Anda di halaman 1dari 11

Beleidsregels (Peraturan Kebijaksanaan)

Pendahuluan

Freies Eemessen

Keberadaan peraturan kebujaksanaan tidak dapat dilepaskan dengan


kewenangan bebas (vrijebevoegdheid) dari pemerintah yang sering diebut
dengan istilah Freies Ermessen. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan peraturan
kebijaksanaan, terlebih dahulu dikemukakan mengenai Freies Ermessen.

Secara bahasa Freies Ermessen berasal dari kata Frei yang artinya bebas,
lepas, tidak terikat, dan merdeka. Freies artinya orang yang bebas tidak terikat,
dan merdeka. Sementara itu, Ermessen berarti mempertimbangkan, menilai,
menduga dan memperkirakan. Freies Ermessen berarti orang yang memiliki
kebebasan untuk menilai, menduga, dan mempertimbangkan sesuatu. Istilah ini
kemudian secara khas digunakan dalam bidang pemerintahan sehingga Freies
Ermessen (diskresionare) diartikan sebagai salah satu sarana ynag memberikan
ruang bergerak bagi pejabat atay badan-badan administrasi negara untuk
melakukan tindakan tanpa harus terkait sepenuhnya pada undang-undang. 1
Definisi lain yang hampir senada diberikan oleh Nana Saputra, yakni suatu
kebebasan yang diberikan kepada alat administrasi, yaitu kebebasan yang pada
asasnya memperkenankan alat administrasi negara mengutamakan keefektifan
tercapainya suatu tujuan (=doelmatigheid) daripada berpegang teguh kepada
ketentuan hukum,2 atau kewenangan yang sah untuk turut campur dalam
kegiatan sosial guna melaksanakan tugas-tugas menyelenggarakan kepentingan
umum. 3

Bahsan Mustafa menyebutkan bahwa Freies Ermessen diberiakan


pemerintah mengingat fungsi pemerintah atau administrasi negara, yaitu
menyelenggarakan kepentingan umum yang berbeda dengan fungsi kehakiman
untuk menyelasaikan sengketa antarpenduduk. Keputusan pemerintah lebih
mengutamakan pencapaian tujuan atau sasarannya (doelmatigheid) dari pada
sesuai dengan hukum yang berlaku (rechtmatigheid).4

1 Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang


Perencanaan dan Pelaksanaan Rencana Pembangunan di Daerah serta
Dampaknya terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional, Disertasi,
(Bandung, Universitas Padjajaran, 1996), hlm. 205

2 M. Nata Saputra, Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Rajawali, 1988, hlm. 15

3 SF. Marbun dan Moh. Mahfud. Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara,


Yogyakarta: Liberti, 1997, hlm, 46.

4 Bachsan Mustafa, Pokok-pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: Citra


Aditya Bakti, 1990, hlm 55.

1
Meskipun pemberian Freies Ermessen kepada pemerintah atau
administrasi negara merupakan konsekuensi logis dari konsepsi welfare state,
tetapi dalam kerangka negara hukum, Freies Ermessen ini tidak dapat digunakan
tanpa batas. Atas dasar itu, Sjahran Basah mengemukakan unsur-unsur
Freies Ermessen dalam suatu negar hukum, yaitu :

a. Ditujukan untuk menjalankan tugas-tugas servis publik.


b. Merupakan sikap tindak yang aktif dari administrasi negara.
c. Sikap tindak itu dimungkinkan oleh hukum.
d. Sikap tindak itu diambil atas inisiatif sendiri.
e. Sikap tindak itu dinaksudkan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan
penting yang timbul secara tiba-tiba.
f. Sikap tindak itu dapat dipertanggungjawabkan baik secara moral kepada
Tuhan Yang Maha Esa maupun secara hukum. 5

Freies Ermessen ini muncul sebagai alternatif untuk mengisi kekurangan


dan kelemahan didalam penerapan asas legalitas (wetmatigheid va bestuur).
Bagi negara yang bersifat welfare state, asas legalitas saja tidak cukup untuk
dapat berperan secara maksimal dalam melayani kepentingan masyarakat, yang
berkembang pesat sejaln dengan perkembangan ilmu dan teknologi.

