Anda di halaman 1dari 13

JURNAL

NILAI-NILAI HUKUM DALAM UNDANG-UNDANG


MARTABAT TUJUH BUTON

DISUSUN OLEH :

NAMA : RAHMAWATI
NPM : 091901018
KELAS :A
SEMESTER : 3 (GANJIL)

DOSEN PENGAMPU : JUNAID GAZALIN. S.IP.,M.M.Pub.

PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH BUTON
BAUBAU
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatakan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan jurnal yang berisikan tentang “Nilai-Nilai
Hukum dalam Undang-Undang Martabat Tujuh Buton” tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam kami haturkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW,
yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah  menuju zaman ilmu pengetahuan yang
menjadikan manusia cerdas dan berwawasan luas.
Ucapan terima kasih kami kepada dosen pembimbing Junaid Gazalin. S.IP.,M.M.Pub.
yang telah memberikan motivasi dan dorongan sehingga jurnal ini dapat terselesaikan dengan
baik meskipun masih banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu yang kami miliki.
Harapan kami adalah semoga kritik dan saran dari pembaca tetap tersalurkan kepada
kami dan semoga jurnal ini bermanfaat. Aamiin

Baubau, 20 Januari 2021

RAHMAWATI

i
DAFTAR ISI

COVER

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1

A. Latar Belakang .................................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ............................................................................................. 3
C. Tujuan ............................................................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 4

A. Sekilas tentang Pembentukan Martabat Tujuh ................................................. 4


B. Nilai-Nilai Hukum Pada Martabat Tujuh ......................................................... 6

BAB III PENUNTUP ............................................................................................. 9

A. Kesimpulan ....................................................................................................... 9

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 10

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Salah satu hal yang membuat kita terkagum diantara sekian banyak yang menarik dari
cerita tentang Kesultanan Buton adalah dijadikannya Martabat Tujuh sebagai Undang-
Undang kesultanan pada masa pemerintahan sultan ke-IV dengan gelar Dayyan Ikhsan ad-
Din. Mengapa? Karena sejatinya, Martabat Tujuh bukanlah undang-undang, tetapi tingkatan
tasawuf yang dikembangkan oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri. Martabat Tujuh
merupakan salah satu konsep dari cabang ilmu tasawuf yang mengkaji tentang
penciptaan  dan yang dicipta (asal mula ada hingga tiada dari zat kembali ke asal). Salah satu
Tokoh besar Martabat Tujuh adalah Ibnu Arabi (Alifuddin, 2007 ; 121). Ajaran Martabat
Tujuh masuk ke Indonesia pertama kali dikembangkan di Aceh (Kerajaan Samudra Pasai)
oleh Hamzah Fansuri dan Syams-ad-Din Al-Sumatrani. Ajaran ini dibawa masuk ke Buton
oleh Syarif Muhammad pada abad ke-17 (Yunus, 1995: 67). Ketujuh martabat tersebut terdiri
dari; pertama, martabat ahadiyah; kedua, martabat al-Wahdah; ketiga, martabat al-
Wahidiyyah; keempat, martabat alam al-arwah; kelima, martabat alam al-misal;
keenam, martabat alam al-ajsam; dan ketujuh adalah martabat al-insan. Dalam
implementasinya secara kontekstual, sangat sarat dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Nilai-nilai inilah yang kemudian mengikat seluruh elemen kesultanan, sehingga tercipta
masyarakat yang rukun dan damai dengan senantiasa menjungjung tinggi segala aturan yang
berlaku.

Martabat Tujuh ialah merupakan salah satu doktrin terpenting dalam mistisme Islam.
Tak kecuali di Nusantara, bahkan boleh jadi konsep Martabat Tujuh ialah salah satu ajaran
terpopuler dalam tradisi keilmuan Islam di sini. Tema ini ditemukan dalam banyak naskah
klasik keagamaan di Aceh, Palembang, Jawa, Sunda, Banjar, Buton, dan sebagainya.
Mudahnya sufisme menjadi jalan masuk penyebaran Islam juga tak terlepas dari kuatnya latar
belakang tradisi kepertapaan (ascetism) atau mistisme dalam masyarakat Nusantara. Dalam
konteks inilah, ajaran Martabat Tujuh turut masuk dan kemudian menjadi begitu populer di
Nusantara.

