Anda di halaman 1dari 12

A.

Healing Proses pada Otot dan Tendon”

1. Fase inflamasi akut


Fase inflamasi akut dimulai segera setelah terjadinya cedera pada jaringan lunak
yng ditandai dengan kemerahan, pembengkakan, peningkatan tenperatur dan nyeri. Pada
fase inflamasi terjadi cedera pada struktur kapiler dan vasodilatasi sehingga menyebabkan
terjadinya peningkatan sirkulasi darah pada area yang cedera. Neutrofil dan makrofag
ditarik kesisi yang cedera untuk menghilangkan zat-zat asing dan jaringan yang rusak dari
area tersebut. Respon inflamasi terjadi paling lambat 2 - 4 hari.

2. Fase repair fibroblastic (proliferase)


Dimulai paling cepat pada hari ketiga dan paling lambat dua minggi setelah cedera,
terbentuk pembuluh darah yang baru, fibroblast menuju ke daerah yang cedera untuk mensintesis
substansi halus dan kolagen. Tepi luka mulai mengerut dan kolagen tipe III yang lebih lemah
disimpan untuk membentuk jaringan scar (bekas luka).

3. Fase Remodeling
Kolagen disintesis dan dibentuk terus menerus. Peralihan dari kolagen tipe III menjadi
kolagen tipe I. Kemudian jaringan kolagen pada bekas luka menjadi paralel dalam satu garis lurus
sebagai hasil penerapan daya tarikan pada jaringan yang cedera. Jaringan kolagen yang paralel
tersebut biasanya didapatkan 2 bulan setelah cedera dan membiarkan jaringan menahan beban
tarikan yang lebih besar. Namun fase healing terakhir merupakan proses yang panjang dan dimulai
setidaknya 3 minggu setelah cederan hingga paling lambat satu tahun. Selama proses remodeling
Kekuatan tarikan pada jaringan yang cedera terus meningkat dan pada 3 bulan telah meningkat
hingga 80% hampir sama dengan jaringan yang normal. Setelah fase remodeling selesai, kekuatan
tarikan pada jaringan yang rusak terkadang tidak sama dengan jaringan yang tidak cedera.

Cedera pada otot melibatkan suatu proses yang sama yaitu sel satelit, yang merupakan stem
sel yang spesifik pada otot yang terletak pada tepi otot. Pada saat otot mengalmi cedera, miofiber yang
robek mengerut dan celahnya terisi dengan udem dan bahkan jaringan scar. Pada akhir dari tarikan
muscle fiber, sel satelit akan aktif untuk proliferase dan menyebabkan regenerasi otot.
Dibandingkan dengan otot, tendon memiliki sedikit vaskularisasi sehingga menyebabkan
oksigen dan nutrisi juga akan kurang saat terjadinya cedera. Sehingga hasilnya tendon akan lebih
lambat dibandingkan otot dalam proses penyembuhan setelah cedera. Pada tendon terjadi proses
ekstrinsik dan intrinsik. Mekanisme ekstrinsik melibatkan sel inflamasi dan fibroblast dari daerah
sekitar masuk ke area cedera untuk memperbaiki tendon. Sementara mekanisme intrinsik melibatkan
sel inflamasi dan fibroblast dari dalam tendon. Didalam tendon sel yang meperbaiki disebut tenocyte,
yang diaktifkan untuk memproduksi kolagen. Meskipun kolagen dibutuhkn untuk membantu
perbaikan tendon yang rusak, fibrosis berkembang, dan menghasilkan formasi perlengketan pada
sekeliling jaringan jika terjadi sintesis kolagen yang berlebihan.
B. Proses Penyembuhan Fraktur

Penyembuhan fraktur umumnya dilakukan dengan cara imobilisasi. Akan tetapi,


penyembuhan fraktur alamiah dengan kalus dan pembentukan kalus berespon terhadap pergerakan
bukan terhadap pembidaian. Pada umumnya fraktur dilakukan pembidaian hal ini dilakukan tidak
untuk menjamin penyatuan tulang namun untuk meringankan nyeri dan menjamin penyatuan tulang
pada posisi yang benar dan mempercepat pergerakan tubuh dan pengembalian fungsi (Solomon et al.,
2010).

