Anda di halaman 1dari 30

TUGAS MANAJEMEN ISSUE PROFESI

MYOFASCIAL PAIN SYNDROME

Oleh:
Ni Luh Putu Munia Anggreni
Nim. 16121001016

Diberikan kepada:
Antonius Tri Wahyudi, S.Pd., M.Erg
NIP. 01235513
NIDN. 0806045501

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI


FAKULTAS ILMU KESEHATAN SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS DHYANA PURA
TAHUN 2019
KATA PENGANTAR

Myofascial pain syndrome merupakan salah satu gangguan


muskuloskeletal yang ditandai dengan adanya trigger point di area yang sensitif di
dalam taut band otot skeletal, jika diberikan tekanan pada area tersebut akan
menimbulkan nyeri yang spesifik pada suatu titik yang ditekan (tenderness).
Myofascial pain syndrome dapat menyebabkan nyeri lokal, tenderness, tightness,
stiffness, nyeri rujukan dan kelemahan otot yang biasanya terjadi pada otot upper
trapezius yang diakibatkan oleh postur tubuh, ergonomi kerja yang buruk, trauma
dan umur.
Karena adanya permasalahan diatas penulis membuat sebuah makalah
yang berjudul “Manajemen Issue Profesi Myofascial Pain Syndrome”. Dengan
adanya makalah ini diharapkan para pembaca dapat menambah pengetahuannya
tentang salah satu kasus musculoskeletal dan mengetahui bagaimana penanganan
yang sesuai pada kasus myofascial pain syndrome.
Penulis menyadari bahwa laporan ini belum sempurna. Oleh karena itu,
saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat dibutuhkan demi
penyempurnaan makalah ini.

Badung, Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i


DAFTAR ISI .............................................................................................................ii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................1
1.1 Latar Belakang .....................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................2
1.3 Tujuan Penulisan ..................................................................................................3
1.4 Manfaat Penulisan ................................................................................................3
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...................................................................................4
2.1 Definisi Myofascial Pain Syndrome ....................................................................4
2.2 Struktur Anatomi..................................................................................................5
2.2.1 Anatomi Jaringan Myofascia .....................................................................5
2.2.2 Anatomi Otot Upper Trapezius ..................................................................6
2.3 Etiologi Myofascial Pain Syndrome ....................................................................8
2.4 Manifestasi Klinis Myofascial Pain Syndrome ....................................................10
2.5 Patofisiologi Myofascial Pain Syndrome .............................................................10
2.5.1 Patologi Fungsional Myofascial Pain Syndrome .......................................11
2.5.2 Mekanisme Nyeri Pada Myofascial Pain Syndrome ..................................14
2.6 Algoritma Myofascial Pain Syndrome .................................................................15
2.7 Pemeriksaan Dan Penanganan Pada Myofascial Pain Syndrome ........................17
2.7.1 Pemeriksaan Pada Myofascial Pain Syndrome ..........................................17
2.7.2 Penanganan Pada Myofascial Pain Syndrome ...........................................18
2.8 Edukasi Pada Myofascial Pain Syndrome ............................................................23
BAB III ......................................................................................................................24
3.1 Kesimpulan ..........................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Trigger Poins Complex ..........................................................................5


Gambar 2.2 Struktur Myofascia .................................................................................6
Gambar 2.3 Otot Trapezius ........................................................................................8
Gambar 2.4 VAS (Visual Anlaogue Scale) ................................................................17
Gambar 2.5 Goniometer .............................................................................................18
Gambar 2.6 Infrared...................................................................................................19
Gambar 2.7 Ultrasound ..............................................................................................20
Gambar 2.8 Penetrasi Gelombang Ultrasound ...........................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Manusia dalam melakukan aktivitas kesehariannya memerlukan kenyamanan,
khususnya saat melakukan pekerjaan. Aktifitas yang dilakukan secara terus
menerus akan menimbulkan masalah baru dan keluhan-keluhan pada tubuh kita,
salah satunya pada sekitar leher dan bahu. Keluhan yang sering ditimbulkan,
antara lain: nyeri otot, pegal di sekitar leher dan bahu, kaku, kesemutan pada
lengan, sehingga gerak dan fungsinya menjadi terbatas. Keluhan itu juga dapat
menyebar ke punggung atas, punggung bawah dan ekstremitas.
Dalam penelitian Skootsky mengatakan bahwa nyeri otot pada tubuh bagian
atas lebih sering terkena dibanding tubuh lain. Titik nyeri 84% terjadi pada otot
upper trapezius, levator scapula, infra spinatus dan scalenus. Otot upper
trapezius merupakan otot yang sering terkena (Lofriman, 2008 dalam
Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 18). Salah satu kondisi yang sering
menimbulkan rasa nyeri pada otot upper trapezius adalah myofascial pain
syndrome.
Myofascial pain syndrome adalah gangguan nyeri muskuloskeletal yang
terjadi akibat adanya myofascial trigger point. Gangguan ini dapat menyebabkan
nyeri lokal atau reffered pain, tightness, stiffness, spasme, keterbatasan gerak dan
respon cepat lokal dari otot tersebut (Hurtling, et al., 2005 dalam Makmuriyah dan
Sugijanto, 2013 : 18). Nyeri pada myofascial pain syndrome biasanya dapat
menjalar pada regio tertentu dan bersifat lokal. Nyeri pada otot upper trapezius
atau pada daerah leher sampai pundak ini timbul karena kerja otot yang
berlebihan, aktifitas sehari-hari yang terus-menerus dan sering menggunakan kerja
otot upper trapezius, sehingga otot menjadi tegang, spasme, tightness dan
stiffness. Otot yang tegang terus-menerus akan membuat mikrosirkulasi menurun,
terjadi iskemik dalam jaringan. Pada serabut otot menjadi ikatan tali yang
abnormal membentuk taut band dan mencetuskan adanya nyeri, karena
merangsang hipersensitivitas.