1
Martabat Tujuh pertama kali mengemuka dari teks tasawuf, At-Tuhfah al-Mursalah
Ila Ruh an-Nabiy, dikarang oleh Muhammad Ibnu Fadhlillah al-Burhanfuri al-Hindi, seorang
sufi kenamaan dari Gujarat (w. 1620 M). Kitab ini berisi tentang tujuh martabat ilahiah yang
didasarkan atas pemikiran falsafi Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili. Menariknya, martabat
tujuh digunakan sebagai sumber hukum oleh masyarakat Buton pada masa dahulu. Dalam
istilah lokal masyarakat Buton dinamai Undang-Undang Murtabat Tujuh Sara Wolio, atau
lebih populer disebut Undang-undang Martabat Tujuh.

Perubahan sistem pemerintahan dari kerajaan ke kesultanan Islam juga mempengaruhi


perubahan pola kehidupan sosial politik bagi masyarakat Buton. Perjalanan sejarah
ketatanegaraan Buton berkembang secara progresif setelah diundangkannya konstitusi
Martabat Tujuh. Di bidang politik terjadi perubahan tata cara pemilihan pejabat, termasuk
tentu saja pada pemilihan seorang raja. Sebelum lahirnya konstitusi Martabat Tujuh di Buton,
posisi raja yaitu dari raja pertama hingga Sultan Ketiga—yang berarti sudah sembilan raja—
selalu menggunakan sistem monarki absolut. Posisi raja selalu diwariskan kepada putra
mahkota secara turun-temurun. Namun pasca lahirnya konstitusi Martabat Tujuh, maka
proses pengangkatan raja diubah dan harus didasarkan pada persetujuan dari Pata Limbona.
Sistem pemilihan raja, konon juga dilakukan melalui proses yang sangat rahasia dan sakral.

Bentuk pemerintahan Buton bukanlah lagi bersifat monarki absolut melainkan lebih
menyerupai sistem monarki parlementer. Dikatakan demikian, karena proses pengangkatan
raja tidaklah serta-merta didasarkan pada kehendak raja melainkan harus melalui mekanisme
musyawarah mufakat. Dalam konteks inilah, posisi Pata Limbona, yang pada
perkembangannya menjadi Sio Limbona yaitu Majelis Syara Kesultanan Buton, maka secara
kelembagaan jelas berfungsi sebagai semacam parlemen.

Posisi sultan secara politik diawasi oleh Sio Limbona dan sultan juga sekaligus
bertanggung jawab kepada lembaga ini. Laiknya sistem demokrasi di zaman sekarang,
sekiranya sultan dianggap melakukan pelanggaran atas konstitusi, maka Sio Limbona bukan
hanya bisa mengkritik tetapi juga bisa mengambil tindakan pemecatan sang raja. Konstitusi
Martabat Tujuh mengupayakan penegakan hukum pada masa itu bisa dikatakan tidaklah
tebang pilih. Siapapun yang terbukti secara hukum bersalah akan diadili sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku, tak terkecuali, sultan atau raja sekalipun .

2
B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan masalah


sebagai berikut:
1. Jelaskan Mengenai Sekilas Tentang Pembentukan Martabat Tujuh?
2. Menjelaskan Nilai-Nilai Hukum Pada Undang-Undang Murtabat Tujuh Buton?

C. TUJUAN

Tujuan tulisan ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk Mengetahui Sekilas Tentang Pembentukan Martabat Tujuh


2. Untuk Mendeskripsikan Nilai-Nilai Hukum Pada Undang-Undang Murtabat Tujuh
Buton

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Sekilas Tentang Pembentukan Martabat Tujuh