Fraktur disembuhkan dengan proses perkembangan yang melibatkan pembentukan


fibrokartilago dan aktivitas osteogenik dari sel tulang utama. Fraktur merusak pembuluh darah yang
menyebabkan sel tulang terdekat mati. Pembekuan darah dibuang bersamaan dengan debris jaringan
oleh makrofag dan matriks yang rusak, tulang yang bebas dari sel di resorpsi oleh osteoklas (Mescher,
2013).

2.1.3.1 Penyembuhan dengan kalus


Proses ini adalah bentuk alamiah dari penyembuhan fraktur pada tulang tubular tanpa
fiksasi, proses ini terdiri dari lima fase, yaitu (Solomon et al., 2010) :

1. Destruksi jaringan dan pembentukan hematom


Pembuluh darah robek dan terjadi pembentukan hematom disekitar fraktur. Tulang pada
permukaan yang patah, kehilangan asupan darah, dan mati (gambar 2a).
2. Inflamasi dan proliferasi selular
Dalam 8 jam, fraktur mengalami reaksi inflamasi akut dengan migrasi sel inflamatorik dan
inisiasi proliferasi dan diferensiasi dari stem sel mesenkimal dari periosteum menembus kanal
medular dan sekitar otot.
Sejumlah besar mediator inflamasi seperti sitokin dan beberapa faktor pertumbuhan
dilibatkan. Selanjutnya bekuan darah hematom diabsorbsi perlahan dan membentuk kapiler
baru pada area tersebut.
3. Pembentukan kalus
Diferensiasi stem sel menyediakan sejumlah sel kondrogenik dan osteogenik. Pada kondisi
yang tepat mereka akan mulai membentuk tulang dan pada beberapa kasus, juga membentuk
kartilago (gambar 2b). Di sejumlah sel ini terdapat osteoklas yang siap membersihkan tulang
yang mati. Massa seluler yang tebal bersama pulau‒pulau tulang imatur dan kartilago,
membentuk kalus atau rangka pada permukaan periosteum dan endosteum. Saat anyaman
tulang yang imatur termineralisasi menjadi lebih keras (gambar 2c), pergerakan pada lokasi
fraktur menurunkan progresivitas dan fraktur menyatu dalam 4 minggu setelah cidera.
4. Konsolidasi
Tulang anyaman terbentuk menjadi tulang lamelar dengan aktivitas osteoklas dan osteoblas
yang kontinyu. Osteoklas pada proses ini melakukan pelubangan melalui debris pada garis
fraktur, dan menutup kembali jaringan tersebut. Osteoblas mengisi ruang yang tersisa antara
fragmen dan tulang baru. Proses ini berjalan lambat sebelum tulang cukup kuat untuk
menopang beban dengan normal.
5. Remodeling
Fraktur telah dijembatani dengan lapisan tulang yang solid. Pada beberapa bulan atau bahkan
tahun, dilakukan pembentukkan ulang atau reshaped dengan proses yang kontinu dari resorpsi
dan pembentukan tulang (gambar 2d).

(a) Pembentukan (b) Pembentukan kalus (c) Pembentukan kalus (d) Tulang yang
hematom pada mengalami
fraktur fibrokartilago yang keras remodeling

Gambar 2. Proses penyembuhan fraktur (Mescher, 2013)

Penyembuhan dengan penyatuan langsung (direct union)

Proses penyatuan langsung tidak lagi melibatkan proses pembentukan kalus. Jika lokasi fraktur
benar‒benar dilakukan imobilisasi dengan menggunakan plate, tidak dapat memicu kalus. Namun,
pembentukan tulang baru dengan osteoblas timbul secara langsung diantara fragmen. Gap antar
permukaan fraktur diselubungi oleh kapiler baru dan sel osteoprogenitor tumbuh dimulai dari pangkal
dan tulang baru terdapat pada permukaan luar (gap healing). Saat celah atau gap sangat kecil,
osteogenesis memproduksi tulang lamelar, gap yang lebar pertama –tama akan diisi dengan tulang
anyaman yang selanjutnya dilakukan remodeling untuk menjadi tulang lamelar. Setelah 3‒4 minggu,
fraktur sudah cukup kuat untuk melakukan penetrasi dan bridging mungkin kadang ditemukan tanpa
adanya fase pertengahan atau contact healing (Solomon et al., 2010)
Penyembuhan dengan kalus, meskipun tidak langsung (indirect) memiliki keuntungan antara lain dapat
menjamin kekuatan tulang di akhir penyembuhan tulang, dengan peningkatan stres kalus berkembang
lebih kuat sebagai contoh dari hukum Wolff. Dengan penggunaan fiksasi metal, disisi lain, tidak
terdapatnya kalus berarti tulang akan bergantung pada implan metal dalam jangka waktu yang cukup
lama. Karena, implan akan mengurangi stress, yang mungkin dapat menyebabkan osteoporotik dan tidak
sembuh total sampai implan dilepas (Solomon et al., 2010).
C. Meniscus
Cedera Meniskus adalah cedera yang dialami oleh bantalan sendi lutut. Cedera pada meniskus
sering terjadi pada olahraga yang melibatkan gerakan berputar dan squat seperti pada
bolabasket, sepak bola atau bulu tangkis (Setiawan, A. 2011). Cedera meniskus lebih sering
terjadi pada bagian medial dibanding bagian lateral,karena meniskus medial menanggung beban
90% dari masa tubuh. Pada pasien muda, biasanya terjadi gerakan berputar pada saat menumpu
berat badan dengan posisi fleksi knee. Pada lansia, tear umumnya terjadi karena faktor
degenerative dan cenderung mengakibatkan robekan horizontal. Pada atlet, cedera meniscus
paling sering disebabkan oleh trauma atau aktivitas berulang seperti lari yang ,mengakibatkan
stress pada knee joint (Thomas L. & Wickiewiz, 2016). Sobekan kecil tidak menyebabkan gejala
langsung tapi biasanya nyeri dan pembengkakan meningkat dari waktu ke waktu (24 - 48 jam).
Cedera meniscal yang parah dapat menimbulkan rasa nyeri yang berat dan membatasi rentang
gerak. Untuk menyembuhkan atau menghilangkan meniscus yang telah sobek mungkin
diperlukan operasi arthroscopic. Operasi tersebut dilakukan dengan memasukkan sebuah kamera
dan instrumen-instrumen kedalam sendi lutut melalui irisan kecil pada kulit. Dengan instrumen-
instrumen tersebut, meniscus yang rusak dapat dilihat dan diobati (Ningtwish, 2012).

Cedera meniskus dapat terjadi baik trauma maupun non trauma. Cedera meniskus oleh karena
non trauma, biasanya terjadi pada orang usia dewasa pertengahan dan usia tua. Hal ini disebabkan
oleh suatu proses degeneratif seperti osteoarthritis. Sedangkan cedera meniskus oleh karena
trauma, umumnya terjadi pada orang muda dan berhubungan dengan kegiatan olahraga (sepak
bola, basket, ski, dan baseball). Mekanisme injuri dari cedera meniskus karena trauma ini
biasanya berhubungan dengan gerakan lutut yang melakukan gaya twisting, cutting,
hiperekstensi, atau akibat adanya kekuatan yang begitu besar. Biasanya sekitar 80% kasus cedera
meniskus berhubungan dengan cedera ACL (Markis et al, 2014).
Klasifikasi cedera meniskus bergantung pada lokasi, ketebalan, stabilitasnya dan bentuk
robekannya. Berdasarkan lokasinya, robekan meniskus dapat terjadi pada bagian perifer (red –
red zone), bagian transisi (red – white zone) dan bagian dalam (white – white zone). Sedangkan
berdasarkan bentuk robekannya, dapat dibedakan menjadi beberapa tipe, yaitu : longitudinal,
vertikal – longitudinal (bucket handle), flat/oblique, vertikal radial/transverse, dan
horizontal/kompleks (degeneratif). Semua kategori tersebut disertai dengan adanya pemeriksaan
pasien melalui anamnesis yang akurat, pemeriksaan fisik yang baik dan ditunjang dengan
pemeriksaan penunjang yang memadai (MRI) (Markis et al, 2014).
Cedera meniskus sering dikelompokkan sesuai dengan orientasi pergerakan meniscus sendiri
yaitu vertikal longitudinal, vertikal radial, horizontal, miring atau kompleks. Cedera meniskus
vertikal longitudinal terjadi antara serat kolagen sirkumferensial. Oleh karena itu, biomekanik
lutut tidak selalu terganggu dan cedera ini bersifat asimtomatik. Cedera meniskus vertikal komplit
kadang-kadang bisa berputar dalam sendi yang dikenal sebagai cedera meniskus "bucket handle".
Ini adalah cedera meniskus yang tidak stabil yang menyebabkan gejala mekanis atau benar-benar
mengunci lutut. Cedera meniskus radial vertikal berefek menjadikan serat kolagen melingkar dan
mempengaruhi kemampuan meniskus untuk menyerap beban tibiofemoral. Cedera ini biasanya
tidak bisa diperbaiki. Menisektomi parsial tidak mengembalikan fungsi secara normal dan
mempercepat perubahan degeneratif yang mungkin terjadi. Cedera meniskus horisontal membagi
meniskus ke bagian atas dan bawah dan tanpa ada gejala klinis. Frekuensi mereka meningkat
seiring bertambahnya usia dan sering disertai dengan kista meniscal. Robekan oblik
menyebabkan flap yang membuat mekanis pada meniscus tidak stabil. Pola robek ini
membutuhkan reseksi untuk mencegah penyebaran cedera saat flap tersangkut di dalam sendi
selama gerakan fleksi. Cedera meniscus kompleks atau degeneratif adalah dimana terdapat dua
atau lebih pola cedera pada meniskus. Cedera ini lebih banyak terjadi pada orang tua dan dapat
meyebabkan terjadinya osteoartritis pada lutut (Mordecai, 2014).

1) Non Operatif
Phase I – RICE
Terapkan protokol rest, ice, compression, elevation pada penanganan akut untuk
mengurangi nyeri dan swelling. Pemberian es dilakukan selama 20 menit setiap 2 jam
sepanjang 24 - 72 jam pertama pada fase akut.
Phase II – ROM & Flexibility
Keterbatasan ROM dan penurunan fleksibiltas dapat terjadi akibat adanya proses
inflamasi berupa edema dan nyeri pada fase sebelumnya. Memelihara ROM dan
fleksibiltas jaringan disekitar lutut dengan mobilisasi sendi patellofemoral, tibiofemoral,
dan superior tibiofibular. Fleksibitas otot dapat dijaga dengan melakukan pasif dan aktif
stretching.
Phase III – Strengthening
Latihan penguatan diberikan kepada otot otot penunjang lutut terutama quadriceps dan
hamstring. Jenis latihan pada tahap ini dapat berupa quadriceps set, hamstring curl,
straight leg raising, heel raises.
Phase IV – Advance Strengthening and Stretching
Untuk mamaksilkan aktivasi otot otot penopang lutut maka diberikan peningkatan latihan
sesuai dengan respon healing pasien. Jenis latihan yang dapat diberikan berupa weight
bearing resistive exercise seperti sepeda statis, single leg press.

Protokol Rehabilitasi pada Meniscectomy Parsial


Minggu 1 Minggu 2-3 Minggu 4-8
Progress Memulai Full Weight - Strengtening Exc Return to sport
Fungsional Bearing tanpa crutch progresif
Kriteria - Full Ekstensi saat - Tidak timbul nyeri - Full AROM
berjalan - Tidak ada - Tidak ada efusi
- Tidak ada peningkatan - Functional testing
peningkatan efusi/edema >85%
edema / efusi - Kekuatang
- Tidak ada quadriceps >85%
peningkatan nyeri
- Kontrol
quadricceps
- Full aktif ROM
ekstensi lutut
Evaluasi - Nyeri - Nyeri - Functional testing
- Gait - Gait - Isokinetic testing
- Aktivasi - Efusi/edema - Self report
quadricceps - Luka Insisi functional
- Mobilitas patella - Aktivasi measure
- Luka insisi quadriceps
- Efusi/edema - AROM
- Mobilitas patella
- Keseimbangan
berdiri
Intervensi - Manajemen nyeri - Penurunan - Strenghtening
- Kontrol Edema/efusi Exercise
efusi/edema - Strengthening - Endurance
- Aktivasi exercise Exercise
quadriceps - Endurance - Latihan spesifik
- ROM Exercise Exercise
- Flexibility - Proprioception
Exercise Exercise
- Flexibility
Exercise
Target - Maximum ROM - Full Weight Return to sport
- Normal mobilitas Bearing
patella - Full ROM
- Straight leg raise - Strenghtening
tanpa hambatan Exercise tanpa
- Full pasif nyeri
ekstensi

Protokol Rehabilitasi pada Meniscus Repair


Minggu 1-3 Minggu 4-11 Minggu 12-15 Minggu 16-24
Progres Memulai parsial Memulai full weight Memulai tahapan Mulai latihan
Fungsio ataupun full weight bearing tanpa brace jogging aktivitas cutting dan
nal bearing posisi lutut jumping
full extensi dengan
brace
Kriteria - Tidak ada - Straight leg - Tidak ada - Tidak ada
peningkatan raise tanpa efusi peningkatan
efusi hambatan - Tidak ada efusi saat
- Nyeri post ekstensor nyeri lari
operasi dapat - Penurunan patellofemor - Tidak ada
ditoleransi efusi al nyeri
- Full ekstensi - Tidak ada - Isokinetik
saat gait gangguan testing
gait >85%
- Functional
testing
>85%
Evaluasi - Nyeri - Nyeri - Gait - Gait
- Efusi - Efusi - Isokinetik - Isokinetik
- Mobilitas - Mobilitas testing testing
patella patella - Functional - Functional
- Aktivasi - Aktivasi testing testing
patella quadriceps - Efusi - Efusi
- AROM/PRO - AROM/PRO - Self report Self report
M M functional functional status
- Pasif - Keseimbanga status
Ekstensi n berdiri
- Luka insisi
Interven - Kontrol nyeri - AROM/PRO - Strenghtenin - Strenghtenin
si - Kontrol M Exercise g exercise g Exercise
edema/efusi - Aktivasi dan - Endurance - Endurance
- Mobilitas Strenghtening Exercise Exercise
patella Quadriceps - Proprioceptio - Sport
- AROM - General n Exercise spesifik
Exercise Strenghtening drills
- Aktivasi - Advance
quadriceps Closed Chain
dengan Exercise
electrical (Flexi knee
0
stimulan <60 )
- Pasif extensi - Endurance
- Full Weight exercise
bearing - Proprioceptio
dengan brace n Exercise
full locking
knee 00
Target - AROM 00- - Full AROM - Tidak ada Return to sport
900 - Tidak ada efusi
- Full pasif gangguan - Tidak ada
ekstensi gait nyeri
- Full Weight
bearing
menggunakan
brace
- Straight leg
raise tanpa
hambatan
ekstensor
Sumber : Andrews, J.R., et al (2012)
2) Operatif
Penanganan cedera meniskus dengan tindakan operasi direkomendasikan untuk pasien yang memiliki
keluhan nyeri secara menetap, usia muda dengan aktivitas yang aktif (atlet), ada keluhan locking knee,
dan pada pemeriksaan fisik didapatkan adanya tanda – tanda dari robekan meniskus. Tindakan operatif
tersebut, meliputi :
a. Menisektomi total : Prosedur ini dilakukan dengan membuang semua meniskus dan diindikasikan
pada kasus – kasus meniskus yang mengalami proses degeneratif. Hal tersebut tentu saja akan
menyebabkan terjadinya peningkatan kerusakan tulang rawan, penyempitan celah sendi,
perubahan geometri tulang, dan pembentukan osteofit.
b. Menisektomi parsial (sebagian) : Prosedur ini dilakukan dengan membuang sebagian meniskus
yang cedera, khususnya yang mengalami puntiran atau bagian yang tidak stabil (flaps, complex
tear, degenerative dan central/radial tear) dengan menyisakan kontur atau bentuk dari sebagian
meniscus sehat yang tersisa.
c. Repair (penjahitan) meniskus : Prosedur ini dilakukan dengan mempertahankan meniscus dan
dilakukan perbaikan seperti penjahitan (dengan menggunakan benang polydioxanone dan
nonabsorbable) terhadap meniscus yang mengalami robekan.
d. Transplantasi meniskus : Prosedur ini merupakan perkembangan termuktahir dalam penanganan
cedera meniskus. Dengan cara ini mampu mencegah terjadinya perubahan proses degeneratif
pada pasien – pasien paska dilakukan tindakan menisektomi total atau parsial. Indikasi prosedur
ini adalah usia pasien kurang dari 45 tahun, rasa nyeri maupun tidak nyaman yang
berkepanjangan, osteoartritis stadium kurang dari 4 tanpa disertai dengan cedera ACL dan tidak
adanya malalignment yang signifikan. Sedangkan kontraindikasinya adalah umur pasien lebih
dari 60 tahun dengan adanya perubahan arsitektur tulang, beresiko infeksi, malalignment yang
signifikan, dan instability.

Anda mungkin juga menyukai