Oleh :
Kelompok 3
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2015
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang senantiasa memberikan kita rahmat dan
karunia-Nya sehingga laporan ini dapat Penulis selesaikan dengan baik. Selanjutnya shalawat dan
salam kepada arwah junjungan kita yakni Nabi Besar Muhammad SAW yang telah meninggalkan
kepada kita Al-Qur’an dan Sunah sebagai pedoman dalam menempuh hidup diatas dunia ini.
Penulisan laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas matakuliah Hukum Adat dan
Pertanahan. Selain itu juga dapat dijadikan sebagai acuan untuk menambah ilmu pengetahuan.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penulisan laporan ini, terutama dosen mata kuliah Hukum Adat dan Pertanahan,
serta teman-teman yang selalu saling belajar dan mengingatkan selama praktikum matakuliah ini
berlangsung.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu saran dan kritik yang membangun dari pembaca sangat penulis harapkan demi kesempurnaan
laporan ini dimasa yang akan datang.
Akhir kata penulis ucapkan terima kasih atas perhatian dari pembaca, mudah-mudahan
laporan ini dapat menambah ilmu pengetahuan kita, terutama bagi diri penulis sendiri.
Kelompok 3
DAFTAR ISI
PENDAHULUAN
Sikap manusia yakni kecenderungsn untuk berbuat atau tidak berbuat terhadap
manusia, benda, atau keadaan tertentu. Sikap kemudian menghasilkan perilaku, yang
kemudian menjadi pola perilaku. Bila suatu perilaku dianggap baik, maka perilaku tersebut
dilakukan secara berulang-ulang. Inilah yang dinamakan kebiasaan. Kebiasaan yang
dilakukan berulang-ulang diabstraksikan dalam bentuk norma atau kaidah. Norma atau
kaidah ini merupakan patokan tentang perilaku yang pantas.
Norma – norma ini memiliki sanksi aabila dilanggar. Norma agama atau kepercayaan
bial dilanggar sanksinya adalah dosa, sedangkan norma kesusilaan sanksinya ditentukan
sendiri oleh yang melakukannya. Dalam norma kesopanan sanksinya ditentukan oleh orang
banyak atau masyarakat, namun tidak memaksa, dalam norma hukum sanksinya ditentukan
oleh penguasa penegak hukum, sanksi dalam norma hukum ini mengikat.
Dari segi bentuknya, hukum terbagi atas dua benuk, yaitu hukum tertulis dan hukum
tidak tertulis. Hukum tertulis adalah hukum perundang-undangan dalam arti hukum yang
dibentuk oleh badan-badan yang berwenang membuat peraturan antara lain undang –
undang, peraturan presiden, peraturan pemerintah, peraturan daerah. Hukum tidak tertulis
adalah hukum yang tidak dibuat oleh badan yang berwenang membuat peraturan salah satu
contohnya adalah hukum adat.
Hukum adat yaitu aturan-aturan yang dibuat dan dibentuk oleh masyarakat sesuai
dengan norma-norma yang berlaku. Atau dapat juga dikatakan sebagai hukum yang
mengatur terutama tingkah laku manusia dalam hubungan satu sama lain.
Hukum adat merupakan cerminan dari keinginan masyarakat, karena hukum tumbuh
dan berkembang di dalam masyarakat. Karena itu jika berbicara masalah hukum adat maka
segala yang berkaitan dengan hukum adat tidak dapat dipisahkan dari masyarakat yang
merupakan wadah dari hukum adat itu. System hukum dalam suatu masyarakat akan berkait
dengan system masyarakat itu sendiri.
Menurut Hakimy (1997:2-5), adat Minangkabau sebagai suatu sistem pada mulanya,
yaitu sebelum agama Islam masuk ke Minangkabau, berdasarkan pada ketentuan-ketentuan
alam yang nyata ini, berada pada tingkat derajat kedua. Nenek moyang orang Minangkabau,
Datuak Perpatih Nan Sabatang dan Datuak Katumanggungan, sebagai orang pertama yang
menyusun adat Minangkabau, mempergunakan alam terkembang ini sebagai sumber dasar
pengetahuan untuk menyusun tata cara masyarakat dalam bidang: (a) kedudukan orang
sebagai pribadi, (b) kedudukan masyarakat, dan (c) perekonomian. Dari ketentuan-ketentuan
alam dapat dikenal suatu susunan masyarakat, tujuan masyarakat, cara mencapai tujuan
masyarakat. Setelah agama Islam masuk ke Minangkabau dan adat itu disempurnakan oleh
agama Islam, maka sumber adat Minangkabau berada pada derajat pertama, karena agama
Islam dalam kitab suci Alquran banyak menyatakan bahwa alam ini merupakan ayat-ayat
Allah yang dapat dipelajari oleh manusia yang berakal. Ketentuan-ketentuan alam disusun
menjadi pepatah-petitih yang digambarkan dengan berbagai bentuk/corak, bentuk itu ada
yang dinyatakan secara langsung dan ada pula yang tidak langsung. Akan tetapi, pada
umumnya, anjuran bertindak dan menyusun pergaulan hidup berdasarkan ketentuan-
ketentuan dalam alam itu, dilakukan melalui cara yang tidak langsung dan dengan cara
perumpamaan.