Pasca berakhirnya masa kekuasaan Murhum (sultan ke-1) hingga beberapa sultan
berikutnya tidak ada perkembangan berarti dalam sistem dan struktur ketatanegaraan di
Buton. Baru pada masa ketika La Elangi diangkat menjadi sultan ke-4 (1579-1631) terjadi
suatu perubahan yang sangat drastis dalam tradisi dan sistem sosial budaya masyarakat
Buton yang ditandai dengan di susunnya suatu undang-undang dasar yang dikenal dengan
undang-undang ”Martabat Tujuh versi Buton”. Dikatakan versi Buton karena ajaran
Martabat Tujuh adalah konsep atau ajaran yang dikenal dalam dunia tasawuf dikalangan
umat Islam. Pembentukan undang-undang Martabat Tujuh oleh La Elangi dinyatakan
sebagai upaya kearah pembentukan tatanan tradisi kehidupan sosial bernegara yang
teratur dan dilandasi oleh nilai-nilai supremasi hukum. Selain itu pembentukan tersebut
juga tidak lepas dari suatu tuntutan situasi sosial politik dan budaya masyarakat yang
berkembang pada saat itu, hal ini paling tidak dapat dilihat dari suasana yang menjadi
latar belakang pembentukan undang-undang Martabat Tujuh.

Setelah undang-undang Martabat Tujuh tersusun, diketahui ada instruksi yang kuat
dari pihak kesultanan untuk mentaati muatan dan misi konstitusi tersebut. Hal ini dapat
dilihat pada ucapan Sapati (jabatan dibawah Sultan) La Singga pada saat pembacaan
perdana undang-undang Martabat Tujuh dihadapan masyarakat yang bertempat di
depan Daobawo (depan masjid keraton) sebagai berikut:

“Bahwa sesungguhnya pada hari ini kamil-lah (sempurnalah) hukum kita, maka


barangsiapa yang melebihkan pada bilangannya atau menukar ganti aturannya dan
memindahkan akan tempatnya, maka disumpahi dari permulaan sampai anak cucu kita
dengan….hancur binasa mereka (yang merubah dan melanggar Martabat Tujuh, tidak
berketurunan, tidak sempat berbaring diatas bantal tikarnya” (Ganiu H. Abdul).

Sejak Martabat Tujuh diundangkan sebagai konstitusi resmi kesultanan Buton, terjadi
berbagai perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Buton. Perubahan yang dilakukan
oleh La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin) tidak hanya terjadi dalam susunan birokrasi
kesultanan, tetapi lebih dari itu perubahan tersebut telah menjadikan Buton sebagai negeri
kesultanan yang memiliki tatanan dan sistem politik yang bercorak “demokratis”. Hal ini

4
dapat dilihat dari adanya pemisahan sistem ketatanegaraan dengan melakukan pemisahan
kekuasaan yang terdiri dari eksekutif (sultan), legislatif (siolimbona) dan yudikatif
(kinepulu). Hak-hak politik sultan diawasi langsung oleh siolimbona, sehingga dalam
bertindak dan mengambil kebijakan harus melalui suatu mekanisme, yaitu
persetujuan pangka (badan tertinggi pemerintahan) atau aparat kesultanan dan
persetujuan dari siolimbona, sebagaimana tercantum pada pasal 1, 3, dan 4 undang-
undang Martabat Tujuh. Bersamaan dengan itu, pola rekruitmen kepemimpinan dilakukan
melalui sistem perwakilan, dimana masyarakat menyalurkan aspirasinya pada dewan
siolimbona sebagai wakil rakyat. Selain itu pengangkatan seorang pejabat harus
memenuhi syarat sebagaimana diatur pada pasal 3, 5, dan 6 undang-undang Martabat
Tujuh.

