Anda di halaman 1dari 69

Karya Tulis Ilmiah

PENATALAKSANAAN FISIOTERAPI PADA GANGGUAN


FUNGSIONAL BERJALAN AKIBAT DROPFOOT
HEMIPARESE POST STROKE NHS
DI RS STELLA MARIS
MAKASSAR

FADLY

PO.71.324.1.16.1.017

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN MAKASSAR
JURUSAN FISIOTERAPI
2019

i
LEMBAR PERSETUJUAN

Karya Tulis Ilmiah

FADLY

PO.713.241.16.1.017

Dengan Judul :

“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Gangguan Fungsional Berjalan Akibat


Drop foot Hemiparese Post Stroke NHS Di RS Stella Maris Makassar”

Telah disetujui oleh pembimbing Karya Tulis Ilmiah dan dapat diajuhkan dalam
ujian proposal Karya Tulis Ilmiah sebagai syarat untuk mencapai Gelar

Makassar, Juli 2019

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Yonathan Ramba, SPd.S.Ft.Physio.MSi Dr.Muhammad Awal, SKM.M.Kes

NIP.196612221990031003 NIP.197304141998031004

ii
LEMBAR PENGESAHAN

Karya Tulis Ilmiah

FADLY
NIM : PO.71.3.241.16.1.017

Dengan Judul :

“Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Gangguan Fungsional Berjalan Akibat


Drop Foot Hemiparese Post Stroke NHS Di RS Stella Maris Makassar”

Telah dipertahankan di depan Tim Penguji Karya Tulis Ilmiah D III Fisioterapi
Pada tanggal 10 April 2019

TIM PENGUJI KARYA TULIS ILMIAH

Nama Jabatan Tanda tangan

1. Yonathan Ramba, SPd.S.Ft.Physio.MSi Ketua 1). . . . . . . . . .


NIP.196612221990031003

2. Dr.Muhammad Awal, SKM.M.Kes Anggota 2) . . . . . . . . . .


NIP.197304141998031004

3. Andi Halimah, SSt.Ft.M.Adm.Kes Anggota 3) . . . . . . . . . .


NIP. 196610051991032004

Mengetahui,
Ketua Jurusan Fisioterapi
Poltekkes Kemenkes Makassar

Darwis Durahim, S.Pd., S.St.Ft., M.Kes


NIP. 19690210 1994031005

iii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang

senantiasa memberikan kesehatan dan kemudahan sehingga penulis mampu

melewati segala hambatan dan tantangan dalam menyelesaikan proposal

penelitian yang berjudul “Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Gangguan

Fungsional Berjalan Akibat Drop Foot Hemiparese Post Stroke NHS Di RS

Stella Maris Makassar” tepat pada waktunya.

Penyusunan laporan proposal penelitian ini adalah untuk memenuhi salah

satu persyaratan kelulusan pada Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan

Makassar Diplomat III Jurusan Fisioterapi. Penulis menyadari bahwa dalam

penyusunan proposal penelitian ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai

pihak. Karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada:

1. Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Nikmat yang luarbiasa

sehingga penulis masih dalam keadaan sehat walafiat dan proposal penelitian

ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya serta Rasulullah SAW yang telah

diutus oleh Allah agar menjadi panutan seluruh ummat.

2. Ayahanda dan Ibunda Arwiat itercinta yang senantiasa menjadi motivasi

penulis dalam menyelesaikan proposal penelitianini dan senantiasa

mencurahkan kasih sayang, perhatian, dorongan moral dan material serta

doanya.

3. Bapak Ir.H.AgustianIpa, M.Kes, selaku Direktur Politeknik Kesehatan

Kemenkes Makassar atas segala fasilitas yang diberikan kepada penulis

iv
selama menempuh Pendidikan Diploma III di jurusan Fisioterapi Politeknik

Kesahatan Makassar

4. Bapak DarwisDurahim, S.Pd., S.St.Ft., M.Kes., selaku Ketua Jurusan

Fisioterapi Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar.

5. Bapak Dr.MuhammadAwal, SKM., M.Kes., selaku Ketua Program Studi

Diploma III Jurusan Fisioterapi Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar,

dan selaku pembimbing dua yang juga dengan sepenuh hati dan senantiasa

saba rmemberikan saran, pendapat maupun arahan yang sangat bermanfaat

bagi penulis.

6. Bapak YonathanRamba, SPd.S.Ft.Physio.MSi, selaku pembimbing satu yang

dengan sepenuh hati dan senantiasa sabar dan telah memberikan saran,

pendapat maupun arahan yang sangat bermanfaat bagi penulis.

7. Ibu Andi Halimah, SSt.Ft.M.Adm.Kes, selaku penguji yang dengan sepenuh

hati dan senantiasa sabar memberikan saran, pendapat maupun arahan yang

sangat bermanfaat bagi penulis.

8. Bapak Burhan, S.Sos, selaku petugas perpustakaan di JurusanFisioterapi yang

telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk dapat mendapatkan

referensi dalam buku-buku penunjang yang terkait dengan proposal penelitian

ini.

9. Seluruh dewan dosen dan pegawaistaf di jurusan Fisoterapi Poltekkes

Kemenkes Makassar yang selama ini telah mencurahkan segenap ilmu yang

dimiliki kepada penulis dan membantu penulis dalam segala pengurusan

proposal ini

v
10. Teman-teman dan Ni yang telah bersedia menemani penulis dan menjadi

motivasi penulis dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kesalahan yang

terdapat pada proposal ini, penulis mohon maaf atas kekurangan dan kesalahan

tersebut. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifa tmembangun

untuk kepentingan kemajuan proposal ini agar mencapai kesempurnaan. Akhir

kata penulis mengucapkan terima kasih semoga proposal ini bermanfaat bagi kita

semua.

Makassar, Juli 2019

Penulis

vi
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ............................................................................................ i


LEMBAR PERSETUJUAN.................................................................................... ii
LEMBAR PENGESAHAN ................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vii
ABSTRAK .............................................................................................................. 1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ............................................................................................. 3
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian ......................................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ....................................................................................... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Kasus Hemiparese Post Stroke NHS ............................................ 7
B. Tinjauan Kasus Drop foot .......................................................................... 11
C. Tinjauan Kasus Siklus Berjalan ................................................................. 14
D. Tinjauan Modalitas..................................................................................... 17
E. Tinjauan Alat Ukur .................................................................................... 28
F. KERANGKA PIKIR PENELITI ............................................................... 33
BAB III METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian ........................................................................................... 34
B. Tempat dan Waktu Penelitian .................................................................... 34
C. Prosedur Pengambilan Data ....................................................................... 34
D. InstrumenPenelitian.................................................................................... 35
E. Alur Penelitian ........................................................................................... 36
F. Rencana Kegiatan Penelitian....................... Error! Bookmark not defined.
BAB IV DESKRIPSI KASUS HASIL PENELITIAN
A. Proses pemecahan masalah Fisioterapi ..................................................... 37
B. Pembahasan Kasus ..................................................................................... 53
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................................ 56
B. Saran ........................................................................................................... 57
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 58

vii
ABSTRAK

FADLY, NIM PO.71.3.241.16.1.017, di bawah bimbingan Oleh Yonathan


Ramba, dan .muhammad Awal Karya Tulis Ilmiah ini dengan judul
”Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Gangguan Berjalan Akibat Drop Foot
Hemiparese Post Stroke NHS Di RS Stella Maris Makassar”.
Stroke merupakan salah satu penyebab dari gangguan berjalan. Stroke adalah
suatu kondisi dimana keadaan darah membeku atau pembuluh darah arteri pecah
pada aliran darah masuk ke daerah otak,Mengarah ke Drop foot yang di akibatkan
oleh Stroke akan mempengaruhi kontraksi otot. Berkurangnya kontraksi otot
disebabkan karena suplai darah ke otak belakang dan tengah berkurang sehinggga
dapat menghambat hantaran jaringan-jaringan utama antara otak dan medula
spinalis.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui penatalaksanaan fisioterapi pada


gangguan berjalan akibat drop foot hemiparese post stroke NHS dengan
menggunakan metode study kasus dengan jumlah sampel 2 orang dengan alat
ukur Gait analysis, penelitian ini dilakukan di RS Stella maris Makassar.Dengan
memberikan latihan Assistive active exercise,Mirror exercise dengan kombinasi
Theraband metode Motor relearning Programme dan modalitas IR selama 6 kali
terapi

Hasil penelitian menunjukkan pada pasien A memperoleh nilai otot (2 dan -3)
menjadi (+2 dan -3) dan Pasien B memperoleh nilai otot (-2 dan 3) menjadi (2
dan 3). kemampuan berjalan pada kedua pasien tidak terjadi perubahan hal ini
disebabkan oleh Assistive active exercise,Mirror exercise dengan kombinasi
Theraband metode Motor relearning Programme dan modalitas IR yang dilakukan
selama 6 kali.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian Assistive active


exercise,Mirror exercise dengan kombinasi Theraband metode Motor relearning
Programme dan modalitas IR ,serta edukasi yang sangan berpengaruh terhadap
peerubahan kekuatan otot. Oleh karena itu, penulis menyarankan kepada
fisioterapi dilahan praktek agar dapat mengimplementasikan ke empat intervensi
tersebut pada pasien Drop foot akibat Hemiparese post stroke

Kata Kunci : Drop foot, IR , Assistive active exercise,Mirror exercise.

Daftar Pustaka : terdiri dari 40 dari tahun 2002 sampai 2019

1
2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tentang metode penanganan fisioterapi pada kasus Drop foot akibat

Hemiparese post Stroke NHS .Data kunjungan pasien yang berkunjung di RS

stella maris dari awal tahun 2018 sampai bulan Oktober tahun 2018 terdapat

67 pasien dan sekitar 10% pasien di diagnosa menderita gangguan fungsional

berjalan akibat hal tersebut .Berdasarkan hal diatas, penulis tertarik untuk

mengetahui hasil Penatalaksanaan Fisioterapi Pada gangguan fungsional

berjalan akibat DropFood hemiparese post stroke NHS di RS stella maris

Makassar.

Stroke adalah salah satu dari empat penyebab utama kematian dan

kecacatan di seluruh dunia, dengan sekitar 15 juta orang menderita stroke

setiap tahun. Dari jumlah tersebut, sepertiga mati dan sepertiga lainnya

menjadi cacat permanen (WHO, 2004). Bergantung pada ukuran dan lokasi

lesi, penderita stroke dapat mengalami penurunan kemampuan fisik dan / atau

mental. Ketidakmampuan motorik seringkali merupakan konsekuensi dan

dapat memengaruhi bicara, pemahaman, dan gaya berjalan, serta fungsi

sehari-hari lainnya. Dengan prevalensi sekitar 20% di antara penderita stroke.

Drop foot (DF) adalah salah satu dari kecacatan yang sangat

mengganggu mobilitas orang-orang ini Drop foot (DF) adalah salah satu dari

kecacatan yang sangat mengganggu mobilitas individu(Johnson, 2004).

