Anda di halaman 1dari 27

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Sistem Pemerintahan Presidensial

Sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan


yang pemegang eksekutifnya tidak harus bertanggung jawab kepada
legeslatif. Pemegang kekuasaan eksekutif tidak dapat dijadikan oleh
atau melalui badan legeslatif meskipun kebijaksanaan yang
dijalankan tidak disetujui atau bahkan ditentang oleh pemegang
kekuasaan legeslatif. (hukum tata Negara halaman 74)

Untuk disebut sebagai sistem presidensial, bentuk pemerintahan


ini harus memiliki tiga unsur yaitu[1]:

Presiden yang dipilih rakyat


Presiden secara bersamaan menjabat sebagai kepala negara
dan kepala pemerintahan dan dalam jabatannya ini
mengangkat pejabat-pejabat pemerintahan yang terkait.
Presiden harus dijamin memiliki kewenangan legislatif oleh
UUD atau konstitusi.

Pemerintahan perwakilan rakyat yang representatif, dengan sistem


pemisahan kekuasaan secara tegas, atau sistem presidensial.
Pemisahan antara kekuasaan eksekutif dengan kekuasaan legislatif
disini diartikan bahwa kekuasaan eksekutif itu dipegang oleh suatu
badan atau organ yang didalam menjalankan tugas eksekutif itu tidak
bertanggung jawab kepada badan perwakilan rakyat. Badan
perwakilan rakyat ini menurut ide trias politika Montesquieu
memegang kekuasaan legislatif, jadi bertugas membuat dan
menentukan peraturan-peraturan hukum. Dengan demikian, sebagai
juga halnya dengan anggota-anggota badan perwakilan rakyat,
pemimpin daripada badan eksekutif ini diserahkan kepada seseorang
yang didalam hal pertanggung jawabannya sifatnya sama dengan
badan perwakilan rakyat, yaitu bertanggung jawab langsung kepada
rakyat, jadi tidak usah melalui badan perwakilan rakyat. Jadi,
kedudukan badan eksekutif adalah bebas dari badan perwakilan
rakyat. Presiden menyelenggarakan pemerintahan dalam arti yang
sebenarnya, dan didalam menjalankan kekuasaannya presiden
dibantu oleh menteri-menteri yang merupakan pembantu presiden.
Oleh karena itu, menteri-menteri itu harus bertanggung jawab kepada
badan perwakilan. Badan perwakilan tidak dapat memberhentikan
presiden atau beberapa orang menteri, meskipun badan perwakilan
tidak menyetujui kebijaksanaan daripada para menteri tersebut. Jadi,
yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas yang diberikan
presiden kepada menteri-menteri adalah presiden sendiri. (ilmu
Negara nimatul huda halaman 253-254)

Sistem pemerintahan presidensial tidak dapat dipisahkan dari


Amerika Serikat. Amerika Serikat tidak saja disebut sebagai tanah
kelahiran sistem presidensial tetapi juga contoh ideal karena hampir
memenuhi semua persyaratan ideal sitem pemerintahan presidensial.
Strong menyatakan bahwa: the principle of the non-parlementary or
fixed executive is most perfectly ilustrated in the case United State of
America. Ball and Peters menyatakan bahwa America is the out
standing example of the presidential form of government. Jimly
Asshiddiqie juga mengemukakan bahwa Amerika serikat sering
disebut sebagai salah satu contoh ideal pemerintahan presidensial di
dunia. Oleh karena itu Verney mengingatkan bahwa kajian terhadap
sistem pemerintahan presidensial sebaiknya dimulai dengan
menelaah sistem politik Amerika serikat.

Berbeda dengan sistem parlementer, sistem presidensial tidaklah


dibangun melalui proses evolusi panjang dan lambat. Kelahiran
sistem presidensial dimulai dengan sebuah Revolusi alat Amerika
serikat untuk membebaskan diri dari kolonialisme Inggris, serta
sejarah pembentukan konstitusi Amerika serikat. Moh. Kusnardi dan
Harmaily Ibrahim menyatakan bahwa latar belakang Amerika serikat
menerapkan sistem presidensial adalah karena kebencian mereka
terhadap Kolonialisme Inggris dan sistem Monarki ala Inggris yang
mereka anggap terlalu feodal. Oleh karenanya para founding father
Amerika serikat kemudian menganut dengan tegas teori John locke
dan Montesquiue untuk memisahkan kekuasaan dengan teori Trias
Politica. (HTN 74-75)

Indonesia sendiri menganut faham dari Hans Kelsen, Hans Kelsen


Mengkritik bahwa teori yang di gagas oleh Jhon Locke terdapat
kekeliruan. Ekseskutif, legislatif, dan federatif. Namun, Hans Kelsen
mengubahnya menjadi Eksekutif, legislatif dan yudikatif, karena
fungsi semula yang menyatu dalam diri penguasa tidak dapat
dijadikan satu dalam diri penguasa. Maka, dibentuklah lembaga
yudikatif sebagai alat hukum negara. (Ilmu Negara, hal. 71)

Pemerintah harus memimpin sebuah negara dengan sebaik-


baiknya, hukum dibuat untuk mengatur jalannya pemerintahan agar
tak menimbulkan kesalahan penguasa dalam memerintah. (il prince,
Machiavelli)

Dalam menjalankan suatu kekuasaan, pemimpin bertanggung


jawab penuh atas kebijakan yang diambilnya. Negara harus berada
dalam situasi yang optimal, agar pemimpin mudah untuk
menjalankan visi misinya. (Das Kapital, Karl max)

Menurut S.L. Witman dan J.J. Wuest ada empat ciri dan syarat
sistem pemerintahan presidensial, yaitu:

1. It is based upon the separation of power principles (berdasarkan


atas prinsip-prinsip pemisahan kekuasaan).
2. The executive has no power to disolve the legislature not must
he resigin when he loses the support of the majority of its
membership (executive tidak mempunyai kekuasaan untuk
membubarkan parlemen dan juga tidak mesti berhenti sewaktu-
waktu kehilangan dukungan dari mayoritas anggota parlemen).
3. There is no mutual responsibility between the president and his
cabinet the latter is wholly responsibility to the chief executive
(tidak ada tanggung jawab yang timbal balik antara presiden
dan kabinetnya, karena seluruh tanggung jawab bertuju pada
presiden (sebagai kepala pemerintahan))
4. The executive is chosen by the electorate (presiden dipilih
langsung oleh para pemilih) (ilmu negara 255)

