Anda di halaman 1dari 11

MAQRIFA WAHYU PERDANA / 19730251036 PPKn B

Multileveled Citizenship Education in Beijing: Liberation with Limitation


(by: Pan Suyan)
A. Tinjauan Umum
Pada bab ini menjelaskan mengenai temuan tentang globalisasi dan pendidkan
kewarganegaraan bertingkat pada sekolah menengah di Beijing. Perlu diketahui bahwa
Beijing adalah ibukota RRC dan salah satu kota terpadat di dunia, dengan populasi
21.54jt pada tahun 2018. Tujuan dijelaskannya bab ini untuk: (1) memeriksa bagaimana
pendidikan kewarganegaraan direncanakan di tingkat pemerintah dan diajarkan di tingkat
sekolah; (2) menganalisis perbedaan kurikulum yang direncanakan dan yang diterapkan,
sebagaimana tercermin oleh ruang lingkup, isi dan pendekatan pedagogis untuk
pendidikan kewarganegaraan; dan (3) menyelidiki cara yang mungkin dilakukan untuk
kemajuan pada kurikulum pendidikan kewarganegaraan dalam konteks spesifik Beijing. 
Pada enam dekade lalu dalam kebijakan negara RRC diperlihatkan sebuah
liberalisasi bertahap mengenai ruang lingkup, isi dan metode pengajaran untuk PKn di
Cina. Antara tahun 1949 dan 1976, PKn mengambil bentuk pendidikan ideologis-politik,
yang diinformasikan oleh pemikiran Marxisme-Leninisme dan Maois dan mencerminkan
ideologi politik dari Partai Komunis Cina. Reformasi ekonomi yang terjadi sejak tahun
1977 - 1980an membuka kembali ekonomi Cina ke Barat, pendidikan kewarganegaraan
pada periode pasca reformasi diorientasikan kembali dari yang semata-mata
memfokuskan pada ideologi politik ke pemupukan kualitas moral yang akan mendukung
modernisasi ekonomi dan persiapkan rakyat Cina untuk merangkul hadirnya realita
ekonomi baru.
PKn di Cina saat ini menekankan pengajaran seperangkat nilai-nilai moral yang
dimaksudkan untuk menjaga tatanan sosial sambil menjaga pemikiran komunis dan
sosialis dalam periode modernisasi ekonomi, termasuk: menjunjung tinggi cita-cita Partai
Komunis Cina yang menggambarkan sosialisme dan komunisme; menumbuhkan rasa
cinta siswa terhadap negara yang sosialis; mendorong siswa untuk mengejar pengetahuan
baru dan mengabdikan diri untuk pengembangan sosial Cina; mengajar siswa untuk
meningkatkan standar perilaku mereka, kesopanan, kebersihan, ketertiban umum, dan
moral; serta memperindah pikiran orang, bahasa, perilaku, dan lingkungan (Komitmen
Pendidikan Negara 1986).
Setelah menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia pada tahun 2001, Cina
menjadi lebih rentan terhadap pengaruh global. Sejak itulah Cina memperluas cakupan
pendidikan moral termasuk keterlibatan individu dalam aktivitas manusia di berbagai
tingkatan (individu, komunitas/lokal, nasional, dan internasional atau global). Pada
kurikulum sekolah menengah pertama, domain personal-sosial menekankan pada
pemahaman pertumbuhan dan pengembangan pribadi, pengembangan kesopanan, dan
penguasaan perilaku sosial dasar di rumah dan di sekolah dan masyarakat. Domain lokal
berfokus untuk membantu siswa memahami komunitas lokal mereka, peduli terhadap
perkembangan lokal dan masalah sosial, serta menjaga ketertiban sosial. Domain
nasional bertujuan untuk membantu siswa mengetahui dan peduli tentang perkembangan
dan kebijakan Cina, mencintai negata Cina, dan memahami kontribusi Partai Komunis
Cina untuk kebangkitan Cina. Sedangkan dimensi global diarahkan pada pengembangan
pandangan global siswa, pengetahuan tentang masalah utama global, dan pemahaman
tentang pentingnya perdamaian dunia (Kementrian Pendidikan 2003).
