Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PRAKTIKUM LAPANGAN

HUKUM ADAT DAN PERTANAHAN

“Hukum Adat di Nagari Tabek Panjang, Kec. Baso, Kab. Agam”

Oleh :

Kelompok 3

Gilang Ramadhan 1110220000

Dwi Yana Azila 1210222008

Andika Sadri 1210223032

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2015
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan kita rahmat dan
karunia-Nya sehingga laporan ini dapat Penulis selesaikan dengan baik. Selanjutnya shalawat dan
salam kepada arwah junjungan kita yakni Nabi Besar Muhammad SAW yang telah meninggalkan
kepada kita Al-Qur’an dan Sunah sebagai pedoman dalam menempuh hidup diatas dunia ini.

Penulisan laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas matakuliah Hukum Adat dan
Pertanahan. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai acuan untuk menambah ilmu pengetahuan.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan laporan ini, terutama dosen mata kuliah Hukum Adat dan Pertanahan,
serta teman-teman yang selalu saling belajar dan mengingatkan selama praktikum matakuliah ini
berlangsung.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
laporan ini dimasa yang akan datang.

Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas perhatian dari pembaca, mudah-mudahan
laporan ini dapat menambah ilmu pengetahuan kita, terutama bagi diri penulis sendiri.

Padang, Oktober 2015

Kelompok 3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR …………………………………………………………………………


DAFTAR ISI …………………………………………………………………………………..
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………………..
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………………….
1.2 Rumusan Masalah …………………………………………………………………
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………..
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Profil Desa …………………………………………………………………………
2.2 Pengertian Hukum Adat ……………………………………………………………
2.3 Karakteristik Hukum Adat …………………………………………………………
2.4 Hukum Adat Waris ………………………………………………………………..
2.5 Hukum Adat Pertanahan …………………………………………………………..
2.6 Hukum Adat Perkawinan ………………………………………………………….
2.7 Hukum Keluarga …………………………………………………………………..
2.8 Pluralisme Hukum …………………………………………………………………
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat …………………………………………………………………
3.2 Alat dan Bahan ……………………………………………………………………..
3.3 Metode Praktikum ………………………………………………………………….
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Hukum Adat ………………………………………………………...
4.2 Susunan Masyarakat ……………………………………………………………….
4.3 Pembidangan Hukum Adat ………………………………………………………..
a. Hukum Waris …………………………………………………………………
b. Hukum Pertanahan ……………………………………………………………
c. Hukum Perkawinan …………………………………………………………...
d. Hukum Keluarga ……………………………………………………………...
4.4 Pluralisme Hukum Tanah …………………………………………………………
4.5 Konversi Hak Tanah ……………………………………………………………...
4.6 Kenuikan Nagari : Ikan Sakti …………………………………………………….
BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan ………………………………………………………………………..
5.2 Saran ………………………………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam kehidupan bermasyarakat manusia sangat membutuhkan adanya suatu aturan-


aturan yang dapat mengikat manusia dalam melakukan perbuatan, baik untuk diri sendiri
dalam kehidupan pribadinya maupun dalam melakukan perbuatan terhadap orang lain dalam
kehidupan bermasyarakat. Hal ini disebabkan karena dalam kehidupan manusia senantiasa
berinteraksi atau melakukanhubungan interpersonal dengan orang lain atau dengan
lingkungannya terutama untuk mememnuhi kebutuhan.

Dalam melakukan interaksi tersebut akan timbul pengalaman yang akhirnya


menghasilkan system nilai yaitu suatu konsepsi abstrak mengenai apa yang baik dan apa
yang buruk. System nilai ini sangat berpengaruh terhadap pola piker manusia yang kemudian
membentuk sikap manusia.

Sikap manusia yakni kecenderungsn untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap
manusia, benda, atau keadaan tertentu. Sikap kemudian menghasilkan perilaku, yang
kemudian menjadi pola perilaku. Bila suatu perilaku dianggap baik, maka perilaku tersebut
dilakukan secara berulang-ulang. Inilah yang dinamakan kebiasaan. Kebiasaan yang
dilakukan berulang-ulang diabstraksikan dalam bentuk norma atau kaidah. Norma atau
kaidah ini merupakan patokan tentang perilaku yang pantas.

Norma – norma ini memiliki sanksi aabila dilanggar. Norma agama atau kepercayaan
bial dilanggar sanksinya adalah dosa, sedangkan norma kesusilaan sanksinya ditentukan
sendiri oleh yang melakukannya. Dalam norma kesopanan sanksinya ditentukan oleh orang
banyak atau masyarakat, namun tidak memaksa, dalam norma hukum sanksinya ditentukan
oleh penguasa penegak hukum, sanksi dalam norma hukum ini mengikat.

Dari segi bentuknya, hukum terbagi atas dua benuk, yaitu hukum tertulis dan hukum
tidak tertulis. Hukum tertulis adalah hukum perundang-undangan dalam arti hukum yang
dibentuk oleh badan-badan yang berwenang membuat peraturan antara lain undang –
undang, peraturan presiden, peraturan pemerintah, peraturan daerah. Hukum tidak tertulis
adalah hukum yang tidak dibuat oleh badan yang berwenang membuat peraturan salah satu
contohnya adalah hukum adat.

Hukum adat yaitu aturan-aturan yang dibuat dan dibentuk oleh masyarakat sesuai
dengan norma-norma yang berlaku. Atau dapat juga dikatakan sebagai hukum yang
mengatur terutama tingkah laku manusia dalam hubungan satu sama lain.

Hukum adat merupakan cerminan dari keinginan masyarakat, karena hukum tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat. Karena itu jika berbicara masalah hukum adat maka
segala yang berkaitan dengan hukum adat tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang
merupakan wadah dari hukum adat itu. System hukum dalam suatu masyarakat akan berkait
dengan system masyarakat itu sendiri.