         Dalam sejarah Buton setelah diundangkannya Martabat Tujuh terdapat sejumlah


pejabat penting kesultanan yang dijatuhi hukuman karena melanggar aturan dan ketentuan
undang-undang yang berlaku, salah satu diantaranya adalah Sultan Mardan Ali (1647-
1654) yang dihukum gantung. Selain itu sejumlah sultan disengserkan dari jabatannya
karena dipandang tidak mampu melaksanakan amanat rakyat sebagaimana tercantum
dalam konstitusi. Sultan Abdul Wahhab (sultan ke-5) misalnya, dipecat dari jabatannya
karena memerintah negara tidak aman, dan sultan La Buke (sultan ke-6) yang dipecat
dengan alasan rakyat mengalami penderitaan akibat kerja keras untuk membangun
benteng keraton. Hal ini merupakan kenyatan sejarah yang menunjukkan bahwa secara
adat kekuasaan golongan penguasa tidak bersifat absolut. Golongan yang lebih tinggi
status sosialnya tidak boleh memandang enteng golongan rendah; semua lapisan harus
saling menghormati dan menyayangi (Yunus : 1995, 30). Dalam sistem sosial
kemasyarakatan, meskipun dalam masyarakat Buton dikenal adanya pengelompokan
berdasarkan strata atau status sosial (kaumu, walaka, dan papara), tetapi hubungan
kemasyarakatan berjalan dengan aman. Hal ini terjadi karena diatur dalam undang-
undang kesultanan. Pada mukaddimah undang-undang Martabat Tujuh dijelaskan bahwa
untuk mewujudkan pola hidup bersama yang aman maka dibangun sebuah filosofi hidup
yang disebut dengan prinsip “binci-binciki kuli, yang berarti prinsip hidup “senasib
sepenanggungan”. Prinsip ini dibangun atas empat pilar, yaitu;
Baabaana, opomae-maeka (pertama, takut-menakuti);
Ruaanguaka, opopia-piara (kedua, pelihara-memelihara);
Taluanguka, opomaa-maasiaka (ketiga, sayang-menyayangi);

5
Pataanguka, poangka-angkataka (keempat, hormat-menghormati).

B. Nilai-Nilai Hukum Pada Undang-Undang Murtabat Tujuh Buton

Di tengah carut marutnya kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini, tentunya


sangat dibutuhkan orang-orang yang dalam setiap sepak terjangnya menjunjung tinggi
nilai-nilai moral kemanusian. Untuk mewujudkan semua itu diperlukan individu-individu
yang berkarakter dan memegang teguh nilai-nilai kebangsaan. Dalam konteks inilah
Undang-Undang Murtabat Tujuh Buton menjadi bagian penting bagi pengembagan nilai-
nilai hukum dalam masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari masing-masing pasal dalam
murtabat tujuh.

Dalam bidang hukum, undang-undang Martabat Tujuh memuat sejumlah ketentuan


yang menjamin adanya penegakan hukum yang seadil-adilnya kepada setiap warga
Negara. Dalam sejarah Buton (pasca diundangkannya Martabat Tujuh) terdapat sejumlah
pejabat penting kesultanan yang dijatuhi hukuman mati dengan sebab melanggar aturan
dan ketentuan undang-undang yang berlaku, salah satu di antaranya adalah Sultan
Maradan Ali (1647-1654) yang dihukum gantung. Selain itu sejumlah sultan dilengserkan
dari jabatannya karena dipandang tidak mampu menjalankan amanat rakyat sebagaimana
yang tercantum dalam konstitusi.

Setelah undang-undang Martabat Tujuh diberlakukan terjadi sebuah perubahan yang


sangat drastis dalam sistem budaya dan sosial politik masyarakat Buton, sehingga tidak
salah untuk menyebutkan, bahwa pada masa inilah atau masa berkuasanya La Elangi
merupakan masa pencerahan kesultanan Buton. Ajaran Islam atau beberapa konsep
kehidupan sosial politik yang bersumber dari spirit ajaran Islam diundangkan secara
tertulis. Seiring dengan itu, prinsip-prinsip “demokrasi” meskipun dalam skala yang
terbatas ditekankan dalam kehidupan sosial dan politik. Sistem pengangkatan sultan tidak
lagi didasarkan atas prinsip pewarisan kekuasaan pada keturunan sultan atau yang dikenal
dengan istilah putra mahkota, tetapi sudah merujuk pada undang-undang kesultanan yaitu
“MartabatTujuh”.