Selain itu, Cina juga berusaha untuk meningkatkan dampak pendidikan moral pada
siswa dengan mendorong sekolah untuk membina hubungan dan membangun semua
dengan komunitas dan organisasi sosial. Pada saat yang sama, Departemen Pendidikan
memberikan pemerintah daerah dan sekolah untuk meningkatkan otonomi atas
pengembangan kurikulum sekolah yang berbasis kreatif, dan terintegrasi untuk
meningkatkan keterampilan belajar siswa yang akan memajukan aspirasi ekonomi Cina
abad ke-21, termasuk moralitas pribadi dan keterampilan hidup, hubungan keluarga,
sekolah dan keterlibatan masyarakat setempat, sikap ilmiah, dan nilai-nilai estetika. Hal
diungkapkan oleh Lee dan Leung (2006) yang berpendapat tentang pentingnya
mengetahui apa yang terjadi di sekolah-sekolah dengan mengimplementasi cita-cita baru
pendidikan kewarganegaraan, untuk mengetahui dampak dokumen kebijakan dalam
realitas sekolah.
Tujuan mendasar dari kurikulum berbasis sekolah yang ditetapkan, yaitu untuk
menumbuhkan nilai-nilai bersama (termasuk nasionalisme, sosialisme, dan semangat
nasional pada masyarakat) dan norma-norma sosial yang mencerminkan kebajikan moral
dan tradisi Cina. Sedangkan tujuan dari pendidikan moral adalah untuk menghubungkan
kesadaran siswa akan pertumbuhan pribadi mereka untuk pertumbuhan kompetensi
nasional di dunia (Departemen Pendidikan 2005a). Untuk memfasilitasi pengembangan
kurikulum berbasis sekolah, Departemen Pendidikan mengizinkan penulisan dan
publikasi beragam buku teks pendidikan moral. Pada saat yang sama, diterbitkan, melalui
penerbit resminya, People's Education Press (PEP), sebuah buku teks nasional yang
menetapkan “standar kurikulum untuk mata pelajaran sekolah dasar dan menengah di
seluruh negeri”.
Adanya liberalisasi kebijakan merupakan cerminan dari tanggapan negara terhadap
perkembangan ekonomi dan meningkatkan “keterbukaan politik” di masyarakat Cina
dengan alasan menuju adanya perubahan yang lebih baik, bagaimanapun itu adalah cara
mereka mempromosikan dan mempertahankan legitimasi negara, melakukan
pembangunan bangsa, stabilitas politik, pembangunan ekonomi, dan kelangsungan hidup
Cina di dunia. Meskipun menyerahkan tingkat otonomi kepada pemerintah daerah dan
sekolah untuk menciptakan inisiatif, negara tetap mempertahankan tingkat
mengendalikan sifat politik pendidikan kewarganegaraan dan standar kurikulumnya. 
Beijing, sebagai ibukota nasional Cina, diharapkan memainkan peran utama dan
menunjukkan contoh yang baik untuk kurikulum pendidikan moral yang ditentukan
negara. Maka dari itu, pada 2005 BMEC (Beijing Municipal Education Commission)
menerbitkan keputusan untuk memperkuat pendidikan moral di kurikulum sekolah dasar
dan menengah, yang menyatakan bahwa pendidikan moral harus menjadi tujuan
pendidikan teratas di semua tingkatan sekolah dan tujuan mendasarnya harus untuk
mempromosikan kebanggaan nasional, semangat patriotik, kepercayaan pada
pembangunan nasional, keterbukaan dan reformasi ekonomi, serta pandangan positif dan
cinta terhadap negara sendiri.
