Anda di halaman 1dari 8

Kriminologi, Landrawan 2020

Materi : 3

HUBUNGAN KRIMINOLOGI
DAN HUKUM PIDANA
(Sumber: Abintoro Prakoso, Kriminologi dan Hukum Pidana)

KRIMINOLOGI SEBAGAI ILMU


Upaya dalam menganalisis dan mendeskripsikan kejahatan telah dilakukan di zamannya
Plato dan Aristoteles, Namun. Sebagai ilmu pengetahuan, kriminologi baru muncul kurang lebih
satu abad yal ( 1830-1911) ketika seorang antropolog Parancis, yakni Paul Topinard
memperkenalkan ilmu kriminologi ini ( soekanto, 1985:7).
Apakah itu Ilmu? Menurut Prajudi, ilmu harus ada obyeknya, terminologi, metodologi,
filsafati, dan teori bersifat khas. Sedangkan Nawawi memberi 2 (dua) ciri baru, yaitu ilmu harus
bersifat universal dan mempunyai sistematika. Ilmu yang mempunyai ciri tersebut,
memungkinkan manusia dapat mengungkap keajaiban dan misteri alam semesta.
Syarat ilmiah adalah sebagai berikut:
1. Sistematik, artinya terdapat sistem di dalam susunan suatu pengetahuan ilmiah (produk)
dan di dalam cara memperoleh pengetahuan itu (proses atau metode). Suatu pengkajian atau
penelitian ilmiah tidak akan membatasi dirinya hanya pada satu bahan informasi saja, melainkan
senantiasa meletakkan hubungan antar sejumlah informasi, sambil berusaha agar hubungan-
hubungan tersebut dapat merupakan suatu kebulatan;
2. Intersubyektif, artinya pengetahuan yang diperoleh seseorang harus mengalami
verifikasi dari subyek-subyek lainnya, supaya pengetahuan itu lebih terjamin keabsahan atau
kebenarannya.
Menurut I.R. Pudjawijatna dalam Tahu dan Pengetahuan, merinci syarat ilmiah sebagai
berikut:
1.Berobyek, yang di dalam filsafat ilmu pengetahuan dibedakan menjadi obyek forma
(suatu sudut pandang tertentu) dan obyek materia (sasaran pembahasan/pengkajian).
2. Bermetode, artinya memiliki seperangkat cara atau sistem pendekatan dalam
pembahasannya.
3. Bersistem, artinya harus merupakan suatu yang bulat dan utuh, bagian- bagian dari
pengetahuan ilmiah itu harus merupakan suatu kesatuan, antara bagian-bagian itu saling
berhubungan, baik berupa hubungan interelasi (saling hubungan) maupun
interdependensi (saling ketergantungan).
4. Bersifat universal, artinya kebenarannya tidak terbatas oleh waktu, ruang, keadaan,
situasi, kondisi maupun jaman tertentu.
Sementara itu van Melsen mengemukakan beberapa ciri yang menandai ilmu pengetahuan:
1. Secara metodis harus mencapai suatu keseluruhan, yang secara logis koheren. Ini berarti
menyangkut metode maupun susunannya yang logis;
2. Tanpa pamrih karena hal itu erat kaitannya dengan tanggung jawab ilmuwan;
3. Adanya universalitas dalam ilmu pengetahuan;
