terjadi tanpa ada riwayat pendahuluan atau karena
penyebabnya tidak diketahui. Kalau cartilage dan jaringan-jaringan sendi lainnya
sedikit lebih abnormal sehingga berada di bawah tekanan khusus atau karena
proses perbaikan dalam sendi tidak sebagus yang seharusnya maka hal ini dapat
dikatakan sebagai OA primer (Dippe, 1995).

OA dapat terjadi oleh beberapa hal, tetapi pada sebagian besar penderita
etiologinya tidak diketahui. Akan tetapi ada beberapa faktor etiologi yang
berhubungan dengan penyakit ini yaitu : (1) Usia, OA cenderung menyerang pada
lansia, hal ini terlihat dengan bertambahnya usia maka bertambah pula prevalensi
penderita OA. (2) Obesitas, pada keadaan normal berat badan akan melalui medial
sendi lutut yang diimbangi oleh otot-otot paha bagian lateral sehingga resultan
gaya akan melewati bagian tengah sendi lutut. Pada obesitas resultan gaya akan
bergeser ke medial sehingga beban gaya oyang diterima sendi lutut tidak
seimbang. (3) aktifitas, semua aktifitas yang membebani sendi lutut berlebih (4)
trauma, trauma yang menyerang persendian seperti fraktur dekat sendi lutut. (5)
faktor hormonal, perubahan degeneratif pada lutut lebih banyak ditemui pada
penderita diabetes melitus.

5. Tanda Dan Gejala


OA lutut merupakan suatu kondisi yang terjadi secara berlahan-lahan tanpa
permulaan yang jelas dan mendadak. Akan tetapi kadangkali sendi yang
memburuk tiba-tiba. Gejalanya sangat berbeda-beda dan dapat dipengaruhi oleh
perubahan aktifitas atau yang lain. Pada penderita OA biasanya ditemukan tanda
dan gejala khas yaitu nyeri yang bertambah berat pada waktu menopang berat
badan atau waktu aktivitas, yang membaik bila diistirahatkan, selain itu penderita
mengeluh rasa kaku pada pagi hari serta rasa pegal bila sendi lama diistirahatkan
(Dieppe, 1995). Pada pemeriksaan fisik akan selalu di temukan nyeri tekan,
pembengkakan tulang, krepitasi dengan atau tanpa keterbatasan gerak sendi

8
(Isbagio, 2001). Mereka yang terserang OA akan merasakan nyeri sendi terutama
ketika berjalan naik dan turun tangga, atau serangan pada malam hari sehingga
penderita sulit tidur (Koesworo, 2003).

Tanda yang lain adalah stbilitas sendi lutut berkurang dan kemampuan otot
meredam beban menurun. Kelemahan otot quadrisep juga merupakan keadaan
yang sering dijumpai pada penderita OA lutut yang kemudian akan menjurus pada
disuse atrofi. Hal ini diakibatkan oleh karena kurangnya penggunaan otot tersebut
pada sisi lutut yang sakit (Isbagio, 2001).

6. Diagnosis banding
Diagnosa banding untuk kasus OA lutut adalah sebagai berikut : (1)
Penyakit sendi yang cukup berat, seperti osteonekrosis, cancer tulang, neuropati
charchot, sinovitis vilonodular dan kondromatosis sinovial. (2) Penyakit sendi
peradangan atau kristal : gout, pseudo gout, artritis bakterial, atau RA. (3)
Penyakit sendi jaringan ikat misalnya bursitis anserin, periartritis bahu, sindrom
carpal tunnel dan tenosinovitis (Kalim, 1996).

7. Definisi Keseimbangan

Keseimbangan merupakan proses kompleks yang melibatkan penerimaan


dan integrasi input sensorik serta perencanaan dan pelaksanaan gerakan untuk
mencapai tujuan yang membutuhkan postur tegak. Keseimbangan juga dapat
didefinisikan sebagai suatu kemampuan untuk mengontrol pusat gravitasi agar
tetap berada di atas landasan penopang (Setiati & Laksmi, 2009).

Keseimbangan merupakan integrasi yang kompleks dari sistem


somatosensorik (visual, vestibular, proprioceptif) dan motorik (muskuloskeletal,
otot, sendi jaringan lunak) yang keseluruhan kerjanya diatur oleh otak terhadap
respon atau pengaruh internal dan eksternal tubuh. Bagian otak yang mengatur
meliputi, basal ganglia, cerebellum, area assosiasi (Batson, 2009).

Keseimbangan terbagi menjadi 2 yaitu statis dan dinamis (Abrahamová &


Hlavacka, 2008). Keseimbangan statis adalah kemampuan untuk mempertahankan

9
posisi dalam periode tertentu dan keseimbangan dinamis untuk memelihara
keseimbangan pada saat melakukan gerakan (Setiati & Laksmi, 2009).

