Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Budaya ritual merupakan salah satu budaya yang dimiliki oleh

berbagai kelompok masyarakat yang tersebar di berbagai wilayah di

Indonesia. Ritual menjadi suatu kebiasaan yang berkaitan dengan praktik

keagamaan atau persembahan kepada leluhur. Situmorang menjelaskan

bahwa upacara ritual merupakan sebuah kegiatan yang dilakukan

sekelompok orang yang berhubungan terhadap keyakinan dan

kepercayaan spiritual dengan suatu tujuan tertentu (Situmorang, 2014:

175).

Ritual banyak dikaitkan dengan seni pertunjukan karena memiliki

unsur yang hampir sama. Misalnya pada seni pertunjukan teater. Sebagai

salah satu jenis petunjukan, teater memiliki ragam klasifikasi dimulai dari

tradisional dan modern. Teater tradisional sendiri biasanya hadir dari

ritual atau budaya masyarakat yang kemudian dituangkan dalam

adeegan-adegan dramatik. Jakob Sumardjo (1997: 15) berpendapat bahwa

Teater tradisional telah berkembang di Indonesia sebelum abad ke-17,

misalnya pada konfigurasi masyarakat agraris, kehidupan pertanian

menjadi estetik teaternya dan cenderung dikaitkan dengan sistem religi

masyarakat.

1
2

Seni teater yang bercorak modern ditengarai muncul dan

berkembang di kota-kota dagang dan pusat-pusat pemerintah pada

zaman Kolonial Belanda. Sumardjo (1997: 15) berpendapat bahwa teater

modern bersifat profan dan berorientasi untuk memenuhi kebutuhan

masyarakat Kota terhadap naluri estetiknya dan khususnya naluri

hiburan. Teater sebagai karya seni sangat tergantung pada situasi

masyarakat atau menunjukkan sebuah peristiwa pada masa itu. Teater

bahkan menduduki tempat yang paling khusus di antara seni murni

lainnya karena dianggap sebagai karya seni terdekat dengan kehidupan

manusia dan selalu muncul kembali dari masa ke masa (Yudiaryani, 2002:

27).

Di Sulawesi Selatan sendiri kesenian tradisional lebih mengarah

pada pertunjukan tari dan pertunjukan teater yang berasal dari ritual

yang masih dijalankan oleh berbagai kelompok atau etnis tertentu. Salah

satu kelompok yang masih menjalankan ritual yaitu suku Tolotang di

Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap.

Menurut Juma Darmapoetra (2013: vii) suku Tolotang adalah suku yang

mempunyai kearifan lokal yang cukup banyak, salah satunya ritual

Sipulung dan ritual keagamaan lain seperti Mappenre Nanre dan Mattojang.
3

Dalam catatan sejarah, kepercayaan mereka berasal dari desa Wajo,

tempat Iphabbere1, pembawa kepercayaan Towani.

Salah satu ritual yang masih dilaksanakan masyarakat suku

Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten

Sidrap ialah ritual Sipulung. Ritual Sipulung ini diartikan sebagai ritual

untuk berkumpul dan berdo’a bersama serta dikatakan sebagai hari

lebaran masyarakat Tolotang. Ritual ini dilakukan untuk menghormati

Iphabbere sebagai leluhur masyarakat Tolotang yang berpesan bahwa, jika

ia sudah tiada maka generasinya harus menziarai kuburannya sekali

dalam setahun.

Pelaksaan ritual Sipulung yaitu pada bulan Januari dan tanggalnya

biasanya ditentukan satu minggu sebelum ritual ini digelar. Kriteria

penentuan hari pelaksanaan ritual Sipulung ini adalah berdasarkan sistem

kalender kuno yang terdapat pada kitab Lontara Pacenga, yaitu naskah

yang ditulis pada daun lontar dan dijadikan sebagai pembacaan fenomena

alam dalam kurun waktu 8 tahun, selain itu fungsi lain dari kitab Lontara

Pacenga ialah untuk menentukan hari pernikahan, pertanian, dan aktivitas

masyarakat lainnya yang berhubungan dengan sosial budaya

(Darmapoetra, 2013:57).