Seiring dengan stroke, cerebral palsy (CP), multiple sclerosis (MS), cedera

3
otak traumatis (TBI) dan cedera tulang belakang (SCI) juga merupakan

kondisi neurologis yang dapat menyebabkan DF. Kondisi ini sering

merupakan hasil dari kelumpuhan dan / atau kelemahan pada otot-otot

dorsifleksi, membuatnya tidak dapat membersihkan jari-jari kaki dari tanah

dalam fase ayunan gaya berjalanKarena kurangnya aktivasi otot yang tepat,

mekanisme kompensasi pada sendi lain, seperti lutut atau pinggul, sering

hadir dan menghasilkan langkah kaki yang sangat khas atau gaya berjalan

mengangkat pinggul (Don, 2007). Slap foot adalah kondisi lain yang sering

terjadi bersamaan dengan DF. Ditandai dengan plantarflexion yang tidak

terkontrol.slap foot dapat menyebabkan ulkus kronis (Hanft, 2011).Penyebab

paling umum DF adalah kompresi saraf peroneus, bersifat unilateral,

penyebab drop foot murni oleh karena kelainan saraf, seperti diabetes, stroke

atau cedera tulang belakang.(Esquenazi, 2011).

Analisis berjalan adalah studi tentang berjalan - suatu pemeriksaan

terperinci tentang bagaimana kerangka dan otot bekerja bersama ketika kita

berjalan. Di laboratorium analisis gaya berjalan, kami mempelajari masalah

berjalan kompleks pada orang dewasa dan anak-anak. Ini digunakan dalam

perencanaan manajemen pasien dan dalam mengevaluasi hasil perawatan.

Siapa pun yang memiliki masalah gerakan yang memengaruhi jalannya

mungkin mendapat manfaat dari analisis gaya berjalan (Banga, 2017).

4
B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah penatalaksanaan Fisioterapi pada Gangguan Fungsional

Berjalan Akibat Dropfoot Hemiparese Post Stroke NHS?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui penatalaksanaan Fisioterapi pada Gangguan

Fungsional Berjalan Akibat Dropfoot Hemiparese Post Stroke NHS.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk menentukan Anamnesis Fisioterapi pada Gangguan Fungsional

Berjalan Akibat Dropfoot Hemiparese Post Stroke NHS.

b. Untuk menentukan Pemeriksaan Fisioterapi pada Gangguan

Fungsional Berjalan Akibat Dropfoot Hemiparese Post Stroke NHS.

c. Untuk menentukan Dianostik Fisioterapi pada Gangguan Fungsional

Berjalan Akibat Dropfoot Hemiparese Post Stroke NHS.

d. Untuk mengetahui Problematik Fisioterapi pada Gangguan Fungsional

Berjalan Akibat Dropfoot Hemiparese Post Stroke NHS.

e. Untuk mengetahui Intervensi Fisioterapi pada Gangguan Fungsional

Berjalan Akibat Dropfoot Hemiparese Post Stroke NHS.

f. Untuk mengetahui Hasil dan Evaluasi Intervensi Fisioterapi pada

Gangguan Fungsional Berjalan Akibat Dropfoot Hemiparese Post

Stroke NHS.

5
D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Ilmiah

Untuk mengetahui dan memahami penatalaksanaan Fisioterapi

pada Gangguan Fungsional Berjalan Akibat Dropfoot Hemiparese Post

Stroke NHS, agar dapat mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan

fungsional agar penderita dapat melakukan aktifitas sehari-hari.

2. Manfaat Praktis.

a. Bagi penulis : Menjadi paradigma bagi peneliti dalam menyusun

penatalaksanaan Fisioterapi pada Gangguan Fungsional Berjalan

Akibat Dropfoot Hemiparese Post Stroke NHS.

b. Bagi institusi : Memberikan masukan bagi tim kesehatan RS Stella

Maris terkait Fisioterapi pada Gangguan Fungsional Berjalan Akibat

Dropfoot Hemiparese Post Stroke NHS.

c. Bagi Ilmiah : Dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan

khususnya dalam bidang kesehatan, dalam menyelesaikan problem

kapasitas fisik dan kemampuan fungsional dengan tetap beracuan

pada keterampilan dasar dari praktek klinik dan perkembangan Iptek.

6
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Kasus Hemiparese Post Stroke NHS

1. Pengertian

Stroke merupakan gangguan fungsi saraf yang disebabkan oleh

gangguan aliran darah dalam otak yang dapat timbul secara mendadak (dalam

beberapa detik) atau secara cepat (dalam beberapa jam) dengan gejala atau

tanda yang sesuai dengan daerah yang terganggu sebagai hasil dari infark

cerebri (stroke iskemik), perdarahan intraserebral atau perdarahan

subarachnoid (Mardjono, 2009).Stroke hemoragik terjadi bila pembuluh

darah di otak pecah atau mengalami kebocoran, sehingga terjadi perdarahan

ke dalam otak. Bagian otak yang dipengaruhi oleh pendarahan dapat menjadi

rusak, dan darah dapat terakumulasi sehingga memberikan tekanan pada otak.

Jumlah perdarahan menentukan keparahan stroke (Parmet et al, 2004).

Perdarahan intra serebral menyebabkan 10-15% kasus serangan stroke

pertama kalinya, dengan angka kematian selama 30 hari dari 35% menjadi

52% dimana setengah dari angka kematian tersebut terjadi dalam 2 hari

pertama. Dalam suatu penelitian pada 1041 kasus ICH, didapatkan 50% pada

lokasi yang dalam, 35% lobar, 10% cerebelar, dan 6% pada otak (Broederick

et al, 2007).

Stroke merupakan salah satu penyebab dari gangguan berjalan. Stroke

adalah suatu kondisi dimana keadaan darah membeku atau pembuluh darah

arteri pecah pada aliran darah masuk ke daerah otak. Kurangnya oksigen dan

7
glukosa (gula) yang mengalir ke otak menyebabkan kematian sel-sel otak dan

kerusakan otak, sering mengakibatkan adanya penurunan suara, kontrol

tubuh, dan memori.

2. Etiologi

Pecahnya pembuluh darah otak menyebabkan keluarnya darah ke

jaringan parenkim otak, ruang cairan serebrospinalis disekitar otak atau

kombinasi keduanya. Perdarahan tersebut menyebabkan gangguan serabut

saraf otak melalui penekanan struktur otak dan juga oleh hematom yang

menyebabkan iskemia pada jaringan sekitarnya. Peningkatan tekanan

intrakranial pada gilirannya akan menimbulkan herniasi jaringan otak dan

menekan batang otak.

Stroke hemoragik dibagi menjadi perdarahan intraserebral dan

perdarahan subarachnoid. Pada perdarahan intraserebral, perdarahan terjadi

pada parenkim otak itu sendiri. Penyebab perdarahan intraserebral, antara lain

hipertensi, aneurisma, malformasi arteroivenous, neoplasma, gangguan

koagulasi, antikoagulan, vaskulitis, trauma, dan idiopatik. Pada perdarahan

subarachnoid, perdarahan terjadi di sekeliling otak hingga ke ruang

subarachnoid dan ruang cairan serebrospinal.Penyebab perdarahan

subarachnoid, antara lain aneurisma, malformasi arteriovenous, antikoagulan,

tumor, vaskulitis, dan tidak diketahui (Mardjono, 2009). Lesi neuron motorik

atas dapat menunjukkan kelemahan yang terlokalisasi pada dorsofleksi

memungkinkan dari sentralisasi yang terletak di daerah parasagital

otak(Stroke). Stroke yang menyebabkan drop foot (Mathews WB,

8
1993).secara umum diantaranya gangguan sensomotorik, gangguan kognitif/

memori, gangguan psikiatrik/ emosional. Gangguan sensomotorik merupakan

penyebab yang paling mendasar yaitu meliputi gangguan motorik yang dapat

mengakibatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh, abnormalitas tonus

otot dan gangguan sensori yang akan mengakibatkan kelainan sensibilitas,

reseptor sendi, perasaan gerak dan gangguan koordinasi (Kuntono, 2012)

Drop foot yang diakibatkan oleh stroke sangat umum.(David warner ,2002)

3. Patofisiologi

Pada fase akut, terjadi perubahan pada aliran darah otak, dimana pada

daerah yang terkena iskemia, aliran darah menurun secara signifikan. Secara

mikroskopik daerah yang iskemik (penumbra) yang pucat ini akan dikelilingi

oleh daerah yang hiperemis di bagian luar. Daerah ini disebut luxury

perfusion karena melebihi kebutuhan metabolik, sebagai akibat mekanisme

sistem kolateral yang mencoba mengatasi keadaan iskemia. Di daerah sentral

dan focus iskemik ini terdapat inti yang terdiri atas jaringan nekrotik atau

jaringan dengan tingkat iskemia yang terberat.

Arteri yang sering pecah adalah arteria lentikulostriata di wilayah

kapsula interna.Dinding arteri yang pecah selalu menunjukkan tanda-tanda

bahwa disitu terdapat aneurisme kecil-keci yang dikenal sebagai aneurisme

Charcot Bouchard. Aneurisma tersebut timbul pada orang-orang dengan

hipertensi kronik, sebagai hasil proses degeneratif pada otot dan unsure

elastic dari dinding arteri. Karena perubahan degeneratif itu dan ditambah

dengan beban tekanan darah tinggi, maka timbullah beberapa pengembungan

9
kecil setempat yang dinamakan aneurismata Charcot Bouchard.Karena sebab-

sebab yang belum jelas, aneurismata tersebut berkembang terutama pada rami

perforantes arteria serebri media yaitu arteria lentikolustriata. Pada lonjakan

tekanan darah sistemik seperti sewaktu orang marah, mengeluarkan tenaga

banyak dan sebagainya, aneurima kecil itu bisa pecah. Pada saat itu juga,

orangnya jatuh pingsan, nafas mendengkur dalam sekali dan memperlihatkan

tanda-tanda hemiplegia (Cohen, 2000).

Mengarah ke Drop foot yang di akibatkan oleh Stroke akan

mempengaruhi kontraksi otot. Berkurangnya kontraksi otot disebabkan

karena suplai darah ke otak belakang dan tengah berkurang sehinggga dapat

menghambat hantaran jaringan-jaringan utama antara otak dan medula

spinalis.Kurangnya kontraksi otot mempengaruhi penurunan kekuatan otot.

Penurununan kekuatan otot pada kaki berdampak pada kelemahan otot

dorsalfleksor atau drop foot. Seseorang dengan drop foot memiliki kontrol

terbatas terhadap gerakan kaki yang terkena. Disfungsi pada ekstermitas

bawah yang dialami oleh pasien stroke merupakan gangguan motor tungkai

kontralateral yang menyebabkan keterbatasan dalam pergerakan (Lemone and

Burke, 2004). Tingkat keparahan dapat berkisar dari sementara sampai

kondisi permanen, tergantung pada sejauh mana kelemahan otot atau

kelumpuhan (Margaret, 2000). Stadium recovery merupakan fase emas

dimana perbaikan akan cepat sekali terjadi namun pada fase ini akan muncul

pola sinergi (spastik) yang berlangsung 3 minggu sampai 6 bulan setelah

serangan stroke. Pada stadium ini terjadi reabsorbsi udema sehingga

10
berangsur-angsur proses desak ruang akut menurun, aktivitas refleks spinal

sudah berfungsi tetapi belum mendapat kontrol dari supraspinal (Kuntono,

2012).