Selain memperkuat pengajaran dimensi moral dari kewarganegaraan, pemerintah
Beijing telah merancang agenda kebijakan yang lebih liberal untuk peningkatan
pendidikan kewarganegaraan, dengan upayanya melalui Olimpiade XXIX untuk
meningkatkan citra global Beijing sebagai masyarakat beradab dan membangun
pengalaman pembelajaran partisipatif untuk siswa di seluruh kota. Pada tahun 2001,
Beijing dianugerahi pertandingan Olympiade XXIX (selanjutnya disebut di Olimpiade
2008). Pemerintah Beijing mengubah persiapan Olimpiade 2008 menjadi kampanye di
seluruh kota yang mencakup kerangka kerja multilevel untuk pendidikan terkait
kewarganegaraan, yang terdiri dari global, nasional, komponen lokal, dan personal-sosial
(UU 2010). 
Dimensi global dari pendidikan kewarganegaraan fokus utamanya pada
mempromosikan Olimpiade sebagai acara global, dengan berusaha untuk memadukan
pendidikan dengan olahraga dan budaya untuk meningkat baik tubuh dan pikiran, untuk
menyebarkan cita-cita seperti disiplin, fokus, visi, komitmen, dan kegigihan, dan untuk
mempromosikan nilai-nilai perdamaian global, persahabatan, dan solidaritas. Untuk
memenuhi komitmen internasional dan nasionalnya, Pengorganisasian Beijing Komite
Olimpiade Olympiade XXIX (2002) membentuk Komite Program Olimpiade melalui
pendidikan Olimpiade Beijing untuk mengajarkan pengetahuan Olimpiade, semangat,
dan kesadaran dan kesukarelaan terkait Game. Pengetahuan tentang dunia juga
dimasukkan untuk meningkatkan pemahaman dan kesadaran warga komunitas global
dan untuk menumbuhkan rasa partisipasi dan sumbangan untuk acara global.
Para pemimpin Cina percaya bahwa menjadi tuan rumah Olimpiade adalah sebuah
kesempatan untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Cina tidak hanya bisa menggelar
kompetisi atletik kelas dunia, tetapi juga telah menjadi ekonomi global yang modern dan
kekuatan sosial. Pendidikan Olimpiade juga mempromosikan tradisi dan budaya Cina,
keramahan dan keramahtamahan orang-orang Cina, dan kesediaan Cina untuk
meningkatkan pertukaran budaya dan mengembangkan kepercayaan dan persahabatan
dengan seluruh dunia. Untuk PKn dimensi lokal dan pribadi-sosial  keduanya
menekankan pembinaan di antara penduduk Beijing rasa partisipasi kolektif dan
kontribusi pada, acara global di Beijing. Selain itu, diadakan pula Buku Teks Pendidikan
Olimpiade yang dibagikan ke sekolah dasar dan menengah di kota.
Sementara itu sekolah, keluarga, dan sumber daya manusia diminta untuk
menciptakan lingkungan yang akan mendorong kesukarelaan siswa, menumbuhkan
kesopanan dan keramahan yang lebih besar di antara warganya, dan meningkatkan citra
internasional Beijing. Warga Beijing diharuskan mengadopsi seperangkat nilai - nilai
bersama (yaitu, "mencintai negara dan mematuhi hukum, kesopanan dan kejujuran,
solidaritas dan keramahan, penghematan dan kemerdekaan, dan pengabdian dan
kontribusi ") sebagai keharusan moral dan didesak untuk menunjukkan kesopanan dan
keramahan dalam melayani tamu asing. Maka dari itu perlu mengembangkan kemitraan
yang erat antara sekolah, keluarga, dan masyarakat untuk menciptakan lingkungan yang
akan meningkatkan kesadaran kewarganegaraan siswa dan mendorong kesukarelaan dan
partisipasipation dalam layanan masyarakat (Beijing Academy of Education
Sciences2006a).