1
Myofascial pain syndrome sering terjadi pada masyarakat umum dan angka
kejadiannya dapat mencapai 54% pada wanita dan 45% pada pria, meskipun
prevalensi dari pasien dengan trigger point tidak melebihi 25%. Myofascial pain
syndrome biasanya ditemukan pada pekerja kantoran, musisi, dokter gigi, dan
jenis profesi lainnya yang aktifitas pekerjaannya banyak menggunakan low level
muscle. Persentasi usia yang paling umum terjadi adalah sekitar 27,5- 50 tahun,
dengan preferensi pada individu menetap (Delgado, et al., 2009 dalam
Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 18-19).
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosa, rencana
intervensi dan tindakan intervensi, yaitu pemeriksaan visual analogue scale
(VAS) untuk mengukur skala nyeri yang dirasakan dan pemeriksaan lingkup
gerak sendi menggunakan goniometer untuk mengetahui adanya keterbatasan
gerak pada sendi bahu. Intervensi yang dapat dilakukan pada myofascial pain
syndrome, yaitu pemberian infrared, ultrasound, myofascial release technique,
strain counterstrain dan contract relax stretching dengan pemberian edukasi
berupa menghindari beban berat pada bahu, kompres hangat pada bagian bahu
apabila terasa sakit, sikap tubuh saat bekerja harus ergonomis dan jangan diam
atau posisi statis terlalu lama, dan pasien di anjurkan untuk melakukan latihan
penguluran otot leher (stretching) secara aktif di rumah.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apakah definisi dari myofascial pain syndrome?
1.2.2 Bagaimanakah struktur anatomi dari jaringan myofascia dan otot upper
trapezius?
1.2.3 Apa saja etiologi dari myofascial pain syndrome?
1.2.4 Apa saja manifestasi klinis dari myofascial pain syndrome?
1.2.5 Bagaimana patofisiologi dari myofascial pain syndrome?
1.2.6 Bagaimana algoritma dari myofascial pain syndrome?
1.2.7 Apa saja pemeriksaan dan penanganan pada myofascial pain
syndrome?
1.2.8 Apa saja edukasi yang dapat diberikan pada myofascial pain syndrome?

2
1.3 Tujan Penulisan
1.3.1 Untuk mengetahui definisi dari myofascial pain syndrome.
1.3.2 Untuk mengetahui struktur anatomi jaringan myofascia dan otot upper
trapezius.
1.3.3 Untuk mengetahui etiologi dari myofascial pain syndrome.
1.3.4 Untuk mengetahui manifestasi klinis dari myofascial pain syndrome.
1.3.5 Untuk mengetahui patofisiologi dari myofascial pain syndrome.
1.3.6 Untuk mengetahui algoritma dari myofascial pain syndrome.
1.3.7 Untuk mengetahui pemeriksaan dan penanganan pada myofascial pain
syndrome.
1.3.8 Untuk mengetahui edukasi yang dapat diberikan pada myofascial pain
syndrome.

1.4 Manfaat Penulisan


1.4.1 Bagi mahasiswa
1. Untuk menambah sumber referensi sebagai sumber belajar tentang
myofascial pain syndrome.
1.4.2 Bagi masyarakat
1. Untuk menambah wawasan masyarakat tentang myofascial pain
syndrome.

3
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Myofascial pain syndrome


Sindrom nyeri myofascial adalah sebuah kondisi nyeri otot ataupun fascia,
akut maupun kronik, menyangkut fungsi sensorik, motorik, ataupun otonom,
yang berhubungan dengan myofascial trigger points (MTr Ps). Myofascial trigger
points adalah suatu titik/ tempat hiperiritabel berlokasi di struktur otot atau fascia
yang menegang, jika ditekan dapat menyebabkan nyeri lokal atau menjalar.
MTrPs sering ditemukan di sekitar daerah leher dan punggung (Atmadja, 2016 :
176).
Myofascial pain syndrome merupakan salah satu gangguan muskuloskeletal
yang ditandai dengan adanya trigger point di area yang sensitif di dalam taut
band otot skeletal, jika diberikan tekanan pada area tersebut akan menimbulkan
nyeri yang spesifik pada suatu titik yang ditekan (tenderness). Myofascial pain
syndrome dapat menyebabkan nyeri lokal, tenderness, tightness, stiffness, nyeri
rujukan dan kelemahan otot yang biasanya terjadi pada otot upper trapezius
(Prianthara dkk, 2015 : 2).
Myofascial syndrome adalah gangguan nyeri muskuloskeletal yang terjadi
akibat adanya myofascial trigger point. Gangguan ini dapat menyebabkan nyeri
lokal atau reffered pain, tightness, stiffness, spasme, keterbatasan gerak, respon
cepat lokal dari otot tersebut. Nyeri pada myofascial syndrome biasanya dapat
menjalar pada regio tertentu dan bersifat lokal (Hurtling, et al., 2005 dalam
Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 18).

4
Gambar 2.1 Trigger points complex
(Sumber : Werenski, 2011)

Kondisi muskuloskeletal yang mirip dengan myofascial syndrome, yaitu


Fibromyalgia Syndrome (FMS). Kebanyakan para ahli membedakan antara
myofascial syndrome yang mengandung trigger point, dengan fibromyalgia
syndrome yang mengandung tender point. Perbedaan yang nyata antara trigger
point dengan tender point adalah nyeri yang diakibatkan oleh tender point
bersifat lokal atau menyebar pada daerah lokal titik nyeri. Nyeri trigger point
bersifat lokal dan dan dapat menyebar ke daerah yang jauh dari titik nyeri.
Tender point timbul dalam daerah sekitar insersi otot skeletal dan trigger point
tumbuh dalam taut band muscle belly otot (Alvarez, et al., 2002 dalam
Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 18).

2.2 Struktur Anatomi


2.2.1 Anatomi Jaringan Myofascia
Fascia adalah selembar jaringan ikat yang menjadi sampul atau
bungkus dari otot dan fasikula, terdiri dari kolagen, elastin, dan substansi
dasar. Substansi dasar adalah sebuah gel seperti gel yang jika dikombinasikan
elastin dan kolagen akan membentuk jaringan tubular. Fascia menjalin,
mendukung, dan melindungi setiap sel di tubuh (Werenski, 2011). Substansi
dasar yang disebut juga mukopolisakarida ini mempunyai fungsi sebagai
pelumas yang memungkinkan serabut untuk mudah bergeser satu sama lain

5
dan sebagai perekat yang menahan serabut dari jaringan supaya tetap dalam
satu ikatan. Jaringan ikat kolagen terdiri atas sebagian besar kolagen yang
memungkinkan adanya daya rentang (tensile strength) sedangkan jaringan
ikat elastin terdiri atas sebagian besar elastin yang memungkinkan adanya
elastisitas. Berdasarkan tempat dimana fascia ditemukan dalam otot, maka
fascia dibedakan menjadi :
1. Epymisium : merupakan jaringan fascia terluar yang mengikat seluruh
fasikel.
2. Perymisium : merupakan jaringan fascia yang membungkus sekelompok
serabut otot ke dalam individual fasikuli.
3. Endomysium : merupakan jaringan fascia terdalam yang membungkus
individual otot.

