Anda di halaman 1dari 14

0

FREIES ERMESSEN
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Administrasi Negara

Pembimbing:

Drs. Suwarno, M.Pd

Oleh Maulidia Rahmania (08210009)

JURUSAN AL-AHWAL ASY-SYAKSYIYAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG Desember 2011

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Birokrasi sebenarnya merupakan instrumen kekuasaan yang didesain oleh penguasa untuk menjalankan keputusan-keputusan politiknya dalam arti formil. Namun dalam praktiknya birokrasi telah menjadi kekuatan politik yang potensial yang dapat merobohkan kekuasaan. Karena itu, sistem, proses dan prosedur penyelenggaraan negara dalam rangka pelaksanaan tugas pemerintahan negara dan pembangunan harus diatur oleh produk hukum. Begitu luasnya cakupan tugas-tugas administrasi negara dan pemerintahan, sehingga diperlukan peraturan yang dapat mengarahkan penyelenggaraan administrasi pemerintahan menjadi lebih sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Patut disadari, bahwa problem kekuasaan, dan perihal kewenangan serta fenomena konflik struktural merupakan hal yang sukar untuk dipisahkan satu sama lain, terlebih bila berbicara mengenai tata kelola pemerintahan itu sendiri. Kekuasaan merupakan sumber kewenangan dan konflik merupakan konsekuensi yang ditimbulkan dari pelaksanaan kewenangan yang tidak jelas. Hukum Administrasi Negara dapat diartikan sebagai perangkat hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan administrasi negara. Administrasi negara di sini mencakup keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh administrasi negara di dalam menjalankan tugasnya sehari-hari, baik tugas yang berkaitan dengan layanan masyarakat (public service), pelaksanaan pembangunan, kegiatan perekonomian, peningkatan kesejahteraan, dan lain sebagainya. Termasuk di sini adalah tugas yang dijalankan oleh administrasi negara untuk melaksanakan berbagai tugas yang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan. Sedangkan administrasi pemerintahan adalah tatalaksana dalam mengambil tindakan hukum dan/atau tindakan faktual oleh badan atau pejabat pemerintahan (unsur yang melaksanakan fungsi pemerintahan berdasarkan wewenang diluar kekuasaan legislatif dan yudisiil yang diperoleh melalui atribusi, delegasi dan mandat.

Adanya

Freies

Ermessen

bukan

tidak

menimbulkan

masalah,

karena

kemungkinan terjadinya pelanggaran terhadap hak warga Negara menjadi semakin besar. Oleh karena itu bagaimana mengontrol kekuasaan administrasi Negara agar tidak disalahgunakan. Agar Freies Ermessen yang ada pada administrasi Negara tersebut tidak disalahgunakan, maka diperluan tolok ukur pembatasan terhadap penggunaannya. Dengan perkataan lain ada batas toleransi yang pasti dipenuhi oleh administrasi Negara dalam menggunakan Freies Ermessen. Berdasarkan uraian diatas, nyatalah bahwa Freies Ermessen mempunyai peran dalam Hukum administrasi Negara.

B. Rumusan Masalah 1) Apa yang dimaksud dengan Freies Ermessen? 2) Bagaimana peran Freies Ermessen dalam HAN? 3) Bagaimana toleransi atau tolok ukur Freies Ermessen? 4) Badan Negara manakah yang memiliki Freies Ermessen?

C. Tujuan 1) Untuk mengetahui definisi Freies Ermessen. 2) Untuk mengetahui peran Freies Ermessen dalam HAN. 3) untukmengetahui toleransi atau tolok ukur Freies Ermessen. 4) Untuk mengetahui Badan Negara manakah yang memiliki Freies Ermessen.