B. Tinjauan Kasus Drop foot

1. Pengertian

.Drop foot merupakan suatu ketidak-mampuan untuk mengangkat kaki

ketika berjalan, hal ini di karena kelemahan maupun kelumpuhan otot dalam

mengangkat kaki (David warner, 2002). Disfungsi ini mengubah gaya

berjalan pasien, terjadi peningkatan fleksi pinggul dan lutut, (Stewart

jd.2008).

11
2. Etiologi

Drop foot dalam kebanyakan kasus yang melibatkan cedera perifer pada

saraf peroneum. Dapat berkembang dari kelemahan otot otot dorsiflexsi.

Kelemahan ini disebabkan oleh cedera neuron motorik atas atau bawah.

Paling umum lesi motorik bagian bawah bertanggung jawab atas gejala-gejala

tersebut.

3. Patologi

Drop foot sering dikaitkan dengan kompresi saraf eksternal karena

praktik pekerjaan yang buruk dan lingkungan kerja yang mengakibatkan

tekanan berkepanjangan ke bagian belakang lutut, seperti ketika

menyilangkan kaki atau pekerjaan yang membutuhkan jongkok yang sering

dan berkepanjangan (Woltman 1929).. Kasus-kasus penurunan kaki secara

permanen disebabkan oleh kerusakan pada saraf peroneum, termasuk cedera

pada bagian yang lebih proksimal dari saraf skiatik, atau otot-otot yang

dipersarafi saraf ini sebagaimana halnya dengan distrofi otot.

Drop foot sangat umum disebabkan oleh keseleo yang parah dan tiba-

tiba atau memutar pergelangan kaki karena kerusakan dari gaya puntir luar

biasa yang bekerja pada saraf di bagian belakang lutut (Nobel 1966).

Peningkatan tekanan internal yang disebabkan oleh pembengkakan, massa

internal juga dapat menyebabkan Drop foot permanen. Massa jinak pada

tingkat lutut, seperti kista Baker, perkembangan ganglia saraf pada sendi

tibiofibular (Brooks, 1952), tumor ganas semuanya dapat mengakibatkan

kompresi saraf terletak di lokasi yang rentan, seperti kepala fibular ( Suh et al.

12
1992), Drop foot pada umumnya bersifat unilateral. Namun jika dengan

gejala bilateral menunjukkan cedera yang lebih serius pada segmen tulang

belakang bagian bawah Hal ini di tandai saat berjalan dengan menyeret kaki

atau Penurunan kaki (Kertmen et al. 2015).

4. Anatomi

Serat dari cabang-cabang dorsal ventral L4 - S1 ditemukan di saraf

peroneal , yang dipasangkan dengan saraf tibialis untuk membentuk saraf

sciatic . Saraf sciatic meninggalkan rongga panggul pada foramen sciatic

besar. Bifurkasio untuk membentuk peroneal dan tibialis saraf,yang terletak

di sepertiga distal paha atau di tingkat midthigh.

Saraf peroneal melintasi lateral atas tepi posterior leher fibula ke

kompartemen anterior dari kaki bagian bawah , membagi menjadi cabang-

cabang yang dangkal dan dalam. Cabang dangkal perjalanan antara dua

kepala peronei dan terus ke bawah kaki bagian bawah antara tendon peroneal

dan tepi lateral gastrocnemius. Kemudian cabang ke pergelangan kaki

anterolaterally ke dorsum kaki. Cabang dalam membagi leher fibula . cabang

awal adalah tibialis anterior , dan cabang-cabang yang tersisa adalah longus

ekstensor digitorum , longus ekstensor halusis.

13
C. Tinjauan Kasus Siklus Berjalan

1. Pengertian

Berjalan adalah serangkaian gerakan siklus yang sangat terkoordinasi.

Metode yang paling dasar untuk membagi siklus gaya berjalan yaitu terbagi

menjadi dua bagian, fase kuda-kuda dan fase ayuna. Fase kuda merupakan

bagian dari siklus gaya berjalan selama tungkai referensi bersentuhan dengan

tanah. Selama berjalan normal, bagian ini menyumbang sekitar 60% pertama

dari gaya berjalan. Divisi kedua, fase ayun, terjadi ketika anggota badan tidak

bersentuhan dengan tanah. Selama berjalan normal, bagian ini menyumbang

sekitar 40% terakhir dari gaya berjalan.Kontak awal untuk menyimpulkan

ayunan, mengakhiri siklus gaya berjalan (100% gaya berjalan), dan

merupakan awal dari siklus berikutnya. (Joseph B,2019).

14
Kelemahan Otot yang mempengarugi pola berjalan merupakan hasil dari

proses neuron motorik atas mempengaruhi otak atau sumsum tulang belakang

atau proses neuron motorik yang lebih rendah mempengaruhi saraf perifer

atau sambungan neuromuskuler. Dengan atas proses neuron motorik,

kelemahan otot biasanya terkait dengan gangguan kontrol motorik, tonus otot

tinggi, dan hiper refleksia. Gangguan sensorik juga bisa terjadi.

Temuan terkait ini Dibutuhkan pendekatan yang jauh berbeda untuk

intervensi ortotik dibandingkan dengan yang dibutuhkan untuk proses neuron

motorik yang lebih rendah, yang umumnya terkait dengan penurunan tonus

otot dan penurunan refleks Kelemahan dorsofleksi pergelangan kaki adalah

penyebab umum kelainan gaya berjalan. Seperti halnya semua pola berjalan

abnormal, tingkat kelemahan dan adanya defisit bersamaan, seperti gangguan

sensorik atau hypertonicity, menentukan besarnya kelainan. Individu dengan

15
kelemahan dorsofleksi sering menunjukkan pinggul dan lutut yang berlebihan

fleksi dalam fase ayunan untuk mengimbangi ankle plantar fleksi atau

kurangnya dorsofleksi pergelangan kaki dalam fase ayunan. Pada ayunan

awal, dorsofleksi kaki tidak lengkap, dan jarak lantai tidak tergantung pada

posisi kaki. Dengan tibia vertikal di pertengahan. (Joseph B,2019).

Gangguan sensorik sering terlihat dalam kombinasi dengan kelemahan

otot,tetapi juga bisa terjadi secara terpisah. Penambahan kehilangan sensorik

untuk otot kelemahan mengurangi kemampuan seseorang untuk

mengkompensasi secara efektifk kelemahan. Dengan lesi saraf tepi tunggal,

sensoris yang dihasilkan penurunan nilai mungkin memiliki efek terbatas

pada ambulasi. Periferal neuropati yang lebih difus dapat menghasilkan

sensorik yang lebih dalam dan gangguan gaya berjalan. Jenis-jenis neuropati

perifer ini juga mungkindikaitkan dengan gejala nyeri neuropatik yang dapat

mempengaruhi gaya berjalan parameter.

Gangguan sensorik memengaruhi ambulasi, baik melalui hilang

nyaproprioception dan dengan mengganggu kemampuan orang tersebut untuk

menentukan kapan kaki bersentuhan dengan tanah.Defisit proprioseptif dapat

menyebabkan untuk gerakan berlebihan atau berlebihan untuk memastikan

bahwa ada izin untuk kaki selama fase ayunan. Gangguan kemampuan untuk

merasakan kontak dengan tanah dapat menyebabkan kontak keras dengan

tanah dan awal kaki depan kontak. Kecepatan berjalan berkurang dan hati-

hati. Masalah-masalah ini lebih sulit untuk ditangani dan dikoreksi dengan

intervensi orthotic,terutama jika gangguan sensorik ada dalam isolasi. Jika

16
ortotik intervensi bertujuan untuk mengatasi kelemahan otot, perhatian

khusus masih diperlukan untuk mencegah kerusakan kulit atau komplikasi

lain yang berasal dari gangguan sensorik. Kelemahan otot yang

mengakibatkan gangguan gaya berjalan adalah manifestasi dari memiliki

terlalu sedikit unit motor yang tersedia untuk menghasilkan kekuatan yang

diperlukan baik membuat gerakan atau melawan gravitasi yang dibuat saat

berjalan. (Joseph B,2019).

D. Tinjauan Modalitas

1. Tinjauan Modalitas Fisioterapi


IR dan Terapi Latihan.

a. Infrared

Lampu IR memancarkan radiasi elektromagnetik dalam

rentang frekuensi yang dapat menimbulkan panas ketika diserap oleh

suatu objek. radiasi ir memiliki panjang gelombang 770 nm sampai

106 nm atau pancaran gelombang elektromagnetik dengan panjang

gelombang 7700 – 4 juta a0, terletak di antara cahaya tampak dan

gelombang mikro pada spectrum elektromagnetik (Andy M.A.

Hariandja & Hendrik,2011).

1. Pelaksanaan pengobatan

a. Sebelum pengobatan

1) Persiapan alat

17
Perlu dipersiapkan alat serta pemeriksaan alat antara lain

meliputi kabelnya, jenis lampu dan besarnya watt. pada

umumnya generator non-luminous diperlukan waktu

pemanasan 5 – 10 menit.

2) Persiapan pasien

Posisi pasien diatur seenak (confortable) mungkin

disesuaikan dengan daerah yang diobati.daerah yang diobati

bebas dari pakaian dan perhiasan serta perlu dilakukan tes

sensibilitas temperatur terhadap daerah yang akan disinari.

bila terjadi gangguan sensibilitas pada daerah yang akan

disinari, maka pengobatan dengan sinar infra merah perlu

dihindarkan. daerah yang diobati sebaiknya dibersihkan

dengan air sabun dan dikeringkan dengan handuk. perlu

diberitahukan mengenai panas yang dirasakan, yaitu rasa

hangat. bila ternyata ada rasa panas yang menyengat, pasien

diminta segera memberitahukan pada fisioterapis.pasang

kacamata buram infra merah pada pasien dan terapis jika ada

kemungkinan radiasi infra merah pada mata.

b. Selama pengobatan

Anjurkan pasien untuk menghindari bergerak lebih dekat atau

lebih jauh dari lampu karena gerakan menuju atau menjauhi

lampu akan mengubah jumlah energi yang mencapai

pasien. fisioterapis selalu memonitor respon pasien selama

18
pengobatan, dengan memindahkan lampu secara hati-hati jika

pasien merasa terlalu hangat atau kurang hangat. hindari jika

banyak keluar keringat atau mengeringkan daerah yang banyak

berkeringat.

c. Sesudah pengobatan (evaluasi sesaat)

Setelah pengobatan lampu segera dimatikan dan ditempatkan

pada tempat yang aman, perhatikan kulit pada daerah yang

diobati dan bandingkan dengan keadaan sebelumnya.daerah

yang banyak keringat segera dikeringkan dengan handuk.