Gambar 2.2 Struktur Myofascia


(Sumber : Werenski, 2011)

2.2.2 Anatomi Otot Upper Trapezius


Otot trapezius adalah otot terbesar dan paling superfisial pada daerah
punggung atas. Otot trapezius terdapat di bagian leher, tepatnya di
posterolateral occiput, memanjang ke arah lateral melewati scapula, dan
overlapping pada bagian superior dari otot latissimus dorsi pada tulang
belakang. Otot ini dipersarafi oleh akar saraf C5-T1. Menurut arah
serabutnya, otot trapezius dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : upper fiber,
middle fiber, dan lower fiber (Cael, 2010).

6
Otot upper trapezius, memiliki origo pada protuberentia occipital
eksternal dan bagian medial dari ligamentum nuchae. Sedangkan insertionya
terletak pada batas posterior dari 1/3 bagian luar dari clavicula. Fungsi dari
otot upper trapezius adalah untuk elevasi scapula dan menggerakkan leher
(ekstensi, lateral fleksi, kontralateral rotasi) (Cael, 2010).
Adapun fungsi dari otot upper trapezius adalah dalam gerakan elevasi
scapula, dan rotasi keatas dari scapula. Pada saat otot ini melakukan
kontraksi konsentrik bersama dengan otot levator scapula akan menghasilkan
gerak elevasi tulang scapula. Apabila otot upper trapezius berkontraksi
secara unilateral maka akan menghasilkan gerakan lateral fleksi dari kepala,
sedangkan bila dilakukan bilateral maka akan menghasilkan gerakan ekstensi
kepala (Vizniak, 2010).
Disamping itu, otot upper trapezius juga memiliki peran sebagai
fiksator scapula ketika otot deltoid beraktivitas sehingga depresi scapula saat
lengan sedang mengangkat sesuatu dapat dicegah. Otot ini juga bekerja untuk
melakukan fiksasi pada scapula saat lengan bergerak dan bekerja sebagai
fiksator leher serta mempertahankan postur kepala yang cenderung jatuh ke
depan yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi maupun berat kepala itu sendiri.
Ketika semua serabut otot trapezius bekerja bersama, scapula akan
terfiksasi pada sangkar thoraks, memberikan bantuan yang kuat selama
aktivitas weight-bearing dan mendorong. Ketika ekstremitas atas tidak
terfiksasi, serabut pada trapezius akan bekerja dengan otot yang lain sesuai
fungsinya. Meskipun serabut otot trapezius memiliki kemampuan untuk
bekerja bersama sebagai satu kesatuan, serabut bawah (lower fiber) sering
mengalami kelemahan dan jarang digunakan. Sedangkan serabut atas (upper
fiber) sering mengalami ketegangan akibat sering digunakan saat bekerja
(Cael, 2010).

7
Gambar 2.3 Otot Trapezius
(Lippert, 2011)

2.3 Etiologi Myofascial pain syndrome


Etiologi myofascial pain syndrome otot upper trapezius diantaranya adalah
(Sugijanto, 2008) :
1. Postur tubuh
Postur tubuh yang buruk dalam aktivitas sehari-hari dapat menyebabkan
terjadinya myofascial pain syndrome. Aktivitas manusia saat ini yang
cenderung statis dengan postur yang buruk, seperti: forward head posture dan
lateral head posture dapat menyebabkan beban yang berlebihan pada otot
upper trapezius. Hal ini jika berlangsung lama akan menimbulkan
terbentuknya trigger point pada otot.

2. Ergonomi kerja yang buruk


Ergonomi kerja yang buruk saat bekerja, seperti: bekerja dalam posisi
statis dalam waktu yang lama dan mengangkat beban yang melebihi
kemampuan otot, dapat menyebabkan kompresi pada otot. Hal ini jika
dilakukan secara terus-menerus akan memicu terjadinya myofascial pain
syndrome.

8
3. Trauma
Trauma dapat dibagi menjadi dua, yaitu trauma makro dan trauma mikro.
Trauma makro adalah suatu cidera pada otot atau fasia. Ketika jaringan
miofasial mengalami cidera maka akan terjadi proses inflamasi, diikuti
adanya produksi serabut kolagen. Kolagen memutuskan ikatan produksi
serabut kolagen kemudian kolagen memutuskan ikatan bersama dan
cenderung membuat ikatan yang tidak beraturan. Adanya ketegangan serabut
kolagen akan menurunkan mobilitas dari jaringan miofasial sehingga mudah
terjadi pemendekan serabut kolagen. Karena serabut kolagen memendek
maka tekanan di dalam jaringan miofasial akan meningkat. Peningkatan
tekanan di dalam jaringan miofasial ini akan menekan arteri, vena, dan
pembuluh darah limfe yang akan menyebabkan iskemia dan timbul
myofascial trigger point, sehingga jaringan akan mudah mengalami
kontraktur.
Sedangkan trauma mikro adalah suatu cidera yang berulang (repetitive
injury) akibat dari suatu kerja yang terus menerus dengan beban yang
berlebih. Ketika adanya beban tegangan yang berlebihan yang diterima
jaringan miofasial secara intermitten dan kronis, maka akan menstimulasi
fibroblast dalam fasia untuk menghasilkan lebih banyak kolagen. Kemudian
kolagen akan terkumpul banyak di dalam jaringan tersebut sehingga timbul
jaringan fibrous. Ketika jaringan fibrous ini dipalpasi akan dirasakan keras.
Ikatan fibrous berjalan secara longitudinal sepanjang otot upper trapezius.
Hal ini akan mencetuskan timbulnya myofascial trigger point yang
mempunyai ketegangan tinggi dan lama kelamaan dapat menimbulkan
kontraktur.