4. Adanya obyektivitas, artinya tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subyektif;
5. Harus diverifikasi oleh penelitian ilmiah yang bersangkutan dengannya. Karena itu, ilmu
pengetahuan harus dapat dikomunikasikan;
6. Progresif, artinya suatu jawaban baru bersifat ilmiah, bila mengandung pertanyaan-
pertanyaan baru yang menimbulkan problema baru lagi;
7. Kritis, artinya tidak ada teori ilmiah yang definitif, setiap teori terbuka bagi suatu
tinjauan kritis yang memanfaatkan data baru;
8. Ilmu pengetahuan harus dapat digunakan sebagai perwujudan keberaturan antara teori
dengan praktis.
Sedangkan Sondang Siagian menyatakan, ilmu (pengetahuan) dapat didefinisikan sebagai
suatu obyek ilmiah yang memiliki sekelompok prinsip, dalil dan rumusan, yang melalui percobaan
sistematis berulang kali, telah teruji kebenarnya. Wim van Dooren, mendefinisikan ilmu sebagi
pengetahuan yang sah secara intersubyektif dalam bidang kenyataan tertentu, yang bertumpu pada
satu atau lebih titik tolak dan ditata secara sistematis.
Menurut Undang-Undang No. 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi Pasal 1 angka 3:
Ilmu Pengetahuan adalah rangkaian pengetahuan yang digali, disusun dan dikembangkan secara
sistematis dengan menggunakan pendekatan tertentu, yang dilandasi oleh metodologi ilmiah untuk
menerangkan gejala alam dan/atau kemasyarakatan tertentu. Dalam perkembangan ilmu
pengetahuan, ilmu satu dengan yang lain saling berhubungan bahkan setiap hubungannya tidak
sebatas sebagai pelengkap namun bisa juga atau bahkan menjadi suatu yang besifat inherent. Hal
demikian karena perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi dan komunikasi sehingga
menimbulkan permasalahan yang begitu kompleks pada kehidupan manusia. Dalam memahami
sesuatu tidak cukup hanya menggunakan satu pendekatan saja, melainkan dibutuhkan suatu
pendekatan yang bersifat holistik, artinya dalam memahami realitas khususnya berkaitan dengan
manusia perlu suatu pendekatan interdisipliner ilmu. Pendekatan ini sangat relevant bila mengkaji
suatu masalah manusia yang begitu kompleks. Manusia sebagai makhluk berkesadaran, sehingga
mampu berpikir, berkehendak dan berperasaan. Dengan berpikir manusia mendapat ilmu
pengetahuan, dengan berkehendak manusia dapat mengarahkan perilakunya dan dengan
berperasaan manusia dapat mencapai kesenangan. Dari hal tersebut, ilmulah yang mendapat
tempat pertama dalam kehidupan manusia. ilmu diartikan sebagai kegiatan intelektual manusia,
dalam kaitannya kehadiran alam dan kehidupan di sekelilingnya. Masalah manusia yang begitu
kompleks misalnya kriminlogi sebagai gejala perilaku manusia.