Menurut Hakimy (1997:2-5), adat Minangkabau sebagai suatu sistem pada mulanya,
yaitu sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, berdasarkan pada ketentuan-ketentuan
alam yang nyata ini, berada pada tingkat derajat kedua. Nenek moyang orang Minangkabau,
Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan, sebagai orang pertama yang
menyusun adat Minangkabau, mempergunakan alam terkembang ini sebagai sumber dasar
pengetahuan untuk menyusun tata cara masyarakat dalam bidang: (a) kedudukan orang
sebagai pribadi, (b) kedudukan masyarakat, dan (c) perekonomian. Dari ketentuan-ketentuan
alam dapat dikenal suatu susunan masyarakat, tujuan masyarakat, cara mencapai tujuan
masyarakat. Setelah agama Islam masuk ke Minangkabau dan adat itu disempurnakan oleh
agama Islam, maka sumber adat Minangkabau berada pada derajat pertama, karena agama
Islam dalam kitab suci Alquran banyak menyatakan bahwa alam ini merupakan ayat-ayat
Allah yang dapat dipelajari oleh manusia yang berakal. Ketentuan-ketentuan alam disusun
menjadi pepatah-petitih yang digambarkan dengan berbagai bentuk/corak, bentuk itu ada
yang dinyatakan secara langsung dan ada pula yang tidak langsung. Akan tetapi, pada
umumnya, anjuran bertindak dan menyusun pergaulan hidup berdasarkan ketentuan-
ketentuan dalam alam itu, dilakukan melalui cara yang tidak langsung dan dengan cara
perumpamaan.

Hamka (1984:83) menyatakan hal yang sama bahwa adat istiadat masyarakat
Minangkabau tidak terlepas dari pandangan hidup “falsafah adat Minangkabau”. Alam
lingkungan sekitarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi budayanya,
lingkungan ini bagi masyarakat Minangkabau ditranselerasikan ke dalam pepatah adat, yaitu
“alam terkembang jadi guru”. Ungkapan tersebut memberikan makna tentang segala sesuatu
yang dicerminkan oleh alam, mempunyai keterkaitan dengan kehidupan manusia, memiliki
arti dalam kehidupan sebagai guru yang patut dipikirkan dan direnungkan, kemudian
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat (Ikhwan, 2002:8)

1.2 Rumusan Masalah


Secara rinci, permasalahan yang akan di jabarkan dala laporan praktikum kunjungan
lapangan ini di rumuskan dalam bentuk pertanyaan yang secara garis besarnya sebagai
berikut :
1. Bagaimana bentuk karakteristik Hukum Adat di Nagari Tabek Panjang, Kec. Baso,
Kab. Agam ?
2. Bagaimana susunan masyarakat di Nagari Tabek Panjang?
3. Bagaimana bentuk pembidangan hukum adat (hukum waris, hukum pertanahan,
hukum perkawinan, hukum keluarga) di Nagari Tabek Panjang?
4. Apa saja hukum yang berlaku di masyarakat Nagari Tabek Panjang? (pluralism
hukum)
5. Bagaimana konversi hak tanah di Nagari Tabek Panjang?
6. Adakah keunikan local di Nagari Tabek Panjang?

1.3 Tujuan
Secara umum, praktikum kunjungan lapangan ini bertujuan untuk megetahui Hukum
Adat yang berlaku di Nagari Tabek Panjang yang dijadikan cerminan dan pedoman dalam
kehidupan masyarakatnya.
Secara khusus, praktikum kunjungan lapangan ini bertjuan untuk :
1. Untuk mengetahui karakteristik hukum adat di Nagari Tabek Panjang
2. Mengetahui susunan masyarakat di Nagari Tabek Panjang
3. Mengetahui bidang apa saja yang diatur melalui hukum adatnya di Nagari Tabek
Panjang serta mengetahui bagaimana pelaksanaan hukum adat pada masing-masing
bidang tersebut (hukum waris, hukum pertanahan, hukum perkawinan, hukum
keluarga)
4. Mengetahui apa saja hukum yang berlaku dan digunakan sehari-hari di masyarakat
Nagari Tabek Panjang
5. Mengetahui bentuk ganti rugi tanah (konversi hak tanah) untuk fasilitas umum di
Nagari Tabek Panjang
6. Mengetahui keunikan local Nagari Tabek Panjang yaitu Ikan Sakti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Profil Desa


Secara geografis Nagari Tabek Panjang berada pada 0⁰ - 3⁰ LS , 100⁰ - 20⁰ BT
sekaligus menempati pisisi yang strategis di bagian paling timur Kabupaten Agam yang
dilewati jalur lintas yang menghubungkan dengan Kota Payakumbuh, Batu Sangkar, dan
Kota Bukittinggi, serta jalan poros Sumbar – Riau. Orbitasi Nagari Tabek Panjang ke
Bukittinggi 13 Km.
Nagari Tabek Panjang memiliki jumlah penduduk sebanyak 9.270 jiwa. Nagari ini ini
terbagi atas 4 jorong : Jorong Baso, Jorong Sungai Cubadak, Jorong Sungai Janiah, dan
Jorong Tabek Panjang .
Sejarah singkat kenagarian Tabek Panjang ini, menurut cerita orang tua-tua turun
temurun asal – usul penduduk Kenagarian Tabek Panjang adalah berasal dari Pariangan
Padang Panjang. Mereka melakukan perjalanan menuju Luhak Nan Tigo dan sebagian tiba
Di Luhak Agam. Saat itu mereka berkumpul di Panampuang yang sekarang termasuk
kecamatan IV Angkek.
Dari Panampuang mereka menuju kearah Timur yaitu Tabek Panjang sekarang. Kata-
kata Tabek Panjang diambil dari kata Tabek (Genangan) yang ada di daerah itu yang
berukuran sangat panjang dibandingkan dengan tabek-tabek kebanyakan.

2.2 Pengertian Hukum Adat

Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck
Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian
diikuti oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat
Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda
pada akhir tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-
undangan Belanda.
Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat
hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum
Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan.

Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adat recht
untuk menggantikan hukum adata dengan alasan : “ Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht
menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat, karena yang dimaksud dengan
hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya
karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu
sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh
masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu
berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan masyarakat
tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum adat pada dasarnya
merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang luas.
Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan antara adat-istiadat
(non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena
keduanya erat sekali kaitannya.

Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita
telaah beberapa pendapat sebagai berikut :

5 Prof. Mr. B. Terhaar Bzn


Hukum adat adalah keseluruhan peraturan yang menjelma dalam keputusan-
keputusan dari kepala-kepala adat dan berlaku secara spontan dalam masyarakat.
Terhaar terkenal dengan teori “Keputusan” artinya bahwa untuk melihat apakah
sesuatu adat-istiadat itu sudah merupakan hukum adat, maka perlu melihat dari
sikap penguasa masyarakat hukum terhadap sipelanggar peraturan adat-istiadat.
Apabila penguasa menjatuhkan putusan hukuman terhadap sipelanggar maka adat-
istiadat itu sudah merupakan hukum adat.

6 Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven


Hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku masyarakat yang berlaku dan
mempunyai sanksi dan belum dikodifikasikan.
7 Dr. Sukanto, S.H
Hukum adat adalah kompleks adat-adat yang pada umumnya tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasikan dan bersifat paksaan, mempunyai sanksi jadi mempunyai
akibat hukum.

8 Mr. J.H.P Bellefroit


Hukum adat sebagai peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak diundangkan
oleh penguasa, tetapi tetap dihormati dan ditaati oleh rakyat dengan keyakinan
bahwa peraturan-peraturan tersebut berlaku sebagai hukum.

2.3 Karakteristik Hukum Adat


1) Relegius Magis
Hukum adat yang berlaku di Indonesia berdasarkan kepercayaan tradisional
masyarakat Indonesia. Setiap masyarakat diliputi oleh suatu kekuatan ghaib yang harus
dipelihara sehingga kehidupan masyarakat tetap aman dan tenteram. Mereka mempercayai
bahwa tidak ada batas antara dunia ghaib dan dunia lahir misalnya kehidupan manusia dan
arwah nenek moyang maupun makhluk ghaib lainnya. Misalnya setiap kegiatan seperti
membangun rumah, membuka usaha harus disertai dengan upacara religius dengan tujuan agar
usahanya mendapat berkah dan memberikan hasil yang baik. Religeus Magis bersifat :
a. bersifat kesatuan batin
b. Mempunyai kesatuan diantara dunia gaib dan dunia lahir
c. Mempunyai hubungan dengan arwah nenek moyang maupun makluk halus lainnya.
d. Mempercayai adanya kekuatan gaib
e. Melakukan pemujaan terhadap arwah nenek moyang maupun makluk halus lainnya.
f. Ada upacara religius dalam kegiatan
g. Mempercayai adanya roh halus dan hantu yang mendiami suatu tempat, tumbuh-
tumbuhan besar.
h. Mempercayai adanya kekuatan sakti
i. Mempercayai beberapa pantangan-pantangan yang harus dijauhi.

2) Komunal atau Kemasyarakatan


Hukum adat yang berlaku di Indonesia melihat bahwa kehidupan manusia selalu
terlihat berkelompok sebagai suatu kesatuan yang utuh karena individu yang satu dengan
individu yang lainnya tidak dapat hidup sendiri karena kodrat manusia sebagai makluk sosial
yang selalu hidup bermasyarakat dan lebih mengutamakan kepentingan bersama dari pada
kepentingan perseorangan. Komunal atau Kemasyarakatan bersifat :

a. Manusia tidak dapat berbuat seenaknya karena terikat oleh peraturan masyarakat.
b. Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya di dalam
masyarakat
c. Adanya hak subyektif sebagai berfungsi social
d. Selalu mengutamakan kepentingan bersama
e. Adanya sifat gotong royong
f. Mempunyai Sopan santun dan sabar
g. Selalu berprasangka baik
h. Saling menghormati

3) Demokrasi
Hukum adat di Indonesia meyakini bahwa segala sesuatu harus selalu diselesaikan
dengan rasa kebersamaan dan lebih mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan
pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai sistem pemerintahan.
Misalnya hasil musyawarah di Balai Desa yang harus ditaati oleh seluruh peserta musyawarah.
4) Kontan
Hukum adat di Indonesia meyakini bahwa peralihan atau pemindahan hak dan
kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan, artinya setiap peristiwa serah trima
harus jabatan atau kekuasaan dilakukan secara serentak untuk menjaga keseimbangan didalam
kehidupan bermasyarakat.
5) Konkrit
Hukum adat di Indonesia meyakini bahwa ada tanda yang terlihat dalam setiap
perbuatan dan keinginan di dalam setiap hubungan hukum yang harus dinyatakan dengan
benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji karena setiap janji harus
disertai dengan perbuatan nyata dan tidak ada kecurigaan diantra yang lain.
2.4 Hukum Adat Waris

1. Pengertian Hukum Adat Waris


a. Prof. Soepomo
Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang tidak berwujud dari angkatan
manusia kepada turunannya.
b. Ter Haar
Hukum adat waris meliputi peraturan-peraturan hukum yang bersangkutan dengan proses
yang sangat mengesankan serta yang akan selalu berjalan tentang penerusan dan
pengoperan kekayaan materiil dan immaterial dari suatu generasi kepada generasi
berikutnya.
c. Wirjono Prodjodikoro, S.H.,
Warisan itu adalah soal apakah dan bagaimanakah hak-hak dan kewajiban-kewajiban
tentang kekayaan sesorang pada waktu meninggal dunia akan beralih kepada orang lain
yang masih hidup.
d. Soerojo Wignjodipoero, S.H.,
Hukum adat waris meliputi norma-norma hokum yang menetapkan harta kekayaan baik
yang materiil maupun immaterial yang manakah dari seseorang yang dapat diserahkan
kepada keturunannya.
2. Beberapa hal penting dalam Hukum Adat Waris :
 Hukum adat waris erat hubungannya dengan sifat-sifat kekeluargaan dalam masyarakat
hokum yang bersangkutan, misalnya Patrilineal, Matrilineal, dan Parental.
 Pengoperan warisan dapat terjadi pada masa pemiliknya masih hidup yang disebut
“penghibahan” atau hibah wasiat, dan dapat terjadi setelah pemiliknya meninggal dunia
yang disebut warisan.
 Dasar pembagian warisan adalah kerukunan dan kebersamaan serta memperhatikan
keadaan istimewa dari tiap ahli waris.
 Adanya persamaan hak para ahli waris.
 Harta warisan tidak dapat dipaksakan untuk dibagi para ahli waris.
 Pembagian warisan dapat ditunda ataupun yang dibagikan hanya sebagian saja.
 Harta warisan tidak merupakan satu kestuan, tetapi harus dilihat dari sifat, macam asal dan
kedudukan hukum dari barang-barang warisan tersebut.

