Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH

HAKIKAT KEKUASAAN NEGARA


Mata Kuliah Pendidikan Etika Politik
Dosen Pembimbing : Agustan, S.Pd., M.Pd.

DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
Ni Kadek Nilam Sari [1701401010]
Tri lusiana Kamarianto [1701401024]
Wiwi Mutmainnah Syam [1701401051]
Damianto [1701401006]

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
UNIVERSITAS COKROAMINOTO PALOPO
2019/2020
KATA PENGANTAR

Bismillahirahmanirahim, Segala puji hanya milik Allah Subhana Wa


Ta’ala, Tuhan sumber segala ilmu pengetahuan yang telah memberikan rahmat
dan hidayahnya sehingga makalah ini dapat diselesaikan dengan baik tepat pada
waktunya. Sholawat dan salam selalu terlimpah curahkan kepada Rasulullah
Shalallahu Alaihi Wa Salam. Berkat rahmat-Nya kami mampu menyelesaikan
tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah pendidikan etika politik.
Makalah ini disusun agar pembaca dapat memperluas pengetahuan tentang
hakikat kekuasaan negara yang kami sajikan dari berbagai sumber informasi dan
referensi. Makalah ini disusun dengan berbagai rintangan. Baik itu yang datang
dari diri sendiri maupun yang datang dari luar. Namun dengan penuh kesabaran
dan pertolongan dari Allah Subhana Wa Ta’ala. akhirnya makalah ini dapat
terselesaikan. Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu kami dalam menyusun makalah kami.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas dan
menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya teman-teman
Universitas Cokroaminoto. Kami sadar bahwa makalah ini masih banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu, kami menerima berbagai saran
maupun kritikan yang bersifat membangun. Akhir kata kami mengucapkan terima
kasih, semoga tulisan ini bermanfaat bagi para pembaca.

Palopo, 16 Februari 2020

Kelompok 4

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI…............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang.................................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah............................................................................... 2
1.3. Tujuan penulisan................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Kekuasaan............................................................................. 3
2.2. Hakikat Negara................................................................................... 4
2.3. Pengertian Kekuasaan Negara............................................................ 4
2.4. Sumber Kekuasaan Negara................................................................. 5
2.5. Teori Asas Kekuasaan Negara............................................................ 12
2.6. Macam-Macam Kekuasaan Negara.................................................... 13
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan......................................................................................... 18
3.2. Saran................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA…..................................................................................19

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Konsep mengenai kekuasaan merupakan hal yang penting dalam
pembahasan ini, sebab pembahasan ini pada dasarnya berbicara mengenai
lembaga-lembaga yang menjalankan kekuasaan berdasarkan suatu pola
tertentu dan legitimasi dari warganya untuk menyelenggarakan negara.
Berbagai persoalan yang muncul selanjutnya akan berkisar pada konsep
kekusaan yang sangat mendasar dalam ilmu sosial pada umumnya dan dalam
ilmu politik khususnya, bahkan dalam suatu ketika politik dianggap tidak lain
dari masalah kekuasaan. Tanpa adanya konsep yang jelas mengenai
kekuasaan, akan timbul kerancuan sehingga dapat timbul pengertian yang
rancu pula mengenai bagaimana kekuasaan itu diselenggarakan.
Kekuasaan sering kali dipandang sebagai suatu hubungan antara dua atau
lebih kesatuan, sehingga kekuasaan dianggap mempunyai sifat
yang relational. Karenanya perlu dibedakan antara scope of power dan
domain of power. Scope of power atau ruang lingkup kekuasaan menunjuk
pada kegiatan, tingkah laku, serta sikap dan keputusan-keputusan yang
menjadi obyek dari kekuasaan. Sementara itu istilah domain of power,
jangkauan kekuasaan menunjuk pada pelaku, kelompok atau kolektivitas
yang terkena kekuasaan.
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok manusia
untuk mempengaruhi perilaku seseorang atu kelompok lain sedemikian rupa
sehingga tingkah laku itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang
mempunyai tujuan itu.Maksudnya seseorang mempunyai kemampuan
mempengaruhi tingkah laku laku orang lain atau sekelompok orang
berdasarkan kewibawaan,wewenang, karisma atau kekuasaan fisik yang
dimiliki.
Berdasarkan latar belakang ini dapat dirumusknan permasalahan
bagaimana hakikat kekuasaan dalam suatu negara yang sebenarnya secara
lebih mendalam.

1
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas yaitu:
1. Jelaskan hakikat kekuasaan?
2. Jelaskan hakikat negara?
3. Jelaskan pengertian kekuasaan negara?
4. Bagaimanakah sumber-sumber kekuasaan negara?
5. Bagaimanakah teori asas kekuasaan negara?
6. Apa sajakah macam-macam kekuasaan negara?

