DISUSUN OLEH :
NAMA : RAHMAWATI
NPM : 091901018
KELAS :A
SEMESTER : 3 (GANJIL)
Puji syukur kami panjatakan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunianya sehingga kami dapat menyelesaikan jurnal yang berisikan tentang “Nilai-Nilai
Hukum dalam Undang-Undang Martabat Tujuh Buton” tepat pada waktunya.
Sholawat dan salam kami haturkan kepada baginda Rasulullah Muhammad SAW,
yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman ilmu pengetahuan yang
menjadikan manusia cerdas dan berwawasan luas.
Ucapan terima kasih kami kepada dosen pembimbing Junaid Gazalin. S.IP.,M.M.Pub.
yang telah memberikan motivasi dan dorongan sehingga jurnal ini dapat terselesaikan dengan
baik meskipun masih banyak kekurangan karena keterbatasan ilmu yang kami miliki.
Harapan kami adalah semoga kritik dan saran dari pembaca tetap tersalurkan kepada
kami dan semoga jurnal ini bermanfaat. Aamiin
RAHMAWATI
i
DAFTAR ISI
COVER
A. Kesimpulan ....................................................................................................... 9
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah satu hal yang membuat kita terkagum diantara sekian banyak yang menarik dari
cerita tentang Kesultanan Buton adalah dijadikannya Martabat Tujuh sebagai Undang-
Undang kesultanan pada masa pemerintahan sultan ke-IV dengan gelar Dayyan Ikhsan ad-
Din. Mengapa? Karena sejatinya, Martabat Tujuh bukanlah undang-undang, tetapi tingkatan
tasawuf yang dikembangkan oleh Muhammad Ibn Fadlullah al-Burhanpuri. Martabat Tujuh
merupakan salah satu konsep dari cabang ilmu tasawuf yang mengkaji tentang
penciptaan dan yang dicipta (asal mula ada hingga tiada dari zat kembali ke asal). Salah satu
Tokoh besar Martabat Tujuh adalah Ibnu Arabi (Alifuddin, 2007 ; 121). Ajaran Martabat
Tujuh masuk ke Indonesia pertama kali dikembangkan di Aceh (Kerajaan Samudra Pasai)
oleh Hamzah Fansuri dan Syams-ad-Din Al-Sumatrani. Ajaran ini dibawa masuk ke Buton
oleh Syarif Muhammad pada abad ke-17 (Yunus, 1995: 67). Ketujuh martabat tersebut terdiri
dari; pertama, martabat ahadiyah; kedua, martabat al-Wahdah; ketiga, martabat al-
Wahidiyyah; keempat, martabat alam al-arwah; kelima, martabat alam al-misal;
keenam, martabat alam al-ajsam; dan ketujuh adalah martabat al-insan. Dalam
implementasinya secara kontekstual, sangat sarat dengan nilai-nilai pendidikan karakter.
Nilai-nilai inilah yang kemudian mengikat seluruh elemen kesultanan, sehingga tercipta
masyarakat yang rukun dan damai dengan senantiasa menjungjung tinggi segala aturan yang
berlaku.
Martabat Tujuh ialah merupakan salah satu doktrin terpenting dalam mistisme Islam.
Tak kecuali di Nusantara, bahkan boleh jadi konsep Martabat Tujuh ialah salah satu ajaran
terpopuler dalam tradisi keilmuan Islam di sini. Tema ini ditemukan dalam banyak naskah
klasik keagamaan di Aceh, Palembang, Jawa, Sunda, Banjar, Buton, dan sebagainya.
Mudahnya sufisme menjadi jalan masuk penyebaran Islam juga tak terlepas dari kuatnya latar
belakang tradisi kepertapaan (ascetism) atau mistisme dalam masyarakat Nusantara. Dalam
konteks inilah, ajaran Martabat Tujuh turut masuk dan kemudian menjadi begitu populer di
Nusantara.
1
Martabat Tujuh pertama kali mengemuka dari teks tasawuf, At-Tuhfah al-Mursalah
Ila Ruh an-Nabiy, dikarang oleh Muhammad Ibnu Fadhlillah al-Burhanfuri al-Hindi, seorang
sufi kenamaan dari Gujarat (w. 1620 M). Kitab ini berisi tentang tujuh martabat ilahiah yang
didasarkan atas pemikiran falsafi Ibnu Arabi dan Abdul Karim Al-Jili. Menariknya, martabat
tujuh digunakan sebagai sumber hukum oleh masyarakat Buton pada masa dahulu. Dalam
istilah lokal masyarakat Buton dinamai Undang-Undang Murtabat Tujuh Sara Wolio, atau
lebih populer disebut Undang-undang Martabat Tujuh.