Induk Kriminologi adalah Filsafat Antropologi


Kriminologi mempelajari kejahatan sebagai tindakan manusia atau fenomena manusia,
maka kriminologi berinduk pada filsafat antropologi sebagai salah satu cabang filsafat. Filsafat
bertanya tentang seluruh kenyataan, sekali gus menjadi titik focus penyelidikannya. Filsafat selalu
bersifat “mencari hakekat tentang sesuatu tertentu”: Filsafat tentang manusia, filsafat tentang alam,
filsafat tentang ilmu dan sebagainya.
Semua jenis filsafat suatu obyek tertentu, dapat dikembalikan ke lapangan-lapangan atau
cabang-cabang filsafat menurut persoalan yang dihadapi yang disebut pembagian filsafat atau
sistematika filsafat. Agar obyek-obyek tertentu atau salah satu obyek tertentu dapat dikaji secara
seksama. Atau dapat memberi petunjuk dari mana hendak dimulai dan bagaimana membahasnya.
Sistematika Filsafat pada jaman modern ini, “menurut ENSIE” (Eerste Nederlandsche
Systematich Ingerichte Encyclopaedie) adalah:
a. Filsafat Teoritis, meliputi: (1). Logika. (2). Metafisika (ontologi). (3). Filsafat alam
(kosmologi). (4). Filsafat tentang manusia (antropologi).
b. Filsafat Praktis. Terdiri dari : (1). Etika. (2). Filsafat agama. (3). Filsafat kebudayaan..
Dewasa ini salah satu sistematika filsafat yang dianggap paling baik ialah yang disusun oleh Staf
Redaksi Encyclopaedie ENSIE) yang mengadakan pembagian filsafat menjadi 9 (sembilan)
macam cabang yaitu: Metafisika, Logika, Filsafat mengenal,
Filsafat Pengetahuan, Filsafat Alam, Filsafat Kebudayaan, Etika, Estetika dan Antropologi.
Kriminologi termasuk dalam Filsafat tentang manusia atau Filsafat Antropologi.
Dari 2 (dua) contoh sistematika filsafat di atas menunjukkan bahwa setiap ahli filsafat dapat
membuat sistematika sendiri yang khusus dan tidak sama dengan pembagian ahli filsafat yang lain.
Namun perlu diinsyafi bahwa pembagian (sistematika) yang demikian itu tidak perlu menimbulkan
penyimpulan bahwa dalam filsafat tidak ada sistematika yang seragam, yang baik dan teratur.
Filsafat mencari hakikat kebenaran dari segala-galanya. Mencari kebenaran dalam cara
berpikir dapat menimbulkan “logika”. Mencari kebenaran dalam cara berperilaku dapat
menimbulkan “etika”, kebenaran dalam etika disebut “kebaikan” (sedang yang salah dalam etika
disebut “keburukan atau tercela”). Kebenaran dalam mencari keaslian (hakikat) dalam alam
menimbulkan “metafisika”. Sehingga persoalannya menjadi apakah sesuatu itu hakiki (asli) atau
bukan hakiki (palsu) atau sekedar maya (kesamar-samaran). Persoalan logika meluas sampai ke
semua hasil pemikiran. Bukan lagi soal yang mana berpikir yang “benar” dan mana yang berpikir
“tidak benar”, namun menjadi meluas pada bagaimana mendapatkan “pengenalan yang
benar”(kenleer) dan bagaimana pula menyimpulkan suatu “pengetahuan yang benar”
(wetenschapsleer).
Teori-teori tentang pengenalan yang benar dan pengetahuan yang benar menjadi meluas
sehingga menjadi cabang-cabang dari filsafat yang dinamakan filsafat mengenal dan filsafat
pengetahuan. Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa ilmu adalah untuk kenyataan, bukan
sebaliknya kenyataan untuk ilmu. Apabila kenyataan untuk ilmu, kenyataan itu akan dimanipulasi
sehingga cocok dengan ilmu dan teori yang ada. Kalangan ilmuwan berpendapat bahwa kesahihan
pengetahuan ilmiah mengharuskan seluruh cara kerja ilmiah diarahkan untuk memperoleh derajat
kepastian yang setinggi mungkin pada pengetahuan yang dihasilkan. Ini berarti bahwa pemahaman
yang akan diuji dalam suatu cara kerja ilmiah, harus
pertama kali dapat dibenarkan secara apriori (sebelum teruji melalui metode ilmiah). Pemahaman
ini dapat berasal dari pengetahuan hasil tangkapan empirik (menggunakan kelima indera, dengan
atau
PERBEDAAN, PERSAMAAN, DAN KETERKAITAN
KRIMINOLOGI DENGAN HUKUM PIDANA

