Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN KASUS PROFESI FISIOTERAPI

MANAJEMEN FISIOTERAPI INTERNA PADA GANGGUAN AKTIVITAS


FUNGSIONAL REGIO KNEE BERUPA KETERBATASAN GERAK,
NYERI, KELEMAHAN OTOT DAN ADHESIVE ORGAN VICERAL
ET CAUSA OSTEOARTHRITIS BILATERAL
SEJAK 3 TAHUN YANG LALU

OLEH:

DWI PUTRI KHAYYIRAH, S. FT.


R024181002

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI FISIOTERAPI


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
2019

i
HALAMAN PERSETUJUAN

Yang bertandatangan di bawah ini, menerangkan bahwa mahasiswa berikut :

Nama : Dwi Putri Khayyirah, S.Ft

NIM : R024181002

Adalah benar telah menyelesaikan telaah kasus dengan judul “Manajemen


Fisioterapi Interna pada Gangguan Aktifitas Fungsional Berupa Keterbatasan
Gerak, Nyeri, Kelemahan Otot dan Adhesive Organ Viceral Et Causa
Osteoarthritis Bilateral Sejak 3 Tahun yang Lalu” pada bagian Klinik Physio Sakti
Makassar dan telah mendiskusikannya dengan pembimbing.

Makassar, November 2019

Mengetahui,

Clinical Instructor Clinical Educator

Dr.H.Djohan Aras, S. Ft, Physio,M.Pd, M.Kes. Melda Putri, S.Ft.,Physio, M.Kes.

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan hidayah-Nya sehingga penyusun akhirnya dapat menyelesaikan
penyusunan laporan kasus dengan judul “Manajemen Fisioterapi Interna pada
Gangguan Aktifitas Fungsional Berupa Keterbatasan Gerak, Nyeri, Kelemahan
Otot dan Adhesive Organ Viceral Et Causa Osteoarthritis Bilateral Sejak 3 Tahun
yang Lalu”. Penyusunan laporan kasus ini merupakan salah satu tugas pada
pelaksanaan Program Studi Pendidikan Profesi Fisioterapi Fakultas Keperawatan
Universitas Hasanuddin. Melalui penyusunan laporan ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman lebih tentang patofisiologi dan penatalaksanaan
fisioterapi interna yang ditemui penyusun pada saat melakukan praktek lapangan.
Dalam penyusunan laporan studi kasus ini, banyak ditemui tantangan dan
hambatan yang mendasar. Namun semua itu dapat terselesaikan dengan baik
berkat dukungan, bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini sudah selayaknya penyusun menyampaikan rasa terima kasih
kepada para clinical instructor di Klinik Physio Sakti dan clinical educator yang
telah membimbing dalam penyusunan laporan kasus ini.
Akhir kata, tiada gading yang tak retak. Penyusun menyadari bahwa laporan
studi kasus ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, dengan segala
kerendahan hati penyusun memohon maaf yang sebesar-besarnya dan membuka
diri untuk segala saran dan kritik yang sifatnya membangun sehingga dapat
dilakukan perbaikan untuk pencapaian hasil yang lebih baik. Akhirnya, penyusun
berharap semoga laporan studi kasus dapat bermanfaat bagi kita semua.

Makassar, November 2019

Penyusun

iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... ii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iii
DAFTAR ISI .................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ........................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................. 1
B. Anatomi dan Fisiologi .................................................................. 2
BAB II ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS .............. 10
A. Kerangka/ Mind Mapping Teori ................................................... 10
B. Definisi ......................................................................................... 10
C. Etiologi ........................................................................................ 11
D. Epidemiologi ............................................................................... 12
E. Patomekanisme ............................................................................ 12
F. Klasifikasi ..................................................................................... 14
G. Manifestasi Klinik ....................................................................... 15
H. Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosa ........................................ 17
I. Diagnosa Banding ......................................................................... 19
J. Hubungan MVT dengan OA ........................................................ 19
K. Kerangka/ Mind Mapping Teknologi Fisioterapi ......................... 21
BAB III MANAJEMEN FISIOTERAPI ......................................................... 22
A. Identitas Pasien ............................................................................. 22
B. Pemeriksaan Fisioterapi (CHARTS) ............................................. 22
C. Diagnosis Fisioterapi ..................................................................... 25
D. Problematik Fisioterpi ................................................................... 25
E. Tujuan Fisioterapi ......................................................................... 25
F. Intervensi Fisioterapi ..................................................................... 25
G. Evaluasi Fisioterapi ....................................................................... 27
H. Home Program ............................................................................. 28

iv
I. Kemitraan Fisioterapi .................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 29

v
DAFTAR TABEL

Tabel 1.PFDG Knee ........................................................................................... 23

Tabel 2. Intervensi Fisioterapi............................................................................. 25

Tabel 3. Evaluasi Fisioterapi ............................................................................... 27

vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Anatomi Knee Joint .......................................................................... 3
Gambar 2. Anatomi Colon ................................................................................. 5
Gambar 3. Anatomi Tiroid-Paratiroid ................................................................ 8
Gambar 4. Kerangka Teori ................................................................................. 10
Gambar 5. Derajat Keparahan OA .................................................................... 15
Gambar 6. Kerangka Teknologi Fisioterapi ....................................................... 21

vii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Osteoarthritis menurut American College of Rheumatology merupakan
sekelompok kondisi heterogen yang mengarah kepada tanda dan gejala sendi.
Osteoarthritis merupakan penyakit degenerative dan progresif yang mengenai
dua per tiga orang yang berumur lebih dari 65 tahun, dengan prevalensi 60,5%
pada pria dan 70,5% pada wanita. Seiring bertambahnya jumlah kelahiran
yang mencapai usia per-tengahan dan obesitas serta peningkatannya dalam
populasi masyarakat osteoarthritis akan berdampak lebih buruk di kemudian
hari. Karena sifatnya yang kronik progresif, osteoarthritis berdampak sosio
ekonomik yang besar di negara maju dan di negara berkembang (Sumual,
2012).
Osteoarthritis ditandai oleh adanya abrasi rawan sendi dan adanya
pembentukan tulang baru yang irregular pada permukaan persendian. Nyeri
menjadi gejala utama terbesar pada sendi yang mengalami osteoarthritis. Rasa
nyeri diakibatkan setelah melakukan aktivitas dengan penggunaan sendi dan
rasa nyeri dapat diringankan dengan istirahat. Trauma dan obesitas dapat
meningkatkan resiko osteoarthritis. Osteoarthritis biasanya mengenai sendi
penopang berat badan misalnya pada panggul, lutut, vertebra, tetapi dapat juga
mengenai bahu, sendi-sendi jari tangan, dan pergelangan kaki (Carlos, 2013).
Penderita osteoarthritis genu akan cenderung membatasi gerakan-gerakan
tungkai untuk menghindari rasa nyeri dan rasa tidak nyaman yang dirasakan.
Namun hal ini cenderung akan memperburuk keadaan seperti terjadinya gejala
berupa pemendekan otot serta kelemahan pada otot-otot disekitar lutut
(Dziedzic dan Hammond, 2010). Terjadinya kelemahan otot mengakibatkan
terjadinya gangguan aktivitas fungsional pada penderita osteoarthritis genu
seperti aktivitas berdiri, berjalan, naik turun tangga, duduk, jongkok, dan
aktivitas lainnya yang memerlukan pembebanan (Parjoto,2000).
Osteoarthritis dapat menimbulkan tanda dan gejala seperti nyeri, pada
sendi saat beraktivitas, beberapa penderita merasakan kekakuan pada sendinya
ketika bangun tidur atau bagian non-aktif lainnya, tetapi kekakuan ini biasanya

