Anda di halaman 1dari 19

Imunitas Kedaulatan Negara

Oleh:
Kelompok

:3

Nama Anggota

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah Imunitas
Kedaulatan Negara ini meskipun banyak kekurangan di dalamnya.
Penulis sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah
wawasan serta pengetahuan kita mengenai hukum internasional khusunya mengenai
imunitas kedaulatan negara. Penulis juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam
makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,
penulis berharap adanya kritik dan saran demi perbaikan makalah yang akan penulis
buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa
saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang
membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi penulis
sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya penulis mohon maaf apabila
terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan.

Makassar, November 2015

Penyusun

DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................

DAFTAR ISI.....................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN ..........................................................................

A.

Latar Belakang............................................................................

B.

Rumusan Masalah ......................................................................

C. Tujuan Penulisan.........................................................................

BAB II PEMBAHASAN..............................................................................

A. Definisi dan Perkembangan Imunitas Kedaulatan Negara ........

B. Perbedaan Iure Imperii dan Iure Gestiones................................

11

C.Persamaan dan Perbedaan Tindakan Negara dan Imunitas Kedaulatan


Negara.............................................................................................

13

BAB III PENUTUP ....................................................................................

18

A.

Kesimpulan................................................................................. 18

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................

20

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara merupakan sebuah lembaga yang memiliki kewenangan untuk mengatur
setiap orang benda ataupun peristiwa yang terjadi di wilayahnya serta berhak untuk
mengadakan hubungan dengan pihak lain di luar wilayahnya, baik dengan sesama
negara maupun subjek hukum lainnya. Kewenangan negara untuk mengatur setiap
orang, benda dan peristiwa di wilayahnya diwujudkan dengan pemberlakuan hukum
secara khusus di wilayahnya atau yurisdiksi.
Berkaitan dengan hubungan suatu negara dengan negara lain, dalam hukum
internasional seorang kepala negara, perwakilan diplomatik ataupun pejabat tinggi
Negara, memiliki imunitas yang membuatnya kebal dari yurisdiksi hukum negara
lain. Imunitas atau hak kekebalan tersebut dikenal dengan imunitas diplomatik,
imunitas negara dan imunitas kepala negara yang merupakan perpanjangan dari
kedua imunitas tersebut.
Pemberian hak kekebalan atau hak imunitas pada prinsipnya didasarkan pada asas
resiprositas/resiprokal atau asas timbal balik antar negara (the principle of
reciprocity). Tujuan diberikannya hak imunitas ini adalah agar tercipta hubungan
persahabatan yang baik antara negara pengirim maupun negara penerima serta
merupakan perwujudan penghargaan atas kepercayaan negara pengirim terhadap
negara penerima. Pemberian imunitas ini juga mutlak diperlukan untuk menjamin
terlaksananya tugas dari para perwakilan diplomatik secara efisien, terutama dalam
tugas dari negara yang diwakilinya.
Kajian mengenai imunitas kedaulatan negara ini juga berkembang karena adanya
permasalahan proses peradilan terhadap persengketaan niaga yang tidak dapat
dilaksanakan, sehingga diterapkan perbedaan mengenai perbuatan publik atau
pemerintahan dari Negara.
4