2. Manfaat IR

a. Mengurangi/menghilangkan rasa sakit (relief of pain)

Aplikasi panas secara lokal dapat meningkatkan ambang

nyeri.efek ini termasuk pengurangan langsung dan tidak

langsung dari nyeri oleh aktivitas mekanisme gate pada tulang

belakang dan kemudian menyebabkan pengurangan spasme otot

atau iskemia dan memfasilitasi penyembuhan

jaringan.pemanasan meningkatkan thermoreceptor pada kulit

yang dapat memberikan efek menghambat saluran langsung

pada transmisi sensasi rasa sakit di tingkat segmen tulang

belakang. stimulasi panas juga dapat mengakibatkan vasodilatasi

sehingga aliran darah meningkat yang menyebabkan nyeri

berkurang akibat iskemia. iskemia juga akan menurun sebagai

akibat dari pengurangan spasme pada otot yang tertekan

19
pembuluh darahnya. Vaso dilatasi yang dihasilkan oleh panas

juga dapat mempercepat pemulihan ambang nyeri lokal ke

tingkat normal dengan mempercepat penyembuhan jaringan.Ada

beberapa pendapat tentang mekanisme pengurangan nyeri ini

yaitu:

1) Apabila diberikan mild heating, maka pengurangan rasa nyeri

disebabkan oleh adanya efek sedatif pada superficial sensory

nerve ending (ujung-ujung saraf sensorik superficial)

2) Apabila diberikan stronger heating, maka akan terjadi counter

irritation yang akan menimbulkan pengurangan rasa nyeri.

3) Rasa nyeri ditimbulkan oleh karena adanya akumulasi sisa-

sisa hasil metabolisme yang disebut zat “p” yang menumpuk

di jaringan. dengan adanya sinar infra merah yang

memperlancar sirkulasi darah, maka zat “p” juga akan ikut

terbuang sehingga rasa nyeri berkurang/menghilang.

4) Rasa nyeri bisa juga ditimbulkan oleh karena adanya

pembengkakan, sehingga pemberian sinar infra merah yang

dapat mengurangi pembengkakan juga akan mengurangi

nyeri yang ada.

b. Rileksasi otot (relaksasi otot)

Rileksasi akan mudah dicapai bila jaringan otot tersebut

dalam keadaan hangat dan rasa nyeri tidak ada. radiasi sinar

infra merah disamping dapat mengurangi rasa nyeri, dapat juga

20
menaikkan suhu/temperatur jaringan, sehingga dengan demikian

dapat menghilangkan spasme otot dan membuat otot rileksasi.

c. Meningkatkan suplai darah (increased blood supply)

Kenaikan temperatur akibat pemanasan sinar infra merah

akan menimbulkan vasodilatasi yang akan menyebabkan

terjadinya peningkatan darah ke jaringan setempat. hal ini

terutama terjadi pada jaringan superficial dan efek ini sangat

bermanfaat untuk penyembuhan luka dan mengatasi infeksi di

jaringan super fisial. Dengan demikian, maka sinar infra

merahini sangat membantu meningkatkan suplai darah ke

jaringan-jaringan yang diobati.

d. Menghilangkan sisa-sisa metabolisme (elimination of waste

products) penyinaran terutama secara luas akan mengaktifkan

glandula gudoifera (kelenjar keringat) di badan, sehingga

dengan demikian akan meningkatkan pembuangan sisa-sisa

hasil metabolisme melalui keringat. pengaruh ini sangat

bermanfaat untuk kondisi-kondisi arthritis, terutama yang

mengenai banyak sendi.

3. Indikasi dan kontraindikasi

1) Indikasi:

a. Akondisi peradangan setelah sub-acute seperti kontusio,

muscle strain, muscle sprain dan trauma sinovitis.

21
b. Arthritis seperti rhematoid arthritis, osteoarthritis, myalgia,

lumbago, neuralgia dan neuritis.

c. Gangguan sirkulasi darah seperti thrombo-angitis obliterans,

thromboplebitis dan renauld’s disease.

d. Penyakit kulit seperti folliculitis, furoncolosi, wound dan

psoriasis.

e. Persiapan untuk dilakukan latihan dan massage

2) Kontraindikasi

a. Potensi atau perdarahan baru

Panas menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan aliran

darah. Vasodilatasi menyebabkan pembukaan kembali pada

lesi vaskuler sehingga peningkatan aliran darah pada daerah

yang mengalami perdarahan akan memperburuk

penyembuhan jaringan yang cidera.

b. Thromboplebitis

Tingkat vasodilatasi dan peningkatan sirkulasi yang

disebabkan oleh peningkatan suhu jaringan dapat

menyebabkan thrombus atau gumpalan darah menjadi

copot/lepas dari daerah yang sedang diobati dan dipindahkan

ke bagian organ vital, sehingga dapat mengakibatkan

morbiditas atau bahkan kematian.

22
c. Gangguan sensasi

Gangguan sensasi pada pasien sebaiknya tidak dapat

diterapkan karena terapi panas seperti infra merah radiasi

indikator panasnya bergantung pada informasi yang

dirasakan oleh pasien gangguan sensasi pada pasien

menyebabkan tidak dapat diperolehnya informasi panas yang

dirasakan oleh pasien sehingga dapat menimbulkan

kebakaran pada kulit pasien.

d. Kanker

Penyinaran infra merah dapat meningkatkan laju

pertumbuhan atau tingkat metastasis dari jaringan ganas,

yaitu dengan meningkatnya sirkulasi ke daerah tersebutatau

dengan meningkatkan tingkat metabolism.

e. Radiasi IR pada mata

Radiasi ir pada mata harus dihindari karena pengobatan

tersebut dapat menyebabkan kerusakan optik. untuk

menghindari iradiasi mata, kacamata buram ir harus dipakai

oleh pasien selama perawatan menggunakan lampu ir dan

oleh terapis saat dekat lampu, seperti yang terjadi ketika

mengatur pengobatan.

3) Metode aplikasi

Pada dasarnya metode pemasangan lampu diatur

sedemikian rupa sehingga sinar yang berasal dari lampu jatuh tegak

23
lurus terhadap jaringan yang diobati, baik itu untuk lampu

luminous maupun non-luminous. jarak penyinaran untuk lampu

non-luminous antara 45 – 60 cm, sedangkan untuk lampu luminous

antara 35 – 45 cm. jarak ini bukanlah jarak yang mutlak, karena

masih dipengaruhi oleh toleransi pasien atau besarnya watt lampu.

4) Penentuan dosis

Penentuan dosis penyinaran sinar infra merah sangat

dipengaruhi oleh toleransi pasien, besarnya watt lampu yang

digunakan, waktu dan jarak penyinaran serta jenis generator lampu

infra merah yang digunakan.pada penggunaan lampu non-luminous

jarak lampu antara 45 – 60 cm yang diusahakan sinar tegak lurus

dengan daerah yang diobati dengan waktu penyinaran antara 15 –

30 menit.sedangkan untuk lampu luminous jarak lampu 35 – 45 cm

dengan waktu penyinaran 15 – 30 menit. umumnya penyinaran

dilakukan selama 15 menit untuk kondisi subakut dan sampai 30

menit untuk kondisi kronik.

b. Terapi latihan

Terapi latihan adalah salah satu modalitas fisioterapi

menggunakan gerak tubuh baik secara active maupun passive untuk

pemeliharaan dan perbaikan kekuatan, ketahanan dan kemampuan

kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas, rileksasi,

koordinasi, keseimbangan dan kemampuan fungsional.

1. Teknik Terapi latihan

24
a. Assistive active exercise yaitu gerakan yang terjadi oleh karena

adanya kerja dari otot yang bersangkutan, melawan pengaruh

gravitasi dan dalam melakukan kerja dibantu oleh kekuatan dari

luar.

Caranya: pasien dianjurkan untuk duduk dengan kaki

tergantung kemudian terapis gerakan kaki kearah dorso fleksi

kemudian pasien di arahkan untuk mempertahankan posisi

tersebut secara aktif.

b. Theraband exercise Theraband therapy merupakan salah satu

bentuk terapi latihan berupa karet (strip elastis) yang berfungsi

untuk pemulihan cedera dan membantu memperkuat fungsi

kerja otot (Philip ).

Caranya : therband tersebut di ikatkan kepada pasien pada

bagian kaki yang akan membatu kontaksi otot tibialis anterior

c. Mirror exercise adalah bentuk rehabilitasi atau latihan yang

mengandalkan dan melatih pembayangan atau imajinasi motorik

pasien, dimana cermin akan memberikan stimulasi visual

kepada otak melalui observasi dari pergerakan tubuh yang akan

ditiru seperti cermin oleh bagian tubuh yang mengalami

gangguan (Agusman & Kusgiarti, 2017)

Caranya:

1) Berdiri di depan cermin dengan jarak antar cermin sekitar 3

Meter

25
2) Initial Contact/Heel Strike (HO):

Sesaat kaki mengenai landasan, angkle berada dalam posisi

normal, dan lutut dalam keadaan tertutup atau kaki lurus.Heal

Strike (calcaneous) merupakan tulang pertama yang

menyentuh landasan,

3) Loading Response (Foot Flat)

Melakukan kontak sepenuhnya dengan landasan dan dalam

.....keadaan rata (foot flat/FF) dengan landasan

4) Midstance

Dimulai pada saat heel sesaat sebelum meninggalkan

landasan sehingga kaki berada sejajar dengan kaki bawah

bagian depan.

5) Terminal Stance (Heel Off)

Fase terminal stance pada saat heel kaki kanan meninggi

(mulai meniggalkan landasan) dan dilanjutkan sampai dengan

heel dari mulai mengenai landasan.

6) Pre-Swing (Toe-Off)

Fase pre-swing dimulai dengan fase initial contact (heel

strike) oleh kaki kiri , dan kaki kanan berada posisi

meninggalkan landasan untuk melakukan periode mengayun

(toe-off)

26
7) Initial Swing (Acceleration)

Fase initial swing dimulai pada saat telapak kaki kanan mulai

diangkat dari posisi landasan

8) Mid-Swin

Fase mid-swing yang dimulai pada akhir initial swing dan

dilanjutkan sampai kaki kanan mengayun maju berada di

depan anggota badan sebelum mengenai landasan.

9) Terminal Swing (Decceleration)

Fase terminal swing merupakan akhir dari gait cycle, terjadi

pada periode waktu siklus dimana tungkai kaki mengalami

perpanjangan maksimum dan berhenti pada saat heel telapak

kaki kanan mulai mengenai landasan. Pada periode ini, posisi

kaki kanan berada kembali berada depan anggota badan,

seperti pada posisi awal gait cycle

2. Manfaat Terapi latihan

Terapi latihan ini bertujuan untuk pemeliharaan dan

perbaikan kekuatan otot, ketahanan dan kemampuan

kardiovaskuler, mobilitas dan fleksibilitas, stabilitas,

koordinasi, keseimbangandan meningkatkan status fungsional

pada sensorik motorik.

3. Prosedur pelaksanaan Terapi Latihan

a. Persiapan Pasien

1. Posisikan pasien senyaman dan serileks mungkin.

27
2. Periksa yang akan di berikan latihan.

3. Lepaskan semua asesoris yang di gunakan pasien untuk

menjaga keamanan pasien.

b. Pelaksanaan terapi

Terapis membemberikan penjelasan mengenai cara kerja, dan

menjelaskan apa apayang harus dilakukanterapi terhadap

pasien.

c. Edukasi

Pasien di sarankan untuk selalu menggunakan kaos kaki dan

tidak menggantungkan kaki.

E. Tinjauan Alat Ukur

1. Manual Muscle Testing (MMT)

Manual muscle testing adalah salah satu teknik untuk menentukan

atau mengetahui kemampuan seseorang dalam mengontraksikan otot atau

grop otot secara volunter (Leroy lowman,1972).