Menurut Laica Marzuki, Freies Ermessen merupakan kebebasan yang


diberikan kepada tata usaha negara dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan, sejalan dengan meningkatnya tuntutan pelayanan publik yang
harus diberikan tata usaha negara terhadap kehidupan sosial ekonomi para
warga yang kian komplek. Freies Ermessen merupakan hal yang tidak terelakkan
dalam tatanan tipe negara kesejahteraan modern, terutama dikala menjelang
akhir abad XX dewasa ini. Era globalisasi sesudah tahun 2000 menjadikan tata
usaha negara semakin memperluas penggunaan Freies Ermessen yang terletak
pada jabatan publiknya.6 Didalam praktek penyelenggaraan pemerintahan,
Freies Ermessen dilakukan oleh administrasi negara dalam hal-hal sebagai
berikut.

a. Belum ada peraturan peraturan perundang-undangan yang mengatur


tentang penyelesaian tentang in konkrito terhadap suatu masalah
tertentu, padahal masalah tersebut menuntut penyelesaian yang segera.
Misalnya dalam menghadapi suatu bencana alam ataupun wabah penyakit
menular, aparat pemerintah harus segera mengambil tindakan yang
menguntungkan bagi negara maupun bagi rakyat, tindakan yang semata-
mata timbul atas prakarsa sendiri.

5 Sjachran Basah, Bunga Ramapi Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi
Negara, Jurusan HTN, Fakultas Hukum UII, Yogyakarta, 1987, hlm. 68

6 Laica Marzuki, Peraturan Kebijaksanaan (Beleidsregel) Hakitak seerta


Fungsinya Selaku Hukum Pemerintahan, makalah pada Penataan Nasional
Hukum Acara dan Hukum Administrasi Negara, (Ujung Pandang: Fakultas Hukum
Universitas Hasanudin, 1996), hlm. 7.

2
b. Peraturan perundang-undanga yang menjadi dasar berbuat aparat
pemerintah memberikan kebebasan sepenuhnya. Misalnya dalam
pemberian izin berdasarkan Pasal 1 HO, setiap pemberian izin bebas untuk
menafsirkan pengertian menimbulkan keadaan bahaya sesuai dengan
situasi dan kondisi daerah masing-masing.
c. Adanya delegasi perundang-undangan, maksudnya aparat pemerintah
diberi kekuasaan untuk mengatur sendiri, yang sebenarnya kekuasaan itu
merupakan kekuasaan aparat yang lebih tinggi tingkatannya. Misalnya
dalam menggali sumber-sumber keuangan daerah. Pemerintah daerah
bebas untuk mengelolanya asalkan sumber-sumber itu merupakan sumber
yang sah.7

Freies Ermessen ini bertolak dari kewajiban pemerintah dalam welfare


state, dimana tugas pemerintah yang utama adalah memberikan pelayanan
umum atau mengusahakan kesejahteraan bagi warga negara, disamping
memberikan perlindungan bagi warga negara. Apabila dibandingkan dengan
negara kita, Freies Ermessen muncul bersamaan dengan pemberian tugas
kepada pemerintah untuk merealisasikan tujuan negara seperti yang tercantum
dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945. Karena tugas utama pemerintah
dalam konsepsi welfare state itu memberikan pelayanan bagi warga negara,
muncul prinsip Pemerintah tidak boleh menolak untuk memberikan pelayanan
kepada masyarakat dengan alasan tidak ada peraturan perundang-undangan
yang mengaturnya atau belum/tidak ada peraturan perundang-undangan yang
dijadikan dasar kewengan untuk melakukan perbuatan hukum.

Meskipun kepada pemerintah diberikan kewenangan bebas atau Freies


Ermessen, dalam suatu negara hukum penggunaan Freies Ermessen ini harus
dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh hukum yang berlaku. Penggunaan
Freies Ermessen tidak boleh bertentangna dengan hukum yang berlaku baik
hukum tertulis maupaun hukum tidak tertulis. Menurut Muchsan pembatasan
pengguanaan Freies Ermessen adalah sebagai berikut :

a. Penggunan Freies Ermessen tidak boleh bertentangan dengan sistem


hukum yang berlaku (kaidah hukum positif).
b. Penggunaan Freies Ermessen hanya ditujukan demi kepentingan umum.8