Berdasarkan pemaparan di atas, maka makalah ini akan membahas lebih rinci
mengenai imunitas kedaulatan Negara.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini, yaitu:
1. Bagaimana definisi dan perkembangan imunitas kedaulatan negara?
2. Apa perbedaan Iure Emperit dan Iure Gestiones?
3. Apa saja persamaan dan perbedaan antara tindakan negara dan imunitas
kedaulatan negara?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1. Untuk mengetahui definisi dan perkembangan imunitas kedaulatan negara.
2. Untuk mengetahui perbedaan Iure Emperit dan Iure Gestiones.
3. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara tindakan negara dan
imunitas kedaulatan negara.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi dan Perkembangan Imunitas Kedaulatan Negara
Pengertian Imunitas
Secara umum imunitas merupakan tejemahan dari kata immunity yang berarti
kekebalan. Kekebalan berasal dari kata kebal yang dalam bidang hukum artinya tidak
dapat dituntut.
Sementara itu dalam hukum internasional istilah imunitas atau immunity dikenal
sebagai aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum mengenai hak-hak yang dimiliki
oleh kategori orang-orang atau badan-badan tertentu, yang berdasarkan hukum
internasional memperoleh kekebalan atau dikecualikan dari yurisdiksi negara lain.
Menurut James R. Fox dalam buku Dictionary of International and Comparative
Law, imunitas adalah kebebasan dari kontrol luar hak yang telah ada dan dimiliki
oleh setiap negara berdaulat dari proses hukum atau aspek-aspek lainnya dari
yurisdikai teritorial negara lain.
Pengertian Kedaulatan Negara
Menurut sejarah, asal kata kedaulatan yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan
istilah souvereignity berasal dari kata Latin superanus berarti yang teratas. Negara
dikatakan berdaulat atau souvereign karena kedaulatan merupakan suatu sifat atau ciri
hakiki Negara. Bila dikatakan bahwa Negara itu berdaulat, dimaksudkan bahwa
Negara itu mempunyai kekuasaan tertinggi.
Menurut asal katanya, kedaulatan memang berarti kekuasaan tertinggi. Negara
berdaulat memang berarti bahwa Negara itu tidak mengakui suatu kekuasaan yang
lebih tinggi dari pada kekuasaannya sendiri. Ruang berlaku kekuasaan tertinggi ini
dibatasi oleh batas wilayah Negara itu, artinya suatu Negara hanya memiliki
kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayahnya.
Pengertian Imunitas Kedaulatan Negara
6

Imunitas negara (State Immunity) atau dapat pula disebut juga dengan Imunitas
kedaulatan negara (Sovereign State Immunity) merupakan salah satu bentuk
perlindungan bagi sebuah negara terhadap segala tuntutan hukum di pengadilan
negara lain. Ketentuan hukum dari bidang ini berkitan dengan proses hukum yang
terjadi di negara lain dan bukan di pengadilan nasional sebuah negara. Hal ini
dikarenakan bahwa suatu Negara tidak dapat diadili di negaranya sendiri dan di
negara lain. Imunitas ini muncul berdasarkan hukum kebiasaan internasional sebagai
penghormatan kedaulatan negara yang satu dengan negara lainnya dan mutlak
dimiliki oleh setiap negara.
Selain itu, bidang ini juga merupakan perkembangan dari pandangan atau
pendapat yang menyatakan bahwa peradilan terhadap suatu negara atau utusannya
merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap kedaulatan negara tersebut.
Pandangan ini berkaitan dengan adanya prinsip bahwa setiap negara kedudukannya
sama sebagai Negara Berdaulat (Equality as a Sovereign State) dan prinsip Par In
Parem Non Habet Imperium yaitu bahwa suatu Negara tidak dapat memberlakukan
hukum nasionalnya terhadap negara lain.
Selain dari kedua prinsip tersebut, terdapat pula prinsip lain yang menyatakan
bahwa para pihak yaitu Negara-Negara yang bersengketa kedudukannya sama dan
tidak dapat menyelesaikan sengketanya di pengadilan salah satu pihak yang
bersengketa (Par In Parem Non Habet Jurisdiction Em).
Beberapa ahli hukum memberikan gambaran atau pandangan mengenai Imunitas
negara. Menurut pendapat Shaw, sebuah negara semenjak merdeka dan memiliki
kedaulatannya secara hakiki maupun secara praktis tidak dapat diadili sehingga
pengadilan di negara lain tidak dapat melaksanakan kekuasaannya tanpa persetujuan
dari negara tersebut.
Pandangan lainnya mengenai Imunitas Negara adalah yang menyatakan a State
was immune for all purpose and in all proceedings from (suatu Negara adalah kebal
terhadap setiap penuntutan dan peradilan). Dengan perkataan lain the national court

