Anda di halaman 1dari 34

LAPORAN STUDI KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FT GANGGUAN FUNGSIONAL WAJAH


AKIBAT KELEMAHAN OTOT WAJAH DEKSTRA
E.C. BELL’S PALSY SEJAK 6 MINGGU YANG LALU

OLEH :

1. FAHRUL RINJA, S.FT. R024172010


2. HASRIANI, S.FT. R024172008
3. NURUL GUSTIYANI, S.FT. R024172033
4. RINA MELIANTI, S.ST.FT R024172047
5. SELVINA BELOBUA, S.FT. R024172031
6. DESY FIRDAYANTI, S.FT R024172033
7. PRATIWI NURUL IMANSARI, S.FT R024172039
8. ANDI NUR AISYAH ABBAS, S.FT R024172025

PROGRAM STUDI PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2018

i
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Studi Kasus Profesi Fisioterapi dengan judul Manajemen Fisioterapi


Gangguan Fungsional Wajah Akibat Kelemahan Otot Wajah Dekstra E.C
Bell’s Palsy Sejak 6 Minggu yang lalu.
pada tanggal 19 September 2018.

Mengetahui,

Clinical Instructor Clinical Instructor

Andi Irham, S.Ft., Physio Nahdir, S.ST,Ft,S.KM

Clinical Educator

Nurhikmawaty Hasbiah, S.Ft,Physio., M.Kes

ii
DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................. ii
DAFTAR ISI..................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Anatomi Fasialis............................................................................. 1
B. Fisiologi Nervus Fasialis................................................................ 2
BAB II PATOFISIOLOGI
A. Definisi Bell’s Palsy....................................................................... 6

B. Epidemiologi Bell's Palsy................................................................ 6


C. Klasifikasi Bell’s Palsy................................................................... 7
D. Etiologi Bell’s Palsy....................................................................... 8
E. Tanda dan Gejala Bell’s Palsy........................................................ 9
F. Patofisiologi Bell’s Palsy................................................................ 10
G. Diagnosis Banding Bell’s Palsy...................................................... 10
BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI
A. Proses Pengukuran dan Pemeriksaan Fisioterapi............................ 12
B. Diagnosis Fisioterapi...................................................................... 14
C. Problem, Planning, dan Program Fisioterapi.................................. 15
D. Evaluasi, Modifikasi, dan Home Program Fisioterapi.................... 16
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................... 18

iii
BAB I
PATOFISIOLOGI

A. Definisi Bell’s Palsy


Bell’s Palsy pertama sekali dideskripsikan pada tahun 1821 oleh
seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles Bell (Lowis, 2012).
Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan saraf wajah secara akut
(acute onset) pada sisi sebelah wajah (De Almeida, 2014).
Bell’s Palsy adalah suatu kerusakan facial nerve sehingga terjadi
kelumpuhan pada saraf tersebut, yang menyebabkan terjadi kelainan pada
bentuk wajah (asymmetry). Nama penyakit ini diambil dari nama Sir Charles
Bell, dokter ahli bedah dari Skotlandia adalah orang pertama yang meneliti
tentang sindroma kelumpuhan saraf fasialis dan sekaligus meneliti tentang
distribusi dan fungsi saraf fasialis. Oleh karena itu nama Bell diambil untuk
diagnosis setiap kelumpuhan saraf fasialis perifer yang tidak diketahui
penyebabnya (Lowis, 2012).

B. Epidemiologi
Bell’s palsy dapat dijumpai baik pada pria maupun wanita dengan
tingkat insidensi yang hampir sama, tetapi paling sering muncul pada pria usia
40 tahun keatas, dan pada wanita dibawah 20 tahun. Secara umum kejadian
paling umum terjadi pada grup usia 15-45 tahun. Pada populasi general tingkat
kejadian berada pada angka 11.5 hingga 40.2 per 100.000 populasi. di AS,
kejadian terjadi dalam jarak 25-30 per 100.000 populasi, di jepang 30 kejadian
per 100.000 populasi, dan di inggris dengan kejadian 20.2 per 100.000
populasi (Vakharia, 2016).
Selain itu insiden Bell’s Palsy dilaporkan sekitar 40-70% dari semua
kelumpuhan saraf fasialis perifer akut. Prevalensi rata-rata berkisar antara 10-
30 pasien per 100.000 populasi per tahun, meningkat sesuai pertambahan
umur. Lebih terlihat di antara populasi lebih muda, laki-laki lebih banyak

1
2

terkena daripada perempuan. Sekitar 8-10% kasus berhubungan dengan


riwayat keluarga yang pernah menderita penyakit ini (Vakharia, 2016).
Pada tingkat keparahan palarisis, sebanyak 70% pasien mengalami
kondisi paralisis komplit dan 30% sisanya mengalami paralisis inkomplit, dan
mengenai wajah di kedua sisi sama rata. Paralisis bilateral terjadi sangat
jarang dengan insidensi yang hanya sebesar 0.3%. kejadian bell’s palsy 9%
terjadi secara tiba-tiba, 8% dikarenakan riwayat keluarga dan sisanya terjadi
dikarenakan faktor yang lain seperti hipertensi, gangguan imun, infeksi
pernafasan, dan kehamilan (Vakharia, 2016).
Pada kondisi kasus paralisis inkomplit tingakat kondisi wajah dapat
kembali normal sebesar 71-84% sedangkan pada kondisi inkomplit sebesar
94% dan hampir semua pasien dapat kembali normal dalam waktu sekitar 4
bulan (Greco, 2012).

C. Klasifikasi Bell’s Palsy


Sistem klasifikasi ini dikembangkan oleh House and Brackmann dengan skala
I sampai VI (Sun et al, 2012) :
1. Grade I adalah fungsi fasial normal.
2. Grade II disfungsi ringan. Karakteristiknya adalah sebagai berikut
a. Kelemahan ringan saat diinspeksi mendetil.
b. Sinkinesis ringan dapat terjadi.
c. Simetris normal saat istirahat.
d. Gerakan dahi sedikit sampai baik.
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan sedikit usaha.
f. Sedikit asimetri mulut dapat ditemukan.
3. Grade III adalah disfungsi moderat, dengan karekteristik:
a. Asimetri kedua sisi terlihat jelas, kelemahan minimal.
b. Adanya sinkinesis, kontraktur atau spasme hemifasial dapat
ditemukan.
c. Simetris normal saat istirahat.
d. Gerakan dahi sedikit sampai moderat.
e. Menutup mata sempurna dapat dilakukan dengan usaha.
3

f. Sedikit lemah gerakan mulut dengan usaha maksimal.