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Freies Ermessen Keberadaan peraturan kebijakan tidak dapat dilepaskan dengan wewenang bebas (vrijebovvegdheid) dari pemerintah yang disebut dengan istilah Freies Ermessen. Prajudi Atmosudirdjo mengatakan: asas diskresi, artinya pejabat penguasa tidak boleh menolak mengambil keputusan dengan tidak ada peraturannya dan oleh karena itu diberi kebebasan mengambil keputusan sendiri asalkan tidak melanggar asas yuridiktas dan asas legalitas.1

Sedangkan Freies Ermessen Menurut Sjachran Basah: ..dimungkinkan oleh hukum agar dapat bertindak atas inisiatif sendiri.. terutama dalam penyelesaian persoalan-persoalan penting yang timbul secara tiba-tiba. Dalam hal demikian, administrasi Negara terpaksa bertindak cepat, membuat penyelesaian. Namun keputusan-keputusan yang diambil untuk menyelesaikan masalah-masalah itu harus dapat dipertanggungjawabkan.2

Freies Ermessen berasal dari kata Frei yang artinya bebas, lepas, tidak terikat dan merdeka. Sementara Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan. Jadi Freies Ermessen berabrti orang yang memiliki kebebasan untuk mempertimbangkan, menilai, menduga, dan memperkirakan sesuatu, istilah ini kemudian digunakan secara khas dalam bidang pemerintahan sehingga Freies Ermessen diartikan sebagai salah satu sarana yang memberikan ruang gerak pada

1 2

Prajudi Atmosudirdjo, Hukum Administrasi Negara, (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1981),85 Sjahran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia. (Bandung : Alumni, 1985), 12.

pejabat ata badan-badan administrasi Negara untuk melakukan tindakan tanpa harus terikat sepenuhnya pada Undang-undang. Sedangkan menurut Nana Saputra yakni suatu kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi yaitu kebabasan yang pada asasnya memperkenankan alat administrasi Negara mengutamakan keefektifan tercapai suatu tujuan daripada berpegang teguh pada ketentuan hukum, atau kewenangan yang sah untuk turut campur dalam kegiatan social guna melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan umum. Selain itu istilah Freies Ermessen ini sepadan dengan kata discretionair, yang artinya menurut kebijaksanaan dan sebagai kata sifat, berarti : menurut wewenang atau kekuasaan.3 Pada bagian lain disebutkan bahwa Freies Ermessen adalah kebebasan bertindak kebijakan-kebijakan melalui sikap tindak administrasi yang harus harus dapat dipertanggungjawabkan. Amrah Muslimin mengartikan Freies Ermessen sebagai lapangan bergerak selaku kebijaksanannya atau :kebebasan kebijaksanaan.4 Dari beberapa pengertian diatas, sebenarnya tidaklah berbeda prinsip, hanya pengunkapan dan penggunaan istilah saja yang sedikit berbeda. Inti dari hakikat tersebut adalah kebebasan bertindak bagi administrasi Negara untuk menjalankan fungsinya secara dinamis untuk menyelesaikan masalah yang ada. Namun, yang harus di ingat bahwa kebebasan bertindak administrasi Negara bukan dalam arti yang seluas-luasnya, melainkan ada batasan tertentu yang ditetapkan oleh Hukum Administrasi Negara. Sehubungan dengan hal tersebut, Hans J, Wolf mengatakan bahwa Freies Ermessen tidak boleh diartikan secara berlebihan seakan-akan badan atau pejabat administrasi Negara boleh bertindak sewenang-wenang atau tanpa dasar dan atau dengan dasar-dasar yang tidak jelas ataupin dengan pertimbangan subyektif-individual. Oleh karena itu, menurut Wolf lebih baik jika dikatakan mereka bertindak berdasarkan kebijaksanaan.

3 4

Marbun, SF, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. (Yogyakarta : UII Press. 2001),108. Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi, (Bandung:Alumni,1985),73.

Sebagai konsekuensi diberikannya Freies Ermessen kepada administrasi Negara, mkaa administrasi Negara memiliki pouvoir discretionaire dan oleh karena itu dapat bertindak sebagai vrijbestuur. Sehingga muncul kekhawatiran kaum legis bahwa hal tersebut bertentangan dengan asas legalitas, terutama prinsip wetmatigeheid (semua perbuatan dalam pemerintahan itu harus berdasarkan pada wewenang yang diberikan oleh suatu peraturan perundang-undangan.