has no competence to assert jurisdiction (pengadilan nasional tidak berwenang


untuk melaksanakan kwenangan hukumnya terhadap Negara lain).
Pandangan-pandangan tersebut secara tegas telah memberikan gambaran
mengenai Imunitas Negara bahwa Negara dasarnya tidak dapat dituntut atau diadili di
penadilan negara lain.
Perkembangan Imunitas Kedaulatan Negara
Pertama kali konsep Imunitas Negara diperkenalkan pada abad 18 (delapan
belas). Pada abad ke-18 (kedelapan belas) padangan mengenai Imunitas bermula dari
pemikiran bahwa Kepala Negara, perwakilan diplomatik, atau kapal milik Negara
memiliki kekebalan (imunity) terhadap kewenangan pengadilan, baik terhadap proses
peradilan atau mengenai kepemilikan atas harta benda yang dimiliki oleh Negara.
Pada abad ini Imunitas Negara pertama kali diperkenalkan oleh Hakim C.J Marshall
dalam kasus The Schooner Exchange v. McFaddon (1812) yang menyatakan bahwa
setiap Negara tidak memiliki kewenangan untuk tidak mengadili tindakan Negara
dalam melaksanakan tugasnya.
Pada abad ini, Imunitas Negara dikonsepkan dengan pandangan bahwa seorang
Raja tidak dapat diadili atas setiap perbuatannya, baik oleh pengadilan di Negaranya
maupun pengadilan di Negara lain karena perbuatan tersebut dianggap sebagai
permusuhan maupun sebagai menguasai kekauasaan Negara tersebut, sebagaimana
dalam kasus Victory Transport Inc v. Comisaria General De Abastecimientos Y
Transportes (1964). Dengan perkataan lain, seorang Raja tidak pernah berbuat salah
dalam hal setiap perbuatan dan tindakannya atau King can do no wrong (princes
legibus solutus).
Pada abad ini berlaku kekuasaan dari kedaulatan yang mutlak sehingga Negara
tidak dapat dimintai pertanggung jawaban dihadapan pengadilan baik pengadilan
dalam negeri maupun pengadilan di Negara lain atas setiap tindakannya. Pada abad
ini pula terhadap penerapan Imunitas Negara, tidak ada kesepakatan atau prinsip yang
menentang pandangan tersebut bagi pelaksanaan putusan pengadilan di suatu negara

terhadap negara lain, termasuk pula terhadap hasil negosiasi diplomatik, putusan
badan arbiterase bahkan putusan penyelesaian sengketa pada tingkat internasional.
Pada tahap perkembangan tahap selanjutnya timbul permasalahan mengenai
pelaksanaan Imunitas Negara. Permasalahan tersebut adalah ketika negara terlibat
dalam kegiatan perniagaan. Pada abad ke-19, banyak negara mulai terlibat dalam
kegiatan perusahaan. Pada abad tersebut, negara bertindak layaknya pengusaha,
bertindak dalam hal memonopili bidang perdagangan, pengoperasian jaln kereta api
(operating railway) pelayaran hingga jasa pengiriman surat. Bahkan pada abad ke19, negara terlibat secara langsung dalam hal pertumbuhan ekonomi yang dilakukan
oleh negara secara langsung, melalui pemerintahan Negara bagian (subdivisions),
pejabat negara, hingga badan-badan hukum milik negara (instrumentalities).
Pada abad ke-19 tersebut, terutama pada masa Perang Dunia Pertama Negaranegara Sosialis dan Komunis berkuasa penuh dalam perekonomian nasionalnya.
Negara-negara tersebut tidak memberikan upaya hukum berdasarkan hukum
nasionalnya (remedy) jika terjadi sengketa dengan negara lain atau organisasi
perdagangan negara lain yang menyebabkan proses peradilan terhadap persengketaan
niaga yang yang muncul tidak dapat dilaksanakan karena adanya Imunitas Negara
dan pengadilan tidak berwenang untuk mengadili persengketaan tersebut.
Akibat dari permasalahan tersebut, timbul tekanan untuk membuat suatu
pembedaan secara realistis dan pragmatis mengenai perbuatan publik atau
pemerintahan dari negara, karena negara dapat saja menolak untuk dimintai
pertanggungjawaban atas setiap sengketa yang muncul dalam bidang perniagaan.
Pembedaan tersebut adalah pembedaan berdasarkan tindakan yang dilakukan oleh
negara yaitu perbuatan yang merupakan tindakan pemerintahan (jure imperii) dengan
tindakan yang merupakan perbuatan keperdataan atau perniagaan (jure gestiones) di
mana pembedaan yang kedua merupakan penolakan terhadap penerapan kekebalan
terhadap kewenangan (jurisdiksi) pengadilan negara lain.