Bentuk pemerintahan Buton bukanlah lagi bersifat monarki absolut melainkan lebih
menyerupai sistem monarki parlementer. Dikatakan demikian, karena proses pengangkatan
raja tidaklah serta-merta didasarkan pada kehendak raja melainkan harus melalui mekanisme
musyawarah mufakat. Dalam konteks inilah, posisi Pata Limbona, yang pada
perkembangannya menjadi Sio Limbona yaitu Majelis Syara Kesultanan Buton, maka secara
kelembagaan jelas berfungsi sebagai semacam parlemen.
Posisi sultan secara politik diawasi oleh Sio Limbona dan sultan juga sekaligus
bertanggung jawab kepada lembaga ini. Laiknya sistem demokrasi di zaman sekarang,
sekiranya sultan dianggap melakukan pelanggaran atas konstitusi, maka Sio Limbona bukan
hanya bisa mengkritik tetapi juga bisa mengambil tindakan pemecatan sang raja. Konstitusi
Martabat Tujuh mengupayakan penegakan hukum pada masa itu bisa dikatakan tidaklah
tebang pilih. Siapapun yang terbukti secara hukum bersalah akan diadili sesuai dengan aturan
hukum yang berlaku, tak terkecuali, sultan atau raja sekalipun .
2
B. RUMUSAN MASALAH
C. TUJUAN
3
BAB II
PEMBAHASAN
Pasca berakhirnya masa kekuasaan Murhum (sultan ke-1) hingga beberapa sultan
berikutnya tidak ada perkembangan berarti dalam sistem dan struktur ketatanegaraan di
Buton. Baru pada masa ketika La Elangi diangkat menjadi sultan ke-4 (1579-1631) terjadi
suatu perubahan yang sangat drastis dalam tradisi dan sistem sosial budaya masyarakat
Buton yang ditandai dengan di susunnya suatu undang-undang dasar yang dikenal dengan
undang-undang ”Martabat Tujuh versi Buton”. Dikatakan versi Buton karena ajaran
Martabat Tujuh adalah konsep atau ajaran yang dikenal dalam dunia tasawuf dikalangan
umat Islam. Pembentukan undang-undang Martabat Tujuh oleh La Elangi dinyatakan
sebagai upaya kearah pembentukan tatanan tradisi kehidupan sosial bernegara yang
teratur dan dilandasi oleh nilai-nilai supremasi hukum. Selain itu pembentukan tersebut
juga tidak lepas dari suatu tuntutan situasi sosial politik dan budaya masyarakat yang
berkembang pada saat itu, hal ini paling tidak dapat dilihat dari suasana yang menjadi
latar belakang pembentukan undang-undang Martabat Tujuh.
Setelah undang-undang Martabat Tujuh tersusun, diketahui ada instruksi yang kuat
dari pihak kesultanan untuk mentaati muatan dan misi konstitusi tersebut. Hal ini dapat
dilihat pada ucapan Sapati (jabatan dibawah Sultan) La Singga pada saat pembacaan
perdana undang-undang Martabat Tujuh dihadapan masyarakat yang bertempat di
depan Daobawo (depan masjid keraton) sebagai berikut:
Sejak Martabat Tujuh diundangkan sebagai konstitusi resmi kesultanan Buton, terjadi
berbagai perubahan dalam tatanan sosial masyarakat Buton. Perubahan yang dilakukan
oleh La Elangi (Sultan Dayanu Ikhsanuddin) tidak hanya terjadi dalam susunan birokrasi
kesultanan, tetapi lebih dari itu perubahan tersebut telah menjadikan Buton sebagai negeri
kesultanan yang memiliki tatanan dan sistem politik yang bercorak “demokratis”. Hal ini
4
dapat dilihat dari adanya pemisahan sistem ketatanegaraan dengan melakukan pemisahan
kekuasaan yang terdiri dari eksekutif (sultan), legislatif (siolimbona) dan yudikatif
(kinepulu). Hak-hak politik sultan diawasi langsung oleh siolimbona, sehingga dalam
bertindak dan mengambil kebijakan harus melalui suatu mekanisme, yaitu
persetujuan pangka (badan tertinggi pemerintahan) atau aparat kesultanan dan
persetujuan dari siolimbona, sebagaimana tercantum pada pasal 1, 3, dan 4 undang-
undang Martabat Tujuh. Bersamaan dengan itu, pola rekruitmen kepemimpinan dilakukan
melalui sistem perwakilan, dimana masyarakat menyalurkan aspirasinya pada dewan
siolimbona sebagai wakil rakyat. Selain itu pengangkatan seorang pejabat harus
memenuhi syarat sebagaimana diatur pada pasal 3, 5, dan 6 undang-undang Martabat
Tujuh.
5
Pataanguka, poangka-angkataka (keempat, hormat-menghormati).
6
siolimbona, sebagaimana yang tercantum pada pasal 1, 3 dan 4 UU Martabat Tujuh.
Bersamaan dengan itu pola rekruitmen kepemimpinanpun dilakukan melalui sistem
perwakilan, dimana masyarakat menyalurkan aspirasinya pada dewan siolimbona sebagai
wakil rakyat atau legislatif. Selain itu pengangkatan seorang pejabat harus memenuhi
syarat pasal 3, 5, dan 6 UU MartabatTujuh.