Sementara itu, Sjachran Basah secara tersirat berpendapat bahwa


pelaksanaan Freies Ermessen tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan,
Secara moral kepada Tuhan Ynag Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia serta nilai-nilai kebenaran dan keadilan, mengutamakan
persatuan dan kesatuan, demi kepentingan bersama. 9

Lebih lanjut Sjachran Basah mengatakan bahwa secara hukum terdapat


dua batas, batas-atas dan batas-bawah. Batas-atas dimaksudkan ke-taat-asasa-
an ketentuan perundang-undangan berdasarkan asas taat-asas, yaitu peraturan
yang tingkat derajadnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan

7 Muchsan, Beberapa Catatan Tentang Hukum Administrasi Negara dan


Peradilan Administrasi di Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1981, hlm. 27-28.

3
peraturan yang tingkat derajadnya lebih tinggi. Sementara itu, batas-bawah
ialah peraturan yang dibuat atau sikap-tindak administrasi negara (baik aktif
maupaun pasif), tidak boleh melanggar hak dan kewajiban asasi warga. 10

Dalam ilmu hukum administrasi, Freies Ermessen ini diberikan hanya


kepada pemerintah atau administrasi negara, baik untuk melakukan tindakan-
tindakan biasa maupun tindakan hukum, dan ketika Freies Ermessen ini
diwujudkan dalam instrumen yuridis yang tertulis, jadilah ia sebagai peraturan
kebijaksanaan. Sebagai sesuatu yang lahir dari Freies Ermessen dan hanya
diberikan kepada pemerintah atau administrasi negara, kewenangan pembuatan
peraturan kebijaksanaan itu inheren pada pemerintahan (inherent aan het
bestuur).11

BAB I

Pembahasan

A. Penegertian Peraturan Kebijaksanaan

Didalam penyelenggaraan tugas-tugas administrasi negara, pemerintah


banyak mengeluarkan kebijaksanaan yang dituangkan dalam berbagai bentuk
seperti beleidslijnen (garis-garis kebijaksanaan), het beleid (kebijaksanaan),
voorschriften (peraturan-peraturan), richtlijnen (pedomam-pedoman), regelingen
(petunjuk-petunjuk), circulaires (surat edaran), resoluties (resolusi-resolusi),
aanschrijvingen (instruksi-instruksi), beleidsnotas (nota kebijaksanaan),
reglemen (ministriele)(peraturan-peraturan menteri), beschikkingen (keputusan-
keputusan, en bekenmakingen (pengumuman-pengumuman).12
8 Sjachran Basah, Eksistensi dan Tolok Ukur Badan Peradilan Administrasi
Negara. Bandung: Alumni, 1985. hlm. 151

9 Sjachran Basah, Hukum AcaraPeradilan dalam Lingkungan Peradilan


Administrasi (HAPLA). Jakarta: Rajawali, 1989. hlm. 8-9

10 Sjachran Basah, Perlindungan Hukum atas Sikap Tindak Administrasi Negara,


Bandung: Alumni, 1992, hlm 4-5

11 A.M. Donner, Nederlands Bestuursrecht (Algemeen Deel). Alphenaan den Rijn:


Samsom H.D. Tjeenk Willink, 1987. hlm. 134

12 J.H. van Kreveld, Beleidsregel in het Recht, Kluwer-Deventer, 1983, hlm. 3

4
Menurut Philipus M. Hadjon, peratuan kejiksaan pada hakikatnya
merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan naar
buiten gebracht schricftelijk beleid, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakn
tertulis.13 Peraturan kebijaksanaan hanya berfungsi sebagai bagian dari
operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan sehingga tidak dapat
mengubah ataupun menyimpangi peraturan perundang-undangan. Peraturan ini
semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum. Oleh karena itu,
peraturan ini disebut pula dengan istilah psudo-wetgeving (perundang-undangan
semu) atau spigelsrecht (hukum bayangan/cermin).