Hamka (1984:83) menyatakan hal yang sama bahwa adat istiadat masyarakat
Minangkabau tidak terlepas dari pandangan hidup “falsafah adat Minangkabau”. Alam
lingkungan sekitarnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dari tradisi budayanya,
lingkungan ini bagi masyarakat Minangkabau ditranselerasikan ke dalam pepatah adat, yaitu
“alam terkembang jadi guru”. Ungkapan tersebut memberikan makna tentang segala sesuatu
yang dicerminkan oleh alam, mempunyai keterkaitan dengan kehidupan manusia, memiliki
arti dalam kehidupan sebagai guru yang patut dipikirkan dan direnungkan, kemudian
diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat (Ikhwan, 2002:8)
1.3 Tujuan
Secara umum, praktikum kunjungan lapangan ini bertujuan untuk megetahui Hukum
Adat yang berlaku di Nagari Tabek Panjang yang dijadikan cerminan dan pedoman dalam
kehidupan masyarakatnya.
Secara khusus, praktikum kunjungan lapangan ini bertjuan untuk :
1. Untuk mengetahui karakteristik hukum adat di Nagari Tabek Panjang
2. Mengetahui susunan masyarakat di Nagari Tabek Panjang
3. Mengetahui bidang apa saja yang diatur melalui hukum adatnya di Nagari Tabek
Panjang serta mengetahui bagaimana pelaksanaan hukum adat pada masing-masing
bidang tersebut (hukum waris, hukum pertanahan, hukum perkawinan, hukum
keluarga)
4. Mengetahui apa saja hukum yang berlaku dan digunakan sehari-hari di masyarakat
Nagari Tabek Panjang
5. Mengetahui bentuk ganti rugi tanah (konversi hak tanah) untuk fasilitas umum di
Nagari Tabek Panjang
6. Mengetahui keunikan local Nagari Tabek Panjang yaitu Ikan Sakti.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Istilah “Hukum Adat” dikemukakan pertama kalinya oleh Prof.Dr. Cristian Snouck
Hurgronye dalam bukunya yang berjudul “De Acheers” (orang-orang Aceh), yang kemudian
diikuti oleh Prof. Mr. Cornelis van Vollen Hoven dalam bukunya yang berjudul “Het Adat
Recht van Nederland Indie”. Dengan adanya istilah ini, maka Pemerintah Kolonial Belanda
pada akhir tahun 1929 mulai menggunakan secara resmi dalam peraturan perundang-
undangan Belanda.
Istilah hukum adat sebenarnya tidak dikenal didalam masyarakat, dan masyarakat
hanya mengenal kata “adat” atau kebiasaan. Adat Recht yang diterjemahkan menjadi Hukum
Adat dapatkah dialihkan menjadi Hukum Kebiasaan.
Van Dijk tidak menyetujui istilah hukum kebiasaan sebagai terjemahan dari adat recht
untuk menggantikan hukum adata dengan alasan : “ Tidaklah tepat menerjemahkan adat recht
menjadi hukum kebiasaan untuk menggantikan hukum adat, karena yang dimaksud dengan
hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan, artinya
karena telah demikian lamanya orang biasa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu
sehingga timbulah suatu peraturan kelakuan yang diterima dan juga diinginkan oleh
masyarakat, sedangkan apabila orang mencari sumber yang nyata dari mana peraturan itu
berasal, maka hampir senantiasa akan dikemukakan suatu alat perlengkapan masyarakat
tertentu dalam lingkungan besar atau kecil sebagai pangkalnya. Hukum adat pada dasarnya
merupakan sebagian dari adat istiadat masyarakat. Adat-istiadat mencakup konsep yang luas.