Pasal 4 menyebutkan sebagai berikut : pokok adat yang menjadi dasar kewajiban
adalah : a). Sara (undang-undang), segala sesuatu harus melalui permufakatan bulat yang
menuju kebaikan rakyat di dalam dan di luar negeri, yang berasal dari paduka tuan sultan
disertai persetujuan orang banyak. Sultan mempunyai hak prerogatif untuk mengambil
tindakan atas keputusan tersebut, hak tersebut dalam bahasa adat disebut “basarapu”
artinya menanam tiang kekuatan agar tidak goyah, tegasnya agar permufakatan tidak
7
berubah. Jika permufakatan Hamirudin Udu. Pandangan Multikulturalisme Dalam Tradisi
Lisan Kangkilo Masyarakat Buton.
Sejak masuknya Islam dan budaya Islam dijadikan sebagai landasan legitimasi dalam
setiap pengambilan keputusan, maka pihak kesultanan agaknya menyadari pentingnya
kepemimpinan yang Islami. Ini berangkat dari pemahaman yang pragmatis, bahwa
pemimpin harus selalu tampil sebagai pemberi contoh dan tauladan. Dimana
ketauladanan itu bersumber dari nilai-nilai yang dipandang Islami. Oleh karena itu,
berdasarkan Undang-Undang Kesultanan pasal VI ditetapkan empat syarat bagi seorang
pemimpin, yaitu : siddiq, tabligh, amânat dan fatânah. Dalam pemilihan seorang
pemimpin utamanya pada tingkat kerajaan, terkadang terjadi kesamaan kriteria di antara
calon-calon yang diajukan ke Dewan Siolimbona sebagai dewan pemilih pemimpin. Bila
diperhadapkan dengan kondidi seperti itu, maka yang dilakukan tidaklah berdasarkan
pilih kasih, tetapi dewan meminta petujuk kepada Allah SWT dengan jalan mistik,
tentang siapa figur yang pantas untuk dipilih. Asumsi dasarnya adalah pemahaman akan
eksistensi manusia di hadapan Allah SWT, bahwa setiap orang tidak mungkin sama
dalam segala kriteria kepemimpinan, maka untuk memecahkan kebuntuan dilakukan apa
yang orang Buton mengenalnya dengan istilah faali (arti klasiknya : pemilihan). Faali
dilakukan dengan mengambil tempat di Mesjid Agung Keraton, pada malam hari yang
hening, antara pukul 00 hingga 04.00 dinihari dan sebelum masuk waktu subuh upacara
tersebut sesudah harus berakhir. Ritual faali dilakukan dengan jalan membuka Quran, lalu
membaca ayat-ayat yang dibuka secara acak, kemudian mengartikan ayat-ayat yang
dibuka tersebut terhadap calon yang pertama dipilih, seterusnya terhadap calon yang
kedua. Setelah diartikan oleh Dewan Siolimbona yang mengetahui artinya lalu
dipertimbangkan berdasarkan ayat-ayat hidup yang telah dibaca, maka berdasarkan
pertimbangan Dewan, ditentukan siapa yang lebih layak untuk dipilih. Keputusan ini
diterima oleh kedua belah pihak.
8
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian di atas, terlihat bahwa secara institusional, nilai-nilai hukum dalam murtabat
tujuh buton menjadikan Islam sebagai bagian yang “penting” dalam sistem hukum kesultanan
Buton. Dalam proses penegakan hokum apabila didasarkan pada undang-undang murtabat
tujuh seperti segala hal yang bertentangan dengan hukum maka akan di tegakan dengan tegas.
Hal ini terbukti dari adanya penegakan hukum yang seadil-adilnya kepada setiap warga
Negara. Dalam sejarah Buton (pasca diundangkannya Martabat Tujuh) terdapat sejumlah
pejabat penting kesultanan yang dijatuhi hukuman mati dengan sebab melanggar aturan dan
ketentuan undang-undang yang berlaku, salah satu di antaranya adalah Sultan Maradan Ali
(1647-1654) yang dihukum gantung. Selain itu sejumlah sultan dilengserkan dari jabatannya
karena dipandang tidak mampu menjalankan amanat rakyat sebagaimana yang tercantum
dalam konstitusi. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa murtabat tujuh ini dapat dijadikan
sebagai nilai-nilai hukum dalam membangun Indonesia kearah yang lebih baik.
9
DAFTAR PUSTAKA
Wakatobi, Rudihont. 2016. Muatan Pendidikan Karakter Martabat Tujuh. Pendidikan untuk
Transformasi Sosial.
Syafruddin Kalo. penegakan hukum yang menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat suatu sumbangan pemikiran. Makalah. Medan
Zahari, Mulku. 1980. Sejarah dan Adat Fiy Darul Butani (Buton I). Jakarta: Dirjen
Kebudayaan Dinas Republik Indonesia.
10