B. Peranan Freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara

Dalam ilmu hukum administrasi. Freies Ermessen ini diberikan hanya kepada pemerintah atau administrasi Negara baik untuk melakukan tindakan-tindakan biasa maupun tindakan hukum, dan ketika Freies Ermessen ini diwujudkan dalam instrument yuridis yang tertulis, jadilah ia sebagai peraturan kebijaksanaan. Sebagai sesuatu yang lahir dari Freies Ermessen dan yang hanya di berikan pada pemerintah atau administrasi Negara, kewenangan pembuatan peraturan kebijaksaan tersebut. Ada beberapa manfaat atau aspek kelebihan dalam penggunaan prinsip Freies Ermessen atau kebebasan bertindak oleh pejabat pemerintah yaitu diantaranya; 5 a) Kebijakan pemerintah yang bersifat emergency terkait hajat hidup orang banyak dapat segera diputuskan atau diberlakukan oleh pemerintah meskipun masih debatable secara yuridis atau bahkan terjadi kekosongan hukum sama sekali; b) Badan atau pejabat pemerintah tidak terjebak pada formalisme hukum dengan asumsi bahwa tidak ada kekosongan hukum bagi setiap kebijakan publik (policy) sepanjang berkaitan dengan kepentingan umum atau masyarakat luas; c) Sifat dan roda pemerintahan menjadi makin fleksibel, sehingga sektor pelayanan publik makin hidup dan pembangunan bagi peningkatan kesejahtraan rakyat menjadi tidak statis alias tetap dinmais seiring dengan dinamika masyarakat dan perkembangan zaman.

http://malutpost.com/berita/index.php?option=com_content&task=view&id=163&Itemid=38 (diakses pada tanggal 20 Desember 2011)

Dari manfaat diatas jika dihubungkan dengan pendapat Sjachran Basah, maka implementasi Freies Ermessen melalui sikap-sikap administrasi Negara dapat berwujud : a. Membentuk peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang yang secara materiil mengikat umum; b. Mengeluarkan veschiking yang bersifat konkret, final dan individual; c. Melakukan tindak administrasi yang nyata dan aktif; d. Menjalankan fungsi peradilan, terutama dalam keberatan dan Banding administrasi.

C. Batas Toleransi atau Tolok ukur Freies Ermessen

Tolok ukur dari Freies Ermessen dapat dilihat dari batasan Freies Ermessen. Adapun batasan tersebut mengandung tiga unsur, yaitu: 1. Adanya kebebasan atau keleluasaan Administrasi Negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri. Bahwa dalam suatu Negara Hukum modern semua sikap-tindk administrasi Negara tidak lagi bersifat wetmatig melainkan juga rechtsmatig. Artinya, semua sikap tidak administrasi Negara hendaklah tetap berada dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum, bukan yang dengan tegas dilarang hukum. Kebebasan atau keleluasaan administrasi Negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri dapat berupa : a. Dalam batas-batas yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan. b. Memilih salah satu alternative yang paling mungkin sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan.

2. Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya. Kesulitan utama yang muncul adalah apakah kriteria atau tolok ukur untuk adanya persolan-persolan mendesak yang muncul secara tiba-tiba. Pasal 22 ayat (1) UUD 1945 menggunakan istilah dalam hal ihwal kepentingan yang memaksa, sedangkan penjelasannya menggunakan istilah dalam keadan yang genting, memaksa pemerintah untuk bertindak lekas dan tepat.
6

Pengertian mendesak, bukanpengertian secara umum, akan tetapi Marcus Lukman mengatakan batasan-batasan mendesak setidaknya mengandung unsure : a. b. c. d. Menyangkut kepentingan umum; Persolan muncul secara tiba-tiba, berada diluar rencana yang telah ditentukan; Belum ada peraturan yang mengatut persoalan tersebut; Prosedurnya tidak dapat diselesaikan menurut administrasi yang normal, atau jika diselesaikan menurut administrasi normal, hasilnya akan tidak berdayaguna; e. Jika tidak segera diselesaikan, persoalan tersebut akan menimbulkan kerugian bagi kepentingan umum.