3. Sistem Kewarisan Adat


Tiga Kewarisan Adat yaitu :
1) Sistem kewarisan individual
Harta peninggalan dapat dibagi-bagikan kepada para ahli waris seperti dalam masyarakat
di Jawa
2) Sistem kewarisan kolektif
Harta peninggalan itu diwarisi secara bersama-sama para ahli waris, misalnya harta pusaka
tidak dilmiliki atau dibagi-bagikan hanya dapat dipakai atau hak pakai.
3) Sistem kewarisan mayorat
Harta peninggalan diwariskan keseluruhan atau sebagian besar jatuh pada salah satu anak
saja. Sistem kewarisan mayorat dibagi dua yaitu :
a. mayorat laki-laki yaitu harta peninggalan jatuh kepada anak-anak lakilaki.
b. Mayorat perempuan yaitu harta peninggalan jatuh pada anak perempuan tertua.
Tidak semua harta peninggalan dapat diwariskan/ dibagi-bagikan kepada ahli
waris, alasan-alasan harta peninggalan tidak dapat dibagi, yaitu :
1. Karena sifatnya seperti barang-barang milik bersama/ milik kerabat.
2. Karena kedudukan hukumnya seperti barang kramat, kasepuhan, tanah bengkok, tanah
kasikepan.
3. Karena pembagian warisan ditunda, misalnya adanya anak-anak yang belum dewasa.
4. Karena belum bebas dari kekuasaan dari persekutuan seperti tanah milik desa.
5. Karena hanya diwariskan pada satu golongan saja seperti system kewarisan mayorat.

4) Penghibahan atau Pewarisan


Dasar pemberian hibah adalah sebagai koreksi terhadap hukum adat dan untuk memberikan
kepastian hukum. Hibah ada dua macam yaitu :
a. Hibah biasa yaitu pemberian harta kekayaan pada waktu pewaris masih hidup.
b. Hibah Wasiat yaitu pelaksanaannya setelah pewaris meninggal dunia harta tersebut
baru diberikan
5) Para Ahli Waris
Yang menjadi ahli waris yang terpenting adalah anak kandung sendiri. Dengan
adanya anak kandung ini maka anggota keluarga yang lain menjadi tertutup untuk menjadi
ahli waris.
Mengenai pembagiannya menurut Keputusan Mahkamah Agung tanggal 1
Nopember 1961 Reg. No. 179 K/Sip/61 anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang
peninggal warisan bersama berhak atas harta warisan dalam arti bahwa bagian anak laki-
laki adalah sama dengan anak perempuan. Hukum adat waris ini sangat dipengaruhi oleh
hubungan kekeluargaan yang bersifat susunan unilateral yaitu matrilineal dan patrilineal.
Di daearah Minangkabau yang menganut system matiarchaat, maka apabila
suaminya meninggal, maka anak-anak tidak merupakan ahli waris dari harta
pencahariannya, sebab anak-anak itu merupakan warga anggota famili ibunya sedangkan
bapaknya tidak, sehingga harta pencahariannya jatuh pada saudara saudara
sekandungnya.Di Bali, hanya anak laki-laki tertua yang menguasai seluruh warisan,
dengan suatu kewajiban memelihara adik-adiknya serta mengawinkan mereka. Di Pulau
Savu yang bersifat parental harta peninggalan ibu diwarisi oleh anak anak perempuan dan
harta peninggalan bapak diwarisi anak laki-laki.
Beberapa Yurisprudensi tentang adat waris :
1. Keputusan M..A. tanggal 18 Amret 1959 Reg. No. 391/K/SIP/1959 mengatakan : Hak
untuk mengisi/ penggantian kedudukan ahli waris yang telah lebih dahulu meninggal
dunia dari pada yang meninggalkan warisan adalah ada pada keturunan dalam garis
menurun. Jadi cucu-cucu adalah ahli waris dari bapaknya.
2. Keputusan M.A. tanggal 10 Nopember 1959 Reg. No. 141/K/SIP/1959 mengatakan :
Penggatian waris dalam garis keturunan ke atas juga mungkin ditinjau dari rasa
keadilan. Pada dasarnya penggantian waris harus ditinjau pada rasa keadilan
masyarakat dan berhubungan dengan kewajiban untuk memelihara orang tua dan
sebaliknya. Didalam masyarakat adat dikenal juga apa yang disebut dengan :
 Anak angkat
 Anak tiri
 Anak yang lahir diluar Perkawianan
2.5 Hukum Pertanahan

Kedudukan Tanah Dalam Hukum Adat Sangat Penting

Ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam hukum adat yaitu :

a. Karena Sifatnya
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meski mengalami keadaan yang
bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang
malah menjadi lebih menguntungkan.
b. Karena Fakta
Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu :
 merupakan tempat tinggal persekutuan
 memberikan penghidupan kepada persekutuan
 merupakan tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindungpersekutuan kepada
roh para leluhur persekutuan.
 merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia.

Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian dalam
arti luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai permukan
atau kulit bumi saja atau pertanian

Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-


peraturan hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak
penguasaan atas tanah yang merupakan lembaga-lembaga hukum yang hubungan-hubungan
hukum yang konkret.

Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud hak
penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau
larangan bagi pemenang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu
yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah
yang menjadi criteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang
diatur dalam Hukum Tanah.

Landasan Hukum Agraria ialah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 merupakan
sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional. Hubungan Pasal 33 (3)
UUD 45 dengan UUPA:

a. Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi
pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya.
“bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan
Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah
dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan
bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara
perseorangan maupun secara gotong-royong”
b. Dalam penjelasan UUPA angka 1
“hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian,
Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan
pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis
besar dari pada haluan Negara….”