1.3. Tujuan Penulisan


Adapun tujuan penulisan dari penyelesaian rumusan masalah ini yaitu:
1. Untuk memahami hakikat kekuasaan
2. Untuk memahami hakikat negara?
3. Untuk memahami dan mengetahui pengertian kekuasaan negara?
4. Untuk mengetahui sumber-sumber kekuasaan negara?
5. Untuk mengetahui teori asas kekuasaan negara?
6. Untuk mengetahui macam-macam kekuasaan negara?

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Kekuasaan


Kekuasaan (yang efektif) adalah kekuatan yang merupakan kombinasi
antara kompetensi (keahlian, kepandaian, keterampilan) dan karakter (watak
yang positif yang selalu menjunjung tinggi etika kemanusiaan). Dengan
kekuasaan itu, semuanya diarahkan untuk membangun kemaslahatan segenap
orang yang dipimpin pemegang kekuasaan itu.
Mochtar Kusumatmadja (1999:37), mengungkapkan bahwa: Hakikat
kekuasaan dalam berbagai bentuk itu tetap sama, yaitu kemampuan seseorang
atau suatu pihak untuk memaksakan kehendaknya atas pihak lain. Kekuasaan
mempunyai suatu sifat khas, yakni ia cenderung untuk merangsang yang
memilikinya untuk lebih berkuasa lagi. Kekuasaan haus akan lebih banyak
lagi kekuasaan. Dengan demikian mengingat sifat dan hakikat kekuasaan,
jelas kiranya bahwa tidak setiap orang dengan begitu saja dapat diserahi
kekuasaan. Ia harus dipersiapkan untuk itu. Seorang pemegang kekuasaan,
harus memiliki semangat mengabdi kepentingan umum (sense of public
service).
Berikut beberapa pendapat lain mengenai hakikat kekuasaan menurut para
ahli antara lain :
1. Max weber (wirtschaft and gesellshaft (1992) : kekuasaan adalah
kemampuan untuk dalam suatu hubungan sosial, melaksanakan kemauan
sendiri sekalipun mengalami perlawanan, dan apapun dasar kemampan ini.
2. Haroid D.lasswell dan Abraham Kaplan yang definisinya sudah menjadi
rumusan klasik menyebutkan bahwa kekuasaan adalah suatu hubungan
dimana seseorang atau kelompok lain ke arah tujuan ke pihak pertama.
3. Barbara Goodwin (2003) seorang ahli kontemporer, mendefinisikan bahwa
kekuasaan adalah kemampuan untuk mengakibatkan seseorang bertindak
dengan cara yang oleh yang bersangkutan tidak akan dipilih, seandainya ia
tidak dilibatkan. Dengan kata lain memaksa seseorang untuk melakukan
sesuatu yang bertentangan dengan kehendaknya. Biasanya kekuasaan di
selenggarakan melalui isyarat yang jelas.

3
2.2. Hakikat Negara
Secara etimologis istilah “negara” merupakan terjemahan dari kata-kata
asing, yaitu state (bahasa Inggris), staat (bahasa Jerman dan Belanda),
dan etat (bahasa Prancis). Kata state, staat, dan etat itu diambil oleh orang-
orang Eropa dari bahasa Latin pada abad ke-15, yaitu dari
kata statum atau status yang berarti keadaan yang tegak dan tetap, atau
sesuatu yang bersifat tetap dan tegak. Istilah negara ini muncul bersamaan
dengan munculnya istilah Lo Stato yang dipopulerkan Niccolo Machiavelli
lewat bukunya II Principe. Saat itu, Lo Stato didefinisikan sebagai suatu
sistem tugas dan fungsi publik dan alat perlengkapan yang teratur dalam
wilayah tertentu.
Tujuan negara secara umum adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan
kebahagiaan rakyatnya. Tujuan negara merupakan pedoman dalam menyusun
dan mengendalikan alat perlengkapan negara serta mengatur kehidupan
rakyatnya. Tujuan dari tiap-tiap negara dipengaruhi oleh tempat, sejarah
pembentukan, dan pengaruh dari penguasa negara yang bersangkutan.
Dengan mengetahui tujuan negara, kita juga dapat mengetahui sifat organisasi
negara dan legitimasi kekuasaan negara tersebut.

2.3. Pengertian Kekuasaan Negara


Negara merupakan suatu organisasi kekuasaan. Kekuasaan Negara terdiri
atas dua kata yakni kekuasaan (power) dan Negara (state). Menurut Miriam
Budiarjo, kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok
untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sesuai dengan
keinginan dari pelaku. Sedangkan Negara menurut Roger H Soltau adlah alat
atau wewenang yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan
bersama atas nama masyarakat.
Jadi kekuasaan Negara diartikan sebagai suatu kemampuan atau
wewenang yang dimiliki suatu organisasi yang disebut Negara untuk
mengatur dan mempengaruhi tingkah laku manusia agar sesuai dengan
kehendak atau tujuan bersama.

4
Kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki suatu Negara sangat luas dan
mencakup berbagai aspek kehidupan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasan
yudikatif dan kekuatan eksekutif, yang di dalamnya mencakup pula
kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan
kesehjateraan rakyat, agama, social, budaya dan sebagainya.

2.4. Sumber Kekuasaan Negara


Sumber kekuasaan sendiri dalam sebuah negara akan menentukan corak
dan model kekuasaan yang akan dijalankan. Kekuasaan yang bersumber dari
sebuah otoritas, biasanya adalah keluarga atau keturunan, akan memberikan
kekuasaan yang mutlak kepada seorang penguasa (pemerintah), kekuasaan
yang mutlak ini bisa dan biasanya menjadi cikal bakal kekuasaan yang
absolut atau otoriter. Sedang kekuasaan yang berasal dari rakyat (misalnya
melalui pemilihan) adalah kekuasaan yang kompromistis (ada distribusi dan
pembagian kekuasaan, dsb). Penyimpangan kekuasaan yang dilakukan oleh
penguasa (pemerintah) bisa berasal dari kekuasaan atau pemerintahan yang
otoriter, bahkan juga kekuasaan atau pemerintahan demokratis yang
kompromistis.
Kekuasaan memiliki perkembangan sendiri, mulai dari suatu lingkungan
yang kecil, terus berkembang, mencapai kekuasaan tertinggi yaitu kekuasaan
negara. Pembahasan mengenai kekuasaan suatu negara akan menyentuh apa
yang disebut sebagai “kedaulatan” (die eingenschaften der staatsgewalt).
Jika kekuasaan dikonstruksikan dalam kerangka yuridis, maka kekuasaan
itu disebut kedaulatan. Kedaulatan (soveirgnty) merupakan konsep kekuasaan
tertinggi (supreme authority) dalam suatu negara. Menurut Jack H Nagel
pembicaraan tentang kekuasaan selalu meliputi 2 (dua) aspek, yaitu lingkup
kekuasaan (scope of power) dan jangkauan kekuasaan (domain of power).
Persoalan lingkup kedaulatan mengarahkan kepada kegiatan yang ada dalam
fungsi kedaulatan yang meliputi 2 (dua) fokus, yaitu: (a) siapa yang
memegang kekuasaan tertinggi dalam negara; dan (b) apa yang dikuasai oleh
pemegang kekuasaan tertinggi tersebut, sedangkan jangkauan kedaulatan
berbicara tentang siapa yang menjadi subyek dan pemegang kedaulatan.

5
Jean Bodin seorang pemikir Perancis yang pertama kali membahas
konsepsi kedaulatan, sehingga kemudian disebut sebagai Bapak Teori
Kedaulatan. Bodin yang mengasosiasikan kedaulatan dengan negara sehingga
kedaulatan merupakan atribut negara. Dalam pengertian ini, kedaulatan
dipandang mengekspresikan kapasitas untuk menjalankan kewajiban dan
mempunyai hak serta kemampuan untuk melakukan tindakan.
Untuk memahami sumber-sumber kekuasaan tertinggi dalam negara, dapat
diketahui melalui teori kedaulatan, yang secara logis historis dapat
diklasifikasikan dalam enam teori berikut yang merupakan pandangan para
pemikir pada masanya, yaitu :
1. Teori Kedaulatan Tuhan
Dalam teori ini kekuasaan tertinggi ada di tangan Tuhan. Tuhan
dianggap tempat bergantung paling utama. Tidak boleh ada yang
menganggap apa atau siapapun yang lebih tinggi kekuasaannya dari
Tuhan. Oleh karena itu, seluruh perintah-perintah negara haruslah
merupakan implementasi dari kehendak Tuhan. Negara yang
menempatkan kekuasaan tertinggi atau kedaulatan pada Tuhan disebut
negara Teokrasi. Kehidupan kenegaraan didasarkan atas nilai-nilai agama,
yakni agama resmi negara. Penganut paham teokrasi percaya bahwa
Tuhan sebagai pencipta alam dengan segala isinya adalah pemilik
kedauatan negara. Sebagai pemilik, seharusnya penduduk negara (rakyat)
yang tinggal di wilayah milikNya, mengabdi pada kepentingan dan
kehendak Sang Pemilik. Pada abad ini, hidup seseorang baik privat
maupun publik sebagian besar ditentukan oleh agama.
Pembahasan mendalam tentang Thomas Aquinas menjustifikasikan
peran dan kedudukan Paus sebagai penguasa kebijakan negara sekaligus
menjelaskan bagaimana kekuasaan agama atas negara harus diberlakukan.
Paus Gregorius VII, Innocentius III dan Bonafacius VIII, sebagai
pemimpin tertinggi agama Katolik menyatakan dirinya sebagai Civitas dei
yang berarti Negara Tuhan berdasarkan pikiran kenegaraaan Augustinus
adalah pemikir Kristiani yang paling besar pada abad pertama. Menurut
pandangannya kebenaran tidak ditemukan pertama-tama dalam pikiran

6
akal budi teoritis sebagaimana diajarkan oleh filsuf-filsuf, misalnya
Plotinos yang ingin memandang Tuhan melalui ide-ide kekal. Menurut
Augustinus Allah adalah bukan hanya Budi Ilahi, melainkan pertama-
tama kehendak Ilahi atau cinta Ilahi. Melalui Budi-Nya Allah
menciptakan segala-galanya, lalu Ia menjaganya dalam cinta kasih-Nya.
Menjaga atau memelihara itu dimungkinkan, oleh sebab dalam Allah
terletak suatu rencana tentang berjalannya semesta alam. Rencana alam
ini oleh Augustinus disebut hukum abadi (lex aeterna)
2. Teori Kedaulatan Raja
Kedaulatan raja muncul akibat adanya kekuatan kepercayaan
kharismatik, kewibawaan, kesucian keturunan maupun sebagai
representasi dari kekuasaan Tuhan. Tuhanlah yang memberikan hak untuk
memerintah secara mutlak kepada para raja. Oleh karena itu, kekuasaan
politik yang dimiliki oleh raja tidak dapat dicabut oleh rakyat jelata.
Machiavelli memberikan pedoman bagi penguasa yang kuat dan
mampu mewujudkan cita-citanya yang ambisius. Dalam bukunya ll
Principe (Sang Raja), Macchiavelli dalam Huijbers, Huda dan Hendarmin,
mengatakan bahwa kekuatan itu sebenarnya suatu cara untuk
merencanakan jalan politik suatu negara. Seorang pemimpin yang
bijaksana memperhitungkan baik keadaan dan nasib masyarakat maupun
kemampuan pribadinya. Dengan kata lain seorang raja harus mengetahui
batas kemampuan dan harus dapat menggunakan situasi yang baik untuk
bertindak, melihat suasana dan aspirasi rakyat. Dalam merencanakan
politik ini tidak perlu raja dihalangi oleh pertimbangan-pertimbangan
moral. Segala-galanya diizinkan: kekerasan, penipuan, pembunuhan,
penghianatan dan lain sebagainya, jika hal ini dituntut untuk
mempertahankan kekuasaan negara.
3. Teori Kedaulatan Negara
Teori kedaulatan negara didasari oleh ajaran kedaulatan raja dalam
konsep, kekuasaan tertinggi ada pada pribadi raja atau kaisar, tetapi
dengan perkembangan negara, berkembang juga ajaran pribadi artifisial
ke dalam negara. Dengan demikian terjadi pergeseran pandangan dari

7
konsep personal ke artifisial. Sedangkan menurut Nurtjahyo, teori ini
muncul sebagai reaksi dan teori kedaulatan rakyat. Namun, teori ini
sebenarnya melanggengkan dan melangsungkan teori kedaulatan raja
dalam suasana kedaulatan rakyat. Dalam teori kedaulatan negara ini
pengertian negara yang abstrak dikonkretkan dalam tubuh raja. Ajaran itu
disebut verkulprits theorie yang artinya negara menjelma dalam tubuh
Raja. Disini negara berdaulat karena rakyat, selanjutnya kedaulatan itu
dimiliki oleh negara yang dimanisfestasikan pada diri Raja, sehingga pada
hakikatnya ajaran ini sama dengan ajaran teori kedaulatan raja.
Ciri dari negara kekuasaan ini, adalah menempatkan kebijakannya
identik sebagai kebijakan negara. Kebijakan raja adalah hukum negara,
hukum diposisikan sebagai alat kekuasaan. Hobes melalui bukunya De
Cive (1642) dan Leviathan (1651), meyakinkan terhadap pentingnya
kekuasaan negara yang amat besar, yang menurutnya harus diberikan
kepada penguasa yang absolut. Hobbes tidak mengakui keanekaragaman
kontrak sosial yang tanpa batas dimana rakyat menyerahkan sebagian
besar atau sebagian kecil dan hak-haknya.. Hanya ada satu macam pakta,
yaitu pactum subjectiones yang tanpa syarat, yaitu seluruh hak alami
diserahkan kepada penguasa sehingga memperoleh kekuasaan absolut.
Robes juga menolak dengan tegas tiap hak kontraktual ataupun quasi-
kontraktual antara penguasa dan rakyat, yang menimbulkan tuntutan
pemenuhan kewajiban tertentu oleh penguasa. Kewajiban yang melekat
pada kekuasaan absolut penguasa hanyalah bahwa ia dapat memerintah
dan menjaga ketertiban.
Ajaran Hobbes secara garis besar hukum alam telah dikurangi
kekuatannya setidaknya oleh sembilan belas prinsip. Sebab semua hukum
tergantung dari sanksi. Pemerintah tanpa pedang hanyalah kata-kata, dan
sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk membuat orang merasa
aman. Jadi semua hukum yang sebenarnya adalah hukum sipil, hukum
yang diperintahkan dan dipaksakan oleh yang berkuasa. Tidak ada
masyarakat yang berbeda dalam negara dan pemerintahan, hanya ada
kumpulan orang tanpa bentuk akan kacau, akibatnya adalah tidak adanya

8
hukum diantara pemerintah dan warga, tidak ada otonomi dari badan
hukum. Semua kekuasaan sosial dan kekuasaaan hukum terpusat pada
penguasa, semua kekuasaan pemerintah yang diperlukan ada padanya.
Pemerintah itu murni dan semata-mata dan bermanfaat oleh individu –
individu yang mendirikannya untuk menjaga agar individu - individu itu
tidak saling menghancurkan satu sama lain. Demikian Hobbes membuang
konsepsi kekuasaan dan konsepsi hukum pada abad pertengahan. Tipe
negara ini dapat berbentuk kerajaan atau monarki absolut, kekuasaannya
terletak pada raja, dan berbentuk Republik (sistem presidensial penguasa
tunggal itu adalah pemegang dan pemilik hak atas kebijakan negara).
4. Teori Kedaulatan Rakyat
Timbulnya teori kedaulatan rakyat sebagai reaksi atas kedaulatan raja
yang memonopoli dan melakukan penyimpangan kekuasaan sehingga
menyebabkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Ide-ide baru muncul
saat Perancis masih feodal, bahwa kedudukan raja, bangsawan dan para
pendeta memiliki hak istimewa, sedangkan rakyat hanya memiliki hak
yang rendah dan tidak dapat menikmati hak-hak dasar yang dimiliki oleh
seorang warga negara. Kesadaran tersebut selaras dengan slogan
revolusioner rakyat yakni, liberte, egalite, fraternite (kebebasan,
kesamaan, persaudaraan). Rousseau mengatakan bahwa manusia
merupakan makhluk bebas dan otonom. Melalui bukunya Du Contrac
Social, Rousseau menggemakan kekuasaan rakyat. Hakikatnya bahwa
rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara. Walaupun pada awalnya ajaran ini merupakan pikiran yang gila
dan mustahil karena pada zaman itu, kekuasaan berada ditangan raja yang
berkuasa. Dalam teori perjanjian masyarakat (kontrak sosial) ia
menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural liberty telah berubah
menjadi civil liberty dimana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan
rakyat sebagai yang tertinggi dalam hal ini melampaui perwakilan yang
berdasarkan suara terbanyak dari suatu kehendak bersama (general
will/volente generale).

9
Kontrak sosial yang membangkitkan masyarakat sipil berasal dari
kehendak semua orang yang semuanya ingin mewujudkan cita-cita
individualnya. Kemudian setelah ada masyarakat barn, cita-cita itu
menjadi cita-cita umum, yang berasal dari kehendak umum dan
melahirkan suatu tujuan umum yang harus diakomodir oleh sesuatu yang
mutlak. Undang-undang dianggap tidak adil jika berlakunya tidak sama
bagi semua orang Masalah tentang kekuasaan masyarakat sipil, Rousseau
menjawab dengan pandangan-pandangan berikut :
a. Pembentukan aturan masyarakat tanpa perantaraan wakil-wakil.
Dengan ikut serta dalam perwujudan negara orang-orang menerima
hak-hak baru di samping hak-hak pribadi yang dijaga oleh kekuasaan
kolektif,
b. Orang-orang menerima hak-hak warga negara. Kekuasaan rakyat
yang berdaulat adalah bersifat mutlak , suci dan kebal. Kekuatan
hukum hanya ada pada rakyat yang berdaulat itu dan rakyat
mempunyai kekuasaan atas segala bidang hidup., yang menjamin
kebebasan dan kesamaan semua orang. Rousseau menolak
pembagian kekuasaan, menurutnya mustahil jika kekuasaan negara
dibagi-bagi karena kekuasaan berada di tangan rakyat.
c. Walaupun bentuk pemerintahan berbeda-beda, namun pemerintah
supaya bertindak melalui dekrit, bukan melalui undang-undang dan
supaya semua pemerintah mau dibimbing oleh kehendak rakyat.
Kebijakan pemerintah harus tunduk kepada negara sebagai republica
(kepentingan umum). Jika kehendak umum tidak diikuti, maka
pemerintah perlu digeser.
5. Teori Kedaulatan Hukum
Menurut teori kedaulatan hukum atau rechts-soveireinteit kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara adalah hukum. Karena itu baik raja atau
penguasa maupun rakyat atau warga negaranya, bahkan negara pun
tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatan harus
sesuai atau menurut hukum. Teori ini muncul sebagai penyangkalan
terhadap kedaulatan negara. Teori yang dikemukakan Krabbe

10
menunjukkan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak pada raja,
tidak juga pada negara tetapi berada pada hukum; hukum yang bersumber
pada kesadaran hukum dari setiap orang.
Krabbe mengecam ajaran kedaulatan negara, bahwa negara tidak
tunduk pada hukum, hukum ditempatkan lebih rendah. Kekuasaan negara
bukanlah berasal dari kekuasaaan pribadi raja. Jika rakyat mematuhi
peraturan, bukan karena taat kepada kekuasaan raja melainkan karena
peraturan itu dibuat oleh parlemen yang membawa ksadaran hukum
rakyatnya.Kedaulatan hukum berkaitan dengan hak asasi rakyat, negara
tidak boleh melanggarnya, jika ingin mengubah undang-undang harus
dengan persetujuan rakyat. Oleh sebab itu, hal-hak asasi yang bersmber
pada kesadaran hukum rakyat menunjukkan lebih tingginya kedudukan
hukum dan pada negara. Dengan demikian hukum lah yang berdaulat.
6. Teori Kedaulatan Pluralis
Menurut Nurtjahjo, teori kedaulatan plural ini merupakan
perkembangan terakhir dan pemikiran mengenai letak the sovereign
dalam suatu identitas yang disebut negara. Teori ini berasal dari ide
bahwa kedaulatan tidak terletak pada single subject sebagaimana
pemikiran teori-teori kedaulatan sebelumnya, sehingga teori ini dapat
disebut sebagai kelanjutan dari teori kedaulatan rakyat yang konvensional.
Karena ajaran ini menilai bahwa kedaulatan tidak ditempatkan atau
dimiliki secara singular melainkan juga plural, kedaulatan tersebar di
dalam kekuasaan-kekuasaan kelompok masyarakat yang mempengaruhi
pengambilan keputusan umum dan tersebar dalam kekuasaan-kekuasaan
lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi negara secara
keseluruhan. Selanjutnya Nurtjahjo mengatakan bahwa, teori kedaulatan
plural meletakkan kedaulatan rakyat yang menyebar dalam beragai
golongan atau kelompok masyarakat dan dalam lembaga-lembaga negara
dalam mekanisme check and balance yang lebih luas dan sekadar tiga
lembaga sebagaimana dalam trias politika.

11
2.5. Teori Asas Kekuasaan Negara
Dalam asas kekuasaan negara dilandasi oleh beberapa teori yaitu:
1. Teori Teokrasi
Teori Teokrasi Langsung: istilah langsung menunjukkan bahwa yang
berkuasa dalam negara adalah Tuhan secara langsung. Adanya negara di
dunia ini adalah atas kehendak Tuhan dan yang memerintah adalah
Tuhan. Pertanyaannya, apakah negara semacam ini pernah ada dan
apakah Tuhan sendiri yang memerintah?
2. Teori Kekuasaan
Sebagaimana sudah diketahui, pelopor teori ini adalah Thomas Hobbes
dan Machiavelli. Dalam bukunya yang berjudul Leviathan, Hobbes
membedakan dua macam status manusia: status naturalis – kedudukan
manusia sewaktu masih belum ada negara dan status civilis – kedudukan
manusia setelah menjadi warga negara suatu negara.
3. Teori Yuridis
Teori ini hendak mencari dasar hukum kekuasaan negara melalui tiga
golongan:
a. Teori Patriarkhal
Teori ini didasarkan pada hukum keluarga. Pada masa masyarakat
hidup dalam kesatuan-kesatuan keluarga besar, kepala keluarga
(primus inter pares) menjadi pemimpin yang dipuja-puja karena
kekuatannya, jasa dan kebijaksanaannya.
b. Teori Patrimonial
Patrimonial berasal dari istilah patrimonium yang berarti hak milik.
Karena rajalah pemegang hak milik di wilayah kekuasaannya, maka
semua penduduk daerah itu harus tunduk kepadanya. Sekadar contoh,
pada abad pertengahan hak untuk memerintah dan menguasai timbul
dari pemilikan tanah. Dalam keadaan perang sudah menjadi
kebiasaan bahwa raja-raja menerima bantuan dari kaum bangsawan
untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh. Jika perang
berakhir dengan kemenangan raja, maka para bangsawan yang ikut
membela negara mendapatkan sebidang tanah sebagai tanda jasa.

12
c. Teori Perjanjian
Teori perjanjian sebagai dasar hukum kekuasaan negara dikemukakan
oleh tiga tokoh terkemuka: Thomas Hobbes, John Locke dan J.J.
Rousseau. Mereka hendak mengembalikan kekuasaan raja pada suatu
perjanjian masyarakat yang mengalihkan manusia dari status
naturalis ke status civilis.

2.6. Macam-macam Kekuasaan Negara


Negara tentu saja mempunyai kekuasaan, karena pada dasarnya negara
merupakan organisasai kekuasaan. Dengan kata lain, bahwa negara memiliki
banyak sekali kekuasaan. Kekuasaan negara merupakan kewenangan negara
untuk mengatur seluruh rakyatnya untuk mencapai keadilan dan
kemakmuran, serta keteraturan. Kekuasaan negara banyak sekali macamnya.
Menurut John Locke sebagaimana dikutip oleh Astim Riyanto (2006:273),
kekuasaan negara itu dapat dibagi menjadi tiga macam kekuasaan yaitu:
1. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan yang berwenang untuk
membuat/membentuk/menyusun undang-undang
2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-
undang, termasuk kekuasaan untuk mengadili setiap pelanggaran terhadap
undang-undang
3. Kekuasaan federatif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan hubungan luar
negeri.
Selain itu menurut Montesquieu kekuasaan negara dibagi menjadi 3 yaitu:
1. Kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan untuk membuat atau membentuk
undang-undang.
2. Kekuasaan eksekutif, yaitu kekuasaan untuk melaksanakan undang-
undang.
3. Kekuasaan yudikatif, yaitu kekuasaan untuk mempertahankan undang-
undang, termasuk kekuasaan untuk mengadili setiap pelanggaran terhadap
undang-undang.
Pendapat yang dikemukakan oleh Montesquieu merupakan
penyempurnaan dari pendapat John Locke. Kekuasaan federatif yang digagas

13
oleh John Locke oleh Montesquieu dimasukan ke dalam kekuasaan eksekutif
dan fungsi mengadili dijadikan kekuasaan yang berdiri sendiri. Ketiga
kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda dan sifatnya
terpisah. Tiga teori Montesquieu ini dikenal dengan teori Trias Politica.
Pembagian Kekuasaan Negara di Indonesia
Pemisahan kekuasaan berarti kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam
beberapa bagian, baik mengenai organnya maupun fungsinya yang secara
tidak langsung mereka berjalan dalam suatu sistem yang terstruktur. Dengan
kata lain, lembaga pemegang kekuasaan negara yang meliputi lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif merupakan lembaga yang terpisah satu sama
lainnya, berdiri sendiri tanpa memerlukan koordinasi dan kerjasama. Setiap
lembaga menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik. Contoh negara
yang menganut mekanisme pemisahan kekuasaan adalah Amerika Serikat.
Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam mekanisme
pembagian kekuasaan, kekuasaan negara itu memang dibagi-bagi dalam
beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu
dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama. Mekanisme pembagian ini
banyak sekali dilakukan oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Mekanisme pembagian kekuasaan di Indonesia diatur sepenuhnya di
dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penerapan pembagian
kekuasaan di Indonesia terdiri atas dua bagian, yaitu :
1. Kekuasaan Horizontal
Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan
menurut fungsi lembaga-lembaga tertentu (legislatif, eksekutif dan
yudikatif). Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
secara horizontal pembagian kekuasaan negara di lakukan pada tingkatan
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian kekuasaan pada
tingkatan pemerintahan pusat berlangsung antara lembaga-lembaga
negara yang sederajat. Pembagian kekuasaan pada tingkat pemerintahan
pusat mengalami pergeseran setelah terjadinya perubahan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pergeseran yang dimaksud adalah

14
pergeseran klasifikasi kekuasaan negara yang umumnya terdiri atas tiga
jenis kekuasaan jika menurut teori Trias Politica (legislatif, eksekutif dan
yudikatif) menjadi enam kekuasaan negara, yaitu sebagai berikut:
1) Kekuasaan Konstitutif
Kekuasaan konstitutif yaitu kekuasaan untuk mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar. Kekuasaan ini dijalankan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 3 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
2) Kekuasaan eksekutif
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-
undang dan penyelenggraan pemerintahan Negara. Kekuasaan ini
dipegang oleh Presiden sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat
(1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
3) Kekuasaan legislatif
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan yang berwewenang untuk
membentuk/menyusun undang-undang. Kekuasaan ini dipegang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
4) Kekuasaan yudikatif
Kekuasaan yudikatif atau biasa disebut dengan kekuasaan
kehakiman, yaitu kekuasaan yang berwewenang untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan ini dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