Pada 1981, untuk dimensi moral pendidikan kewarganegaraan, Partai Komunis Cina
resmi merubah nama dari pendidikan ideologi politik ke pendidikan moral dan ideologi
politik. Pada tahun 1988, namanya diubah lagi, kali ini sebagai pendidikan moral, untuk
dianggap menghapus aspek-aspek politik yang terbukti tidak disukai oleh para pelajar
Cina dan tidak efektif untuk pendidikan sekolah. Meskipun perubahan nama,
bagaimanapun pendidikan moral tetap mempertahankan orientasi politiknya, dengan
Komite Sentral CPC mendefinisikannya sebagai “pendidikan ideologi dan politik yang
dirancang untuk menegakkan sekolah yang bersifat sosialis”. Meskipun sekolah
diberikan otonomi untuk mengembangkan kurikulum kewarganegaraan berbasis sekolah,
para guru enggan untuk melakukannya, karena takut menyentuh bidang yang sensitif
secara politis terkait kewarganegaraan (Li, 2006). Selain itu, preferensi guru untuk
kebenaran politik dan keamanan politik juga mencegah mereka mengembangkan
kurikulum kewarganegaraan yang lebih luas dan lebih akomodatif.
Berdasarakan penelitian yang telah dilakukan dalam bab ini menunjukkan bahwa
perhatian sekolah terhadap empat dimensi itu tidak merata, dengan ketiganya
menekankan dimensi nasional dan pribadi-sosial. Guru-guru di sekolah Beijing
mengakui bahwa dimensi lokal dan global pendidikan kewarganegaraan menerima
perhatian paling sedikit. Meskipun Pendidikan kewarganegaraan terkait Olimpiade
meliputi komponen global, nasional, dan lokal penekanan ditempatkan pada global hal
ini digunakan untuk mempromosikan kebanggaan nasional Cina, memperkuat
kepercayaan siswa pada kemampuan negara untuk membuat pertandingan Olimpiade
yang sukses besar, dan menumbuhkan kesadaran kewarganegaraan siswa dan
pemahaman secara signifikan dari warga Beijing sebagai sesuatu yang bisa dipamerkan
untuk Cina.
Untuk mempromosikan nasionalisme.dilakukan kegiatan pertukaran pelajar tingkat
internasional. Kegiatan pertukaran internasional adalah peluang untuk melibatkan siswa
dalam pendidikan kewarganegaraan partisipatif, aktif, dan demokratis, karena perjalanan
lintas batas dan pengalaman pendidikan memberikan pengalaman nyata dan berbagai
situs pembelajaran untuk keanekaragaman budaya, beragam identitas, demokrasi
mopolitan, dan keterampilan enaktif praktis hidup bersama di sebuah dunia yang saling
tergantung (Osler dan Starkey, 2003). Adanya sikap nasionalisme dalam diri siswa juga
akan memberikan dampak dalam sistem politik suatu negara. Hal tersebut sebagaimana
diungkapkan oleh Almond, et al (2000) bahwa pemahaman tentang kognitif dan
keterikatan emosional dengan suatu bangsa penting untuk dipahami warga negara sistem
politik dalam konteks sosial politik dan untuk membentuk sikap tentang peran diri dalam
sistem.
B. Analisis dengan Kerangka Tesis David Kerr
1. Tujuan kurikulum, organisasi dan struktur
Kurikulum PKn di Cina tertanam dalam pendidikan moral dan politik, yang
mana ditentukan oleh negara dan dipimpin oleh partai. Pada enam dekade terakhir
dalam kebijakan negara telah melihat liberalisasi bertahap mengenai ruang lingkup
dan isi dan metode pengajaran untuk pendidikan kewarganegaraan. Setelah secara
eksklusif berfokus pada transmisi politik dan cita-cita ideologi, subjeknya sekarang
termasuk pendidikan tentang moral, etika, hukum, kesehatan psikologis, pengetahuan
hidup, dan dunia. Maka dari itu, pemerintah Beijing melakukan insiatif untuk
mengubah persiapan untuk Olimpiade 2008 menjadi proyek pendidikan
kewarganegaraan bertingkat, menggunakan forum internasional sebagai media untuk
menggapai cita-cita baru dari PKn, dan mengadvokasi pembelajaran yang lebih
berpusat pada siswa dan pengalaman partisipatif bagi siswa.