1
menghilang pada waktu 30 menit setelah mereka kembali menggerakan sendi,
terjadi pertumbuhan baru pada tulang rawan sendi sehingga menyebabkan
pembesaran pada sendi, dan tulang rawan yang kasar menyebabkan
terdengarnya suara krepitasi pada saat sendi digerakan (Soenarwo, 2011).
B. Anatomi dan Fisiologi
1. Anatomi dan Fisiologi Knee
Lutut merupakan sendi terbesar dari sendi tubuh lainnya. Sendi ini
terletak di antara sendi ankle dan sendi hip yang berperan sebagai
stabilisator dan penggerak. Sendi lutut merupakan sendi sinovium yang
memiliki ciri-ciri yaitu: permukaan artikular dilapisi tulang rawan hialin,
mempunyai kapsul sendi, mempunyai membran sinovium yang
memproduksi cairan sinovium, intra-artikular di beberapa sendi terdapat
meniscus yang berfungsi sebagai peredam kejut, persarafan umumnya dari
saraf yang memasok otot-otot yang bekerja pada sendi, akhir saraf atau
nerves ending mechanoreceptors terdapat pada kapsul dan ligamen,
proprioceptor sebagai sensasi posisi dan gerak, serta nociceptor sebagai
sensasi sakit, ada pula ujung saraf simpatik saraf otonom. Semua
komponen tersebut memiliki pembuluh darah sebagai suplai nutrisi,
kecuali tulang rawan sendi yang diketahui memperoleh nutrisi dari cairan
sinovium yang juga berfungsi sebagai pelumas (Suriani & Lesmana,
2013).
Knee joint merupakan sendi yang paling unik dibandingkan sendi-
sendi yang lain dalam tubuh manusia, karena tulang-tulang yang
membentuk sendi ini masing-masing tidak ada kesesuaian bentuk seperti
pada persendian yang lain. Sebagai kompensasi ketidaksesuaian bentuk
persendian ini terdapat meniscus, kapsul sendi, bursa dan diskus yang
memungkinkan gerakan sendi ini menjadi luas, sendi ini juga diperkuat
oleh otot-otot besar dan berbagai ligamentum sehingga sendi menjadi kuat
dan stabil (Tajuid, 2000).

2
Gambar 1. Anatomi Knee Joint

Otot disekitar lutut mempunyai fungsi sebagai stabilitas aktif sekaligus


sebagai penggerak dalam aktifitas sendi lutut, otot tersebut antara lain:
m.quadriceps femoris (vastus medialis, vastus intermedius, vastus lateralis,
rectus femoris). Keempat otot tersebut bergabung sebagai grup ekstensor
sedangkan grup fleksor terdiri dari: m.gracilis, m.sartorius dan m.semi
tendinosus. Untuk gerak rotasi pada sendi lutut dipelihara oleh otot-otot
grup fleksor baik grup medial/ endorotasi (m.semi tendinosus, semi
membranosus, sartorius, gracilis, popliteus) dan grup lateral eksorotasi
(m.biceps femoris, m.tensor fascialata) (Pudjianto,2002).
Untuk memperkuat stabilitas pergerakan yang terjadi pada sendi lutut
maka di dalam sendi lutut terdapat beberapa ligamen, yaitu ligamen
cruciatum anterior dan posterior yang berfungsi untuk menahan
hiperekstensi dan menahan bergesernya tibia ke depan (eksorotasi).
Ligamen cruciatum posterior berfungsi untuk menahan bergesernya tibia
ke arah belakang. Pada gerakan endorotasi kedua ligamen cruciatum
menyatu, yang mengakibatkan kedua permukaan sendi tertekan, sehingga
saling mendekat dan kemampuan bergerak antara tibia dan femur
berkurang. Pada gerakan eksorotasi, kedua ligamen cruciatum saling
sejajar, sehingga pada posisi ini sendi kurang stabil. Di sebelah medial dan
lateral sendi lutut terdapat ligamen collateral medial dan lateral. Ligamen
collateral medial menahan gerakan valgus serta eksorotasi, sedangkan
ligamen collateral lateral hanya menahan gerakan ke arah varus. Kedua

3
ligamen ini menahan bergesernya tibia ke depan dari posisi fleksi lutut 900
(De Wolf, 1994). Sedangkan dalam hubungan yang simetris antara
condylus femoris dan condylus tibia dilapisi oleh meniscus dengan
struktur fibrocartilago yang melekat pada kapsul sendi. Meniscus medialis
berbentuk seperti cincin terbuka “C” dan meniscus lateralis berbentuk
cincin “O”. Meniscus ini akan membantu mengurangi tekanan femur atas
tibia dengan cara menyebarkan tekanan pada cartilago articularis dan
menurunkan distribusi tekanan antara kedua condylus, mengurangi friksi
selama gerakan berlangsung, membantu kapsul sendi dan ligamentum
dalam mencegah hiperekstensi lutut dan mencegah capsul sendi terdorong
melipat masuk ke dalam sendi (Tajuid, 2000).
Sendi lutut juga memiliki capsul sendi artikularis yang melekat pada
cartilago artikularis, di dalam sendi, synovial membran melewati bagian
anterior dari perlekatan ligamen cruciatum sehingga ligamen cruciatum
dikatakan intraartikuler tetapi extracapsuler (Tajuid, 2000).
2. Anatomi dan Fisiologi Secum
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum
terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum.
Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar.
Katup ileosekal mengendalikan aliran kimus dari ileum ke dalam sekum
dan mencegah terjadinya aliran balik bahan fekal dari usus besar ke dalam
usus halus. Kolon dibagi lagi menjadi kolon asenden, transversum,
desenden, dan sigmoid (Emilia dkk., 2002).
Secum merupakan bagian paling awal dari usus besar. Pada dasarnya
sekum merupakan gabungan dari bagi anak hir usus halus dan juga bagian
awal usus besar. Secum berbentuk seperti kantong dengan panjang kurang
lebih 7cm. Tugas utama dari sekum adalah menyerap nutrisi yang tidak
dapat diserap oleh usus halus. Sedangkan sigmoid merupakan bagian
colon yang berhubungan dengan rectum. Letak kedua organ tersebut
terdapat vaskularisasi dari arteri dan vena common iliac.