Tabel 2.1 pemeriksaan Manual muscle testing

Grade Grade Definisi


(angka) (word)
0 zero Tidak ada kontraksi (penglihatan dan palpasi)
1 Trace Sedikit kontraksi, tidak ada gerakan
-2 Poor minus Gerakan parsial ROM, posisi eliminasi gravitasi
2 Poor Gerakan full ROM, posisi elimininasi gravitasi
Gerakan full ROM, posisi elimininasi gravitasi
+2 Poor plus
dengan kekuatan ½
Gerakan full ROM, posisi melawan gravitasi dengan
-3 Fair minus
kekuatan lebih ½

28
3 Fair Gerakan full ROM, posisi melawan gravitasi
Gerakan full ROM, posisi melawan gravitasi dengan
+3 Fair plus
resisten minimum
Gerakan full ROM, posisi melawan gravitasi dengan
4 Good
resisten moderat
Gerakan full ROM, posisi melawan gravitasi dengan
5 Normal
resisten maksimum
(Sumber : Leroy lowman,1972)

2. Instrumented Gait Analysis (IGA).

Kegunaan analisis gaya berjalan dalan pengamatan dibatasi oleh

ketidakmampuannya untuk sepenuhnya mengukur kinerja gaya berjalan.

Pengambilan keputusan klinis dapat ditingkatkan dengan informasi tambahan

yang tidak dapat disediakan oleh analisis gaya berjalan, seperti gaya berjalan

kinetik dan kinetika. Dalam hal itu di buatlah Instrumented Gait Analysis.

Komponen Komponen dalan berjalan

a) Initial Contact/Heel Strike (IC):

Sesaat kaki mengenai landasan, angkle berada dalam posisi normal,

dan lutut dalam keadaan tertutup atau kaki lurus. Heal Strike

(calcaneous) merupakan tulang pertama yang menyentuh landasan,

b) Loading Response (LR)

Melakukan kontak sepenuhnya dengan landasan dan dalam

keadaan rata (foot flat/FF) dengan landasan

c) Midstance (MST)

Dimulai pada saat heel sesaat sebelum meninggalkan landasan

sehingga kaki berada sejajar dengan kaki bawah bagian depan.

29
d) Terminal Stance (TSt)

Fase terminal stance pada saat heel kaki kanan meninggi (mulai

meniggalkan landasan) dan dilanjutkan sampai dengan heel dari kaki

kiri mulai mengenai landasan.

e) Pre-Swing (PSw)

Fase pre-swing dimulai dengan fase initial contact (heel strike) oleh

kaki kiri dan kaki kanan berada posisi meninggalkan landasan untuk

melakukan periode mengayun (toe-off).

f) Initial Swing (ISw)

Fase initial swing dimulai pada saat telapak kaki kanan (merah)

mulai diangkat dari posisi landasan.

g) Mid-Swin(MSw)

Fase mid-swing yang dimulai pada akhir initial swing dan

dilanjutkan sampai kaki merah mengayun maju berada di depan

anggota badan sebelum mengenai landasan.

h) Terminal Swing (TSw)

Fase terminal swing merupakan akhir dari gait cycle, terjadi pada

periode waktu siklus dimana tungkai kaki mengalami perpanjangan

maksimum dan berhenti pada saat heel telapak.

Otot-otot yang lebih dominan yang bekerja pada setiap fase.

a. Hip

- Stance phase
Initial Contact/Heel Strike (HO) : Quadriseps

30
Loading Response (Foot Flat) : Quadriseps
Midstance : Quadriseps , gluteus maximus dan the gluteus medius
Terminal Stance (Heel Off) : Tensor fascia latae
- Swing phase
Pre-Swing (Toe-Off) : Adductor Longus, dan Rectus Femoris
Initial Swing (Acceleration) : Iliacus, sartorius, dan gracilis
Mid-Swing : Hamstring
Terminal Swing (Decceleration) : Hamstring dan quadriceps
b. Knee
- Stance phase
Initial Contact/Heel Strike (HO) : Quadriseps
Loading Response (Foot Flat) : Hamstring
Midstance : Quadriceps
Terminal Stance (Heel Off) : Quadriceps
- Swing phase
Pre-Swing (Toe-Off) : Garcilis dan Sartorius
Initial Swing (Acceleration) : Garcilis dan Sartorius
Mid-Swing : Hamstring
Terminal Swing (Decceleration) : Hamstring
c. Ankle and foot
- Stance phase
Initial Contact/Heel Strike (HO) : Tibialis Anterior
Loading Response (Foot Flat) : Hamstring
Midstance : Fleksor digitorum longus, dan Hallucis Longus
Terminal Stance (Heel Off) : Gastrocnemius, dan Digitorum Longus
- Swing phase
Pre-Swing (Toe-Off) : Fleksor digitorum longus, dan Hallucis
Longus
Initial Swing (Acceleration) : Tibialis Anteior
Mid-Swing : Tibialis Anterior
Terminal Swing (Decceleration) : Gastrocnemius

31
Tabel 2.2 Pemeriksaan Gait Analysis

Kemajuan anggota
Rujukan Anggota Tubuh Berat badan bertambah Dukungan satu kaki
gerakan ayun

Stabilitas Fwd progresivitas Stabilitas Jarak Bebas Kaki


Kiri Kanan
penyerapan shock pengembangan Fwd Kemajuan Anggota Gerak

Diagnosis : IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw

ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o

Kontak kaki depan

Kontak telapak kaki


Ankle
Kelebihan dorso fleksi

Kelebihan plantar fleksi

Tanpa tumit

Menyeret

= buruk

= Kurang baik

= baik

32
F. KERANGKA PIKIR PENELITI

Post Stroke NHS

Drop Foot

Pemeriksaan FT

1. Anamnesis
2. Pemeriksaan fisik
3. Pemeriksaa spesifik
4. Gait Analysis

Problematik FT
1. Anatomical impairment
kelemahan otot pada Intervensi FT
(M.Tibialis anterior)
2. Fungsional limitation 1. IR
Gangguan ADL (berdiri 2. Terapi
terlalu lam) latihan
3. Hambatan berpartisipasi
kesulitan untuk berjalan
jauh

Perubahan Pola
berjalan

33
BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian Intervensi dengan pendekatan

studi kasus yaitu penelitian yang mendalam pada satu jenis kasus dan dua

sampel dengan memberikan perlakuan yang sama pada kedua sampel selama

penelitian, kemudian hasil dianalisa secara mendalam.

B. Tempat dan Waktu Penelitian

Adapun penelitian ini dilaksanakan di Rumah Sakit RS Stella Maris

pada bulan Juni 2018 sampai bulan Juli 2018.

C. Prosedur Pengambilan Data

1. Data Primer

a. Pemeriksaan Fisik

Data diperoleh dari prosedur pemeriksaan dan pengukuran

langsung terhadap pasien yang dijadikan sampel. Adapun pemeriksaan

fisik tersebut terdiri dari :Vital sign, inspeksi dan palpasi. Kemudian

dari hasil pemeriksaan diberikan perlakuan berupa terapi lalu melihat

perubahan dengan cara membandingkan sebelum dan sesudah terapi.

34
b. Interview

Adapun metodenya dalam mengumpulkan data dengan cara tanya

jawab secara langsung kepada pasien yang dijadikan sampel atau

autoanamnesis.

c. Evaluasi

Hal ini dilakukan untuk mengetahui perkembangan dari pasien

pada saat sebelum dan sesudah terapi.

2. Data Sekunder

a. Studi Pustaka

Adapun mengenai referensi yang didapatkan dalam proses

penelitian berasal dari berbagai sumber, diantaranya adalah buku-buku,

dan berbagai jurnal yang mengindikasi kasus Drof foot.

b. Studi Dokumentasi

Dalam studi dokumentasi ini, peneliti mengamati secara langsung

dan mempelajari data-data medis dan fisioterapi dari awal sampai akhir.

D. InstrumenPenelitian

1. Gait Analysisdigunakan untuk mengukur pola berjalan

2. IR, digunakan untuk merileksasikan otot dan melancarkan sirkulasi darah.

35
E. Alur Penelitian

Usul penentuan dan


Pemilihan judul

Observasi Penelitian

Seminar Proposal

Pengurusan Surat Izin Dilakukan pemeriksaan dan


Penelitian pengukuran fisioterapi sebelum
perlakuan

Penatalaksanaan/Intervensi FT

Dilakukan pemeriksaan dan


Pengukuran fisioterapi setelah
perlakuan

Evaluasi Hasil Terapi

Analisis Pengolahan Data

36
BAB IV

DESKRIPSI KASUS HASIL PENELITIAN

A. Proses pemecahan masalah Fisioterapi

1. Anamnesis

Anamnesis adalah suatu tehnik pemeriksaan paling awal dalam

pelayanan Kesehatan yang dilakukan lewat percakapan atau wawancara

antara tenaga kesehatan lainnya dengan pasien baik secara langsung atau

melalui orang lain yang paling mengetahui tentang kondisi kesehatan

pasien. Anamnesa bertujuan untuk mendapatkan data kesehatan dan

permasalahan medis pasien, sehingga dapat menentukan perkiraan

diagnosa/masalahan medis apa yang dihadapi pasien.

Tabel 4.1. Distribusi hasil pengkajian anamnesis

Pasien
Pemeriksaan
A B
a. Anamnesis umum
1) Nama Tn. H Tn. L
2) Umur 59 Tahun 54 Tahun
3) Jenis Kelamin Laki laki Laki laki
4) Agama Budha Kristen
5) Pekerjaan Wirausaha Wirausaha
6) Alamat Jl. Peteran Jl. Sunu
b. Anamnesis Khusus
1) Keluhan utama Kelemahan separuh Kelemahan separuh
badan badan
2) Lokasi Pada sisi tubuh Pada sisi tubuh sebelah
Keluhan sebelah Kanan Kanan
3) Kapan terjadi ± 2 bulan yang lalu ± 1 tahun yang lalu
4) Riwayat Awal mulanya ketika Awal mulanya ketika
perjalanan pasien sedang pasien sedang
penyakit beraktifitas tiba tiba beristirahat sehabis
kepala terasa sakit pulang dari kerja tiba

37
dan penglihatan tiba kepala terasa sakit
memburam sampai dan keseimbangan
tak sadarkan diri terganggu sampai tak
sadarkan diri

(Sumber : Data Primer 2019)

2. Pemeriksaan Fisik

1) Vital Sign

Vital sign merupakan peeriksaan yang biasa dilakukan pada tahap

awal untuk mengetahui keadaan Umum penderita agar dapat melihat

kondisi sebelum melanjutkan tindakan. Adapun pemeriksaan vital

sign yang dilakukan, meliputi : Pemeriksaan tekanan darah, suhu

tubuh, denyut nadi dan pernapasan. Pemeriksaan vital sign ini

dilakukan di mana penderita dalam posisi tidur terlentang, dengan

hasil sebagai berikut.