4. Umur
Faktor usia juga turut mempengaruhi myofascial pain syndrome. Kasus ini
lebih sering terjadi pada usia pertengahan (usia dewasa). Hal ini kemungkinan
disebabkan karena kemampuan otot untuk menahan beban dan mengatasi
trauma akibat beban tersebut mulai menurun. Selain itu, semakin tua usia
seseorang akan menyebabkan degenerasi pada ototnya. Hal ini ditandai

9
dengan penurunan jumlah serabut otot, atrofi serabut otot, dan berkurangnya
masa otot. Dampaknya yaitu pada penurunan kekuatan dan fleksibilitas otot.

2.4 Manifestasi Klinis Myofascial pain syndrome


Myofascial pain syndrome otot upper trapezius ditandai dengan adanya
myofascial trigger point yang mempunyai titik sangat peka pada otot atau fasia
yang menyebabkan nyeri dan tenderness saat istirahat atau gerakan mengulur
yang membebani otot upper trapezius. Manifestasi klinis myofascial pain
syndrome otot upper trapezius antara lain (Sugijanto, 2008) :
1. Nyeri yang terlokalisir pada otot upper trapezius
2. Reffered pain umumnya dengan pola yang dapat diprediksi
3. Terdapat taut band pada otot dan fasia serta jaringan ikat longgar (connective
tissue)
4. Tightness pada otot yang terkena sehingga menyebabkan keterbatasan
lingkup gerak sendi
5. Adanya titik tenderness pada atau tempat sepanjang taut band yang disebut
trigger point
6. Spasme otot akibat sekunder dari rasa nyeri yang timbul juga akibat
penumpukan zat-zat iritan atau sisa metabolism
7. Perubahan otonomik seperti vasokontriksi pembuluh darah yang
mengakibatkan daerah miofasial hiposirkulasi dan nutrisi.

2.5 Patofisiologi Myofascial pain syndrome


Otot upper trapezius adalah otot tipe I atau tonik juga merupakan otot
postural yang berfungsi melakukan gerakan elevasi. Kelainan tipe otot ini
cenderung tegang dan memendek. Itu sebabnya jika otot upper trapezius
berkontraksi dalam jangka waktu lama jaringan ototnya menjadi tegang dan
akhirnya timbul nyeri. Kerja otot upper trapezius akan bertambah berat dengan
adanya postur yang jelek, mikro dan makro trauma. Akibatnya yang terjadi
adalah fase kompresi dan ketegangan lebih lama dari pada rileksasi, terjadinya
suatu keadaan melebihi batas (critical load) dan juga otot tadi mengalami
kelelahan otot yang cepat (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 19).

10
Trauma pada jaringan, baik akut maupun kronik akan menimbulkan kejadian
yang berurutan yaitu hiperalgesia dan spasme otot skelet, vasokontriksi kapiler.
Akibatnya pada jaringan myofascial terjadi penumpukan zat-zat nutrisi dan
oksigen ke jaringan serta tidak dapat dipertahankannya jarak antar serabut
jaringan ikat, sehingga akan menimbulkan iskemik pada jaringan myofascial
(Makmuriyah dan Sugijanto, 2013).
Keadaan iskemik ini menyebabkan terjadinya sirkulasi menurun, sehingga
kekurangan nutrisi dan oksigen serta penumpukan sisa metabolisme
menghasilkan proses radang. Proses radang dapat juga menimbulkan respon
neuromuskular berupa ketegangan otot di sekitar area yang mengalami kerusakan
otot tersebut, sehingga timbul viscous circle. Suatu peradangan kronis
merangsang substansi P menghasilkan zat algogen berupa prostaglandin,
bradikinin dan serotonin yang dapat menimbulkan sensori nyeri (Makmuriyah
dan Sugijanto, 2013 : 19).

2.5.1 Patologi Fungsional Myofascial Pain Syndrome


Ketika terjadi beban yang berlebihan pada fascia, maka dapat
mencetuskan timbulnya nyeri yang sangat sulit untuk diturunkan. Adanya
beban tegangan yang berlebihan yang diterima jaringan myofascial secara
intermitten dan kronis akan menstimulasi fibroblast dalam fascia untuk
menghasilkan lebih banyak kolagen. Oleh karena itu, kolagen akan banyak
terkumpul dalam jaringan tersebut, sehingga akan timbul jaringan fibrous.
Ketika dilakukan palpasi pada jaringan, fibrous tersebut akan dirasakan keras.
Ikatan fibrous berjalan secara longitudinal sepanjang otot tipe I, hal ini akan
mencetuskan timbulnya myofascial trigger point yang mempunyai
ketegangan tinggi dan semakin lama dapat menimbulkan kontraktur. Elongasi
dari jaringan myofascial yang terkena akan dapat membantu mengaktivasi
trigger point yang timbul (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 19).
Ketika jaringan myofascial berada dalam kondisi immobilisasi untuk
beberapa waktu sekurang-kurangnya empat minggu, ikatan melintang dapat
terbentuk diantara molekul-molekul tipe I kolagen. Tipe I kolagen adalah
unsur kolagen normal dari jaringan ikat. Ikatan melintang (cross binding) ini