4. Grade IV adalah disfungsi moderat sampai berat, dengan tandanya sebagai
berikut:
a. Kelemahan dan asimetri jelas terlihat.
b. Simetris normal saat istirahat.
c. Tidak terdapat gerakan dahi.
d. Mata tidak menutup sempurna.
e. Asimetris mulut dilakukan dengan usaha maksimal.
5. Grade V adalah disfungsi berat. Karakteristiknya adalah sebagai berikut:
a. Hanya sedikit gerakan yang dapat dilakukan.
b. Asimetris juga terdapat pada saat istirahat.
c. Tidak terdapat gerakan pada dahi.
d. Mata menutup tidak sempurna.
e. Gerakan mulut hanya sedikit.
6. Grade VI adalah paralisis total. Kondisinya yaitu:
a. Asimetris luas.
b. Tidak ada gerakan.
Dengan sistem ini, grade I dan II menunjukkan hasil yang baik, grade
III dan IV terdapat disfungsi moderat, dan grade V dan VI menunjukkan hasil
yang buruk. Grade VI disebut dengan paralisis fasialis komplit. Grade yang
lain disebut sebagai inkomplit. Paralisis fasialis inkomplit dinyatakan secara
anatomis dan dapat disebut dengan saraf intak secara fungsional. Grade ini
seharusnya dicatat pada rekam medik pasien saat pertama kali datang
memeriksakan diri.

D. Tanda dan Gejala Bell’s Palsy


Pada pasien Bell’s palsy, tanda dan gejala klinisnya yang timbul pada sisi
wajah ipsilateral seperti kelemahan otot wajah, kerutan dahi mengilang
ipsilateral, tampak seperti orang letih, tidak mampu atau sulit mengedipkan
mata, hidung terasa kaku, sulit bicara, sulit makan dan minum, sensitif
terhadap suara (hiperakusis, salivasi yang berlebihan atau berkurang,
pembengkakan wajah, berkurang atau hilanganya rasa kecap, nyeri didalam
4

atau disekitar telinga, dan air liur sering keluar. Adapun gejala pada mata
ipsilateral yaitu: sulit atau tidak mampu menutup mata ipsilateral, air mata
berkurang, alis mata jatuh, kelopak mata bawah jatuh, sensitif terhadap cahaya
(Dewanto, 2009).

E. Etiologi Bell’s Palsy


Lima kemungkinan (hipotesis) penyebab Bell’s palsy, yaitu iskemik
vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Hipotesis virus lebih banyak
dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Sebuah penelitian mengidentifikasi
genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria
usia lanjut yang meninggal enam minggu seteah mengalami bell’ss palsy
(Lowis & Gaharu, 2012).
Diperkirakan, penyebab Bell’s palsy adalah virus. Akan tetapi, baru
beberapa tahun terakhir ini dapat dibuktikan etiologi ini secara logis karena
pada umumnya kasus BP sekian lama dianggap idiopatik. Telah diidentifikasi
gen Herpes Simpleks Virus (HSV) dalam ganglion genikulatum penderita
Bell’s palsy (Ropper, 2003 ; Bahrudin, 2011). Tahun 1972, McCormick
pertama kali mengusulkan HSV sebagai penyebab paralisis fasial idiopatik.
Dengan analaogi bahwa HSV ditemukan pada keadaan masuk angin (panas
dalam/cold sore), dan beliau memberikan hipotesis bahwa HSV bisa tetap
laten dalam ganglion genikulatum. (Ropper, 2003 ; Bahrudin, 2011).

F. Patofisiologi Bell’s Palsy


Bell’s palsy diyakini disebabkan oleh inflamasi saraf fasialis pada ganglion
genikulatum, yang menyebabkan kompresi, iskemia dan demielinasi.
Ganglion ini terletak didalam kanalis fasialis pada persambungan labirin dan
segmen timpani, dimana lengkungan saraf secara tajam memasuki foramen
stylomastoideus (Tiemstra dkk, 2007).
Para ahli menyebutkan bahwa Bell’s palsy terjadinya di akibatkan dari
proses inflamasi akut pada nervus fasialis di daerah tulang temporal, di sekitar
foramen stilomastoideus pada nervus fasialis yang menyebabkan peningkatan
diameter nervus fasialis sehingga terjadi kompresi dari saraf tersebut pada saat
melalui tulang temporal. Perjalanan nervus fasialis keluar dari tulang temporal
5

melalui kanalis fasialis yang mempunyai bentuk seperti corong yang


menyempit pada pintu keluar sebagai foramen mental. Dengan bentukan
kanalis yang unik tersebut, adanya inflamasi, demyelinisasi atau iskemik dapat
menyebabkan gangguan dari konduksi (Purwatiningsih, 2012).
Beberapa mekanisme termasuk iskemia primer atau inflamasi saraf fasialis,
menyebabkan edema dan penjepitan saraf fasialis selama perjalanannya
didalam kanal tulang temporal dan menghasilkan kompresi dan kerusakan
langsung atau iskemia sekunder terhadap saraf (Kanerva 2008 ; Adhayani,
2013). Mekanisme lainnya adalah infeksi virus, yang secara langsung
merusak fungsi saraf melalui mekanisme inflamasi, yang kemungkinan terjadi
pada seluruh perjalanan saraf dan bukan oleh kompresi pada kanal tulang
(Kanerva 2008 ; Adhayani 2013).

G. Komplikasi
Komplikasi yang umum terjadi pada Bell’s palsy, antara lain
(Purwatiningsih, 2012) :
1. Sindroma air mata buaya (Crocodile Tears Syndroma)
Sindroma air mata buaya merupakan gejala tersebut pertama timbul
karena konyungtiva bulbi tidak dapat penuh di tutupi kelopak mata yang
lumpuh, sehingga mudah mendapat iritasi angin, debu dan sebagainya.
2. Kontraktur otot wajah
Hal ini dapat terlihat dari tertariknya otot, sehingga plika nasolabialis
lebih jelas terlihat dibanding pada sisi yang sehat.
3. Synkenesis (associated movement)
Dalam hal ini otot-otot wajah tidak dapat digerakan satu persatu atau
tersendiri, selalu timbul gerakan bersama. Bila pasien disuruh
memejamkan mata, maka otot obicularis orispun ikut berkontraksi dan
sudut mulut terangkat. Bila disuruh mengembungkan pipi, kelopak mata
ikut merapat.