Secara praktis kewenangan diskrisioner administrasi negara yang


kemudian melahirkan peraturan kebijaksanaan mengandung dua aspek pokok.
Pertama, kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewnang yang
dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya. Aspek pertama ini lazim
dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifat objektif. Kedua, kebbasan untuk
menentukan sendiri dengan cara bagaimana dan kapan wewenang yang dimiliki
administrasi negara itu dilaksanakan. Aspek kedua ini dikenal dengan kebebasan
menilai yang bersifat subjektif.14 Kewenangan bebas untuk menafsirkan secara
mandiri dari pemerintah inilah yang ,elahirkan peraturan kebijaksanaan.

P.J.P. Tak menjelaskan peraturan kebijaksanaan sebagai berikut:

(Peraturan umum yang dikeluarkan oleh instansi pemerintah yang berkenaan


dengan pelaksanaan wewenang pemerintahan terhadap warga negara atau
terhadap instansi pemerintahan lainnya dan pembuatan peraturan tersebut tidak
memiliki dasar yang tegas dalam Undang-Undang Dasar dan Undang-Undang
formal baik langsung maupun tidak langsung. Artinya peraturan kebijaksanaan
tidak didasarkan pda kewenangan pembuatan undang-undang dan oleh karena
itu tidak termasuk dalam peraturan perundang-undangan yang mengikat umum,
akan tetapi didasarkan pada wewenang pemerintahan suatu organ administrasi
negara yang berkenaan dengan pelaksanaan wewenangnya)15

Commissie Wetgevingsraagstukken merumuskan peraturan


kebijaksanaan sebagai, (suatu aturan umum tentang tentang pelaksanaan
wewenang pemerintahan terhadap warga negara {warga negara, juga organ
pemerintahan lainnya}ditetapkan berdasarkan kekuasaan sendiri oleh instansi
pemerintahan yang berwenang atau insyansi pemerintahan yang secara hierarki
lebih tinggi)16

13 Philipus M. Hadjon, Pengantar Hukum Administras Indonesiai , Yogyakarta:


Gadjah Mada University Press, 1993. hlm. 152

14 Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dan HukumPerdata,


Bahan Kuliah pada Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang Peradilan
Tata Usaha Negara, Universitas Indonesia, Jakarta, 1992, hlm. 44

15 P.J.P. Tak, hlm. 129

5
Peraturan kebijaksanaan secara esensial berkenaan dengan: (1) een
bestuurorgaan met in casu uitsluitend de bevoegdheid tot het verrichten van
bestuurshandelingen (organ pemerintahan dalam hal ini semata-mata
menggunakan kewenangan untuk mejalankan tindakan-tindakan pemerintahan);
(2) een bestuursboevogdheid die niet volstrekt gebonden is (kewenangan
pemerintahan itu tidak terikat secara tegas); (3) algemene regels, te hanteren
bij de uitoefening van de bevoegdheid (ketentuan umum, digunakan pada
pelaksanaan kewenangan)17

B. Ciri-ciri Peraturan Kebijaksanaan

Pada pembahasan sebelumnya telah disebutkan ciri-ciri peraturan perundang-


undangan. Berikut ini disajikan mengenai ciri-ciri peraturan kebijaksanaan untuk
kemudian diperbandingkan dengan peraturan perundang-undangan guna
mengetahui kesamaan-kesaman dan perbedaan-perbedaannya. J.H. van
Kreveld menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijaksanaan adalah sebagai berikut :
18

a. (peraturan itu langsung ataupun tidak langsung, tidak didasarkan pada


ketentuan undang-undang formal atau UUD yang memberikan
kewenangan mengatur, dengan kata lain, peraturan itu tidak ditemukan
dasarnya dalam undang-undang)
b. (peraturan itu tidak tertulis dan muncul melalui serangkaian keputusan-
keputusan instansi pemerintahan dalam kelaksanakan kewenangan
pemerintahan yang bebas terhadap warga negara, atau ditetapkan secara
tertulis oleh instansi pemerintahan tersebut)
c. (peraturan itu memberikan petunjuk secara umum, dengan kata lain tanpa
pernyataan dari individu warga negara mengenai bagaimana instansi
pemerintahan melaksanakan kewenangan pemerintahannya yang bebas
terhadap setiap individu warga negara yang berada dalam situasi yang
dirumuskan dalam peraturan itu)

Bagir Manan menyebutkan ciri-ciri peraturan kebijaksanaan sebagai berikut :


