OLEH :
i
LEMBAR PENGESAHAN
Mengetahui,
Clinical Educator
ii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Anatomi Fasialis............................................................................. 1
B. Fisiologi Nervus Fasialis................................................................ 2
BAB II PATOFISIOLOGI
A. Definisi Bell’s Palsy....................................................................... 6
iii
BAB I
PATOFISIOLOGI
B. Epidemiologi
Bell’s palsy dapat dijumpai baik pada pria maupun wanita dengan
tingkat insidensi yang hampir sama, tetapi paling sering muncul pada pria usia
40 tahun keatas, dan pada wanita dibawah 20 tahun. Secara umum kejadian
paling umum terjadi pada grup usia 15-45 tahun. Pada populasi general tingkat
kejadian berada pada angka 11.5 hingga 40.2 per 100.000 populasi. di AS,
kejadian terjadi dalam jarak 25-30 per 100.000 populasi, di jepang 30 kejadian
per 100.000 populasi, dan di inggris dengan kejadian 20.2 per 100.000
populasi (Vakharia, 2016).
Selain itu insiden Bell’s Palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua
kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. Prevalensi rata-rata berkisar antara 10-
30 pasien per 100.000 populasi per tahun, meningkat sesuai pertambahan
umur. Lebih terlihat di antara populasi lebih muda, laki-laki lebih banyak
1
2
atau disekitar telinga, dan air liur sering keluar. Adapun gejala pada mata
ipsilateral yaitu: sulit atau tidak mampu menutup mata ipsilateral, air mata
berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya
(Dewanto, 2009).
G. Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi pada Bell’s palsy, antara lain
(Purwatiningsih, 2012) :
1. Sindroma air mata buaya (Crocodile Tears Syndroma)
Sindroma air mata buaya merupakan gejala tersebut pertama timbul
karena konyungtiva bulbi tidak dapat penuh di tutupi kelopak mata yang
lumpuh, sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu dan sebagainya.
2. Kontraktur otot wajah
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis
lebih jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat.
3. Synkenesis (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot wajah tidak dapat digerakan satu persatu atau
tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh
memejamkan mata, maka otot obicularis orispun ikut berkontraksi dan
sudut mulut terangkat. Bila disuruh mengembungkan pipi, kelopak mata
ikut merapat.
4. Spasme spontan
6
3. Trigeminal neuralgia
Trigeminal neuralgia adalah suatu peradangan pada saraf trigeminal yang
menyebabkan rasa sakit yang hebat dan kejang otot di wajah.
Penyebab terjadinya trigeminal neuralgia adalah adanya kompresi
neurovaskular, adanya tumor atau kista, sklerosis multipel, diabetes melitus,
neuralgia-inducing cavitational osteonecrosis. Gejala klinis yang timbul oleh
trigeminal neuralgia adalah adanya nyeri unilateral, nyeri tajam seperti
ditusuk, nyeri bersifat ekstrem dan paroksimal, durasi nyeri spasme tunggal
berlangsung <2 menit, rasa nyeri umumnya terpicu oleh sentuhan ringan pada
titik picu yang spesifik dan konstan.
BAB II
ANATOMI FISIOLOGI
A. Anatomi Wajah
Wajah adalah bagian anterior dari kepala, dengan batas kedua telinga
lateral, dagu di inferior dan garis batas tumbuhnya rambut di superior.
Tulang tengkorak mempunyai bagian-bagian yang biasanya ditinjau
dari beberapa aspek yaitu aspek anterior, posterior, superior, dan inferior serta
lateral. Terkait dengan perjalanan N. Facialis maka cranium ditinjau dari arah
lateral dan melibatkan Os temporalis, Canalis facialis, Foramen
stylomastoideus, Ramus mandibularis aspek lateral (Shiffman and Giuseppe,
2012).
Jika dilihat dari struktur otot, otot pada wajah sangatlah tipis dan rata.
Tidak semua otot wajah melekat pada tulang, kebanyakan saling terikat pada
fascia otot yang lainnya. Otot diwajah berperan untuk memberikan ekspresi
serta memberikan gerakan seperti mengerutkan dahi, menutup kelopak mata,
mengunyah, dan lainnya (Shiffman and Giuseppe, 2012).