Prinsip sistem ketatanegaraan MartabatTujuh yang disusun oleh LaElangi, menganut


paham pemisahan kekuasaan yang terdiri dari, eksekutif (sultan), legislatif (siolimbona),
dan yudikatif (kinepulu). Hak-hak politik sultan diawasi langsung oleh siolimbona,
sehingga sultan dalam bertindak dan mengambil kebijakan harus melalui suatu
mekanisme, yaitu persetujuan pangkaatau aparat kesultanan dan persetujuan dari

6
siolimbona, sebagaimana yang tercantum pada pasal 1, 3 dan 4 UU Martabat Tujuh.
Bersamaan dengan itu pola rekruitmen kepemimpinanpun dilakukan melalui sistem
perwakilan, dimana masyarakat menyalurkan aspirasinya pada dewan siolimbona sebagai
wakil rakyat atau legislatif. Selain itu pengangkatan seorang pejabat harus memenuhi
syarat pasal 3, 5, dan 6 UU MartabatTujuh.

Pasal 1 UU Martabat Tujuh menyatakan sebagai berikut: Pokok adat berdasarkan


perasaan prikemanusian “binci binciku kuli” adalah bahasa adat yang berarti mencubit
kulit. Cubit kulit sendiri, bila sakit tentu akan sakit pula bagi orang lain. Itulah sumber
keadilan dan kebenaran. Adat ini berdasarkan hadis : Man ‘arafa nafsahu faqad ‘arafa
rabbahu ”artinya : Barang siapa faham atau mengenal dirinya yang sejati, bahwasanya
mengenal pula ia akan Tuhan-Nya yang kekal. Perikemanusiaan binci-binciki kuli ini
memiliki empat nilai yang menjadi pedoman hidup dalam kehidupan bermasyarakat.
Nilai-nilai itu antara lain: Poangkaangkataka (saling utama-mengutamakan) adalah nilai
yang didasarkan pada sebuah keyakinan untuk mengutamakan kepentingan orang banyak
yang benar hukum-hukumnya sesuai hukum kemanusiaan di atas kepentingan pribadi
atau kelompoknya. Falsafah ini kemudian membentuk sifat pemurah, pemaaf, penyayang,
pengabdian dan pengorbanan kepada sesama manusia tanpa melihat perbedaan cultural,
suku, golongan, agama dan status sosial. Pomaa-maasiaka (saling cinta-mencintai) adalah
nilai yang didasarkan pada cinta kasih atau kasih sayang. Mencintai berarti merasa
terlukai bila yang dicintai itu terlukai oleh orang lain. Pasal 3 menyebutkan bahwa sifat-
sifat wajib bagi seorang pemimpin masyarakat adalah : Siddiq artinya benar dan jujur
dalam segala hal, rela berkorban dijalan kebenaran, tak boleh berbohong. Tabligh artinya
menyampaikan segala perkara yang memberi manfaat terhadap kepentingan umum tak
boleh menyembunyikan sesuatu maksud. Amânah artinya mempunyai rasa kepercayaan
terhadap umum, tak boleh mempertukarkan sesuatu hal sehingga pendengaran tidak
sesuai dengan bukti atau perasaan. Fatâna artinya fasih lidah dalam berbicara, tak boleh
berbicara kaku.

Pasal 4 menyebutkan sebagai berikut : pokok adat yang menjadi dasar kewajiban
adalah : a). Sara (undang-undang), segala sesuatu harus melalui permufakatan bulat yang
menuju kebaikan rakyat di dalam dan di luar negeri, yang berasal dari paduka tuan sultan
disertai persetujuan orang banyak. Sultan mempunyai hak prerogatif untuk mengambil
tindakan atas keputusan tersebut, hak tersebut dalam bahasa adat disebut “basarapu”
artinya menanam tiang kekuatan agar tidak goyah, tegasnya agar permufakatan tidak