Menurut Douuglas V. Verney ciri-ciri sistem pemerintahan presidensial


adalah:

a. Majelis tetap sebagai majelis saja,


Didalam sistem pemerintahan Parlementer, majelis dan
eksekutif dilebur menjadi satu dalam satu lembaga yang
dinamakan Parlemen, sedangkan didalam sistem pemerintahan
Presidensial, dituntut agar terjadi pemisahan secara tegas
antara eksekutif dan legeslatif
b. Eksekutif tidak dibagi tetapi hanya ada seorang presiden yang
dipilih oleh rakyat untuk masa jabatan tertentu pada saat
majelis dipilih,
Presiden dipilih oleh rakyat dan bersandar pada dukungan
rakyat sesuai konstitusi. Amerika serikat telah menentukan
solusinya yang memungkinkan eksekutif tunggal dan pemilihan
Presiden pada saat pemilih majelis ini mendorong dua cabang
pemerintahan untuk bersatu dalam menyelesaikan berbagai
masalah kenegaraan
c. Kepala Pemerintahan adalah kepala negara
Terdapat perbedaan mendasar antara sistem Presidensial
dengan monarkhi (pra-Parlementer). Jika dalam sistem monarki
atau (pra-Parlementer) kepala negara juga adalah kepala
pemerintahan, namun dalam sistem Presidensial, Presiden
(sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan) dipilih secara
langsung oleh rakyat, berbeda dengan sistem monarkhi dimana
penguasa dikumpulkan melalui dinasti turun temurun.
d. Presiden menganggap kepala departemen (menteri) yang
merupakan bawahannya
Dalam sistem pemerintahan Parlementer, Perdana Menteri
mengangkat rekannya di Majelis untuk membentuk
pemerintahan, sedangkan dalam sistem Presidensial, kepala
pemerintahan (presiden) mengangkat rekan-rekannya sebagai
kepala departemen.
e. Presiden adalah eksekutif tunggal
Sistem pemerintahan Parlementer adalah bersifat kolektif dan
Perdana Menteri setara dengan menterinya, sedangkan
pemerintahan Presidensial cenderung bersifat individual dan
para menteri merupakan pembantu presiden.
f. Anggota majelis tidak boleh menduduki jabatan pemerintahan
dan sebaliknya pemerintah tidak boleh menjadi anggota majelis
Dalam sistem pemerintahan Parlementer, seorang dapat duduk
di eksekutif dan legeslatif sekaligus, sedangkan dalam sisem
pemerintahan presidensial, tidak boleh ada rangkap jabatan
dalam dua lembaga tersebut.
g. Eksekutif harus bertanggung jawab terhadap konstitusi
Presiden tidak bertanggung jawab kepada majelis, tetapi
bertanggung jawab kepada pemilih secara langsung. Biasanya
majelis meminta presiden bertanggung jawab kepada Konstitusi
atas suatu dakwaan. Namun, hal ini tidak berarti bahwa
Presiden bertanggung jawab kepada Majelis, sebagaimana
sistem Parlementer. Dakwaan tersebut untuk menuntut
kepatuhan hukum dan berbeda dengan kontrol politik terhadap
tindakan Presiden. Tanggung jawab politik dalam kaitan
hubungan kerja sehari-hari terjadi antara pemerintah dengan
majelis.
h. Presiden tidak dapat memaksa membubarkan majelis
Majelis tidak dapat memberhentikan Presiden dari jabatannya,
begitupula presiden tidak dapat membubarakn Majelis. Mereka
tidak saling memaksa, sehingga para ahli menyebutnya sebagai
check and balance sistem. Sistem Presidensial memperlihatkan
hubungan saling membutuhkan antara cabang kekuasaan
legeslatif, eksekutif, dan yudikatif.
i. Majelis berkedudukan lebih tinggi dari bagian-bagian
pemerintah lainnya dan tidak ada peleburan bagian eksekutif
dengan legeslatif seperti dalam sebuah parlemen
Dalam sistem Parlementer, Eksekutif dan Majelis tidak
berkedudukan sama tinggi karena keduanya merupakan bagian
dari institusi Parlemen. Dalam sistem pemerintahan Parlemen,
peleburan kekuasaan legeslatif dan eksekutif digantikan dengan
pemisahan kekuasaan, masing-masing mempunyai ruang
lingkup kerja sendiri-sendiri. Tindakan mereka dapat dinyatakan
inkonstitusional oleh yudisial. Dalam hal ini kedudukan
konstitusi memiliki tempat yang sangat sentral untuk sebuah
kepastian. Dalam sistem Parlementer, konstitusi dapat diubah
oleh Eksekutif dan majelis yang bertindak sebagai Parlemen,
sedangkan dalam sistem pemerintahan presidensial, Majelis
dapat mengubah konstitusi dengan keterlibatan presiden
j. Eksekutif bertanggung jawab terhadap pemilih
Pemerintah dalam sistem Parlementer diangkat oleh kepala
negara, mereka tidak dipilih, sebaliknya dalam sistem
pemerintahan presidensial, eksekutif tergantung kepada suara
rakyat dan presiden (serta Wakilnya) yang dipilih oleh Badan
Pemilih, sehingga kedua lembaga dapat menklaim diri bahwa ia
mewakili rakyat
k. Tidak ada fokus kekuasaan dalam sistem politik
Kegiatan politik pada sistem pemerintahan Parlementer
bertumpu pada parlemen, kepala negara, pemerintah, wakil
rakyat, partai, kelompok kepentingan, para pemilih mengakui
supremasi parlemen. Dalam sistem presidensial, Presiden tidak
ada konsentrasi kekuasaan, kecuali pembagian kekuasaan.
Tidak ada penyatuan kekuasaan, yang ada seharusnya
fragmentasi. (hukum tata Negara halaman 76-78)
Negara dengan sistem Parlementer akan memiliki Eksekutif
nominal dan Eksekutif riil. Eksekutif riil ada dan dijalankan oleh
kabinet yang dipimpin Perdana Menteri. Kabinet inilah yang
bertanggung jawab dan dapat dijatuhkan oleh badan Legislatif.
Adapun kepala negara tidak dapat diganggu gugat, karena semua
tindakan pemerintahan yang dilakukan Kepala Negara
dipertanggungjawabkan oleh Kabinet atau oleh Menteri yang
bersangkutan. Itulah sebabnya, sistem pemerintahan Parlementer
disebut juga dengan pemerintahan cabinet (cabinet government),
karena yang bertanggung jawab kepada badan Legislatif adalah
Kabinet.