4
Gambar 2. Anatomi Colon (secum-sigmoid)
Arteri iliac eksternal dextra dan sinistra memanjang dari pertengahan
panggul ke ligamentum inguinalis sebagai kelanjutan distal arteri common
iliac. Arteri common iliac muncul dari bifurkasi aorta dan bercabang dua
ke arteri anterior iliac eksternal dan internal pada sacroiliac joint. Arteri
iliac eksternal dimulai pada bifurkasi common iliac dan sepanjang
perbatasan medial pada m.psoa major sebelum keluar dari pelvic girdle
posterior ke ligament inguinal. Titik keluar dari arteri iliac eksternal adalah
lateral ke titik insersio dari ligament inguinal pada tuberkulum pubis,
sekitar sepertiga dari tuberkulum pubis ke spina iliac anterior superior.
Distal ke ligamentum inguinalis, arteri iliac menjadi arteri common
femoral.
Delapan hingga sepuluh kelenjar getah bening iliaka eksternal
mengelilingi arteri iliaka eksternal dalam tiga kelompok: lateral, medial,
dan anterior. Aferen kelenjar getah bening termasuk limfatik dalam dari
dinding perut, daerah adduktor paha, kelenjar penis, kelenjar klitoris,
membran uretra, prostat, fundus kandung kemih, leher rahim, dan bagian
atas vagina. Grup medial node berisi node medial, eksternal, dan obturator.
Arteri iliac persekutuan lebih sulit diidentifikasi karena mesentery
colon sigmoid yang melapis dari atas. Vena iliac persekutuan kiri

5
berlokasi persis medial dan interior terhadap arteri iliac persekutuan kiri
di dalam ruang „presacral‟. Ada kalanya vena tersebut menutupi
keseluruhan ruang antara arteri-arteri iliac.
3. Anatomi dan Fisiologi Limpa dan Sistem Limfatik
Limpa merupakan organ limpatik yang berasal dari differensiasi
jaringan mesenkimal mesogastrium dorsale dengan beratrata-rata 75
hingga 100 gram dan ukuran 12 x 7 x 4 sentimeter pada orang dewasa.
Terletak di abdomen kuadran kiri atas, antara kosta 9 hingga 11 dan
terfiksasi oleh ligamentum gastrolienale dan ligamentum lienarenale (Katz
dan Pachter, 2006).
Limpa adalah kelenjar tanpa saluran (ductless) yang berhubungan erat
dengan sistem sirkulasi dan berfungsi sebagai penghancur sel darah merah
tua. Limpa termasuk salah satu organ sistem limfoid, selain timus, tonsil
dan kelenjar limfe. Sistem limfoid berfungsi untuk melindungi tubuh dari
kerusakan akibat zat asing. Sel-sel pada sistem ini dikenal dengan sel
imunokompeten yaitu sel yang mampu membedakan sel tubuh dengan zat
asing dan menyelenggarakan inaktivasi atau perusakan benda-benda asing.
Sel imunokompeten terdiri atas:
a. sel utama bergerak, yakni sel limfosit dan makrofaga,dan
b. sel utama menetap,yakni retikuloendotel dan sel plasma.
Limpa merupakan organ limfoid terbesar dan terletak di bagian
depan dan dekat punggung rongga perut diantara diafragma dan lambung
dibawah tulang rusuk. Secara anatomis, tepi limpa yang normal berbentuk
pipih. Fungsi limpa yaitu mengakumulasi limfosit dan makrofaga,
degradasi eritrosit, tempat cadangan darah,dan sebagai organ pertahanan
terhadap infeksi partikel asing yang masuk ke dalam darah.
Limpa dibungkus oleh kapsula,yang terdiri atas dua lapisan,yaitu
satu lapisan jaringan penyokong yang tebal dan satu lapisan otot halus.
Perpanjangan kapsula ke dalam parenkim limpa disebut trabekula.
Trabekula mengandung arteri, vena, saraf,dan pembuluh limfe. Parenkim
limpa disebut pulpa yang terdiri atas pulpa merah dan pulpa putih.Pulpa
merah berwarna merah gelap pada potongan limpa segar.Pulpa merah

6
terdiri atas sinusoid limpa. Pulpa putih tersebar dalam pulpa merah,
berbentuk oval dan berwarna putih kelabu. Pulpa putih terdiri atas
pariarteriolar limphoid sheats (PALS), folikel limfoid, dan zona marginal.
Folikel limfoid umumnya tersusun atas sel limfosit B, makrofaga, dan
seldebri. Sebagai upaya menjaga sistem kekebalan tubuh, limpa juga
membantu memastikan mikroorganisme berbahaya keluar dari aliran
darah.
Kedua limfosit T dan B bermigrasi ke dalam jaringan inflamasi
menggunakan beberapa dari molekul beradesi sama dan kemokin yang
memasukkan leukosit. Limfosit dan makrofag berinteraksi pada jalur
bidirectional dan interaksinya berperan penting pada inflamasi kronik.
Makrofag menampilkan antigen untuk sel-sel T, memeprcepat molekul
membran (disebut kostimulator) dan memproduksi sitokin (notably IL-12)
yang menstimulasi respon sel T. Limfosit T yang sudah diaktifkan, pada
gilirannya, menghasilkan sitokin, dan salah satu dari IFN-γ, yang
merupakan aktivator kuat dari makrofag, mempromosikan presentasi
antigen dan sitokin yang lebih banyak. Hasilnya adalah sebuah siklus
reaksi seluler yang menyulut dan menopang terjadinya inflamasi kronik.
Sel plasma berkembang dari limfosit B yang diaktifkan dan memproduksi
antibodi untuk melawan antigen persisten pada daerah inflamasi atau
melawan komponen jaringan yang berubah. Pada reaksi inflamasi kronik
yang kuat, akumulasi limfosit, selsel presnting antigen, dan sel plasma
menganggap tampilan morfologi dari organ limfoid, dan limfonodi yang
sama, terdiri dari bentuk baik germinal tengah. Pola organogenesis dari
limfoid kadang terlihat seperti sinovium pada pasien artritis rheumatoid
lama.
4. Anatomi dan Fisiologi Tiroid-Paratiroid
Kelenjar tiroid merupakan kelenjar yang berbentuk cuping kembar dan
di antara keduanya dapat daerah yang menggenting. Kelenjar ini terdapat
di bawah jakun di depan trakea. Kelenjar tiroid menghasilkan hormon
tiroksin yang mempengaruhi metabolisme sel tubuh dan pengaturan suhu
tubuh (Sulabda dan Siswanto, 2016).

7
Kelenjar paratiroid adalah empat kelenjar - kelenjar seukuran kacang
polong yang letaknya bilateral yaitu melekat dibagian atas dan bawah
kelenjar tiroid. Kelenjar ini terletak disetiap sisi dari kelenjar tiroid yang
terdapat didalam leher dan kelenjar ini berjumlah 4 buah yang bersusun
berpasangan (Sulabda dan Siswanto, 2016).