7
berubah. Jika permufakatan Hamirudin Udu. Pandangan Multikulturalisme Dalam Tradisi
Lisan Kangkilo Masyarakat Buton.
Sejak masuknya Islam dan budaya Islam dijadikan sebagai landasan legitimasi dalam
setiap pengambilan keputusan, maka pihak kesultanan agaknya menyadari pentingnya
kepemimpinan yang Islami. Ini berangkat dari pemahaman yang pragmatis, bahwa
pemimpin harus selalu tampil sebagai pemberi contoh dan tauladan. Dimana
ketauladanan itu bersumber dari nilai-nilai yang dipandang Islami. Oleh karena itu,
berdasarkan Undang-Undang Kesultanan pasal VI ditetapkan empat syarat bagi seorang
pemimpin, yaitu : siddiq, tabligh, amânat dan fatânah. Dalam pemilihan seorang
pemimpin utamanya pada tingkat kerajaan, terkadang terjadi kesamaan kriteria di antara
calon-calon yang diajukan ke Dewan Siolimbona sebagai dewan pemilih pemimpin. Bila
diperhadapkan dengan kondidi seperti itu, maka yang dilakukan tidaklah berdasarkan
pilih kasih, tetapi dewan meminta petujuk kepada Allah SWT dengan jalan mistik,
tentang siapa figur yang pantas untuk dipilih. Asumsi dasarnya adalah pemahaman akan
eksistensi manusia di hadapan Allah SWT, bahwa setiap orang tidak mungkin sama
dalam segala kriteria kepemimpinan, maka untuk memecahkan kebuntuan dilakukan apa
yang orang Buton mengenalnya dengan istilah faali (arti klasiknya : pemilihan). Faali
dilakukan dengan mengambil tempat di Mesjid Agung Keraton, pada malam hari yang
hening, antara pukul 00 hingga 04.00 dinihari dan sebelum masuk waktu subuh upacara
tersebut sesudah harus berakhir. Ritual faali dilakukan dengan jalan membuka Quran, lalu
membaca ayat-ayat yang dibuka secara acak, kemudian mengartikan ayat-ayat yang
dibuka tersebut terhadap calon yang pertama dipilih, seterusnya terhadap calon yang
kedua. Setelah diartikan oleh Dewan Siolimbona yang mengetahui artinya lalu
dipertimbangkan berdasarkan ayat-ayat hidup yang telah dibaca, maka berdasarkan
pertimbangan Dewan, ditentukan siapa yang lebih layak untuk dipilih. Keputusan ini
diterima oleh kedua belah pihak.

8
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian di atas, terlihat bahwa secara institusional, nilai-nilai hukum dalam murtabat
tujuh buton menjadikan Islam sebagai bagian yang “penting” dalam sistem hukum kesultanan
Buton. Dalam proses penegakan hokum apabila didasarkan pada undang-undang murtabat
tujuh seperti segala hal yang bertentangan dengan hukum maka akan di tegakan dengan tegas.
Hal ini terbukti dari adanya penegakan hukum yang seadil-adilnya kepada setiap warga
Negara. Dalam sejarah Buton (pasca diundangkannya Martabat Tujuh) terdapat sejumlah
pejabat penting kesultanan yang dijatuhi hukuman mati dengan sebab melanggar aturan dan
ketentuan undang-undang yang berlaku, salah satu di antaranya adalah Sultan Maradan Ali
(1647-1654) yang dihukum gantung. Selain itu sejumlah sultan dilengserkan dari jabatannya
karena dipandang tidak mampu menjalankan amanat rakyat sebagaimana yang tercantum
dalam konstitusi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa murtabat tujuh ini dapat dijadikan
sebagai nilai-nilai hukum dalam membangun Indonesia kearah yang lebih baik.

9
DAFTAR PUSTAKA

Mahrudin, M. (2015). Nilai-Nilai Hukum dalam Undang-Undanng Martabat. Al-'Adl, 8(2),


123-139.

Wakatobi, Rudihont. 2016. Muatan Pendidikan Karakter Martabat Tujuh. Pendidikan untuk
Transformasi Sosial.

___________.2005. Transformasi Nilai-nilai Pemerintahan Kesultanan Butun: Suatu Telaah


Sejarah. Simposium Internasional Pernaskahan Nusantara IX. Bau-Bau 5-8 Ogos
2005.

Syafruddin Kalo. penegakan hukum yang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat suatu sumbangan pemikiran. Makalah. Medan

Udu, Hamirudin. Pandangan Multikulturalisme Dalam Tradisi Lisan Kangkilo Masyarakat


Buton. Makalah disampaikan dalam seminar internasional multicultural dan
Globalisasi 2012.

Zahari, Mulku. 1980. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butani (Buton I). Jakarta: Dirjen
Kebudayaan Dinas Republik Indonesia.

10

Anda mungkin juga menyukai