Pembedaan tersebut

dibentuk pada abad kesembilanbelas. Pada abad ini dibedakan pula mengenai
tindakan penguasa dan negara, antara kewenangan publik atau pemerintahan
9

(majestas) dan perbuatan keperdataan dan Imunitas negara hanya diberikan kepada
negara.
Perkembangan daripada Imunitas Negara yang ditandai dengan pembedaan
mengenai tindakan tersebut, muncul berbagai perjanjian internasional mengenai
pelaksanaan Imunitas Negara. Negara yang pertama kali berhasil mengembangkan
mengenai pembedaan tindakan negara antara tindakan negara yang merupakan
pelaksanaan tugas kenegaraan atau pemerintahan dengan tindakan negara yang
merupakan perbuatan keperdataan adalah Italia dan Belgia.
Akibat daripada pembedaan anatara tindakan kenegaraan dan tindakan atau
perbuatan keperdataan tersebut, semenjak abad ke-19, banyak negara menjadi pihak
yang dimintai pertanggungjawaban di muka pengadilan.

Dengan demikian,

penerapan Imunitas Negara hanya terbatas pada keperdataan dan pemberlakuan


mengenai doktrin baru mengenai pelaksanaan Imunitas Negara yaitu Doktrin
Restriktif (restrictive doctrine) yang membedakan antara perbuatan Negara, namun
tetap mengakui akan penerapan doktrin absolut (Absolute Doctrine) yang sebelumnya
yaitu pada abad ke-18 pertama kali diperkenalkan.
Perjanjian internasional yang mengatur mengenai pembatasan penerapan Imunitas
Negara tersebut pertama kali adalah Konvensi Brussels 1926 (Brussels Convention of
1926) mengenai kewenangan untuk mengadili kapal niaga milik negara dan kapal
milik negara yang digunakan untuk perdagangan sehingga pengadilan negara
manapun dapat mengadili Negara tersebut karena statusnya menjadi subjek hukum
privat (private persons).
Perkembangan selanjutnya mengenai Imunitas Negara yang dimulai pada abad
ke-19 adalah pembedaan antara Imunitas Negara dengan hak kekebalan atau hak
imunitas yang dimiliki oleh utusan perwakilan diplomatik negara dikarenakan tugas
daripada utusan tersebut sebagai utusan negara.
B. Perbedaan Iure Emperit dan Iure Gestiones
Jure Imperii
10

Tindakan Negara yang bersifat publik atau disebut pula jure imperii merupakan
tindakan negara dalam menjalankan tugas kenegaraan atau pemerintahan yaitu
menjalankan kekuasaan negara dan kewenangan pemerintahan. Tindakan negara
yang termasuk dalam jure imperii adalah :
1. Menjalankan fungsi legislatif dan yudikatif (judicional functions) dalam hal
membentuk dan menegakkan (preserve) hukum dan ketertiban (order),
2. Menjalankan hukum dan pemerintahan (administrative) dalam kerangka
hubungan

internasional

dan

mengadakanhubungan

diplomatik

serta

pertahanan.
Dalam kasus Victory Transport Inc v. Comisaria General De Abastecimientos Y
Transportes (1964) menetapkan bahwa tindakan Negara yang merupakan jure imperii
adalah tindakan dalam hal menjalankan kedaulatan Negara yaitu tindakan
administratif seperti pengusiran (expulsion) orang asing tindakan di bidang legislatif
termasuk adalah nasionalisasi, tindakan dalambidang angkatan bersenjata, tindakan
dalam bidang diplomatik dan pinjaman Negara (public loans).
Jure Gestionis
Tindakan Negara yang bersifat privat (keperdataan) atau disebut dengan jure
gestionis merupakan tindakan negara dalam bidang keperdataan.

