Politik lokal bangkit dikarenakan, kegundahan masyrakat dan elit daerah, atas sentralisasi yang lebih mementingkan kemajuan pusat ditimbang daerah. Terjadinya sentralisasi di Indonesia pada saat era kepemimpinan Soekarno. Pasca orde lama, munculah mekanisme “politik baru” bagi masyrakat dan elit. Politik baru menggambarkan resistansi terhadap politik lama yang otokratik, represif dan memusat (sentralisme). Interpretasi dari politik yang baru ini, merupakan bukti lahirnya kehadiran dan perjuangan kedaerah (polisentrisme), sebagai konsekuaensi dari desentralisasi. Kebangkitan politik lokal, membuktikan bahwa, adanya usaha polisentrisme. Polisentrime diartikan secara sederhana ketika dikaitkan dengan kebangkitan politik lokal, adalah sebagai bentuk perjuangan kolektif masyarakat-daerah, utuk menolak gagasan pemerintah pusat (penguasa lama), yang telah dianggap melemahkan identitas dan kekuasaan masyarakat-daerah. Alih-alih desentralisasi orde baru, kesejahteraan dan hak merdeka masyarakat Indonesia diteror dan diselubungi oleh kabut gelap birokrasi Soeharto. Relasi Pemda dengan Pemerintah Pusat di era Otonomi Daerah Pada masa pemerintahan Orde Baru, untuk memperkuat posisi kekuasaan, pemerintah pusat memberikan peran dan kekuasaan yang sangat besar kepada pemegang kekuasaan eksekutif di daerah (dalam hal ini kepala daerah), keadaan ini ditandai dengan pemberian sebutan kepala daerah sebagai “penguasa tunggal” di daerah. Hal tersebut membuat kedudukan kepala daerah pada waktu itu menjadi sentral dan dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Terlepas dari tujuan desentralisasi yang idealis, pemerintah pusat, malah memberikan kekuasaan mutlak kepada kepala daerah dan menjadikan kepala daerah sebagai boneka dan perpanjangan tangan dari Pemerintah Pusat (Presiden) untuk mengamankan setiap kebijakan pemerintah di daerah. Implikasi yang dapat disimpulkan dari realita kehidupan politik masa orde baru adalah, dominasi kekuasaan lebih pada pemerintah pusat. Keadaan tersebut dikarenakan, pemerintah daerah adalah bentuk perpanjangan tangan pemerintah pusat. Kepemimpinan di daerah tentu saja berorientasi ke atas (pusat), hal tersebut menyebabkan rakyat berada pada posisi yang lemah, di mana nilai-nilai kedaulatan rakyat mengalami pengikisan akibat kuatan kekuasaan pemerintah yang tercermin dalam struktur kekuasaan dan garis kepemimpinan sampai ke daerah. Dengan konsep otonomi yang demikian, Pemerintah Daerah pada dasarnya bukan sebuah “institusi otonom” yang bisa menjadi saluran bagi aspirasi rakyat, melainkan wakil Pemerintah Pusat di daerah. Penggabungan konsep desentralisasi bersama-sama dengan konsep dekonsentrasi yang lebih menonjol, menjadikan otonomi yang dikembangkan adalah manipulasi “demokrasi” atau sentralisme yang terbungkus demokrasi, atau sentralisme yang dikemas dengan dekonsentrasi. Politik Lokal Kabupaten Sikka
Latar belakang, otonomi daerah, faktor agama dan etnis
Sejarah perkembangan pemerintahan kabupaten Sikka, diawali dengan bentuk
pemerintahan lokal (suku). Kabupaten Sikka pada awalnya dipimpin oleh pemimpin masyarakat (suku) yang bergelar Ama Ge’te sekitar tahun 900-an. Dari sumber catatan kaki (non-ilmiah), asal-muasal pemerintahan Sikka, didirikan oleh saudagar yang berasal dari Bangladesh. Saudagar itu adalah Rae Raja. Rae raja yang bergelar Ama Ge’te kemudian mendirikan Sikka dengan 30 kampung adat. Gelar Ama Ge’te terakir dimiliki oleh Baga Ngang. Baga Ngang melahirkan banyak putra, yang kemudian menjadi cikal-bakal raja-raja Sikka. Perkembangan pemerintahan kabupaten Sikka yang awalnya berasal dari kelompok masyarkat (suku), kemudian menjadi sebuah kerajaan kecil ketika Portugis masuk ke wilayah Flores (Sikka). Raja pertama pada masa pendudukan Portugis adalah Raja Don Alesu Ximenes da Silva. Kerajaan Sikka terus mahsyur hingga kepemimpinan raja ke-16 dan beberapa perubahan pada tahun 1875 karena peralihan kekuasaan dari Portugis ke Belanda. Pada masa