Sedangkan dalam sistem Presidensial, hanya mengenal


satu jenis Eksekutif yaitu eksekutif riil yang ada pada Kepala
Negara. Kepala Negara ini tidak mempunyai hubungan dengan
badan Legislatif dalam urusan mempertahankan kelangsungan
kekuasaan, karena dalam sistem pemerintahan Presidensial,
Eksekutif tidak bertanggung jawab kepada badan Legislatif,
sebagai konsekuensi pemegang kekuasaan Eksekutif tidak
dibentuk oleh atau melalui badan legislative. Sistem seperti ini
oleh Strong dinamakan the non parliamentary executive, dilain
pihak dikatakan pula fixed executive karena masa jabatan
pemegang kekuasaan eksekutif ditentukan untuk satu masa
waktu tertentu yang berarti selama masa jabatannya itu,
pemegang kekuasaan Eksekutif tidak dapat dijatuhkan oleh
badan Legislatif.

-Kelebihan sistem presidensial

Pertama, stabilitas eksekutif lebih terjamin karena


didasarkan pada masa jabatan Presiden. Pada sistem
Presidensial stabilitas politik dari jabatan eksekutif lebih
terjamin, karena Presiden dipilih untuk masa jabatan tertentu
(fix and term) dan tidak dapat dijatuhkan dengan mosi tidak
percaya atau karena kebijakannya tidak disetujui mayoritas
Parlemen. Presiden dan kabinet (yang ada di bawah
komandonya), hanya dapat diganti di tengah masa jabatan,
karena alasan-alasan pidana dan dengan prosedur yang ketat
dan sulit. Bahkan pada kasus Bill Clinton, belum tentu seorang
Presiden dapat diganti ditengah masa jabatan meskipun dia
sudah terbukti secara sah dan meyakinkan (dengan vonis dari
lembaga peradilan) bahwa dia melakukan kesalahan atau
kejahatan pidana.
Kedua, pemilihan kepala negara dan pemerintahan
langsung oleh rakyat dipandang lebih demokratis daripada
pemilihan tidak langsung oleh Dewan atau Parlemen.
Demokrasi memang tidak menginginkan semua pejabat
pemerintahan harus dipilih secara langsung oleh rakyat, namun
sebagai seorang Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan yang
menjadi orang nomor satu dan simbol sebuah Negara-bangsa,
berdiri dan menjunjung semua golongan dan kelompok, sebuah
pemilihan langsung oleh rakyat mempunyai sebuah validitas
dan keabsahan yang bias dijadikan dasar legitimasi terutama
dalam bentuk negara republik. Juan Liz, yang merupakan
pengkritik utama sistem Presidensial mengakui bahwa sistem
Presidensial lebih demokratis karena Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan dipilih lansung oleh rakyat.
Ketiga, terdapat pemisahan kekuasaan yang lebih tegas,
perlindungan kebebasan individu atas tirani pemerintah. Hal ini
merupakan buah pemikiran Montesquieu, yang menurut
madison merupakan aksioma yang tidak memerlukan
pembuktian. Sebuah contoh modern dari argumen ini adalah
pendapat Schlesinger bahwa hanya dalam sistem pemisahan
kekuasaan lah skandal Watergate dapat diungkapkan. Hal ini
dapat terjadi, karena dalam sistem Presidensial, konsentrasi
kekuasaan tidak hanya ada di Eksekutif namun juga di Legislatif
dan terjadinya suatu cheks and balances atau saling
mengontrol dan mengimbangi. Sehingga perbuatan dan
langkah-langkah pemerintah, senantiasa dipantau oleh
Legislatif. Hal ini tentu saja berbeda dengan sistem Parlementer
yang kolegial dan tidak mengenal pemisahan kekuasaan serta
checks and balances, sehingga kontrol Parlemen tidaklah
seketat dalam sistem Presidensial.