3. Harus dapat dipertanggungjawabkan Oleh karena semua negara memasuki semua sisi kehidupan masyarakat, maka administrasi kebijaksanaan. negara memiliki keleluasaan dalam menentukan itu kebijaksanaanharus bisa

Walaupun

demikian,

sikap

tindakannya

dipertanggungjawabkan. Pertanggungjawaban secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa merupakan pengaturan dasar dari UUD 1945 dan TAP MPR Nomor II/MPR/1978 tentang P4. Dengan demikian, penerapan Freies Ermessen secara moral harus sesuai dengan nilainilai yang terkandung dalam Pancasila. Terdapat pula beberapa parameter dalam hal batasan toleransi bagi Badan atau Pejabat pemerintahan dalam menggunakan asas diskresi ini yaitu; a) adanya kebebasan atau keleluasaan administrasi negara untuk bertindak atas inisiatif sendiri; b) untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang mendesak yang belum ada aturannya untuk itu; c) tidak boleh mengakibatkan kerugian kepada masyarakat, harus dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum dan juga secara moral. Bila berbicara mengenai pertanggungjawaban maka diskresi akan terkait dengan permasalahan subyek yang memiliki kewenangan membuat diskresi. Menurut Prof. Muchsan, subyek yang berwenang untuk membuat suatu diskresi adalah administrasi negara dalam pengertian sempit, yaitu eksekutif. Adapun basis
7

argumentasi yuridisnya ialah bahwa pihak eksekutif yang lebih banyak bersentuhan dengan masalah pelayanan publik oleh karena itu diskresi hanya ada dipraktekan dan dikenal dalam tata kelola pemerintahan. Bentuk-bentuk sederhana dari keputusan administrasi di luar peraturan perundang-undangan yang dapat dilihat dalam contoh kehidupan sehari-hari adalah memo yang dikeluarkan oleh pejabat, pengumuman, surat keputusan (SK) dan sejumlah bentuk lainnya. Dalam rancangan Undang Undang Administrasi Pemerintahan (RUU AP) pun memperjelas penyelesaian sengketa yang ditimbulkan oleh diskresi yang sebelumnya belum terakomodir dalam UU PTUN. Mekanisme pertanggungjawaban menurut RUU AP ini adalah mekanisme pertanggungjawaban administrasi terkait dengan keputusan ataupun tindakan yang telah diambil oleh pejabat administrasi pemerintahan. Menurut RUU AP Pasal 25 ayat (3) dinyatakan; pejabat administrasi pemerintahan yang menggunakan diskresi wajib mempertanggungjawabkan

keputusannya kepada pejabat atasannya dan masyarakat yang dirugikan akibat keputusan diskresi yang telah diambil. Pertanggungjawaban kepada atasan dilaksanakan dalam bentuk tertulis dengan memberikan alasan-alasan pengambilan keputusan diskresi. Sedangkan pertanggungjawaban kepada masyarakat diselesaikan melalui proses peradilan. Keputusan dan/atau tindakan diskresi pejabat administrasi pemerintahan dapat diuji melalui Upaya Administratif atau gugatan di Peradilan Tata Usaha Negara.

4. Badan Negara yang memiliki Freies Ermessen

Disisi lain kebebasan bertindak okeh apartur pemerintahan yang berwenang sudah tentu juga menimbulkan kompleksitas masalah karena sifatnya yang menyimpangi asas legalitas dalam arti yuridis (unsur exception). Memang harus diakui apabila tidak digunakan secara cermat dan hati-hati maka penerapa asas freis ermessen ini rawan menjadi konflik struktural yang berkepanjangan antara penguasa versus masayarakat. Ada beberapa kerugian yang bisa saja terjadi jika tidak diantisipasi secara baik yakni diantaranya;

a) Aparatur atau pejabat pemerintah bertindak sewenang-wenang karena terjadi ambivalensi kebijakan yang tidak dapat dipertanggujawabkan kepada masyarakat b) Sektor pelayanan publik menjadi terganggu atau malah makin buruk akibat kebijakan yang tidak popoluer dan non-responsif diambil oleh pejabat atau aparatur pemerintah yang berwenang; c) Sektor pembangunan justru menjadi terhambat akibat sejumlah kebijakan (policy) pejabat atau aparatur pemerintah yang kontraproduktif dengan keinginan rakyat atau para pelaku pembangunan lainnya; d) Aktifitas perekonomian masyarakat justru menjadi pasif dan tidak berkembang akibat sejumlah kebijakan (policy) yang tidak pro-masyarakat dan terakhir adalah terjadi krisis kepecayaan publik terhadap penguasa dan menurunya wibawa pemernitah dimata masyarakat sebagai akibat kebijakan-kebijakannya yang dinilai tidak simpatik dan merugikan masyarakat.6