1“Iphaberreadalah tokoh yang melarikan diri dari Wajo dengan kepercayaan Towani
Tolotang ke Sidenreng Rappang. Iphaberre merupakan pemimpin dari masyarakat Towani
Tolotang yang hijrah dari Wajo ke Sidenreng Rappang (Sidrap).” (Darmapoetra, 2013)
4

Ritual Sipulung memiliki ragam atau prosesi yang dimulai dari

penyiraman minyak dengan bau harum oleh Uwatta (pemangku adat

suku Tolotang) kemudian disusul pertunjukan Massempe’ dan yang

terakhir pembacaan do’a dan makan bersama. Juma mengungkapkan

bahwa ritual ini dilaksanakan di Sumur Pakkawarue. Pada siang hari,

masyarakat akan berkumpul di kediaman Uwatta. Pada malam harinya,

mereka melaksanakan Sipulung yaitu pembacaan kitab suci masyarakat

Tolotang yaitu Lontaraq oleh Uwatta. Orang yang melaksanakan ritual

Sipulung akan memberikan daun sirih dan pinang kepada Uwatta .

(Darmapoetra, 2013: 57)

Ritual atau upcara Sipulung dianggap sebagai suatu kegiatan untuk

mengekspresikan emosi dan perasaan terhadap keyakikan yang dianut

yang bisa dikatakan sebagai suatu upacara pedekatan diri terhadap

kepercayaan yang mereka anut. Selain itu, Sipulung juga berfungsi

merekatkan hubungan antara sesama masyarakat Tolotang.

Ritual Sipulung memuat sebuah pertunjukan yang menjadi proses

wajib dalam pelaksanaanya. Pertunjukan itu adalah Massempe’ atau dalam

bahasa Indonesia berarti menendang. Pertunjukan Massempe’ ini hanya

dilakukan khusus untuk laki-laki dengan perbandingan sama besar. Juma

Darmapoetra (2013: 59) berpendapat bahwa pertunjukan ini bertujuan

untuk memupuk keberanian dan sportifitas dalam diri anak laki-laki dan

sebagai penolak bala bagi orang dewasa.


5

Pertunjukan Massempe’ menjadi atraksi yang dihadirkan juga untuk

menghibur tamu dan masyarakat Tolotang yang hadir. Pertunjukan

Massempe’ digambarkan sebagai sebuah pertandingan adu kaki dimana

peserta yang sedang bertanding saling menendang satu sama lain hingga

lawan terjatuh. Pertunjukan ini tentu memiliki wasit layaknya

pertandingan adu ketangkasan lainnya. Wasit ditentukan oleh Uwa atau

biasanya orang yang telah dipercaya selama bertahun-tahun menjadi

wasit pertandingan. Pertunjukan ini kemudian akan mendapat respon

dari penonton berupa keriuhan saat salah satu peserta terjatuh.

Pertunjukan Massempe’ dilaksanakan di Parinyemeng atau makan nenek

moyang masyarakat Tolotang yang terletak kurang lebih 4km dari

Amparita.

Pertunjukan Massempe’ ini bisa dikatakan berfungsi sebagai sarana

hiburan bagi penonton atau masyarakat Tolotang itu sendiri dan juga tolak

bala bagi masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu

Limpoe Kabupaten Sidrap. Kedudukan Massempe’ bagi masyarakat

Tolotang yaitu sebagai salah satu petuah atau falsafah pengingat bagi laki-

laki suku Tolotang terutama anak-anak usia dini untuk berdiri kuat karena

laki-laki menurut masyarakat Tolotang ialah pemimpin dan juga kepala

rumah tangga. Kaki menjadi simbol kekuatan pada laki-laki untuk tetap

berdiri kokoh apapun yang terjadi.


6

Sebuah Pertunjukan yang memuat falsafah dan pesan hidup bagi

penganutnya ini menjadi daya tarik bagi peneliti untuk menjadikan

pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat Tolotang ini sebagai objek

penelitian. Makna yang disampaikan dalam pertunjukan ini perlu untuk

diketahui lebih dalam sebagai bentuk pelestarian kesenian daerah yang

pada dewasa ini telah banyak mengalami perkembangan. Pertunjukan ini

bisa saja menjadi pertunjukan yang menjadi ciri khas masyarakat Bugis

terutama pada masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan

Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap.

Massempe’ sebenarnya bukan hal yang baru bagi masyarakat Bugis

di Sulwesi Selatan. Di Kabupaten Bone, masyarakat menggelar Massempe’

sebagai sebuah wujud rasa syukur atas hasil panen yang telah didapatkan.