-Kelemahan sistem presidensial

Pertama, masalah kemandegan atau konflik antara


eksekutif dan legislative yang bisa mengakibatkan jalan buntu
dan kelumpuhan yang diakibatkan karena akibat dari ko-
eksistensi dari lembaga eksekutif dan legislatif. Dalam sistem
Presidensial bila terdapat pertentangan antara kedua badan ini,
maka tidak ada sumber daya institusional untuk
memecahkannya. Beda dengan sistem Parlementer yang
terdapat mosi tidak percaya untuk tetap menjaga eksekutif dan
legislatif sejalan dalam sitem parlementer. Montesquiue sendiri
mengakui hal ini tetapi tidak percaya bahwa masalah ini akan
menjadi sangat serius yang justru karena disebabkan adanya
pemisahan kekuasaaan yang menyebabkan kedua sumber
kekuasaan (Eksekutif dan Legislatif) mempunyai kemadirian
yang justru saling bersitegang karena pertikaian antara kedua
badan tersebut tidak ada jalan keluar yang efektif memecahkan
masalahnya.
Solusi dari kelemahan pertama ini adalah tetap
memisahkan kedua kekuasaan tersebut tetapi tidak
menyeimbangkan keduanya; khususnya meningkatkan
kekuasaan Presiden, dengan membandingkan dan
mengorbankan Legislatif untuk menjadikan Presiden sebagai
penggerak sistem pemerintahan yang lebih aktif, efektif, dan
efisien. Tetapi hal ini ternyata bukanlah solusi nyata, melainkan
malah justru memperburuk masalah.
Solusi lain namun sederhana dikemukakan oleh Komite
Sistem Konstitusi yang pada dasarnya bermaksud mencegah
timbulnya matahari kembar yang terjadi antara Presiden dari
sebuah partai/beberapa koalisi partai dengan Legislatif yang
dikuasai partai/koalisi partai lainnya. Solusi tersebut adalah
dengan menyelenggarakan pemilu presiden dan pemilu
legislatif secara bersamaan atau serentak pada satu waktu dan
dengan mendorong pemungutan suara langsung sebanyak
mungkin, dengan mengecah golongan putih (golongan yang
tidak mau memberikan suara) dengan cara-cara yang
demokratis tanpa paksaan.
Kedua, dalam sistem Presidensial adalah kekakuan
temporal. Juan Linz menulis bahwa masa jabatan Presiden yang
pasti menguraikan periode-periode yang dibatasi secara kaku
dan tidak berkelanjutan, sehingga tidak memberikan
kesempatan untuk melakukan berbagai penyesuaian yang
dikehendaki oleh keadaan. Artinya Linz mengungkapkan bahwa
pembatasan masa jabatan justru menimbulkan kelemahan yaitu
program pemerintah yang baik dan bagus untuk masyarakat
belum tentu dilanjutkan oleh Presiden selanjutnya, mengingat
terbatasnya masa jabatan Presiden. Apalagi bila persaingan
jabatan Presiden sangat tajam di tengah sistem multipartai dan
banyaknya ideologi partai yang berbeda dan bersitegang.
Sehingga jika yang akan terpilih selanjutnya adalah Presiden
dari partai yang jelas ideologi dan basis pemikirannya berbeda
(liberal dengan sosialis atau religius), pastilah program dan
kebijaksanaannya juga akan berubah, padahal bisa jadi program
dan kebijaksanaan dari Presiden sebelumnya berguna dan
bermanfaat bagi masyarakat.
Solusi yang coba ditawarkan adalah dengan cara
Parlemen membuat sebuah program peta jalan (road map
program) yang merupakan blue print bagi pembangunan dan
program bagi bangsa dan negara kedepan. Sehingga siapapun
yang berkuasa mau tidak mau harus melaksanakan blue print
tersebut.
Ketiga, sistem ini berjalan atas dasar aturan winner
takes all atau pemenang menguasai semuanya yang
cenderung membuat demokrasi menjadi ajang permainan
dengan semua potensi konfliknya. Dalam pemilihan presiden
secara langsung dengan sistem multipartai, jika pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden menang, maka seharusnya mereka
mengadakan koalisi dengan partai-partai lainnya atau
bernegoisasi dengan pihak oposisi untuk menghadapi masalah-
masalah yang sangat mungkin terjadi di kemudian hari dan
mencegah timbulnya konflik dan polarisasi kekuatan yang justru
akan memecah belah. Politik menjadi ekslusif bukan inklusif dan
politik akan menjadi sumber malapetaka perpecahan bukan
untuk mengagregasikan dan menyatukan sebuah bangsa dan
negara.
Solusi yang diajukan adalah dengan mengadakan pemilu
Presiden dengan dua tahap pemungutan suara. Hal ini untuk
mencegah terjadinya minority winner takes all. Sebab dengan
mengadakan putaran kedua, bisa terjadi perubahan peta politik
dengan bergabungnya pihak yang kalah pada putaran pertama
kepada pihak lain di putaran kedua. Sehingga legitimasi dapat
lebih optimal dan berubah menjadi mayority takes all.
Keempat, dikemukakan oleh Eep Saefullah Fatah dengan
menamakannya fenomena kohabitasi. Kohabitasi menurut Eep
adalah keadaan di mana Sistem Pemerintahan Presidensial
dikombinasikan dengan sistem multipartai. Akibatnya, jika
Presiden terpilih bukan berasal dari partai yang menguasai atau
mendominasi parlemen atau partai mayoritas, maka sangat
mungkin terjadi kebijakan dan kerja-kerja Presiden dihambat
atau dihalangi oleh Partai Politik di Parlemen.
Kohabitasi juga bisa terjadi jika Wakil Presiden ternyata
lebih mempunyai power atau kekuatan atau lebih memiliki
dukungan politis daripada presiden, disebabkan karena Wakil
Presiden berasal dari Partai Politik yang memiliki dukungan lebih
besar atau mempunyai power lebih besar. (Hukum tata negara
dan sistem politik hlm 80-82)

B. Sistem Presidensial Indonesia

UUD RI 1945 Pasal 4 ayat (1) adalah salah satu pasal yang telah
memberikan dasar konstitusional yang kuat terhadap dianutnya
sistem presidensiil di Indonesia.

Amanat yang tertuang dalam konstitusi tersebut mempunyai


implikasi yang berlawanan dengan adanya upaya pengerahan energi
dari kekuatan-kekuatan politik di parlemen untuk menekan dan
menjatuhkan Presiden (yang dalam hal ini sebagai kepala
pemerintahan dalam standar parlemen). Perlu dipahami bahwa
kedudukan Presiden dalam konteks sistem pemerintahan presidensiil
adalah sebagai pucuk pimpinan tertinggi pemerintahan. Presiden
memiliki hak untuk menjalankan formulasi kebijakan.

Di dalam menjalankan kekuasaan pemerintahannya tersebut,


presiden memerlukan kesinergian hubungan dengan DPR di dalam
sebuah simpul check and balance, untuk itu diperlukan reorientasi
peran partai politik dan DPR agar bisa berperan secara optimal dalam
sistem presidensiil yang sejauh ini belum terimplikasikan secara
sempurna baik dalam perspektif normatif maupun pragmatisnya.

Dalam sistem presidinsiil, lembaga kepresidenan dirancang


untuk mampu merumuskan dan menjabarkan kebijakan secara
komprehensif dan terarah. Dominasi eksekutif pada saat ini
diperkirakan akan lebih menguat dikemudian hari, sehingga peluang
lembaga perwakilan rakyat untuk mengimbangi eksekutif dalam
menentukan arah kebijakan akan cukup sulit. Pengembangan sistem
pemerintahan yang berbasis pada format sistem pemerintahan
presidensiil, harus disertai pula oleh penguatan sistem pengawasan,
sehingga diharapkan melalui penguatan tersebut, dapat menjadikan
sistem pemerintahan Indonesia semakin handal dalam merespons
kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh presiden sebagai pemegang
kekuasaan eksekutif dimasa sebelumnya.

http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/ejurna
l/pdf/ejurnal_Jurnal%20Konstitusi%20UNAIR%20Vol%202%20no
%201.pdf#page=10

Perjalanan institusionalisasi sistem presidensial di Indonesia


mengalami pergolakan dan pasang-surut dalam sejarah perpolitikan
Indonesia. Jika dicermati, baik praktik politik maupun prinsip
presidensial dalam konstitusi, pelembagaan sistem presidensial sudah
dimulai sejak sehari setelah Indonesia diproklamasikan sebagai
negara merdeka dan berdaulat. Beberapa prinsip dasar sistem
presidensial yang sudah dirumuskan dalam konstitusi UUD 1945
diantaranya adalah posisi presiden sebagai kepala negara sekaligus
kepala pemerintahan, posisi presiden dan parlemen yang bersifat
mandiri, dan kekuasaan presiden membentuk kabinet. Ketiga prinsip
ini sudah terlembagakan dalam konstitusi sejak disahkannya UUD
1945 pada 18 Agustus 1945.

Pasang-surut perjalanan sistem presidensial di Indonesia dari


masa ke masa memiliki karakteristik tersendiri. Bahkan, presidensial
sempat lenyap dalam perpolitikan Indonesia diganti sitem
parlementer selama beberapa tahun. Sitem presidensial yang
diterapkan di Indonesia memiliki corak dan karakteristik tersendiri di
setiap masa dan rezim pemerintahan. Karakteristik itu disebabkan
faktor sistem politik yang sedang berlaku maupun faktor corak
kepemimpinan saat itu. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno,
sistem presidensial lebih diposisikan sebagai sistem percobaan bagi
negara yang sedang mencari bentuk dan menjalankan demokrasi
yang sangat fluktaitif. Bahkan beradasarkan konsensus para elite
politik saat itu, sistem presidensial sempat diganti dengan sistem
parlementer.