11
akan menurunkan fleksibilitas fascia dan juga membatasi gliding antara
lembaran fascia. Dalam kondisi immobilisasi, kandungan air akan berkurang
dan bagian terbesar dari substansi dasar akan menurun. Akibatnya, serabut
kolagen akan saling berdempetan. Ketika jarak dari satu molekul kolagen ke
molekul kolagen yang lain menurun hingga ambang kritis, yang terjadi adalah
molekul mulai membentuk ikatan menyilang (cross binding). Jaringan ikat
juga menjadi kurang elastis karena serabut kolagen dan lapisan fascia
kehilangan pelumas. Hal ini akan menyebabkan molekul dari lembaran fascia
terikat bersama-sama yang membentuk taut band (Makmuriyah dan
Sugijanto, 2013 : 19).
Ketika jaringan myofascial mengalami cedera, maka akan terjadi proses
inflamasi, diikuti adanya produksi serabut kolagen. Kolagen memutuskan
ikatan bersama dan cenderung membuat ikatan yang tidak beraturan. Adanya
ketegangan serabut kolagen akan menurunkan mobilitas dari jaringan
myofascial, sehingga mudah terjadi pemendekan serabut kolagen. Karena
serabut kolagen memendek, tekanan dalam jaringan myofascial akan
meningkat. Peningkatan tekanan dalam jaringan myofascial ini akan menekan
arteri, vena, dan pembuluh darah limfe yang akan menyebabkan iskemia dan
timbul myofascial trigger point, sehingga jaringan akan mudah mengalami
kontraktur (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 19).
Ergonomi kerja yang buruk yang berlangsung berulang-ulang dan
dalam waktu yang lama juga akan menimbulkan stress mekanik yang
berkepanjangan. Postur yang buruk akan menyebabkan stress dan strain pada
otot upper trapezius, misalnya: forward head posture, kifosis dan skoliosis.
Pada forward head posture, posisi kepala terus-menerus jatuh ke depan yang
mengakibatkan otot-otot yang fungsinya sebagai stabilisasi kepala terulur
secara terus menerus, sehingga akan menyebabkan kelemahan pada otot
tersebut. Saat postur kifosis dapat dilihat dengan penambahan kurva torakal,
protaksi scapula dan biasanya disertai dengan anteroposisi kepala, yaitu
terdapat ketidakseimbangan otot karena terjadi ketegangan otot-otot cervical
yang terhubung dengan scapula. Di samping itu terjadi penguluran serta
kelemahan otot-otot erector spine thorakal dan retraktor scapula, sehingga

12
dapat menyebabkan nyeri myofascial syndrome. Skoliosis merupakan suatu
kondisi dimana terjadi deviasi kurva torakal atau lumbal spine ke arah lateral.
Fiksasi pada skoliosis struktural tidak akan hilang dengan hanya mengganti
postur secara bergantian. Korpus vertebra akan rotasi ke arah cembung dan
processus spinosus ke arah cekung terhadap kurva. Apabila kurva ini
berlangsung lama, maka akan mengakibatkan gerakan terfiksasi, sehingga
dalam jangka waktu yang lama akan menimbulkan muscle imbalance, dimana
otot pada satu sisi mengalami pemendekan yang akan menghasilkan muscle
tightness yang berpotensi menimbulkan nyeri myofascial syndrome,
sedangkan di sisi lain mengalami penguluran yang berlebihan, sehingga
menimbulkan kelemahan otot (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 19-20).
Pada usia lanjut perubahan yang jelas pada sistem otot adalah
berkurangnya massa otot, terutama mengenai serabut otot tipe II. Penurunan
massa otot ini lebih disebabkan karena atrofi. Perubahan-perubahan yang
timbul pada sistem otot lebih disebabkan oleh disuse. Efek dari penuaan dan
disuse terhadap tubuh adalah pada sistem otot, yaitu otot dalam posisi yang
statis sehingga otot tidak ada penguluran. Jika hal ini berlangsung lama, maka
akan mengakibatkan tightness dan timbulah myofascial. Perubahan ini akan
menyebabkan laju metabolik basal dan laju konsumsi oksigen maksimal
berkurang 4,5%. Otot menjadi lebih mudah lelah dan kecepatan kontraksi
akan melambat (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 20).
Selain dijumpai penurunan massa otot, juga dijumpai berkurangnya
rasio otot dengan jaringan lemak. Rasa nyeri yang berlangsung lama akan
mengiritasi saraf yang menurunkan ambang rangsang Aδ dan C menyebabkan
terjadinya hiperalgesia dan allodynia, sehingga menimbulkan refleks
hiperaktifitas simpatis, yang kemudian terjadi vasokonstriksi kapiler dan
gangguan sirkulasi. Pada serabut saraf terjadi peningkatan mekanisme refleks
segmental dan supra segmental, seperti: adanya spasme otot, hiperaktifitas
vasomotor dan glandular, penurunan ambang rangsang nyeri dan peningkatan
kecepatan konduksi saraf serta terjebaknya reseptor saraf tipe Aδ dan C
akibat tekanan jaringan fibrous, sehingga menimbulkan tenderness lokal dan

13
dapat ke seluruh jaringan bila titik picu diberi rangsangan atau trigger point
(Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 20).

2.5.2 Mekanisme Nyeri Pada Myofascial Pain Syndrome


Otot upper trapezius merupakan jenis tipe otot tonik yang bekerja
secara konstan bersama-sama otot-otot aksioskapular lain yang memfiksasi
dan menstabilisasi leher, termasuk mempertahankan postur kepala yang
cenderung jatuh ke depan karena kekuatan gravitasi dan berat kepala itu
sendiri. Kerja otot ini akan meningkat pada kondisi tertentu seperti adanya
postur yang jelek, mekanika tubuh yang buruk, ergonomi kerja yang buruk,
trauma atau strain kronis. Dengan adanya kerja konstan dari otot tonik ini
ditambah dengan adanya faktor-faktor yang memperberat kerja otot tersebut,
maka keseimbangan antara kompresi atau ketegangan dengan rileksasi pada
jaringan myofascial tidak dapat dipertahankan lagi oleh ground substance.
Akibatnya jaringan myofascial dari otot upper trapezius ini mengalami
ketegangan atau kontraksi terus menerus, sehingga akan menimbulkan stress
mekanis pada jaringan myofascial dalam waktu yang lama dan akan
menstimulasi nosiseptor yang ada di dalam otot dan tendon. Semakin sering
dan kuat nosiseptor tersebut distimulasi, maka akan semakin kuat refleks
ketegangan otot. Hal ini akan meningkatkan nyeri, sehingga menimbulkan
keadaan viscous cycle (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 20).
Viscous cycle akan mengakibatkan iskemik lokal akibat dari kontraksi
otot yang kuat dan terus-menerus atau mikrosirkulasi, sehingga jaringan ini
akan mengalami kekurangan nutrisi dan oksigen serta menumpuknya zat-zat
sisa metabolisme. Kemudian akan menstimulus ujung-ujung saraf tepi
nosiseptif tipe C untuk melepaskan suatu neuro peptida, yaitu substansi P.
Dengan demikian, pelepasan tersebut akan membebaskan prostagladin dan
diikuti juga dengan pembebasan bradikinin, potassium ion dan serotonin
yang merupakan noxius atau chemical stimuli, sehingga dapat menimbulkan
nyeri. Bersamaan dengan hal itu juga timbul sensibilitas neuron-neuron pada
cornu posterior (PHC) karena dilepaskannya substansi P, akan meningkatkan
mikro sirkulasi lokal dan ekstravasasi plasma serta memacu aktifitas sel dan