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa Freies Ermessen sebaiknya dipegang oleh pemerintah (eksekutif) beserta seluruh jajarannya, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Karena itu, dalam penggunaan Freies Ermessen yang melanggar atau merugikan hak warganegara, maka terhadap pemerintah (eksekutif) dapat dimintai pertanggungjawaban melalui pengadilan. Secara akademik ada bebrapa alasan mengapa sebaiknya Freies Ermessen dipegang oleh pemerintah (eksekutif), anara lain: 1. Pemerintah (eksekutif) memiliki aparat, keahlian, dan sarana yang lebih lengkap dibandingkan dengan kedua badan hukum lainnya (legislative dan yudikatif). 2. Pemerintah (eksekutif)lah yang secara riilberhubungan dengan masyarakat, oleh karenanya pemerintah lebih mengetahui dinamika dan perkembangan masyarakat, sehingga ketika terjadi suatu masalh dan harus cepet diselesaikan, maka pemerintah dapat segera mengambil tindakan.

http://gekaarissta.blogspot.com/2010/01/latihan-ngelink.html (di akses tanggal 20 Besember 2011)

3. Keanggotaan badan legislatif yang relatif besar akan mempersulit dalam mengambil suatu tindakan yang cepat. Lagipula badan tersebut tidak memiliki anggota, keahlian dan sarana yang lengkap seperti pemeritah (eksekutif). 4. Jika Freies Ermessen dipegang oleh yudikatif, maka terjadi pelanggaran terhadap hak warga Negara.

10

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan 1. Dalam suatu Negara kesejahteraan, campur tangan Negara dalam sektor kehidupan masyarakat tidak dapat dihindari lagi. Mengingat sedemikaian luasnya pelayanan publik yang harus dilaksanakan oleh Negara. 2. freies Ermessen dalam Hukum Administrasi Negara adalah kebebasan atau keleluasaan bertindak administrasi Negara yang dimungkinkan oleh hukum untuk bertindak atas inisiatif sendiri untuk menyelesaikan persoalan yang muncul secara tiba-tia dalam masyarakat dan memnutuhkan penyelesaian yang mendesak. 3. Pelaksanaan dan penggunaan freies Ermessen, tidak akan menimbulkan

ermessenfehler, karena dlam penggunaannya disyaratkan batas toleransi sebagai kunci tolok ukurnya baik secara moral maupun secara hukum. Hal tersebut dimaksudkan bahwa penggunaan freies Ermessen akan dipertanggungjawabkan. 4. Dengan demikian, penggunaan freies Ermessen terletak pada segi manusianya sendiri, yaitu para pejabat pemerintahan dalam bidang administrasi Negara. Sebab pada akhirnya kembali pada pertimbangan dan kebijakan manusia juga. B. Saran Apa yang kami toreh dalam makalah ini, adalah masih jauh dari kesempurnaan. Dikarenakan, kami sadar sebagai manusia yang serba terbatas kemampuannya dan serba dalam kekurangan, tapi tidak dikarenakan premis seperti itu kami merebahkan diri dalam kekurangan yang kami miliki. Terus bergeliat dan berusaha menuju kesempurnaan adalah sebuah kesempurnaan kami. Dengan keyakinan dan terus berusaha yang kami gamit Insya Allah Tuhan meridhoi. Amin.

11

DAFTAR PUSTAKA Atmosudirjo, Prajudi, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Ghalia Indah. 1981. Basah, Sjachran, Beberapa Permasalahan Pokok Sebelum Realisasi Efektif Pengadilan Administrasi. Yogyakarta : FH UII. 1987.
-----------------------Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi Di Indonesia. Bandung : Alumni, 1985.

Marbun, SF, Dimensi-dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara. Yogyakarta : UII Press. 2001. Muslimin, Amrah, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok Tentang Administrasi dan Hukum Administrasi. Bandung : Alumni. 1985. http://malutpost.com/berita/index.php?option=com_content&task=view&id=163&Itemid=38 (diakses pada tanggal 20 Desember 2011) http://gekaarissta.blogspot.com/2010/01/latihan-ngelink.html (di akses tanggal 20 Besember 2011)

12

Anda mungkin juga menyukai