Gambar 3. Anatomi Tiroid-Paratiroid

Hormon paratiroid adalah suatu hormon peptida yang disekresikan


oleh kelenjar paratiroid, yaitu empat kelenjar kecil yang terletak di
permukaan belakang kelenjar tiroid. Hormone paratiorid memeiliki fungsi
yaitu memelihara kosentrasi ion kalsium yang tetap pada plasma,
mengontrol ekskresi kalsium dan fosfat melalui ginjal, mempunyai efek
terhadap reabsorbsi hormontubuler dari kalsium dan sekresi fosfor,
empercepat absorbsi kalsium di usus dan jika pemasukan kalsium
berkurang, hormon paratiroid menstimulasi reabsorsi tulang sehingga
menambah kalsium dalam darah (Sulabda dan Siswanto, 2016).
Hormone parathormone mengatur metabolisme kalsium dan phospat
tubuh. Organ targetnya yaitu tulang, ginjal, dan duodenum. Pada ginjal
hormone ini akan meningkatkan reabsorsi tubulus ginjal terhadap Ca. pada
tulang hormone ini meningkatkan Ca dan P dari tulang ke dalam cairan
ekstra sel sebelum akhirnya masuk ek aliran darah. Selain itu dengan
bantuan enzym alfa hidroxid, akan menstimulus vit. D untuk kemudian
berkeja di usus halus terutama duodenum agar meningkatkan absorbs Ca
dan P di dalam usus (Sulabda dan Siswanto, 2016).

8
Ketika kadar Ca dalam darah meningkat karena kerja dari hormone
paratiroid, maka menstilumus kerja kelenjar tyroid untuk mengeluarkan
hormone kalsitonin, yang berfungsi dalam menjaga keseimbangan kalsium
dalam darah dengan cara meningkatkan reabsorbsi Ca ke tulang. Oleh
karenanya kebutuhan tulang akan Ca akan terpenuhi (Sulabda dan
Siswanto, 2016).

9
BAB II

ANALISIS KEPUSTAKAAN BERDASARKAN KASUS

A. Kerangka/ Mind Mapping Teori

Gambar 4. Kerangka Teori


B. Definisi
Osteoarthritis (OA) berasal dari bahasa Yunani; osteo yang berarti tulang,
arthro yang berarti sendi dan itis yang berarti inflamasi, meskipun sebenarnya
penderita osteoarthritis tidak mengalami inflamasi atau hanya mengalami
inflamasi ringan. Osteoarthritis adalah penyakit degeneratif persendian dengan
berbagai faktor penyebab dan memiliki karakteristik berupa kerusakan
kartilago (Helmi, 2012).
Osteoarthritis adalah kelainan sendi yang ditandai dengan degenerasi
tulang rawan artikular yang progresif sehingga mengakibatkan hilangnya
sendi celah sendi dan munculnya tulang baru. Terjadi kelainan struktural dari
semua jaringan sendi termasuk kartilago, subchondral, cairan sinovial, dan
ligament disekitar sendi (Lin, 2010).

10
Osteoarthritis dapat terjadi karena berbagai faktor baik itu berupa primer
maupun sekunder. Faktor primer tidak diketahui dengan jelas penyebabnya,
osteoarthritis jenis ini ditemukan pada usia pertengahan lansia. Sedangkan
faktor sekunder dapat disebabkan oleh penyakit yang menyebabkan kerusakan
pada synovial sehingga menimbulkan osteoarthritis sekunder (Rasjad, 2009).

C. Etiologi dan Faktor Resiko


Sarnpai saat ini etiologi yang pasti dari osteoartritis ini belum diketahui
dengan jelas, tapi beberapa faktor predisposisi atau faktor resiko
mempengaruhi terjadinya osteoarthritis antara lain sebagai berikut:
1. Usia
Faktor resiko yang paling utama pada penyakit osteoarthritis adalah
usia, biasanya mengenai dewasa madya hingga lansia, tetapi sering pada
usia diatas 60 tahun (Soeroso,2006).
2. Jenis kelamin
Pada umumnya laki – laki dan perempuan sama – sama dapat terkena
penyakit ini, meskipun pada usia sebelum 45 tahun lebih sering pada laki –
laki, tetapi setelah usia 45 tahun lebih banyak pada perempuan dengan
perbandingan ± 4:1 (Hudaya, 2002).
3. Obesitas
Obesitas merupakan faktor risiko osteoartritis yang dapat dimodifikasi.
Selama berjalan, setengah berat badan bertumpu pada sendi lutut oleh
karena itu peningkatan berat badan akan melipat gandakan beban sendi
lutut saat berjalan (Maharani, 2007).
4. Aktifitas fisik
Aktivitas fisik tertentu yang dilakukan secara berlebihan atau banyak
membebani sendi lutut akan menimbulkan trauma berulang yang
meningkatkan resiko timbulnya osteoarthritis lutut yang lebih besar
(Maharani, 2007).
5. Trauma / gangguan mekanik
Trauma disini yaitu disebabkan oleh adanya pembebanan yang
berlebihan pada sendi yang berlangsung lama. Trauma ini bisa disebabkan

11
oleh aktivitas fisik atau pekerjaan tertentu. Pekerjaan yang banyak
membebani sendi lutut akan mempunyai resiko terserang osteoarthritis
lebih besar (Parjoto, 2000).

D. Epidemiologi
Prevalensi osteoarthritis bervariasi di setiap populasi yang berbeda,
walaupun begitu, osteoarthritis merupakan masalah universal. Prevalensi
osteoartritis meningkat seiring bertambahnya usia. Di Amerika terjadi
peningkatan yang signifikan pada usia 50 tahun dan mencapai 50% pada usia
di atas 65 tahun (Zhang,2010).
Prevalensi osteoarthritis di Indonesia, yaitu 5% pada usia < 40 tahun, 30%
pada usia antara 40-60 tahun dan 65% pada usia > 61 tahun. Sendi yang
paling banyak mengalami osteoarthritis adalah sendi lutut. Hampir 80%
osteoarthritis pada usia diatas 60 tahun mengenai sendi lutut dan diperkirakan
1-2 juta lansia menderita cacat akibat osteoarthritis (Anwar, 2012).

E. Patomekanisme
OA terjadi karena degradasi pada rawan sendi, remodelling tulang, dan
inflamasi. Terdapat 4 fase penting dalam proses pembentukan osteoartritis
yaitu fase inisiasi, fase inflamasi, fase nyeri, fase degradasi.
1. Fase inisiasi
Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi berupaya
melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami replikasi dan
memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor pertumbuhan
suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu
komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like growth factor
(IGF-1), growth hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni
stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor ini menginduksi khondrosit
untuk mensintesis asam deoksiribo nukleat (DNA) dan protein seperti
kolagen dan proteoglikan. IGF-1 memegang peran penting dalam
perbaikan rawan sendi.