14
histamin, sehingga terjadi proses peradangan yang lebih dikenal dengan
neurogenic inflammation (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 21).
Peradangan diaktifkan dengan tujuan untuk menyembuhkan jaringan
yang mengalami kerusakan. Dalam proses perbaikan jaringan myofascial
yang mengalami kerusakan dengan cara menstimulasi fibroblast dalam
jaringan myofascial untuk menghasilkan banyak kolagen. Kolagen yang
terbentuk mempunyai susunan yang tidak beraturan atau cross link, sehingga
terbentuk jaringan fibrous yang kurang elastis yang disebut dengan taut band.
Nyeri akan mempengaruhi terhadap aktifitas sistem saraf simpatis karena
adanya pelepasan substansi P yang akan mengakibatkan vasokontriksi pada
pembuluh darah, kemudian nyeri akan bersifat menyebar (referred pain)
apabila aktivasi fungsi simpatis tidak terkontrol atau disebut dengan
neurovegetative disbalance. Jika pengaruh nosiseptor berlangsung lama
sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan, maka akan
mengakibatkan perubahan patologis dari saraf dan kulit, diantaranya adalah
menurunnya ambang rasa nyeri, sehingga akan terjadi allodynia, yaitu nyeri
yang ditimbulkan oleh stimulus non noxius terhadap kulit normal
(Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 21).
Adanya allodynia akan menimbulkan nyeri sentuhan pada daerah lesi.
Dengan adanya nyeri, pasien cenderung membatasi gerakan yang dapat
menambah nyeri termasuk gerakan mengulur dari otot upper trapezius,
sehingga pasien harus mempertahankan posisi tertentu. Dengan kata lain
jaringan yang mengalami lesi cenderung immobilisasi. Akibat immobilisasi
terhadap jaringan ini adalah substansi intraseluler yang berisi air menurun dan
jaringan ikat tampak seperti kayu. Hilangnya air dan glikosaminoglikan
mengakibatkan adanya jarak antar serabut kolagen dalam jaringan ikat yang
menjadi rendah yang akan menghilangkan gerakan bebas antar serabut.
Hilangnya gerakan bebas ini mengakibatkan jaringan kurang elastis dan
kurang lentur. Selanjutnya dengan tidak adanya tekanan normal selama masa
immobilisasi serabut kolagen akan membentuk seperti pita dengan pola yang
tidak beraturan dan cross link dapat terbentuk pada tempat yang tidak
diinginkan, sehingga menghambat pergeseran normal. Hilangnya substansi

15
intraseluler akan membuat serabut menutup secara bersama-sama, sehingga
cross link akan lebih mudah terbentuk. Dengan adanya abnormal cross link
apabila terdapat regangan, maka akan mengiritasi serabut saraf Aδ dan C,
sehingga timbul nyeri regang (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 21).

2.6 Algoritma Myofascial pain syndrome


Klien datang mengeluh sakit pada area bahu

Buat hipotesis
awal myofascial
pain syndrome

History Sakit saat menggerakan bahu naik dan turun Pemeriksaan red flag :
Tasking Frozen shoulder,
Shoulder impingement
Observasi pada bahu

Tes orientasi bahu : elevasi dan Algoritma


PFGD depresi bahu nyeri pemeriksaan lain

Palpasi : nyeri tekan pada otot upper


trapezius, terdapat spasme otot upper
Pemeriksaan trapezius dan terdapat fibrous Hipotesis lain
VAS (nyeri diam, nyeri gerak, dan nyeri
tekan)

Sakit pada bahu akibat


Diagnosa myofascial pain syndrome pada
otot upper trapezius

Body Structure : otot upper trapezius (s7202)


Body function : nyeri (b28010), spasme otot (b7808) dan
Identifikasi keterbatasan gerak (b710)
problem Activity limitation : mengangkat dan menurunkan bahu
dalam ICF (d4303), menyisir rambut (d5202)
Participan restriction : bekerja (d640), olahraga (d9201),
sembahyang (d930)

16
2.7 Pemeriksaan dan Penanganan Fisioterapi
2.7.1 Pemeriksaan Fisioterapi Pada Myofascial Pain Syndrome
Pemeriksaan yang dilakukan bertujuan untuk menegakkan diagnosa
ataupun dasar penyusunan problematik, rencana intervensi dan intervensi
fisioterapi, antara lain sebagai berikut :
1. VAS (Visual Analogue Scale)
VAS (Visual Analogue Scale) merupakan alat ukur yang digunakan
untuk memeriksa intensitas nyeri dan digambarkan dengan
menggunakan garis lurus sepanjang 10 cm yang setiap ujungnya
ditandai dengan level intensitas nyeri. Ujung kiri ditandai dengan
“no pain” dan ujung kanan “bad pain” (Kharismawan dkk, 2016 : 2).

Gambar 2.4 VAS (Visual Anlaogue Scale)


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2. Lingkup Gerak Sendi


Lingkup gerak sendi atau Range Of Motion (ROM) adalah luasnya
gerakan sendi yang terjadi pada saat sendi bergerak dari satu posisi
ke posisi lain, baik secara pasif maupun aktif. Lingkup gerak sendi
dapat juga diartikan sebagai ruang gerak/batas-batas gerakan dari
suatu kontraksi otot dalam melakukan gerakan, terdiri dari inner
range, middle range, outer range dan full range (Nugraha dkk, 2016
: 50). Range Of Motion (ROM) merupakan salah satu indikator fisik
yang berhubungan dengan fungsi pergerakan (Easton, 1999 dalam
Retnoningsih dan Hadi, 2015 : 51). Menurut Kozier (2004) dalam
Retnoningsih dan Hadi (2015 : 51), ROM dapat diartikan sebagai
pergerakan maksimal yang dimungkinkan pada sebuah persendian
tanpa menyebabkan rasa nyeri. ROM atau luas gerak sendi diukur

17
oleh fisioterapis menggunakan alat yang disebut goniometer. Angka
dalam goniometer menunjukkan besar sudut dalam derajat.