4. Spasme spontan
6

Dalam hal ini otot-otot wajah bergerak secara spontan, tidak


terkendali. Hal ini disebut juga tic fasialis. Akan tetapi, tidak semua tic
fasialis merupakan gejala sisa dari bell’s palsy.

H. Diagnosis Banding Bell’s Palsy


Diagnosa banding dari bell’s Palsy antara lain (Liana, 2015):
1. Infeksi herpes zoster pada ganglion genikulatum (Ramsay Hunt syndrom)
Ramsay Hunt Syndrome (RHS) adalah infeksi saraf wajah yang
disertai dengan ruam yang menyakitkan dan kelemahan otot wajah.
Tanda dan gejala RHS meliputi:
a. Ruam merah yang menyakitkan dengan lepuh berisi cairan di gendang
telinga, saluran telinga eksternal, bagian luar telinga, atap dari mulut
(langit-langit) atau lidah
b. Kelemahan (kelumpuhan) pada sisi yang sama seperti telinga yang
terkinfeksi
c. Kesulitan menutup satu mata
d. Sakit telinga
e. Pendengaran berkurang
f. Dering di telinga (tinnitus)
g. Sebuah sensasi berputar atau bergerak (vertigo)
h. Perubahan dalam persepsi rasa
2. Miller Fisher Syndrom
Miller Fisher syndrom adalah varian dari  Guillain Barresyndrom
yang jarang dijumpai. Miiler Fisher syndrom atau Acute Disseminated
Encephalomyeloradiculopaty ditandai dengan trias gejala neurologis berupa
opthalmoplegi, ataksia, dan arefleksia yang kuat. Pada Miller Fisher
syndrom didapatakan double vision akibat kerusakan nervus cranial yang
menyebabkan kelemahan otot – otot mata . Selain itu kelemahan nervus
facialis menyebabkan kelemahan otot wajah tipe perifer. Kelumpuhan
nervus facialis tipe perifer pada Miller Fisher syndrom menyerang otot
wajah bilateral. Gejala lain bisa didapatkan rasa kebas, pusing dan mual.
7

3. Trigeminal neuralgia
Trigeminal neuralgia adalah suatu peradangan pada saraf trigeminal yang
menyebabkan rasa sakit yang hebat dan kejang otot di wajah.
Penyebab terjadinya trigeminal neuralgia adalah adanya kompresi
neurovaskular, adanya tumor atau kista, sklerosis multipel, diabetes melitus,
neuralgia-inducing cavitational osteonecrosis. Gejala klinis yang timbul oleh
trigeminal neuralgia adalah adanya nyeri unilateral, nyeri tajam seperti
ditusuk, nyeri bersifat ekstrem dan paroksimal, durasi nyeri spasme tunggal
berlangsung <2 menit, rasa nyeri umumnya terpicu oleh sentuhan ringan pada
titik picu yang spesifik dan konstan.
BAB II
ANATOMI FISIOLOGI

A. Anatomi Wajah
Wajah adalah bagian anterior dari kepala, dengan batas kedua telinga
lateral, dagu di inferior dan garis batas tumbuhnya rambut di superior.
Tulang tengkorak mempunyai bagian-bagian yang biasanya ditinjau
dari beberapa aspek yaitu aspek anterior, posterior, superior, dan inferior serta
lateral. Terkait dengan perjalanan N. Facialis maka cranium ditinjau dari arah
lateral dan melibatkan Os temporalis, Canalis facialis, Foramen
stylomastoideus, Ramus mandibularis aspek lateral (Shiffman and Giuseppe,
2012).
Jika dilihat dari struktur otot, otot pada wajah sangatlah tipis dan rata.
Tidak semua otot wajah melekat pada tulang, kebanyakan saling terikat pada
fascia otot yang lainnya. Otot diwajah berperan untuk memberikan ekspresi
serta memberikan gerakan seperti mengerutkan dahi, menutup kelopak mata,
mengunyah, dan lainnya (Shiffman and Giuseppe, 2012).
Nervus facialis adalah salah satu dari 12 pasang saraf cranial. Nervus
facialis merupakan saraf motorik yang menginervasi otot-otot wajah. Otot-otot
yang dipersarafi adalah (Netter, 2014):
1. M. Frontalis, fungsinya mengangkat alis mata dan mengerutkan dahi
(ekspresi heran)
2. M. Orbicularis Oculi, fungsinya menutup mata (ekspresi memejamkan
mata)
3. M. Orbicularis Oris, fungsinya mengucupkan mulut ke depan (ekspresi
bersiul)
4. M. Proserus, fungsinya mengangkat hidung (ekspresi benci)
5. M. Nasalis, fungsinya melebarkan daun hidung (ekspresi mencium bau)
6. M. Currogator Supercili, fungsinya menarik alis mata ke tengah dan
menurun sehingga membentuk lipatan atau kerutan di antara kedua alis
mata (ekspresi marah)
9

7. M. Zygomatikum, fungsinya menarik sudut mulut dengan


memperlihatkan gigi (ekspresi senyum)
8. M. Rizorius, fungsinya menarik sudut mulut ke lateral (ekspresi meringis)
9. M. Buccinator, fungsinya menekan pipi ke dalam dan bersiul
10. M. Deperesor Labii Inferior, fungsinya menonjolkan bibir ke bawah ke
luar (ekspresi mencibir)
11. M. Mentalis, fungsinya meruncingkan dagu
12. M. Deperesor Anguli Oris, fungsinya menarik sudut mulut ke bawah
secara kuat

Gambar 2.1 Otot-otot pada Wajah


Sumber: (Shiffman and Giuseppe, 2012)