16 Orde in de Regelgeving, Eindrapport van de Commissie
Wetgevingsvraagstukken, Staatsuitgeverij, s-Gravenhage, 1985, hlm. 20

17 H.D. van Wijk/Willem Konijnenbelt, hlm. 271

18 J.H. van Kreveld, hlm. 9-10

6
a. Peraturan kebijaksanaan bukan merupakan peraturan perundang-
undangan.
b. Asas-asas pembatasan dan pengujian terhadap peraturan perundang-
undangan tidak dapat diberlakukan pada peraturan kebijaksanaan.
c. Peraturan kebijaksanaan tidak dapat diuji secara wetmatigheid, karena
memang tidak ada dasar peraturan perundang-undangan untuk membuat
keputusan peraturan kebijaksanaan tersebut.
d. Peraturan kebijaksanaan dibuat berdasarkan Freies Ermessen dan
ketiadaan wewenang administrasi bersangkutan membuat peraturan
perundang-undangan.
e. Pengujian terhadap peraturan kebijaksanaan lebih diserahkan pada
doelmatigheid sehingga batu ujinya adalah asas-asas umum
pemerintahan yang layak.
f. Dalam praktek diberi format dalam berbagai bentuk dan jenis aturan,
yakini keputusan, instruksi, surat edaran, pengumuman, dan lain-lain,
bahkan dapat dijumpai dalam bentuk peraturan. 19

Berdasarkan cici-ciri tersebut, tampak ada beberapa persamaan antara


peraturan perundang-undangan dengan peraturan kejiksanaan. A. Hamid
Attamimi menyebutkan unsur-unsur persamaannya adalah sebagai berikut :

a. Aturan yang berlaku umum


Peraturan kebijaksanaan dan peraturan perundang-undangan mempunyai
adresat atau subjek norma dan pengaturan perilaku atau objek norma
yang sama, yaitu bersifat umum dan abstrak (algemene regeling atau
algemene regel)
b. Peraturan yang berlaku ke luar
Peraturan perundang-undangan berlaku ke luar dan di tujukan kepada
masyarakat umum (naar buiten werkend, tot een ieder gericht), demikian
juga peraturan kebijaksanaan berlaku ke luar dan ditujukan kepada
masyarakat umum yang bersangkutan.
c. Kewenangan pengaturan yang bersifat umum/publik
Peraturan kebijaksanaan dan peraturan perundang-undangan ditetapkan
oleh lembaga umum/publik untuk itu.20

Disamping terdapat kesamaan, ada pula beberapa perbedaan antara


peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijaksanaan. A. Hamid
Attamimi menyebutkan perbedaannya adalah sebagai berikut;

a. Pembentukan peraturan perundang-undangan merupakan fungsi negara.


Pembentukan hukum melalui perundang-undangan dilakukan oleh rakyat
sendiri, oleh wakil-wakil rakyat, atau sekurang-kurangnya dengan
persetujuan wakil-wakil rakyat. Kekuasaan dibidang perundang-undangan

19 Bagir Manan, Peraturan Kebijaksanaan, (Makalah), Jakarta, 1994, hlm. 16-17

20 A. Hamid S. Attamimi, Hukum tentang Peraturan Perundang-undangan dan


Peraturan Kebijaksanaan, Pidato Purna Bakti, Fakultas Hukum UI, Jakarta, 1993,
hlm. 12-13