Sehubungan dengan itu dalam penelaahan hukum adat harus dibedakan antara adat-istiadat
(non-hukum) dengan hukum adat, walaupun keduanya sulit sekali untuk dibedakan karena
keduanya erat sekali kaitannya.
Untuk mendapatkan gambaran apa yang dimaksud dengan hukum adat, maka perlu kita
telaah beberapa pendapat sebagai berikut :
a. Manusia tidak dapat berbuat seenaknya karena terikat oleh peraturan masyarakat.
b. Setiap orang mempunyai hak dan kewajiban sesuai dengan kedudukannya di dalam
masyarakat
c. Adanya hak subyektif sebagai berfungsi social
d. Selalu mengutamakan kepentingan bersama
e. Adanya sifat gotong royong
f. Mempunyai Sopan santun dan sabar
g. Selalu berprasangka baik
h. Saling menghormati
3) Demokrasi
Hukum adat di Indonesia meyakini bahwa segala sesuatu harus selalu diselesaikan
dengan rasa kebersamaan dan lebih mengutamakan kepentingan bersama diatas kepentingan
pribadi sesuai dengan asas permusyawaratan dan perwakilan sebagai sistem pemerintahan.
Misalnya hasil musyawarah di Balai Desa yang harus ditaati oleh seluruh peserta musyawarah.
4) Kontan
Hukum adat di Indonesia meyakini bahwa peralihan atau pemindahan hak dan
kewajiban harus dilakukan pada saat yang bersamaan, artinya setiap peristiwa serah trima
harus jabatan atau kekuasaan dilakukan secara serentak untuk menjaga keseimbangan didalam
kehidupan bermasyarakat.
5) Konkrit
Hukum adat di Indonesia meyakini bahwa ada tanda yang terlihat dalam setiap
perbuatan dan keinginan di dalam setiap hubungan hukum yang harus dinyatakan dengan
benda yang berwujud. Tidak ada janji yang dibayar dengan janji karena setiap janji harus
disertai dengan perbuatan nyata dan tidak ada kecurigaan diantra yang lain.
2.4 Hukum Adat Waris
Ada dua hal yang menyebabkan tanah itu memiliki kedudukan yang sangat penting
dalam hukum adat yaitu :
a. Karena Sifatnya
Yakni merupakan satu-satunya benda kekayaan yang meski mengalami keadaan yang
bagaimanapun juga, masih bersifat tetap dalam keadaannya, bahkan kadang-kadang
malah menjadi lebih menguntungkan.
b. Karena Fakta
Yaitu suatu kenyataan bahwa tanah itu :
merupakan tempat tinggal persekutuan
memberikan penghidupan kepada persekutuan
merupakan tempat tinggal kepada dayang-dayang pelindungpersekutuan kepada
roh para leluhur persekutuan.
merupakan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia.
Hukum agraria dalam arti sempit yaitu merupakan bagian dari hukum agrarian dalam
arti luas yaitu hukum tanah atau hukum tentang tanah yang mengatur mengenai permukan
atau kulit bumi saja atau pertanian
Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud hak
penguasaan atas tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau
larangan bagi pemenang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu
yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah
yang menjadi criteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang
diatur dalam Hukum Tanah.
Landasan Hukum Agraria ialah ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 45 merupakan
sumber hukum materiil dalam pembinaan hukum agraria nasional. Hubungan Pasal 33 (3)
UUD 45 dengan UUPA:
a. Dimuat dalam Konsideran UUPA, Pasal 33 (3) dijadikan dasar hukum bagi
pembentukan UUPA dan merupakan sumber hukum (materiil) bagi pengaturannya.
“bahwa hukum agraria tersebut harus pula merupakan pelaksanaan dari pada Dekrit
Presiden tanggal 5 Juli 1959, ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan
Manifesto Politik Republik Indonesia, sebagai yang ditegaskan dalam pidato Presiden
tanggal 17 Agustus 1960, yang mewajibkan Negara untuk mengatur pemilikan tanah
dan memimpin penggunaannya, hingga semua tanah diseluruh wilayah kedaulatan
bangsa dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik secara
perseorangan maupun secara gotong-royong”
b. Dalam penjelasan UUPA angka 1
“hukum agraria nasional harus mewujudkan penjelmaan dari pada azas kerokhanian,
Negara dan cita-cita Bangsa, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Perikemanusiaan,
Kebangsaan, Kerakyatan dan Keadilan Sosial serta khususnya harus merupakan
pelaksanaan dari pada ketentuan dalam pasal 33 Undang-undang Dasar dan Garis-garis
besar dari pada haluan Negara….”