B. Anatomi Nervus Fasialis


Saraf fasialis merupakan saraf campuran yang terdiri dari 2 akar
saraf, yaitu akar motorik (lebih besar dan lebih medial) dan intermedius
(lebih kecil dan lebih lateral). Akar motorik berasal dari nukleus fasialis
dan berfungsi membawa serabut-serabut motorik ke otot-otot ekspresi
wajah. Saraf intermedius yang berasal dari nukleus salivatorius anterior,
membawa serabut-serabut parasimpatis ke kelenjar lakrimal,
submandibular, dan sublingual. Saraf intermedius juga membawa serabut-
10

serabut aferen untuk pengecapan pada dua pertiga depan lidah dan aferen
somatik dari kanalis auditori eksterna dan pinna (Japardi, 2004)

Gambar 2.2 Nukleus dan Saraf Fasialis


Sumber: (japardi, 2004)
Kedua akar saraf ini muncul dari pontomedullary junction dan
berjalan secara lateral melalui cerebellopontine angle bersama dengan
saraf vestibulocochlearis menuju meatus akustikus internus, yang memiliki
panjang ± 1 centimeter (cm), dibungkus dalam periosteum dan
perineurium (Japardi, 2004)
Selanjutnya saraf memasuki kanalis fasialis. Kanalis fasialis
(fallopi) memiliki panjang sekitar 33 milimeter (mm), dan terdiri dari 3
segmen yang berurutan: labirin, timpani dan mastoid. Segmen labirin
terletak antara vestibula dan cochlea dan mengandung ganglion
genikulatum. Karena kanal paling sempit berada di segmen labirin ini
(rata- rata diameter 0,68 mm), maka setiap terjadi pembengkakan saraf,
paling sering menyebabkan kompresi di daerah ini. Pada ganglion
genikulatum, muncul cabang yang terbesar dengan jumlahnya yang sedikit
yaitu saraf petrosal. Saraf petrosal meninggalkan ganglion genikulatum,
memasuki fossa cranial media secara ekstradural, dan masuk kedalam
foramen lacerum dan berjalan menuju ganglion pterigopalatina. Saraf ini
mendukung kelenjar lakrimal dan palatina. Serabut saraf lainnya berjalan
turun secara posterior di sepanjang dinding medial dari kavum timpani
(telinga tengah), dan memberikan percabangannya ke musculus stapedius
11

(melekat pada stapes). Lebih ke arah distal, terdapat percabangan lainnya


yaitu saraf korda timpani, yang terletak ± 6 mm diatas foramen
stylomastoideus. Saraf korda timpani merupakan cabang yang paling besar
dari saraf fasialis, berjalan melewati membran timpani, terpisah dari
kavum telinga tengah hanya oleh suatu membran mukosa. Saraf tersebut
kemudian berjalan ke anterior untuk bergabung dengan saraf lingualis dan
didistribusikan ke dua pertiga anterior lidah (Japardi, 2004).
Setelah keluar dari foramen stylomastoideus, saraf fasialis
membentuk cabang kecil ke auricular posterior (mempersarafi
m.occipitalis dan m. stylohoideus dan sensasi kutaneus pada kulit dari
meatus auditori eksterna) dan ke anterolateral menuju ke kelenjar parotid.
Di kelenjar parotid, saraf fasialis kemudian bercabang menjadi 5
kelompok (pes anserinus) yaitu temporal, zygomaticus, buccal, marginal
mandibular dan cervical. Kelima kelompok saraf ini terdapat pada bagian
superior dari kelenjar parotid, dan mempersarafi dot- otot ekspresi wajah,
diantaranya m. orbicularis oculi, orbicularis oris, m. buccinator dan m.
Platysma (Japardi, 2004).

Gambar 2.3 Saraf Fasialis Ekstrakranial


Sumber: (Japardi, 2004)

C. Fisiologi Nervus Fasialis


Nervus fasialis berada di dalam kelenjar liur parotis setelah
meninggalkan foramen stylomastoideus. Saraf memberikan cabang
12

terminal di batas anterior kelenjar parotis. Cabang-cabang ini menuju otot-


otot mimik di wajah dan regio scalp. Cabang buccal untuk muskulus
buccinator. Cabang cervicalis untuk muskulus platysma dan muskulus
depressor anguli oris. Nervus fasialis dengan semua perjalanannya ini
mengontrol mimik wajah (facial expression), salivasi dan lakrimasi serta
digunakan untuk sensasi rasa dari anterior lidah, dasar mulut dan palatum
(Snell, 2012).
Saraf cranial ke VII atau nervus facialis mempersarafi motorik dan
sensorik, serabut visero-sensorik menghantarkan impuls dari 2/3 bagian
depan lidah (Snell, 2012).
Saraf lingual ke korda timpani dan kemudian ke ganglion
genikulatum. Sedangkan serabut somato-sensorik untuk sensasi rasa nyeri
(mungkin juga rasa suhu dan rasa raba) somato motorik juga mempersarafi
otot wajah termasuk m. platisima, m. stilohioid, m. digastrikus bagian
posterior dan m. stapedius di telinga tengah (Purwatiningsih, 2012).
Nervus Facialis (N.VII) merupakan saraf yeng berperan pada
gerakan dan mimik pada wajah. N. Facialis memiliki 4 buah inti yaitu :
a. Nukleus Facialis untuk saraf somatosensoris
b. Nukleus Salivatorius Superior untuk saraf Viseromotoris
c. Nukleus Solitarius Untuk saraf Viserosensoris
d. Nukleus Sensoris Trigeminus untuk saraf Somatosensoris

Gambar 2.4. Anatomi n. Facialis


13

Sumber (Facial Nerve. Smijal Gopalan, 2013)


Inti motorik Nervus Facialis terletak pada bagian ventolateral
segmentum Pons bagian bawah. Dari sini berjalan kebelakang dan
mengelilingi inti N VI dan membentuk genu internal nervus facialis,
kemudian berjalan ke bagian-lateral batas kaudal pons pada sudut ponto
serebral. Saraf Inter Medius terletak pada bagian diantara N VII dan N
VIII (Purwatiningsih, 2012).
Serabut motorik saraf Facialis bersama-sama dengan saraf
intermedius dan saraf vestibulokoklearis memasuki meatus akustikus
internus untuk meneruskan perjalanannya didalam os petrosus (kanalis
facialis). Nervus Facialis keluar dari os petrosus kembali dan tiba dikavum
timpani. Kemudian turun dan sedikit membelok kebelakang dan keluar
dari tulang tengkorak melalui foramen stilomatoideus. Pada waktu ia turun
ke bawah dan membelok ke belakang kavum timpani di situ ia tergabung
dengan ganglion genikulatum. Ganglion tersebut merupakan set induk dari
serabut penghantar impuls pengecap, yang dinamakan korda timpani.
juluran sel-sel tersebut yang menuju ke batang otak adalah nervus
intennedius, disamping itu ganglion tersebut memberikan cabang-cabang
kepada ganglion lain yang menghantarkan impuls sekretomotorik. Os
petrosus yang mengandung nervus fasialis dinamakan akuaduktus fallopii
atau kanalis facialis. Disitu nervus facialis memberikan. Cabang untuk
muskulus stapedius dan lebih jauh sedikit ia menerima serabut-serabut
korda timpani. Melalui kanaliskulus anterior ia keluar dari tulang
tengkorak dan tiba di bawah muskulus pterigoideus eksternus, korda
timpani menggabungkan diri pada nervus lingualis yang merupakan
cabang dari nevus mandibularis (Shiffman and Giuseppe, 2012).
Sebagai saraf motorik nervus facialis keluar dari foramen
stilomastoideus memberikan Cabang yakni nervus auricularis posterior
dan kemudian memberikan cabang ke otot stilomastoideus sebelum masuk
ke glandula Parotis. Di dalam glatldula parotis nervus facialis dibagi atas
lima jalur percabangannya yakni temporal, servical, bukal, zygomatic dan
marginal mandibularis (Japardi, 2004).
14

Jaras parasimpatis (General Viceral Efferant) dimulai dari intinya di


nucleus salivatorius superior setelah mengikuti jaras N VII berjalan
melalui Greater petrosal nerve dan chorda Tympani (Japardi, 2004).
Greater petrosal nerve berjalan ke ganglion pterygopalatina berganti
neuron lalu mempersarafi glandula lakrimal, nasal dan palatal. Chorda
tympani berjalan melalui nervus lingualis berganti neuron mempersarafi
glandula sublingual dan glatldula submandibular (Japardi, 2004).
Jaras Special Afferent ( Taste) berjalan dari intinya nukeus
solitarius berjalan melalui nervus intennedius ke Greater petrosal Nerve
melalui nervus palatina mempersarafi taste dari palatum. Chorda Tympani
melalui nervus lingualis mempersarafi taste 2/3 bagian depan lidah
(Purwatiningsih, 2012).
Jaras General Somatik different berjalan dari nukleus spinalis
traktus trigeminal menerima impuls melalui nervus intermedius dari MAE
dan kulit sekitar telinga (Purwatiningsih, 2012).
Korteks serebri akan memberikan persaratan bilateral pada nucleus
N VII yang mengontrol otot dahi, tetapi hanya mernberi persarafan kontra
lateral pada otot wajah bagian bawah. Sehingga pada lesi LMN akan
menimbulkan paralysis otot wajah ipsilateral bagian atas bawah,
sedangkan pada lesi LMN akan menimbulkan kelemahan otot wajah sisi
kontra lateral (Purwatiningsih, 2012).
Pada kerusakan sebab apapun di jaras kortikobulbar atau bagian
bawah korteks motorik primer, otot wajah muka sisi kontralateral akan
memperlihatkan kelumpuhan jenis UMN. Ini berarti otot wajah bagian
bawah lebih jelas lumpuh dari pada bagian atasnya, sudut mulut sisi yang
lumpuh tampak lebih rendah. Jika kedua sudut mulut disuruh diangkat
maka sudut mulut yang sehat saja yang dapat terangkat (Purwatiningsih,
2012).
Lesi LMN : bisa terletak di pons, disudut serebelo pontin, di os
petrusus, cavum tympani di foramen stilemastoideus dan pada cabang-
cabang tepi nervus facialis. Lesi di pon yang terletak disekitar ini nervus
abducens bisa merusak akar nevus facialis, inti nervus abducens dan
15

fasikulus longitudinalis medialis. Karena itu paralysis facialis LMN


tersebut akan disertai kelumpuhan rektus lateris atau gerakan melirik ke
arah lesi, Proses patologi di sekitar meatus akuatikus intemus akan
melibatkan nervus facialis dan akustikus sehingga paralysis facialis LMN
akan timbul berbarengan dengan tuli perseptif ipsilateral dan ageusia
(tidak bisa rnengecap dengan 2/3 bagian depan lidah) (Purwatiningsih,
2012).
BAB III
MANAJEMEN FISIOTERAPI

A. Proses Pengukuran dan Pemeriksaan Fisioterapi


Anamnesis Umum
Nama : Ny. K
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 44 tahun
Alamat : Pettarani
Pekerjaan : Kepala Depo Gudang
Hobi : Berdandan

Anamnesis Khusus
C: Chief of complaint
Kelemahan otot wajah sebelah kanan
H: History taking
Berawal dari 6 minggu yang lalu saat sehabis makan daging,
pasien merasakan nyeri di gigi kanan nya, dan langsung minum obat asam
mefenamat. Ketika di jalan pulang sudah terasa wajah kaku dan susah
berbicara. Saat sampai dirumah diperoleh jika wajah sudah tidak simetris
(mencong ke kiri). Saat malam pasien langsung dibawa ke dokter, dan
diberikan suntikan di paha serta treatment Fisioterapi. Sejak saat itu pasien
rutin melakukan fisioterapi 2 kali seminggu. Awalnya makan suka
bertumpuk di satu bagian, namun sekarang mulai membaik. Tidak
merasakan pusing kepala sebelum dan setelah kejadian. Sudah melakukan
cek laboratorium dan dikatakan normal. Di tempat kerja, tempat duduk
pasien langsung berhadapan dengan 2 AC. Pasien tetap bekerja meski
sakit, kondisi ini membuat kepercayaan diri pasien berkurang sehingga
terus menggunakan masker, namun begitu semangat untuk sembuh sangat
tinggi. Memiliki riwayat penyakit jantung bawaan (kebocoran di dua
katup) sejak lahir. Terkadang leukosit pasien rendah. Tidak memiliki
keluhan lain.