Nervus facialis adalah salah satu dari 12 pasang saraf cranial. Nervus
facialis merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot wajah. Otot-otot
yang dipersarafi adalah (Netter, 2014):
1. M. Frontalis, fungsinya mengangkat alis mata dan mengerutkan dahi
(ekspresi heran)
2. M. Orbicularis Oculi, fungsinya menutup mata (ekspresi memejamkan
mata)
3. M. Orbicularis Oris, fungsinya mengucupkan mulut ke depan (ekspresi
bersiul)
4. M. Proserus, fungsinya mengangkat hidung (ekspresi benci)
5. M. Nasalis, fungsinya melebarkan daun hidung (ekspresi mencium bau)
6. M. Currogator Supercili, fungsinya menarik alis mata ke tengah dan
menurun sehingga membentuk lipatan atau kerutan di antara kedua alis
mata (ekspresi marah)
9
serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen
somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (Japardi, 2004)
Anamnesis Khusus
C: Chief of complaint
Kelemahan otot wajah sebelah kanan
H: History taking
Berawal dari 6 minggu yang lalu saat sehabis makan daging,
pasien merasakan nyeri di gigi kanan nya, dan langsung minum obat asam
mefenamat. Ketika di jalan pulang sudah terasa wajah kaku dan susah
berbicara. Saat sampai dirumah diperoleh jika wajah sudah tidak simetris
(mencong ke kiri). Saat malam pasien langsung dibawa ke dokter, dan
diberikan suntikan di paha serta treatment Fisioterapi. Sejak saat itu pasien
rutin melakukan fisioterapi 2 kali seminggu. Awalnya makan suka
bertumpuk di satu bagian, namun sekarang mulai membaik. Tidak
merasakan pusing kepala sebelum dan setelah kejadian. Sudah melakukan
cek laboratorium dan dikatakan normal. Di tempat kerja, tempat duduk
pasien langsung berhadapan dengan 2 AC. Pasien tetap bekerja meski
sakit, kondisi ini membuat kepercayaan diri pasien berkurang sehingga
terus menggunakan masker, namun begitu semangat untuk sembuh sangat
tinggi. Memiliki riwayat penyakit jantung bawaan (kebocoran di dua
katup) sejak lahir. Terkadang leukosit pasien rendah. Tidak memiliki
keluhan lain.
16
17
A: Asymmetry
1. Inspeksi statis
- Pasien tampak cemas
- Tampak wajah asimetris
- Senyum asimetris
2. Inspeksi dinamis
- Saat berbicara, tampak bibir asimetris
- Alis kanan tidak tampak terangkat (asimetris)
- Kelopak mata kanan tidak dapat tertutup dengan rapat
- Saat Tersenyum dan bersiul bibir cenderung ke kiri
- Tampak pola pengembangan lubang hidung simetris
3. Palpasi
- Suhu : normal
- Oedem : tidak ada
- Tenderness : m. levator labii superioris dan m. orbicularis oris
pars labialis
- Kontur kulit : normal
4. PFGD
- Mengangkat alis : Kanan lebih rendah dari pada kiri
- Menutup mata : Mata kanan tidak tertutup sempurna
- Membuka mulut : Mampu
- Tersenyum : Bibir condong ke kiri
- Bersiul : Bibir condong ke kiri
R: Restrictive
1. Limitasi ROM : (-)
2. Limitasi ADL : Terganggu (Saat berbicara)
3. Limitasi Rekreasi : Terganggu (Berdandan)
4. Limitasi Pekerjaan : Terganggu (Public speaking)
T: Tissue impairmentand psychological prediction
1. Musculotendinogen : kelemahan otot-otot wajah (m. Frontalis,
m. Corrugator supercili, m. Procerus, m. Levator labii superior, m.
18
Dextra Sinistra
m. frontalis 3 5
m. corrugator supercili 3 5
m. procerus 3 5
m. zygomaticum mayor 3 5
m. orbicularis oculi 3 5
m. orbicularis oris 3 5
m. buccinator 3 5
m. risorius 3 5
m. mentalis 3 5
Tersenyum 30% x 30 9
Bersiul 30% x 10 3
Jumlah 38
B. Diagnosis Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil
proses pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:
”Gangguan Fungsional Wajah Akibat Kelemahan Otot Wajah Dextra E.C.
Bell’s Palsy Sejak 6 Minggu Yang Lalu”
3. Program
No PROBLEM MODALITAS DOSIS
. FISIOTERAPI FISIOTERAPI
T : 2 menit
5 Limitasi ADL Exercise therapy F : 1x/hari
I : 8 hit/ 3 rep
T : ADL exercise (meniup,
bersiul, mengembungkan
pipi, mencucu, dll.)