- Pertunangan
Perkawinan dalam hukum adapt sangat dipengaruhi oleh sifat dari pada susunan
kekeluargaan. Susunan kekeluargaan dikenal ada beberapa macam, yaitu:
Prinsip perceraian adalah suatu yang tidak dikehendaki atau dilarang. Di dalam adat
yang ada di Indonesia terdapat beberapa istila tentang perkawinan antara lain :
a. Kawin Lari: Yaitu kedua calon suami isteri bersama-sama melakukan perkawinan
sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari dari suatu keharusan misalnya
membayar “jujur”, atau orang tua tidak setuju dan menghindari dari prosedur yang
berbelit-belit.
b. Perkawinan Bawa Lari: Yaitu seorang pemuda melarikan seorang gadis yang sudah
ditunangkan atau seorang wanita yang sudah bersuami dan wanita itu dipaksa
olehpemuda tersebut. Jadi seolah-olah suatu penculikan.
c. Perkawinan “Nyalindung Kegelung” Yaitu perkawinan dimana seorang wanita kaya
kawin dengan pemuda miskin.
d. Perkawinan “Manggi Kaya” : Yaitu perkawinan antara seorang suami dengan isteri
miskin
e. Perkawinan “Ngarah Gawe”: Yaitu perkawinan antara sorang gadis yang belum dewasa
dengan pemuda yang sudah dewasa. Setelah menikah suami yang sudah dewasa
bertempat tinggal di rumah mertuanya, mereka belum dapat hidup sebagai suami isteri
delama isteri belum dewasa.
f. Kawin “Gantung” : Yaitu perkawinan yang dilaksanakan oleh kedua orang tua,
sedangkan kedua mempelai sama-sama belum dewasa.
g. Perkawinan “ Semendo Ambil Anak “ Yaitu perkawinan agar menantu laki-laki itu
menjadi anaknya sendiri.
Kekeluargaan terdapat dua macam, yang pertama di tinjau dari hubungan darah dan
yang kedua ditinjau dari hubungan perkawinan.
1. Kekeluargaan ditinjau dari hubungan darah atau bisa disebut dengan kekeluargaan
sedarah ialah pertalian keluarga yang terdapat antara beberapa orang yang mempunyai
keluhuran yang sama.
2. Kekeluargaan karena perkawinan ialah pertalian keluarga yang terdapat karena
perkawinan antara seseorang dengan keluarga sedarah dari istri (suaminya).
Menurut John Griffiths, pluralisme hukum adalah hadirnya lebih dari satu aturan
hukum dalam sebuah lingkungan sosial (Griffiths, 1986: 1). Pada dasarnya, pluralisme
hukum melancarkan kritik terhadap apa yang disebut John Griffiths sebagai ideologi
sentralisme hukum (legal centralism).
Dalam perjalanannya, pluralisme hukum ini tidak terlepas dari sejumlah kritik, di
antaranya:
a. Pluralisme hukum dinilai tidak memberikan tekanan pada batasan istilah hukum
yang digunakan;
b. Pluralisme hukum dianggap kurang mempertimbangkan faktor struktur sosio-
ekonomi makro yang mempengaruhi terjadinya sentralisme hukum dan pluralisme hukum.
Selain itu, menurut Rikardo Simarmata, kelemahan penting lainnya dari pluralisme hukum
adalah pengabaiannya terhadap aspek keadilan.
Lebih jauh lagi, gerakan penggiat pluralisme hukum juga mencoba merambah
ranah penyelesaian sengketa, yaitu dengan mendorong adanya pengakuan terhadap lembaga-
lembaga penyelesaian hukum adat (peradilan adat). Hal ini dianggap sebagai salah satu
jawaban terhadap situasi lembaga penyelesaian sengketa negara (pengadilan) yang bobrok,
yang dinilai tidak dapat memberikan keadilan substantif. Gerakan ini intinya menawarkan
untuk membiarkan masyarakat menyelesaikan persoalannya sendiri melalui peradilan adat
tanpa melalui melibatkan pengadilan.