Pengaturan keagrariaan atau pertanahan dalam UUPA yaitu untuk mengatur


pemilikan dan memimpin penggunaannya, harus merupakan perwujudan dan
pengamalan dasar negara pancasila dan merupakan pelaksanaan dari UUD 45 dan
GBHN.Bahwa UUPA harus meletakkan dasar bagi hukum agraria nasional yang akan
dapat membawa kemakmuran, kebahagiaan, keadilan serta kepastian hukum bagi
bangsa dan negara.

2.6 Hukum Perkawinan


Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat adapt, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut kedua mempelai saja,
kedua keluarga, tetapi juga menyangkut masyarakat bahkan menyangkut arwah leluhur-
leluhur kedua belah pihak : A.Van Genep (Perancis) mengatakan semua upacara-upacara
perkawinan “rites de passage” yaitu upacara-upacara peralihan perubahan status dari kedua
mempelai. Setelah melalui upacara-upacara itu kedua belah pihak menjadi hidup bersatu
dalam suatu kehidupan bersama suami isteri. Rites de passage terdiri dari tiga stadia , yaitu :

1. Rites de separation, yaitu upacara perpisahan dari status semula.

2. Rites de marge, yaitu upacara perjalanan ke status yang baru.

3. Rites de aggregation, yaitu upacara penerimaan dalam status yang baru.

Tujuan pokok dari perkawinan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan


keturunan, untuk kebahagiaan rumah tangga, keluarga dan untuk memperoleh nilai-nilai adapt
serta kedamaian dan mempertahankan kewarisan. Hubungan suami isteri setelah perkawinan
bukanlah suatu hubungan perikatan yang berdasarkan perjanjian atau kontrak, tetapi
merupakan suatu paguyuban/ somah/ keluarga, dan merupakan satu ketunggalan. Bukti
bahwa suami isteri merupakan satu ketunggalan :

1. melepaskan nama menjadi satu nama biasanya menggunakan nama suaminya.

2. merupakan belahan jiwa bagi keduanya.

3. adanya harta gono gini.

- Pertunangan

Pertunangan adalah suatu persetujuan antara pihak keluarga laki-laki dengan


keluarga pihak wanita sebelum dilangsungkan suatu perkawinan. Alasan pertunangan
biasanya adalah :

a. Untuk menjamin perkawinan


b. Untuk membatasi pergaulan bebas
c. Memberi kesempatan untuk saling mengenal
- Perkawinan

Perkawinan dalam hukum adapt sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan
kekeluargaan. Susunan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam, yaitu:

a. Perkawinan dalam kekeluargaan Patrilineal


b. Perkawinan dalam keluarga Matrilineal
c. Perkawinan dalam keluarga Parental.
- Perceraian

Prinsip perceraian adalah suatu yang tidak dikehendaki atau dilarang. Di dalam adat
yang ada di Indonesia terdapat beberapa istila tentang perkawinan antara lain :

a. Kawin Lari: Yaitu kedua calon suami isteri bersama-sama melakukan perkawinan
sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dari suatu keharusan misalnya
membayar “jujur”, atau orang tua tidak setuju dan menghindari dari prosedur yang
berbelit-belit.
b. Perkawinan Bawa Lari: Yaitu seorang pemuda melarikan seorang gadis yang sudah
ditunangkan atau seorang wanita yang sudah bersuami dan wanita itu dipaksa
olehpemuda tersebut. Jadi seolah-olah suatu penculikan.
c. Perkawinan “Nyalindung Kegelung” Yaitu perkawinan dimana seorang wanita kaya
kawin dengan pemuda miskin.
d. Perkawinan “Manggi Kaya” : Yaitu perkawinan antara seorang suami dengan isteri
miskin
e. Perkawinan “Ngarah Gawe”: Yaitu perkawinan antara sorang gadis yang belum dewasa
dengan pemuda yang sudah dewasa. Setelah menikah suami yang sudah dewasa
bertempat tinggal di rumah mertuanya, mereka belum dapat hidup sebagai suami isteri
delama isteri belum dewasa.
f. Kawin “Gantung” : Yaitu perkawinan yang dilaksanakan oleh kedua orang tua,
sedangkan kedua mempelai sama-sama belum dewasa.
g. Perkawinan “ Semendo Ambil Anak “ Yaitu perkawinan agar menantu laki-laki itu
menjadi anaknya sendiri.

2.7 Hukum Keluarga

Hukum keluarga dapat diartikan sebagai keseluruhan ketentuan atau aturan-aturan


yang mengenai hubungan hukum yang bersangkutan dengan kekeluargaan sedarah dan
kekeluargaan karena perkawinan (perkawinan, kekuasaan orang tua, perwalian,
pengampuan, keadaan tidak hadir).
Kekeluargaan sedarah adalah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa
orang yang mempunyai keluhuran yang sama. Kekeluargaan karena perkawinan adalah
pertalian keluarga yang terdapat karena perkawinan antara seorang dengan keluarga sedarah
dari istri (suaminya).

Kekeluargaan terdapat dua macam, yang pertama di tinjau dari hubungan darah dan
yang kedua ditinjau dari hubungan perkawinan.

1. Kekeluargaan ditinjau dari hubungan darah atau bisa disebut dengan kekeluargaan
sedarah ialah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai
keluhuran yang sama.
2. Kekeluargaan karena perkawinan ialah pertalian keluarga yang terdapat karena
perkawinan antara seseorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).

- Sumber Hukum Keluarga


1. Sumber Hukum Keluarga tertulis:
a. Kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari undang-undang, yurisprodensi dan
traktat.
b. KUHPerdata.
c. Peraturan perkawinan campuran.
d. UU No.32./1954 tentang pencatatan nikah, talak dan rujuk.
2. Sumber Hukum Keluarga yang tidak tertulis:
a. Kaidah-kaidah yang timbul, tambah dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat.

2.8 Pluralisme Hukum

Pluralisme hukum (legal pluralism) kerap diartikan sebagai keragaman hukum.


Pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan hukum dalam sebuah lingkungan
sosial.

Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan
hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme
hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi
sentralisme hukum (legal centralism).

Sentralisme hukum memaknai hukum sebagai ”hukum negara” yang berlaku


seragam untuk semua orang yang berada di wilayah yurisdiksi negara tersebut. Dengan
demikian, hanya ada satu hukum yang diberlakukan dalam suatu negara, yaitu hukum
negara. Hukum hanya dapat dibentuk oleh lembaga negara yang ditugaskan secara khusus
untuk itu. Meskipun ada kaidah-kaidah hukum lain, sentralisme hukum menempatkan
hukum negara berada di atas kaidah hukum lainnya, seperti hukum adat, hukum agama,
maupun kebiasan-kebiasaan. Kaidah-kaidah hukum lain tersebut dianggap memiliki daya
ikat yang lebih lemah dan harus tunduk pada hukum negara (Griffiths, 2005: 71).

Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah kritik, di
antaranya:

a. Pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan istilah hukum
yang digunakan;
b. Pluralisme hukum dianggap kurang mempertimbangkan faktor struktur sosio-
ekonomi makro yang mempengaruhi terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum.
Selain itu, menurut Rikardo Simarmata, kelemahan penting lainnya dari pluralisme hukum
adalah pengabaiannya terhadap aspek keadilan.

Perkembangan pluralisme hukum dalam gerakan perubahan hukum muncul melalui


advokasi-advokasi terhadap masyarakat adat. Dalam konteks ini, pluralisme hukum dipakai
untuk membela tanah-tanah masyarakat yang diambil paksa oleh negara atau pelaku swasta
(Simarmata, 2005). Hukum adat ditampilkan sebagai lawan dari hukum negara yang
memberi keabsahan perampasan-perampasan tanah adat. Lagi pula, dalam UUPA ada
peluang melalui aturan yang mengakui keberadaan tanah-tanah adat (ulayat). Singkatnya,
konsep pluralisme hukum dipakai untuk mengangkat kembali keberadaan hukum adat, dalam
upaya untuk melindungi sumber daya alam yang dimiliki masyarakat adat dari perampasan-
perampasan yang diabsahkan hukum negara.

Lebih jauh lagi, pluralisme hukum dipakai untuk mendorong pengakuan


keberadaan masyarakat adat oleh negara. Salah satu keberhasilan gerakan ini adalah
menggolkan aturan mengenai pengakuan dan penghormatan kesatuan-kesatuan masyarakat
hukum adat hak-hak tradisionalnya dalam Pasal 18B UUD 1945 pada amandemen kedua
tahun 2000. Selain itu, kemunculan TAP MPR Nomor IX/2001 tentang Pembaharuan
Agraria, yang di dalamnya diatur juga tentang masyarakat adat, juga tidak terlepas dari
pengaruh pluralisme hukum. Sejak munculnya aturan ini, hampir semua produk hukum
negara yang berkaitan dengan sumber daya alam memuat aturan mengenai masyarakat adat
ini.

Di tataran praktis, gerakan untuk mendorong pengakuan masyarakat adat semakin


masih dilakukan aktivis-aktivis pro-masyarakat adat. Di antaranya dengan melakukan
pemetaan wilayah-wilayah adat di sejumlah tempat dan pendokumentasian hukum-hukum
adat. Karena, dua hal inilah yang menjadi syarat utama untuk diakuinya keberadaan
masyarakat adat. Selain itu, gerakan ini juga mendorong pemerintah-pemerintah daerah
mengakui masyarakat adat melalui pembentukan sejumlah regulasi daerah. Di sisi lain,
pemberlakuan otonomi daerah juga semakin memberi angin segar untuk gerakan ini.

Lebih jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah
ranah penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan terhadap lembaga-
lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu
jawaban terhadap situasi lembaga penyelesaian sengketa negara (pengadilan) yang bobrok,
yang dinilai tidak dapat memberikan keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan
untuk membiarkan masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat
tanpa melalui melibatkan pengadilan.
BAB III
METODE PRAKTIKUM

3.1 Waktu dan Tempat


Praktikum lapangan Hukum Adat dan Pertanahan dilakukan di Nagari Tabek Panjang,
Kecamatan Baso, Kabupaten Agam. Waktu dilakukannya praktikum lapangan yaitu tanggal
11 oktober 2015.

3.2 Alat dan bahan

Adapun alat dan bahan yang dipergunakan selama praktikum adalah:

a. Kuisioner yang digunakan untuk bahan acuan dalam diskusi tanya jawab
b. Alat-alat tulis yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang penting
c. Camera/recorder untuk mendokumentasikan hasil dari diskusi tanya jawab

3.3 Metode Praktikum

Metode yang dipakai dalam praktikum adalah dengan diskusi tanya jawab dengan
pemangku kepentingan di Nagari Tabek Panjang, panduan wawancara berupa kuisioner di
berikan kepada pemangku kepentingan di Nagari Tabek Panjang, lalu para pemangku
kepentingan menjawab pertanyaan yang ada dikuisioner, kemudian hasil dari pertanyaan di
catat oleh mahasiswa/i. Lalu diadakan tanya jawab antara mahasiswa dengan pemangku
kepentingan di Nagari Tabek Panjang
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Karakteristik Hukum Adat

Nagari Tabek Panjang masih meberlakukan Hukum Adat yaitu hukum adat perdata
sebagai pedoman dan norma yang mengatur kehidupan keseharian mereka mengikuti adat
minangkabau secara keseluruhan dan mengikuti kesepakatan nenek moyang terdahulu.
Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran Hukum Adat yang berlaku di sepakati
dalam musyawarah yang dilakukan oleh penghulu masing-masing suku atau petinggi-
petinggi adat. Bentuk dari sangsi tersebut bermacam, mulai dari dikucilkan oleh kaum/suku
hingga sanksi paling berat adalah di keluarkan dari kaum/suku. Adanya sanksi ini dinilai
menjadi alasan masyarakat masih mematuhi hukum adat yang berlaku di Nagari tersebut.