penjajahan, Belanda menjalankan politik devide et impera sehingga memecahkan Kerajaan Sikka menjadi tiga, yakni Kerajaan Sikka (Kerajaan Sikka Mayor) dan Kerajaan Nita dan Kangae (Kerajaan Sikka Minor). Pemecahan ini tidak berjalan lama karena terjadi pemberontakan Teka (pahlawan daerah Sikka) pada tahun 1908 yang mengembalikan Kerajaan Sikka menjadi kerajaan tunggal. Era raja Sikka menjadi raja-raja tersohor di daratan Flores. Pada tahun 1950, Raja Thomas ditunjuk menjadi kepala daerah Flores yang pertama. Sebab, ia dianggap paling cakap di antara semua raja. Perkembangan pemerintahan kabupaten Sikka kemudian berubah dari kerajaan menjadi pemerintah daerah Pada tahun 1958, dengan pejabat Bupati adalah Raja Centis. Pada Tahun 1960, dengan menjalankan prinsip demokrasi-terpimpin, dipilihlah Bupati Sikka yang pertama. Berdasarkan perolehan suara, DPRD Sikka kemudian memutuskan Paulus Samador da Cunha, sebagai Bupati yang ditunjuk. Seiring dengan perjalan demokrasi di Indonesia, Pada tahun 2003. sesuai dengan perundangan yang baru diberlakukan yakni UU No. 22 tahun 2001 tentang pemerintahan daerah, pemimpin eksekutif dikendalikan oleh seorang Bupati dan Wakil Bupati yang dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten setempat. Tahun 2003 DPRD Kabupaten Sikka memilih Drs. Alexader Longginus sebagai Bupati Sikka Ketujuh dan Drs. Yoseph Ansar Rera sebagai Wakil Bupati Sikka yang pertama dipilih. Perjalanan demokrasi di Indonesia kemudain berubah lagi, begitu pula dengan undang- undang. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 mengantikan posisi Undang-Undang No. 22 tahun 2001 tentang Pemerintahan Daerah. Didalam implementasi Undang-Undang No. 22 tahun 2001, rakyat kemudian merasakan sedikit percikan demokrasi, yaitu dengan cara memilih langsung pemimpin daerah melalui pilkada. Pemerintahan hasil pilkada 2008 dipimpin oleh Drs. Sosimus Mitang, yang menjadi Bupati Sikka kedelapan dan Dr. Wera Damianus, M.M, menjadi wakil Bupati Sikka yang kedua. Dari latar belakang pemerintahan daerah yang telah penulis jabarkan, ada beberapa bentuk pemerintahan daerah yang berlaku dan kemudian berubah seiring perjalanan waktu. Dengan bentuk perubahan pemerintahan daerah tersebut, lahirlah dogmatis bentuk politik daerah kabupaten Sikka. Dogmatis tersebut membawa nilai politik pemerintahan daerah yang menguntungkan segelintir pihak. Pihak-pihak tersebut tentusaja masih memiliki kaitan erat dengan para pendiri masyrakat daerah awal. Dogmatis-dogmatis tersebut, masih mewarnai bentuk politik pemerintahan daerah hingga era demokrasi dewasa saat ini. Ada bentuk penilaian dan kepercayaan berbasis dogmatis, dari masyarakat daerah yang sudah turun- temurun. Dogma-dogma tersebut membawa kepercayaan akan nilai kepemimpinan, yang mengharuskan seorang calon pemimpin memiliki darah keturunan (gen) dari para pendiri masyarakat daerah awal. Keadaan tersebut sangat merugikan masyarakat biasa yang ingin berpolitik. Ini adalah bentuk oligarki yang tersematkan demokrasi. Segelintir masyarakat yang memiliki nama kelurga dan kekayaanlah, yang dapat menguasai pemerintahan dan politik. Bentuk politik daerah seperti ini masih terus berlanjut dan mengusai kabupaten Sikka hingga saat ini. Kenyataan lain, adalah, segelintir orang tersebut, juga memiliki kaitan erat dengan partai-partai politik di Indonesia. Kesimpulan dari realita yang didapat, membentuk premis, demokrasi Indonesia masih diselimuti kehangatan oligarki. Dari analisis realita politik daerah diatas, penulis menarik kesimpulan singkat bahwa, otonomi daerah yang berlaku dari jaman demokrasi terpimpin hingga demokrasi dewasa saat ini, tidak memberikan dampak dan manfaat “baik” bagi masyarakat daerah. Kenyataan hidup yang dialami masyakat, miris dengan imajinasi dari keinginan membentuk otonomi derah yang mensejahterahkan masyarakat. Bagaimana tidak? Di daerah, kenyataan akan oligarki berbalut demokrasi memliki gen yang mirip dengan demokrasi terpimpin.