BAB III
METODE PRAKTIKUM
a. Kuisioner yang digunakan untuk bahan acuan dalam diskusi tanya jawab
b. Alat-alat tulis yang digunakan untuk mencatat hal-hal yang penting
c. Camera/recorder untuk mendokumentasikan hasil dari diskusi tanya jawab
Metode yang dipakai dalam praktikum adalah dengan diskusi tanya jawab dengan
pemangku kepentingan di Nagari Tabek Panjang, panduan wawancara berupa kuisioner di
berikan kepada pemangku kepentingan di Nagari Tabek Panjang, lalu para pemangku
kepentingan menjawab pertanyaan yang ada dikuisioner, kemudian hasil dari pertanyaan di
catat oleh mahasiswa/i. Lalu diadakan tanya jawab antara mahasiswa dengan pemangku
kepentingan di Nagari Tabek Panjang
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Nagari Tabek Panjang masih meberlakukan Hukum Adat yaitu hukum adat perdata
sebagai pedoman dan norma yang mengatur kehidupan keseharian mereka mengikuti adat
minangkabau secara keseluruhan dan mengikuti kesepakatan nenek moyang terdahulu.
Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran Hukum Adat yang berlaku di sepakati
dalam musyawarah yang dilakukan oleh penghulu masing-masing suku atau petinggi-
petinggi adat. Bentuk dari sangsi tersebut bermacam, mulai dari dikucilkan oleh kaum/suku
hingga sanksi paling berat adalah di keluarkan dari kaum/suku. Adanya sanksi ini dinilai
menjadi alasan masyarakat masih mematuhi hukum adat yang berlaku di Nagari tersebut.
Susunan masyarakat di nagari tabek panjang seperti masyarakat minang pada umum
yaitu berdasarkan garis keturunan ibu atau sering disebut matrilineal. Masyarakat Tabek
Panjang tersusun atas paruik, jurai, kaum, suku yang merupakan susunan dari tingat bawah
atau kelompok terkecil ke yg besar dimana setiap kelompoknya dipimpin oleh pemimpinya.
Masing-masing suku terdiri dari beberapa kaum,dan masing-masing kaum terdiri dari
beberapa jurai,masing-masing jurai terdiri dari beberapa paruik. Sehingga di nagari tabek
panjang terjadi perikatan persaudaraan yang kuat karena pembagian tersebut.
Di nagari tabek panjang ini terdapat 3 suku besar yaitu ; caniago, piliang dan guci.
Dalam satu suku terdapat beberapa kaum, yang membentuk satu suku, yang memegang
keputusan tertinggi adalah pemangku adat/keempat suku. Di nagari tabek panjang masih
menggunakan musyawarah atau mufakat dalam menyelesaikan masalah yang di kepalai oleh
pengulu. Pada umumnya system kemasyarakatannya masih berdasarkan system
kemasyarakatan terdahulu atau warisan nenek moyang. Untuk kedudukan mamak sama
dengan daerahnya lainya, mengatur kopanakan.
Masyarakat pendatang yang menetap, paling kurang 6 bulan harus malakok atau
menjadi kemenakan seorang mamak yang ada di tabek panjang serta mendapatkan suku baru
di tabek panjang. Ini di tujukan untuk supaya pendatang lebih menyatu dalam masyarakat
dan apabila pendatang tersebut membuat masalah maka mamak atau penghulu lah yang akan
menanganinya.
b. Hukum Pertanahan
Tanah di Nagari Tabek Panjang status kepemilikannya yaitu milik kaum/paruik.
Batas-batas tanah yang terdapat di daerah tersebut di tentukan oleh nenek moyang
mereka dahulu dengan berbagai cara seperti mamancang.
Sertifikasi tanah ulayat/kaum di indonesia menganut stelsel negatif yang artinya
bisa dibatalkan,sertifakat itu merupakan salah satu bentuk penegasaan hak milik,
karena tanah di tabek panjang milik kaum adat.
Pemanfaat tanah oleh orang lain di tabek panjang ada namun memiliki persyaratan
yang sulit seperti harus menetap dan malakok di tabek panjang. Untuk manaruko masih
ada dalam hal banyak dilakukan dari lahan kering menjadi lahan basah. Hukum adat
tidak ada mengenal gadai tanah. Untuk tanah pekuburan dimiliki oleh masing-masing
kaum.
c. Hukum Perkawinan
Di Nagari Tabek Panjang terdapat satu suku yang diperbolehkan menikah sesuku
atau saling pulang-memulangi, yaitu suku chaniago. Seseorang bisa menikahi
keponakan ayah atau bisa disebut pulang ka bako.