Perbedaan Massempe’ yang ada di Kabupaten Bone yaitu pertunjukan

Massempe’ digelar pada pesta panen sebagai sebuah wujud rasa syukur,

sedangkan pada masyarakat Tolotang merupakan sebuah peristiwa sakral

dan permainan saat ritual Sipulung dilaksanakan setiap sekali dalam

setahun. Berdasarkan perbedaan makna tersebut, tentunya pertunjukan

Massempe’ memiliki makna yang filosfis sesuai dengan kebudayaan

masyarakat yang ada meskipun bentuk visual dari pertunjukan ini yang

terlihat mengandung unsur kekerasan. Maka dari itu, penelitian ini

melihat bagaimana makna dari pertunukan Massempe’ oleh masyarakat


7

Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten

Sidrap.

Berdasarkan pengamatan objek material, maka asumsinya,

pertunjukan Massempe’ memiliki estetika yang terlihat pada makna yang

disampaikan pertunjukan dan gerak yang dihasilkan pemainnya serta

rasa yang didapatkan para pemain dan penonton pertunjukan Massempe’

ini. Estetika ini terlihat pada saat pemain memasang posisi kuda-kuda

pada saat mengambil posisi awal sebelum menendang. Pertunjukan ini

juga memuaat kerumitan, di mana tidak semua orang bisa dengan mudah

melaukan pertunjukan ini. Terdapat banyak aturan dalam melakukan

pertunjukan. Pertunjukan ini juga memuat kesungguhan dari pemain

melihat kegigihan dan antusiasme masyarakat Tolotang untuk ikut serta

menjadi pemain dalam pertunjukan ini.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan yang telah diuraikan

sebelumnya, penelitian ini mengajukan permasalahan yang

membutuhkan jawaban secara teoritis dan empiris sebagai berikut

1. Bagaimana ragam bentuk pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat

Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten

Sidrap ?
8

2. Bagaimana estetika Pertunjukan Massempe’ yang ada dalam Ritual

Sipulung oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan

Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap ?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan secara umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan

perspektif teori teater dalam konteks kajian pertunjukan Massempe’ dalam

ritual Sipulung oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita

Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap yang sifatnya permainan atau

atraksi. Adapun secara khusus tujuan dan manfaat penelitian ini

diuraikan sebagai berikut.

1. Untuk mendeskripsikan ragam bentuk pertunjukan Massempe’ dalam

Ritual Sipulung oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita

Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap.

2. Untuk mendeskripsikan dan menerapkan estetika pada pertunjukan

Massempe’ dalam ritual Sipulung oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan

Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap.

Manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah: pertama,

bagi ruang lingkup akademisi dapat menambah dan meningkatkan

pengetahuan dalam melihat sebuah kesenian melalui sisi yang berbeda.

Kedua, melatih kemampuan secara signifikan dalam menulis karya

ilmiah. Ketiga, dapat memberi sumbangsih pengetahuan kepada pembaca


9

dalam memahami unsur-unsur teater yang terdapat dalam kesenian lain.

Keempat, memberi sumbangsih pemikiran kepada masyarakat luas dalam

memahami kesenian sebagai bentuk keragaman yang tidak dapat

dipisahkan satu sama lain.

D. Tinjauan Pustaka

Peneliti akan menjelaskan beberapa unsur untuk menunjang

penelitian, yakni berdasarkan penelitian terdahulu serta sumber buku

yang berkaitan dengan objek yang dibahas dalam penelitian ini.

Selanjutnya, peneliti akan menguraikan teori dari beberapa buku yang

membahas mengenai Tolotang dan tradisi serta kesenian yang ada di

masyarakatnya, kemudian buku mengenai teori Estetika dan Kesenian,

dan jurnal yang mengangkat objek yang sama, yaitu Pertunjukan

Massempe’ atau ritual Sipulung yang dilakukan masyarakat Tolotang di

Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap. Berikut

paparan hasil penelusuran data pustaka terkait objek penelitian Massempe’

oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu

Limpoe Kabupaten Sidrap.

Buku yang ditulis Juma Darmapoetra yang berjudul Tolotang:

Keteguhan Memegang Tradisi (2013) yang membahas mengenai kehidupan

masyarakat suku Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu

Limpoe Kabupaten Sidrap mulai dari struktur pemerintahan, agama,

sejarah, ritual, perekonomian, dan prinsip hidup masyarakat Tolotang.