7
atau kekuasaan legeslatif hanya diberikan kepada lembaga yang khusus
untuk itu, yaitu lembaga legeslatif (sebagai organ kenegaraan, yang
bertindak untuk dan atas nama negara)
b. Fungsi pembentukan peraturan kebijaksanaan ada pada pemerintah
dalam arti sempit (eksekutif).
Kewenangan pemerintahan dalam arti sempit atau ketataprajaan
(kewenangan eksekutif) mengandung juga kewenangan pembentukan
peraturan-peraturan dalam rangka penyelenggaran fungsinyaa. Oleh
karena itu, kewenangan pembentikan peraturan kebijaksanaan yang
bertujuan mengatur lebih lanjut penyelenggaraan pemerintahan
senantiasa dapat dilakukan oleh setiap lembaga pemerintah yang
mempunyai kewenangan penyelenggaraan pemerintah.
c. Materi muatan peraturan perundang-undangan berbeda dengan materi
muatan peraturan kebijaksanaan.
Peraturan kebijaksanaan mengandung matrei muatan yang berhubungan
dengan kewenangan membentuk keputusan-keputusan dalam arti
beschikkingen, kewenagna bertindak dalam bidang hukum privat, dan
kewenangan membuat rencana-rencana (planen) yang memang ada pada
lembaga pemerintahan. Sementara itu, materi muatan peraturan
perundang-undangan mengatur tata kehidupan masyarakat yang jauh
lebih mendasar, seperti mengadakan suruhan dan larangan untuk berbuat
atau tidak berbuat, yang apabila perlu disertai dengan sanki pidana dan
sanksi pemaksa.
d. Sanksi dalam peraturan perundang-undangan dan pada peraturan
kebijaksanaan.
Sanksi pidana dan sanksi pemaksa yang jelas yang jelas mengurangi dan
membatasi hak-hak asasi warga dan penduduk hanya dapat dituangkan
dalam undang-undang yang pembentukannya harus dilakukan dengan
persetujuan rakyat atau dengan persetujuan wakil-wakilnya. Peraturan
perundang-undangan yang lebih rendah lainnya hanya dapat
mencantumkan sanksi pidana bagi pelnggaran ketentuannya apabila hal
itu secara tegas diatribusikan oleh undang-undang. peraturan
kebijaksanaan hanya dapat mencantumkan sanksi administratif bagi
pelanggaran ketentuan-ketentuannya.

Mengenai kekuatan mengikat dari peraturan kebijaksanaan ini, diantara


pakar hukum tidak terdapat kesamaan pendapat. Menurut Bagir Manan,
peraturan kebijaksanaan sebagai peraturan yang bukan peraturan perundang-
undangan tidak langsung mengikat secara hukum, tetapi mengandung relevansi
hukum. Peraturan kebijaksanaan pada dasarnya ditujukan kepada administrasi
negara sendiri. Jadi yang pertama-tama melaksanakan ketentuan yang termuat
dalam peraturan kebijaksanaan adalah badan atau pejabat administrasi negara.
Meskipun demikian, ketentuan tersebut secara tidak langsung akan dapat
mengenai masyarakat umum.21 Indroharto berpendapat, bahwa peraturan
kebijaksanaan itu bagi masyarakat menimbulkan keterikatan secara tidak

21 Bagir Manan dan Kuntana Marger, Beberapa Maslah Hukum Tata Negara
Indonesia. Bandung: Alumni, 1993. hlm. 169-170

8
langsung.22 Menurut A. Hamid Attamimi23, peraturan kebijaksanaan mengikat
secara umum, karena masyarakat yang terkena peraturan itu tidak dapat
berbuat lain, kecuali mengikutinya. Menurut Marcus Lukman, kekuatan mengikat
peraturan kebijaksanaan ini tergantung jenisnya. Peraturan kebijaksanaan intra-
legal dan kontra-legal yang pembenyukannya berdasrkan kebebasan
mempertimbangkan intra-legal menjadi bagian integral dari tata hierarki
peraturan perundang-undangan. Kekuatan mengikatnya juga berderajad
peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan kbijaksanaan ekstr-legal dan
kontra-legal yang pembentukannya berdasarkan kebebasan mempertimbangkan
ekstra-legal tidak memiliki kekuatan mengikat berderajad peraturan perundang-
undangan.24

C. Fungsi dan Penormaaan Peraturan Kebijaksanaan

Sebenarnya penyelenggaraan urusan pemerintahan dam suatu negara


hukum itu bersendikan pada peraturan perundang-undangan sesuai dengan
prinsip yang dianut dalam suatu negara hukum yaitu asas legalitas, tetapi
karena peraturan perundang-undangan sebagai hukum tertulis itu mengandung
kekurangan dan kelebihan, sebagaimana telah disebutkan di atas, keberadaan
peraturan kebijaksanaan menempati posisi penting terutama dalam negara
hukum modern. Menurut Markus Lukaman, peraturan kebijaksanaan dapat
difungsikan secara tepat guna dan berdaya guna yang berarti :

1. Tapat guna dan berdaya guna sebagai sarana peraturan yang melengkapi,
menyempurnakan, dan mengisi kekurangan-kekurangan yang ada pada
peraturan perundang-undangan.
2. Tepat guna dan berdaya guna sebagi sarana pengaturan bagi keadaan
vakum peraturan perundang-undangan.
3. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan bagi
kepentingan-kepentingan yang belum terakomodasi secara patut, layak,
benar, dan adil dalam peraturan perundang-undangan.