PERBEDAAN
Kriminologi (criminology) atau ilmu kejahatan sebagai disiplin ilmu sosial atau non-
normative discipline yang mempelajari kejahatan dari segi sosial. Kriminologi disebut sebagai
ilmu yang mempelajari manusia dalam pertentangannya dengan norma-norma sosial tertentu,
sehingga kriminologi juga disebut sebagai sosiologi penjahat. Kriminologi berusaha untuk
memperoleh pengetahuan dan pengertian mengenai gejala sosial di bidang kejahatan yang terjadi
di dalam masyarakat, atau dengan perkataan lain mengapa sampai terdakwa melakukan perbuatan
jahatnya itu.
Kriminologi menurut Enrico Ferri berusaha untuk memecahkan masalah kriminalitas
dengan telaah positif dan fakta sosial, kejahatan termasuk setiap perbuatan yang mengancam
kolektif dan dari kelompok yang menimbulkan reaksi pembelaan masyarakat berdasarkan
pertimbangannya sendiri. Kriminologi mempelajari kejahatan sebagai fenomena sosial sehingga
sebagai perilaku kejahatan tidak terlepas dalam interaksi sosial, artinya kejahatan menarik
perhatian karena pengaruh perbuatan tersebut yang dirasakan dalam hubungan antar menusia.
Andaikan seseorang yang oleh masyarakatnya dinyatakan telah berbuat jahat, maka perbuatan
seperti itu bila dilakukan terhadap dirinya sendiri –misalnya mengambil barang miliknya untuk
dinikmati- atau perbuatan tersebut dilakukan terhadap hewan-hewan di hutan bebas- misalnya
menganiaya babi hutan yang ditangkapnya- maka perbuatan itu tidak dianggap jahat dan perilaku
itu tidak menarik perhatian. Kriminologi lebih mengutamakan tindakan preventif oleh karena itu
selalu mencari sebab-sebab timbulnya suatu kejahatan baik di bidang ekonomi, budaya, hukum
serta faktor alamiah seseorang, dengan demikian dapat memberikan break through yang tepat serta
hasil yang memuaskan. Kriminologi lebih banyak menyangkut masalah teori yang dapat
mempengaruhi badan pembentuk undang-undang untuk menciptakan suatu undang-undang yang
sesuai dengan rasa keadilan masyarakat serta mempengaruhi pula hakim di dalam menjatuhkan
vonis kepada tertuduh. Kriminologi dengan cakupan kajiannya; a. orang yang melakukan
kejahatan; b. penyebab melakukan kejahatan; c. mencegah tindak kejahatan; dan d. cara-cara
menyembuhkan orang yang telah melakukan kejahatan.
Hukum pidana (criminal law) sebagai disiplin ilmu normatif atau normative
discipline yang mempelajari kejahatan dari segi hukum, atau mempelajari aturan tentang
kejahatan. Dengan perkataan lain mempelajari tentang tindakan yang dengan tegas disebut oleh
peraturan perundang-undangan sebagai kejahatan atau pelanggaran, yang dapat dikenai hukuman
(pidana). Hukum pidana bersendikan probabilities atau hukum kemungkinan-kemungkinan untuk
menemukan hubungan sebab-akibat terjadinya kejahatan dalam masyarakat. Apabila belum ada
peraturan perundang-undangan yang memuat tentang hukuman yang dapat dijatuhkan pada
penjahat atau pelanggar atas tindakannya, maka tindakan yang bersangkutan bukan tindakan yang
dapat dikenai hukuman (bukan tindakan jahat atau bukan pelanggaran). Pandangan ini bersumber
pada asas Nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali.
Hukum pidana berusaha untuk menghubungkan perbuatan jahat dengan hasil pembuktian
bahwa ia melakukan perbuatan tersebut untuk meletakkan
criminal responsibility. Hukum pidana lebih banyak menyangkut segi praktek, oleh karena baru
dipergunakan setelah timbulnya suatu perbuatan jahat, jadi lebih menekankan pada tindakan
represif. Hasilnya kurang memuaskan, oleh karena penjatuhan pidana itu belum tentu sesuai
dengan sebab timbulnya kejahatan itu sendiri, sebab yang menjadi
dasar pemeriksaan dipersidangan adalah surat dakwaan jaksa yang umumnya disusun atas dasar
keterangan serta pembuktian lahiriah.
Obyek kriminologi (orang dalam pertentangan dengan norma-norma sosial), sedangkan obyek
hukum pidana (pelanggaran ketertiban hukum) sehingga dengan sendirinya menimbulkan juga
perbedaan pengertian “kejahatan” menurut kriminologi dan menurut hukum pidana. Karena
kriminologi sebagai suatu ilmu yang berdiri sendiri di samping hukum pidana, maka mempunyai
definisi sendiri tentang apa yang disebut kejahatan. Kejahatan menurut kriminologi adalah
tindakan manusia dalam pertentangannya dengan beberapa norma yang ditentukan oleh
masyarakat di tengah manusia itu hidup. Kejahatan sebagai tindakan manusia dan sebagai gejala
sosial. Sementara itu, Hukum pidana memusatkan perhatiannya terhadap pembuktian suatu
kejahatan, sedangkan kriminologi memusatkan perhatiannya pada faktor-faktor penyebab
terjadinya kejahatan. Kriminologi ditujukan untuk mengungkapkan motif pelaku kejahatan
sedangkan hukum pidana ditujukan kepada hubungan antara tindakan dan akibatnya (hukum
kausalitas). Faktor motif dapat ditelusuri dengan bukti-bukti yang memperkuat adanya niat
melakukan kejahatan. van Bemmelen menyebutkan bahwa kriminologi sebagai
faktuelestrafrechtwissenschaft sedangkan hukum pidana sebagai normativestrafrechtwissenschaft.
Dengan demikian, dilihat dari pandangan dan pendapat tentang apa yang dimaksud
kriminologidengan hukum pidana, tampak seakan tidak ada kaitannya.