10

Tulisan Juma ini memaparkan bahwa kepercayaan Tolotang berasal dari

Desa Wajo, tempat Iphabbere, pembawa kepercayaan Towani. Iphabbere

sendiri akhirnya mendapat penghargaan luar biasa dari masyarakat

sekitar. Mereka kemudian melaksanakan ritual untuk menghormati

Iphabbere. Ritual ini dilaksanakan di makam Parinyameng, persinggahan

terakhir Iphabbere, dinamai ritual Sipulung yang dilaksanakan setahun

sekali pada bulan Januari.

Resensi tersebut menjelaskan segala aspek yang ada dalam

masyarakat Tolotang secara umum, sehingga penulis lebih mudah untuk

melihat bagaimana pertunjukan Massempe’ dipandang oleh masyarakat

Tolotang itu sendiri dengan melihat fenomena yang terjadi pada

masyarakat melalui teori dan metode yang diterapkan. Beberapa uraian

resensi Juma di atas sekaligus menjadi bahan perbandingan antara yang

dilakukan dalam penelitian ini.

Buku Wahyuni S.Sos M.Si berjudul Agama dan Pembentukan Struktur

Sosial yang membahas tentang adat istiadat serta hukum yang berlaku

pada suku Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe

Kabupaten Sidrap. Wahyuni memaparkan bahwa masyarakat Towani

Tolotang adalah sekelompok manusia yang menganut kepercayaan yang

dinamakan Towani Tolotang. Kepercayaan ini merupakan landasan dasar

di dalam mengatur kehidupan sehari-hari, baik itu dalam hubungan sosial

antara penganutnya maupun hubungan sosial dengan masyarakat lainnya


11

yang bukan penganut Towani Tolotang (dalam Agama Pembentukan

Struktur Sosial, 2018:144). Resensi Wahyuni ini menjelaskan strukur sosial

dan agama masyarakat Tolotang. Berbeda dengan penelitian ini yang lebih

terfokus pada nilai estetika pertunjukan Massempe’ dalam ritual Sipulung

masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe

Kabupaten Sidrap.

Thesis Ahmad Faisah Hajji yang berjudul Agama Sebagai Konsep

Sosial Towani Tolotang Di Kabupaten Sidrap (2004) yang memuat gambaran

mengenai pelaksanaan nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan sosial

masyarakat Towani Tolotang dan interaksi sosial sebagai aplikasi dari nilai-

nilai ajaran agama. Ahmad menyatakan bahwa agama bagi

masyarakat Towani Tolotang dijadikan sebagai dasar etika sosial di mana

praktik sosial digerakkan. Nuansa keberagamaan masyarakat Towani

Tolotang yang titik sentral kepemimpinannya dikendalikan oleh Uwa’

dan Uwatta dengan pola pewarisan estapet dari generasi ke generasi

berikutnya sampai sekarang masih tetap di petahankan sebagai sesuatu

yang sakral. Letak perbedaan penelitian ialah thesis ini membahas praktik

keagamaan masyarakat Tolotang dengan teori etika sedangkan penelitian

ini terfokus pada pertunjukan Massempe’.

Penelitian Haslindah yang berjudul Strategi Komunikasi Penganut

Kepercayaan To Lotang Dalam Menjaga Hubungan Harmonis Dengan


12

Masyarakat Di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten

Sidenreng Rappang (2017) yang menjelaskan mengenai strategi komunikasi

masyarakat Tolotang dalam mempertahankan hubungan harmonis

masyarakat di Amparita Kabupaten Sidrap dan faktor yang menjadi

penunjang dan penghambat dalam hubungan masyarakat Tolotang di

Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap. Letak

perbedaan penelitian ialah penelitian ini menjelaskan startegi komunikasi

dalam mempertahankan keharmonisan masyarakat suku Tolotang,

sedangkan penelitian ini membahas pertunjukan Massempe’ yang ada

pada ritual Sipulung.

Penelitian Nursam yang berjudul Kekuatan Politik Pemimpin Adat

Uwa’ Tolotang Pada Pemilihan Kepala Daerah Sidrap Tahun 2013 (2016) yang

berisi tentang elektabilitas Uwa sebagai pemimpin masyarakat Tolotang di

Amparita Kabupaten Sidrap. Fokus penelitian ini memakai konsep

pemilukada karena pemilukada merupakan salah satu bentuk partisipasi

politik yang sangat menyentuh dan berhubungan langsung dengan

kehidupan masyarakat Tolotang yang menempati wilayah Sidrap.