22 Indroharto, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik dab Hukum


Perdata. Bahan Kuliah pada Program Pendidikan Lanjutan Ilmu Hukum Bidang
PTUN, Universitas Indonesia. Jakarta, 1992. hlm. 12

23 A. Hamid S. Attamimi, Hukum tentangPerundang-undangan dan Peraturan


Kebijaksanaan.Makalah Pidato Purna Bakti, Fakultas Hukum UI. Jakarta: 20
September 1993, hlm. 12

24 Marcus Lukman, Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang


Perencanaan dan Pelaksanaandi Daerah serta Dampaknya Terhadap
Pembangunan Materi Hukum Tertulis Nasional. Desrtasi, Universitas Padjajaran,
Bandung, 1996, hlm. 467-468.

9
4. Tepat guna dan berdaya guna sebagai sarana pengaturan untuk
mengatasi kondisi peraturan perundang-undangan yang sudah
ketinggalan zaman.
5. Tepat guna dan berdaya guna bagi kelancara pelaksanaan tugas dan
fungsi administrasi da bidang pemerintahan dan pembangunan yang
bersifat cepat berubah atau memerlukan pembaruan sesuai dengan
situasi dan kondisi yang dihadapi.

Sebagimana pembuatan dan penerapan peraturan perundang-undangan,


yaitu harus memerhatikan beberapa persyaratan, pembuatan dan penerapan
peraturan kebijaksanaan juga haur memerhatiakna beberapa persyaratan.
Menurut Indroharto, pembuatan peraturan kebijaksanaan harus memerhatikan
hal-hal sebagai berikut :25

1. Ia tidak bobel bertentangan dengan peraturan dasar yang mengandung


wewenang diskresioner yang dijabarkan itu.
2. Ia tidak boleh nyata-nyata bertentangan dengan nalar yang sehat.
3. Ia harus dipersiapkan dengan cermat, semua kepentingan, keadaan-
keadaan serta alternatif-alternatif yang ada perlu dipertimbangkan.
4. Isi dari kebijaksanaan harus memberikan kejelasan yang cukup mengenai
hak-hak dan kewajiban-kewajiban dari warga yang terkena peraturan
tersebut.
5. Tujuan-tujuan dan dasar-dasar pertimbangan mengenai kebijaksanaan
yang akan ditempuh harus jelas.
6. Ia harus memenuhi syarat kepastian hukum material, artinya hak-hak
yang telah diperoleh dari warga masyarakat yang terkena harus dihormati,
kemudian juga harapan-harapan warga yang pantas telah ditimbulkan
jangan sampai diingkari.

Sementara itu dari penerapan atau penggunaan peraturan kebijaksanaan


harus memerhatikan hal-hal diantaranya :

1. Harus sesuai dan serasi dengan tujuan undang-undang yang memberikan


beoordelingsvrijheid (ruang kebebasan bertindak)
2. Serasi dengan asas-asas hukum umum yang berlaku, seperti :
a. Asas perlakuan yang sama menurut hukum
b. Asas kepatutan dan kewajaran
c. Asas keseimbangan
d. Asas pemenuhan kebutuhan dan harapan
e. Asas kelayakan mempertimbangkan segala sesuatu yang relevan
dengan kepentingan publik dan warga masyarakat.
3. Serasi dan tepat guna dengan tujuan yang hendak dicapai. 26

25 Indroharto, Usaha Memahami Undang-Undang tentang Peradilan Tata Usaha


Negara. Buku II. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993,hlm. 45-46

10
26 Marcus Lukman,Eksistensi Peraturan Kebijaksanaan dalam Bidang Perencanaan dan
Pelaksanaandi Daerah serta Dampaknya Terhadap Pembangunan Materi Hukum Tertulis
Nasional. Desrtasi, Universitas Padjajaran, Bandung, 1996, hlm. 191-192

11

Anda mungkin juga menyukai