16
17

A: Asymmetry
1. Inspeksi statis
- Pasien tampak cemas
- Tampak wajah asimetris
- Senyum asimetris
2. Inspeksi dinamis
- Saat berbicara, tampak bibir asimetris
- Alis kanan tidak tampak terangkat (asimetris)
- Kelopak mata kanan tidak dapat tertutup dengan rapat
- Saat Tersenyum dan bersiul bibir cenderung ke kiri
- Tampak pola pengembangan lubang hidung simetris
3. Palpasi
- Suhu : normal
- Oedem : tidak ada
- Tenderness : m. levator labii superioris dan m. orbicularis oris
pars labialis
- Kontur kulit : normal
4. PFGD
- Mengangkat alis : Kanan lebih rendah dari pada kiri
- Menutup mata : Mata kanan tidak tertutup sempurna
- Membuka mulut : Mampu
- Tersenyum : Bibir condong ke kiri
- Bersiul : Bibir condong ke kiri
R: Restrictive
1. Limitasi ROM : (-)
2. Limitasi ADL : Terganggu (Saat berbicara)
3. Limitasi Rekreasi : Terganggu (Berdandan)
4. Limitasi Pekerjaan : Terganggu (Public speaking)
T: Tissue impairmentand psychological prediction
1. Musculotendinogen : kelemahan otot-otot wajah (m. Frontalis,
m. Corrugator supercili, m. Procerus, m. Levator labii superior, m.
18

Zygomaticum mayor, m. Orbiculari oris, m. Orbiculari oculi, m.


Buccinator, m. Rizorus, m. Mentalis, m. Depressor labii inferior)
2. Osteoarthrogen : (-)
3. Neurogen : Iritasi N. fasialis (VII)
4. Psikogenik : Kecemasan
S: Specific test
1. Vital sign
Tekanan Darah = 130/80 mmHg
Denyut Nadi = 68x/menit
2. Tes Sensorik (tajam-tumpul, panas dingin, fungsi pengecapan)
Hasil : Normal
IP : Tidak ada indikasi gangguan pada fungsi sensorik.
3. Manual Muscle Test Wajah (Nancy Berryman)
Hasil : Nilai 3 (Gerakan otot dapat dilakukan, tetapi dengan
kesulitan dan hanya sebagian)
Otot-Otot Wajah Nilai Otot

Dextra Sinistra

m. frontalis 3 5

m. corrugator supercili 3 5

m. procerus 3 5

m. levator labii superior 3 5

m. zygomaticum mayor 3 5

m. orbicularis oculi 3 5

m. orbicularis oris 3 5

m. buccinator 3 5

m. risorius 3 5

m. mentalis 3 5

m. depressor labii inferior 3 5

IP : Terdapat indikasi kelemahan pada otot-otot wajah sebelah


19

4. Tes kemampuan fungsional wajah (Ugo Fisch Scale)


Hasil :
Posisi Nilai Jumlah

Saat Istirahat 70% x 20 14

Mengerutkan Dahi 30% x 10 3

Tersenyum 30% x 30 9

Bersiul 30% x 10 3

Menutup Mata 30% x 30 9

Jumlah 38

IP : hasil < 100 , sehingga perlu tetap di Fisioterapi


5. Palpasi : Tenderness m.levator labii superioris dan m. orbicularis oris
pars labialis
6. VAS : Nyeri diam : 0
Nyeri Gerak : 0
Nyeri tekan : 4
7. HRS-A
Hasil : Nilai 12
IP : Terdapat indikasi kecemasan ringan

B. Diagnosis Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil
proses pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:
”Gangguan Fungsional Wajah Akibat Kelemahan Otot Wajah Dextra E.C.
Bell’s Palsy Sejak 6 Minggu Yang Lalu”

C. Problem, Planning, dan Program Fisioterapi


Adapun problem dan planning fisioterapi yang dapat diuraikan
berdasarkan hasil proses pengukuran dan pemeriksaan tersebut, yaitu:
1. Problem:
20

- Primer : Kelemahan otot wajah pars dextra


- Sekunder : Nyeri, Kecemasan
- Kompleks : Limitasi ADL (saat berbicara)
2. Planning:
- Tujuan jangka panjang
Mengembalikan fungsional otot wajah bagian dextra
- Tujuan jangka pendek
Mengurangi kecemasan, mengurangi nyeri dan meningkatkan
kekuatan otot wajah dextra.

3. Program
No PROBLEM MODALITAS DOSIS
. FISIOTERAPI FISIOTERAPI

1 Kecemasan Komunikasi F : 1x/hari


terapeutik I : Pasien fokus
T : Intrapersonal approach
T : 5 menit
2 Metabolic Stress Electrotherapy F : 1x/hari
Reaction (MSR) (Infra Red) I : 30 cm di atas kulit
T : Local
T : 10 menit
3 Nyeri Manual therapy F : 1x/hari
I : 30% pressure
T : NMT (Thumb kneeding)
T : 3 menit
4 Muscle weakness Manual therapy F : 1x/hari
I : 30% pressure
T : Massage (efflurage,
stroking, stretching
technique)
T : 5 menit
Manual therapy F : 1x/hari
I : 8 hit/ 3 rep
T: PNF wajah
21

T : 2 menit
5 Limitasi ADL Exercise therapy F : 1x/hari
I : 8 hit/ 3 rep
T : ADL exercise (meniup,
bersiul, mengembungkan
pipi, mencucu, dll.)
T : 5 menit
Exercise therapy F : 3x/hari
I : Pasien fokus
T : mirror exercise
T : 3 menit

D. Evaluasi, Modifikasi dan Home Program Fisioterapi


Adapun hasil evaluasi dan modifikasi terhadap program fisioterapi
yang telah diberikan pada klien tersebut, adalah sebagai berikut:
1. Evaluasi :
No Problem Parameter Setelah 2 kali intervensi Interpretasi
FT Sebelum Setelah
intervensi intervensi
1 Nyeri VAS Nyeri diam (0) Nyeri diam (0) Terdapat
nyeri tekan (4) nyeri tekan (2) penurunan nyeri
nyeri gerak (0) nyeri gerak (0)
2 Kelemahan Nancy Dextra : 3 Dextra : 3+ Terdapat
otot wajah Berryman peningkatan
Scale kekuatan otot
3 Kemampuan Ugo Fisch 38 54 Terdapat
fungsional Scale peningkatan
wajah kemampuan
fungsional wajah

4 Kecemasan HRS-A 12 9 Terdapat


penurunan
kecemasan

2. Modifikasi :
22

Mengikuti perubahan patofisiologi dan hasil evaluasi kelemahan otot,


sehingga dosis latihan dapat ditingkatkan jika kondisi makin membaik.
Modifikasi program FT yang dapat diberikan berupa ADL exercise pada
wajah.