PERSAMAAN
Hukum pidana dan kriminologi secara tegas berhubungan langsung dengan pelaku
kejahatan, hukuman dan perlakuannya. Perbuatan jahat itu perlu diambil tindakan preventif mapun
represif dengan tujuan agar penjahat jera atau tidak mengulangi lagi perbuatannya.
Hukum pidana dan kriminologi atas beberapa pertimbangan merupakan
instrument dan sekaligus alat kekuasaan negara dalam menjalankan tugas dan wewenangnya
memiliki korelasi positif. Beberapa pertimbangan tersebut antara lain bahwa keduanya (hukum
pidana dan kriminologi) berpijak pada premis yang sama, yaitu;
1. Negara merupakan sumber kekuasaan dan seluruh alat perlengkapan negara merupakan
pelaksanaan dari kekuasaan negara;
2. Hukum pidana dan kriminologi memiliki persamaan persepsi bahwa masyarakat luas
adalah bagian dari obyek pengaturan oleh kekuasaan negara bukan subyek (hukum) yang
memiliki kedudukan yang sama dengan negara;
3. Hukum pidana dan kriminologi masih menempatkan peranan negara lebih dominan
daripada peranan individu dalam menciptakan ketertiban dan keamanan sekali gus sebagai
perusak ketertiban dan keamanan itu sendiri.

KETERKAITANNYA :
Secara teoritik kedua disiplin ilmu tersebut dapat dikaitkan karena hasil analisis
kriminologi banyak manfaatnya dalam kerangka proses penyidikan atas terjadinya suatu kejahatan
yang bersifat individual, akan tetapi secara praktek sangat terbatas sekali keterkaitan dan
pengaruhnya.
Bianchi mengatakan keterkaitan kriminologi dengan hukum pidana, bahwa kriminologi
sebagai metascience dari hukum pidana. Kriminologi suatu ilmu yang lebih luas daripada hukum
pidana, di mana pengertian-pengertiannya dapat digunakan untuk memperjelas konsep-konsep dan
masalah-masalah yang terdapat dalam hukum pidana. Jelasnya bahwa metascience di atas bukan
hanya pelengkap terhadap hukum pidana bahkan merupakan disiplin yang utama daripadanya.
Karena kejahatan tidak hanya meliputi aspek yurididis dan sosiologis, melainkan pula meliputi
kejahatan dalam arti agama dan moral.
Kriminologi adalah suatu ilmu empiris yang ada kaitannya dengan kaidah hukum. Ilmu
tersebut meneliti tentang kejahatan serta proses-proses formal dan
informal dari kriminaliisasi maupun dekriminalisasi. Disamping itu, dpelajari juga : (a). keadaan
dari golongan-golongan yang menjadi penjahat serta yang menjadi korban kejahatan, (b).sebab-
sebab kejahatan, (c). reaksi-reaksi formal dan informal terhadap kejahatan maupun pihak-phak
lain yang ada kaitannya dengan proses kejahatan.
Dalam kaitannya dengan dogmatik hukum pidana, maka kriminologi memberikan
kontribusinya dalam menentukan ruang lingkup kejahatan atau perilaku yang dapat dihukum.
Dengan demikian maka hukum pidana bukanlah merupakan suatu silogisme dari pencegahan, akan
tetapi merupakan suatu jawaban terhadap adanya kejahatan.

Anda mungkin juga menyukai