Untuk prosesi pernikahan dilaksanakan sesuai hukum dan syariat Islam, seperti
adanya ijab, Kabul, wali saksi dan sebagainya. Namun tetap saja juga melaksanakan
prosesi adat pernikahan minangkabau umumnya yaitu prosesi maminang, maantaan
siriah, baiyo-iyo. Dan syarat pernikahan berdasar pada hukum agama dan undang-
undang seperti UU No.1 tahun 1974.
Apabila terjadi perceraian maka anak akan di asuh oleh ibu dan bapak tetap
berkewajiban menafkahi anaknya. Namun kalau ibu yang tidak beragama
islam,pemabuk dan tidak waras maka anak akan di asuh oleh ayah.
d. Hukum Keluarga
Keluarga dituntut untuk menjaga keturunan atau generasi penerus keluarga agar
tetap berpegang pada adat dan nilai-nilai agama, sehingga tidak terpengaruh oleh
dampak buruk gaya hidup kebaratan terlebih lagi di era globalisasi saat ini.
Menurut narasumber, di dalam hukum adat Nagari Tabek Panjang tiak mengenal
adanya anak angkat karena seoarang anak yang telah di tinggal orang tua baik
meninggal maupun menghilang maka anak akan di pertanggungjawabkan oleh
dunsanak atau saudara si anak. Untuk pemberian nama sudah tidak di ataur lagi oleh
adat.
5.1 Kesimpulan
Nagari Tabek Panjang masih meberlakukan Hukum Adat yaitu hukum adat perdata
sebagai pedoman dan norma yang mengatur kehidupan keseharian mereka mengikuti adat
minangkabau secara keseluruhan dan mengikuti kesepakatan nenek moyang terdahulu.
Masyarakat Tabek Panjang tersusun atas paruik, jurai, kaum, suku yang merupakan
susunan dari tingat bawah atau kelompok terkecil ke yg besar dimana setiap kelompoknya
dipimpin oleh pemimpinya. Masing-masing suku terdiri dari beberapa kaum,dan masing-
masing kaum terdiri dari beberapa jurai,masing-masing jurai terdiri dari beberapa paruik. Di
nagari tabek panjang ini terdapat 3 suku besar yaitu ; caniago, piliang dan guci.
Tanah di Nagari Tabek Panjang status kepemilikannya yaitu milik kaum/paruik. Batas-
batas tanah yang terdapat di daerah tersebut di tentukan oleh nenek moyang mereka dahulu
dengan berbagai cara seperti mamancang. Sertifikasi tanah ulayat/kaum di indonesia
menganut stelsel negatif yang artinya bisa dibatalkan,sertifakat itu merupakan salah satu
bentuk penegasaan hak milik, karena tanah di tabek panjang milik kaum adat.
Di Nagari Tabek Panjang terdapat satu suku yang diperbolehkan menikah sesuku atau
saling pulang-memulangi, yaitu suku chaniago. Seseorang bisa menikahi keponakan ayah
atau bisa disebut pulang ka bako. Untuk prosesi pernikahan dilaksanakan sesuai hukum dan
syariat Islam, seperti adanya ijab, Kabul, wali saksi dan sebagainya. Namun tetap saja juga
melaksanakan prosesi adat pernikahan minangkabau umumnya.
Dalam hukum adat Nagari Tabek Panjang tiak mengenal adanya anak angkat karena
seoarang anak yang telah di tinggal orang tua baik meninggal maupun menghilang maka
anak akan di pertanggungjawabkan oleh dunsanak atau saudara si anak.
Terdapat 2 hukum yang di gunakan masyarakat Nagari Tabek Panjang sebagai
pedoman hidupnya, yaitu hukum adat nagari dan hukum Islam.
5.2 Saran
Diharapkan kepada masyarakat serta pemerintahan nagari Tabek Panjang tetap dapat
menjaga dan mempertahankan adat istiadat yang ada, jangan sampai luntur karena
perkembangan zaman.
DAFTAR PUSTAKA
https://yonariza.files.wordpress.com/2013/08/hukum-adat-minangkabau.pdf
https://id.wikipedia.org/wiki/Tabek_Panjang,_Baso,_Agam
www.pps.unud.ac.id > pdf_thesis
Ragawino, Bewa. 2008. Pengantar dan Asas-Asas Hukum Adat Indonesia. Universitas
Padjajaran.
Wulansari. Dewi. Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar. Bandung. PT Refika Aditama. 2010.
Zainuddin Ali, 2012. Hukum Perdata Islam di Indonesia. Yang Menerbitkan PT Sinar Grafika:
Jakarta.