Perbedaan signifikan jelas terlihat dalam penelitian ini. Nursam

membahas unsur polik dan kepemimpinan dengan pendekatan konsep

pemilukada di Kabupaten Sidrap. Sedangkan penelitian ini membahas

unsur teater dan konsep estetika pertunjuakan Massempe’ dalam ritual


13

Sipulung oleh masyarakat Tolotang di Keluarahan Amparota Kabupaten

Sidrap.

Penelitian St. Nurfadillah yang berjudul Persepsi Masyarakat

Terhadap Tradisi Massempe’ Di Desa Mattoanging Kecamatan Tellu Siattinge

Kabupaten Bone (2014) yang berisi proses pelaksanaan, sejarah, persepsi

masyarakat, serta nilai luhur yang terkadung dalam Massempe’. Pembeda

dari penelitian ini ialah objek yang dimana skripsi ini meneliti masyarakat

Bugis di Kabupaten Bone sedangkan penelitian ini meneliti Massempe’

yang dilaksanakan masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita

Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap.

Dari beberapa buku dan penelitian terdahulu di atas terlihat

perbedaan yang signifikan terhadap penelitian ini meskipun objek

materialnya sama yaitu masyarakat suku Tolotang. Penelitian ini

membahas bentuk pertunjukan dan estetika dari pertunjukan Massempe’

yang dilakukan masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan

Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap.

E. Landasan Teori

Membedah pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat Tolotang di

Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap

diperlukan sudut pandang yang menjadi dasar dalam menganalisis.

Dalam mengkaji objek material, penelitian ini menggunakan teori


14

fenomenologi untuk melihat fenomena atas terjadinya pertunjukan

Massempe’ oleh masyarakat tolotang di Sidrap. Fenomenologi menurut

Edmund Husserl merupakan ilmu yang mempelajari proses kesadaran

manusia untuk melihat gejala atau fenomena yang nampak di depan

mata. Fenomena beseta kejadiannya tidak hanya dilihat dari nampak luar

saja, akan tetapi lebih mendalam dan melihat yang ada di balik yang

Nampak (dalam Sutiyono, 2011:25).

Berdasarkan rumusan masalah, penelitian ini dilakukan pada

dasarnya ingin mengungkap bentuk pertunjukan dan konsep estetika

dalam pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan

Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap. Oleh karena itu,

diperlukan analisis sebagai dasar untuk menemukan hasil penelitian.

Analisis strukur pertunjukan teater menggunakan teori Kernodle

digunakan sebagai teori pembantu untuk melihat bentuk pertunjukan

Massempe’ dan landasan teori utamanya ialah teori konsep estetika dari

Monroe Beardsley untuk memahami, nilai serta makna dalam

pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita

Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap.

Berikut penjelasan mengenai teori bentuk dari Soedarso, teori

struktur pertunjukan teater Kernodle, serta teori estetika keindahan

Monroe Beardsley.
15

1. Bentuk Seni

Sebagai tahapan untuk menganalisis bentuk, peneliti

mengambil rujukan dari Soedarso Sp (2006:78) yang menyatakan

bahwa seni memiliki bentuk yang kasatmata ataupun kasatrungu,

yang berarti dapat dilihat dan didengar di sana-sini ada juga yang

dua-duanya, dapat dilihat dan sekaligus dapat pula didengar dan

yang dapat dilihat dan didengar itu merupakan bungkus dari isi atau

konten yang ada di dalamnya.

2. Struktur Teater

Terdapat berbagai macam pengertian mengenai teater, salah

satunya yaitu teater diartikan sebagai pertunjukan yang digelar secara

langsung. Teater sebagai salah satu seni pertunjukan langsung

menjadi “wadah” interaksi antara wujud hidup aktor dan wujud

hidup penonton, yang berarti seorang aktor menyajikan pertunjukan

dan pertunjukan tersebut kemudian menghadirkan keaktoran,

keaktoran menghadirkan tepuk tangan atau penghargaan dari

penonton (Yudiaryani, 2002:21). Umunya, pertunjukan dapat

menimbulkan pendapat melalui berbagai macam sudut pandang

berbeda dari penontonnya.

Kernodle berpendapat bahwa drama bukanlah sebangsa

naratif, deskripsi, atau analisis tetapi drama adalah sesuatu yang


16

menakutkan yang ada di depan mata. Setiap momen didalam drama

seolah penuh dengan janji sekaligus mengandung masa depan.