Tabel 4.2. Distributor hasil pemeriksaan vital sign

Pasien A Pasien B
Vital sign
Pre Tes Post Tes Pre Tes Post Tes
Tekanan Darah
140/90 160/90 130/90 150/90
(mmHg)
Denyut Nadi
80 x 86x 80 x 87x
(menit)
Pernafasan
19 x 24x 18 x 27x
(menit)
Suhu (oC) 36 36.3 36 36.7
(Sumber : Data primer 2019)

38
2) Inspeksi

Inspeksi merupakan pemeriksaan dengan cara meihat atau

mengamatan secara seksama mengenai fisik penderita.

Tabel 4.3. Distribusi pemeriksaan inspeksi statis dan dinamis

Pemeriksaan Pasien
Inspeksi A B

Statis Kaki kelebihan Kaki kelebihan


plantar fleksi saat plantar fleksi saat
duduk dan baring duduk dan baring

Dinamis Kaki terseret saat Fleksi pinggul saat


berjalan berjalan dan kaki
terseret
(Sumber : Data primer 2019)

3) Palpasi

a) Pemeriksaan tonus otot

Tonus otot adalah kontraksi otot yang terjadi dan selalu di

pertahankan keberadaannya oleh otot itu sendiri. yaitu

dengan cara Pemeriksa menggunakan kedua tangannya.

secara pasif.

Tabel 4.4. pemeriksaan tonus otot

Pemeriksaan tonus otot Pasien A Pasien B


Gastrocnemius 1 1
tibialis anterior 1 1
(Sumber : Data primer 2019)

39
4) Pemeriksaan fungsi dasar

Pemeriksaaan fungsi gerak adalah suatu cara pemeriksaan

dengan melakukan yang terdiri dari pemeriksaan gerak aktif, pasif,

dan isometrik melawan tahanan.

a) Hasil pemeriksaan fungsi dasar Pasien A

Tabel 4.5. pemeriksaan fungsi dasar

Nama gerakan Akif Pasif TIMT


Dorso fleksi Tidak mampu, ROM full, tidak Lemah ,
ROM terbatas nyeri dan Firm kurang baik
dan tidak nyeri
Plantar fleksi Mampu, ROM ROM full, tidak Lemah,saraf
full dan tidak nyeri dan hard lumayan baik
nyeri
Inversi Tidak mampu, ROM full, tidak Lemah ,
ROM terbatas nyeri dan hard kurang baik
dan tidak nyeri
Eversi Tidak mampu, ROM full, tidak Lemah ,
ROM terbatas nyeri dan Firm kurang baik
dan tidak nyeri
(Sumber : Data primer 2019)

b) Hasil pemeriksaan fungsi dasar Pasien B

Tabel 4.6. pemeriksaan fungsi dasar

Nama gerakan Akif Pasif TIMT


Tidak mampu, ROM full, tidak Lemah ,
Dorso fleksi ROM terbatas nyeri dan Firm kurang baik
dan tidak nyeri
Mampu, ROM ROM full, tidak Lemah,saraf
Plantar fleksi full dan tidak nyeri dan hard lumayan baik
nyeri
Tidak mampu, ROM full, tidak Lemah ,
Inversi ROM terbatas nyeri dan hard kurang baik
dan tidak nyeri
Tidak mampu, ROM full, tidak Lemah ,
Eversi ROM terbatas nyeri dan Firm kurang baik
dan tidak nyeri

40
(Sumber : Data primer 2019)

5) Pemeriksaan spesifik

a) MMT (Manual Muscle Testing)

Kekuatan otot adalah kemampuan otot untuk menghasilkan

tegangan dan tenaga selama usaha maksimal baik secara

dinamis maupum statis (Wiyanto, 2012). Pemeriksaan otot

menggunakan Manual Muscle Testing (MMT). Manual Muscle

Testing (MMT) adalah pemeriksaan standar yang harus

dilakukan pada gangguan musculusoskeletal dan salah satu

bentuk pemeriksaan otot yang paling sering digunakan.

Tabel 4.7 pengukuran kekuatan otot

Regio enkle pada sisi


Nilai
tubuh bagian kanan
Pasien A
Dorso fleksi 2
Plantar fleksi -3
Regio enkle pada sisi
nilai
tubuh bagian kanan
Pasien B
Dorso fleksi -2
Plantar fleksi 3
(Sumber : Data primer 2019)

Tabel 4.8. nilai kekuatan otot

Grade Grade Definisi


(angka) (word)
0 zero Tidak ada kontraksi (penglihatan dan palpasi)
1 Trace Sedikit kontraksi, tidak ada gerakan
-2 Poor minus Gerakan parsial ROM, posisi eliminasi gravitasi
2 Poor Gerakan full ROM, posisi elimininasi gravitasi
Gerakan full ROM, posisi elimininasi gravitasi
+2 Poor plus
dengan kekuatan ½

41
Gerakan full ROM, posisi melawan gravitasi dengan
-3 Fair minus
kekuatan lebih ½
3 Fair Gerakan full ROM, posisi melawan gravitasi
Gerakan full ROM, posisi melawan gravitasi dengan
+3 Fair plus
resisten minimum
Gerakan full ROM, posisi melawan gravitasi dengan
4 Good
resisten moderat
Gerakan full ROM, posisi melawan gravitasi dengan
5 Normal
resisten maksimum
B. (Sumber : Leroy lowman,1972)

6) Pemeriksaan Gait analysis


Gait analysis adalah serangkaian gerakan siklus yang sangat

terkoordinasi. Metode yang paling dasar untuk membagi siklus

gaya berjalan yaitu terbagi menjadi dua bagian, fase kuda-kuda

dan fase ayunan.

Tabel 4.9 pemeriksaan Gait analysis

Rujukan Anggota
Berat badan Dukungan Kemajuan anggota
Tubuh
bertambah satu kaki gerakan ayun
Stabilitas
Fwd Stabilitas
Jarak Bebas Kaki
Kiri Kanan progresivitas pengemban
Kemajuan Anggota Gerak
penyerapan gan Fwd
shock
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien A
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret
Diagnosis : IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw

42
Pasien B
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret
(Sumber : Data primer 2019)

Ket :

IC Initial Contact Buruk


LR Loading Response Cukup
MST Midstance Normal
TSt Terminal Stance
PSw Pre-Swing
ISw Initial Swing
MSw Mid-Swin
TSw Terminal Swing

3. Diagnosa Fisioterapi

Berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan yang dilakukan

diagnose Fisioterapi “ Gangguan fungsional berjalan akibat Drop Foot

Hemiparese Post Stroke Non Hemoragik “.

43
4. Prolematik Fisioterapi

Tabel 4.10 Distribusi Problematic Fisioterapi

Pasien A Pasien B
a. Impairment d. Impairment
Adanya penurunan kekuatan Adanya penurunan kekuatan
otot tungkai bawah otot tungkai bawah dan
b. Fungsional limitation e. Fungsional limitation
Adanya gangguan pola berjalan Adanya gangguan pola berjalan
c. Participation restriction f. Participation restriction
Pasien mengalami gangguan Pasien mengalami gangguan
dalam melakukan aktivitasnya dalam melakukan aktivitasnya
sebagai seorang Wirausaha sebagai seorang Wirausaha

(Sumber : Data primer 2019 )

5. Program Rencana Tindakan Fisioterapi

a) Jangka pendek

Meningkatkan kekuatan otot

b) Melanjutkan tujuan jangka pendek dan meningkatkan kemampuan

fungsional berjalan pasien.

6. Intervensi Fisioterapi

a) Infra Red (IRR)

Infra Red (IRR) adalah upaya pengobatan modalitas superficial

dengan radiasi elektromagnetik dalam rentang frekuensi yang dapat

menimbulkan panas ketika diserap oleh suatu objek. radiasi ir

memiliki panjang gelombang 770 nm sampai 106 nm (Andy M.A.

Hariandja & Hendrik,2011).

44
1) Persiapan alat

Perlu dipersiapkan alat serta pemeriksaan alat antara lain

meliputi kabelnya, jenis lampu dan besarnya watt. pada

umumnya generator non-luminous diperlukan waktu

pemanasan 5 – 10 menit.

2) Persiapan pasien

Posisi pasien diatur seenak (confortable) mungkin

disesuaikan dengan posisi terlentang. daerah yang diobati

bebas dari pakaian dan perhiasan serta perlu dilakukan tes

sensibilitas temperatur terhadap daerah yang akan disinari.

3) Prosedur pelaksanaan

Jarak antara Lampu IR dengan pasien kisaran 15-30 cm.

dengan waktu 18 menit dan intensitas di atur berdasarkan

toleransi pasien dengan merubah jarak sewaktu waktu

b) Assistive active exercise

Assistive active exercise yaitu gerakan yang terjadi oleh karena

adanya kerja dari otot yang bersangkutan, melawan pengaruh gravitasi

dan dalam melakukan kerja dibantu oleh kekuatan dari luar.

1) Persiapan pasien

Posisi pasien diatur seenak (confortable) mungkin dengan posisi

duduk di ujung bed

2) Prosedur Pelaksanaan

45
Langkah awal adalah terapis menggerakan pasien kaki ke arah

dorso fleksi kemudian pasien di arahkan untuk mempertahan posisi

tersebut secara Aktif. Latihan ini dilakukan sebanyak 10 x dalam

hitungan 8 dan sewaktu waktu dilakukan istirahat kekita pasien

merasa lelah

c) Theraband exercise

Theraband therapy merupakan salah satu bentuk terapi latihan

berupa karet (strip elastis) yang berfungsi untuk pemulihan cedera dan

membantu memperkuat fungsi kerja otot (Philip).

1) Persiapan pasien

Posisi pasien diatur seenak (confortable) mungkin dengan posisi

duduk di ujung bed

2) Prosedur pelaksanaan

Theraband dengan ketebalan 0,35mm di lilit pada areah

metatarsal dan phalanges pada enkle pasien kemudian di rentang

sekitar 25% dari elastisitas Therabend tersebut dan ikat dari arah

posterior ke anterior pada knee joint. Hal ini akan menunjang

prosedur pelaksanaan saat melakukan pola berjalan

d) Mirror exercise

Mirror exercise adalah bentuk rehabilitasi atau latihan yang

mengandalkan dan melatih pembayangan atau imajinasi motorik

pasien, dimana cermin akan memberikan stimulasi visual kepada otak

melalui observasi dari pergerakan tubuh yang akan ditiru seperti

46
cermin oleh bagian tubuh yang mengalami gangguan (Agusman &

Kusgiarti, 2017)

1) Persiapan pasien

Pasien di anjurkan untuk mengatur nafas terlebih dahulu

kemudian pasien berdiri didepan cermin, kisaran 3 meter jarak

dari cermin

2) Prosedur pelaksanaan

a) Langkah awal adalah terapis memberikan contoh yang di sertai

keterangan saat berjalan di setiap fase.

b) pasien di ancurkan untuk melihat kaki yang di tergambar di

cermin.

c) Latihan ini dilakukan sebanyak 10x pengulangan dan sewaktu

waktu dilakukan istirahat kekita pasien merasa lelah.

e) Edukasi

1) Pasien dianjurkan untuk mengulangi latihan yang telah diberikan di

rumah.

2) Pasien dianjurkan untuk tidak menggantung kaki.