3. Home Program
Untuk tetap mempertahankan dan meningkatkan kesembuhan pasien,
diberikan latihan – latihan yang dapat dilakukan dirumah seperti:
a. Mirror exercise yakni dengan melakukan latihan di depan cermin
dengan melakukan koreksi posisi pada wajah dan latihan-latihan
seperti bersiul, mencucu, menggembungkan pipi, dll.
b. Latihan persiapan pasien untuk kembali ke aktifitas fungsional seperti,
latihan minum menggunakan sedotan, makan permen karet, meniup
kertas, mengosok gigi dan kumur-kumur.
c. Pemberian edukasi seperti menggunakan masker wajah saat
berkendara, mengurangi paparan langsung AC dan mengurangi rasa
stress.
DAFTAR PUSTAKA
Adhayani, Fatma. 2013. Perbandingan efek metil prednisolone tunggal dengan
kombinasi metil prednisolone dengan rehabilitasi kabat terhadap perbaikan
klinis pasien bell’s palsy. Tesis. Medan: universitas sumatera utara
Aras, Djohan. 2013. Proses dan Pengukuran Fisioterapi. Makassar: CV. Physio
Sakti.
Bahruddin, M. 2011. Bell’s palsy. Universitas Muhammadiyah Malang, 7(15).
De Almeida, JR. et al. 2014. Management of bell palsy: Clinical practice
guideline. CMAJ, 186(12): 917–922.
Dewanto G, Suwono WJ, Riyanto B, Turana Y, editors. 2009. Panduan praktis
diagnosis dan tatalaksana penyakit saraf. Jakarta: EGC.
Gopalan, Smijal. 2013. Facial Nerve. India : AIMS, Kochi.
Greco, A., Gallo, A., Fusconi, M., Macri, G.F., De Vincentils, M.. 2012. Bell’s
Palsy And Autoimunnity. Elsevier B.V. 323-328
Japardi, Iskandar. 2004. Nervus Facialis. Medan: Bagian Bedah FK Universitas
Sumatera Utara.
Liana, A. R. 2015. Trigeminal Neuralgia. Skripsi. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti.
Lowis, H., & Gaharu, M.N. 2012. Bell’s Palsy, Diagnosis dan Tata Laksana di
Pelayanan Primer. J of Indonesia Med. Ass.,.62(1): 32.
Mujaddidah, nur. 2017. Tinjauan anatomi klinik dan manajemen bell’s palsy.
Qanun Medika, 1(2): 1-11.
Munilson, Jacky et al., 2007. Diagnosis dan Penatalaksanaan Bell’s Palsy.
Padang: Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Netter, F. H. 2014. Atlas of Human Anatomy Sixth Edition. Philadelphia:
Saunders.
Purwatiningsih, E. S. 2012. Penatalaksanaan fisioterapi pada kondisi bell’s
palsy sinistra di rsud dr. Moewardi Surakarta. Jawa Tengah: Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Shiffman, M. A., & Giuseppe, A. D. 2012. Cosmetic surgery: Art and techniques.
New York: Springer.
Sukardi & Nara. 2011. Bell’s Palsy. Cermin Dunia Kedokteran Edisi IV, 72-76.

23
Sun, M. Z., Oh, M. C., Safaee, M., Kaur, G., & Parsa, A. T. 2012.
Neuroanatomical correlation of the House-Brackmann grading system in the
microsurgical treatment of vestibular schwannoma. Neurosurg Focus, 33(3):
E7.
Snell, R. S. 2012. Clinical Anatomy. Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Vakharia. 2016. Bell’s Palsy. Facial Plast Surg Clin N Am, 24(1): 1–10.