12
2. Fase inflamasi
Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-1
sehingga meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang
mempengaruhi sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α
(TNF-α) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan gelatinase
untuk membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk inflamasi
memiliki dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago
sendi, dan menghasilkan kerusakan pada sendi.
3. Fase nyeri
Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan
penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan
trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga
menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini
mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan
interleukin yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa
akibat lepasnya mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan
peregangan tendo, ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri juga diakibatkan
oleh adanya osteofit yang menekan periosteum dan radiks saraf yang
berasal dari medulla spinalis serta kenaikan tekanan vena intramedular
akibat stasis vena pada pada proses remodelling trabekula dan subkondrial.
4. Fase degradasi
IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu
meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran
makrofag didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas
mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan
memproduksi sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan
merangsang khondrosit untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga
mempercepat resorpsi matriks rawan sendi. Faktor pertumbuhan dan
sitokin membawa pengaruh yang berlawanan selama perkembangan OA.
Sitokin cenderung merangsang degradasi komponen matriks rawan sendi
sedangkan faktor pertumbuhan merangsang sintesis (Sudoyo et. al, 2007).

13
F. Klasifikasi
Berdasarkan American Rheumatism Association 2012, osteoartritis
diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Primary osteoarthrosis ( osteoarthritis primer )
Jenis ini paling sering ditemukan, dikatakan primer karena
penyebabnya tidak diketahui atau herediter dan dapat dibedakan menjadi
peripheral dan spinal. Biasanya terjadi karena proses penuaan. Persendian
yang biasa terkena yaitu jari-jari tangan, jari-jari kaki, lutut dan panggul.
Namun paling banyak mengenai lutut.
2. Secondary osteoarthrosis (osteoarthrosis sekunder )
Disebut osteoarhtritis sekunder karena diketahui penyebabnya. Jenis
ini meliputi osteoarthrosis yang timbul pada sendi yang sebelumnya sudah
ditemukan adanya kerusakan atau kelainan sendi. Jadi penyebabnya dapat
diketahui.
Menurut Kellgren dan Lawrence osteoartritis dalam pemeriksaan
radiologis diklasifikasikan sebagai berikut:
1. Grade 0: Normal, Tidak tampak adanya tanda-tanda OA pada radiologis.
2. Grade 1: Ragu-ragu, tanpa osteofit.
3. Grade 2: Ringan, osteofit yang pasti, tidak terdapat ruang antar sendi.
4. Grade 3: Sedang, osteofit sedang, terdapat ruang antar sendi yang cukup
besar.
5. Grade 4: Berat atau parah, osteofit besar, terdapat ruang antar sendi yang
lebar dengan sklerosis pada tulang subkondral.

14
Gambar 5. Derajat Keparahan OA Berdasarkan Gambaran Radiografi

G. Manifestasi Klinik
Pada umumnya, penderita osteoarthritis genu mengatakan bahwa keluhan-
keluhan yang dirasakannya telah berlangsung lama, tetapi berkembang secara
perlahan Berikut adalah keluhan yang dapat dijumpai pada pasien
osteoarthritis genu:
1. Nyeri sendi
Keluhan ini merupakan keluhan utama pasien. Nyeri biasanya
bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat.
Beberapa gerakan tertentu terkadang dapat menimbulkan rasa nyeri yang
melebihi gerakan lain. Perubahan ini dapat ditemukan meski osteoarthritis
genu masih tergolong dini (secara radiologis). Umumnya bertambah berat
dengan semakin beratnya penyakit sampai sendi hanya bisa digoyangkan
dan menjadi kontraktur, Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah
gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja) (Soeroso, 2006).
Kartilago tidak mengandung serabut saraf dan kehilangan kartilago pada
sendi tidak diikuti dengan timbulnya nyeri. Sehingga dapat diasumsikan
bahwa nyeri yang timbul pada osteoarthritis genu berasal dari luar
kartilago (Felson, 2008). Osteofit merupakan salah satu penyebab
timbulnya nyeri. Ketika osteofit tumbuh, inervasi neurovaskular

15
menembusi bagian dasar tulang hingga ke kartilago dan menuju ke osteofit
yang sedang berkembang, hal ini menimbulkan nyeri (Felson, 2008).
2. Keterbatasan gerak sendi (ROM)
Hal ini bisa dikarenakan oleh berbagai macam masalah seperti nyeri,
spasme otot dan apabila terus dibiarkan menyebabkan kontraktur.
Menurunnya Range of Motion (ROM) secara signifikan dan adanya nyeri
pada batas akhir gerakan merupakan gejala klinis utama dari Osteoarthritis
Genu (Dieppe dan Lohmander, 2005). Gangguan ini biasanya semakin
bertambah berat secara perlahan sejalan dengan pertambahan rasa nyeri
( Soeroso, 2007 ).
3. Kaku sendi di pagi hari (morning stiffness)
Rasa kaku pada sendi dapat timbul setelah pasien berdiam diri atau
tidak melakukan banyak gerakan, seperti duduk di kursi atau mobil dalam
waktu yang cukup lama, bahkan setelah bangun tidur di pagi hari
(Soeroso, 2007). Rasa kaku umumnya kurang dari 30 menit.
4. Adanya krepitasi
Krepitasi atau rasa gemeratak yang timbul pada sendi yang sakit.
Gejala ini umum dijumpai pada pasien osteoarthritis genu. Pada awalnya
hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh
pasien atau dokter yang memeriksa. Seiring dengan perkembangan
penyakit, krepitasi dapat terdengar hingga jarak tertentu ( Soeroso, 2007 ).
5. Pembengkakan sendi
Pembengkakan sendi dapat timbul dikarenakan terjadi efusi pada sendi
yang biasanya tidak banyak ( < 100 cc ) atau karena adanya osteofit,
sehingga bentuk permukaan sendi berubah (Soeroso, 2007).
6. Tanda – tanda Inflamasi
Tanda – tanda adanya peradangan pada sendi (nyeri tekan, gangguan
gerak, rasa hangat yang merata, dan warna kemerahan ) dapat dijumpai
pada osteoarthritis genu karena adanya synovitis. Biasanya tanda – tanda
ini tidak menonjol dan timbul pada perkembangan penyakit yang lebih
jauh. Gejala ini sering dijumpai pada osteoarthritis genu (Soeroso, 2007).

16
7. Instabilitas sendi lutut
Disebabkan oleh penyempitan celah sendi, jarak permukaan sendi
menurun, hal ini akan menyebabkan ketidakseimbangan tubuh dan
gerakan yang berlebihan pada satu sisi pada persendian akibatnya akan
terjadi laxity pada sisi ligamen sehingga terjadi instabilitas. Seseorang
yang memiliki osteoarthritis akan sulit untuk mempertahankan
keseimbangan normal seperti berdiri atau berdiri dengan satu kaki dalam
jangka waktu tertentu (Soeroso, 2007).
8. Menurunnya kekuatan otot
Adanya inaktivitas akibat immobilisasi dan keterbatasan gerakan, akan
menyebabkan kelemahan otot. kelemahan otot akan terjadi seiring dengan
meningkatknya progresifitas dari Osteoarthritis ( Maharani, 2007).
9. Deformitas
Kadang ditemukan deformitas atau kecacatan berupa genu valgus atau
genu varus akibat kendornya kapsul ligamen atau penurunan elastisitas
jaringan lunak sekitar persendian (Soeroso, 2007).