Era pemerintahan Presiden Soeharto, sitem presidensial


diterapkan secara pincang tanpa disertai checks and balances antara
presiden dan parlemen. Substansi sistem preidensial tenggelam di
bawah penguasa yang otoriter dan hanya dijadikan sebagai simbol
tanpa roh sistem pemerintahan. (presidensialisme setengah hati hlm
81)

Sistem presidensial mulai mengalami metamorfosis ketika


diterapkan pada masa beberapa presiden di era reformasi. Seiring
perjalanan reformasi politik dan amandemen UUD 1945, sistem
presidensial di Indonesia sedang menuju purifikasi. Sistem
presidensial mengalami purifikasi dimulai sejak kejatuhan
pemerinthan Orde Baru, kemudian diikuti dengan reformasi konstitusi,
yaitu amandemen UUD 1945. Ada empat perubahan utama yang
memperkuat pelembagaan sistem pemerintahan presidensial di
Indonesia.

Pertama, pelembagaan sistem pemilihan presiden secara


langsung. Kedua, pembatasan masa jabatan presiden, sehingga masa
jabatan presiden lebih tetap (fixed term). Ketiga, pencalonan presiden
dan wakil presiden dalam satu paket. Keempat, pelembagaan
mekanisme checks and balances. Kelima, presiden tidak dapat
dijatuhkan secara politik. (presidensial setengah hati hlm 78)

Sejak sebelum kemerdekaan, sebagian besar para pemimpin


bangsa kita mengidealkan sistem pemerintahan presidensil. Hal itu
tercermin dalam perumusan UUD 1945 yang menentukan bahwa
kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar dipegang
oleh seorang Presiden dengan dibantu oleh satu orang Wakil Presiden
selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih dalam jabatan yang
sama hanya untuk satu kali masa jabatan (Pasal 4 ayat (1) dan (2) jo.
Pasal 7 UUD 1945). Tidak seperti dalam sistem pemerintahan
parlementer, Presiden ditegaskan dalam pasal 7C UUD 1945, tidak
dapat membekukan dan/ atau membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat. Bahkan ditegaskan pula bahwa dalam menjalankan tugas dan
kewajiban konstitusionalnya, Presiden dibantu oleh para menteri yang
diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dan bertanggung jawab
hanya kepada Presiden (Pasal 17 ayat (1) dan (2) UUD 1945).

Dalam sistem pemerintahan yang diidealkan, tidak dikenal


adanya ide mengenai jabatan Perdana Menteri atau pun Menteri
Utama dalam Pemerintahan Indonesia merdeka berdasarkan undang-
undang dasar yang dirancang oleh BPUPKI (Badan Usaha Penyelidik
Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia) dan kemudian disahkan oleh
PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) pada tangal 18
Agustus 1945. (penguatan sistem hlm 57-58)

Apabila dicermati dari ketentuan Pasal 4 dan Pasal 17 UUD


1945, jelas menunjukkan bahwa UUD 1945, dan menganut sistem
pemerintahan presidensial. Karena menurut ketentuan konstitusional
itu, Presiden menjadi Kepala Pemerintahan (Eksekutif) dan juga
Kepala Negara (Penjelasan UUD 1945, pra-amandemen). Presiden
mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri, serta menteri
menteri itu bertanggung jawab kepada Presiden. Namun problemnya,
jika dilihat dalam hubungan dengan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 21 ayat
(2) UUD 1945 serta penjelasannya, bahwa UUD 1945 tidak
sepenuhnya menganut sistem pemerintahan presidensial. Karena
menurut ketentuan itu kekuasaan membentuk undang-undang berada
ditangan Presiden dengan persetujuan DPR.

Presiden mandataris yang wajib melaksanakan GBHN (Garis-


garis Besar Haluan Negara) dan bertanggungjawab kepada MPR,
mengandung ciri-ciri parlementer. Jadi problemnya sistem
pemerintahan yang dianut UUD 1945 pada waktu itu sistem
pemerintahan campuran antara presidensial dan parlementer.
(hukum konstitusi hlm 182)

Namun demikian, dalam praktik sesudah kemerdekaan, pada


tanggal 14 November 1945, yaitu hanya dalam waktu 3 bulan kurang
dari 4 hari sejak pengesahan naskah UUD 1945 atau hanya dalam
waktu 3 bulan kurang dari 5 hari sejak proklamasi kemerdekaan,
Presiden Soekarno telah membentuk jabatan Perdana Menteri dengan
mengangkat Syahrir sebagai Perdana Menteri pertama dalam sejarah
Indonesia merdeka. Sejak itu, sistem pemerintahan Republik
Indonesia dengan diselingi oleh sejarah bentuk Republik Indonesia
Serikat (RIS) pada tahun 1949, selalu menerapkan Sistem
pemerintahan parlementer atau setidaknya sitem pemerintahan
campuran sampai terbentuknya pemerintahan Orde Baru. Sebagian
terbesar administrasi pemerintahan yang dibentuk bersifat dual
executive, yaitu terdiri atas kepala negara yang dipegang oleh
Perdana Menteri atau yang disebut dengan istilah Menteri Utama
atau pun dengan dirangkap oleh Presiden atau oleh Wakil Presiden.

Dalam suasana praktis sistem parlementer itulah pada awal


tahun 1946, penjelasan UUD 1945 yang disusun oleh Soepomo dan
diumumkan melalui berita Repoeblik pada bulan Februari 1946
memuat uraian tentang kedudukan kepala negara dan kepala
pemerintahan yang kemudian disalah pahami seakan dua jabatan
yang dapat dibedakan satu sama lain sampai sekarang. Oleh karena
itu, sampai sekarang masih banyak sarjana yang beranggapan bahwa
jabatan Sekretaris Negara adalah jabatan sekretaris presiden presiden
sebagai kepala pemerintahan. Akibatnya muncul tafsir yang salah
kaprah bahwa seakan-akan semua rancangan keputusan Presiden
sebagai kepala negara harus dipersiapkan oleh Sekretariat Negara
sedangkan rancangan keputusan Presiden sebagai kepala
pemerintahan dipersiapkan oleh Sekretariat Kabinet. Padahal, dalam
sistem pemerintahan Presidensil yang bersifat murni, yang ada
adalah sistem single executive.