7. Hasil dan Evaluasi

Penelitinn ini dilakukan di RS Stella Maris Makassar dan dilakukan

intevensi fisioterapi sebanyak 6 kali dengan Menggunakan modalitas IR

dan terapi latihan, didapatkan perkembangan yang positif.perkembangan

tersebut dapat dilihat dari evaluasi pertama sampai keenam yang diperoleh

hasil berikut :

47
a. MMT

Tabel 4.11 Hasil evaluasi Manual muscle testing grading

Regio engkle pada


sisi tubuh bagian T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6
kanan
Dorso
2 2 2 2 2 +2 +2
Pasien fleksi
A Plantar
-3 -3 -3 -3 -3 -3 -3
fleksi
Dorso
-2 -2 -2 -2 -2 2 2
Pasien fleksi
B Plantar
3 3 3 3 3 3 3
fleksi

Dari data yang didapatkan terjadi peningkatan kekuatan otot pada pasien

A dan B.

b. Gait Analysis

Tabel 4.12 hasil evaluasi Tindakan Pertama Gait analysis

Rujukan Anggota
Berat badan Dukungan Kemajuan anggota
Tubuh
bertambah satu kaki gerakan ayun
Stabilitas
Fwd Stabilitas
Jarak Bebas Kaki
Kiri Kanan progresivitas pengemban
Kemajuan Anggota Gerak
penyerapan gan Fwd
shock
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien A
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
Ankle telapak kaki
Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi

48
Tanpa tumit
Menyeret
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien B
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret

Tabel 4.13 Hasil evaluasi Tindakan kedua Gait analysis

Rujukan Anggota
Berat badan Dukungan Kemajuan anggota
Tubuh
bertambah satu kaki gerakan ayun
Stabilitas
Fwd Stabilitas
Jarak Bebas Kaki
Kiri Kanan progresivitas pengemban
Kemajuan Anggota Gerak
penyerapan gan Fwd
shock
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien A
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien B
Ankle ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o

49
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret

Tabel 4.14 hasil evaluasi Tindakan ketiga Gait analysis

Rujukan Anggota
Berat badan Dukungan Kemajuan anggota
Tubuh
bertambah satu kaki gerakan ayun
Stabilitas
Fwd Stabilitas
Jarak Bebas Kaki
Kiri Kanan progresivitas pengemban
Kemajuan Anggota Gerak
penyerapan gan Fwd
shock
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien A
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien B
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Ankle Kontak
telapak kaki
Kelebihan
dorso fleksi

50
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret

Tabel 4.15 hasil evaluasi Tindakan keempat Gait analysis

Rujukan Anggota
Berat badan Dukungan Kemajuan anggota
Tubuh
bertambah satu kaki gerakan ayun
Stabilitas
Fwd Stabilitas
Jarak Bebas Kaki
Kiri Kanan progresivitas pengemban
Kemajuan Anggota Gerak
penyerapan gan Fwd
shock
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien A
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien B
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret

51
Tabel 4.16 hasil evaluasi Tindakan kelima Gait analysis

Rujukan Anggota
Berat badan Dukungan Kemajuan anggota
Tubuh
bertambah satu kaki gerakan ayun
Stabilitas
Fwd Stabilitas
Jarak Bebas Kaki
Kiri Kanan progresivitas pengemban
Kemajuan Anggota Gerak
penyerapan gan Fwd
shock
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien A
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien B
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret

Tabel 4.17 hasil evaluasi Tindakan keenam Gait analysis

Rujukan Anggota
Berat badan Dukungan Kemajuan anggota
Tubuh
bertambah satu kaki gerakan ayun

Kiri Kanan Stabilitas Stabilitas Jarak Bebas Kaki

52
Fwd pengemban Kemajuan Anggota Gerak
progresivitas gan Fwd
penyerapan
shock
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien A
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret
Diagnosis :
IC LR MST TSt PSw ISw MSw TSw
Pasien B
ROM normal 0o 10o PF 5oDF 10oPF 10oPF 10oPF 0o 0o
Kontak kaki
depan
Kontak
telapak kaki
Ankle Kelebihan
dorso fleksi
Kelebihan
plantar fleksi
Tanpa tumit
Menyeret

Dari data yang didapatkan tidak terjadi Perubahan pola berjalan pada

pasien A dan B.

B. Pembahasan Kasus

Infra red dapat meningkatkan proses metabolisme dengan adanya

kenaikan temperatur, proses metabolisme menjadi lebih baik karena

menimbulkan vasodilatasi pembuluh darah,sehingga sirkulasi darah

53
meningkat, jadi pemberian nutrisi dan oksigen kepada jaringan akan

ditingkatkan, sehingga kadar sel darah putih dan antibodi didalam jaringan

tersebut akan meningkat. Dengan demikian pemeliharaan jaringan menjadi

lebih baik. Sehingga mempengaruhi jaringan otot karena kenaikan temperatur

selain membantu terjadinya rileksasi juga akan meningkatkan kemampuan

otot untuk berkontraksi (Sujatno, dkk, 2002)

Setelah dilakukan free active exercise telah terjadi peningkatan kekuatan

otot. Menurut (Kisner dan Colby 2007) jika suatu tahanan diberikan pada otot

yang berkontraksi maka otot tersebut akan beradaptasi dan menjadi lebih

kuat di karena dapat menstimulasi motor unit sehingga semakin banyak motor

unit yang terlibat. Akan tetapi bila tidak dilatih maka akan terjadi penurunan

kekuatan otot karena tidak pernah digunakan. pemberian mirror exercise juga

dapat meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional, hal ini

disebabkan karena gerakan-gerakannya dapat dilakukan secara aktif maupun

pasif, serta pasien akan lebih mudah dalam mengontrol dan mengoreksi

gerakan-gerakan yang dilakukan. Sehingga dengan adanya gerakan volunter

tersebut maka dapat meningkatkan kekuatan otot dan kemampuan fungsional

(Raj, 2006). Dan kombinasi theraband mengalami penurunan fungsi motorik

hanya mampu melawan gravitas (Rusdiyanto, 2010)

Sebuah gerakan fungsional merupakan sebuah rangkaian interaksi

dari kontrol motorik pada otak dan feedback dari somatosensoris, visual, dan

vestibular.( Haim, A. 2011) Theraband dapat memfasilitasi mechanoreceptor

untuk mengarahkan gerakan yang sesuai pada area yang dipasangkan ( Kase

54
K, Jim W, Tsuyoshi K. 2003) Theraband juga dapat meningkatkan

propioseptive feedback sehingga menghasilkan posisi tubuh yang benar. (Ewa

J and Carol L. 2006) Seperti yang diungkapkan (Kim,2012) bahwa

penambahan Theraband pada ankle joint memberikan hasil yang lebih efektif

dalam meningkatkan keseimbangan dan kemampuan berjalan pasien stroke.

Latihan aktivitas motorik harus dilakukan dalam bentuk aktivitas fungsional

karena tujuan dari rehabilitasi tidak hanya sekedar mengembalikan suatu

pergerakan, akan tetapi mengembalikan fungsi.( Irfan, Muhammad. 2010).

Dalam metode MRP, Motor Learning menjelaskan bagaimana pola-pola

motorik dapat dimodifikasi melalui pengamatan dan praktek secara berulang-

ulang Seperti yang diungkapkan oleh(Chan et al., 2002).Motor relearning

Programme efektif untuk meningkatkan kemampuan fungsional pasien

stroke. Dalam metode MRP, latihan yang diberikan merupakan keterampilan

transfer dan ambulasi yang akan memberikan pemahaman tentang gerak

manusia yang normal (kinematika dan kinetik) untuk memberikan suatu

stimulus berupa fasilitasi dan reedukasi terhadap pusat kontrol motorik serta

terhadap pusat memori dan kognitif. Jika pemberian latihan ini diberikan

secara berulang-ulang maka akan menjadikan pengalaman yang menetap dan

akhirnya akan menjadi sebuah pengalaman gerak yang otomatis

55
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai

berikut:

1. Pemeriksaan pada kasus gangguan fungsional berjalan akibat Drop foot

hemiparese post stroke NHS yaitu, anamnesis, vital sign, pemeriksaan fisik

meliputi aktif, pasif ,TIMT, Inspeksi statis dan dinamis, palpasi tonus dan

pemeriksaan Spesifik MMT , alat ukur gait analysis

2. Setelah melakukan pemeriksaan tersebut maka Diagnosa yag di dapatkan

ialah “gangguan fungsional berjalan akibat dropfoot Hemiparese Post

Strok NHS “

3. Problematik dari kedua pasien di dapatkan Adanya penurunan kekuatan

otot tungkai bawah yang ngakibatkan gangguan fungsinal pada saat

berjaan

4. Jenis intervensi pada gangguan fungsional berjalan akibat Drop foot

hemiparese post stroke NHS yaitu IR, free active exercise, kombinasi

Theraband dan mirror exercise dengan metode Motor relearning

Programmed.

5. Adapun hasil yang diperoleh terjadi perubahan kekuatan otot dan pola

berjalan tidak terjadi peningkatan

56
B. Saran

1. Untuk pasien diminta menghindari faktor yang memungkinkan

berulangnya serangan stroke, sehingga dapat mengakibatkan kondisi

yang lebih berat.

2. Pasien juga disarankan untuk melanjutkan program fisioterapi secara

teratur sesuai dengan program latihan.

3. Saran untuk keluarga diharap dapat mengerti dan menerima kondisi

pasien, dengan memberikan motivasi dan dukungan fasilitas lain agar

pasien selalu melakukan program latihan sesuai dengan yang

diprogramkan oleh terapis.

4. Sedangkan untuk Fisioterapi, dalam memberikan suatu pelayanan

hendaknya lebih teliti saat melakukan pemeriksaan, menegakkan diagnosa

dan memberikan modalitas yang akan diberikan. Serta harus meningkatkan

ilmu pengetahuannya, dan tidak berhenti untuk belajar.

57
DAFTAR PUSTAKA

Andy M.A. Hariandja & Hendrik.Sumber fisis sebagai modalitas fisioterapi.2011

Agusman M, F. & Kusgiarti, E. 2017. Pengaruh Mirror Therapy Terhadap


Kekuatan Otot Pasien Stroke Non Hemoragik Di RSUD Kota Semarang.
Oktaffrastya W. Septafani1, Shella Mangga Trusilawati2,
Sujatmiko3.Pengaruh Mirror Therapy Terhadap Pemenuhan Activity Daily
Living Pada Pasien Pasca Stroke.2019http://e-
journal.stikessatriabhakti.ac.id/index.php/JSSBN/article/view/17

Brooks, d.m.: nerve compression by simple ganglia. j. bone joint surg. 34b(3),
391–400 (1952). gareth york1 samit chakrabarty1.a survey on foot drop and
functional electrical stimulation.
2019https://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2fs41315-019-00088-
1.pdf

Broderick J, Sander C, Edward F, Daniel H, Carlos K, Derk K., et al. 2007.


Guidelines for the management of spontaneous intracerebral hemorrhage in
adults.J of American Heart Association. (1): 2005-17. Raisa Mahmudah.
LEFT HEMIPARESIS e.c HEMORRHAGIC STROKE.2014
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/412/413

Chan C.C.H, Lee T.M.C, Fong K.N.K, Lee C, Wong V. 2002. Cognitive Profile
For Chinese Patient With Stroke. Brain Injury; 16.