Jure gestionis

disebut pula dengan jure privatorium atau transaksi perdagangan (commercial


transactions) yaitu negara terlibat dalam kegiatan perdagangan atau tndakan-tindakan
selain bidang pemerintahan di wilayah negara lain sehingga negara tersebut harus
patuh kepada pelaksanaan hukum dari negara lain tersebut. Tindakan negara yang
termasuk dalam jure gestionis adalah:
1. Kegiatan perdagangan untuk tujuan mencari laba meskipun laba terebut
menjadi bagian dari anggaran belanja Negara (public budgets) atau dimasukan
ke dalam kas Negara (funds);
2. Kontrak pengadaan barang atau jasa meskipun barang atau jasa tersebut
diperuntukan bagi kepentingan Negara (public purposes), seperti pengadaan

11

peralatan

bagi

angkatan

bersenjata,

pembangunan

kubu

pertahanan

(constructing fortification), pelabuhan dan sarana komunikasi publik;


3. Pinjaman uang, yaitu setiap pinjaman atau transaksi keuangan atau
penjaminan (guarantee) atau ganti rugi (indemnity) dalam bidang pinjaman
atau transaksi keuangan;
4. Hak kekayaan intelektual atau hak kekayaan industri seperti paten, desain
industri, merek, rahasia dagang (business name) atau hak-hak lain yang
serupa;
5. Kontrak tenaga kerja (contracts for employment) untuk penyediaan tenaga
kerja di luar bidang pemerintahan suatu Negara;
6. Hak yang timbul dari keanggotaan dalam perusahaan, perkumpulan niaga
(association), persekutuan dagang (partnership), atau badan hukum (legal
entity) yang tidak dibentuk untuk tujuan menjalankan kedaulatan Negara.
Dengan demikian, konsep penting dalam hukum sebagai bertindak dicirikan
sebagai jure imperii biasanya dibebaskan dari penilaian atau kerusakan diberikan oleh
pengadilan negara lain; sedangkan tindakan ditafsirkan sebagai gestionis jure tidak
mendapatkan keuntungan dari kekebalan seperti itu.
Amerika Serikat menegaskan bahwa perbedaan harus dibuat antara bertindak jure
imperii dan bertindak gestionis jure dalam menentukan apakah salah satu
pengecualian untuk kekebalan di bawah undang-undang negara asing kekebalan
(imunitas UU Negara) berlaku. Kekebalan tergantung pada sifat dari perilaku yang
mendasari klaim.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka perbedaan antara tindakan negara yang
bersifat public (Jure Imperii) dan tindakan negara yang bersifat keperdataan (Jure
Gestionis), yaitu:
Negara sebagai Jure Imperii:
1. Status negara sebagai negara yang melakukan tindakan-tindakan dibidang
publik.
12

2. Negara memiliki imunitasi sehingga tindakannya dibidang publik tidak akan


dapat diuji atau di adili di depan forum pengadilan nasional asing atau
arbitrase komersial.
3. Kedudukan negara sebagai pihak regulator dalam kapasitasnya sebagai negara
yang berdaulat.
Negara sebagai Jure Gestionis:
1. Status negara sebagai pihak yang melakukan tindakan-tindakan dibidang
keperdataan atau dagang.
2. Negara dianggap telah menanggalkan imunitas (waiver of immunity) sehingga
tindakannya sebagai pedagang/privat dapat diselesaikan dihadapan badan
peradilan umum / arbitrase (nasional maupun asing).
3. Kedudukan negara dengan para pihak lainnya bersifat seimbang, sama-sama
swasta. Prinsip equality of the parties.
C. Persamaan dan Perbedaan tindakan Negara dan Imunitas Kedaulatan
Negara
Doktrin Imunitas Kedaulatan Negara (Sovereign Immunity)
Pada permulaan perkembangan adanya suatu imunitas negara telah diterima,
bahwa suatu negara secara mutlak tidak dapat digugat di hadapan forum hakim
negara lain. Praktik demikian didasarkan atas suatu teori absolute immunity (Imunitas
yang mutlak). Perkembangan praktik negara-negara (yurisprudensi pengadilan)
membuktikan bahwa teori imunitas absolut ini sudah tidak dipertahankan lagi secara
ketat.
Perlindungan suatu negara dalam bentuk imunitas kedaulatannya hanya diberikan
apabila negara bersangkutan telah bertindak dalam kualitasnya sebagai negara
(sebagai suatu kesatuan politis).
Dalam keadaan inilah suatu negara dalam status iure imperii. Perlindungan
tidak diberikan oleh suatu negara asing terhadap suatu kepentingan negara nasional
13

