3. Fase Remodeling
Kolagen disintesis dan dibentuk terus menerus. Peralihan dari kolagen tipe III menjadi
kolagen tipe I. Kemudian jaringan kolagen pada bekas luka menjadi paralel dalam satu garis lurus
sebagai hasil penerapan daya tarikan pada jaringan yang cedera. Jaringan kolagen yang paralel
tersebut biasanya didapatkan 2 bulan setelah cedera dan membiarkan jaringan menahan beban
tarikan yang lebih besar. Namun fase healing terakhir merupakan proses yang panjang dan dimulai
setidaknya 3 minggu setelah cederan hingga paling lambat satu tahun. Selama proses remodeling
Kekuatan tarikan pada jaringan yang cedera terus meningkat dan pada 3 bulan telah meningkat
hingga 80% hampir sama dengan jaringan yang normal. Setelah fase remodeling selesai, kekuatan
tarikan pada jaringan yang rusak terkadang tidak sama dengan jaringan yang tidak cedera.
Cedera pada otot melibatkan suatu proses yang sama yaitu sel satelit, yang merupakan stem
sel yang spesifik pada otot yang terletak pada tepi otot. Pada saat otot mengalmi cedera, miofiber yang
robek mengerut dan celahnya terisi dengan udem dan bahkan jaringan scar. Pada akhir dari tarikan
muscle fiber, sel satelit akan aktif untuk proliferase dan menyebabkan regenerasi otot.
Dibandingkan dengan otot, tendon memiliki sedikit vaskularisasi sehingga menyebabkan
oksigen dan nutrisi juga akan kurang saat terjadinya cedera. Sehingga hasilnya tendon akan lebih
lambat dibandingkan otot dalam proses penyembuhan setelah cedera. Pada tendon terjadi proses
ekstrinsik dan intrinsik. Mekanisme ekstrinsik melibatkan sel inflamasi dan fibroblast dari daerah
sekitar masuk ke area cedera untuk memperbaiki tendon. Sementara mekanisme intrinsik melibatkan
sel inflamasi dan fibroblast dari dalam tendon. Didalam tendon sel yang meperbaiki disebut tenocyte,
yang diaktifkan untuk memproduksi kolagen. Meskipun kolagen dibutuhkn untuk membantu
perbaikan tendon yang rusak, fibrosis berkembang, dan menghasilkan formasi perlengketan pada
sekeliling jaringan jika terjadi sintesis kolagen yang berlebihan.
B. Proses Penyembuhan Fraktur
(a) Pembentukan (b) Pembentukan kalus (c) Pembentukan kalus (d) Tulang yang
hematom pada mengalami
fraktur fibrokartilago yang keras remodeling
Proses penyatuan langsung tidak lagi melibatkan proses pembentukan kalus. Jika lokasi fraktur
benar‒benar dilakukan imobilisasi dengan menggunakan plate, tidak dapat memicu kalus. Namun,
pembentukan tulang baru dengan osteoblas timbul secara langsung diantara fragmen. Gap antar
permukaan fraktur diselubungi oleh kapiler baru dan sel osteoprogenitor tumbuh dimulai dari pangkal
dan tulang baru terdapat pada permukaan luar (gap healing). Saat celah atau gap sangat kecil,
osteogenesis memproduksi tulang lamelar, gap yang lebar pertama –tama akan diisi dengan tulang
anyaman yang selanjutnya dilakukan remodeling untuk menjadi tulang lamelar. Setelah 3‒4 minggu,
fraktur sudah cukup kuat untuk melakukan penetrasi dan bridging mungkin kadang ditemukan tanpa
adanya fase pertengahan atau contact healing (Solomon et al., 2010)
Penyembuhan dengan kalus, meskipun tidak langsung (indirect) memiliki keuntungan antara lain dapat
menjamin kekuatan tulang di akhir penyembuhan tulang, dengan peningkatan stres kalus berkembang
lebih kuat sebagai contoh dari hukum Wolff. Dengan penggunaan fiksasi metal, disisi lain, tidak
terdapatnya kalus berarti tulang akan bergantung pada implan metal dalam jangka waktu yang cukup
lama. Karena, implan akan mengurangi stress, yang mungkin dapat menyebabkan osteoporotik dan tidak
sembuh total sampai implan dilepas (Solomon et al., 2010).
C. Meniscus
Cedera Meniskus adalah cedera yang dialami oleh bantalan sendi lutut. Cedera pada meniskus
sering terjadi pada olahraga yang melibatkan gerakan berputar dan squat seperti pada
bolabasket, sepak bola atau bulu tangkis (Setiawan, A. 2011). Cedera meniskus lebih sering
terjadi pada bagian medial dibanding bagian lateral,karena meniskus medial menanggung beban
90% dari masa tubuh. Pada pasien muda, biasanya terjadi gerakan berputar pada saat menumpu
berat badan dengan posisi fleksi knee. Pada lansia, tear umumnya terjadi karena faktor
degenerative dan cenderung mengakibatkan robekan horizontal. Pada atlet, cedera meniscus
paling sering disebabkan oleh trauma atau aktivitas berulang seperti lari yang ,mengakibatkan
stress pada knee joint (Thomas L. & Wickiewiz, 2016). Sobekan kecil tidak menyebabkan gejala
langsung tapi biasanya nyeri dan pembengkakan meningkat dari waktu ke waktu (24 - 48 jam).