8. Fisiologi Keseimbangan

Untuk mempertahankan posisi tegak, tubuh memerlukan integrasi sistem


visual, vestibular, proprioseptif yang memberi informasi ke sistem saraf pusat
sebagai pemroses, kemudian sistem neuromuskuloskeletal sebagai efektor yang
mengadaptasi secara cepat perubahan posisi dan postur (Setiahardja, 2005).
Fungsi keseimbangan atau kontrol postural yang normal bergantung pada empat
sistem yang berbeda dan antara satu sistem dengan sistem yang lainnya tidak
saling tergantung. Sistem ini dibentuk oleh input vestibular, input proprioseptif
atau somatosensorik, input visual, dan yang diintegrasikan oleh pusat sensorik
(Guyton & Hall 2007). Hubungan antar faktor yag mempengaruhi kontrol
keseimbangan dapat dilihat pada gambar berikut (Noohu et al. 2014).

Mekanisme fisiologi terjadinya keseimbangan dimulai ketika reseptor visual


memberikan masukan tentang orientasi mata dan posisi kepala dalam hubungan
dengan tubuh dan lingkungan sekitar.

10
Organ vestibuler memberikan informasi ke sistem saraf pusat tentang posisi
dan gerakan dari kepala serta padangan mata melalui reseptor macula dan krista
ampularis yang ada di telinga dalam. Reseptor di sendi, otot, tendon, ligamentum
dan kulit menerima rangsang proprioseptif tentang posisi badan terhadap kondisi
tubuh di sekitarnya dan posisi antara segmen-segmen tubuh (Setiahardja, 2005).

Seluruh rangsangan atau input sensoris yang diterima disalurkan ke nuklus


vestibularis yang ada di batang otak, kemudian terjadi pemrosesan untuk
koordinasi di serebelum, dari serebelum informasi disalurkan kembali ke nuklus
vestibularis.

Terjadilah output atau keluaran ke neuron motorik otot ekstremitas dan


badan berupa pemeliharaan keseimbangan dan postur yang diinginkan, keluaran
ke neuron motorik otot mata eksternal berupa kontrol gerakan mata, dan keluaran
ke sistem saraf pusat berupa persepsi gerakan dan orientasi. Mekanisme tersebut
jika berlangsung dengan optimal akan menghasilkan keseimbangan statis yang
normal (Guyton & Hall, 2007).

Proprioception dihasilkan melalui respon secara simultan, visual, vestibular,


dan sistem sensorimotor, yang masing-masing memainkan peran penting dalam
menjaga stabilitas postural. Paling diperhatikan dalam meningkatkan
proprioception adalah fungsi dari sistem sensorimotor. Meliputi integrasi sensorik,
motorik, dan komponen pengolahan yang terlibat dalam mempertahankan
homeostasis bersama selama tubuh bergerak, sistem sensorimotor mencakup
informasi yang diterima melalui reseptor saraf yang terletak di ligamen, kapsul
sendi, tulang rawan, dan geometri tulang yang terlibat 11 dalam struktur setiap
sendi. (Riemann & Lephart 2002). Mereka yang bertanggung jawab untuk
proprioception umumnya terletak di sendi, tendon, ligamen, dan kapsul sendi
sementara tekanan reseptor sensitif terletak di fasia dan kulit (Riemann & Lephart,
2002).

a. Sistem Vestibular

11
Sistem vestibular berperan penting dalam keseimbangan, gerakan kepala
dan gerak bola mata. Sistem vestibular meliputi organ-organ di dalam telinga
bagian dalam. Sistem Vestibular berhubungan dengan sistem visual untuk
merasakan arah dan kecepatan gerakan kepala. Pada telinga bagian dalam terdapat
cairan yang disebut endolymph. Cairan tersebut mengalir melalui tiga kanal
telinga bagian dalam sebagai reseptor saat kepala bergerak miring dan bergeser.
Melalui refleks vestibulooccular, mereka mengontrol gerak mata, terutama ketika
melihat obyek yang bergerak. kemudian pesan diteruskan melalui saraf kranialis
VIII ke nukleus vestibular yang berlokasi di batang otak (brain stem) (Watson &
Black, 2008).

Nukleus vestibular menerima masukan (input) dari reseptor labyrinth,


formasi (gabungan retikular), dan serebelum. Hasil dari nukleus vestibular menuju
ke motor neuron melalui medula spinalis, terutama ke motor neuron yang
menginervasi otot-otot proksimal, otot pada leher dan otot-otot punggung (otot-
otot postural). Sistem vestibular bereaksi sangat cepat sehingga membantu
mempertahankan keseimbangan tubuh dengan mengontrol otot-otot postural
(Watson & Black, 2008).

b. Sistem Visual

Sistem visual (penglihatan) yaitu mata mempunyai tugas penting bagi


kehidupan manusia yaitu memberi informasi kepada otak tentang posisi tubuh
terhadap lingkungan berdasarkan sudut dan jarak dengan obyek sekitarnya.
Dengan input visual, maka tubuh dapat beradaptasi terhadap perubahan yang
terjadi di lingkungan sehingga sistem visual langsung memberikan informasi ke
otak, kemudian otak memerikan informasi agar sistem muskuloskeletal (otot &
tulang) agar dapat bekerja secara sinergis untuk mempertahankan keseimbangan
tubuh. Pada gambar dibawah ini kita dapat melihat sistem visualisasi pada tubuh
manusia (Prasad & Galetta, 2011).

c. Sistem Somatosensori (Tactile & Proprioceptive).