4.2 Susunan Masyarakat

Susunan masyarakat di nagari tabek panjang seperti masyarakat minang pada umum
yaitu berdasarkan garis keturunan ibu atau sering disebut matrilineal. Masyarakat Tabek
Panjang tersusun atas paruik, jurai, kaum, suku yang merupakan susunan dari tingat bawah
atau kelompok terkecil ke yg besar dimana setiap kelompoknya dipimpin oleh pemimpinya.
Masing-masing suku terdiri dari beberapa kaum,dan masing-masing kaum terdiri dari
beberapa jurai,masing-masing jurai terdiri dari beberapa paruik. Sehingga di nagari tabek
panjang terjadi perikatan persaudaraan yang kuat karena pembagian tersebut.

Di nagari tabek panjang ini terdapat 3 suku besar yaitu ; caniago, piliang dan guci.
Dalam satu suku terdapat beberapa kaum, yang membentuk satu suku, yang memegang
keputusan tertinggi adalah pemangku adat/keempat suku. Di nagari tabek panjang masih
menggunakan musyawarah atau mufakat dalam menyelesaikan masalah yang di kepalai oleh
pengulu. Pada umumnya system kemasyarakatannya masih berdasarkan system
kemasyarakatan terdahulu atau warisan nenek moyang. Untuk kedudukan mamak sama
dengan daerahnya lainya, mengatur kopanakan.

Masyarakat pendatang yang menetap, paling kurang 6 bulan harus malakok atau
menjadi kemenakan seorang mamak yang ada di tabek panjang serta mendapatkan suku baru
di tabek panjang. Ini di tujukan untuk supaya pendatang lebih menyatu dalam masyarakat
dan apabila pendatang tersebut membuat masalah maka mamak atau penghulu lah yang akan
menanganinya.

4.3 Pembidangan Hukum Adat


a. Hukum Waris
Di dalam hukuma adat minangkabau yang dapat diwariskan itu ada 3 yaitu harta pusaka
tinggi, yaitu semua harta yang dimiliki suatu kaum yang telah dikuasai secara turun-
temurun yang tidak diketahui lagi asal-usulnya darimana,harta ini tidak dapat diperjual-
belikan, kecuali ada kesepakatan dari kaum untuk hal-hal tertentu. Lalu ada harta
pusaka rendah atau harta yang dapat di perjual belikan, harta ini berasal dari
perkawinan yang sah dalam artian hukum Negara. Lalu Yang terakhir adalah hak ulayat
adalah hak penguasaan dan hak milik atas bidang tanah beserta kekayaan alam yang
ada diatas dan didalamnya dikuasai secara kolektif oleh masyarakat hukum adat di
nagari tabek panjang. Hak ini dapat diperoleh dengan ditunjuk atau dengan cara
melepas seekor binatang ternak, dan wilayah yang dikelilingi oleh hewan tersebut
merupkan hak ulayat pemilik hewan ternak tersebut.
Untuk siapa yang mendapatkan warisan adalah mereka para wanita atau garis
keturunan ibu, selama ini belum ada terjadinya konflik dalam pemberian hukum waris,
yang berwenang dalam mengurus harta waris adalah ahli waris atau seorang laki-laki
dalam suatu kaum yang tumbuh dengan sendirinya.

b. Hukum Pertanahan
Tanah di Nagari Tabek Panjang status kepemilikannya yaitu milik kaum/paruik.
Batas-batas tanah yang terdapat di daerah tersebut di tentukan oleh nenek moyang
mereka dahulu dengan berbagai cara seperti mamancang.
Sertifikasi tanah ulayat/kaum di indonesia menganut stelsel negatif yang artinya
bisa dibatalkan,sertifakat itu merupakan salah satu bentuk penegasaan hak milik,
karena tanah di tabek panjang milik kaum adat.
Pemanfaat tanah oleh orang lain di tabek panjang ada namun memiliki persyaratan
yang sulit seperti harus menetap dan malakok di tabek panjang. Untuk manaruko masih
ada dalam hal banyak dilakukan dari lahan kering menjadi lahan basah. Hukum adat
tidak ada mengenal gadai tanah. Untuk tanah pekuburan dimiliki oleh masing-masing
kaum.
c. Hukum Perkawinan
Di Nagari Tabek Panjang terdapat satu suku yang diperbolehkan menikah sesuku
atau saling pulang-memulangi, yaitu suku chaniago. Seseorang bisa menikahi
keponakan ayah atau bisa disebut pulang ka bako.
Untuk prosesi pernikahan dilaksanakan sesuai hukum dan syariat Islam, seperti
adanya ijab, Kabul, wali saksi dan sebagainya. Namun tetap saja juga melaksanakan
prosesi adat pernikahan minangkabau umumnya yaitu prosesi maminang, maantaan
siriah, baiyo-iyo. Dan syarat pernikahan berdasar pada hukum agama dan undang-
undang seperti UU No.1 tahun 1974.
Apabila terjadi perceraian maka anak akan di asuh oleh ibu dan bapak tetap
berkewajiban menafkahi anaknya. Namun kalau ibu yang tidak beragama
islam,pemabuk dan tidak waras maka anak akan di asuh oleh ayah.

d. Hukum Keluarga
Keluarga dituntut untuk menjaga keturunan atau generasi penerus keluarga agar
tetap berpegang pada adat dan nilai-nilai agama, sehingga tidak terpengaruh oleh
dampak buruk gaya hidup kebaratan terlebih lagi di era globalisasi saat ini.
Menurut narasumber, di dalam hukum adat Nagari Tabek Panjang tiak mengenal
adanya anak angkat karena seoarang anak yang telah di tinggal orang tua baik
meninggal maupun menghilang maka anak akan di pertanggungjawabkan oleh
dunsanak atau saudara si anak. Untuk pemberian nama sudah tidak di ataur lagi oleh
adat.