Gambar 2.5 Goniometer


(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2.7.2 Penanganan Fisioterapi Pada Myofascial Pain Syndrome


1. Infrared
Infrared merupakan salah satu modalitas fisioterapi yang
menggunakan pancaran sinar elektromagnetik yang bertujuan untuk
meningkatkan metabolisme, vasodilatasi pembuluh darah dan
mengurangi nyeri. Adanya efek termal dari infrared suatu reaksi kimia
akan dapat dipercepat sehingga proses metabolisme yang terjadi pada
superficial kulit meningkat dan pemberian nutrisi dan oksigen pada otot
yang mengalami myofascial akan diperbaiki. Vasodilatasi pembuluh
darah akan menyebabkan sirkulasi darah meningkat dan sisa-sisa dari
hasil metabolisme dalam jaringan akan dikeluarkan. Pengeluaran sisa-
sisa metabolisme tersebut seperti zat ‘P’ yang menumpuk pada jaringan
akan dibuang sehingga rasa nyeri yang dirasakan dapat
berkurang/menghilang (Prianthara dkk, 2015 : 3-4).

18
Gambar 2.6 Infrared
(Sumber : Dokumentasi Pribadi)

2. Ultrasound
Ultrasound adalah modalitas fisioterapi dengan menggunakan
gelombang suara yang menghasilkan energi mekanik dengan frekuensi
1MHz dan 3 MHz. Ultrasound dapat diaplikasikan dengan cara kontak
langsung dan menggunakan coupling medium, water bath, water bag
dan dengan solid gel. Coupling medium yang dapat digunakan adalah
air, aquagel, krim maupun obat-obatan topikal. Ultrasound
diaplikasikan dengan cara menggerakkan tranduser, baik secara
sirkular, transversal maupun longitudinal. Teknik penerapan
ultrasound arah longitudinal merupakan salah satu teknik dalam
mengaplikasikan ultrasound dimana tranduser digerakkan secara
longitudinal atau searah serabut otot yang akan diterapi. Adapun tujuan
penerapan ultrasound dengan arah longitudinal adalah agar intensitas
peaks tidak menetap pada satu tempat saja, mendapatkan efek panas
yang merata pada seluruh area yang menjadi target terapi, mencapai
area yang lebih luas dan penyerapan gelombang ultrasound lebih
optimal (Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 21-22).

19
Gambar 2.7 Ultrasound
(Sumber : Arovah, Novita Intan. 2010; 43)

Arah yang sejajar terhadap serabut otot dengan frekuensi 1 MHz


penetrasinya mencapai hingga kedalaman 82 mm, sedangkan secara
tegak lurus hanya mencapai kedalaman 30 mm. Begitu pula frekuensi 3
MHz mencapai kedalaman 27 mm sedangkan secara tegak lurus hanya
mencapai kedalaman 10 mm. Untuk kasus myofascial syndrome
intensitas yang diperlukan yaitu berkisar antara 0,3- 0,8 W/cm2 dan
arus yang digunakan adalah arus pulsed 1:1 dengan duty factor 50%
(Tim Watson, 2012 dalam Makmuriyah dan Sugijanto, 2013 : 22).

Gambar 2.8 Penetrasi Gelombang Ultrasound


(Sumber : Arovah, Novita Intan. 2010; 44)

Pada dasarnya terapi ultrasound dapat digunakan pada keadaan


akut sampai dengan kronis. Pada keadaan akut diperlukan terapi dengan
frekuensi yang sering dan durasi yang singkat, sedangkan pada keadaan
kronis diperluakan terapi dengan frekuensi yang lebih jarang akan
tuetapi dengan durasi terapi yang lebih lama. Penggunaan ultrasound
terapi pada jam jam awal setelah cedera atau dalam waktu 48 jam
setelah cedera meningkatkan kecepatan penyembuhan cedera. Kondisi
akut cedera pada umumnya memerlukan terapi satu sampai dua kali

20
sehari selama 6 sampai 8 hari sampai nyeri dan pembengkakan
berkurang. Pada kondisi cedera kronis terapi dapat dilakukan dua hari
sekali selama 10 sampai 12 kali (Arovah, Novita Intan. 2010; 44).

3. Myofascial Release Technique


Myofascial release technique (MRT) merupakan teknik normal
yang menerapkan prinsip-prinsip biomekanik dalam pemuatan jaringan
lunak dan modifikasi refleks saraf oleh stimulasi mekanoreseptor di
fasia. Aplikasi MRT ini berupa tekanan yang diterapkan ke arah yang
dituju, berperan untuk meregangkan struktur fasia (miofasia) dan otot
dengan tujuan memulihkan kualitas cairan/pelumas dari jaringan fasia,
mobilitas jaringan dan fungsi normal sendi. Efek yang dapat
ditimbulkan dari myofascial release, yaitu mengurangi nyeri,
peningkatan kinerja atletik, meningkatkan fleksibilitas dan untuk
mendapatkan postur yang lebih baik.

4. Strain counterstrain
Strain counterstrain merupakan salah satu teknik manipulasi pada
jaringan lunak yang bertujuan untuk mengurangi nyeri akibat dari
gangguan muskuloskeletal dengan cara menekan bagian otot yang
mengalami pemendekan dan memposisikan sendi secara pasif ke dalam
posisi yang menimbulkan rasa yang paling nyaman. Teknik ini dapat
memberikan manfaat karena dapat mengatur kembali muscle spindle
secara automatik yang nantinya akan membantu dalam melaporkan
panjang dan tonus otot. Ketika sendi diposisikan dalam posisi yang
nyaman akan menghasilkan efek inhibisi nyeri yang sangat hebat.
Sehingga bisa menurunkan rasa nyeri dan pelepasan tonus otot yang
berlebihan. Jika posisi paling nyaman sudah dapat diperoleh dimana
nyeri dapat menghilang dari monitoring palpasi pada tender point,
maka jaringan yang tegang akan menjadi paling relaks (Prianthara dkk,
2015 : 3).