12
Sistem Somatosensori mempunyai beberapa neuron yang panjang dan
saling berhubungan satu sama lainnya. Sistem somatosensori adalah sistem
sensorik yang beragam yang terdiri dari reseptor dan pusat pengolahan untuk
menghasilkan modalitas sensorik seperti sentuhan, temperatur, proprioseptif
(posisi tubuh), dan nosiseptif (nyeri). Reseptor sensorik menutupi kulit dan epitel,
otot rangka, tulang dan sendi, organ, dan sistem kardiovaskular. Informasi
propriosepsi disalurkan ke otak melalui kolumna dorsalis medula spinalis.
Sebagian besar masukan (input) proprioseptif menuju serebelum, tetapi ada pula
yang menuju ke korteks serebri melalui lemniskus medialis dan thalamus (Willis,
2007).

Kesadaran akan posisi berbagai bagian tubuh dalam ruang sebagian


bergantung pada impuls yang datang dari alat indra dalam dan sekitar sendi. Alat
indra tersebut adalah ujung-ujung saraf yang beradaptasi lambat di sinovia dan
ligamentum. Impuls dari alat indra ini dari reseptor raba di kulit dan jaringan lain,
serta otot di proses di korteks menjadi kesadaran akan posisi tubuh dalam ruang
(Willis, 2007).

9. Keseimbangan postural

Pada saat berdiri, otot pada leher, trunkus, panggul, ekstensor lutut, dan
plantar fleksor menjaga agar tubuh tetap tegak. Bersamaan dengan hal tersebut
terjadi ayunan postural sebagai usaha dari otot di atas untuk mempertahankan
stabilitas postural. Otot-otot tersebut disebut otot postural yang secara terus-
menerus menjaga agar pusat massa tubuh berada di dalam landasan penunjang.
Pusat massa tubuh didefinisikan sebagai titik jumlah gaya yang bekerja padanya
sama dengan nol sehingga tubuh berada dalam keseimbangan. Bila seseorang
dalam keadaan berdiri, secara berkesinambungan terjadi kontrol keseimbangan
postural, yaitu usaha untuk mempertahankan postur tegak pada saat keseimbangan
terganggu (Setiahardja, 2005). Dibawah ini adalah faktor yang mempengaruhi
keseimbangan pada tubuh manusia yaitu:

a. Pusat gravitasi (Center of Gravity)

13
Center of gravity merupakan titik gravitasi yang terdapat pada semua
benda baik benda hidup maupun mati, titik pusat gravitasi terdapat pada titik
tengah benda tersebut, fungsi dari Center of gravity adalah untuk
mendistribusikan massa benda secara merata, pada manusia beban tubuh selalu
ditopang oleh titik ini, maka tubuh dalam keadaan seimbang. Tetapi jika terjadi
perubahan postur tubuh maka titik pusat gravitasi pun berubah, maka akan
menyebabkan gangguan keseimbangan berpindah secara otomatis sesuai dengan
arah atau perubahan berat, jika center of gravity terletak di dalam dan tepat di
tengah maka tubuh akan seimbang, jika berada diluar tubuh maka akan terjadi
keadaan unstable. Pada manusia pusat gravitasi saat berdiri tegak terdapat pada 1
inchi di depan vertebrae sakrum 2 (Masu et al., 2014).

b. Garis gravitasi (Line of Gravity)

Garis gravitasi vertikal melalui pusat gravitasi. Derajat stabilitas tubuh


ditentukan oleh hubungan antara garis gravitasi, pusat gravitasi dengan base of
support (bidang tumpu).

c. Bidang tumpu (Base of Support)

Base of Support dengan permukaan tumpuan. Ketika garis gravitasi tepat


berada di bidang tumpu, tubuh dalam keadaan seimbang. Stabilitas yang baik
terbentuk dari luasnya area bidang tumpu. Semakin besar bidang tumpu, semakin
tinggi stabilitas. Misalnya berdiri dengan kedua kaki akan lebih stabil dibanding
berdiri dengan satu kaki. Semakin dekat bidang tumpu dengan pusat gravitasi,
maka stabilitas tubuh makin tinggi (Chang et al., 2009).

d. Kekuatan otot (Muscle Strength)

Kekuatan otot adalah kemampuan otot atau group otot menghasilkan


tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara dinamis maupun secaca
statis. Kekuatan otot dihasilkan oleh kontraksi otot yang maksimal. Otot yang
kuat merupakan otot yang dapat berkontraksi dan rileksasi dengan baik, jika otot
kuat maka keseimbangan dan aktivitas sehari-hari dapat berjalan dengan baik
seperti berjalan, lari, bekerja ke kantor, dan lain sebagainya (Sherwood, 2012).

14
10. Gangguan keseimbangan pada lansia

Gangguan keseimbangan merupakan suatu kondisi saat seseorang merasa


tidak stabil. Proses menua mengakibatkan perubahan pada komponen
keseimbangan sehingga berperan untuk menyebabkan gangguan keseimbangan
(Noohu et al., 2014).

Usia lanjut berkaitan dengan penurunan kemampuan input proprioseptif,


proses degeneratif pada sistem vestibula, reflek yang melambat, dan melemahnya
kekuatan otot. Kombinasi berbagai gangguan ini mengakibatkan waktu yang
dibutuhkan untuk memulai langkah kaki setelah mengalami gangguan
keseimbangan lebih lama dibandingkan normal yang berarti meningkatkan risiko
untuk terjadinya jatuh (Guyton & Hall, 2007).