Untuk cakupan pendidikan moral meliputi keterlibatan individu dalam aktivitas
manusia di berbagai tingkatan (individu, komunitas/lokal, nasional, dan internasional
atau global). Pada kurikulum sekolah menengah pertama, domain personal-sosial
menekankan pada pemahaman pertumbuhan dan pengembangan pribadi,
pengembangan kesopanan, dan penguasaan perilaku sosial dasar di rumah dan di
sekolah dan masyarakat. Domain lokal berfokus untuk membantu siswa memahami
komunitas lokal mereka, peduli terhadap perkembangan lokal dan masalah sosial,
serta menjaga ketertiban sosial. Domain nasional bertujuan untuk membantu siswa
mengetahui dan peduli tentang perkembangan dan kebijakan Cina, mencintai negara
Cina, dan memahami kontribusi Partai Komunis Cina untuk kebangkitan
Cina. Sedangkan dimensi global diarahkan pada pengembangan pandangan global
siswa, pengetahuan tentang masalah utama global, dan pemahaman tentang
pentingnya perdamaian dunia.
Kurikulum untuk setiap kelas memiliki penekanan yang berbeda. Elemen
personal-sosial adalah tema utama kurikulum kelas 7, yang mencakup topik-topik
seperti manajemen emosional, membina kebiasaan hiudp sehat, dan beradaptasi
dengan kehidupan sekolah menengah pertama. Kurikulum kelas 8 saat ini mencakup
bidang kehidupan yang lebih luas dalam masyarakat modern, termasuk cinta dan
menghormati orang tua masing-masing, mengembangkan pertemanan, menunjukkan
rasa hormat pada guru, etika berinternet, hak-hak konsumen, dan mempromosikan
perdamaian dunia. Sedangkan pengajaran konten untuk siswa kelas 9 lebih eksplisit
bersifat nasionalis dan berorientasi secara politik, termasuk Konstitusi Cina, posisi
nasional dan pembangunan kebijakan, pembangunan sosial dan ekonomi, dan
meningkatnya status global.
Konten mengajar di tingkat SMA lebih berorientasi secara nasional dan politik
daripada konten di tingkat SMP. Hal ini dikarenakan siswa kelas 7 masih terlalu
muda
(usia 12-13 tahun) untuk memahami politik dan lebih ingin tahu tentang
pengembangan diri, seperti topik-topik pengetahuan kehidupan, kesehatan, dan
psikologi yang lebih menarik bagi siswa, sehingga memudahkan guru untuk
mendapatkan dan menjaga perhatian siswa. Sedangkan untuk siswa tingkat senior
(usia 14–15 tahu), mereka diharapkan bisa mengembangkan kapasitas kognitif yang
diperlukan untuk memahami ideologi-ideologi politik.
Sementara itu PKn yang diajarkan melalui kurikulum resmi, juga merupakan
komponen dari banyak kegiatan ekstrakurikuler yang ada di dalam dan di luar
sekolah; yang pertama terutama mencakup acara-acara simbolik (upacara pengibaran
bendera nasional dan peringatan pahlawan nasional) dan kompetisi pembelajaran
siswa yang berfokus pada pahlawan nasional, norma sosial, dan peraturan di sana,
sementara yang terakhir mencakup darmawisata (berkunjung ke tempat-tempat
budaya, museum teknologi, perpustakaan umum, dan situs bersejarah) serta layanan
sosial masyarakat (menjaga kebersihan jalan, membantu masyarakat mendekorasi
untuk Tahun Baru Imlek, mendistribusikan selebaran yang mempromosikan
kesopanan, dan perilaku sosial yang baik). Baik kegiatan kurikuler dan
ekstrakurikuler dapat membantu memperkuat identitas nasional siswa dengan
mengajar mereka untuk memahami perkembangan nasional, mengamati ritual
nasional, dan menghormati simbol-simbol nasional yang mewakili otoritas dan
kedaulatan negara. 