H. Pemeriksaan dan Penegakan Diagnosa


Untuk diagnose osteoarthritis lutut, tangan dan pinggul menggunakan kriteria
American College Rheumatology
1. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, nyeri lutut dan 3 dari
berikut ini:
a. Umur > 50 tahun
b. Kaku sendi < 30 menit
c. Krepitus pada gerakan aktif
d. Nyeri tulang
e. Hanya pada perabaan
2. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologi, nyeri lutut dan 1
diantara berikut ini:
a. Umur > 50 tahun
b. Kaku sendi < 30 menit
c. Krepitus pada gerakan aktif dan osteofit

17
3. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan laboratorium, nyeri lutut
dan 5 diantara berikut ini:
a. Umur > 50 tahun
b. Kaku sendi < 30 menit
c. Krepitus pada gerakan aktif
d. Pembesaran sendi
e. Nyeri tulang
f. Hangat pada perabaan
g. LED < 40 mm/jam
h. Rheumatoid factor < 1:40
i. Analisis Cairan sendi menunjukkan OA
Pada pasien OA, dilakukannya pemeriksaan radiografi pada sendi yang
terkena sudah cukup untuk memberikan suatu gambaran diagnostik.
Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah:
1. Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris
2. Peningkatan densitas tulang subkondral (sclerosis)
3. Kista pada tulang
4. Osteofit pada pinggir sendi
5. Perubahan struktur anatomi
Berdasarkan temuan-temuan radiografis diatas, maka OA dapat diberikan
suatu derajat. Kriteria OA berdasarkan temuan radiografis dikenal sebagai
kriteria Kellgren dan Lawrence yang membagi OA dimulai dari tingkat ringan
hingga tingkat berat. Perlu diingat bahwa pada awal penyakit, gambaran
radiografis sendi masih terlihat normal. Pada pemeriksaan laboratorium
ditermukan yaitu darah tepi (hemoglobin, leukosit, laju endap darah) dalam
batas-batas normal. Pemeriksaan imunologi (ANA, factor rheumatoid dan
komplemen) juga normal. Pada OA yang disertai peradangan, mungkin
didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang,
peningkatan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein (Kenneth,
2005).

18
I. Diagnosa Banding
Pada pemeriksaan fisik pasien OA, terdapat beberapa kondisi yang
mempunyai gejala-gejala hampir sama dengan penyakit sendi lain sehingga
akan merancukan dalam penegakan diagnosa. Menurut Kalim (1996),
kelainan arthritis lutut di luar OA yang umumnya banyak dijadikan diagnosis
banding antara lain :
1. Rheumatoid Arthritis (RA)
Pada RA, terjadi pembengkakan jaringan lunak dan gejala inflamasi
setempat yang jelas. Prediksi sendi yang terkena adalah sendi-sendi kecil,
bersifat poliartikuler, simetris dan disertai gejala sistematik.
2. Gout Arthritis
Merupakan sindrom klinis yang mempunyai gambaran khas berupa
Arthritis akut. Gejala arthritis akut disebabkan oleh inflamasi jaringan
terhadap pembentukan kristal monosodium urat monohidrat akibat
gangguan metabolisme purin dalam tubuh. Sering menyerang sendi
metatarsophalangeal dan sendi lutut. Pada pemeriksaan laboratorium,
didapatkan kadar asam urat yang tinggi dalam darah, serta diketahui
adanya peningkatan jumlah leukosit dan laju endap darah.

J. Hubungan MTV dengan Osteoarthritis


Manipulasi viseral bertujuan untuk mengembalikan gerakan fisiologis
pada jaringan, sehingga meningkatkan gerakan normal tubuh, termasuk
pergerakan struktur viseral di hubungan satu sama lain dan gerak dalam setiap
struktur, meningkatkan komunikasi dalam tubuh melalui peningkatan fungsi
sistem saraf, sirkulasi, limfatik, dan sistem pernafasan dengan pelunakan fasia
yang mengelilingi masing-masing struktur, sehingga mengurangi tekanan
serta memungkinkan sirkulasi lebih baik. meningkatkan kerusakan dan
penghapusan produk limbah, mengurangi peradangan dan nyeri, dan
meningkatkan pengiriman hormon dan bahan kimia untuk sel. (Barral, J.P,
2005).
Pada area genu diperdarahi oleh arteri femoralis, arteri poplitea dan vena
poplitea. Arteri femoralis bertugas membawa darah dari daerah jantung
diteruskan oleh arteri poplitea ke area knee, sedangkan vena poplitea

19
membawa darah dari otot sekitar genu kembali ke jantung (Syaifuddin, 2011).
Pada pasien osteoarthtritis terjadi antalgic position semifleksi knee yang
semakin lama akan menyebabkan adhesive pada sigmoid (sinistra) dan cecum
(dextra) (Barral, 2007). Ketika terjadi adhesive pada sigmoid ataupun cecum
maka akan terjadi penekanan pada sistem peredaran darah (arteri dan vena
common iliac) untuk ke area tungkai yang dapat menghambat aliran arteri
femoralis dan arteri poplitea sementara genu butuh suplai nutrisi utamanya
kalsium untuk perbaikan struktur cartilage. Sedangkan untuk vena, akan
mengangkut material material yang rusak sehingga dapat mengurangi nyeri
(Barral, 2005). Dengan memberikan MVT pada cecum atau sigmoid dapat
mengurangi adhesive, sehingga aliran nutrisi ke area genu akan lancar dan
mengurangi gejala osteoarthtritis.
Selain dengan MVT, dapat dilakukan juga dengan cara stimulasi
parasimpatis (Eric, 2011). Dengan stimulasi parasimpatis maka akan terjadi
penekanan aktivasi pada saraf simpatis sehingga akan meningkatkan
vasodilatasi pada pembuluh darah dan pengangkutan materi yang berpengaruh
terhadap nyeri juga akan meningkat (Parjoto, 2006). Tanda dan gejala
penderita osteoarthritis adanya inflamasi atau peradangan maka leukosit akan
bekerja menuju ke tempat yang mengalami peradangan ataupun inflamasi.
Leukosit khususnya sel basophil mengeluarkan histamine dan heparin yang
merupakan neurotransmitter inflamasi dan histamine berfungsi untuk
menyampaikan sinyal nyeri. sistem limfoit dapat melindungi tubuh dari
benda-benda asing, sehingga inflamasi atau peradangan pada penderita
osteoarthritis dapat diatasi. Penderita osteoarthritis juga membutuhkan
kalsium pada tulang sehingga membutuhkan stimulasi pada kelenjar tiroid-
paratiroid untuk kebutuhan kalsium dalam darah dan tulang.