Pemahamaan Kernodle melalui teori transformasi struktur dan

tekstur dapat membantu dalam mengetahui unsur-unsur dalam karya

sastra drama. Struktur memiliki poin tertentu yakni plot, tema dan

penokohan.sedangkan tekstur memiliki poin berupa dialog, suasana,

dan spektakel (Kernodle, 1978:323). Teori mengenai struktur dan

tekstur inilah yang menjadi teori pembantu sebagai pijakan untuk

melihat bentuk ragam pada pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat

Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten

Sidrap.

a. Struktur

Struktur terdiri dari tema, plot, dan penokohan sebagai

bahan untuk dianalisis. Pemahaman yang sama untuk

menguatkan pemahaman di atas bahwa analisis panggung yang

membangun struktur berupa tema, plot, dan penokohan

(Yudiaryani, 2002:354).

1) Tema

Tema merupakan unsur pembentuk cerita naskah drama

atau karya-karya fiksi lainnya seperti novel, roman, dan cerpen.

Tema dalam satu lakon tidak selalu disampaikan secara

langsung oleh pengarang. Biasanya tema disampaikan secara


17

implisit, pengarang memasukkan tema secara bersama dengan

kenyataan-kenyataan dan kejadian-kejadian dalam cerita (Nur

Sahid, 2008:64).

Shipley (dalam uraian Nurgiyantoro, 2013:130-131) juga

menjelaskan bahwa ada lima tingkatan tema pada naskah

drama. Salah satu diantaranya adalah tema tingkat sosial.

Masalah sosial itu menyangkut masalah ekonomi, sosial,

kebudayaan, perjuangan, dan masalah hubungan sosial lainnya

yang biasanya muncul dalam karya yang berwujud kritik

sosial.

2) Plot

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Plot

merupakan alur pada sebuah cerita, sedangkan drama sejatinya

menggunakan plot atau alur cerita. Drama yang dimaksud

dengan plot adalah pengaturan insiden yang berlangsung di

atas panggung (Kernodle, 1979:354). Plot merupakan unsur

yang penting dalam sebuah drama karena sejatinya drama

terdiri dari serangkaian peristiwa-peristiwa yang

berkesinambungan satu dengan yang lain, dan semua

dirunutkan dalam sebuah plot.

Aristoteles adalah salah satu tokoh yang terkenal dalam

pembagian plot. Aristoteles membagi tiga bagian hukum


18

komposisi drama yang terdiri atas tahap awal, tengah, dan

akhir. Pemahaman tentang tiga tahap plot Aristoteles

mencakup kesatuan tempat, kesatuan waktu, dan kesatuan

kejadian (Haymawan, 1988:17).

3) Penokohan

Tokoh, penokohan, atau karakter adalah seseorang yang

mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa, baik itu

sebagian maupun secara keseluruhan cerita sebagaimana yang

digambarkan oleh plot. Sifat dan kedudukan tokoh cerita

dalam suatu karya drama terdiri dari kategori tokoh penting

dan tokoh pembantu (Saptaria, 2006:25-26).

Kernodle (1979:343) berpendapat bahwa penokohan

sangat berkaitan erat dengan karakter. Karakter biasanya

diciptakan dengan sifat dan kualitas yang khusus. Karakter

tokoh tidak hanya diidentifikasi melalui bentuk fisiknya.

Dewojati (2010:170) mengemukakan bahwa tokoh dapat

diidentifikasi melalui pengenalan umur, penampilan, kostum,

irama permainan tokoh dan juga sikap batin para tokohnya.

3. Konsep Estetika

Monroe Beardsley (dalam Dharsono Sony Kartika, 2004:148)

menjelaskan bahwa ada 3 ciri yang menjadi sifat-sifat membuat baik


19

(indah) dari benda-benda estetis pada umumnya. Ketiga ciri tersebut

ialah:

a. Kesatuan (unity) ini berarti bahwa benda estetis ini tersusun

secara baik atau sempurna bentuknya

b. Kerumitan (complexity) benda estetis atau karya seni yang

bersangkutan tidak sederhana sekali, melainkan kaya akan isi

maupun unsur-unsur yang saling berlawanan ataupun

mengandung perbedaan-perbedaan yang halus

c. Kesungguhan (intensity) suatu benda estetis yang baik harus

emmpunyai suatu kualita tertentu yang menonjol dan bukan

sekedar suatu yang kosong. Tak menjadi soal kualita apa yang

dikandungnya (misalnya suasana suram atau gembira, sifat

lembut, atau kasar), asalkan merupakan sesuatu yang intensif atau

sungguh-sungguh.

F. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode kualitatif yang difokuskan pada objek Pertunjukan Massempe’ oleh

masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe

Kabupaten Sidrap. Penelitian kualitatif tidak semata-mata

mendeskripsikan, tetapi yang penting adalah menemukan makna yang

tersembunyi, atau dengan sengaja disembunyikan (Kutharatna, 2010:94).

Penelitian ini dilakukan dengan observasi lapangan menggunakan teknik


20

pengumpulan data yang terkait dengan objek penelitian, wawancara

dengan narasumber, merekam langsung pertunjukan Massempe’ yang

dilaksanakan pada ritual Sipulung oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan

Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap. Tahap selanjutnya

mendeskripsikan unsur-unsur teater yang ada dalam pertunjukan

Massempe’ oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan

Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap dengan melalui beberapa pendekatan.

1. Sumber Data

Sumber data diperlukan untuk menunjang hasil penelitian ini.

Beberapa data berasal dari literatur ilmiah yakni buku Tolotang:

Keteguhan Memegang Tradisi (2013) karya Juma Darmapoetra, Agama dan

Pembentukan Struktur Sosial (2018) yang ditulis Wahyuni S.Sos M.Si,

juga karya tulis akademisi berupa thesis yang berjudul Agama Sebagai

Konsep Sosial Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap (2004) yang ditulis oleh

Ahmad Faisah Hajji dan skripsi berjudul Strategi Komunikasi Penganut

Kepercayaan To Lotang Dalam Menjaga Hubungan Harmonis Dengan

Masyarakat Keluarahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten

Sidenreng Rappang (2017) yang ditulis Haslindah, skripsi dengan judul

Kekuatan Politik Pemimpin Adat Uwa’ Tolotang Pada Pemilihan Kepala

Daerah Sidrap tahun 2013 (2016) yang ditulis Nursam, dan skripsi

berjudul Persepsi Terhadap Tradisi Massempe’ Di Desa Mattoanging

Kecamatan Tellu Siattinge Kabupaten Bone (2014) yang ditulis St.


21

Nurfadillah.. Sumber data juga diperoleh dari perekaman atau

dokumentasi langsung pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat

Tolotang di Kelurahan Amparita. Wawancara secara mendalam juga

kemudian dilakukan dengan pelaku yang terlibat dalam pertunjukan

Massempe’ di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten

Sidrap.

2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Bersadarkan relevansi objek penelitian mengenai pertunjukan

Massempe’ masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan

Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap, amak penelitin ini dilaksanakan di

wilayah Kelurahan Amaparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten

Sidrap, bertempat di Parinyameng atau makam Iphabbere. Lokasi ini

merupakan wilayah tempat tinggal masyarakat Tolotang. Parinyameng

sendiri berlokasi di atas gunung di daerah Amparita yaitu tempat

dilaksanakannya ritual Sipulung.

Waktu pelaksanaan penelitian ialah pada bulan Januari 2018

hingga Mei 2019 secara keseluruhan mulai dari pengumpulan data

melalui berbagai sumber, hingga melakukan observasi langsung dalam

kegatan ritual Sipulung yang digelar pada bulan Januari setiap

tahunnya, dan juga wawancara dengan narasumber yang berkaitan

dengan masyarakat Tolotang serta Massempe’.


22

3. Tahap Penelitian

a. Pengumpulan Data

Sumber data penelitian ini dikumpulkan melalui proses

observasi langsung terhadap objek penelitian dan proses wawancara

dengan beberapa narasumber. Narasumber yang dimaksud yakni

Uwa’ Sunarto sebagai perwakilan Uwatta’, H. Syamsuddin, S.Pd,

yang merupakan peneliti dan pemerhati masyarakat Tolotang di

Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap

yang dulunya merupakan anggota masyarakat Tolotang dan Lallo

Pantahir selaku masyarakat Tolotang yang juga merupakan orang tua

dalam masyarakat Tolotang, Mergi, Nini, Laba, Akha, Pandu, dan

Riski yaitu anak-anak dari masyarakat Tolotang yang melakukan

Massempe’.

