OLEH:
PO.71.4.241.15.1.055
III.B
D.IV FISIOTERAPI
2018
HALAMAN PENGESAHAN
Makassar,
________________________ ________________________
NIP. NIP.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Anatomi Fisiologi
Sistem saraf dibagi menjadi system saraf pusat, yang terdiri atas jaras saraf
di otak dan medula spinalis, dan system saraf perifer, yang terdiri atas saraf yang
mempersarafi bagian tubuh lainnya. Koordinasi system saraf pusat dan perifer
memungkinkan kita bergerak, berbicara, berpikir, dan berespons.
Tiga fungsi utama sistem saraf adalah untuk deria (sensori), integrasi dan
motor. Deria (sensori) bertugas untuk mengesan perubahan di dalam tubuh dan
persekitaran luar. Integrasi pula bertindak untuk mentafsir perubahan dan motor
memberi respon kepada tafsiran di dalam bentuk kontraksi otot atau rembesan
kelenjar.
1. Reseptor adalah alat penerima ransangan atau impuls. Pada tubuh kita
yang bertindak sebagai reseptor adalah organ deria.
2. Penghantar impuls dilakukan oleh saraf itu sendiri. Saraf tersusun dari
berkas serabut penghujung (akson). Pada serabut penghubung terdapat
sel-sel khusus yang memanjang dan meluas. Sel saraf disebut neuron.
3. Efektor adalah bahagian yang menerima ransangan yang dihantar oleh
penghantar impuls. Efektor yang paling penting pada manusia ialah otot
dan kelenjar.
Badan Sel
Badan sel mengandung organel tipikal sel manusia. Nukleus, yang
mengandung informasi genetic neuron, mengarahkan produksi protein, enzim, dan
neurotransmitter yang diperlukan oleh saraf untuk fungsi tepatnya. Badan sel
mengantarkan zat tersebut ke bagian neuron lainnya sesuai kebutuhan.. Badan sel
menyampaikan sinyal listrik ke segmen berikutnya, yaitu akson.
Dendrit
Dendrit adalah perluasan saraf dari badan sel. Dendrit
adalah bagian neuron yang menerima stimulasi dari
saraf lain. Setiap neuron dapat memiliki cabang
dendrite. Eksitasi neuron biasanya berawal di dendrite.
Dendrit membawa eksitasinya ke segmen yang
berdekatan, yaitu badan sel
Akson
Tonjolan dari badan sel adalah akson, bagian
pangkalnya disebut segmen inisial atau zona pemicu.
Akson adalah serabut panjang tempat lewatnya sinyal listrik yang dimulai di
dendrite dan badan sel. Akson mentransmisikan sinyal awal ke neuron lain atau ke
otot atau kelenjar
2. Sel penyokong
(Neuroglia pada SSP & sel schwann pada SST). Ada 4 neuroglia :
3. Mielin
Komplek protein lemak berwarna putih yg menutupi tonjolan saraf
(neuron)
Menghalangi aliran ion Na & K melintasi membran neural.
Daerah yg tidak bermielin disebut nodus ranvier
Transmisi impuls pd saraf bermelin lebih cepat dari pada yg tak bermelin,
karena adanya loncatan impuls dari satu nodus kenodus lainnya (konduksi
saltatorik)
Sistem saraf tepi adalah sistem saraf di luar sistem saraf pusat, untuk
menjalankan otot dan organ tubuh. Tidak seperti sistem saraf pusat, sistem saraf
tepi tidak dilindungi tulang, membiarkannya rentan terhadap racun dan luka
mekanis.
Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf tak sadar
(sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya
diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat
diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi
keringat.
1. Sistem Saraf Sadar
Sistem saraf sadar disusun oleh saraf otak (saraf kranial), yaitu saraf-saraf
yang keluar dari otak, dan saraf sumsum tulang belakang, yaitu saraf-saraf yang
keluar dari sumsum tulang belakang.
1. Tiga pasang saraf sensori, yaitu saraf nomor I, II, dan VIII
2. Lima pasang saraf motor, yaitu saraf nomor III, IV, VI, XI, dan XII
3. Empat pasang saraf gabungan sensori dan motor, yaitu saraf nomor V, VII,
IX, dan X.
Saraf kranial dikhususkan untuk daerah kepala dan leher, kecuali nervus vagus
yang melewati leher ke bawah sampai daerah toraks dan rongga perut. Nervus
vagus membentuk bagian saraf otonom. Oleh karena daerah jangkauannya sangat
luas maka nervus vagus disebut saraf pengembara dan sekaligus merupakan saraf
otak yang paling penting.
