Anda di halaman 1dari 47

LAPORAN PRE KLINIK

RSUP. DR. WAHIDIN SUDIROHUSODO


LONTARA 3 SARAF

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA KASUS


GANGGUAN MOTOR FUNCTION TETRAPHARESE ET
CAUSA GUILLAIN BARRE SYNDROME

OLEH:

AULIA PATIA NISA

PO.71.4.241.15.1.055

III.B

POLTEKKES KEMENKES MAKASSAR

D.IV FISIOTERAPI

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan kasus Pre klinik di Poliklinik Fisioterapi (Lontara 3 Saraf)) mulai


tanggal 19 sampai dengan 23 Maret 2018 dengan judul kasus “Penatalaksanaan
Fisioterapi pada Kasus Gangguan Motor Function Tetrapharese et Causa
Guillain Barre Syndrome” telah disetujui oleh Pembimbing Lahan (Clinical
Educator) dan Preceptor (Dosen).

Makassar,

Clinical Educator, Preceptor,

________________________ ________________________
NIP. NIP.
BAB I
PENDAHULUAN

Pieter et al. melaporkan bahwa insidensi dari sindrom Guillain–


Barré Syndrome bervarasi antara 1.2-1.3 per 100.000 orang pertahun. Insidensi
tertinggi pada bulan April sampai Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau (1,2). Sepuluh studi melaporkan kejadian pada anak-anak (0-15 tahun),
dan menemukan angka kejadian setiap tahunnya menjadi antara 0,34 sampai
1.34/100.000. Kebanyakan penelitian menyelidiki populasi di Eropa dan Amerika
Utara melaporkan angka kejadian tahunan antara 0,84 sampai 1,91/100.000 .

Inflamasi akut demielinasi poliradikuloneuropati (AIDP) adalah bentuk


paling umum di Negara Barat dan berkontribusi 85% - 90% kasus. Kondisi ini
terjadi pada semua umur, meskipun jarang pada masa bayi. Usia termuda dan
tertua dilaporkan masing-masing 2 bulan dan 95 tahun. Dari rata-rata onset sekitar
usia 40 tahun, dengan kemungkinan dominasi laki-laki.

Guillain–Barré Syndrome adalah penyebab paling umum dari acute flaccid


paralysis pada anak-anak. Acute Motor Axonal Neuropathy (AMAN) sering
didapatkan di daerah Jepang dan Cina, terutama pada orang muda. Hal ini lebih
sering terjadi selama musim panas, sporadic AMAN seluruh dunia mempengaruhi
10% - 20% pasien dengan Guillain–Barré Syndrome. Miller-Fisher syndrome
mempengaruhi antara 5% dan 10% pasien Guillain–Barré Syndrome di negara-
negara barat, tetapi lebih umum di Asia Timur, dengan 25% terjadi di Jepang dan
19% di Taiwan.

WHO (1980) melaporkan bahwa di Negara Cina, Guillain–Barré


Syndrome lebih sering terjadi pada musim panas. Sekitar ¾ dari seluruh kasus
muncul pada musim panas. Menurut Zhao et al (sitasi Fachir Hasyim) di Beijing
pada tahun 1949-1975 kejadian Guillain–Barré Syndrome terbanyak pada bulan
Juli dan Oktober, yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur, terutama
menyerang penduduk yang berasal dari daerah pinggiran kota. Taryana dkk (sitasi
Dari penelitian Fachir Hasyim di 4 Rumah Sakit Yogyakarta pada tahun
1996 didapatkan angka kejadian SGB rerata 1,77% dari seluruh penderita rawat
inap bagian saraf. Terdapat penderita SGB 65,1 % laki-laki dan perempuan
sebesar 34,9% dengan ratio 2 : 1. Berdasarkan usia jumlah penderita terbanyak
dari usia dewasa dan dewasa muda, yaitu usia 15 – 24 tahun (46,51%) dan usia 25
– 44 tahun (25,68%). Penderita termuda dan tertua masing-masing 2 tahun dan 74
tahun. Kejadian SGB di hubungkan dengan keadaan cuaca yang meliputi curah
hujan, temperature dan kelembaban relative rerata selama setahun Februari 1995 –
Januari 1996. Distribusi penderita SGB berdasarkan musim tahunan didapatkan
44,18% pada musim kemarau dan 55,82% di musim penghujan.

Fase awal dimulai dengan munculnya tanda – tanda kelemahan dan


biasanya tampak secara lengkap dalam 2 – 3 minggu. Ketika tidak terlihat
penurunan lanjut, kondisi ini tenang. Fase kedua berakhir beberapa hari sampai 2
minggu. Fase penyembuhan mungkin berakhir 4 – 6 bulan dan mungkin bisa
sampai 2 tahun. Penyembuhan adalah spontan dan komplit pada kebanyakan
pasien, meskipun ada beberapa gejala neurologis, sisa dapat menetap.

Angka kejadian Guillain – Barre Syndrome, di seluruh dunia berkisar antara


1-1,5 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Di Indonesia, kasus GBS masih
belum begitu banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak
di Indonesia adalah dekade I, II, III (di bawah usia 35 tahun) dengan jumlah
penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Insidensi lebih tinggi pada perempuan
dari pada laki-laki dengan perbandingan 2 : 1. Sedangkan penelitian di Bandung
menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata
23,5 tahun. Penyakit ini menyerang semua umur, dan lebih banyak terjadi pada
usia dewasa muda yaitu antara 15 sampai dengan 35 tahun. Namun tidak jarang
juga menyerang pada usia 50 sampai dengan 74 tahun. Jarang sekali GBS
menyerang pada usia di bawah 2 tahun. Umur termuda yang dilaporkan adalah 3
bulan dan tertua adalah 95 tahun, dan tidak ada hubungan antara frekuensi
penyakit ini dengan suatu musim tertentu. Insiden tertinggi pada bulan April s/d
Mei di mana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Anatomi Fisiologi

Sistem saraf dibagi menjadi system saraf pusat, yang terdiri atas jaras saraf
di otak dan medula spinalis, dan system saraf perifer, yang terdiri atas saraf yang
mempersarafi bagian tubuh lainnya. Koordinasi system saraf pusat dan perifer
memungkinkan kita bergerak, berbicara, berpikir, dan berespons.

Tiga fungsi utama sistem saraf adalah untuk deria (sensori), integrasi dan
motor. Deria (sensori) bertugas untuk mengesan perubahan di dalam tubuh dan
persekitaran luar. Integrasi pula bertindak untuk mentafsir perubahan dan motor
memberi respon kepada tafsiran di dalam bentuk kontraksi otot atau rembesan
kelenjar.

Tiga komponen yang harus dimiliki oleh sistem saraf iaitu :

1. Reseptor adalah alat penerima ransangan atau impuls. Pada tubuh kita
yang bertindak sebagai reseptor adalah organ deria.
2. Penghantar impuls dilakukan oleh saraf itu sendiri. Saraf tersusun dari
berkas serabut penghujung (akson). Pada serabut penghubung terdapat
sel-sel khusus yang memanjang dan meluas. Sel saraf disebut neuron.
3. Efektor adalah bahagian yang menerima ransangan yang dihantar oleh
penghantar impuls. Efektor yang paling penting pada manusia ialah otot
dan kelenjar.