apabila negara nasional tersebut berada dalam status iure gestionis yaitu sebagai
suatu pedagang yang melakukan suatu commercial act.
Terhadap

konsep

kekebalan

negara

sebagian

ahli memandang

adanya

perkembangan yang dapat mengubah konsep klasik kekebalan negara, karena


turut campurnya negara dalam bidang perekonomian nasional dan internasional
yang semakin meluas. Keadaan ini merupakan latar belakang sosial perubahan
konsep kekebalan negara yang merupakan perubahan sifat, dan fungsi negara pada
umumnya.

Seperti, pembentukan perusahaan-perusahaan milik negara, monopoli

perdagangan asing dan berbagai bentuk perdagangan yang dilakukan oleh negara,
menyebabkan perubahan-perubahan penting dalam hukum kekebalan negara.
Namun yang terpenting adalah bahwa kekebalan negara hanya berlaku dalam
kasus-kasus di mana kekebalan negara dapat berfungsi menjamin kepentingan negara
atau kepentingan masyarakat internasional secara keseluruhan, bukan untuk
hubungan ekonomi biasa.

Karena pada umumnya pada hubungan ekonomi

internasional terdapat dua bentuk: (1) Suatu negara dapat menjalin hubungan
langsung dengan negara-negara lain sebagai pemerintah; (2) hubungan melalui
perusahaan-perusahaan negara yang tidak bertindak atas nama negara.
Dalam hal ini yang perlu mendapat perhatian adalah bahwa kedudukan
perusahaan milik negara harus ditentukan berdasarkan lex personalis yaitu atas dasar
hukum negara pemilik, kecuali perusahaan-perusahaan yang didirikan di luar negeri
harus tunduk pada peraturan-peraturan negara bersangkutan. Pengadilan negara Barat
berpendapat bahwa perusahaan-perusahaan milik negara tidak berhak atas kekebalan
di bawah hukum internasional, karena perusahaan negara bukan merupakan kekayaan
umum negara. Oleh karena itu, bagi masalah-masalah lainnya diatur oleh hukum
perdata internasional bukan oleh hukum internasional publik.
Doktrin Tindakan Negara (Act of State)
Doktrin ini merupakan aturan sebagai langkah kedua yang dapat dijadikan
pedoman oleh pengadilan dalam memberikan putusan. Apakah peraturan hukum
negara

asing

dapat

diberlakukan jika negara asing tersebut bertindak dalam


14

yurisdiksinya. Doktrin ini tidak jauh berbeda dengan doktrin kedaulatan, karena
kedua

doktrin

tersebut

pertimbangannya

atas

dasar

yang

sama

yaitu

menghormati kedaulatan negara lain.