Beberapa urat saraf bersatu membentuk jaringan urat saraf yang disebut
pleksus. Ada 3 buah pleksus yaitu sebagai berikut.
Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak
maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan.
Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk
sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat
pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada
ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion.
Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik dan sistem
saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik
terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di
sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga
mempunyai urat pra ganglion pendek, sedangkan saraf parasimpatik mempunyai
urat pra ganglion yang panjang karena ganglion menempel pada organ yang
dibantu.
mengecilkan pupil
menstimulasi aliran ludah
memperlambat denyut jantung
membesarkan bronkus
menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan
mengerutkan kantung kemih
Simpatik
memperbesar pupil
menghambat aliran ludah
mempercepat denyut jantung
mengecilkan bronkus
menghambat sekresi kelenjar pencernaan
menghambat kontraksi kandung kemih
B. Patologi
1. Definisi
Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana
proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain–
Barré Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai
radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi.
Disfungsi sensoris dan otomatik terlihat pada 2/3 dari kasus, tapi tidak
selalu hadir pada semua kasus. Gangguan otonom dapat bermanifestasi pada
banyak variasi seperti hipertensi/hipotensi, aritmia jantung, dan berbagai gejala
lainnya.
a. Kelemahan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.
Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara
serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Anggota tubuh bagian
bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal
mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot
pernapasan dapat juga terpengaruh. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak
napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama
beberapa hari sampai minggu. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh
hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau
bagian distal lebih berat dari bagian proksimal. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.
c. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan
sensori cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia,
mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses
menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau
pergelangan kaki. Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas,
muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif
biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung
tangan. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif.
Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.
d. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan Guillain–Barré
Syndrome, 89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan Guillain–Barré
Syndrome pada beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat
dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan
dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut.
Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama
perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa
terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas
bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas
waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian
pasien dengan Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri
visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan
palsi saraf, ulkus dekubitus).
e. Perubahan otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita Guillain–Barré
Syndrome. Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem
simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan Guillain–Barré
Syndrome. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia,
bradikardia, facial flushing, hipertensi paroksimal, hipotensi ortostatik, anhidrosis
dan /atau diaphoresis
Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan
dismotilitas usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan
kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah. Gangguan otonom ini jarang
yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
f. Pernapasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh
paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-
33 persen penderita.
g. Papil Edema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang
menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang.
Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya,yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.
Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur
secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi
sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh
penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta
kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,termasuk berjalan.
Limphosit bermigrasi & bertransformasi
ke dlm serabut saraf, myelin & axon
belum rusak.
tepi
2. Fase plateau
Kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek
selama 2 hari, aling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7
minggu.
3. Fase rekonvalesen
Ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan.Seluruh perjalanan penyakit GBS ini
berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.
Nama : Ibu. W
Umur : 27 Tahun
Tanggal Lahir : 26 Oktober 1990
Jenis Kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Bente
Pekerjaan : Wiraswasta
Status Perkawinan : Kawin
D. Anamnesis Khusus
Keluhan Utama : Nyeri pinggang disertai kelemahan pada kedua
tungkai bawah dan tangan kanan
Lokasi Keluhan : Pinggang hingga kedua tungkai bawah dan tangan
kanan
Lama Keluhan : 3 hari yang lalu
Sifat Keluhan : Nyeri dan kelemahan
Sifat Nyeri : Seperti tertusuk-tusuk pada pinggang
Riwayat Perjalanan : Pasien 3 hari yang lalu mengeluh demam, sakit
Penyakit saat menelan, dan sesak nafas. Pada saat pasien
ingin ke toilet pasien merasakan kelemahan pada
kedua tungkainya dan nyeri tertusuk-tusuk pada
pinggangnya, kemudian pasien dibawa ke
puskesmas untuk diperiksa dan dari puskesmas
dirujuk ke RS. Morowali yang kemudian di rujuk ke
RSUP.Wahidin sudirohusodo
Riwayat penyakit dahulu : Pasien 7 tahun lalu pasien mengalami kejang dan
di lakukan pemeriksaan penunjang karena di curigai
epilepsy. Dua bulan selajutnya pasien kembali
mengalami kejang-kejang dan di diagnosis terkena
virus guillain barre syndrome sehingga tidak
mampu berjalan, dan setelah itu di rujuk ke
fisioterapi. Setelah 6 bulan di berikan intervensi
fisioterapi pasien sudah dapat menggerakkan
kakinya secara aktif dan berjalan menggunakan
tongkat sehingga pasien meminta untuk di
pulangkan dari rumah sakit. Dengan latihan berjalan
yang dilakukan secara mandiri di rumah pasien
dapat berjalan kembali secara normal namun tidak
pernah lagi memeriksakan penyakit guillain barre
syndromenya kembali ke rumah sakit.