15
BAB III

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI

A. Pengkajian Fisioterapi

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. K
Umur : 72 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Pekerjaan : ibu rumah tangga
Alamat : sambunglor, rt 15 rw 07, jambewangi, secang, magelang
CM : 00120596
II. SEGI FISIOTERAPI

i. Keluhan Utama dan Deskripsi Pasien


Keluhan Utama :
Pasien mengeluh nyeri dan kaku pada kedua lutut dan keseimbangannya yang
berkurang

RPS:

Pasien mengeluh nyeri dan kaku pada kedua lutut. Keluhan pasien meningkat
saat kedua lutut ditekuk, berdiri lama dan berjalan jauh. Pasien juga mengeluhkan
gerak kedua lutut terbatas.Keluhan pasien dimulai sejak 2010 yang lalu dan
meningkat beberapa bulan terakhir. Kemudian pasien mendapat perawatan dari
fisioterapi di RSJD Prof Dr Soerojo Magelang dan rutin menjalankan terapi.
RPP : asam urat, kolesterol, hipertensi
Riwayat Keluarga : hipertensi
ii. Data Medis Pasien
Diagnosis medis : OA genu bilateral

16
Laboraturium (21 oktober 2019) :
Asam urat darah 5,0 mg/dL (2,4-5,3 mg/dL)
Trigliserida 171 mg/dL (<203.00 mg/dL)
LDL kolesterol 136 mg/dL(<130.00 mg/dL)
Medical metosa : meloxicam, vit B12

III. PEMERIKSAAN FISIOTERAPI

iii. PEMERIKSAAN OBYEKTIF


1. Pemeriksaan Tanda Vital
(Tekanan darah, denyut nadi, pernapasan, temperatur, tinggi badan, berat badan)
HR : 80 x / menit
RR : 20 x / menit
BP : 120/90 mmHg
T : 36oC
TB : 150 cm
BB : 79 kg
2. Inspeksi/Observasi
Statis :
 Kondisi pasien tampak baik

17
 Pasien cenderung kifosis
 Pasien menggunakan dekker pada lutut kiri
 Tidak tampak deformitas varus dan valgus
 Datang menggunakan trippod
Dinamis :
 Nampak menahan nyeri saat berdiri dari posisi duduk dan berjalan bergitu
pula sebaliknya
3. Palpasi
 Nyeri tekan sisi medial lutut (pes anserinus)
 Tidak terdapat pitting oedem
 Spasme quadricep
 Suhu lokal relatif sama
4. Joint Test
a. Pemeriksaan Gerak Dasar (Gerak aktif/pasif/isometrik fisiologis)

Gerakan AGB Aktif Pasif Isometrik


ROM Nye ROM Nyeri Endfeel Tahanan Nyeri
ri
Fleksi hip Full X Full X Normal Maksimal X
Ekstensi hip Full X Full X Normal Maksimal X
Abduksi hip Full X Full X Normal Maksimal X
Adduksi hip Full X Full X Normal Maksimal X
Eksorotasi hip Full X Full X Normal Maksimal X
Endorotasi hip Full X Full X Normal Maksimal X
Fleksi knee Tidak V Tidak V Empty Minimal V
Ekstensi knee Full X Full X Normal Minimal X
Plantar fleksi ankle Full X Full X Normal Maksimal X
Dorsal fleksi ankle Full X Full X Normal Maksimal X

5. Muscle Test
Pemeriksaan kekuatan otot dilakukan dengan MMT

18
Kanan Kelompok Otot Kiri
5 Fleksor 5
5 Ekstensor 5
5 Abduktor 5
Hip
5 Adduktor 5
5 Eksorotator 5
5 Endorotator 5
4 Fleksor 4
Knee
4 Ekstensor 4
5 Dorsi fleksor 5
Ankle
5 Plantar fleksor 5

Panjang tungkai (SIAS – maleolus lateralis ):


Tungkai kanan = 54 cm
Tungkai kiri = 54 cm
7. Kemampuan Fungsional dan Lingkungan Aktivitas

Kemampuan fungsional aktifitas


 Masih bisa berpakaian sendiri seperti mengenakan celana panjang.
 Tidak mampu berjalan jauh
 Aktivitas beribadah terganggu terutama saat sujud dan duduk diantara
dua sujud maupun duduk tahiyat ahir.
 Aktivitas sehari-hari dirumah terganggu seperti menyapu, mengepel dan
mencuci pakaian serta aktivitas naik turun tangga juga terganggu karena
nyeri.
 Aktivitas bangun tidur, bangkit dari duduk/jongkok dan dari berdiri ke
duduk/jongkok terganggu karena nyeri.
Lingkungan Aktifitas
 Pasien menggunakan WC jongkok, dan WC pasien terpisah dari kamar
tidur
 Tempat jemuran baju berada di lantai 2