1. Neuron (sel saraf)


Merupakan unit anatomis dan fungsional sistem persarafan

bagian-bagian dari neuron :

 Badan Sel
Badan sel mengandung organel tipikal sel manusia. Nukleus, yang
mengandung informasi genetic neuron, mengarahkan produksi protein, enzim, dan
neurotransmitter yang diperlukan oleh saraf untuk fungsi tepatnya. Badan sel
mengantarkan zat tersebut ke bagian neuron lainnya sesuai kebutuhan.. Badan sel
menyampaikan sinyal listrik ke segmen berikutnya, yaitu akson.
 Dendrit
Dendrit adalah perluasan saraf dari badan sel. Dendrit
adalah bagian neuron yang menerima stimulasi dari
saraf lain. Setiap neuron dapat memiliki cabang
dendrite. Eksitasi neuron biasanya berawal di dendrite.
Dendrit membawa eksitasinya ke segmen yang
berdekatan, yaitu badan sel

 Akson
Tonjolan dari badan sel adalah akson, bagian
pangkalnya disebut segmen inisial atau zona pemicu.
Akson adalah serabut panjang tempat lewatnya sinyal listrik yang dimulai di
dendrite dan badan sel. Akson mentransmisikan sinyal awal ke neuron lain atau ke
otot atau kelenjar

Percabangan batang utama akson dapat berupa serabut kolateral multiple.


Serabut kolateral menyampaikan informasi ke banyak sel saraf lain yang saling
berhubungan, dengan meningkatkan pengaruh neuron di sepanjang system saraf.
Di sepanjang akson, protein kontraktil dan mikrotubulus mengangkut zat yang
dihasilkan di badan sel.
Akson juga disebut serabut saraf ; banyak serabut saraf yang melintas
bersama di suatu berkas disebut saraf. Pada beberapa saraf, akson ditutup oleh
lapisan lemak yang terisolasi yang disebut, myelin. Mielin diproduksi ketika sel
penyokong membungkus membrane plasmanya di sekitar akson. Pada system
saraf perifer, sel penyokong adalah sel Schwann. Pada system saraf pusat, myelin
dihasilkan oleh tipe sel khusus, oligodendrosit. Mielin meningkatkan kecepatan
sinyal listrik yang ditransmisikan melalui akson.

2. Sel penyokong

(Neuroglia pada SSP & sel schwann pada SST). Ada 4 neuroglia :

 Mikroglia : berperan sebagai fagosit


 Ependima : berperan dalam produksi CSF
 Astrosit : berperan menyediakan nutrisi neuron dan
mempertahankan potensial biolelektrik
 Oligodendrosit : menghasilkan mielin pd SSP yg merupakan
selubung neuron

3. Mielin
 Komplek protein lemak berwarna putih yg menutupi tonjolan saraf
(neuron)
 Menghalangi aliran ion Na & K melintasi membran neural.
 Daerah yg tidak bermielin disebut nodus ranvier
 Transmisi impuls pd saraf bermelin lebih cepat dari pada yg tak bermelin,
karena adanya loncatan impuls dari satu nodus kenodus lainnya (konduksi
saltatorik)

Sistem saraf tepi adalah sistem saraf di luar sistem saraf pusat, untuk
menjalankan otot dan organ tubuh. Tidak seperti sistem saraf pusat, sistem saraf
tepi tidak dilindungi tulang, membiarkannya rentan terhadap racun dan luka
mekanis.

Sistem saraf tepi terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf tak sadar
(sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya
diatur oleh otak, sedangkan saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat
diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi
keringat.
1. Sistem Saraf Sadar

Sistem saraf sadar disusun oleh saraf otak (saraf kranial), yaitu saraf-saraf
yang keluar dari otak, dan saraf sumsum tulang belakang, yaitu saraf-saraf yang
keluar dari sumsum tulang belakang.

Saraf otak ada 12 pasang yang terdiri dari:

1. Tiga pasang saraf sensori, yaitu saraf nomor I, II, dan VIII
2. Lima pasang saraf motor, yaitu saraf nomor III, IV, VI, XI, dan XII
3. Empat pasang saraf gabungan sensori dan motor, yaitu saraf nomor V, VII,
IX, dan X.

Saraf kranial dikhususkan untuk daerah kepala dan leher, kecuali nervus vagus
yang melewati leher ke bawah sampai daerah toraks dan rongga perut. Nervus
vagus membentuk bagian saraf otonom. Oleh karena daerah jangkauannya sangat
luas maka nervus vagus disebut saraf pengembara dan sekaligus merupakan saraf
otak yang paling penting.

Saraf sumsum tulang belakang berjumlah 31 pasang saraf gabungan.


Berdasarkan asalnya, saraf sumsum tulang belakang dibedakan atas 8 pasang saraf
leher, 12 pasang saraf punggung, 5 pasang saraf pinggang, 5 pasang saraf pinggul,
dan satu pasang saraf ekor.

Beberapa urat saraf bersatu membentuk jaringan urat saraf yang disebut
pleksus. Ada 3 buah pleksus yaitu sebagai berikut.

a. Pleksus cervicalis merupakan gabungan urat saraf leher yang mempengaruhi


bagian leher, bahu, dan diafragma.
b.Pleksus brachialis mempengaruhi bagian tangan.
c. Pleksus Jumbo sakralis yang mempengaruhi bagian pinggul dan kaki.
2. Saraf Otonom

Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak
maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan.
Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk
sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat
pada pangkal ganglion disebut urat saraf pra ganglion dan yang berada pada
ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion.

Sistem saraf otonom dapat dibagi atas sistem saraf simpatik dan sistem
saraf parasimpatik. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik
terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di
sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga
mempunyai urat pra ganglion pendek, sedangkan saraf parasimpatik mempunyai
urat pra ganglion yang panjang karena ganglion menempel pada organ yang
dibantu.

Fungsi sistem saraf simpatik dan parasimpatik selalu berlawanan


(antagonis). Sistem saraf parasimpatik terdiri dari keseluruhan "nervus vagus"
bersama cabang-cabangnya ditambah dengan beberapa saraf otak lain dan saraf
sumsum sambung.
Parasimpatik

 mengecilkan pupil
 menstimulasi aliran ludah
 memperlambat denyut jantung
 membesarkan bronkus
 menstimulasi sekresi kelenjar pencernaan
 mengerutkan kantung kemih

Simpatik

 memperbesar pupil
 menghambat aliran ludah
 mempercepat denyut jantung
 mengecilkan bronkus
 menghambat sekresi kelenjar pencernaan
 menghambat kontraksi kandung kemih

Mekanisme Penghantaran Impuls

Membran plasma dan selubung sel membentuk membran semipermeabel


yang memungkinkan difusi ion-ion tertentu melalui membran ini, tetapi
menghambat ion lainnya. Dalam keadaan istirahat (keadaan tidak terstimulasi),
ion-ion K+ berdifusi dari sitoplasma menuju cairan jaringan melalui membran
plasma. Permeabilitas membran terhadap ion K+ jauh lebih besar daripada
permeabilitas terhadap Na+ sehingga aliran keluar (efluks) pasif ion K+ jauh lebih
besar daripada aliran masuk (influks) Na+. Keadaan ini memngakibatkan
perbedaan potensial tetap sekitar -80mV yang dapat diukur di sepanjang membran
plasma karena bagian dalam membran lebih negatif daripada bagian luar.

Potensial ini dikenal sebagai potensial istirahat (resting potential). (Snell.


2007). Bila sel saraf dirangsang oleh listrik, mekanik, atau zat kimia, terjadi
perubahan yang cepat pada permeabilitas membran terhadap ion Na+ dan ion Na+
berdifusi melalui membran plasma dari jaringan ke sitoplasma. Keadaan tersebut
menyebabkan membran mengalami depolarisasi. Peningkatan permeabilitas
membran terhadap ion Na+ segera menghilang dan diikuti oleh peningkatan
permeabilitas terhadap ion K+ sehingga ion K+ mulai mengalir dari sitoplasma sel
dan mengmbalikan potensial area sel setempat ke potensial istirahat.