Dalam Act of state doctrine ini dikemukakan persoalan mengenai apakah tindakan
atau perbuatan dari suatu negara yang berdaulatan dapat diuji oleh hakim negara lain.
Dengan lain perkataan apakah hakim yang mengadili suatu perkara dapat menguji
keabsahan daripada perbuatan yang didasarkan atas suatu peraturan hukum nasional
negara yang diadili.
Menurut doktrin klasik dari act of state ini maka tindakan suatu pemerintah yang
sah, tidak dapat diuji oleh hakim tersebut. Satu negara yang berkedaulatan harus
menghormati kemerdekaan negara yang berdaulat lainnya. Pengadilan-pengadilan
suatu negara tidak dapat menjadi hakim untuk mengadili perbuatan pemerintah lain
yang telah dilakukan didalam wilayah negaranya sendiri. Cara untuk memperoleh
perbaikan atas perbuatan-perbuatan bersangkutan harus disalurkan melalui kekuasaan
negara itu sendiri.
Pengertian doktrin tindakan negara tidak saja mencakup pelaksanaan kedaulatan
oleh

kekuasaan

eksekutif

atau

administratif dari suatu negara merdeka dan

berdaulat, atau aparat-aparatnya atau pejabat-pejabatnya yang sah. Tetapi merupakan


tindakan-tindakan legislatif dan administratif seperti Undang-undang, dan Peraturan
Pemerintah. Oleh karena itu, doktrin tindakan negara akan muncul dalam berbagai
bentuknya, seperti suatu doktrin pemerintah asing untuk menyita harta kekayaan di
dalam yurisdiksinya yang dipermasalahkan oleh pihak swasta yang mendasarkan
keabsahan haknya atas suatu pembelian dari pemerintah asing.
Di negara-negara Anglo Saxon, Inggris dan Amerika serikat, hakim-hakimnya
telah memegang teguh doktrin tindakan negara ini. Jika suatu tindakan berasal dari
negara berdaulat yang diakui oleh pemerintah negara mereka, maka hakim di negaranegara Anglo Saxon

akan menyatakan tidak berwenang untuk mengadakan

pengujian terhadap perbuatan-perbuatan negara yang telah diakui sebagai negara


berdaulat (iure imperii). Contoh klasik doktrin tindakan negara telah diterapkan pada
15

kasus Luther lawan Sagor di Pengadilan Inggris pada tahun 1921, dari kasus tersebut
dapat disimpulkan bahwa doktrin tindakan negara

tidak memiliki otoritas lebih

tinggi dibandingkan dengan sejumlah putusan Mahkamah Agung Amerika Serikat,


seperti dalam perkara Underhill.
Intinya, prinsip act of state doctrine ini merupakan suatu eksepsi yang selalu
dapat diajukan apabila suatu negara telah dipanggil duhadapan forum pengadilan
asing untuk melakukan pembelaan terhadap perbuatan-perbuatan yang telah
dilakukannya.
Dari penjelasan diantara kedua teori mengenai imunitas negara tersebut, maka
dapat disimpulkan perbedaan diantara keduanya adalah sebagai berikut :
1. Doktrin imunitas mempunyai sangkut paut dengan masalah yurisdiksi,
sebaliknya act of state tidak;
2. Sovereign Immunity adalah asas dalam hukum internasional publik,
sedangkan act of state doctrine tumbuh dari yurisprudensi guna mencegah
tindakan-tindakan hakim dalam bidang yang sensitif;
3. Sovereign immunity hanya dapat diklaim oleh negara-negara yang terlibat
dalam perkara sebagai tergugat. Sebaliknya, act of state doctrine dapat
diklaim oleh negara maupun oleh pihak-pihak swasta, apabila tidak ada
negara yang terlibat dalam perkara yang bersangkutan.
Kaitan atau persamaan antara doktrin act of state dengan Imunitas Negara adalah:
1. Kaitan antara permasalahan (subject- matter) yang dipersengketakan yaitu
tindakan negara dengan jurisdiksi territorial dari pengadilan negara lain.
2. Dan juga kedua doktrin tersebut pertimbangannya atas dasar yang sama
yaitu menghormati kedaulatan negara lain.