Selain itu, proses dokumentasi juga dilakukan sebagai

pelengkap data primer penelitian, yakni merekam secara langsung

pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan

Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap, sehingga

dapat menunjang tahap pengolahan dan analisis data. Bahan data

tersebut disesuaikan dengan fokus dan tujuan penelitian.

b. Pengolahan Data

Pengolahan data observasi berupa dokumentasi dan

wawancara dalam penelitian ini melalui tahapan reduksi dan


23

kategorisasi data untuk menentukan pokok-pokok penting dari hasil

pemaparan dan pernyataan narasumber. Hal tersebut untuk

memudahkan tahap analisis sesuai orientasi penelitian. Data

sekunder penelitian ini menjadi bahan perbandingan atau

(triangulasi data) dengan data primer yang diperoleh dari pihak

narasumber.

Data primer merupakan data yang diperoleh dari narasumber

utama atau pelaku yang terlibat dalam pertunjukan Massempe’ oleh

masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu

Limpoe Kabupaten Sidrap.

Data sekunder yang dimaksud ialah data yang diperoleh dari

pernyataan narasumber lain mengenai pertunjukan Massempe’ oleh

masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu

Limpoe Kabupaten Sidrap, serta literatur atau kajian terdahulu yang

membahas ritual Sipulung oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan

Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap.

Perolehan data primer dan data sekunder selanjutnya melalui

tahap analisis sesuai rumusan masalah.

c. Analisis Data

Proses analisis data penelitian ini melalui beberapa tahapan

yakni tahap awal mendeskripsikan beberapa jenis bentuk teater di

Indonesia untuk melihat kesamaan sudut pandang teater pada


24

pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan

Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap. Tahap kedua,

menganalisis pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat Tolotang di

Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap

melalui struktur dan tekstur teater. Tahap akhir, yakni menganalisis

melalui pendekatan Estetika untuk mendeskripsikan nilai dan

bentuk pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat Tolotang di

Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap.

Berikut tahapan analisis yang digunakan untuk mengidentifikasi

unsur tersebut melalui skema di bawah ini:

Ritual Sipulung

Pertunjukan Massempe’

Bentuk Pertunjukan Makna Pertunjukan


Massempe’ Massempe’

Estetika Pertunjukan
Massempe’

Gambar 1. Skema Analisis Data


25

d. Penarikan Kesimpulan

Penarikan kesimpulan merupakan penjelasan tentang makna

data dalam suatu konfigurasi yang secara jelas menunjukan alur

kausalnya sehingga dapat diajukan proposisi yang terkait dengan

orientasi penelitian. Pada tahap ini keseluruhan permasalahan

penelitian dijawab berdasarkan kategori data dan masalahnya serta

menunjukan kesimpulan yang mendalam atau komperehensif dari

temuan data penelitian.

G. Sistematika Penulisan

Penelitian ini akan dilakukan dengan wawancara, observasi, dan

dokumentasi mengenai bentuk dan nilai estetika dari pertunjukan

Massempe’ dalam ritual Sipulung akan disusun berbentuk skripsi dengan

sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan, berisi latar belakang masalah; tujuan

penelitian; manfaat penelitian; tinjauan pustaka; landasan teori; metode

penelitian; sumber data dan analisis data; sistemtika penulisan.

BAB II Bentuk ragam Pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat

Tolotang di Kecamatan Amparita Kabupaten Sidrap, berisi tentang

gambaran umum masyarakat Tolotang, identifikasi struktur dan testur

dalam Pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat Tolotang di Kelurahan

Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap, struktur an tekstur

teater pada pertunjukan Massempe’.


26

BAB III Makna pertunjukan Massempe’ oleh masyarakat Tolotang di

Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe Kabupaten Sidrap, berisi

tentang pemaparan makna atas gerak yang terkandung dalam

pertunjukan Massempe’ .

Bab IV Analisa Estetika dalam Pertunjukan Masempe’ oleh

masyarakat Tolotang di Kelurahan Amparita Kecamatan Tellu Limpoe

Kabupaten Sidrap.

BAB V Penutup, berisi tentang kesimpulan dan saran dari hasil

penelitian.
27

H. Jadwal Pelaksanaan

No. Kegiatan Bulan

Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul


1. Riset/Wawancara

2. Review

3. Ujian Proposal

4. Revisi

5. Kelayakan

6. Revisi

7. Pendadaran

8. Revisi

9. Distribusi

10. Yudisium

Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan

Anda mungkin juga menyukai