DI SUSUN OLEH :
KELOMPOK 4
Ni Kadek Nilam Sari [1701401010]
Tri lusiana Kamarianto [1701401024]
Wiwi Mutmainnah Syam [1701401051]
Damianto [1701401006]
Kelompok 4
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI…............................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar belakang.................................................................................... 1
1.2. Rumusan masalah............................................................................... 2
1.3. Tujuan penulisan................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Hakikat Kekuasaan............................................................................. 3
2.2. Hakikat Negara................................................................................... 4
2.3. Pengertian Kekuasaan Negara............................................................ 4
2.4. Sumber Kekuasaan Negara................................................................. 5
2.5. Teori Asas Kekuasaan Negara............................................................ 12
2.6. Macam-Macam Kekuasaan Negara.................................................... 13
BAB III PENUTUP
3.1. Kesimpulan......................................................................................... 18
3.2. Saran................................................................................................... 18
DAFTAR PUSTAKA…..................................................................................19
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas yaitu:
1. Jelaskan hakikat kekuasaan?
2. Jelaskan hakikat negara?
3. Jelaskan pengertian kekuasaan negara?
4. Bagaimanakah sumber-sumber kekuasaan negara?
5. Bagaimanakah teori asas kekuasaan negara?
6. Apa sajakah macam-macam kekuasaan negara?
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.2. Hakikat Negara
Secara etimologis istilah “negara” merupakan terjemahan dari kata-kata
asing, yaitu state (bahasa Inggris), staat (bahasa Jerman dan Belanda),
dan etat (bahasa Prancis). Kata state, staat, dan etat itu diambil oleh orang-
orang Eropa dari bahasa Latin pada abad ke-15, yaitu dari
kata statum atau status yang berarti keadaan yang tegak dan tetap, atau
sesuatu yang bersifat tetap dan tegak. Istilah negara ini muncul bersamaan
dengan munculnya istilah Lo Stato yang dipopulerkan Niccolo Machiavelli
lewat bukunya II Principe. Saat itu, Lo Stato didefinisikan sebagai suatu
sistem tugas dan fungsi publik dan alat perlengkapan yang teratur dalam
wilayah tertentu.
Tujuan negara secara umum adalah menyelenggarakan kesejahteraan dan
kebahagiaan rakyatnya. Tujuan negara merupakan pedoman dalam menyusun
dan mengendalikan alat perlengkapan negara serta mengatur kehidupan
rakyatnya. Tujuan dari tiap-tiap negara dipengaruhi oleh tempat, sejarah
pembentukan, dan pengaruh dari penguasa negara yang bersangkutan.
Dengan mengetahui tujuan negara, kita juga dapat mengetahui sifat organisasi
negara dan legitimasi kekuasaan negara tersebut.
4
Kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki suatu Negara sangat luas dan
mencakup berbagai aspek kehidupan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasan
yudikatif dan kekuatan eksekutif, yang di dalamnya mencakup pula
kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan
kesehjateraan rakyat, agama, social, budaya dan sebagainya.
5
Jean Bodin seorang pemikir Perancis yang pertama kali membahas
konsepsi kedaulatan, sehingga kemudian disebut sebagai Bapak Teori
Kedaulatan. Bodin yang mengasosiasikan kedaulatan dengan negara sehingga
kedaulatan merupakan atribut negara. Dalam pengertian ini, kedaulatan
dipandang mengekspresikan kapasitas untuk menjalankan kewajiban dan
mempunyai hak serta kemampuan untuk melakukan tindakan.
Untuk memahami sumber-sumber kekuasaan tertinggi dalam negara, dapat
diketahui melalui teori kedaulatan, yang secara logis historis dapat
diklasifikasikan dalam enam teori berikut yang merupakan pandangan para
pemikir pada masanya, yaitu :
1. Teori Kedaulatan Tuhan
Dalam teori ini kekuasaan tertinggi ada di tangan Tuhan. Tuhan
dianggap tempat bergantung paling utama. Tidak boleh ada yang
menganggap apa atau siapapun yang lebih tinggi kekuasaannya dari
Tuhan. Oleh karena itu, seluruh perintah-perintah negara haruslah
merupakan implementasi dari kehendak Tuhan. Negara yang
menempatkan kekuasaan tertinggi atau kedaulatan pada Tuhan disebut
negara Teokrasi. Kehidupan kenegaraan didasarkan atas nilai-nilai agama,
yakni agama resmi negara. Penganut paham teokrasi percaya bahwa
Tuhan sebagai pencipta alam dengan segala isinya adalah pemilik
kedauatan negara. Sebagai pemilik, seharusnya penduduk negara (rakyat)
yang tinggal di wilayah milikNya, mengabdi pada kepentingan dan
kehendak Sang Pemilik. Pada abad ini, hidup seseorang baik privat
maupun publik sebagian besar ditentukan oleh agama.
Pembahasan mendalam tentang Thomas Aquinas menjustifikasikan
peran dan kedudukan Paus sebagai penguasa kebijakan negara sekaligus
menjelaskan bagaimana kekuasaan agama atas negara harus diberlakukan.
Paus Gregorius VII, Innocentius III dan Bonafacius VIII, sebagai
pemimpin tertinggi agama Katolik menyatakan dirinya sebagai Civitas dei
yang berarti Negara Tuhan berdasarkan pikiran kenegaraaan Augustinus
adalah pemikir Kristiani yang paling besar pada abad pertama. Menurut
pandangannya kebenaran tidak ditemukan pertama-tama dalam pikiran
6
akal budi teoritis sebagaimana diajarkan oleh filsuf-filsuf, misalnya
Plotinos yang ingin memandang Tuhan melalui ide-ide kekal. Menurut
Augustinus Allah adalah bukan hanya Budi Ilahi, melainkan pertama-
tama kehendak Ilahi atau cinta Ilahi. Melalui Budi-Nya Allah
menciptakan segala-galanya, lalu Ia menjaganya dalam cinta kasih-Nya.
Menjaga atau memelihara itu dimungkinkan, oleh sebab dalam Allah
terletak suatu rencana tentang berjalannya semesta alam. Rencana alam
ini oleh Augustinus disebut hukum abadi (lex aeterna)
2. Teori Kedaulatan Raja
Kedaulatan raja muncul akibat adanya kekuatan kepercayaan
kharismatik, kewibawaan, kesucian keturunan maupun sebagai
representasi dari kekuasaan Tuhan. Tuhanlah yang memberikan hak untuk
memerintah secara mutlak kepada para raja. Oleh karena itu, kekuasaan
politik yang dimiliki oleh raja tidak dapat dicabut oleh rakyat jelata.
Machiavelli memberikan pedoman bagi penguasa yang kuat dan
mampu mewujudkan cita-citanya yang ambisius. Dalam bukunya ll
Principe (Sang Raja), Macchiavelli dalam Huijbers, Huda dan Hendarmin,
mengatakan bahwa kekuatan itu sebenarnya suatu cara untuk
merencanakan jalan politik suatu negara. Seorang pemimpin yang
bijaksana memperhitungkan baik keadaan dan nasib masyarakat maupun
kemampuan pribadinya. Dengan kata lain seorang raja harus mengetahui
batas kemampuan dan harus dapat menggunakan situasi yang baik untuk
bertindak, melihat suasana dan aspirasi rakyat. Dalam merencanakan
politik ini tidak perlu raja dihalangi oleh pertimbangan-pertimbangan
moral. Segala-galanya diizinkan: kekerasan, penipuan, pembunuhan,
penghianatan dan lain sebagainya, jika hal ini dituntut untuk
mempertahankan kekuasaan negara.
3. Teori Kedaulatan Negara
Teori kedaulatan negara didasari oleh ajaran kedaulatan raja dalam
konsep, kekuasaan tertinggi ada pada pribadi raja atau kaisar, tetapi
dengan perkembangan negara, berkembang juga ajaran pribadi artifisial
ke dalam negara. Dengan demikian terjadi pergeseran pandangan dari
7
konsep personal ke artifisial. Sedangkan menurut Nurtjahyo, teori ini
muncul sebagai reaksi dan teori kedaulatan rakyat. Namun, teori ini
sebenarnya melanggengkan dan melangsungkan teori kedaulatan raja
dalam suasana kedaulatan rakyat. Dalam teori kedaulatan negara ini
pengertian negara yang abstrak dikonkretkan dalam tubuh raja. Ajaran itu
disebut verkulprits theorie yang artinya negara menjelma dalam tubuh
Raja. Disini negara berdaulat karena rakyat, selanjutnya kedaulatan itu
dimiliki oleh negara yang dimanisfestasikan pada diri Raja, sehingga pada
hakikatnya ajaran ini sama dengan ajaran teori kedaulatan raja.
Ciri dari negara kekuasaan ini, adalah menempatkan kebijakannya
identik sebagai kebijakan negara. Kebijakan raja adalah hukum negara,
hukum diposisikan sebagai alat kekuasaan. Hobes melalui bukunya De
Cive (1642) dan Leviathan (1651), meyakinkan terhadap pentingnya
kekuasaan negara yang amat besar, yang menurutnya harus diberikan
kepada penguasa yang absolut. Hobbes tidak mengakui keanekaragaman
kontrak sosial yang tanpa batas dimana rakyat menyerahkan sebagian
besar atau sebagian kecil dan hak-haknya.. Hanya ada satu macam pakta,
yaitu pactum subjectiones yang tanpa syarat, yaitu seluruh hak alami
diserahkan kepada penguasa sehingga memperoleh kekuasaan absolut.
Robes juga menolak dengan tegas tiap hak kontraktual ataupun quasi-
kontraktual antara penguasa dan rakyat, yang menimbulkan tuntutan
pemenuhan kewajiban tertentu oleh penguasa. Kewajiban yang melekat
pada kekuasaan absolut penguasa hanyalah bahwa ia dapat memerintah
dan menjaga ketertiban.
Ajaran Hobbes secara garis besar hukum alam telah dikurangi
kekuatannya setidaknya oleh sembilan belas prinsip. Sebab semua hukum
tergantung dari sanksi. Pemerintah tanpa pedang hanyalah kata-kata, dan
sama sekali tidak mempunyai kekuatan untuk membuat orang merasa
aman. Jadi semua hukum yang sebenarnya adalah hukum sipil, hukum
yang diperintahkan dan dipaksakan oleh yang berkuasa. Tidak ada
masyarakat yang berbeda dalam negara dan pemerintahan, hanya ada
kumpulan orang tanpa bentuk akan kacau, akibatnya adalah tidak adanya
8
hukum diantara pemerintah dan warga, tidak ada otonomi dari badan
hukum. Semua kekuasaan sosial dan kekuasaaan hukum terpusat pada
penguasa, semua kekuasaan pemerintah yang diperlukan ada padanya.
Pemerintah itu murni dan semata-mata dan bermanfaat oleh individu –
individu yang mendirikannya untuk menjaga agar individu - individu itu
tidak saling menghancurkan satu sama lain. Demikian Hobbes membuang
konsepsi kekuasaan dan konsepsi hukum pada abad pertengahan. Tipe
negara ini dapat berbentuk kerajaan atau monarki absolut, kekuasaannya
terletak pada raja, dan berbentuk Republik (sistem presidensial penguasa
tunggal itu adalah pemegang dan pemilik hak atas kebijakan negara).
4. Teori Kedaulatan Rakyat
Timbulnya teori kedaulatan rakyat sebagai reaksi atas kedaulatan raja
yang memonopoli dan melakukan penyimpangan kekuasaan sehingga
menyebabkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Ide-ide baru muncul
saat Perancis masih feodal, bahwa kedudukan raja, bangsawan dan para
pendeta memiliki hak istimewa, sedangkan rakyat hanya memiliki hak
yang rendah dan tidak dapat menikmati hak-hak dasar yang dimiliki oleh
seorang warga negara. Kesadaran tersebut selaras dengan slogan
revolusioner rakyat yakni, liberte, egalite, fraternite (kebebasan,
kesamaan, persaudaraan). Rousseau mengatakan bahwa manusia
merupakan makhluk bebas dan otonom. Melalui bukunya Du Contrac
Social, Rousseau menggemakan kekuasaan rakyat. Hakikatnya bahwa
rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu
negara. Walaupun pada awalnya ajaran ini merupakan pikiran yang gila
dan mustahil karena pada zaman itu, kekuasaan berada ditangan raja yang
berkuasa. Dalam teori perjanjian masyarakat (kontrak sosial) ia
menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural liberty telah berubah
menjadi civil liberty dimana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan
rakyat sebagai yang tertinggi dalam hal ini melampaui perwakilan yang
berdasarkan suara terbanyak dari suatu kehendak bersama (general
will/volente generale).
9
Kontrak sosial yang membangkitkan masyarakat sipil berasal dari
kehendak semua orang yang semuanya ingin mewujudkan cita-cita
individualnya. Kemudian setelah ada masyarakat barn, cita-cita itu
menjadi cita-cita umum, yang berasal dari kehendak umum dan
melahirkan suatu tujuan umum yang harus diakomodir oleh sesuatu yang
mutlak. Undang-undang dianggap tidak adil jika berlakunya tidak sama
bagi semua orang Masalah tentang kekuasaan masyarakat sipil, Rousseau
menjawab dengan pandangan-pandangan berikut :
a. Pembentukan aturan masyarakat tanpa perantaraan wakil-wakil.
Dengan ikut serta dalam perwujudan negara orang-orang menerima
hak-hak baru di samping hak-hak pribadi yang dijaga oleh kekuasaan
kolektif,
b. Orang-orang menerima hak-hak warga negara. Kekuasaan rakyat
yang berdaulat adalah bersifat mutlak , suci dan kebal. Kekuatan
hukum hanya ada pada rakyat yang berdaulat itu dan rakyat
mempunyai kekuasaan atas segala bidang hidup., yang menjamin
kebebasan dan kesamaan semua orang. Rousseau menolak
pembagian kekuasaan, menurutnya mustahil jika kekuasaan negara
dibagi-bagi karena kekuasaan berada di tangan rakyat.
c. Walaupun bentuk pemerintahan berbeda-beda, namun pemerintah
supaya bertindak melalui dekrit, bukan melalui undang-undang dan
supaya semua pemerintah mau dibimbing oleh kehendak rakyat.
Kebijakan pemerintah harus tunduk kepada negara sebagai republica
(kepentingan umum). Jika kehendak umum tidak diikuti, maka
pemerintah perlu digeser.
5. Teori Kedaulatan Hukum
Menurut teori kedaulatan hukum atau rechts-soveireinteit kekuasaan
tertinggi dalam suatu negara adalah hukum. Karena itu baik raja atau
penguasa maupun rakyat atau warga negaranya, bahkan negara pun
tunduk kepada hukum. Semua sikap, tingkah laku dan perbuatan harus
sesuai atau menurut hukum. Teori ini muncul sebagai penyangkalan
terhadap kedaulatan negara. Teori yang dikemukakan Krabbe
10
menunjukkan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak pada raja,
tidak juga pada negara tetapi berada pada hukum; hukum yang bersumber
pada kesadaran hukum dari setiap orang.
Krabbe mengecam ajaran kedaulatan negara, bahwa negara tidak
tunduk pada hukum, hukum ditempatkan lebih rendah. Kekuasaan negara
bukanlah berasal dari kekuasaaan pribadi raja. Jika rakyat mematuhi
peraturan, bukan karena taat kepada kekuasaan raja melainkan karena
peraturan itu dibuat oleh parlemen yang membawa ksadaran hukum
rakyatnya.Kedaulatan hukum berkaitan dengan hak asasi rakyat, negara
tidak boleh melanggarnya, jika ingin mengubah undang-undang harus
dengan persetujuan rakyat. Oleh sebab itu, hal-hak asasi yang bersmber
pada kesadaran hukum rakyat menunjukkan lebih tingginya kedudukan
hukum dan pada negara. Dengan demikian hukum lah yang berdaulat.
6. Teori Kedaulatan Pluralis
Menurut Nurtjahjo, teori kedaulatan plural ini merupakan
perkembangan terakhir dan pemikiran mengenai letak the sovereign
dalam suatu identitas yang disebut negara. Teori ini berasal dari ide
bahwa kedaulatan tidak terletak pada single subject sebagaimana
pemikiran teori-teori kedaulatan sebelumnya, sehingga teori ini dapat
disebut sebagai kelanjutan dari teori kedaulatan rakyat yang konvensional.
Karena ajaran ini menilai bahwa kedaulatan tidak ditempatkan atau
dimiliki secara singular melainkan juga plural, kedaulatan tersebar di
dalam kekuasaan-kekuasaan kelompok masyarakat yang mempengaruhi
pengambilan keputusan umum dan tersebar dalam kekuasaan-kekuasaan
lembaga-lembaga yang menjalankan fungsi-fungsi negara secara
keseluruhan. Selanjutnya Nurtjahjo mengatakan bahwa, teori kedaulatan
plural meletakkan kedaulatan rakyat yang menyebar dalam beragai
golongan atau kelompok masyarakat dan dalam lembaga-lembaga negara
dalam mekanisme check and balance yang lebih luas dan sekadar tiga
lembaga sebagaimana dalam trias politika.
11
2.5. Teori Asas Kekuasaan Negara
Dalam asas kekuasaan negara dilandasi oleh beberapa teori yaitu:
1. Teori Teokrasi
Teori Teokrasi Langsung: istilah langsung menunjukkan bahwa yang
berkuasa dalam negara adalah Tuhan secara langsung. Adanya negara di
dunia ini adalah atas kehendak Tuhan dan yang memerintah adalah
Tuhan. Pertanyaannya, apakah negara semacam ini pernah ada dan
apakah Tuhan sendiri yang memerintah?
2. Teori Kekuasaan
Sebagaimana sudah diketahui, pelopor teori ini adalah Thomas Hobbes
dan Machiavelli. Dalam bukunya yang berjudul Leviathan, Hobbes
membedakan dua macam status manusia: status naturalis – kedudukan
manusia sewaktu masih belum ada negara dan status civilis – kedudukan
manusia setelah menjadi warga negara suatu negara.
3. Teori Yuridis
Teori ini hendak mencari dasar hukum kekuasaan negara melalui tiga
golongan:
a. Teori Patriarkhal
Teori ini didasarkan pada hukum keluarga. Pada masa masyarakat
hidup dalam kesatuan-kesatuan keluarga besar, kepala keluarga
(primus inter pares) menjadi pemimpin yang dipuja-puja karena
kekuatannya, jasa dan kebijaksanaannya.
b. Teori Patrimonial
Patrimonial berasal dari istilah patrimonium yang berarti hak milik.
Karena rajalah pemegang hak milik di wilayah kekuasaannya, maka
semua penduduk daerah itu harus tunduk kepadanya. Sekadar contoh,
pada abad pertengahan hak untuk memerintah dan menguasai timbul
dari pemilikan tanah. Dalam keadaan perang sudah menjadi
kebiasaan bahwa raja-raja menerima bantuan dari kaum bangsawan
untuk mempertahankan negaranya dari serangan musuh. Jika perang
berakhir dengan kemenangan raja, maka para bangsawan yang ikut
membela negara mendapatkan sebidang tanah sebagai tanda jasa.
12
c. Teori Perjanjian
Teori perjanjian sebagai dasar hukum kekuasaan negara dikemukakan
oleh tiga tokoh terkemuka: Thomas Hobbes, John Locke dan J.J.
Rousseau. Mereka hendak mengembalikan kekuasaan raja pada suatu
perjanjian masyarakat yang mengalihkan manusia dari status
naturalis ke status civilis.
13
oleh John Locke oleh Montesquieu dimasukan ke dalam kekuasaan eksekutif
dan fungsi mengadili dijadikan kekuasaan yang berdiri sendiri. Ketiga
kekuasaan tersebut dilaksanakan oleh lembaga yang berbeda dan sifatnya
terpisah. Tiga teori Montesquieu ini dikenal dengan teori Trias Politica.
Pembagian Kekuasaan Negara di Indonesia
Pemisahan kekuasaan berarti kekuasaan negara itu terpisah-pisah dalam
beberapa bagian, baik mengenai organnya maupun fungsinya yang secara
tidak langsung mereka berjalan dalam suatu sistem yang terstruktur. Dengan
kata lain, lembaga pemegang kekuasaan negara yang meliputi lembaga
legislatif, eksekutif dan yudikatif merupakan lembaga yang terpisah satu sama
lainnya, berdiri sendiri tanpa memerlukan koordinasi dan kerjasama. Setiap
lembaga menjalankan fungsinya masing-masing dengan baik. Contoh negara
yang menganut mekanisme pemisahan kekuasaan adalah Amerika Serikat.
Berbeda dengan mekanisme pemisahan kekuasaan, di dalam mekanisme
pembagian kekuasaan, kekuasaan negara itu memang dibagi-bagi dalam
beberapa bagian (legislatif, eksekutif dan yudikatif), tetapi tidak dipisahkan.
Hal ini membawa konsekuensi bahwa diantara bagian-bagian itu
dimungkinkan ada koordinasi atau kerjasama. Mekanisme pembagian ini
banyak sekali dilakukan oleh banyak negara di dunia, termasuk Indonesia.
Mekanisme pembagian kekuasaan di Indonesia diatur sepenuhnya di
dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Penerapan pembagian
kekuasaan di Indonesia terdiri atas dua bagian, yaitu :
1. Kekuasaan Horizontal
Pembagian kekuasaan secara horizontal adalah pembagian kekuasaan
menurut fungsi lembaga-lembaga tertentu (legislatif, eksekutif dan
yudikatif). Berdasarkan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
secara horizontal pembagian kekuasaan negara di lakukan pada tingkatan
pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Pembagian kekuasaan pada
tingkatan pemerintahan pusat berlangsung antara lembaga-lembaga
negara yang sederajat. Pembagian kekuasaan pada tingkat pemerintahan
pusat mengalami pergeseran setelah terjadinya perubahan UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Pergeseran yang dimaksud adalah
14
pergeseran klasifikasi kekuasaan negara yang umumnya terdiri atas tiga
jenis kekuasaan jika menurut teori Trias Politica (legislatif, eksekutif dan
yudikatif) menjadi enam kekuasaan negara, yaitu sebagai berikut:
1) Kekuasaan Konstitutif
Kekuasaan konstitutif yaitu kekuasaan untuk mengubah dan
menetapkan Undang-Undang Dasar. Kekuasaan ini dijalankan oleh
Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 3 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang
mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar.
2) Kekuasaan eksekutif
Kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-
undang dan penyelenggraan pemerintahan Negara. Kekuasaan ini
dipegang oleh Presiden sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 4 ayat
(1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan
bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.
3) Kekuasaan legislatif
Kekuasaan Legislatif adalah kekuasaan yang berwewenang untuk
membentuk/menyusun undang-undang. Kekuasaan ini dipegang oleh
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagaimana ditegaskan dalam
Pasal 20 ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang
menyatakan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang.
4) Kekuasaan yudikatif
Kekuasaan yudikatif atau biasa disebut dengan kekuasaan
kehakiman, yaitu kekuasaan yang berwewenang untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Kekuasaan ini dipegang oleh Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (2) UUD
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
15
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi, semua itu berada di bawah kekuasaan
yudikatif.
5) Kekuasaan eksaminatif/inspektif
Kekuasaan eksaminatif atau inspektif merupakan kekuasaan yang
berhubungan dengan penyelenggaraan pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab tentang keuangan negara. Kekuasaan ini
dijalankan oleh Badan Pemeriksa Keuangan sebagaimana ditegaskan
dalam Pasal 23 E ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 yang menyatakan bahwa untuk memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab tentang keuangan negara diadakan satu Badan
Pemeriksa Keuangan yang bebas dan mandiri.
6) Kekuasaan moneter
Kekuasaan moneter adalah yaitu kekuasaan untuk menetapkan dan
melaksanakan kebijakan moneter, mengatur dan menjaga kelancaran
sistem pembayaran, serta memelihara kestabilan nilai rupiah.
Kekuasaan ini dijalankan oleh Bank Indonesia selaku bank sentral di
Indonesia sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 23 D UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa negara
memiliki suatu bank sentral yang susunan, kedudukan, kewenangan,
tanggung jawab, dan indepedensinya diatur dalam undang-
undang. Pembagian kekuasaan secara horizontal pada tingkatan
pemerintahan daerah berlangsung antara lembaga-lembaga daerah
yang sederajat, yaitu antara Pemerintah Daerah (Kepala
Daerah/Wakil Kepala Daerah) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD). Pada tingkat provinsi, pembagian kekuasaan berlangsung
antara Pemerintah provinsi (Gubernur/wakil Gubernur) dan DPRD
provinsi. Sedangkan pada tingkat kabupaten/kota, pembagian
kekuasaan berlangsung antara Pemerintah Kabupaten/Kota
16
(Bupati/wakil Bupati atau Walikota/wakil Walikota) dan DPRD
kabupaten/kota.
2. Kekuasaan vertikal
Pembagian kekuasaan secara vertikal adalah pembagian kekuasaan
menurut tingkatnya, yaitu pembagian kekuasaan antara beberapa
tingkatan pemerintahan. Pasal 18 ayat (1) UUD Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik
Indonesia dibagi atas daerahdaerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi
atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu
mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, pembagian kekuasaan secara vertikal
di negara Indonesia berlangsung antara pemerintahan pusat dan
pemerintahan daerah (pemerintahan provinsi dan pemerintahan
kabupaten/kota) yang telah tersistem. Pada pemerintahan daerah
berlangsung pula pembagian kekuasaan secara vertikal yang ditentukan
oleh pemerintahan pusat. Hubungan antara pemerintahan provinsi dan
pemerintahan kabupaten/kota terjalin dengan koordinasi, pembinaan dan
pengawasan oleh Pemerintahan Pusat dalam bidang administrasi dan
kewilayahan.
Pembagian kekuasaan secara vertikal muncul sebagai konsekuensi
dari diterapkannya asas desentralisasi di Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Dengan asas tersebut, Pemerintah Pusat menyerahkan
wewenang pemerintahan kepada pemerintah daerah otonom (provinsi dan
kabupaten/kota) untuk mengurus dan mengatur sendiri urusan
pemerintahan di daerahnya, kecuali urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat, yaitu kewenangan yang berkaitan dengan
politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, agama, moneter dan
fiskal. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 18 ayat (5) UUD Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan Pemerintah daerah
menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang
oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
17
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kekuasaan negara merupakan suatu kemampuan atau wewenang yang
dimiliki suatu organisasi yang disebut Negara untuk mengatur dan
mempengaruhi tingkah laku manusia agar sesuai dengan kehendak atau
tujuan bersama. Kekuasaan negara juga merupakan kewenangan negara untuk
mengatur seluruh rakyatnya untuk mencapai keadilan dan kemakmuran, serta
keteraturan.
Kekuasaan-kekuasaan yang dimiliki suatu Negara sangat luas dan
mencakup berbagai aspek kehidupan yaitu kekuasaan legislatif, kekuasan
yudikatif dan kekuatan eksekutif, yang di dalamnya mencakup pula
kekuasaan untuk mengatur kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan
kesehjateraan rakyat, agama, social, budaya dan sebagainya
3.2. Saran
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat memberikan gambaran dan
menambah wawasan kita tentang hakikat kekuasaan negara serta dapat
membantu dalam menyusun pembelajaran. Kami juga mengharapkan
makalah ini dapat memberi manfaat dan ilmu pengetahuan kepada para
pembaca, dan disarankan pada pembaca untuk mencari referensi yang lebih
banyak lagi,baik dari sosial media maupun media lain.
Dalam penyusunan makalah ini masih banyak terdapat kekurangan dan
kekeliruan untuk itu saran dan kritik dari para pembaca yang sifatnya
membangun sangat kami harapkan demi kesempurnaan penyusunan makalah
di masa mendatang.
18
DAFTAR PUSTAKA
19