24
LAMPIRAN

Lampiran 1

Hamilton Depression Scale

No. Kemampuan Penilaian Nilai


1. Keadaan Perasaan Sedih 0 : Tidak ada 1
(sedih, putus asa, tak 1 : Perasaan ini hanya ada bila ditanya
berdaya, tak berguna) 2 : Perasaan ini ditanyakan secara verbal spontan
3 : Perasan yang nyata tanpa komunikasi verbal,
misalnya ekspresi wajah, bentuk, suara, dan
kecenderungan menangis
4 : Pasien menyatakan perasaan yang
sesunguhnya ini dalam komunikasi baik
verbal maupun non verbal secara spontan
2. Perasaan Bersalah 0 : Tidak ada 0
1 : Menyalahkan diri sendiri dan merasa sebagai
penyebab penderitaan orang lain
2 : Ada ide-ide bersalah atau renungan tentang
kesalahan masa lalu
3 : Sakit ini sebagai hukuman, waham bersalah,
dan berdosa
4 : Ada suara-suara kejaran atau tuduhan dan
halusinasi pengihatan tentang hal-hal yang
mengancamnya
3. Bunuh Diri 0 : Tidak ada 0
1 : Merasa hidup tidak ada gunanya
2 : Mengharapkan kematian atau pikiran-pikiran
lain ke arah itu
3 : Ada ide-ide bunuh diri atau langkah-langkah
ke arah itu
4. Gangguan Pola Tidur 0 : Tidak ada 1
(Initial Insomnia) 1 : Ada keluhan, kadang-kadang sukar masuk
tidur. Misalnya >30 menit baru masuk tidur
2 : Ada keluhan, tiap malam sukar masuk tidur
5. Gangguan Pola Tidur 0 : Tidak ada 1
(Middle Insomnia) 1 : Pasien merasa gelisah dan terganggu
sepanjang malam
2 : Terganggu sepanjang malam (bangun dari
tempat tidur kecuali buang air kecil)
6. Gangguan Pola Tidur 0 : Tidak ada 1
(Late Insomnia) 1 : Bangun saat dini hari tetapi dapat tidur lagi
2 : Bangun saat dini hari tetapi tidak dapat tidur
lagi
7. Kerja dan Kegiatan-0 : Tidak ada 2
kegiatannya 1 : Berfikir tidak mampu, keletihan/ kelemahan
yang berkaitan dengan kegiatan kerja/ hobi
2 : Hilangnya minat terhadap pekerjaan/ hobi
3 : Berkurangnya waktu untuk aktivitas sehari-
hari atau produktivitas menurun
4 : Tidak bekerja karena sakitnya
8. Kelambanan 0 : Normal 1
(lambat dalam berfikir, 1 : Sedikit lamban dalam wawancara
berbicara, gagal 2 : Jelas lamban dalam wawancara
berkonsentrasi, dan 3 : Sukar diwawancarai; stupor (diam sama
aktivitas motorik sekali)
menurun)
9. Kegelisahan 0 : Tidak ada 1
1 : Kegelisahan ringan
2 : Memainkan tangan jari-jari, rambut, dan lain-
3 : lain
4 : Bergerak terus, tidak dapat duduk dengan
tenang
Meremas-remas tangan, menggigit kuku,
menarik-narik rambut, menggigt bibir
10. Kecemasan Sakit/nyeri pada otot, kaku, kedutan otot; gigi 1
(Ansietas somatik) gemeretak; suara tidak stabil; tinnitus (telinga
berdenging); penglhatan kabur; muka merah
atau pucat; perasaan ditusuk-tusuk.
0 : Tidak ada
1 : Ringan
2 : Sedang
3 : Berat
4 : Ketidakmampuan
11. Kecemasan 0 : Tidak ada 2
(Ansietas psikis) 1 : Ketegangan subyektif dan mudah tersinggung
2 : Mengkhawatirkan hal-hal kecil
3 : Sikap kekhawatiran yang tercermin di wajah
atau pembicaraaannya
4 : Ketakutan yang diutarakan tanpa ditanya
12. Gejala Somatik 0 : Tidak ada 0
(Pencernaan) 1 : Nafsu makan berkurang tetapi dapat makan
tanpa dorongan teman, merasa penutnya
2 : penuh
Sukar makan tanpa bantuan teman,
membutuhkan pencahar untuk buang air besar
atau obat-obatan untuk saluran pencernaan
13. Gejala Somatik 0 : Tidak ada 0
(Umum) 1 : Anggota gerak, punggung, atau kepala terasa
berat
2 : Sakit punggung, kepala dan otot-otot,
hilangnya kekuatan dan kemampuan
14. Kotamil Sering buang air kecil terutama malam hari di 0
(Genital) kala tidur, tidak haid, darah haid sedikit
sekali, tidak ada gairah seksual, ereksi hilang,
0 : impotensi
1 : Tidak ada
2 : Ringan
Berat
15. Hipokondriasis 0 : Tidak ada 0
(Keluhan somatic fisik 1 : Dihayati sendiri
yang berpindah-pindah) 2 : Preokupasi (keterpakuan) mengenai kesehtan
sendiri
3 : Sering mengeluh membutuhkan pertolongan
orang lain
4 : Delusi hipokondriasi
16. Kehilangan Berat Badan 0 : Tidak ada 0
1 : Beratbadan berkurang berhubungana dengan
penyakitnya sekarang
2 : Jelas penurunan berat badan
3 : Tak terjelaskan lagi penurunan berat badan
17. Insight 0 : Mengetahui dirinya sakit dan cemas 0
(Pemahaman diri) 1 : Mengetahui sakit tapi berhubungan dengan
penyebab iklim, makanan, kerja berlebihan,
virus, perlu istirahat, dll
2 : Menyangkan bahwa ia sakit
18. Variasi Harian Adakah perubahan keadaaan yang memburuk 0
pada waktu malam atau pagi
0 : Tidak ada
1 : Buruk saat pagi
2 : Buruk saat malam
19. Depersonalisasi 0 : Tidak ada 0
(Perasaan Diri 1 : Ringan
Berubah) 2 : Sedang
Dan Derelisiasi 3 : Berat
(Perasaan tidak nyata – 4 : Ketidakmampuan
tidak realistis)
20. Gejala Paranoid 0 : Tidak ada 1
1 : Kecurigaan
2 : Pikiran dirinya menjadi pusat perhatian
3 : peristiwa kejadian diluar tertuju pada dirinya
(ideas refence)
Waham (delusi) dikejar/ diburu
21. Gejala Obsesi dan 0 : Tidak ada 0
Kompulsi 1 : Ringan
2 : Berat
TOTAL NILAI 12

Interpretasi :
0 - 7 =  Normal
8 - 13 =  Depresi ringan Total Nilai : 12
14 - 18 =  Depresi sedang Interpretasi : Depresi Ringan
19 - 22 =  Depresi berat
> 23 = Depresi sangat berat
Lampiran 2

Manual Muscle Testing (MMT) wajah Nancy Berryman Reese

Nilai Interpretasi
0 (zero) Tidak ada kontraksi bisa diraba atau dilihat
1 (trace) Tidak ada gerakan, tetapi dengan palpasi kontraksi dapat
dirasakan
3 (fair) Gerakan bisa dilakukan, tetapi dengan kesulitan atau hanya
sebagian
5 (normal) Kontraksi penuh, terkontrol dan simetris

Lampiran 3
Penilaian dalam Ugo Fisch Scale

Nilai Interpretasi
0 % (zero) Asimetris komplit, tidak ada gerakan volunter sama sekali
30 % (poor) Simetris ringan, kesembuhan cenderung ke asimetris, ada
gerakan volunter
70 % (fair) Simetris sedang, kesembuhan cenderung normal
100 % (normal) Simetris komplit (normal)

Derajat kelumpuhan pada Ugo Fisch Scale

Derajat Interpretasi
Derajat I (100 point) Normal
Derajat II (75-99 point) Kelumpuhan ringan
Derajat III (50-75 point) Kelumpuhan sedang
Derajat IV (25-50 point) Kelumpuhan sedang berat
Derajat V (1-25 point) Kelumpuhan berat
Derajat VI (0 point) Kelumpuhan total

Lampiran 5
Dokumentasi

Thumb/finger kneeding
Massage

PNF Wajah

ADL exercise (meniup) dan Mirror exercise

Anda mungkin juga menyukai