15
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi, semua itu berada di bawah kekuasaan
yudikatif.
5) Kekuasaan eksaminatif/inspektif
Kekuasaan eksaminatif atau inspektif merupakan kekuasaan yang
berhubungan dengan penyelenggaraan pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Kekuasaan ini
dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
6) Kekuasaan moneter
Kekuasaan moneter adalah yaitu kekuasaan untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, serta memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kekuasaan ini dijalankan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral di
Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 D UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara
memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab, dan indepedensinya diatur dalam undang-
undang. Pembagian kekuasaan secara horizontal pada tingkatan
pemerintahan daerah berlangsung antara lembaga-lembaga daerah
yang sederajat, yaitu antara Pemerintah Daerah (Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Pada tingkat provinsi, pembagian kekuasaan berlangsung
antara Pemerintah provinsi (Gubernur/wakil Gubernur) dan DPRD
provinsi. Sedangkan pada tingkat kabupaten/kota, pembagian
kekuasaan berlangsung antara Pemerintah Kabupaten/Kota

16
(Bupati/wakil Bupati atau Walikota/wakil Walikota) dan DPRD
kabupaten/kota.
2. Kekuasaan vertikal
Pembagian kekuasaan secara vertikal adalah pembagian kekuasaan
menurut tingkatnya, yaitu pembagian kekuasaan antara beberapa
tingkatan pemerintahan. Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pembagian kekuasaan secara vertikal
di negara Indonesia berlangsung antara pemerintahan pusat dan
pemerintahan daerah (pemerintahan provinsi dan pemerintahan
kabupaten/kota) yang telah tersistem. Pada pemerintahan daerah
berlangsung pula pembagian kekuasaan secara vertikal yang ditentukan
oleh pemerintahan pusat. Hubungan antara pemerintahan provinsi dan
pemerintahan kabupaten/kota terjalin dengan koordinasi, pembinaan dan
pengawasan oleh Pemerintahan Pusat dalam bidang administrasi dan
kewilayahan.
Pembagian kekuasaan secara vertikal muncul sebagai konsekuensi
dari diterapkannya asas desentralisasi di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan asas tersebut, Pemerintah Pusat menyerahkan
wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah otonom (provinsi dan
kabupaten/kota) untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan
pemerintahan di daerahnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu kewenangan yang berkaitan dengan
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan
fiskal. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.

17
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan
Kekuasaan negara merupakan suatu kemampuan atau wewenang yang
dimiliki suatu organisasi yang disebut Negara untuk mengatur dan
mempengaruhi tingkah laku manusia agar sesuai dengan kehendak atau
tujuan bersama. Kekuasaan negara juga merupakan kewenangan negara untuk
mengatur seluruh rakyatnya untuk mencapai keadilan dan kemakmuran, serta
keteraturan.
Kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki suatu Negara sangat luas dan
mencakup berbagai aspek kehidupan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasan
yudikatif dan kekuatan eksekutif, yang di dalamnya mencakup pula
kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan
kesehjateraan rakyat, agama, social, budaya dan sebagainya

3.2. Saran
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan gambaran dan
menambah wawasan kita tentang hakikat kekuasaan negara serta dapat
membantu dalam menyusun pembelajaran. Kami juga mengharapkan
makalah ini dapat memberi manfaat dan ilmu pengetahuan kepada para
pembaca, dan disarankan pada pembaca untuk mencari referensi yang lebih
banyak lagi,baik dari sosial media maupun media lain.
Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kekeliruan untuk itu saran dan kritik dari para pembaca yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah
di masa mendatang.

18
DAFTAR PUSTAKA

Rodee,Carlton clymer dkk,pengantar ilmu politik,Jakarta:PT.Raja Grafindo


Persada,2011
Budiardjo,Miriam,Dasar-Dasar ilmu politik,Jakarta:PT.Gramedia Pustaka
Utama,2007.
www.setabasri01.blogspot.co.id
Astim Riyanto. Negara Kesatuan; Konsep, Asas, dan Aplikasinya. 2006. Hlm 273
http://iptekindonesiaef.blogspot.com/2013/12/sumber-kekuasaan.html diakses 16
Februari 2020

https://duniapendidikan.co.id/kekuasaan-negara/ diakses 16 Februari 2020

https://mengakujenius.com/macam-macam-kekuasaan-negara/ diakses 16 Februari


2020

19

Anda mungkin juga menyukai