4.4 Pluralisme Hukum Tanah


Terdapat 2 hukum yang di gunakan masyarakat Nagari Tabek Panjang sebagai
pedoman hidupnya, yaitu hukum adat nagari dan hukum Islam. Untuk dominasi hukum apa
yang digunakan tersebut, nagari tabek panjang memiliki pluralisme hukum yang kuat.
Karena adanya 2 bentuk aturan hukum tersebut. Jika terjadi konflik sengketa tanah di nagari
tabek panjang maka akan berlaku hukum adat tabek panjang sebagai acuan hakim untuk
memutuskan suatu konflik perkara tanah tersebut. Hukum adat juga diperkuat dengan hukum
islam sebagai landasan hukum adat dinagari tabek panjang.
Adapun alasan mengapa tanah di Nagari Tabek Panjang tidak disertifikatkan adalah
karena tanah pusaka yang disertifikasi itu hanya akan menimbulkan konflik.

4.5 Konversi Hak Tanah


Untuk konversi hak tanah ini dijelaskan bahwa hak atas tanah ulayat bersifat komunal
tidak atas kepemilikan individu serta masyarakat mendukung dan meiklaskan tanah ulayat
kaumnya apabila digunakan untuk pembangunan infrastruktur.

4.6 Kenuikan Nagari : Ikan Sakti


Salah satu keunikan yang terdapat di Nagari Tabek Panjang adalah adanya Mitos Ikan
Sakti yang terletak di Jorong Sungai Janiah, di halaman belakang Masjid Darul Amal.
Berdasarkan cerita yang ada, asal-usul ikan ini karena ada perjanjian antara jin dan manusia
yang dimana manusia ini menjelma menjadi ikan tersebut karena karena keduanya
melanggar janji maka keduanya itu menjadi ikan dan disertai ada kejadian anak hilang saat
itu maka dikatakan anak itu telah menjadi ikan. Manusia menebang pohon dan mengenai
anak jin sehingga mati dan jin pun melanggar perjanjiannya. Sehingga disebutlah daerah
tersebut ikan tersebut dengan ikan sakti yang mempunyai kekuatan mistis dan dipercayai
oleh masyarakat. Ikan yang terlihat jelas di percayai sebagai manusia dan sebaliknya yang
tidak jelas dipercayai sebagai jin.
Berdasarkan cerita asal-usul ikan inilah masyarakat mempercayai bahwa ikan tersebut
benar-benar sakti, selain itu banyak sekali pantangan terhadap ikan tersebut. Ikan sakti ini
tidak boleh dimakan karena masyarakat mempercayai dengan memakan ikan sakti tersebut
akan membuatnya meninggal dunia secara perlahan. Dan cara pemeliharaannyapun sangat
berbeda. Dimana ikan ini tidak beleh dipelihara ditempat lain diluar kolam pemeliharaanya.
Pengelolaan ikan sakti samaseperti ikan biasaya, diberi makan dan dilakukan penggatian air.
Dan jika ada ikan sakti yang sakit maka cara pengobatanya akan di lakukan teknik yang
berbeda yaitu dengan membaca mantra-matra.
Dampak dari adanya ikan sakti ini adalah bertambahnya pendapatan nagari karena
adanya pariwisata nagari dimana hasil dari pariwisata ini membuat masyarakat tidak perlu
lagi membayar pajak bangunan dan tanah.
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Nagari Tabek Panjang masih meberlakukan Hukum Adat yaitu hukum adat perdata
sebagai pedoman dan norma yang mengatur kehidupan keseharian mereka mengikuti adat
minangkabau secara keseluruhan dan mengikuti kesepakatan nenek moyang terdahulu.
Masyarakat Tabek Panjang tersusun atas paruik, jurai, kaum, suku yang merupakan
susunan dari tingat bawah atau kelompok terkecil ke yg besar dimana setiap kelompoknya
dipimpin oleh pemimpinya. Masing-masing suku terdiri dari beberapa kaum,dan masing-
masing kaum terdiri dari beberapa jurai,masing-masing jurai terdiri dari beberapa paruik. Di
nagari tabek panjang ini terdapat 3 suku besar yaitu ; caniago, piliang dan guci.
Tanah di Nagari Tabek Panjang status kepemilikannya yaitu milik kaum/paruik. Batas-
batas tanah yang terdapat di daerah tersebut di tentukan oleh nenek moyang mereka dahulu
dengan berbagai cara seperti mamancang. Sertifikasi tanah ulayat/kaum di indonesia
menganut stelsel negatif yang artinya bisa dibatalkan,sertifakat itu merupakan salah satu
bentuk penegasaan hak milik, karena tanah di tabek panjang milik kaum adat.
Di Nagari Tabek Panjang terdapat satu suku yang diperbolehkan menikah sesuku atau
saling pulang-memulangi, yaitu suku chaniago. Seseorang bisa menikahi keponakan ayah
atau bisa disebut pulang ka bako. Untuk prosesi pernikahan dilaksanakan sesuai hukum dan
syariat Islam, seperti adanya ijab, Kabul, wali saksi dan sebagainya. Namun tetap saja juga
melaksanakan prosesi adat pernikahan minangkabau umumnya.
Dalam hukum adat Nagari Tabek Panjang tiak mengenal adanya anak angkat karena
seoarang anak yang telah di tinggal orang tua baik meninggal maupun menghilang maka
anak akan di pertanggungjawabkan oleh dunsanak atau saudara si anak.
Terdapat 2 hukum yang di gunakan masyarakat Nagari Tabek Panjang sebagai
pedoman hidupnya, yaitu hukum adat nagari dan hukum Islam.

5.2 Saran
Diharapkan kepada masyarakat serta pemerintahan nagari Tabek Panjang tetap dapat
menjaga dan mempertahankan adat istiadat yang ada, jangan sampai luntur karena
perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA

https://yonariza.files.wordpress.com/2013/08/hukum-adat-minangkabau.pdf
https://id.wikipedia.org/wiki/Tabek_Panjang,_Baso,_Agam
www.pps.unud.ac.id > pdf_thesis
Ragawino, Bewa. 2008. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Universitas
Padjajaran.

Wulansari. Dewi. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Bandung. PT Refika Aditama. 2010.

Zainuddin Ali, 2012. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Yang Menerbitkan PT Sinar Grafika:
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai