Anda di halaman 1dari 4

Kebangkitan Politik Lokal

(kajian naratif politik lokal Kab. Sikka)


Oleh: Sebastianus G. Duminggu

Kebangkitan Politik Lokal


Politik lokal bangkit dikarenakan, kegundahan masyrakat dan elit daerah, atas sentralisasi
yang lebih mementingkan kemajuan pusat ditimbang daerah. Terjadinya sentralisasi di
Indonesia pada saat era kepemimpinan Soekarno. Pasca orde lama, munculah mekanisme
“politik baru” bagi masyrakat dan elit. Politik baru menggambarkan resistansi terhadap
politik lama yang otokratik, represif dan memusat (sentralisme). Interpretasi dari politik yang
baru ini, merupakan bukti lahirnya kehadiran dan perjuangan kedaerah (polisentrisme),
sebagai konsekuaensi dari desentralisasi.
Kebangkitan politik lokal, membuktikan bahwa, adanya usaha polisentrisme.
Polisentrime diartikan secara sederhana ketika dikaitkan dengan kebangkitan politik lokal,
adalah sebagai bentuk perjuangan kolektif masyarakat-daerah, utuk menolak gagasan
pemerintah pusat (penguasa lama), yang telah dianggap melemahkan identitas dan kekuasaan
masyarakat-daerah. Alih-alih desentralisasi orde baru, kesejahteraan dan hak merdeka
masyarakat Indonesia diteror dan diselubungi oleh kabut gelap birokrasi Soeharto.
Relasi Pemda dengan Pemerintah Pusat di era Otonomi Daerah
Pada masa pemerintahan Orde Baru, untuk memperkuat posisi kekuasaan, pemerintah
pusat memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan
eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah), keadaan ini ditandai dengan pemberian
sebutan kepala daerah sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Hal tersebut membuat
kedudukan kepala daerah pada waktu itu menjadi sentral dan dominan dalam
penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Terlepas dari tujuan desentralisasi yang idealis,
pemerintah pusat, malah memberikan kekuasaan mutlak kepada kepala daerah dan
menjadikan kepala daerah sebagai boneka dan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat
(Presiden) untuk mengamankan setiap kebijakan pemerintah di daerah.
Implikasi yang dapat disimpulkan dari realita kehidupan politik masa orde baru adalah,
dominasi kekuasaan lebih pada pemerintah pusat. Keadaan tersebut dikarenakan, pemerintah
daerah adalah bentuk perpanjangan tangan pemerintah pusat. Kepemimpinan di daerah tentu
saja berorientasi ke atas (pusat), hal tersebut menyebabkan rakyat berada pada posisi yang
lemah, di mana nilai-nilai kedaulatan rakyat mengalami pengikisan akibat kuatan kekuasaan
pemerintah yang tercermin dalam struktur kekuasaan dan garis kepemimpinan sampai ke
daerah.
Dengan konsep otonomi yang demikian, Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan sebuah
“institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil
Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan
konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol, menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah
manipulasi “demokrasi” atau sentralisme yang terbungkus demokrasi, atau sentralisme yang
dikemas dengan dekonsentrasi.
Politik Lokal Kabupaten Sikka

Latar belakang, otonomi daerah, faktor agama dan etnis

Sejarah perkembangan pemerintahan kabupaten Sikka, diawali dengan bentuk


pemerintahan lokal (suku). Kabupaten Sikka pada awalnya dipimpin oleh pemimpin
masyarakat (suku) yang bergelar Ama Ge’te sekitar tahun 900-an. Dari sumber catatan kaki
(non-ilmiah), asal-muasal pemerintahan Sikka, didirikan oleh saudagar yang berasal dari
Bangladesh. Saudagar itu adalah Rae Raja. Rae raja yang bergelar Ama Ge’te kemudian
mendirikan Sikka dengan 30 kampung adat. Gelar Ama Ge’te terakir dimiliki oleh Baga
Ngang. Baga Ngang melahirkan banyak putra, yang kemudian menjadi cikal-bakal raja-raja
Sikka.
Perkembangan pemerintahan kabupaten Sikka yang awalnya berasal dari kelompok
masyarkat (suku), kemudian menjadi sebuah kerajaan kecil ketika Portugis masuk ke wilayah
Flores (Sikka). Raja pertama pada masa pendudukan Portugis adalah Raja Don Alesu
Ximenes da Silva. Kerajaan Sikka terus mahsyur hingga kepemimpinan raja ke-16 dan
beberapa perubahan pada tahun 1875 karena peralihan kekuasaan dari Portugis ke Belanda.
Pada masa penjajahan, Belanda menjalankan politik devide et impera sehingga memecahkan
Kerajaan Sikka menjadi tiga, yakni Kerajaan Sikka (Kerajaan Sikka Mayor) dan Kerajaan
Nita dan Kangae (Kerajaan Sikka Minor). Pemecahan ini tidak berjalan lama karena terjadi
pemberontakan Teka (pahlawan daerah Sikka) pada tahun 1908 yang mengembalikan
Kerajaan Sikka menjadi kerajaan tunggal. Era raja Sikka menjadi raja-raja tersohor di daratan
Flores. Pada tahun 1950, Raja Thomas ditunjuk menjadi kepala daerah Flores yang pertama.
Sebab, ia dianggap paling cakap di antara semua raja.
Perkembangan pemerintahan kabupaten Sikka kemudian berubah dari kerajaan menjadi
pemerintah daerah Pada tahun 1958, dengan pejabat Bupati adalah Raja Centis. Pada Tahun
1960, dengan menjalankan prinsip demokrasi-terpimpin, dipilihlah Bupati Sikka yang
pertama. Berdasarkan perolehan suara, DPRD Sikka kemudian memutuskan Paulus Samador
da Cunha, sebagai Bupati yang ditunjuk. Seiring dengan perjalan demokrasi di Indonesia,
Pada tahun 2003. sesuai dengan perundangan yang baru diberlakukan yakni UU No. 22 tahun
2001 tentang pemerintahan daerah, pemimpin eksekutif dikendalikan oleh seorang Bupati
dan Wakil Bupati yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten setempat.
Tahun 2003 DPRD Kabupaten Sikka memilih Drs. Alexader Longginus sebagai Bupati Sikka
Ketujuh dan Drs. Yoseph Ansar Rera sebagai Wakil Bupati Sikka yang pertama dipilih.
Perjalanan demokrasi di Indonesia kemudain berubah lagi, begitu pula dengan undang-
undang. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengantikan posisi Undang-Undang No. 22
tahun 2001 tentang Pemerintahan Daerah. Didalam implementasi Undang-Undang No. 22
tahun 2001, rakyat kemudian merasakan sedikit percikan demokrasi, yaitu dengan cara
memilih langsung pemimpin daerah melalui pilkada. Pemerintahan hasil pilkada 2008
dipimpin oleh Drs. Sosimus Mitang, yang menjadi Bupati Sikka kedelapan dan Dr. Wera
Damianus, M.M, menjadi wakil Bupati Sikka yang kedua.
Dari latar belakang pemerintahan daerah yang telah penulis jabarkan, ada beberapa
bentuk pemerintahan daerah yang berlaku dan kemudian berubah seiring perjalanan waktu.
Dengan bentuk perubahan pemerintahan daerah tersebut, lahirlah dogmatis bentuk politik
daerah kabupaten Sikka. Dogmatis tersebut membawa nilai politik pemerintahan daerah yang
menguntungkan segelintir pihak. Pihak-pihak tersebut tentusaja masih memiliki kaitan erat
dengan para pendiri masyrakat daerah awal. Dogmatis-dogmatis tersebut, masih mewarnai
bentuk politik pemerintahan daerah hingga era demokrasi dewasa saat ini. Ada bentuk
penilaian dan kepercayaan berbasis dogmatis, dari masyarakat daerah yang sudah turun-
temurun.
Dogma-dogma tersebut membawa kepercayaan akan nilai kepemimpinan, yang
mengharuskan seorang calon pemimpin memiliki darah keturunan (gen) dari para pendiri
masyarakat daerah awal. Keadaan tersebut sangat merugikan masyarakat biasa yang ingin
berpolitik. Ini adalah bentuk oligarki yang tersematkan demokrasi. Segelintir masyarakat
yang memiliki nama kelurga dan kekayaanlah, yang dapat menguasai pemerintahan dan
politik. Bentuk politik daerah seperti ini masih terus berlanjut dan mengusai kabupaten Sikka
hingga saat ini. Kenyataan lain, adalah, segelintir orang tersebut, juga memiliki kaitan erat
dengan partai-partai politik di Indonesia. Kesimpulan dari realita yang didapat, membentuk
premis, demokrasi Indonesia masih diselimuti kehangatan oligarki.
Dari analisis realita politik daerah diatas, penulis menarik kesimpulan singkat bahwa,
otonomi daerah yang berlaku dari jaman demokrasi terpimpin hingga demokrasi dewasa saat
ini, tidak memberikan dampak dan manfaat “baik” bagi masyarakat daerah. Kenyataan hidup
yang dialami masyakat, miris dengan imajinasi dari keinginan membentuk otonomi derah
yang mensejahterahkan masyarakat. Bagaimana tidak? Di daerah, kenyataan akan oligarki
berbalut demokrasi memliki gen yang mirip dengan demokrasi terpimpin.

Anda mungkin juga menyukai