19
8. Pemeriksaan khusus Geriatri
a. Kebugaran (2 minute step test)
Prosedur Pemeriksaan:
 Timer selama 2 menit .
 Memposisikan lutut 90˚, dilakukan
berulang kali dalam waktu 2 menit.
Hasil : 68
b. Kekuatan otot
1) 30 seconds chair stands
Prosedur Pemeriksaan
 Posisi duduk ke berdiri dilakukan
selama 30 detik secara berulang-
ulang
Hasil : 10
2) Arm Curl

Prosedur Pemeriksaan:
 Posisi duduk
 Mengangkat barbel dengan posisi
fleksi-ekstensi elbow dilakukan
berulang-ulang selama 30 detik.
Hasil : 15
c. Fleksibilitas
1) Sit and reach test

Prosedur Pemeriksaan :
 Posisi duduk dikursi dengan tangan
meraih ibu jari kaki
 untuk mendapatkan nilai fleksibilitas
diukur dengan menggunakan midline
dari ujung jari tangan ke ibu jari kaki

20
Hasil : D : -1 cm
S : -1 cm
2) Back Stretch
Prosedur Pemeriksaan :
 Posisikan kedua tangan dibelakang
meraih satu sama lain
 Untuk mendapatkan nilai fleksibilitas
diukur dengan memegang midline
Hasil : D : -1 cm
S : -1 cm
d. Keseimbangan dan koordinasi
Prosedur Pemeriksaan
 One leg stance test : Posisikan pasien berdiri
dengan satu kaki dengan mata terbuka dan mata
tertutup.
Hasil : Pasien tidak mampu melakukan sendiri,
pasien dapat melakukan sendiri hanya 3 detik
e. Kemampuan fungsional
Barthel Index
Aktivitas Skor
Makan
0 =tidak mampu 10
5 =memerlukan bantuan, seperti memotong makanan,
mengoleskan mentega, atau memerlukan
bentuk diet khusus
10 =mandiri/tanpa bantuan
Mandi
0 =tergantung 5
5 =mandiri
Kerapian/penampilan
0 =memerlukan bantuan untuk menata penampilan diri 5

21
5 =mampu secara mandiri menyikat gigi, mengelap wajah,
menata rambut, dan bercukur
Berpakaian
0 =tergantung/tidak mampu 10
5 =perlu dibantu tapi dapat melakukan sebagian
10 =mandiri (mampu mengancingkan baju, menutup resleting,
merapikan)
Buang air besar
0 =inkontinensia, atau tergantung pada enema 10
5 =kadang mengalami kesulitan
10 =normal
Buang air kecil
0 =inkontinensia, harus dipasang kateter, atau tidak mampu 10
mengontrol BAK secara mandiri
5 =kadang mengalami kesulitan
10 =normal
Penggunaan kamar mandi/toilet
0 =tergantung 5
5 =perlu dibantu tapi tidak tergantung penuh
10 =mandiri
Berpindah tempat(dari tempat tidur ke tempat duduk, atau
sebaliknya)
0 =tidak mampu, mengalami gangguan keseimbangan 15
5 =memerlukan banyak bantuan (satu atau dua orang) untuk
bisa duduk
10 = memerlukan sedikit bantuan (hanya diarahkan secara
verbal)
15 = mandiri
Mobilitas (berjalan pada permukaan yang rata)
0 =tidak mampu atau berjalan kurang dari 50 yard 10

22
5 =hanya bisa / bergerak dengan kursiroda, lebihdari 50 yard
10 =berjalandenganbantuanlebihdari 50 yard
15 =mandiri (meskipunmenggunakanalat bantu)
Menaiki /menurunitangga
0 =tidakmampu 5
5 =memerlukanbantuan
10 =mandiri
Jumlah 90

Interpretasi :
0- 20 = ketergantungan penuh
21- 61 = ketergantungan berat
62- 90 = ketergantungan moderat
91- 99 = ketergantungan ringan
100 = mandiri
Hasil : ketergantungan moderat

Normal Range of Scores Screening Geriatri


Referensi: C.Jessie Jones And Roberta E, Rikli, Fitness Of Older Adults,The
Journal On Aktive Aging,March-April 2002

Normal Range of Scores – Men


Age 60-64 65-69 70-74 75-79 80-84 85-89 90-94
2-Min Step
(no. of steps) 87 – 115 86 - 116 80 – 110 73 – 109 71 - 103 59 - 91 52 – 86
30 Seconds Chair
stand
(no. of stands) 14 – 19 12 - 18 12 – 17 11 – 17 10 - 15 8 - 14 7 – 12
Arm Curl
(no. of reps) 16 – 22 15 - 21 14 – 21 13 – 19 13 - 19 11 - 17 10 – 14
Chair Sit-&-Reach

23
(inches +/-) -2.5 - +4.0 -3.0 - +3.0 -3.5 - +2.5 -4.0 - +2.0 -5.5 - +1.5 -5.5 - +0.5 -6.5 - -0.5
Back Scratch
(inches +/-) -6.5 - +0.0 -7.5 - -1.0 -8.0 - -1.0 -9.0 - -2.0 -9.5 - -2.0 -10.0 - -3.0 -10.5 - -4.0
8-Ft Up-&-Go
(seconds) 5.6 - 3.8 5.7 - 4.3 6.0 - 4.2 7.2 - 4.6 7.6 - 5.2 8.9 - 5.3 10.0 - 6.2