Dalam hal ini fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan


terintegrasi, tidak dapat dipisah-pisahkan dan bahkan tidak dapat
dibedakan satu dengan yang lain. Dalam sistem presidensil murni,
keduanya menyatu dalam kedudukan presiden dan Wakil Presiden.
Keduanya tidak perlu dibedakan, dan apalagi dipisah-pisahkan.

Namun demikian, sistem pemerintahan presidensil yang dianut


oleh UUD 1945 itu sendiri, sebelum reformasi, sebenarnya tidak
bersifat murni. Salah satu prinsip penting dalam sistem presidensil
adalah bahwa tanggung jawab puncak kekuasaan pemerintahan
Negara berada di tangan presiden yang tidak tunduk dan
bertanggung jawab kepada parlemen. Misalnya, dalam sistem
presidensil Amerika Serikat, presiden hanya bertanggung jawab
kepada rakyat yang memilihnya melalui mekanisme pemilihan umum
dan melalui kewajiban menjalankan tugas-tugas pemerintahan secara
transparan dan akuntabel.

Presiden Indonesia menurut UUD 1945 sebelum reformasi, harus


bertunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) yang berwenang mengangkat dan memberhentikannya
menurut undang-undang dasar. Presiden menurut UUD 1945 sebelum
reformasi adalah mandataris MPR yang sewaktu-waktu dapat ditarik
kembali oleh MPR sebagaimana mestinya. Sifat pertanggungjawaban
kepada MPR ini justru memperlihatkan adanya unsur parlementer
dalam sistem pemerintahan presidensil yang dianut. Karena dapat
dikatakan bahwa sistem presidensil yang dianut bersifat tidak murni,
bersifat campuran, atau quasi-presidentil.

Inilah yang menjadi satu alasan mengapa UUD 1945 kemudian


diubah di masa reformasi. Salah satu butir kesepakatan pokok yang
dijadikan pegangan bersama dalam membahas agenda perubahan
pertama UUD 1945 pada tahun 1999 adalah bahwa perubahan
Undang-Undang Dasar dimaksudkan untuk memperkuat sistem
pemerintahan presidensil. Dengan perkataan lain, kita dapat
menggunakan istilah memurnikan sistem presidensil atau purifikasi
sistem pemerintahan presidensil sebagai salah satu ide yang
terkandung dalam keseluruhan pasal-pasal yang diubah atau
ditambahkan dalam rangka Perubahan Pertama (1999), Perubahan
Kedua (2000), Perubahan Ketiga (2001), dan Perubahan Keempat
(2002) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Sesudah reformasi, Presiden dan Wakil Presiden ditentukan oleh


UUD 1945 harus dipilih secara langsung oleh rakyat. Peranan MPR
untuk memilih Presiden dan/atau Wakil Presiden dibatasi hanya
sebagai pengecualian, yaitu apabila terdapat lowongan dalam jabatan
presiden dan/atau wakil presiden. Pengucapan sumpah jabatan
Presiden dan/atau Wakil Presiden memang dapat dilakukan di depan
sidang paripurna MPR, tetapi pada kesempatan itu MPR sama sekali
tidak melantik Presiden atau Wakil Presiden sebagai bawahan. MPR
hanya mengadakan persidangan untuk mempersilakan Presiden dan/
atau Wakil Presiden mengucapkan sumpah atau janji jabatannya
sendiri di depan umum. Dengan demikian, Presiden dan Wakil
Presiden tidak lagi berada dalam posisi tunduk dan bertanggung
jawab kepada MPR seperti masa sebelum reformasi.

Dalam hal ini oleh penjelasan UUD 1945 ditegaskan bahwa Presiden
harus bertunduk dan bertanggung jawab kepada MPR. Presiden
adalah mandataris MPR yang mandat kekuasaannya sewaktu-waktu
dapat ditarik kembali oleh MPR. Adapun dalam sistem yang baru,
Presiden hanya dapat diberhentikan oleh MPR melalui proses
impeachment yang melibatkan proses hukum melalui peradilan
konstiyusi di Mahkamah Konstitusi.
Sekarang Presiden dan Wakil Presiden dipilih langsung oleh
rakyat dan karenanya tunduk dan bertanggung jawab langsung
kepada rakyat yang memilihnya. Inilah ciri penting upaya pemurnian
dan penguatan yang dilakukan terhadap sistem pemerintahan
presidensial yang kita anut berdasarkan UUD 1945 pasca reformasi.
Namun demikian, dalam praktik di masa reformasi dewasa ini, sering
timbul anggapan umum bahwa sistem presidential yang kita anut
dewasa ini masih beraroma parlementer. Bahkan ada juga orang yang
berpendapat bahwa sistem pemerintahan yang sekarang kita anut
justru semakin memperlihatkan gejala sistem parlementer.

Jika di masa Orde Baru, pusat kekuasaan berada sepenuhnya di


tangan Presiden, maka sekarang pusat kekuasaan itu dianggap telah
beralih ke DPR. Sebagai akibat pendulum perubahan dari sistem yang
sebelumnya memperlihatkan gejala executive heavy, sekarang
sebaliknya timbul gejala legislative heavy dalam setiap urusan
pemerintahan yang berkaitan dengan fungsi parlemen.

Masalahnya adalah apakah kenyataan praktik yang banyak


dikeluhkan itu memang benar disebabkan oleh sistemnya atau justru
karena praktik yang terkait dengan kinerja para pemegang jabatan
yang bertanggung jawab dalam sistem itu. Agar kita bersikap adil
kepada kedua persoalan ini, maka ada baiknya kita berasumsi bahwa
masalah yang dihadapi di Indonesia dewasa ini adalah kedua-duanya,
yaitu masalah sistem dan kinerja pejabatnya. (penguatan sist
pemerin dan peradil hlm 57-60)

Berikut ini gambaran akan sistem pemerintahan di Indonesia


yang dinyatakan dalam pasal-pasal UUD 1945.

1. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan


pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar (Pasal 4 ayat
(1)).
2. Dalam menjalankan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu
orang Wakil Presiden (Pasal 4 ayat (2)).
3. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang
kepada Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 5 ayat (1)).
4. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan
undang-undang sebagaimana mestinya (Pasal 5 ayat (2)).
5. Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat (Pasal 6A ayat (1)).
6. Presiden tidak dapat membekukan dan/atau membubarkan
Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 7C).
7. Presiden memegang kekuasaan yang tertinggi atas Angkatan
Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara (Pasal 10).
8. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
menyatakan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian
dengan negara lain (Pasal 11 ayat (1)).
9. Presiden menyatakan keadaan bahaya. Syarat-syarat dan
akibatnya keadaan bahaya ditetapkan dengan undang-undang
(Pasal 12).
10. Presiden mengangkat duta dan konsul; menerima
penempatan Duta negara lain (Pasal 13 ayat (1) dan (3)).
11. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat
(1)), dan memberi amnesti dan abolisi dengan pertimbangan
memperhatikan DPR (Pasal 14 ayat (2)).
12. Presiden memberi gelar, tanda jasa, dan lain-lain tanda
kehormatan yang diatur dengan undang-undang (Pasal 15).
13. Presiden membentuk Dewan Pertimbangan yang
memberikan nasihat kepada Presiden yang ditetapkan dalam
Undang-undang (Pasal 16)
14. Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Menteri-
menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden (Pasal 17
ayat (1) dan (2)).
15. Presiden berhak menetapkan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang (Perpu) dalam hal ini Ihwal
kepentingan yang memaksa (Pasal 22 ayat (1))
16. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan
membentuk undang-undang (Pasal 20 Ayat (1)).
17. Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi
anggaran, dan fungsi pengawasan (Pasal 20 A).
18. Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi,
angket, menyatakan pendapat ( pasal 20 A Ayat (2)).
19. Anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan,
usul, dan pendapat, serta hak imunitas ( Pasal 20 A Ayat (3))
20. Anggota DPR berhak mengajukan Rancangan Undang-
Undang (Pasal 21) (pengantar hukum Indonesia halaman 256-
257)
Beberapa contoh dalam ketentuan UUD 1945 sebagai
berikut.
a. Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas
usul DPR. Jadi, DPR tetap memilliki kekuasaan mengawasi
presiden meskipun secara tidak langsung.
b. Presiden dalam mengangkat pejabat negara perlu
pertimbangan dan/ atau persetujuan DPR. Contohnya, dalam
pengangkatan duta negara asing, Gubernur Bank Indonesia,
Panglima TNI, dan kepala kepolisian.
c. Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu
pertimbangan dan/ atau persetujuan lembaga lain seperti
DPR, MA, atau MK. Contohnya, pembuatan perjanjian
internasional, pemberian gelar, tanda jasa, tanda
kehormatan, pemberian amnesti, dan abolisi.
d. Parlemen diberi kekuasaan lebih besar dalam hal
membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran).
e. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki hak
judicial review. (paradigma halaman 94)
Menurut pasal 7A UUD 1945, Presiden dan/ atau Wakil
Presiden Indonesia dapat diberhentikan oleh MPR atas usul
DPR apabila Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti
melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan
terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti
tidak memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil
Presiden telah melakukan pelanggaran hukum sebagaimana
disebutkan dalam pasal 7 A UUD 1945, maka Presiden dan/
atau Wakil Presiden harus diperiksa dan diadili serta
dikeluarkan putusan lebih dahulu oleh Mahkamah Konstitusi
atas permintaan MPR (Pasal 7 B ayat (1) dan (4) UUD 1945).
Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
Presiden dan/ atau Wakil Presiden dinyatakan bersalah
melanggar hukum dan/ atau tidak dapat memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden, maka DPR
menyelenggrakan sidang paripurna untuk meneruskan
pemberhentian Presiden dan/ Wakil Presiden kepada MPR.
Atas usul DPR, MPR menyelenggarakan sidang paripurna
pemberhentian Presiden dan/ atau Wakil Presiden yang
dihadiri sekurang-kurangnya dari jumlah anggota MPR,
dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota
MPR yang hadir, setelah Presiden dan/ atau Wakil Presiden
diberi kesempatan menjelaskan dalam rapat paripurna MPR
(Pasal 7 B ayat (5), (6), dan (7) UUD 1945).
C. Sistem Pemerintahan Turki
Turki adalah sebuah negara tua yang menyimpan aneka
ragam kemegahan karya budaya Islam masa silam, karena
dinegeri ini pernah mencatat kejayaan kekhalifahan terakhir
Islam, bernama kehkalifahan Ottoman.

Tak hanya budaya, Turki juga mempunyai penduduk


berjumalah 77.695.904 jiwa ini mempunyai bahasa resmi, yaitu
bahasa Turki dengan luas 783.562 kilometer persegi, dan juga
negara ini bersifat homogen, yaitu negara yang mempunyai
beragam pemeluk agama. Agama yang berada di Turki sangat
beragam, seperti Islam (sunni) 99,8%, dan agama lain seperti
Ortodoks Yunan, Gregorian Armenia, Katolik, Ortodoks Syiria,
dan Yahudi yang totalnya 0,2%. Komposit etnis terdiri atas Turki
80%, dan lainnya 20% terdiri atas Kurdi, Yunani, Armenia, Syiria,
Yahudi, Georgia, Lazia, Circasia, Bosnia, Arab. (RPUL hal 53)

Turki terletak diantara dua benua yaitu Eropa di utara dan Asia
diselatan. Wilayahnya memiliki batas-batas sebagai berikut:

1. Disebelah Utara berbatasan dengan Bulgaria


2. Disebelah Barat berbatasan dengan Yunani
3. Disebelah Timur berbatasan dengan Suriah
4. Disebelah Selatan berbatasan dengan Irak (perbandingan
Hal 77)

Turki merupakan salah satu negara muslim yang secara terbuka


menerima konsep nasionalisme sebagaimana yang ada di dunia
Barat. Dinasti Turki Utsmani yang menguasai hampir seluruh kawasan
Timur Tengah, adalah pemerintahan Islam yang mengakui akan
keunggulan politik Eropa, seperti sistem administrasi negara dan
militernya. Hal ini terbukti pada 1730-an pemerintah Turki dengan
cepat dan sistematis melakukan pembaruan dan reorganisasi
militernya sesuai dengan sistem yang berlaku di Eropa; dan puncak
pembaharuan tercatat pada pemerintahan Sultan Salim III (1792).

Perubahan yang dilakukan olehnya tidak hanya sebatas pada


aspek sistem pemerintahan saja, tetapi perubahan secara totalitas;
atau lebih tepatnya, dia melakukan Westernisasi. Perubahan tersebut
dimulai dari organisasi militer, sistem pemerintahan pusat maupun
propinsi, sampai menyangkut hal-hal yang berkaitan dengan sistem
perdagangan, keuangan, dan diplomatik. (Nasionalisme KIAI 47-48)

Sistem pemerintahan Turki berubah dari sistem kerajaan


menjadi republik pada masa pemerintahan Mustafa Kemal Attaturk. Ia
merupakan presiden Turki yang pertama. Negeri tua ini banyak
menyimpan kemegahan karya seni dan budaya masa silam. Sebab,
secara geografis negara ini terletak diantara dua benua, yakni benua
Eropa di utara dan benua Asia di selatan. Penduduk Turki 98%
beragama Islam dan merupakan negara berpenduduk muslim
terbesar ke-10 didunia. (RPUL hal 54-55)

Sistem pemerintahan turki pada mulanya adalah kesultanan


besar pada masa Dinasti Utsmany, dan sekarang telah menjadi
Republik Turki. Pemerintahan pusat di Turki memiliki kekuasaan yang
besar atas pemerintah lokalnya, dikarenakan ini merupakan negara
yang berbentuk kesatuan.