2. Pendekatan pengajaran dan pembelajaran
Pemerintah Beijing telah mengajukan gagasan menyusun lingkungan belajar
yang lebih berpusat pada siswa dan partisipatif siswa untuk belajar kewarganegaraan
di masyarakat luas (Zhang 2008). BMEC (2004) mendorong sekolah-sekolah di
Beijing untuk mengembangkan kurikulum kewarganegaraan berbasis sekolah.  Salah
satu cara meningkatkan partisipasi siswa di lingkungan masyarakat yaitu melibatkan
siswa dalam pengabdian masyarakat berpotensi untuk mengembangkan suatu
pendekatan optimal untuk pendidikan kewarganegaraan. Namun, sifat dari kegiatan
pengabdian masyarakat yang diselenggarakan oleh tiga sekolah menekankan layanan
masyarakat daripada pembelajaran kewarganegaraan, karena, seperti yang
dikemukakan Lo (2005: 56), kegiatan seperti menjaga kebersihan jalan semata
“Berkontribusi untuk mengembangkan ritual pelayanan tanpa membina masyarakat
sipil pentingnya kemanjuran ”.Ketika ditanya bagaimana sekolah membantu siswa
berhubungan dengan lokal dan peristiwa politik nasional seperti Kongres pemilihan
Rakyat Kota Beijing atau Kongres Rakyat Nasional Cina, para guru menjelaskan
informasi tentang peristiwa-peristiwa ini dimasukkan ke dalam pidato kepala sekolah
setelah upacara pengibaran bendera nasional, majelis sekolah, mingguan pertemuan
kelas, dan kegiatan serupa lainnya. 
Selain itu siswa juga didorong untuk menyinggung masalah-masalah lokal dan
nasional yang dianggap relevan dengan pendidikan moral, seperti revisi hukum untuk
perlindungan anak di bawah umur dan revisi hukum pajak; masalah politik dan
kontroversial, seperti pemilihan umum, dianggap tidak relevan karena siswa terlalu
muda untuk berpartisipasi secara resmi dan oleh karena itu dikecualikan dari
diskusi. Di bawah keadaan ini, siswa bersifat pasif, karena mereka bergantung pada
guru untuk memberikan apa yang akan terjadi dipelajari dan didiskusikan. Seperti
halnya di ketiga sekolah yang dijadikan sampel penelitian menunjukkan pedagogi
PKn yang sama, semacam interpretasi pendidikan kewarganegaraan minimalis (Kerr
2003) yaitu dipimpin guru, menekankan transmisi pengetahuan, disiplin, ritual, dan
kode moral, dan fokus pada sosialisasi siswa ke perangkat tertentu nilai-nilai dan
pemahaman pada tingkat kognitif dan afektif; sedikit usaha dibuat untuk
mengembangkan orientasi evaluatif siswa terhadap masyarakat sipil.
3. Spesialisasi guru dan pelatihan guru
Guru di Beijing dan tempat lain di Cina, pelatihan guru diberikan oleh lembaga
pelatihan guru yang didanai oleh pemerintah. Karena itu, seperti yang disarankan Lee
dan Leung (2006, hlm. 82), “adanya ketidakcukupan dalam pelatihan guru
mencerminkan betapa pemerintah benar-benar menetapkan prioritas dalam
pendidikan". Pada bab ini dilakukan penelitian dengan sampel tiga sekolah menengah
di Beijing yang mana menunjukkan bahwa para guru melihat mata pelajaran PKn
sebagai pendidikan moral dan politik yang mana keduanya didefinisikan negara dan
bersifat nasionalistis. Guru-guru dari ketiga sekolah menyebut PKn sebagai
"pendidikan moral" atau "pendidikan politik", mencatat bahwa istilah "pendidikan
kewarganegaraan" jarang digunakan di sekolah mereka.
Pada penelitian yang dilakukan ditemui bahwa guru merasa mereka kurang
memiliki pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman yang diperlukan untuk
mengajar kewarganegaraan global. Hal ini disebutkan bahwa guru di sekolah
menengah Beijing mempresentasikan isu-isu global seperti pemanasan global,
perdamaian dunia, dan keragaman budaya global menurut buku teks, tetapi tidak
jelas tentang bagaimana masalah ini terkait dengan kewarganegaraan global dalam
hal kewajiban kewarganegaraan seseorang untuk komunitas global. Guru seharusnya
juga mengeksplorasi metode pengajaran untuk menarik perhatian siswa pada
pendidikan moral kurikulum agar membuatnya "lebih menarik dan menyenangkan"
dan tidak terlalu "sulit" dan sekolah harus mengeksplorasi badan pendidikan moral
kampus dalam rangka membangun lingkungan yang menguntungkan untuk
meningkatkan pengaruh pendidikan moral pada siswa.
4. Penggunaan buku teks
Untuk pembelajaran PKn di Cina menggunakan buku teks yang diadopsi
untuk Ideologi dan Karakter Moral diterbitkan oleh Institut Penelitian Kurikulum dan
Bahan Pengajaran dari Pers Pendidikan Rakyat, yang mengikuti nasional standar
kurikulum yang ditetapkan oleh Departemen Pendidikan (2001c). Elemen sosial-
pribadi dan nasional adalah tema utama yang ditekankan dalam buku teks pendidikan
moral oleh PPR, menekankan pentingnya pembangunan nasional, ideologi politik
negara, dan kualitas pribadi yang positif. Karena itu, sekolah berfokus pada kualitas
dan efektivitas pengajaran dalam hal ini ukuran. Sebaliknya, buku teks PPR kurang
spesifik pada elemen lokal (Beijing) contoh; disajikannya elemen global, tapi yang
terutama di istilah pengetahuan dunia umum, yang bisa menjadi pendekatan alternatif
untuk pendidikan nasional karena penekanan ditempatkan pada prestasi negara Cina,
kekayaan nasional, dan posisi yang naik di panggung dunia. Hal tersebut
menunjukkan bahwa mata pelajaran PKn di Beijing sebagian besar berpusat pada
buku teks; yang mana buku teks yang mengatur untuk pedoman dan batas-batas PKn
sekolah.
C. Simpulan
Berdasarakan kajian umum bab ini dapat disimpulkan bahwa bagaimana
pendidikan kewarganegaraan di Cina khsusunya di Beijing telah direncanakan di
tingkat pembuatan kebijakan pemerintah dan prakteknya diajarkan di sekolah. PKn
yang sebenarnya diterapkan di sekolah mengambil bentuk pendidikan politik-moral,
yang mana itu mendefinisikan negara, berorientasi politik, nasionalistis dengan
dipimpin oleh guru dalam kegiatan pengajaran dan pembelajaran. Baik kegiatan
kurikuler maupun ekstrakurikuler di sekolah, PKn berusaha untuk disosialisasikan
pada siswa melalui rangkaian pengetahuan dan nilai-nilai tertentu di tingkat kognitif
dan afektif. 