20
K. Kerangka/ Mind Mapping Teknologi Fisioterapi

Gambar 6. Kerangka Teknologi Fisioterapi

21
BAB III

MANAJEMEN FISIOTERAPI

A. Identitas Pasien
Nama : Ny.BSD
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 74 tahun
Alamat : Gowa

B. Pemeriksaan Fisioterapi (CHARTS)


1. Chief of complaint
Nyeri dan kaku pada kedua lutut
2. History
Nyeri dirasakan sejak 3 tahun yang lalu tepatnya pada tahun 2016. Pasien
sudah lama melakukan terapi karena nyeri yang dirasakan. Pasien
merasakan perubahaan dan kondisinya semakin membaik. Di pagi hari
saat bangun, pasien merasakan kaku pada kedua lutut selama sepuluh
menit dan akan berangsur membaik saat siang hari. Saat ini pasien
kesulitan untuk menekuk, nyeri saat berjalan dan terbatas dalam
melakukan aktivitas. Pasien memiliki riwayat DM, dan tidak ada riwayat
hipertensi, kolesterol dan asam urat.
3. Assymetric
a. Inspeksi
1) Inspeksi Statis
- Raut wajah pasien tampak cemas
- Kedua shoulder tampak simetris
- Tampak pasien lebih menumpuhkan berat badan pada sisi kiri
saat berdiri
- Postur pasien kifosis
2) Inspeksi Dinamis
- Pasien datang berjalan dengan dibantu walker
- Gait analisis ada beberapa fase yang hilang (fase swing dan
akselerasi)

22
b. Palpasi
1) Suhu : normal
2) Oedem : (+)
3) Kontur Kulit : normal
4) Tenderness : (+) medial, lateral dan posterior knee bilateral
c. Pemeriksaan Fungsi Gerak Dasar
Tabel 1. PFGD Knee
Gerakan Aktif Pasif TIMT
Dx Sn Dx Sn Dx Sn
Fleksi Limitasi Limitasi Limitasi ROM, Limitasi Kurang Mampu Kurang
ROM, ROM, Nyeri (+), ROM, Nyeri Melawan Mampu
Nyeri (+) Nyeri (-) endfeel (-), soft Tahanan Melawan
endfeel Tahanan
Ekstensi Limitasi Limitas Limitasi Limitasi Kurang Mampu Kurang
ROM, ROM, ROM, Nyeri ROM, Nyeri Melawan Mampu
Nyeri (+) Nyeri (-) (+), endfeel (-), hard Tahanan Melawan
endfeel Tahanan

4. Restrictive
a. Limitasi Range of Motion (ROM) : regio knee bilateral
b. Limitasi Activity Daily Living (ADL) : walking, toileting
c. Limitasi Pekerjaan : terganggu
d. Limitasi Rekreasi : (-)
5. Tissue Impairment and Psycogenic Prediction
a. Muskulotendinogen : m.quadriceps, m.hamstrings,
m.gastrocnemius.
b. Osteoarthrogen : intraartikular knee joint bilateral
c. Neurogen :-
d. Psikogen : kecemasan
6. Spesific Test
a. Visual Analog Scale
Nyeri diam : 3
Nyeri tekan :8

23
Nyeri gerak : 5
b. Manual Muscle Test
Grup otot fleksor : 4
Grup otot ekstensor : 4
c. Anterior Drawer Test : (-)
IP : tidak ada masalah pada anterior cruciate ligament (ACL)
d. Posterior Drawer Test : (-)
IP : tidak ada masalah pada posterior cruciate ligament (PCL)
e. Mc.Murray Test : (-)
IP : tidak masalah pada meniskus
f. Patellar Aprehension Test : (+)
IP : ada adhesive pada patella
g. Ballotement test : (-)
IP : tidak ada indikasi patologi di patella femoral articulation
h. Knee Varus-Valgus Test : (-)
IP : tidak ada tear pada lateral collateral ligament (LCL) dan medial
collateral ligament (MCL)
i. HRS-A : 14
IP : kecemasan ringan
j. Leg Pull Test : tension pada kedua kaki
IP : ada disfungsi pada organ bagian viceral
k. Rebound Test : (+) nyeri regio 7 dan 9
IP : ada adhesive pada facia sigmoid dan secum
l. Hemodinamic Test : (+) denyut tetap pada regio 7 dan 9
IP : ada masalah pada organ sigmoid dan secum
C. Diagnosis Fisioterapi
Adapun diagnosis fisioterapi yang dapat ditegakkan dari hasil proses
pengukuran dan pemeriksaan fisioterapi tersebut, yaitu “Gangguan aktifitas
fungsional regio knee berupa nyeri, keterbatasan ROM, kelemahan otot dan
adhesive organ viceral et causa osteoarthritis bilateral sejak 3 tahun yang
lalu”.

24
D. Problematik Fisioterpi
1. Problem Primer : stiffness knee joint bilateral
2. Problem Sekunder : nyeri, kecemasan, kelemahan m.quadriceps,
spasme m.hamstring dan m.gastronemius, adhesive organ sigmoid dan
secum
3. Problem Kompleks : Gangguan aktivitas fungsional walking dan
toileting
E. Tujuan Fisioterapi
1. Tujuan Jangka Panjang
Mengoptimalkan aktivitas fungsional berdiri, berjalan, dan toileting
2. Tujuan Jangka Pendek
a. Mengurangi nyeri
b. Mengatasi kecemasan
c. Meningkatkan ROM
d. Meningkatkan kekuatan otot
e. Mengurangi spasme otot
f. Mengatasi stiffness joint
g. Melepaskan adhesive organ viscera

F. Intervensi Fisioterapi
Tabel 2. Intervensi Fisioterapi

Modalitas
No Problem Dosis
Terpilih
1. Kecemasan Komunikasi F : 1 x sehari
Terapeutik I : Pasien fokus
T : Interpersonal approach
T : selama proses terapi
2. Metabolic strees Elektroterapi (IRR) F : 1 x sehari
reaction I : 30 cm dari area
T : local area
T : 10 menit
3. Nyeri Elektroterapi F : 1 x sehari

25
(Interferensi) I : 35 mA
T : contraplanar
T : 5 menit
Manual Therapy F : 1 x sehari
I : 30-90% pressure
T : Friction
T : 2 menit
4. Stiffnes knee joint Manual Therapy F : 1 x sehari
bilateral I : 10 repetisi
T : patellar mobilization
T : 4 menit
Manual Therapy F : 1 x sehari
I : 6 repetisi
T : traksi-translasi
T : 5 menit
5. Limitasi ROM Exercise Therapy F : 1 x hari
knee bilateral I : 8x hitungan 6x repetisi
T : PROMEx, CPM
T : 5 menit
6. Kelemahan Exercise Therapy F : 1 x sehari
m.quadriceps I : 8x hitungan, 3x repetisi
T : strengthening exercise
T : 2 menit
7. Spasme Exercise Therapy F : 1 x sehari
m.hamstring dan I : 15x hitungan 3x repetisi
gastrocneius T : stretching exercise
T : 15 menit