Normal Range of Scores – Women

Age 60-64 65-69 70-74 75-79 80-84 85-89 90-94


2-Min Step
(no. of steps) 75 – 107 73 - 107 68 – 101 68 – 100 60 - 91 55 - 85 44 – 72
30 Seconds Chair
stand
(no. of stands) 12 – 17 11 – 16 10 – 15 10 – 15 9 - 14 8 - 13 4 – 11
Arm Curl
(no. of reps) 13 – 19 12 – 18 12 – 17 11 – 17 10 - 16 10 - 15 8 – 13
Chair Sit-&-Reach
(inches +/-) -0.5 - +5.0 -0.5 - +4.5 -1.0 - +4.0 -1.5 - +3.5 -2.0 - +3.0 -2.5 - +2.5 -4.5 - +1.0
Back Scratch
(inches +/-) -3.0 - +1.5 -3.5 - +1.5 -4.0 - +1.0 -5.0 - +0.5 -5.5 - +0.0 -7.0 - -1.0 -8.0 - -1.0
One leg stance test
(seconds) 6.0 - 4.4 6.4 - 4.8 7.1 - 4.9 7.4 - 5.2 8.7 - 5.7 9.6 - 6.2 11.5 - 7.3

Kesimpulan Hasil Screening pada lansia:


No Screaning Score Normal Hasil Keterangan dan
Pemeriksaan saran
1 Kebugaran 73 – 107 68 Normal
2 Kekuatan otot 30 Seconds Chair Normal
stand 10
11 - 16

24
Arm curl 15
12 – 18
3 Fleksibilitas Chair Sit-&-Reach D : -1 cm
-0,5 – 4,5 S : -1 cm
Normal
Back Scratch D : -1 cm
-3,5 – 1,5 S : -1 cm
4 Keseimbangan dan Tidak normal
6,4 – 4,8 3
koordinasi
5 Fungsional 100 90 Ketergantungan
moderat
Kesimpulan: Penurunan keseimbangan dan koordinasi

8. Pemeriksaan spesifik
a. Pemeriksaan Nyeri dengan VAS (Verbal Analog Scale)
T1
Nyeri diam 1,5/10cm
Nyeri tekan (pes anserinus) 2,8/10cm
Nyeri gerak (fleksi knee) 4,1/10cm

b. Pemeriksaan LGS dengan Goneometer


Gerakan T1 Normal
Kanan Fleksi-ekstensi S:0.0.100 S:0.0.130
Kiri Fleksi-ekstensi S:0.0.60

c. Pemeriksaan spesifik
Reflek tendon patela : ++/++

Tes Krepitasi : (+/+)


Tes Appley : (-/-)
Tes Ballotement : (-/-)
Tes Anterior drawer sign : (-/-)

25
Tes Posterior drawer sign : (-/-)
Tes Varus (-/-)
Tes Valgus (-/-)
d. Pemeriksaan spasme dengan palpasi
Spasme quadricep +++/+++
e. Pemeriksaan fungsional lutut dengan skala Jette :
Bentuk Aktivitas Kemampuan beraktivitas Nilai
Berdiri dari posisi duduk Nyeri 3
Kesulitan 4
Ketergantungan 1
Berjalan 15 meter Nyeri 3
Kesulitan 4
Ketergantungan 2
Naik tangga 3 trap Nyeri 3
Kesulitan 4
Ketergantungan 2
Total 26
Keterangan :

Penilaian nyeri: tak ada nyeri=1, nyeri ringan=2, nyeri sedang=3, sangat
nyeri=4

Penilaian tingkat kesulitan: sangat mudah =1, agak mudah=2, sedang=3,


agak sulit=4, sangat sulit=5

Penilaian tingkat ketergantungan: tanpa bantuan=1, butuh bantuan alat=2,


butuh bantuan orang lain=3, butuh bantuan alat & orang lain=4, tak dapat
melakukan=5

26
B. ALGORITMA

Nyeri dan kaku pada kedua lutut

Functioning and disability Contextual factor

Faktor eksternal Faktor internal


OA Knee bilateral Usia 72 tahun

Trauma Usia
Nyeri dan keterbatasan gerak sendi knee bilateral
Pekerjaan Jenis kelamin
Nutrisi
Pemeriksaan kebugaran Genetik
Ballotement test Pemeriksaan kekuatan otot
Mc murray Pemeriksaan fleksibilitas
Varus/valgus Pemeriksaan keseimbangan dan koordinasi
Tes laci sorong Pemeriksaan kemampuan fungsional
Krepitasi

keseimbangan dan koordinasi


Statis :
Ku tampak baik
Cenderung kifosis
Pakai deker di lutut kiri ICF
Tidak tampak deformitas varus valgus
Datang dengan tripod
Dinamis :
Body function Body structure
Nampak menahan nyeri saat ditekuk S75011 knee joint
B7100 mobility of a single joint
B7150 stability of a single joint
B28016 pain in joint
Nyeri tekan di sisi medial lutut
Spasme quadricep
Suhu lokal relatif sama
Impairment
Tidak terdapat pitting oedem

nyeri keseimbangan kekuatan otot LGS Spasme quadricep

IR Stabilisation exercise Isometric exercise exercise Myofacial release


Tens Koreksi postur

↑ kemampuan fungsional

27
C. KODE DAN KETERANGAN PEMERIKSAAN ICF

Body Function

B7100 mobility of a single joint

B7150 stability of a single joint

Activities and Participation

D2108 changing basic body position other specified


D4158 maintaining a body position other specified

Enviromental Factors

E1200 general products and technology for personal indoor and


outdoor mobility and transportation
E1400 general products and technology for culture, recreation, and
sport