21
5. Contract relax stretching
Contract relax stretching merupakan suatu teknik yang
menggabungkan kontraksi otot isometrik dengan stretching pasif.
Kontraksi isometrik dilakukan pada otot yang mengalami pemendekan
dan dilanjutkan dengan penguluran yang dilakukan secara pasif pada
otot tersebut. Teknik ini bermanfaat untuk memanjangkan atau
mengulur jaringan lunak seperti otot, fascia, tendon dan ligament yang
mengalami pemendekan secara patologis akibat dari adanya spasme
pada otot ataupun akibat dari pemendekan otot. Kontraksi isometrik
membantu mengurangi nyeri melalui mekanisme pumping action
sehingga sisa-sisa metabolisme dapat berkurang. Saat otot diregangkan
dengan teknik contract relax stretching akan mempengaruhi sarkomer
yang merupakan unit kontraksi dasar pada otot (Prianthara dkk, 2015 :
3).
Pemberian intervensi contract relax stretching pada kasus
myofascial akan dapat membantu otot dalam meluruskan kembali
beberapa serabut atau cross link karena ketegangan otot akibat dari
myofascial pain syndrome. Adanya fase relaksasi pada teknik ini
disertai dengan ekspirasi maksimal dapat mempermudah dalam
memperoleh pelemasan otot dan pencapaian panjang otot yang
mengalami tightness/kontraktur yang lebih maksimal (Prianthara dkk,
2015 : 3).

2.8 Edukasi Pada Myofascial Pain Syndrome


Edukasi yang dapat diberikan pada kasus myofascial pain syndrome, antara
lain sebagai berikut :
1. Hindari beban berat pada bahu,
2. Kompres hangat pada bagian bahu apabila terasa sakit,
3. Sikap tubuh saat bekerja harus ergonomis dan jangan diam atau posisi statis
terlalu lama, serta
4. Dianjurkan untuk latihan penguluran otot leher (stretching) secara aktif di
rumah.

22
23
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Myofascial pain syndrome merupakan salah satu gangguan muskuloskeletal
yang ditandai dengan adanya trigger point di area yang sensitif di dalam taut
band otot skeletal, jika diberikan tekanan pada area tersebut akan menimbulkan
nyeri yang spesifik pada suatu titik yang ditekan (tenderness). Etiologi dari
myofascial pain syndrome, yaitu postur tubuh, ergonomi kerja yang buruk,
trauma dan umur yang akan mengakibatkan timbulnya nyeri yang terlokalisir,
reffered pain, terdapat taut band, tightness pada otot, adanya titik tenderness,
spasme otot dan perubahan otonomik.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan yaitu dilakukan pemeriksaan visual
analogue scale (VAS) untuk mengukur skala nyeri yang terdiri dari nyeri diam,
nyeri gerak dan nyeri tekan serta dilakukan pemeriksaan lingkup gerak sendi
dengan goniometer untuk mengetahui keterbatasan gerak. Intervensi yang dapat
diberikan berupa modalitas infrared, ultrasound, myofascial release technique,
strain counterstrain dan contrac relax stretching dengan memberikan edukasi
yang dapat diterapkan di rumah dan dilakukan secara mandiri, yaitu menghindari
beban berat pada bahu, kompres hangat pada bagian bahu apabila terasa sakit,
sikap tubuh saat bekerja harus ergonomis dan jangan diam atau posisi statis
terlalu lama, dan pasien di anjurkan untuk melakukan latihan penguluran otot
leher (stretching) secara aktif di rumah.

24
DAFTAR PUSTAKA

Arovah, Novita Intan. 2010. Dasar – Dasar Fisioterapi Pada Cedera Olahraga.
Yogyakarta.
Atmadja, Andika Surya. 2016. Sindrom Nyeri Myofascial. Continuing Medical
Education. Volume 43 (3) : 176-179.
Cael, Christy. 2010. Functional Anatomy, Lippincott Williams & Wilkins,
Philadelphia.
Kharismawan, dkk. 2016. Perbedaan Intervensi Muscle Energy Technique Dan
Infrared Dengan Positional Release Technique Dan Infrared Terhadap
Penurunan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius. Majalah
Ilmiah Fisioterapi Indonesia. Volume 2 (1) : 1-6. ISSN : 2303-1921.
Lippert, L. 2011. Clinical Kinesiology and Anatomy. Philadelphia : F. A. Davis
Company.
Makmuriyah dan Sugijanto. 2013. Iontophoresis Diclofenac Lebih Efektif
Dibandingkan Ultrasound Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Myofascial
Syndrome Musculus Upper Trapezius. Jurnal Fisioterapi. Volume 13 (1) :
17-32.
Nugraha, dkk. 2016. Kombinasi Intervensi Infrared Dan Contract Relax
Stretching Lebih Efektif Daripada Infrared Dan Slow Reversal Dalam
Meningkatkan Lingkup Gerak Sendi Leher Pada Pemain Game Online Di
Bmt Net Bajera Tabanan. Majalah Ilmiah Fisioterapi Indonesia. Volume 2
(1) : 49-54. ISSN : 2303-1921.
Prianthara, dkk. 2015. Kombinasi Strain Counterstrain Dan Infrared Sama Baik
Dengan Kombinasi Contract Relax Stretching Dan Infrared Terhadap
Penurunan Nyeri Myofascial Pain Syndrome Otot Upper Trapezius Pada
Mahasiswa Fisioterapi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Roetnoningsih, Triah dan Handi Setyo S. 2015. Tingkat Keberhasilan Masase
Frirage Penanganan Range Of Movement Cedera Ankle. Jurnal of Sport
Sciences and Fitness. Volume 4 (2) : 49-53. ISSN : 2252-6528.
Sugijanto & Bimantoro, A. 2008. Perbedaan Pengaruh Pemberian Ultrasound dan
Manual Longitudinal Muscle Stretching Dengan Ultrasound dan Auto

25
Stretching Terhadap Pengurangan Nyeri Pada Kondisi Syndrome
Myofascial Otot Upper Trepezius. Jurnal Fisioterapi Indonesia. Volume 8.
Vizniak, Nikita. 2010. Muscle Manual, Canada : Proffesional Health Systems Inc.
Werenski J. 2011. The Effectiveness of Myofascial Release Technique in The
Treatment of Myofascial Pain : A Literature Review.

26

Anda mungkin juga menyukai