8. Gangguan ADL Exercise Therapy F : 1x sehari


I : 8x hitungan, 3x repetisi
T : bridging exercise dan
standing exercise

26
T : 4 menit

9. Adhesive organ Manual Therapy F : 1 x sehari


sigmoid dan I : 8-16 hitungan
secum T : MVT secum
T: 5 menit
Inflamasi Manual Therapy F : 1x sehari
I : 8-16 hitungan
T : MVT Limpa
T : 3 menit
Kalsium dalam Manual Therapy F : 1x sehari
tulang I : 8-16 hitungan
T: MVT tiroid dan paratiroid
T : 5 menit

G. Evaluasi Fisioterapi
Tabel 3. Evaluasi Fisioterapi
No. Problem Parameter Sebelum Setelah 3 Ket.
Intervensi Kali
Intervensi
1 Nyeri VAS Diam: 3 Diam : 1 Ada penuunan
Tekan : 8 Tekan : 6 nyeri
Gerak : 5 Gerak : 3
2 Kelemahan otot MMT Flexor : 4 Flexor : 4 Belum ada
Extensor: 4 Extensor: 4 peningkatan
kekuatan otot

H. Home Program
Home program fisioterapi dapat diberikan berupa static kontraksi pada
quadriceps dan self stretching pada gastrocnemius

I. Kemitraan Fisioterapi
Fisioterapis dapat mengembangkan kolaborasi/kemitraan dengan profesi lain
dalam memberikan penanganan terhadap kondisi pasien. Hal ini dilakukan

27
berdasarkan kebutuhan pasien. Dalam penanganan pasien ini, FT sebaiknya
bermitra dengan Dokter spesialis penyakit dalam dan dokter orthopedi..

28
DAFTAR PUSTAKA

American College of Rheumatology. 2012. Osteoarthritis. Lake Boulevard


NE, Atlanta.
Anwar. 2012. Efek Penambahan Roll-Slide Fleksi Ektensi terhadap
Penurunan Nyeri Pada Osteoarthritis Sendi Lutut. Journal Fisiterapi
Volume 12 Nomer 1.
Azizah, L. 2008. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Kondisi Osteoarthritis
Genu Bilateral Dengan Modalitas Microwave Diathermi Dan Terapi
Latihan Di Rsud Sragen. Program Studi Fisioterapi: Surakarta.
Ballinger, Philip W. 2007. Merril’s Atlas of Radiographic Positioning and
Procedure, ninth editition. Mosby year Book, Inc New York.
Barral, Jean Pierre & Pierre Mercier. 2005. Visceral Manipulation Revised
Edition. UK: Eastland Press.
Barral, Jean Pierre. 2007. Visceral Manipulation II Revised Edition. UK :
Esatland Press.
Carlos, LJ. 2013. Training Program. Clinical Medicine. Department of
Medicine, Division of Rheumatology and Immunology. University
of Miami. Terjemahan Leonard M Miller. Editors Herbert S
Diamond. 2013 School of Medicine. USA.
Darlene H & Randolph M. K. 2006. “Management of Common
Musculoskeletal Disorder, Physical Therapy Principles and Methods”.
4th edition. Philadelphia: Lipincott and Wilkins.
Davey Patrick. 2006. At a Glance Medicine. Alih bahasa : Anissa Racmalia.
Jakarta : Erlangga
Dziedzic, K. dan Hammond, A. 2010. Rheumatology Edvidence Based
Practice for Physiotherapist and Occupational Therapist.
London: Elsevier. 235-241.
Edmond Susan L. 2006. Joint Mobilization / Manipulation Extremity and
Spinal Techniques, Edisi kedua, Mosby, USA.
Hebgen, Eric U. 2011. Visceral in Osteopathy. New York : Thieme
Hadibroto, Budi R. 2006. Anatomi Retroperitoneal Laparoskopik. Majalah
Kedokteran Nusantara Vol.39 (3)
Kapandji. 2010. The Physiology of The Joint. sixth edition. Churchil Living
Stone. New York, hal. 76-80.
Kenneth, DB. 2005. Horrison Principle of Internal Medicine 16th edition.
Chapter 312: Osteoarthritis, Mc Graw Hills.

29
Kisner, Carolin and Lynn Allen Colby. 2007. Therapeutic Exercise 5th
Edition. Philadelphia : F.A. Davis Company.
Kuntono, HP. 2005. Penatalaksanaan Fisioterapi pada Kondisi Osteoarthritis.
Temu Ilmiah IFI : Kediri.
Lin Chung-Wei C.,Taylor Deborah, A. Sita M., Zeindra Bierma, Maher
Christoper G. 2010. Exercise for Osteoarthritis of the Knee
Physical Therapy . Volume 90 No. 6 839-842, Journal of the
American Physical Therapy.
Noor Helmi, Zairin, 2012; Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal; jilid
1,Salemba Medika, Jakarta, hal. 226-231, 534-535.
Parjoto, S. 2000; Assesment Fisioterapi pada OA Sendi Lutut; TITAFI XV,
Semarang.
Pudjianto.M, 2002; Sendi Lutut; Pelatihan Terapi Manipulasi, Jurusan
Fisioterapi. POLTEKKES Surakarta.
Putz, R dan Pabst, R. 2003. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Jilid 1 edisi 21.
Jakarta: EGC
Rasjad, Chairuddin. 2009; Pengantar Ilmu Bedah Oropedi; pp 216, Yarsis
Watampone. Jakarta
Soenarwo, Briliantono M. 2011. Penanganan Praktis Osteoarthritis. Jakarta:
Al-Mawardi.
Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Sulabda, I.N., Siswanto. 2016. Fisiologi Kelenjar Tiroid dan Paratiroid.
Denpasar: Universitas Udayana.
Sumual AS. 2012. Pengaruh Berat Badan Terhadap Gaya Gesek Dan
Timbulnya Osteoarthritis Pada Orang Di Atas 45 Tahun Di RSUP
Prof. Dr. R. D. Kandou Manado. Skripsi. Manado: Bagian Fisika
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi Manado.
Suriani, S & Lesmana, S.I. 2013. Latihan Theraband lebih baik menurunkan
nyeri daripada latihan Quadriceps bench pada osteoarthritis genu. Vol.
13. Nomor 1. April 2013.
Syaifuddin, H. 2013. Anatomi Fisiologi: Kurikulum Berbasis Kompetensi
Untuk Keperawatan & Kebidanan. Edisi 4. Jakarta: EGC
Tajuid, Ucat, 2000. Pemeriksaan Fisioterapi pada Instabilitas Sendi Lutut.
TITAFI. XV, Semarang.
Zhang, Y. Joanne, M. Jordan, M.D. 2010. epidemiology of Osteoarthritis.
Clin Geriatr. Med;26(3):355-6.

30

Anda mungkin juga menyukai