Cedera meniscal yang parah dapat menimbulkan rasa nyeri yang berat dan membatasi rentang
gerak. Untuk menyembuhkan atau menghilangkan meniscus yang telah sobek mungkin
diperlukan operasi arthroscopic. Operasi tersebut dilakukan dengan memasukkan sebuah kamera
dan instrumen-instrumen kedalam sendi lutut melalui irisan kecil pada kulit. Dengan instrumen-
instrumen tersebut, meniscus yang rusak dapat dilihat dan diobati (Ningtwish, 2012).
Cedera meniskus dapat terjadi baik trauma maupun non trauma. Cedera meniskus oleh karena
non trauma, biasanya terjadi pada orang usia dewasa pertengahan dan usia tua. Hal ini disebabkan
oleh suatu proses degeneratif seperti osteoarthritis. Sedangkan cedera meniskus oleh karena
trauma, umumnya terjadi pada orang muda dan berhubungan dengan kegiatan olahraga (sepak
bola, basket, ski, dan baseball). Mekanisme injuri dari cedera meniskus karena trauma ini
biasanya berhubungan dengan gerakan lutut yang melakukan gaya twisting, cutting,
hiperekstensi, atau akibat adanya kekuatan yang begitu besar. Biasanya sekitar 80% kasus cedera
meniskus berhubungan dengan cedera ACL (Markis et al, 2014).
Klasifikasi cedera meniskus bergantung pada lokasi, ketebalan, stabilitasnya dan bentuk
robekannya. Berdasarkan lokasinya, robekan meniskus dapat terjadi pada bagian perifer (red –
red zone), bagian transisi (red – white zone) dan bagian dalam (white – white zone). Sedangkan
berdasarkan bentuk robekannya, dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu : longitudinal,
vertikal – longitudinal (bucket handle), flat/oblique, vertikal radial/transverse, dan
horizontal/kompleks (degeneratif). Semua kategori tersebut disertai dengan adanya pemeriksaan
pasien melalui anamnesis yang akurat, pemeriksaan fisik yang baik dan ditunjang dengan
pemeriksaan penunjang yang memadai (MRI) (Markis et al, 2014).
Cedera meniskus sering dikelompokkan sesuai dengan orientasi pergerakan meniscus sendiri
yaitu vertikal longitudinal, vertikal radial, horizontal, miring atau kompleks. Cedera meniskus
vertikal longitudinal terjadi antara serat kolagen sirkumferensial. Oleh karena itu, biomekanik
lutut tidak selalu terganggu dan cedera ini bersifat asimtomatik. Cedera meniskus vertikal komplit
kadang-kadang bisa berputar dalam sendi yang dikenal sebagai cedera meniskus "bucket handle".
Ini adalah cedera meniskus yang tidak stabil yang menyebabkan gejala mekanis atau benar-benar
mengunci lutut. Cedera meniskus radial vertikal berefek menjadikan serat kolagen melingkar dan
mempengaruhi kemampuan meniskus untuk menyerap beban tibiofemoral. Cedera ini biasanya
tidak bisa diperbaiki. Menisektomi parsial tidak mengembalikan fungsi secara normal dan
mempercepat perubahan degeneratif yang mungkin terjadi. Cedera meniskus horisontal membagi
meniskus ke bagian atas dan bawah dan tanpa ada gejala klinis. Frekuensi mereka meningkat
seiring bertambahnya usia dan sering disertai dengan kista meniscal. Robekan oblik
menyebabkan flap yang membuat mekanis pada meniscus tidak stabil. Pola robek ini
membutuhkan reseksi untuk mencegah penyebaran cedera saat flap tersangkut di dalam sendi
selama gerakan fleksi. Cedera meniscus kompleks atau degeneratif adalah dimana terdapat dua
atau lebih pola cedera pada meniskus. Cedera ini lebih banyak terjadi pada orang tua dan dapat
meyebabkan terjadinya osteoartritis pada lutut (Mordecai, 2014).
1) Non Operatif
Phase I – RICE
Terapkan protokol rest, ice, compression, elevation pada penanganan akut untuk
mengurangi nyeri dan swelling. Pemberian es dilakukan selama 20 menit setiap 2 jam
sepanjang 24 - 72 jam pertama pada fase akut.
Phase II – ROM & Flexibility
Keterbatasan ROM dan penurunan fleksibiltas dapat terjadi akibat adanya proses
inflamasi berupa edema dan nyeri pada fase sebelumnya. Memelihara ROM dan
fleksibiltas jaringan disekitar lutut dengan mobilisasi sendi patellofemoral, tibiofemoral,
dan superior tibiofibular. Fleksibitas otot dapat dijaga dengan melakukan pasif dan aktif
stretching.
Phase III – Strengthening
Latihan penguatan diberikan kepada otot otot penunjang lutut terutama quadriceps dan
hamstring. Jenis latihan pada tahap ini dapat berupa quadriceps set, hamstring curl,
straight leg raising, heel raises.
Phase IV – Advance Strengthening and Stretching
Untuk mamaksilkan aktivasi otot otot penopang lutut maka diberikan peningkatan latihan
sesuai dengan respon healing pasien. Jenis latihan yang dapat diberikan berupa weight
bearing resistive exercise seperti sepeda statis, single leg press.