Chusid jg.correlative neuroanatomy. 20th ed. london: prentice hall, 1988: p. 104-
110. iskandar j. peroneal neuropathy.2002
http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi41.pdf

Cohen SN. 2000. The subacute stroke patient: preventing recurrent stroke. In
Cohen SN.Management of Ischemic Stroke. Mc Graw-Hill. Pp. 89-109.
Raisa Mahmudah. LEFT HEMIPARESIS e.c HEMORRHAGIC
STROKE.2014
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/412/413

Don R, Serrao M, Vinci P, Ranavolo A, Cacchio A, Ioppolo F, et al. Foot drop


and plantar flexion failure determine different gait strategies in Charcot-
Marie-Tooth patients. Clin Biomech (Bristol, Avon) 2007;22:905–16.
P.L.MeloabM.T.SilvaaJ.M.MartinsaD.J.Newmanb.. Technical Developments
of Functional Electrical Stimulation to Correct Drop Foot: Sensing,
Actuation and Control Strategies . 2015
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0268003314002757

58
Dawsn dm, hallett m, wilbourn aj.peroneal nerve entrapment.in: entrapment
neuropathies (3rd ed). philadelphia: lippincott raven 1999: 270-296. harold
olson, dc1, heather meeks, dc2, tiffanee mcarthur,dc2, courtney olson,
dpt1.drop foot: a case for enhanced patient outcomes when combining
chiropractic and physical therapy
interventions.2019https://journal.parker.edu/index.php/jcc/article/view/41

David warner .2002.alfan zubaidi, cica tri mandasari ningsih.penggunaan


posterior leaf spring ankle foot orthosis (pls-afo) terhadap perbaikan pola
jalan dan kecepatan jalan penderita drop foot akibat
stroke.2014.http://jurnal.poltekkes-solo.ac.id/index.php/int/article/view/105

Ewa J and Carol L. 2006. Kinesio Taping in Stroke: Improving Functional Use of
the Upper Extremity in Hemiplegia. Thomas Land publisher. Inc.

Esquenazi A, Talaty M. Gait Analysis : Technology and Clinical Applications. In


: Braddom RL (ed). Physical Medicine and Rehabilitation, fourth edition,
Elsevier Saunders publishing, Philadelphia; 2011: 99-116..N.Tunggadewi..
Panduan Pelayanan Klinis Rehabilitasi Medik. 2017
https://kupdf.net/download/panduan-pelayanan-klinis-rehabilitasi-medik
edit_59ab919fdc0d602e50568ee1_pdf

Fairbank Jeremy C. T.,MD< FRCS, and Paul B. Pynsent, PhD.2000. The


Oswestry Disability Index. SPINE> Volume 25, No 22,p 2940-2953

Haim, A. 2011. Plasticity of Gait Patterns Via Noninvasive Biomechanical


Stimulation. Israel Institute of Technology

Hanft JR, Hall DT, Kapila A. A Guide To Preventative Offloading Of Diabetic


Foot Ulcers. PodiatryToday 2011;24:60–7.
P.L.MeloabM.T.SilvaaJ.M.MartinsaD.J.Newmanb.. Technical Developments
of Functional Electrical Stimulation to Correct Drop Foot: Sensing,
Actuation and Control Strategies. 2015
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0268003314002757

Irfan al gifari.2017. Pengaruh terapi latihan menggunakan theraband Dan masase


frirage saat pemulihan cedera ankle Pada pemain bola basket di sma negeri
1 serang.philip page and todd s.Ellenbecker, 2003: 3
http://eprints.uny.ac.id/53634/1/SKRIPSI.pdf

Joseph B. Webster, Benjamin J. Darter. Principles of Normal and Pathologic


Gait.2019
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/B9780323483230000044

Johnson CA, Burridge JH, Strike PW, Wood DE, Swain ID. The effect of
combined use of botulinum toxin type A and functional electric stimulation in the

59
treatment of spastic drop foot after stroke: a preliminary investigation. Arch Phys
Med Rehabil 2004;85:902–9. P.L.MeloabM.T.SilvaaJ.M.MartinsaD.J.Newmanb..
Technical Developments of Functional Electrical Stimulation to Correct Drop
Foot: Sensing, Actuation and Control Strategies. 2015
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0268003314002757

Kase K, Jim W, Tsuyoshi K. 2003. Clinical Therapeutic Applications of The


Kinesio Taping Method. Ken Ikai Co. Ltd. Tokyo. Japan

K. Banga , P. Kalra, S. Dhole.2017. To Study the Effect of Ankle Foot Orthosis


during Walking of Foot Drop Patients.volume
4.https://pdfs.semanticscholar.org/8ef3/2433c9bf004309636d04ca91f7db5c
095b16.pdf

Katirji mb, wilbourn aj.common peronealmononeuropathy: a clinical and


electrophysiologic study of 116 lesions. neurology 1988; 38:1723-1728.
russel v. gilchrist, do*, sarjoo m. bhagia, md*, david a. lenrow, md#, larry h.
chou, md#, david chow, md♦ and curtis w. slipman, md##. painless foot
drop: an atypical etiology of a common
presentation.2002https://www.researchgate.net/profile/curtis_slipman/public
ation/6900818_painless_foot_dop_an_atypical_etiology_of_a_common_pre
sentation/links/54f48dac0cf2f28c1361dfa5.pdf

Kisner, C, and Colby, L, 2007; Theraupetic Exercise Foundation and Techniques


5 Th Edition. Philadelpia: F. A. Davis Company.

Kelompok studi serebrovaskuler & neurogeriatri perdossi.1999.konsensus


nasional pengelolaan stroke di indonesia, jakarta. .alfan zubaidi, cica tri
mandasari ningsih.penggunaan posterior leaf spring ankle foot orthosis (pls-
afo) terhadap perbaikan pola jalan dan kecepatan jalan penderita drop foot
akibatstroke.2014.http://jurnal.poltekkessolo.ac.id/index.php/int/article/view
/105

Kertmen, h., et al.: acute bilateral isolated foot drop: report of two cases. asian j
neurosurg 10(2), 123–125 (2015). gareth york1 · samit chakrabarty1.a
survey on foot drop and functional electrical stimulation.2019
https://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2fs41315-019-00088-1.pdf

Kuntono, HeruPurbo, 2012. FES pasca stroke.2012.Reza. Pengaruh


Neuromuscular Electrical Stimulation Terhadap Peningkatan Kekuatan
Otot Dorsalflexor Ankle Pada Penderita Stroke.2015
http://eprints.ums.ac.id/34034/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
Kowalski, R.E. (2010). Terapi hipertensi: Program delapan minggu mengurangi
tekanan darah dan mengurangi risiko serangan jantung dan stroke secara
alami. Bandung: Mizan Pustaka. Sukarmin Sukarmin, Elly Nurachmah,

60
Dewi Gayatri.Penurunkan Tekanan Darah Pada Pasien Hipertensi Melalui
Brisk Walking Exercise.2013
http://nursing.ui.ac.id/training/ojs/index.php/jki/article/view/17

Lemone P& Burke, K. 2004. Medical Surgical Nursing Critical Thingking in


Client Care. Third Edition. New Jersey : Pearson Education. Reza. Pengaruh
Neuromuscular Electrical Stimulation Terhadap Peningkatan Kekuatan
Otot Dorsalflexor Ankle Pada Penderita
STROKE.2015http://eprints.ums.ac.id/34034/1/NASKAH%20PUBLIKASI.
pdf
Mathews wb. clinical features of multiple sclerosisin clinical neurology. clin
neurol 1993; 2:1098. . russel v. gilchrist, do*, sarjoo m. bhagia, md*, david
a. lenrow, md#, larry h. chou, md#, david chow, md♦ and curtis w. slipman,
md##. painless foot drop: an atypical etiologyofacommonpresentation.2002
.https://www.researchgate.net/profile/curtis_slipman/publication/6900818_p
ainless_foot_drop_an_atypical_etiology_of_a_common_presentation/links/
54f48dac0cf2f28c1361dfa5.pdf

Margaret, Porembski A, 2000. Introduction to Clinical Examination. Churchill


Livingstone. Edinburgh. Reza. Pengaruh Neuromuscular Electrical
Stimulation Terhadap Peningkatan Kekuatan Otot Dorsalflexor Ankle Pada
Penderita
Stroke.2015http://eprints.ums.ac.id/34034/1/NASKAH%20PUBLIKASI.pdf
Mardjono, M. 2009. Mekanisme gangguan vascular susunan saraf dalam
Neurologi klinis dasar edisi kesebelas. Dian Rakyat. Raisa Mahmudah.
LEFT HEMIPARESIS e.c HEMORRHAGIC STROKE.2014
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/412/413

Nobel, w.: peroneal palsy due to hematoma in the common peroneal nerve sheath
after distal torsional fractures and inversion ankle sprains. j bone joint surg,
am vol 48(8), 1484–1495 (1966). http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubme
d/42891 39. (accessed: 21 october 2018) gareth york1 · samit chakrabarty1.a
survey on foot drop and functional electrical stimulation.2019
https://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2fs41315-019-00088-1.pdf

Parmet, S., Tiffany, J.G., Richard, M.G. 2004.Hemmorhagic stroke.J of American


Medical Association. 15(292):1916. Raisa Mahmudah. LEFT
HEMIPARESIS e.c HEMORRHAGIC STROKE.2014
http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula/article/view/412/413

Rusdiyanto, S. 2010. Stroke dan Rehabilitasi Pasca Stroke. Jakarta : Buana Ilmu
Populer
Raj GS. 2006. Physiotherapy in Neuro-conditions. Delhi: Jaype Brothers Medical
Published

61
Sujatno, Ig et al. 2002. Sumber Fisis. Surakarta: Politeknik Kesehatan Surakarta.
Jurusan Fisioterapi
Suh, j.s., et al.: peripheral (extracranial) nerve tumors: correlation of mr imaging
and histologic findings. radiology 183(2), 341–346 (1992). gareth york1 ·
samit chakrabarty1.a survey on foot drop and functional electrical
stimulation.2019 https://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2fs41315-
019-00088-1.pdf

Stewart jd. foot drop: where, why and what to do? pract neurol 2008;8:158-69.
harold olson, dc1, heather meeks, dc2, tiffanee mcarthur,dc2, courtney
olson, dpt1.drop foot: a case for enhanced patient outcomes when
combining chiropractic and physical therapy
interventions.2019https://journal.parker.edu/index.php/jcc/article/view/41

WHO. World Health Organization, The Atlas of Heart Disease and Stroke, Part
Three: Global Burden of Stroke. 2004.
P.L.MeloabM.T.SilvaaJ.M.MartinsaD.J.Newmanb. Technical Developments
of Functional Electrical Stimulation to Correct Drop Foot: Sensing,
Actuation and Control Strategies. 2015
https://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S0268003314002757

Woltman, h.w.: crossing the legs as a factor in the production of peroneal palsy. j
am med assoc 93(9), 670 (1929) gareth york1 · samit chakrabarty1.a survey
on foot drop and functional electrical stimulation.2019
ssshttps://link.springer.com/content/pdf/10.1007%2fs41315-019-00088-
1.pdf

62

Anda mungkin juga menyukai