Pada mulanya pusat kekuasaan Turkmen adalah di Anatolia


yaitu sekitar Tokat, Amasya, dan Sivas. Pendirinya adalah
Danisymend dating di Anatolia sebagai seorang pejuang imam
setelah kekacauan yang terjadi sejak meninggalnya Sulaiman Ibn
Qutalmisy dari Seljuq. Danisymend kemudian popular karena
berselisih dan membela Islam ketika berhadapan dengan pasukan
Salib Pertama. Selain itu Qaraminiyyah adalah dinasti Turki di Anatolia
yang paling kuat dan tumbuh berkembang bersama Otsmaniyah.

Namun, pada akhirnya menjadi bawahan dinasti Utsmaniyah.


Dinasti Utsmaniyah mulai terbentuk sekitar tahun 1300 berawal dari
suku Qayigh Oghuz yang berani melawan Bizantium yang akan masuk
benua Asia. Otsmaniyah tidak terikat dengan dinasti seljuq
pendahulunya tetapi ketika berhadapan dengan pasukan Mongol
mereka terpaksa mundur. Mongol sendiri ternyata sudah beragama
Islam.

Otsmaniyah membesarkan kekuasaannya karena


kemampuannya membentengi pasukan Kristen. Kemampuan militer
ini kemudian membentuk dirinya menjadi penguasa Turki.
(perbandingan pemerintahan hal 77-78)

Akhir-akhir ini banyak sekali media yang memberitakan bahwa


Recep Tayyip Erdogan (presiden Turki) memenangkan Referendum
Turki, yang membuat Turki harus meninggalkan sistem parlementer
dan beralih ke sistem presidensil. Alasannya adalah perubahan ini
diperlukan untuk mengubah konstitusi saat ini, guna menghadapi
tantangan dan politik Turki, serta menghindari koalisi pemerintahan
yang rapuh. Namun perubahan yang diajukan oleh Erdogan ini tidak
mencapai kesepakatan dua per tiga anggota palemen. Maka dari itu,
hal ini memerlukan referendum. Seperti hal yang telah disebutkan,
perubahan sistem pemerintahan di Turki ini menuaikan pro dan
kontra. Bagi sebagian pihak yang kontra, perubahan sistem
pemerintahan dinilai hanya menguntungkan Erdogan dan kroninya.
Pada saat itu juga banyak sekali ucapan selamat yang mengalir dari
para petinggi dunia untuk Erdogan karena telah memenangkan
referendum tersebut.

Pada tanggal 12 September 2010, Negara berpenduduk 70 juta


itu mengadakan referendum. Dalam referendum itu warga Turki
memilih untuk mencoblos ya atau tidak untuk perubahan konstitusi
Turki. Hasilnya, dimenangkan oleh ya untuk perubahan konstitusi
yang mendapatkan hasil 57,88 persen suara.

Unikameral TGNA adalah badan legislatif Turki yang kuasa


membuat UU nya tidak bisa didelegasikan kepada badan lain.
Anggotanya terdiri atas 550 orang yang dipilih secara langsung oleh
rakyat. Masa tugasnya 5 tahun.

Seperti yang diketahui, bahwa sebelumnya Turki menggunakan


sistem pemerintahan parlementer dimana Pesiden memiliki jabatan
sebagai kepala negara sedangkan perdana menteri sebagai kepala
pemerintahan. Mulai dari amandemen konstitusi 2007 Presiden
sendiri dipilih oleh parlemen langsung, kemudian presiden
mengangkat perdana menteri, dan perdana menteri mulai menyusun
Dewan menterinya yang tentu saja harus melalui persetujuan
presiden. Namun, Perdana Menteri dan Dewan menteri sendiri tidak
bertanggung jawab pada presiden melainkan langsung kepada
parlemen.

Perbedaan penerapan sitem pemerintahan antar Negara


disebabkan banyak hal, seperti kondisi social, budaya dan politik yang
berkembang di Negara yang bersangkutan. Faktor lain yang sangat
berpengaruh adalah komitmen elite politik terhadap sistem politik
yang hendak diwujudkan, sistem kepartaian yang berkembang di
Negara yang bersangkutan, tradisi politik yang telah berkembang di
Negara yang bersangkutan, serta budaya politik dominan di
masyarakat yang bersangkutan. (Tarbiah Siyasiyah, Ahmad Dzakirin)

Komitmen elite polotik terhadap sistem politik yang hendak


diwujudkan sangat menentukan corak pelaksanaan sistem
pemerintahan suatu Negara. Hal ini bisa dilihat pada perbedaan
penyelenggaraan pemerintahan pada masa Orde Baru dengan masa
Reformasi.

Sistem kepartaian yang berkembang pada suatu negara juga


ikut mempengaruhi penyelenggaraan suatu pemerintah. Sebagai
contoh sistem kepartaian dengan dua partai yang dominan. Hal
tersebut akan berbeda dengan sistem multipartai yang seakan-akan
membawa dampak ketidakstabilan penyelenggaraan pemerintahan.

Tradisi pemerintahan yang berkembang pada suatu negara


sangat mempengaruhi penyelenggaraan pemerintahan. Sebagai
contoh adalah tradisi politik demokrasi yang sulit berkembang di
Indonesia turut berpengaruh pada proses penyelenggaraan
pemerintahan. (Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Pemerintah, Moh.
Mafudz MD)

Factor selanjutnya ialah budaya politik yang berkembang dalam


masyarakat. Ada budaya politik yang dapat mendorong terwujudnya
demokrasi, namun ada pula budaya politik yang berkembang dalam
masyarakat yang menghambat proses demokrasi dan justru
mendorong kea rah pemerintahan yang ditaktor.

Dengan adanya factor-faktor yang ikut menentukan sistem


pemerintahan suatu negara, maka telah jelas bahwa sistem
pemerintahansuatu negara itu pasti berbeda satu sama lain. Untuk
itu, kita dapat mengetahui perbandingan sistem pemerintahan
negara Indonesia dengan negara Turki.

Anda mungkin juga menyukai