B. Patologi
1. Definisi
Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana
proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain–
Barré Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai
radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi.

Parry mengatakan bahwa Guillain–Barré Syndrome adalah suatu


polineuropati yang bersifat ascending dan akut yang sering terjadi setelah 1
sampai 3 minggu setelah infeksi akut. Menurut Bosch, Guillain–Barré Syndrome
merupakan suatu sindrom klinis yang ditandai dengan adanya paralisis flaksid
yang terjadi secara akut dan berhubungan dengan proses autoimun dimana
targetnya adalah saraf perifer, radiks dan nervus kranialis

Maka dapat diambil kesimpulan bahwa Guillain–Barré Syndrome


merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis yang terjadi
secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf
perifer, radiks, dan nervus kranialis.
2. Etiologi

Etiologi Guillain–Barré Syndrome belum diketahui secara umum, tetapi


beberapa penelitian yang ada menduga bahwa ada beberapa faktor pencetus dan
beberapa dari faktor ini terdapat pada pelayanan kesehatan primer. Vaksinasi,
infeksi virus, dan beberapa jenis keracunan makanan adalah contoh dari faktor
pencetus Guillain–Barré Syndrome. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului
dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya Guillain–Barré Syndrome,
antara lain infeksi, vaksinasi, pembedahan, kehamilan atau dalam masa nifas,
penyakit sistemik seperti: keganasan, sistemik lupus eritematosus, tiroiditis,
penyakit Addison.

Menurut Seneviratne pada cohort study menunjukkan bahwa risiko


Guillain–Barré Syndrome meningkat pada beberapa bulan awal setelah
melahirkan, sementara risikonya lebih rendah selama masa kehamilan. Telah
ditentukan bahwa tidak ada hubungan genetik secara langsung, Guillain–Barré
Syndrome dianggap sebagai respon imun idiosinkrasi terhadap infeksi
sebelumnya, dimana mungkin ada hubungan genetik yang mendasari.

Infeksi bakteri yang paling sering mencetuskan Guillain–Barré Syndrome


adalah infeksi Campylobacter jejuni. Bakteri dari genus Campylobacter
diidentifikasi sebagai yang paling umum menjadi sumber gastroenteritis bakteri di
Amerika Serikat melebihi Salmonella dan Shigella. Pada penelitian yang
dilakukan di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, kultur dan serum menunjukkan
bukti adanya infeksi pendahulu Campylobacter jejuni pada 26-45% pasien
Guillain–Barré Syndrome.

Beberapa keadaan/ penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya


dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. Infeksi : Radang tenggorokan atau radang lainnya.
2. Iinfeksi Virus :Measles, Mumps, Rubela, Influenza A, Influenza B,
Varicella zoster, Infections mono nucleosis (vaccinia, variola, hepatitis inf,
coxakie)
3. Infeksi Lain :Mycoplasma Pneumonia, Salmonella Thyposa,
Brucellosis, Campylobacter Jejuni pada enteritis
4. Vaksinasi : Rabies, Swine flu
5. Pembedahan
6. Penyakit sistematik:
 Keganasan ; Hodgkin’s Disease, Carcinoma,Lymphoma.
 Systemic lupus erythematosus
 Tiroiditis
 Penyakit Addison
 Kehamilan terutama pada trimester ketiga atau dalam masa nifas.

Tabel Infeksi akut yang berhubung dengan Guillain–Barré Syndrome

Infeksi Definite Probable Possible


Virus CMV HIV Influenza
EBV Varicella- Zoster Measles
Vaccinia/Smallpox Mumps
Rubella
Hepatitis
Coxsackie
Echo
Bakteri Campylobacter Typhoid Borreila B
Jejeni Paratyphoid
Mycoplasma Brucellosis
Pneumonia Chlamydia
Legionella
Listeria
3. Tanda dan Gejala

Guillain–Barré Syndrome terjadi pada orang yang relatif sehat yang


mengalami infeksi beberapa hari sampai minggu sebelum timbul gejala Guillain–
Barré Syndrome. Infeksi yang paling sering dilaporkan pada kasus Guillain–Barré
Syndrome adalah gastroenteritis dan infeksi saluran pernapasan atas yang terjadi
kira-kira 1-3 minggu sebelum gejala neurologi muncul. Sekitar 20% dari pasien
Guillain–Barré Syndrome pernah mengalami bentuk gastroenteritis sebelum
diagnosis Guillain–Barré Syndrome.

Orang dengan Guillain–Barré Syndrome mengalami onset bertahap simetris


dari parestesia dan mati rasa yang dimulai di kaki dan naik pada tingkat yang
bervariasi. Hal ini juga dapat mencakup tangan dan kaki naik dari distal ke
proksimal yang menyebabkan kelemahan motorik dan akhirnya menjadi paralisis.

Disfungsi sensoris dan otomatik terlihat pada 2/3 dari kasus, tapi tidak
selalu hadir pada semua kasus. Gangguan otonom dapat bermanifestasi pada
banyak variasi seperti hipertensi/hipotensi, aritmia jantung, dan berbagai gejala
lainnya.

Gejala klinis pada penderita Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai


berikut:

a. Kelemahan
Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower
motor neuron dari otot-otot ekstremitas, badan dan kadang-kadang juga muka.
Pada sebagian besar penderita, kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah
kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf
kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara
serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Anggota tubuh bagian
bawah biasanya terkena duluan sebelum tungkai atas. Otot-otot proksimal
mungkin terlibat lebih awal daripada yang lebih distal. Tubuh, bulbar, dan otot
pernapasan dapat juga terpengaruh. Kelemahan otot pernapasan dengan sesak
napas mungkin ditemukan, berkembang secara akut dan berlangsung selama
beberapa hari sampai minggu. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh
hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian
proksimal lebih berat dari bagian distal, tetapi dapat juga sama beratnya, atau
bagian distal lebih berat dari bagian proksimal. Keparahan dapat berkisar dari
kelemahan ringan sampai tetraplegia dengan kegagalan ventilasi.

b. Keterlibatan saraf kranial


Keterlibatan saraf kranial tampak pada 45-75% pasien dengan Guillain–
Barré Syndrome. Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII.
Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera
menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf
kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat
terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan
gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat
menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus.

Keluhan umum mungkin termasuk sebagai berikut; wajah droop (bisa


menampakkan palsy Bell), diplopias, dysarthria, disfagia, ophthalmoplegia, serta
gangguan pada pupil. Kelemahan wajah dan orofaringeal biasanya muncul setelah
tubuh dan tungkai yang terkena. Varian Miller-Fisher dari Guillain–Barré
Syndrome adalah unik karena subtipe ini dimulai dengan defisit saraf kranial.

c. Perubahan Sensorik
Gejala sensorik biasanya ringan. Dalam kebanyakan kasus, kehilangan
sensori cenderung minimal dan variabel. Kebanyakan pasien mengeluh parestesia,
mati rasa, atau perubahan sensorik serupa. Gejala sensorik sering mendahului
kelemahan. Parestesia umumnya dimulai pada jari kaki dan ujung jari, berproses
menuju ke atas tetapi umumnya tidak melebar keluar pergelangan tangan atau
pergelangan kaki. Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas,
muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral. Defisit sensoris objektif
biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung
tangan. Kehilangan getaran, proprioseptis, sentuhan, dan nyeri distal dapat hadir.
Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif.
Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik.

d. Nyeri
Dalam sebuah studi tentang nyeri pada pasien dengan Guillain–Barré
Syndrome, 89% pasien melaporkan nyeri yang disebabkan Guillain–Barré
Syndrome pada beberapa waktu selama perjalanannya. Nyeri paling parah dapat
dirasakan pada daerah bahu, punggung, pantat, dan paha dan dapat terjadi bahkan
dengan sedikit gerakan. Rasa sakit ini sering digambarkan sebagai sakit atau
berdenyut.

Gejala dysesthetic diamati ada dalam sekitar 50% dari pasien selama
perjalanan penyakit mereka. Dysesthesias sering digambarkan sebagai rasa
terbakar, kesemutan, atau sensasi shocklike dan sering lebih umum di ekstremitas
bawah daripada di ekstremitas atas. Dysesthesias dapat bertahan tanpa batas
waktu pada 5-10%pasien. Sindrom nyeri lainnya yang biasa dialami oleh sebagian
pasien dengan Guillain–Barré Syndrome adalah sebagai berikut; Myalgic, nyeri
visceral, dan rasa sakit yang terkait dengan kondisi imobilitas (misalnya, tekanan
palsi saraf, ulkus dekubitus).

e. Perubahan otonom
Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita Guillain–Barré
Syndrome. Keterlibatan sistem saraf otonom dengan disfungsi dalam sistem
simpatis dan parasimpatis dapat diamati pada pasien dengan Guillain–Barré
Syndrome. Perubahan otonom dapat mencakup sebagai berikut; Takikardia,
bradikardia, facial flushing, hipertensi paroksimal, hipotensi ortostatik, anhidrosis
dan /atau diaphoresis

Retensi urin karena gangguan sfingter urin, karena paresis lambung dan
dismotilitas usus dapat ditemukan. Disautonomia lebih sering pada pasien dengan
kelemahan dan kegagalan pernafasan yang parah. Gangguan otonom ini jarang
yang menetap lebih dari satu atau dua minggu.
f. Pernapasan
Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat
fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh
paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-
33 persen penderita.

Empat puluh persen pasien Guillain–Barré Syndrome cenderung memiliki


kelemahan pernafasan atau orofaringeal. Keluhan yang khas yang sering
ditemukan adalah sebagai berikut; Dispnea saat aktivitas, sesak napas, kesulitan
menelan, dan bicara cadel. Kegagalan ventilasi yang memerlukan dukungan
pernapasan biasa terjadi pada hingga sepertiga dari pasien di beberapa waktu
selama perjalanan penyakit mereka.

g. Papil Edema
Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan
pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang
menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak
berkurang.

Manifestasi klinik yang paling sering terjadi adalah kelemahan dan


nyeri pada anggota tubuh. Nyeri dialami oleh hampir 90% pasien. Nyeri
digambarkan seperti “kuda charlie” yaitu nyeri yang timbul hanya dengan
perubahan kecil yang seharusnya tidak menyebabkan nyeri, biasanya disebut juga
dengan hipersensitif atau hiperalgesia

4. Proses Patologi Gangguan Gerak dan Fungsi


Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada Guillain–Barré Syndrome
masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa
kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme
imunologi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesis merupakan mekanisme yang
menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah :
1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated
immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi, dan
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf
tepi.
Proses demielinisasi saraf tepi pada Guillain–Barré Syndrome dipengaruhi
oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai
peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus. Dalam sistem
kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran
makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow)
steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan
limfoid dan peredaran.

Terdapat sejumlah teori mengenai bagaimana sistem imun ini tiba-tiba


menyerang saraf, namun teori yang dikenal adalah suatu teori yang menyebutkan
bahwa organisme (misalnya infeksi virus ataupun bakteri) telah mengubah
keadaan alamiah sel-sel sistem saraf, sehingga sistem imun mengenalinya sebagai
sel-sel asing. Organisme tersebut kemudian menyebabkan sel-sel imun, seperti
halnya limfosit dan makrofag, untuk menyerang myelin. Limfosit T yang
tersensitisasi bersama dengan limfosit B akan memproduksi antibodi melawan
komponen-komponen selubung myelin dan menyebabkan destruksi dari myelin.

Akson adalah suatu perpanjangan sel-sel saraf, berbentuk panjang dan


tipis; berfungsi sebagai pembawa sinyal saraf. Beberapa akson dikelilingi oleh
suatu selubung yang dikenal sebagai myelin, yang mirip dengan kabel listrik yang
terbungkus plastik. Selubung myelin bersifat insulator dan melindungi sel-sel
saraf. Selubung ini akan meningkatkan baik kecepatan maupun jarak sinyal saraf
yang ditransmisikan.

Myelin tidak membungkus akson secara utuh, namun terdapat suatu jarak
diantaranya,yang dikenal sebagai Nodus Ranvier; dimana daerah ini merupakan
daerah yang rentan diserang. Transmisi sinyal saraf juga akan diperlambat pada
daerah ini, sehingga semakin banyak terdapat nodus ini, transmisi sinyal akan
semakin lambat.

Gambar Proses demielinisasi saraf tepi pada sindrom Guillain Barre

Pada Guillain–Barré Syndrome, terbentuk antibodi atau immunoglobulin


(Ig) sebagai reaksi terhadap adanya antigen atau partikel asing dalam tubuh,
seperti bakteri ataupun virus. Antibodi yang bersirkulasi dalam darah ini akan
mencapai myelin serta merusaknya dengan bantuan sel-sel leukosit, sehingga
terjadi inflamasi pada saraf. Sel-sel inflamasi ini akan mengeluarkan sekret
kimiawi yang akan mempengaruhi sel Schwan, yang seharusnya membentuk
materi lemak penghasil myelin. Akibatnya, produksi myelin akan berkurang,
sementara pada waktu bersamaan, myelin yang ada telah dirusak oleh antibodi
tubuh.

Seiring dengan serangan yang berlanjut, jaringan saraf perifer akan hancur
secara bertahap. Saraf motorik, sensorik, dan otonom akan diserang; transmisi
sinyal melambat, terblok, atau terganggu; sehingga mempengaruhi tubuh
penderita. Hal ini akan menyebabkan kelemahan otot, kesemutan, kebas, serta
kesulitan melakukan aktivitas sehari-hari,termasuk berjalan.
Limphosit bermigrasi & bertransformasi
ke dlm serabut saraf, myelin & axon
belum rusak.

Sel limphosit & sel makrofag >>, mulai


terjadi segmental demyelinisasi, axon
belum rusak.

kerusakan selubung myelin & axon,


Terjadi kromatolisis sentral inti sel saraf
atropi & denervasi.

Kerusakan axon >> proximal,


kerusakan irreversible regenerasi sel
saraf (-)

Gambar Perjalanan kerusakan sel saraf tepi pada poliradiculoneuritis

Pada Guillain–Barré Syndrome, gangliosid merupakan target dari antibodi.


Ikatan antibodi dalam sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada
myelin. Alasan mengapa komponen normal dari serabut myelin ini menjadi target
dari sistem imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga
sebagai penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini
didapatkan dari adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari
tubuh manusia. Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan
terjadinya diare, mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari
gangliosid GM1. Pada kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan
terutama terjadi pada degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan
adanya cross-reacting antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon
adanya epitop yang sama

Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisiasi imunitas humoral


maka sel-T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer.
Terbentuk makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses
demielinisasi dan hambatan penghantaran impuls saraf
Gambar Patogenesis infeksi Campylobacter jejuni terhadap kerusakan sel saraf

tepi

Guillain–Barré Syndrome dapat dibedakan berbagai jenis tergantung dari


kerusakan yang terjadi. Bila selubung myelin yang menyelubungi akson rusak
atau hancur, transmisi sinyal saraf yang melaluinya akan terganggu atau
melambat, sehingga timbul sensasi abnormal ataupun kelemahan. Ini adalah tipe
demyelinasi; dan prosesnya sendiri dinamai demyelinasi primer
Pada tipe aksonal, akson saraf itu sendiri akan rusak dalam proses
demyelinasi sekunder; hal ini terjadi pada pasien dengan fase inflamasi yang
berat. Apabila akson ini putus, sinyal saraf akan diblok, dan tidak dapat
ditransmisikan lebih lanjut, sehingga timbul kelemahan dan paralisis pada area
tubuh yang dikontrol oleh saraf tersebut. Tipe ini terjadi paling sering setelah
gejala diare, dan memiliki prognosis yang kurang baik, karena regenerasi akson
membutuhkan waktu yang panjang dibandingkan selubung myelin, yang sembuh
lebih cepat
Tipe campuran merusak baik akson dan myelin. Paralisis jangka panjang
pada penderita diduga akibat kerusakan permanen baik pada akson serta selubung
saraf. Saraf-saraf perifer dan saraf spinal merupakan lokasi utama demyelinasi,
namun, saraf-saraf kranialis dapat juga ikut terlibat

Gambar Derajat kerusakan sel saraf dan manifestasi klinik


Perjalanan penyakit

Perjalanan alamiah GBS, skala waktu dan beratnya kelumpuhan


bervariasi antara berbagai penderita GBS. Perjalan penyakit ini terdiri dari 3
fase, yaitu :
1. Fase progresif
Dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan
bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung
beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu.

2. Fase plateau
Kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek
selama 2 hari, aling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7
minggu.

3. Fase rekonvalesen
Ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang
berlangsung selama beberapa bulan.Seluruh perjalanan penyakit GBS ini
berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

C. Pendekatan Intervensi Fisioterapi


Bersamaan dengan digerakkannya otot anggota tubuh penderita, bisa
dikatakan semua sendi sudah digerakkan. Hanya perlu diingat bahwa pada fase
pertama, otot penderita GBS biasanya tidak mampu menggerakkan LGS secara
penuh. Oleh karenanya fisioterapis perlu membantu penderita untuk
menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang
fungsional.
Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi
sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal.
Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2
sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk
mempertahankan LGS.
BAB III
PROSES FISIOTERAPI
A. Laporan Status Klinik
Tanggal : 19 Maret 2018

B. Data- data Medis


1. Diagnosa medis : Paraplegia flaccid et causa Guillain–Barré
Syndrome
2. No. Rekam medis : 00836860
3. Ruang/kamar : Kamar 4 lontara 3 saraf

C. Identitas Umum Pasien

 Nama : Ibu. W
 Umur : 27 Tahun
 Tanggal Lahir : 26 Oktober 1990
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Agama : Islam
 Alamat : Bente
 Pekerjaan : Wiraswasta
 Status Perkawinan : Kawin

D. Anamnesis Khusus
 Keluhan Utama : Nyeri pinggang disertai kelemahan pada kedua
tungkai bawah dan tangan kanan
 Lokasi Keluhan : Pinggang hingga kedua tungkai bawah dan tangan
kanan
 Lama Keluhan : 3 hari yang lalu
 Sifat Keluhan : Nyeri dan kelemahan
 Sifat Nyeri : Seperti tertusuk-tusuk pada pinggang
 Riwayat Perjalanan : Pasien 3 hari yang lalu mengeluh demam, sakit
Penyakit saat menelan, dan sesak nafas. Pada saat pasien
ingin ke toilet pasien merasakan kelemahan pada
kedua tungkainya dan nyeri tertusuk-tusuk pada
pinggangnya, kemudian pasien dibawa ke
puskesmas untuk diperiksa dan dari puskesmas
dirujuk ke RS. Morowali yang kemudian di rujuk ke
RSUP.Wahidin sudirohusodo

 Riwayat penyakit dahulu : Pasien 7 tahun lalu pasien mengalami kejang dan
di lakukan pemeriksaan penunjang karena di curigai
epilepsy. Dua bulan selajutnya pasien kembali
mengalami kejang-kejang dan di diagnosis terkena
virus guillain barre syndrome sehingga tidak
mampu berjalan, dan setelah itu di rujuk ke
fisioterapi. Setelah 6 bulan di berikan intervensi
fisioterapi pasien sudah dapat menggerakkan
kakinya secara aktif dan berjalan menggunakan
tongkat sehingga pasien meminta untuk di
pulangkan dari rumah sakit. Dengan latihan berjalan
yang dilakukan secara mandiri di rumah pasien
dapat berjalan kembali secara normal namun tidak
pernah lagi memeriksakan penyakit guillain barre
syndromenya kembali ke rumah sakit.

E. Pemeriksaan Vital Sign


 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Denyut Nadi : 72 x/ menit
 Pernafasan : 20 x/ menit
 Suhu : 36,6 oC
F. Inspeksi
 Statis
- Pasien tidur di atas bed dengan wajah tampak pucat
- Terlihat tungkai cenderung eksorotasi hip dan dropfoot pade angkle
 Dinamis
- Pasien sulit menggerakkan kedua tungkainya dan tangan kanannya sudah
mulai terasa lemah tetapi masih dapat di gerakkan
- Pasien masih memerlukan bantuan saat miring ke kiri dan kanan

G. Palpasi
Tonus otot pasien hypotonus

H. Pemeriksaan Spesifik
 Tes Skala Nyeri
Visual Analog Scale (VAS)
Prosedur : Instruksikan pasien untuk memberikan tanda titik pada garis skala
VAS ini, yang dapat menggambarkan rasa nyeri yang dikeluhkan,antara 0(tidak
nyeri) sampai (nyeri hebat)

Visual Analog Scale (VAS) Parameter

- Skala 0-4 mm : Tidak nyeri(tidak ada rasa sakit. Merasa normal)


- Skala 5-44 mm : Nyeri ringan (masih bisa ditahan, aktifitas tak
terganggu)
- Skala 45-74 mm : Nyeri sedang (menggangu aktifitas fisik)
- Skala 75-100 mm : Nyeri berat (tidak dapat melakukan aktifitas
mandiri)

Hasil : 49 mm ≈ 4,9 cm (Nyeri sedang/ menganggu aktifitas fisik)

 Tes Refleks

Refleks Fisiologis

- Biceps Reflex
Prosedur : Pasien tidur telentang, ketuk tendon otot biceps dengan hammer
Hasil : Normal/ Ada refleks

- Triceps Reflex
Prosedur : Pasien tidur telentang, ketuk tendon otot triceps dengan hammer
Hasil : Normal/ ada refleks

- Knee pess Refleks (KPR)


Prosedur : Pasien tidur telentang, ketuk tendon patella dengan hammer
Hasil : Normal/ ada refleks

- Achilles pess Refleks (APR)


Prosedur : Pasien tidur telentang, ketuk tendon achilles dengan hammer
Hasil : Tidak ada reflex/ hyporefleks

Refleks Patologis

- Hoffman Tromner
Prosedur : Pasien tidur telentang, Lakukan petikan pada kuku jari tengah
pasien
Hasil : Normal/ ada reflex

- Babinsky
Prosedur : Pasien tidur telentang, kemudian tarik garis dari tumit ke
sepanjang arah lateral kaki kearah jarai-jari kaki dengan cepat
Hasil : Tidak ada reflex/ hyporeflex
- Chaddock
Prosedur : Pasien tidur telentang, kemudian tarik garis kedepan pada kulit
dorsum kaki lateral melingkari maleolus
Hasil : Tidak ada reflex/ hyporeflex

- Gordon
Prosedur : Pasien tidur telentang, kemudian tarik garis/pencet otot
gastrocnemius
Hasil : Tidak ada reflex/ hyporeflex

 Tes Sensorik

- Tes Tajam/ tumpul


Prosedur : Fisioterapi menyentuh/menggoreskan ujung hammer pada
ekstremitas superior dan inferior pasien
Hasil : - Pada ekstremitas superior terasa
- Pada ekstremitas inferior tidak terasa

- Tes rasa sakit


Prosedur : Fisioterapi mencubit pada ekstremitas superior dan inferior pasien
Hasil : - Pada ekstremitas superior terasa
- Pada ekstremitas inferior tidak terasa

- Tes Diskriminasi dua titik


Prosedur : Fisioterapi memberi 2 atau 1 titik pada ekstremitas superior dan
inferior pasien
Hasil : - Pada ekstremitas superior terasa
- Pada ekstremitas inferior terasa

 Manual Muscle Testing (MMT)

Kriteria penilaian kekuatan otot (menurut. Nancy, 1999)

Prosedur : Fisioterapi menginstruksikan kepada pasien untuk menggerakkan


ekstremitas superior dan inferiornya kemudian fisioterapis memberikan tahanan
dan mengecek nilai otot pasien

NO HURUF/ ISTILAH DEFENISI


GRADE KLASIFIKASI
0 Zero Tdk ada kontraksi yang nyata baik
terlihat atau pemeriksaan palpasi
1 TR Trace Ada kontraksi sedikit; tidak ada
gerakan
- -
2 P Poor minus Gerakannya sebatas sebagian ROM
tapi dengan posisi tubuh dimana gaya
gravitasi dihilangkan
2 P Poor Gerakan sesuai ROM secara penuh
tapi dengan posisi tubuh dimana gaya
gravitasi dihilangkan
+ +
Poor plus Gerakan sesuai ROM secara penuh
2 P
tapi dengan posisi tubuh dimana gaya
gravitasi dihilangkan & ditingkatkan
hingga ½ ROM melawan gaya
gravitasi
- -
Fair minus Gerakan sesuai ROM secara penuh
3 F
dengan posisi tubuh dimana gaya
gravitasi dihilangkan & ditingkatkan
hingga ROM lebih dari ½ dengan
melawan gaya gravitasi
3 F Fair Gerakan sesuai ROM secara penuh
melawan gravitasi
+ +
Fair plus Gerakan sesuai ROM secara penuh
3 F
melawan gravitasi & dapat melawan
resisten minimal
4 G Good Gerakan sesuai ROM secara penuh
melawan gravitasi & dapat melawan
tahanan sedang
5 N Normal Gerakan sesuai ROM secara penuh
melawan gravitasi & dapat menahan
beban secara maximal

Hasil : - Pada ekstremitas superior sisi dextra nilai otot pasien 3+


Gerakan sesuai ROM secara penuh melawan gravitasi & dapat
(G
melawan resisten minimal )

- Pada ekstremitas superior sisi sinistra nilai otot pasien 5


Gerakan sesuai ROM secara penuh melawan gravitasi &
(G
dapat menahan beban secara maximal )
- Pada ekstremitas Inferior nilai otot pasien 0 ( Zero : Tdk ada
kontraksi yang nyata baik terlihat atau pemeriksaan palpasi )

 Tes Kemampuan Fungsional

Prosedur : Fisioterapi memberikan pertanyaan kepada pasien/penjaga pasien


yang terkait aktivitas fungsional yang dapat di lakukan oleh pasien sesuai dengan
indeks adl barthel

KUESIONER ADL INDEX BARTHEL

No Fungsi Skor Keterangan Nilai


Skor
1 Mengendalikan 0 Tak terkendali/tak teratur (perlu 1
rangsang pencahar)
pembuangan tinja 1 Kadang-kadang tak terkendali (1x
seminggu)
2 Terkendali teratur

2 Mengendalikan 0 Tak terkendali atau pakai kateter 2


rangsang berkemih 1 Kadang-kadang tak terkendali (hanya
1x/ 24 jam)
2 Mandiri

3 Membersihkan diri 0 Butuh pertolongan orang lain 1


(seka muka, sisir 1 Mandiri
rambut, sikat gigi)
4 Penggunaan jamban, 0 Tergantung pertolongan orang lain 1
masuk dan keluar 1 Perlu pertolongan pada beberapa
(melepaskan, kegiatan tetapi dapat mengerjakan
memakai celana, sendiri beberapa kegiatan yang lain
membersihkan, 2 Mandiri
menyiram)
5 Makan 0 Tidak mampu 2
1 Perlu ditolong memotong makanan
2 Mandiri

6 Berubah sikap dari 0 Tidak mampu 2


berbaring ke duduk 1 Perlu banyak bantuan untuk bisa
duduk (2 orang)
2 Bantuan minimal 1 orang
3 Mandiri

7 Berpindah / berjalan 0 Tidak mampu 1


1 Bisa (pindah) dengan kursi roda
2 Berjalan dengan bantuan 1 orang
3 Mandiri

8 Memakai baju 0 Tergantung orang lain 1


1 Sebagian di bantu (misalnya
mengancing baju)
2 Mandiri

9 Naik turun tangga 0 Tidak mampu 0


1 Butuh pertolongan
2 Mandiri

10 Mandi 0 Tergantung orang lain 0


1 Mandiri

TOTAL SKOR 11

Keterangan : Skor BAI

20 : Mandiri
12 – 19 : Ketergantungan ringan
9 – 11 : Ketergantungan sedang
5–8 : Ketergantungan berat
0–4 : Ketergantungan total

Hasil : 11 ( Ketergantungan
sedang)
I. Pemeriksaan Tambahan
 EMG ( Elektromiografi)
Evaluasi median saraf motorik kanan menunjukkan latensi distal
jangka panjang (13,8 ms) dan pengurangan amplitude (0,0 mV). Saraf
motor peroneal kanan menunjukkan amplitude yang berkurang (2,0
mV) Tibial kanan atau saraf menunjukkan latensi dis onset yang
berkepanjangan (6,8 ms), semua sisa saraf (seperti yang di tunjukkan
pada table berikut) berada dalam batas normal.

J. Diagnosa Fisioterapi dan Problematik Fisioterapi (sesuai konsep ICF)

Kondisi/Penyakit :

Gangguan Motor Function Tetrapharese et Causa Guillain Barre Syndrome

Impairment Acivity Limitation Participation


(Body structure and Restriction
function)  Tidak mampu balik kanan kiri
 Sulit melakukan
secara mandiri
 Kelemahan pada kedua aktivitas sehari-
2.  Tidak mampu BAK & BAB
tungkai bawah hari misalnya
3.
 Mati rasa/ numbness secara mandiri
BAK & BAB
pada lutut hingga
4. ke  Sulit mengganti pakaian
jari-jari kaki
secara mandiri
 Gangguan ADL ( Balik  Sulit terlibat
kanan kiri, duduk, BAB  Belum bisa posisi baring ke
dalam kegiatan
& BAK, dan berganti duduk secara mandiri
pakaian) social di
 Tidak mampu berjalan
 Potensi terjadi lingkungannya
kontraktur

K. Tujuan Intervensi
 Tujuan jangka pendek
- Memelihara sifat fisiologis otot-otot tangan kanan dan kedua tungkai
bawah
- Mencegah agar tidak terjadi tirah baring/ decubitus
- Mencegah agar tidak terjadi atropi dan kontraktur pada otot
- Meningkatkan kekuatan otot tangan kanan dan kedua tungkai

 Tujuan jangka panjang


Meningkatkan kapasitas fisik dan fungsional pasien agar
kedepannya bisa hidup secara mandiri dan tidak bergantung dengan orang
lain

K. Rencana Intervensi Terapi


 Positioning
 Passive ROM Exercise
 Strenghtening
 Streching Exercise
 Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)

L. Program Intervensi Terapi


 Positioning
Tujuan : Untuk mencegah agar tidak terjadi tirah baring
Teknik : Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed, fisioterapis
memposisikan sekaligus mengajarkan perubahan posisi tidur dari posisi terlentang
miring ke kiri atau ke kanan

 Passive ROM exercise

Tujuan : Mencegah agar tidak terjadi atropi dan kontraktur pada otot
Teknik :Pasien dalam keadaan tidur telentang di atas bed kemudian
fisioterapi menggerakkan setiap persendian pada kedua tungkai bawah
pasien secara bergantian mulai dari angkle, knee dan hip.
Dosis : Setiap hari selama 2 jam

 Strenghtening

Tujuan : Meningkatkan kekuatan otot-otot lengan


Teknik :Pasien dalam keadaan tidur telentang di atas bed, fisioterapis
menggerakkan lengan pasien kemudian minta pasien untuk menahan
gerakan tersebut
Dosis : Setiap hari 6 x repetisi

 Streaching exercise
Tujuan : Mencegah kontraktur dan meningkatkan fleksibilitas otot
Teknik : Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed kemudain
fisioterapi menggerakkan kedua tungkai secara passive disetiap persendian
disegalah arah dan ditambah dengan penguluran di akhir gerakan.
Dosis : Setiap hari 8x hitungan

 Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)


Tujuan : Memperbaiki stabilitas postur dan merangsang otot-otot tungkai
berkontraksi dengan teknik PNF stabilizing reversal
Teknik 1 :
- Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed dengan posisi fleksi
knee
- Berikan fiksasi pada angkle pasien agar tungkai tidak terangkat
- Berikan stimulasi agar pasien mengangkat pantatnya

Teknik 2 :
- Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed dengan posisi fleksi
knee
- Minta pasien untuk meluruskan tangannya kedepan dan saling
mengenggam/bertautatan
- Kemudian posisikan pasien untuk duduk dan sedikit serong ke kiri dan
kanan jika tidak mampu secara mandiri berikan bantuan
- Minta pasien untuk mempertahankan posisi tersebut
Dosis :Setiap hari 6x repetisi

Pemberian intervensi fisioterapi kepada pasien guillain barre


syndrome perlu memperhatikan kondisi pasien sebelum melakukan
intervensi karena pasien tersebut tidak boleh kelelahan sehingga
berpengaruh kepada system imunnya dan membuat keadaan pasien
semakin memburuk sehingga dosis yang diberikan disesuaikan dengan
kondisi pasien saat itu.

M. Evaluasi Fisioterapi
Setelah pemberian intervensi fisioterapi 2-3 kali, tampak tidak ada
peningkatan kekuatan otot pada kedua tungkainya dan secara keseluruhan belum
menunjukkan peningkatan yang progressive

N. Edukasi
- Menganjurkan dan memberikan contoh kepada pasien dan keluarga
pasien latihan positioning untuk mencegah tirah baring/decubitus
- Menganjurkan dan memberikan contoh kepada keluarga pasien latihan
passive ROM untuk mencegah atropi dan kontraktur pada otot

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana
proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain–
Barré Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai
radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi.

Oleh karenanya peran fisioterapis membantu penderita untuk


menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang
fungsional serta menjaga LGS, mencegah kontraktur serta memperbaiki aktifitas
fungsional pasien yang terganggu.
Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi
sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal.
Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2
sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk
mempertahankan LGS.

B. Saran

1. Bagi Fisioterapis : Sebelum melakukan intervensi fisioterapi kepada pasien


hendaknya melakukan pemeriksaan yang teliti dan mendetail sehingga
diperoleh informasi yang akurat dan pemilihan intervensi yang tepat
2. Bagi pasien : Pasien diminta untuk selalu semangat dalam menghadapi
kondisinya
3. Bagi kelurga pasien : Kelurga pasien di anjurkan untuk selalu melakukan
positioning dan pemberian passive exercise ke pasien dan memberikan
semangat kepada pasien

DAFTAR PUSTAKA
Djohan Aras, Hasnia Ahmad, Andy Ahmad . The new concept of Physical
Therapist Test and measurement, Makassar 2016

Fauziah Andi, Gunara Andi. Guillain Barre Syndrome. 2012


https://www.scribd.com/doc/41958041/Guillain-Barre-Syndrome Diakses 19
Maret 2018

Roudhoh Nor. Patofisiologi kasus guillain barre syndrome. 2012


https://www.scribd.com/doc/116711764/Patofisiologi-Guillain-Barre-Syndrome
Diakses 19 Maret 2018

Amelianto Oki. Penanganan Fisioterapi Pada Kasus Guillain Barre Syndrome.


https://www.scribd.com/document/250390016/PENANGANAN-FISIOTERAPI-
PADA-KASUS-GBS-docx Diakses 22 Maret 2018.

IMVI WIL.4. Fisioterapi Pada Sindrom Guillain Barre. 2016


http://wilayah4.imfi.or.id/2016/12/05/fisioterapi-pada-sindrom-guillain-barre/
Diakses 22 Maret 2018

 Riwayat Perjalanan : Pasien 3 hari yang lalu mengeluh demam, sakit


Penyakit saat menelan, dan sesak nafas. Pada saat pasien
ingin ke toilet pasien merasakan kelemahan pada
kedua tungkainya dan nyeri tertusuk-tusuk pada
pinggangnya, kemudian pasien dibawa ke
puskesmas untuk diperiksa dan dari puskesmas
dirujuk ke RS. Morowali yang kemudian di rujuk ke
RSUP.Wahidin sudirohusodo

 Riwayat penyakit dahulu : Pasien 7 tahun lalu pasien mengalami kejang dan
di lakukan pemeriksaan penunjang karena di curigai
epilepsy. Dua bulan selajutnya pasien kembali
mengalami kejang-kejang dan di diagnosis terkena
virus guillain barre syndrome sehingga tidak
mampu berjalan, dan setelah itu di rujuk ke
fisioterapi. Setelah 6 bulan di berikan intervensi
fisioterapi pasien sudah dapat menggerakkan
kakinya secara aktif dan berjalan menggunakan
tongkat sehingga pasien meminta untuk di
pulangkan dari rumah sakit. Dengan latihan berjalan
yang dilakukan secara mandiri di rumah pasien
dapat berjalan kembali secara normal namun tidak
pernah lagi memeriksakan penyakit guillain barre
syndromenya kembali ke rumah sakit.

C. Pemeriksaan Vital Sign


 Tekanan Darah : 120/80 mmHg
 Denyut Nadi : 72 x/ menit
 Pernafasan : 20 x/ menit
 Suhu : 36,6 oC

D. Pemeriksaan Tambahan
 EMG ( Elektromiografi)
Evaluasi median saraf motorik kanan menunjukkan latensi distal
jangka panjang (13,8 ms) dan pengurangan amplitude (0,0 mV). Saraf
motor peroneal kanan menunjukkan amplitude yang berkurang (2,0
mV) Tibial kanan atau saraf menunjukkan latensi dis onset yang
berkepanjangan (6,8 ms), semua sisa saraf (seperti yang di tunjukkan
pada table berikut) berada dalam batas normal.

E. Diagnosa Fisioterapi dan Problematik Fisioterapi (sesuai konsep ICF)

Kondisi/Penyakit :
Gangguan Motor Function Paraplegia flaccid et causa Guillain–Barré
Syndrome

Impairment Acivity Limitation Participation


(Body structure and Restriction
function)  Tidak mampu balik kanan kiri
secara mandiri  Sulit melakukan
 Kelemahan pada kedua aktivitas sehari-
 Tidak mampu BAK & BAB
tungkai bawah
5. hari misalnya
 Mati rasa/ numbness secara mandiri
6. ke
pada lutut hingga BAK & BAB
 Sulit mengganti pakaian
jari-jari kaki 7.
secara mandiri
 Gangguan ADL ( Balik
 Belum bisa posisi baring ke  Sulit terlibat
kanan kiri, duduk, BAB
& BAK, dan berganti duduk secara mandiri dalam kegiatan
pakaian) social di
 Tidak mampu berjalan
 Potensi terjadi
lingkungannya
kontraktur

K. Tujuan Intervensi
 Tujuan jangka pendek
- Memelihara sifat fisiologis otot-otot tangan kanan dan kedua tungkai
bawah
- Mencegah agar tidak terjadi tirah baring/ decubitus
- Mencegah agar tidak terjadi atropi dan kontraktur pada otot
- Meningkatkan kekuatan otot tangan kanan dan kedua tungkai

 Tujuan jangka panjang


Meningkatkan kapasitas fisik dan fungsional pasien agar
kedepannya bisa hidup secara mandiri dan tidak bergantung dengan orang
lain

O. Rencana Intervensi Terapi


 Positioning
 Passive ROM Exercise
 Strenghtening
 Streching Exercise
 Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)

P. Program Intervensi Terapi


 Positioning
Tujuan : Untuk mencegah agar tidak terjadi tirah baring
Teknik : Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed, fisioterapis
memposisikan sekaligus mengajarkan perubahan posisi tidur dari posisi terlentang
miring ke kiri atau ke kanan

 Passive ROM exercise

Tujuan : Mencegah agar tidak terjadi atropi dan kontraktur pada otot
Teknik :Pasien dalam keadaan tidur telentang di atas bed kemudian
fisioterapi menggerakkan setiap persendian pada kedua tungkai bawah
pasien secara bergantian mulai dari angkle, knee dan hip.
Dosis : Setiap hari selama 2 jam

 Strenghtening

Tujuan : Meningkatkan kekuatan otot-otot lengan


Teknik :Pasien dalam keadaan tidur telentang di atas bed, fisioterapis
menggerakkan lengan pasien kemudian minta pasien untuk menahan
gerakan tersebut
Dosis : Setiap hari 6 x repetisi

 Streaching exercise
Tujuan : Mencegah kontraktur dan meningkatkan fleksibilitas otot
Teknik : Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed kemudain
fisioterapi menggerakkan kedua tungkai secara passive disetiap persendian
disegalah arah dan ditambah dengan penguluran di akhir gerakan.
Dosis : Setiap hari 8x hitungan

 Proprioceptive Neuromuscular Facilitation (PNF)


Tujuan : Memperbaiki stabilitas postur dan merangsang otot-otot tungkai
berkontraksi dengan teknik PNF stabilizing reversal
Teknik 1 :
- Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed dengan posisi fleksi
knee
- Berikan fiksasi pada angkle pasien agar tungkai tidak terangkat
- Berikan stimulasi agar pasien mengangkat pantatnya

Teknik 2 :
- Pasien dalam keadaan tidur telentang diatas bed dengan posisi fleksi
knee
- Minta pasien untuk meluruskan tangannya kedepan dan saling
mengenggam/bertautatan
- Kemudian posisikan pasien untuk duduk dan sedikit serong ke kiri dan
kanan jika tidak mampu secara mandiri berikan bantuan
- Minta pasien untuk mempertahankan posisi tersebut
Dosis :Setiap hari 6x repetisi

Pemberian intervensi fisioterapi kepada pasien guillain barre


syndrome perlu memperhatikan kondisi pasien sebelum melakukan
intervensi karena pasien tersebut tidak boleh kelelahan sehingga
berpengaruh kepada system imunnya dan membuat keadaan pasien
semakin memburuk sehingga dosis yang diberikan disesuaikan dengan
kondisi pasien saat itu.

Q. Evaluasi Fisioterapi
Setelah pemberian intervensi fisioterapi 2-3 kali, tampak tidak ada
peningkatan kekuatan otot pada kedua tungkainya dan secara keseluruhan belum
menunjukkan peningkatan yang progressive

R. Edukasi
- Menganjurkan dan memberikan contoh kepada pasien dan keluarga
pasien latihan positioning untuk mencegah tirah baring/decubitus
- Menganjurkan dan memberikan contoh kepada keluarga pasien latihan
passive ROM untuk mencegah atropi dan kontraktur pada otot

BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Guillain–Barré Syndrome merupakan suatu penyakit autoimun, dimana
proses imunologis tersebut langsung mengenai sistem saraf perifer. Guillain–
Barré Syndrome adalah suatu kelainan sistem saraf akut dan difus yang mengenai
radiks spinalis dan saraf perifer, dan kadang-kadang juga saraf kranialis, yang
biasanya timbul setelah suatu infeksi.

Oleh karenanya peran fisioterapis membantu penderita untuk


menggerakkan sendi sesuai dengan luas gerak sendi yang normal, minimal yang
fungsional serta menjaga LGS, mencegah kontraktur serta memperbaiki aktifitas
fungsional pasien yang terganggu.
Sama seperti memberikan latihan untuk otot, menggerakkan sendi
sebaiknya juga dilakukan secara sistematis supaya tidak ada yang tertinggal.
Sesudah gerakan aktif setiap sendi oleh penderita, sebaiknya ditambahkan 2
sampai 3 kali gerakan sendi oleh fisioterapis dalam LGS maksimal untuk
mempertahankan LGS.

B. Saran

1. Bagi Fisioterapis : Sebelum melakukan intervensi fisioterapi kepada pasien


hendaknya melakukan pemeriksaan yang teliti dan mendetail sehingga
diperoleh informasi yang akurat dan pemilihan intervensi yang tepat
2. Bagi pasien : Pasien diminta untuk selalu semangat dalam menghadapi
kondisinya
3. Bagi kelurga pasien : Kelurga pasien di anjurkan untuk selalu melakukan
positioning dan pemberian passive exercise ke pasien dan memberikan
semangat kepada pasien

DAFTAR PUSTAKA
Djohan Aras, Hasnia Ahmad, Andy Ahmad . The new concept of Physical
Therapist Test and measurement, Makassar 2016

Fauziah Andi, Gunara Andi. Guillain Barre Syndrome. 2012


https://www.scribd.com/doc/41958041/Guillain-Barre-Syndrome Diakses 19
Maret 2018

Roudhoh Nor. Patofisiologi kasus guillain barre syndrome. 2012


https://www.scribd.com/doc/116711764/Patofisiologi-Guillain-Barre-Syndrome
Diakses 19 Maret 2018

Amelianto Oki. Penanganan Fisioterapi Pada Kasus Guillain Barre Syndrome.


https://www.scribd.com/document/250390016/PENANGANAN-FISIOTERAPI-
PADA-KASUS-GBS-docx Diakses 22 Maret 2018.

IMVI WIL.4. Fisioterapi Pada Sindrom Guillain Barre. 2016


http://wilayah4.imfi.or.id/2016/12/05/fisioterapi-pada-sindrom-guillain-barre/
Diakses 22 Maret 2018

Anda mungkin juga menyukai