T : 5 menit
Exercise therapy F : 3x/hari
I : Pasien fokus
T : mirror exercise
T : 3 menit
2. Modifikasi :
22
3. Home Program
Untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan kesembuhan pasien,
diberikan latihan – latihan yang dapat dilakukan dirumah seperti:
a. Mirror exercise yakni dengan melakukan latihan di depan cermin
dengan melakukan koreksi posisi pada wajah dan latihan-latihan
seperti bersiul, mencucu, menggembungkan pipi, dll.
b. Latihan persiapan pasien untuk kembali ke aktifitas fungsional seperti,
latihan minum menggunakan sedotan, makan permen karet, meniup
kertas, mengosok gigi dan kumur-kumur.
c. Pemberian edukasi seperti menggunakan masker wajah saat
berkendara, mengurangi paparan langsung AC dan mengurangi rasa
stress.
DAFTAR PUSTAKA
Adhayani, Fatma. 2013. Perbandingan efek metil prednisolone tunggal dengan
kombinasi metil prednisolone dengan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan
klinis pasien bell’s palsy. Tesis. Medan: universitas sumatera utara
Aras, Djohan. 2013. Proses dan Pengukuran Fisioterapi. Makassar: CV. Physio
Sakti.
Bahruddin, M. 2011. Bell’s palsy. Universitas Muhammadiyah Malang, 7(15).
De Almeida, JR. et al. 2014. Management of bell palsy: Clinical practice
guideline. CMAJ, 186(12): 917–922.
Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y, editors. 2009. Panduan praktis
diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC.
Gopalan, Smijal. 2013. Facial Nerve. India : AIMS, Kochi.
Greco, A., Gallo, A., Fusconi, M., Macri, G.F., De Vincentils, M.. 2012. Bell’s
Palsy And Autoimunnity. Elsevier B.V. 323-328
Japardi, Iskandar. 2004. Nervus Facialis. Medan: Bagian Bedah FK Universitas
Sumatera Utara.
Liana, A. R. 2015. Trigeminal Neuralgia. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti.
Lowis, H., & Gaharu, M.N. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer. J of Indonesia Med. Ass.,.62(1): 32.
Mujaddidah, nur. 2017. Tinjauan anatomi klinik dan manajemen bell’s palsy.
Qanun Medika, 1(2): 1-11.
Munilson, Jacky et al., 2007. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy.
Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Netter, F. H. 2014. Atlas of Human Anatomy Sixth Edition. Philadelphia:
Saunders.
Purwatiningsih, E. S. 2012. Penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi bell’s
palsy sinistra di rsud dr. Moewardi Surakarta. Jawa Tengah: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Shiffman, M. A., & Giuseppe, A. D. 2012. Cosmetic surgery: Art and techniques.
New York: Springer.
Sukardi & Nara. 2011. Bell’s Palsy. Cermin Dunia Kedokteran Edisi IV, 72-76.
23
Sun, M. Z., Oh, M. C., Safaee, M., Kaur, G., & Parsa, A. T. 2012.
Neuroanatomical correlation of the House-Brackmann grading system in the
microsurgical treatment of vestibular schwannoma. Neurosurg Focus, 33(3):
E7.
Snell, R. S. 2012. Clinical Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Vakharia. 2016. Bell’s Palsy. Facial Plast Surg Clin N Am, 24(1): 1–10.
24
LAMPIRAN
Lampiran 1
Interpretasi :
0 - 7 = Normal
8 - 13 = Depresi ringan Total Nilai : 12
14 - 18 = Depresi sedang Interpretasi : Depresi Ringan
19 - 22 = Depresi berat
> 23 = Depresi sangat berat
Lampiran 2
Nilai Interpretasi
0 (zero) Tidak ada kontraksi bisa diraba atau dilihat
1 (trace) Tidak ada gerakan, tetapi dengan palpasi kontraksi dapat
dirasakan
3 (fair) Gerakan bisa dilakukan, tetapi dengan kesulitan atau hanya
sebagian
5 (normal) Kontraksi penuh, terkontrol dan simetris
Lampiran 3
Penilaian dalam Ugo Fisch Scale
Nilai Interpretasi
0 % (zero) Asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter sama sekali
30 % (poor) Simetris ringan, kesembuhan cenderung ke asimetris, ada
gerakan volunter
70 % (fair) Simetris sedang, kesembuhan cenderung normal
100 % (normal) Simetris komplit (normal)
Derajat Interpretasi
Derajat I (100 point) Normal
Derajat II (75-99 point) Kelumpuhan ringan
Derajat III (50-75 point) Kelumpuhan sedang
Derajat IV (25-50 point) Kelumpuhan sedang berat
Derajat V (1-25 point) Kelumpuhan berat
Derajat VI (0 point) Kelumpuhan total
Lampiran 5
Dokumentasi
Thumb/finger kneeding
Massage
PNF Wajah