G. Palpasi
Tonus otot pasien hypotonus
H. Pemeriksaan Spesifik
Tes Skala Nyeri
Visual Analog Scale (VAS)
Prosedur : Instruksikan pasien untuk memberikan tanda titik pada garis skala
VAS ini, yang dapat menggambarkan rasa nyeri yang dikeluhkan,antara 0(tidak
nyeri) sampai (nyeri hebat)
Tes Refleks
Refleks Fisiologis
- Biceps Reflex
Prosedur : Pasien tidur telentang, ketuk tendon otot biceps dengan hammer
Hasil : Normal/ Ada refleks
- Triceps Reflex
Prosedur : Pasien tidur telentang, ketuk tendon otot triceps dengan hammer
Hasil : Normal/ ada refleks
Refleks Patologis
- Hoffman Tromner
Prosedur : Pasien tidur telentang, Lakukan petikan pada kuku jari tengah
pasien
Hasil : Normal/ ada reflex
- Babinsky
Prosedur : Pasien tidur telentang, kemudian tarik garis dari tumit ke
sepanjang arah lateral kaki kearah jarai-jari kaki dengan cepat
Hasil : Tidak ada reflex/ hyporeflex
- Chaddock
Prosedur : Pasien tidur telentang, kemudian tarik garis kedepan pada kulit
dorsum kaki lateral melingkari maleolus
Hasil : Tidak ada reflex/ hyporeflex
- Gordon
Prosedur : Pasien tidur telentang, kemudian tarik garis/pencet otot
gastrocnemius
Hasil : Tidak ada reflex/ hyporeflex
Tes Sensorik
TOTAL SKOR 11
20 : Mandiri
12 – 19 : Ketergantungan ringan
9 – 11 : Ketergantungan sedang
5–8 : Ketergantungan berat
0–4 : Ketergantungan total
Hasil : 11 ( Ketergantungan
sedang)
I. Pemeriksaan Tambahan
EMG ( Elektromiografi)
Evaluasi median saraf motorik kanan menunjukkan latensi distal
jangka panjang (13,8 ms) dan pengurangan amplitude (0,0 mV). Saraf
motor peroneal kanan menunjukkan amplitude yang berkurang (2,0
mV) Tibial kanan atau saraf menunjukkan latensi dis onset yang
berkepanjangan (6,8 ms), semua sisa saraf (seperti yang di tunjukkan
pada table berikut) berada dalam batas normal.
Kondisi/Penyakit :
K. Tujuan Intervensi
Tujuan jangka pendek
- Memelihara sifat fisiologis otot-otot tangan kanan dan kedua tungkai
bawah
- Mencegah agar tidak terjadi tirah baring/ decubitus
- Mencegah agar tidak terjadi atropi dan kontraktur pada otot
- Meningkatkan kekuatan otot tangan kanan dan kedua tungkai
Tujuan : Mencegah agar tidak terjadi atropi dan kontraktur pada otot
Teknik :Pasien dalam keadaan tidur telentang di atas bed kemudian
fisioterapi menggerakkan setiap persendian pada kedua tungkai bawah
pasien secara bergantian mulai dari angkle, knee dan hip.
Dosis : Setiap hari selama 2 jam
Strenghtening
Streaching exercise
Tujuan : Mencegah kontraktur dan meningkatkan fleksibilitas otot
Teknik : Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed kemudain
fisioterapi menggerakkan kedua tungkai secara passive disetiap persendian
disegalah arah dan ditambah dengan penguluran di akhir gerakan.
Dosis : Setiap hari 8x hitungan
Teknik 2 :
- Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed dengan posisi fleksi
knee
- Minta pasien untuk meluruskan tangannya kedepan dan saling
mengenggam/bertautatan
- Kemudian posisikan pasien untuk duduk dan sedikit serong ke kiri dan
kanan jika tidak mampu secara mandiri berikan bantuan
- Minta pasien untuk mempertahankan posisi tersebut
Dosis :Setiap hari 6x repetisi
M. Evaluasi Fisioterapi
Setelah pemberian intervensi fisioterapi 2-3 kali, tampak tidak ada
peningkatan kekuatan otot pada kedua tungkainya dan secara keseluruhan belum
menunjukkan peningkatan yang progressive
N. Edukasi
- Menganjurkan dan memberikan contoh kepada pasien dan keluarga
pasien latihan positioning untuk mencegah tirah baring/decubitus
- Menganjurkan dan memberikan contoh kepada keluarga pasien latihan
passive ROM untuk mencegah atropi dan kontraktur pada otot
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana
proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain–
Barré Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai
radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Djohan Aras, Hasnia Ahmad, Andy Ahmad . The new concept of Physical
Therapist Test and measurement, Makassar 2016
Riwayat penyakit dahulu : Pasien 7 tahun lalu pasien mengalami kejang dan
di lakukan pemeriksaan penunjang karena di curigai
epilepsy. Dua bulan selajutnya pasien kembali
mengalami kejang-kejang dan di diagnosis terkena
virus guillain barre syndrome sehingga tidak
mampu berjalan, dan setelah itu di rujuk ke
fisioterapi. Setelah 6 bulan di berikan intervensi
fisioterapi pasien sudah dapat menggerakkan
kakinya secara aktif dan berjalan menggunakan
tongkat sehingga pasien meminta untuk di
pulangkan dari rumah sakit. Dengan latihan berjalan
yang dilakukan secara mandiri di rumah pasien
dapat berjalan kembali secara normal namun tidak
pernah lagi memeriksakan penyakit guillain barre
syndromenya kembali ke rumah sakit.
D. Pemeriksaan Tambahan
EMG ( Elektromiografi)
Evaluasi median saraf motorik kanan menunjukkan latensi distal
jangka panjang (13,8 ms) dan pengurangan amplitude (0,0 mV). Saraf
motor peroneal kanan menunjukkan amplitude yang berkurang (2,0
mV) Tibial kanan atau saraf menunjukkan latensi dis onset yang
berkepanjangan (6,8 ms), semua sisa saraf (seperti yang di tunjukkan
pada table berikut) berada dalam batas normal.
Kondisi/Penyakit :
Gangguan Motor Function Paraplegia flaccid et causa Guillain–Barré
Syndrome
K. Tujuan Intervensi
Tujuan jangka pendek
- Memelihara sifat fisiologis otot-otot tangan kanan dan kedua tungkai
bawah
- Mencegah agar tidak terjadi tirah baring/ decubitus
- Mencegah agar tidak terjadi atropi dan kontraktur pada otot
- Meningkatkan kekuatan otot tangan kanan dan kedua tungkai
Tujuan : Mencegah agar tidak terjadi atropi dan kontraktur pada otot
Teknik :Pasien dalam keadaan tidur telentang di atas bed kemudian
fisioterapi menggerakkan setiap persendian pada kedua tungkai bawah
pasien secara bergantian mulai dari angkle, knee dan hip.
Dosis : Setiap hari selama 2 jam
Strenghtening
Streaching exercise
Tujuan : Mencegah kontraktur dan meningkatkan fleksibilitas otot
Teknik : Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed kemudain
fisioterapi menggerakkan kedua tungkai secara passive disetiap persendian
disegalah arah dan ditambah dengan penguluran di akhir gerakan.
Dosis : Setiap hari 8x hitungan
Teknik 2 :
- Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed dengan posisi fleksi
knee
- Minta pasien untuk meluruskan tangannya kedepan dan saling
mengenggam/bertautatan
- Kemudian posisikan pasien untuk duduk dan sedikit serong ke kiri dan
kanan jika tidak mampu secara mandiri berikan bantuan
- Minta pasien untuk mempertahankan posisi tersebut
Dosis :Setiap hari 6x repetisi
Q. Evaluasi Fisioterapi
Setelah pemberian intervensi fisioterapi 2-3 kali, tampak tidak ada
peningkatan kekuatan otot pada kedua tungkainya dan secara keseluruhan belum
menunjukkan peningkatan yang progressive
R. Edukasi
- Menganjurkan dan memberikan contoh kepada pasien dan keluarga
pasien latihan positioning untuk mencegah tirah baring/decubitus
- Menganjurkan dan memberikan contoh kepada keluarga pasien latihan
passive ROM untuk mencegah atropi dan kontraktur pada otot
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana
proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain–
Barré Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai
radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi.
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA
Djohan Aras, Hasnia Ahmad, Andy Ahmad . The new concept of Physical
Therapist Test and measurement, Makassar 2016