Body structures

S75011 knee joint

D. DIAGNOSIS FISIOTERAPI

1. Impairment
- Nyeri pada kedua lutut
- Nyeri tekan pada kedua lutut (pes anserinus)
- Penurunan kekuatan otot kedua lutut
- Keterbatasan gerak kedua lutut
- Spasme otot quadricep
- Penurunan keseimbangan
2. Functional Limitation
- Keterbatasan duduk bersimpuh
- Terbatas naik turun tangga
- Terbatas berdiri lama
- Tarbatas jongkok

28
- Terbatas berjalan jauh
3. Disability / Participation restriction
Pasien mengalami kesulitan dalam kegiatan sosial di masyarakat. Misalnya saat
harus berjongkok waktu kerja bakti dan kesulitan duduk di lantai saat pertemuan
warga

E. PROGRAM FISIOTERAPI
1. Tujuan Jangka Panjang
- Mengoptimalkan kemampuan fungsional
- Meningkatkan kekuatan otot
- Meningkatkan keseimbangan
2. Tujuan Jangka Pendek
- Mengurangi nyeri pada kedua lutut
- Mengurangi nyeri tekan pada kedua lutut (pes anserinus)
- Meingkatkan LGS kedua lutut
- Mengurangi spasme otot quadricep
3. Teknologi Intervensi Fisioterapi
- IR
- Tens
- Myofacial release
- Static ergo cycle
- Static kontraksi quadricep
- Exercise
- Isometric exercise (strengthening)
- Stabilistation exercise
- Correct posture
F. RENCANA EVALUASI
1. Evaluasi nyeri dengan VAS
2. Evaluasi LGS dengan goneometer
3. Evaluasi kekuatan otot dengan MMT

29
4. Evaluasi keseimbangan dan koordinasi dengan screening geriatri one leg
stance test
5. Evaluasi spasme dengan palpasi
6. Evaluasi kemampuan fungsional dengan skala jette
G. PROGNOSIS
1. Quo ad Vitam : Bonam

2. Quo ad Sanan : Bonam

3. Quo ad Fungsionam : Bonam

4. Quo ad Cosmeticam : Bonam

H. PELAKSANAAN TERAPI
1. Infra red therapy
Pelaksanaan :

 Persiapkan alat IR terlebih dahulu.


 Posisikan pasien terlentang terlebih dahulu kemudian buka area
terapi yaitu lutut dari celana.
 Dosis yang diberikan: sub mitis, waktu 10 menit
 Jarak antara alat dan area terapi sesuai dengan toleransi pasien
2. TENS
Pelaksanaan :

 Persiapkan alat TENS terlebih dahulu.


 Posisi pasien terlentang.
 Pasang 1 channel pada titik nyeri lutut kanan dan lutut kiri.
 Diikat dengan perekat supaya lebih menempel.
 Dosis yang diberikan: frekwensi 200 pps, intensitas 25 mA, pola
continue.
 Mulai menaikkan intensitas TENS secara perlahan sesuai dengan
toleransi pasien.
3. Myofacial release

30
Di release otot otot yang spasme
4. Static ergo cycle
Bersepedaan selama 10 menit dengan beban minimal toleransi pasien
5. Static kontraksi quadricep
Posisi pasien terlentang, pasien diminta menekan lutut ke bed, tahan 5
hitungan kemudain relaks. Diulangi 8x
6. Exercise
- Quadricep set (10x)
- Cycling in air (2 menit)
- SLR (10x)
- Full arc extension (10x)
- Wall slide (10x)
7. Isometric exercise (strengthening)
Pasien diminta fleksi hip, ekstensi hip, abduksi hip, adduksi hip,
eksorotasi hip, endorotasi hip, fleksi knee, ekstensi knee diberi tahanan
oleh terapis. Tiap gerakan diulangi 8x
8. Correct posture
a. Pasien diminta untuk duduk
b. Koreksi pelvic
c. Pasien aktif untuk pelvic on-kemudian off dibantu diarahakan secara
benar
d. Koreksi tinggi pelvic kanan kiri, posisi kedepan dan kebelakang
e. Dibantu dirahkan untuk posisi yang benar
9. Stabilistation exercise
a. Latihan keseimbangan - berdiri pada satu kaki
1. berdiri satu kaki di belakang kursi yang kokoh.
2. tangan yang menumpu keseimbangan hingga 10 detik.
3. Ulangi dengan kaki satu nya.
4. dosis 15 repitisi
b. Menyeimbangkan latihan - berjalan dengan tumit