16

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan penjelasn materi di atas, maka kesimpulan yang dapat ditarik yaitu:
1. Imunitas kedaulatan negara (Sovereign State Immunity)
merupakan salah satu bentuk perlindungan bagi sebuah negara terhadap
segala tuntutan hukum di pengadilan negara lain.
Pertama kali konsep Imunitas Negara diperkenalkan pada abad 18 (delapan
belas). Pada abad ke-18 (kedelapan belas) padangan mengenai Imunitas bermula
dari pemikiran bahwa Kepala Negara, perwakilan diplomatik, atau kapal milik
Negara memiliki kekebalan (imunity) terhadap kewenangan pengadilan, baik
terhadap proses peradilan atau mengenai kepemilikan atas harta benda yang
dimiliki oleh Negara.
Perkembangan selanjutnya mengenai Imunitas Negara yang dimulai pada
abad ke-19 adalah pembedaan antara Imunitas Negara dengan hak kekebalan
atau hak imunitas yang dimiliki oleh utusan perwakilan diplomatik negara
dikarenakan tugas daripada utusan tersebut sebagai utusan negara.
2. Perbedaan Jure Imperii dan Jure Gestionis, yaitu :
Negara sebagai Jure Imperii yaitu, status negara sebagai negara yang
melakukan tindakan-tindakan dibidang public, negara memiliki imunitasi
sehingga tindakannya dibidang publik tidak akan dapat diuji atau di adili di
depan forum pengadilan nasional asing atau arbitrase komersial, kedudukan
negara sebagai pihak regulator dalam kapasitasnya sebagai negara yang
berdaulat.
Negara sebagai Jure Gestionis yaitu: status negara sebagai pihak yang
melakukan tindakan-tindakan dibidang keperdataan atau dagang, negara
dianggap telah menanggalkan imunitas (waiver of immunity) sehingga
17

tindakannya sebagai pedagang/privat dapat diselesaikan dihadapan badan


peradilan umum / arbitrase (nasional maupun asing), kedudukan negara dengan
para pihak lainnya bersifat seimbang, sama-sama swasta. Prinsip equality of the
parties.
3.

Dari penjelasan diantara kedua teori mengenai imunitas negara

tersebut, maka dapat disimpulkan perbedaan diantara keduanya adalah sebagai


berikut :
a. Doktrin imunitas mempunyai sangkut paut dengan masalah yurisdiksi,
sebaliknya act of state tidak;
b. Sovereign Immunity adalah asas dalam hukum internasional publik,
sedangkan act of state doctrine tumbuh dari yurisprudensi guna
mencegah tindakan-tindakan hakim dalam bidang yang sensitif;
c. Sovereign immunity hanya dapat diklaim oleh negara-negara yang
terlibat dalam perkara sebagai tergugat. Sebaliknya, act of state doctrine
dapat diklaim oleh negara maupun oleh pihak-pihak swasta, apabila tidak
ada negara yang terlibat dalam perkara yang bersangkutan.
Kaitan atau persamaan antara doktrin act of state dengan Imunitas Negara
adalah:
1. Kaitan antara permasalahan (subject- matter) yang dipersengketakan yaitu
tindakan negara dengan jurisdiksi territorial dari pengadilan negara lain.
2. Dan juga kedua doktrin tersebut pertimbangannya atas dasar yang
sama yaitu menghormati kedaulatan negara lain.

18

DAFTAR PUSTAKA
http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/465/jbptunikompp-gdl-dewitriwah-23213-14babxiv-%29.pdf
http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/63340/potongan/S2-2013-321745chapter1.pdf
http://lanlanrisdiana.blogspot.co.id/2013/03/makalah-netralitas-yurisdiksi-dan.html
http://mahendraputra.net/wp-content/uploads/2012/02/BAHAN-KULIAH-HUKUMPERNIAGAAN-INTERNASIONAL-12.pdf
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/24644/3/Chapter%20II.pdf
http://sulipno.blogspot.co.id/2013/04/makalah-imunitas-terhadap-yurisdiksi.html
http://www.academia.edu/5047144/Immunitas_Negara
http://www.duhaime.org/LegalDictionary/J/JureImperii.aspx
https://materikuliahfhunibraw.files.wordpress.com/2012/09/contoh-kasus-negarasebagai-jure-imperii-sekaligus-jure-gestionis.pdf
https://mochamadbasarah.wordpress.com/arsip/

19

Anda mungkin juga menyukai