Beijing memiliki potensi untuk memimpin daerah lain, jika pemerintah
Beijing terus berkomitmen untuk memberi contoh pendidikan kewarganegaraan yang
baik di Cina. Maka dari itu sumber daya lokal Beijing dapat digunakan dengan lebih
baik untuk memberikan peluang pendidikan yang akan mengarah pada implementasi
domain pendidikan yang lebih substansial untuk kewarganegaraan demokratis,
termasuk kesadaran partisipasi politik dan kewarganegaraan, pengetahuan,
keterampilan, dan pengalaman yang akan memungkinkan siswa untuk memperhatikan
dan tertarik pada politik, mengikuti berita dan kejadian terkini, untuk mengakses
kebijakan informasi dan pengetahuan, dan untuk mengungkapkan rasa
kewarganegaraan.
Selain itu, untuk PKn masa depan di Cina seharusnya tidak boleh terbatas
pada arena kebijakan dan dokumentasi pemerintah. Perhatian juga harus diberikan
pada sekolah pengembangan kurikulum dan pedagogi di sekolah, bidang yang sangat
penting bagi implementasi pendidikan kewarganegaraan yang
dirancang. Keterbatasan dalam implementasi kebijakan dan strategi pedagogis, seperti
yang diungkapkan oleh penelitian ini, menyarankan untuk perlunya pembuat
kebijakan dan praktisi pendidikan di Cina memasukkan pemikiran, nilai, dan
penilaian ke dalam pendidikan kewarganegaraan di tingkat evaluatif, kebutuhan untuk
memperbarui buku teks untuk mencerminkan perkembangan baru, dan kebutuhan
untuk meningkatkan kompetensi profesional guru untuk mengajar konsep, proses, dan
nilai-nilai pendidikan kewarganegaraan dalam tumpang tindih dan belum bersaing
dengan komunitas lokal, nasional, dan global.
DAFTAR PUSTAKA

Almond, G.A., Powell, G.B., Jr., Strom, K., and Dalton, R.J. 2000, Comparative Politics
Today: A World View (7th ed.), Longman, New York.
Beijing Academy of Educational Sciences. 2006a, “Beijing 2006 International Forum on
Citizenship Education for Children and Youths Memo” (in Chinese),
http://www.bjesr.cn/esrnet/site/001c001b5ade9f3.ahtml.
Central Educational Science Research Institute (ed.). 1986, Education Materials of the Early
Liberated Areas (in Chinese), Educational Science Press, Beijing.
Kerr, D. 2003, “Citizenship: Local, National and International Contexts”, in L.Gearon (ed.),
Learning to Teach Citizenship in the Secondary School: A Companion to School
Experience, RoutledgeFalmer, London, pp. 5–27.
Lee, W.O., and Leung, S.W. 2006, “Global Citizenship Education in the Hong Kong and
Shanghai Secondary School: Ideas, Realities and Expectations”, Citizenship Teaching
and Learning (Special Issue on Citizenship Education in Asia), 2(2), pp. 68–84.
Li, Y. 2006, “New Civics Textbook in China”, from
http://www.heb.chinanews.com/news/zgxwzk/2006–01–07/1366.html.
Lo, J.T.Y. 2005, “Continuity and Change in the Meanings of Citizenship—A Case Study of
the Primary Education Curriculum in Hong Kong, 1967–2002”, Pacifi c-Asian
Education, 17(1), pp. 54–68.
Ministry of Education. 2003, Curriculum Standards for Ideo-Character Courses in Full-Time
Compulsory Education (in Chinese), Ministry of Education, Beijing.
Osler, A., and Starkey, H. 2003, “Learning for Cosmopolitan Citizenship: Theoretical
Debates and Young People’s Experiences”, Educational Review, 55(3), pp. 243–254.
Zhang, J.M. 2008, “Citizenship Education for Primary and Secondary Students in Beijing:
Review and Recommendations”, from
http://www.bjesr.cn/esrnet/site/bjjykyw/gdjy/0029300128395841d9.ahtml.
Zhang, Y.L., and Lin, J. 2008, “Volunteerism in China II: Implementation, Issues, and
Challenges”, Chinese Education and Society, 41(4), pp. 3–12.

Anda mungkin juga menyukai