31
1. Posisi tumit satu kaki di jari-jari kaki lainnya. tumit dan jari
kaki harus menyentuh.
2. Pilih tempat depan Anda dan fokus pada saat Anda berjalan.
3. Melangkah dan menempatkan tumit Anda tepat di depan
kaki kaki Anda yang satunnya.
4. Ulangi untuk 20 langkah.
c. Menyeimbangkan latihan – keseimbangan kaki
1. Angkat lengan ke sisi luar, setinggi bahu.
2. Pilih tempat depan Anda dan fokus pada saat Anda berjalan.
3. Berjalan di garis lurus dengan satu kaki di depan yang lain.
4. Angkat kaki saat Anda berjalan. Jeda selama 1 detik sebelum
melangkah maju.
Ulangi untuk 20 langkah,dengan bergantian kaki
10. Edukasi dan home program
Edukasi
 Pasien diminta mengurangi aktivitas naik turun tangga, jika
terpaksa naik turun tangga, pasien disarankan untuk naik turun
tangga bertahap tiap trap.
 Jika bepergian jauh jangan jalan kaki, lebih baik menggunakan
sepeda dan menggunakan deker
 Pasien diajarkan untuk melakukan latihan penguatan otot-otot
sekitar sendi, seperti quadriceps, saat berada di rumah. Latihan
penguatan ini dapat dengan kantong pasir dengan prinsip seperti
quadriceps bench. Duduk di kursi dengan santai kemudian kaki
kanan atau kiri diangkat dan diluruskan dan sejajar ditambah
dengan pergelangan kaki di tekuk. Kemudian tahan 10 hitungan
kemudian turun. Lakukan pengulangan sampai terasa lelah.
 Jika lutut terasa nyeri, gunakan kompres hangat agar nyeri
berkurang.
 Stabilkan berat badan (jangan sampai obesitas), kurangi naik turun
tangga, jongkok, dan berjalan jauh.

32
Home programme
 Latihan aktif fleksi dan ekstensi lutut kanan pada posisi duduk di
tepi bed.
 Statik kontraksi otot quadriceps, dengan menekankan lutut
kanannya ke tempat tidur
9 Januari 2020
- IR
- Tens
- Myofacial release
- Static ergo cycle
- Static kontraksi quadricep
- Exercise
- Isometric exercise (strengthening)
- Stabilistation exercise
- Correct posture
14 Januari 2020
- IR
- Tens
- Myofacial release
- Static kontraksi quadricep
- Exercise
- Isometric exercise (strengthening)
- Stabilistation exercise
16 Januari 2020
- IR
- Tens
- Myofacial release
- Static kontraksi quadricep
- Exercise
- Isometric exercise (strengthening)
- Stabilistation exercise

33
I. EVALUASI DAN TINDAK LANJUT
1. Evaluasi Nyeri dengan VAS (Verbal Analog Scale)

T1 T2 T3
Nyeri diam 1,5/10c 1/10cm 0/10cm
m
Nyeri tekan (pes anserinus) 2,8/10c 2,4/10cm 1,7/10cm
m
Nyeri gerak (fleksi knee) 4,1/10c 3,7/10cm 3,5/10cm
m

2. Evaluasi LGS dengan Goneometer


Gerakan T1 Normal
Kanan Fleksi-ekstensi S:0.0.100 S:0.0.110 S:0.0.120 S:0.0.130
Kiri Fleksi-ekstensi S:0.0.60 S:0.0.85 S: 0.0.90

3. Evaluasi kekuatan otot


Kanan Kelompok Otot Kiri
T1 T2 T3 T1 T2 T3
5 5 5 Fleksor 5 5 5
5 5 5 Ekstensor 5 5 5
5 5 5 Abduktor 5 5 5
Hip
5 5 5 Adduktor 5 5 5
5 5 5 Eksorotator 5 5 5
5 5 5 Endorotator 5 5 5
4 4 4 Fleksor 4 4 4
Knee
4 4 4 Ekstensor 4 4 4
5 5 5 Dorsi fleksor 5 5 5
Ankle
5 5 5 Plantar fleksor 5 5 5

4. Evaluasi kemampuan fungsional dengan jette

34
Bentuk Aktivitas Kemampuan beraktivitas T T2 T3
1
Berdiri dari posisi duduk Nyeri 3 3 2
Kesulitan 4 4 3
Ketergantungan 1 1 1
Berjalan 15 meter Nyeri 3 3 2
Kesulitan 4 4 3
Ketergantungan 2 1 1
Naik tangga 3 trap Nyeri 3 3 2
Kesulitan 4 4 3
Ketergantungan 2 2 2
Total 26 25 19

5. Evaluasi spasme dengan palpasi


T1 T2 T3
Spasme quadricep +++/+++ ++/++ +/+
T1 T2 T3
Keseimbangan dan koordinasi One leg stance test 3 s 5s 6s
(7,5 - 4,5 s)

6. Evaluasi fleksibilitas dengan screening geriatri (one leg stance test)

35
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Seorang pasien bernama Ny. K berusia 72 tahun dengan diagnosis medis


osteoarthritis bilateral. Setelah mendapat penanganan fisioterapi di dapatkan
hasil :

a. Penurunan spasme quadricep


b. Penurunan nyeri kedua lutut
c. Peningkatan LGS pada kedua lutut
d. Peningkatan keseimbangan
e. Belum terdapat peningkatan kekuatan otot
f. Peningkatan kemampuan fungsional dengan jette

36

Anda mungkin juga menyukai