Anda di halaman 1dari 35

Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Penegakan
Hukum

1
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
DAFTAR ISI

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

1. Pengantar ...................................................................................................................3
2. Penegakan Hukum : inti dan artinya..........................................................................5
3. Undang-undang..........................................................................................................7
4. Penegak Hukum........................................................................................................11
5. Faktor Sarana atau Fasilitas......................................................................................19
6. Faktor Masyarakat....................................................................................................22
7. Faktor Kebudayaan..................................................................................................29
8. Penutup.....................................................................................................................33

Daftar Pustaka.......................................................................................................35

2
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
1 PENGANTAR

Semenjak dilahirkan di dunia, maka manusia telah mempunyai hasrat untuk


hidup secara teratur. Hasrat untuk hidup secara teratur tersebut dipunyainya sejak lahir
dan selalu berkembang di dalam pergaulan hidupnya. Namun, apa yang dianggap teratur
oleh seseorang, belum tentu di anggap teratur juga oleh fihak-fihak lainnya. oleh karena
itu, maka manusia sebagai mahkluk yang senantiasa hidup bersama dengan sesamanya,
memerlukan perangkat patokan, agar supaya tidak terjadi pertentangan kepentingan
sebagai akibat dari pendapat yang berbeda-beda menegenai keteraturan tersebut.
Patokan-patokan tersebut, tidak lain merupakan pedoman untuk berperilaku secara
pantas, yang sebenarnya merupakan suatu harapan .

Patokan-patokan untuk berperilaku pantas tersebut, kemudian dikenal dengan


sebutan norma atau kaidah. Norma atau kaidah tersebut mungkin timbul dari
pandangan-pandangan mengenai apa yang dianggap baik atau dianggap buruk, yang
lazimnya disebut nilai. Kadangkala , norma atau kaidah tersebut timbul dari pola
perilaku manusia (yang ajeg), sebagai suatu abtraksi dari perilaku berulang-ulang yang
nyata.

Norma atau kaidah tersebut, untuk selanjutnya mengatur diri pribadi manusia,
khususnya mengenai bidang-bidang kepercayaan dan kesusilaan. Norma atau kaidah
kepercayaan bertujuan agar manusia mempunyai kehidupan yang beriman, sedangkan
norma atau kaidah kesusilaan bertujuan agar mampu mempunyai hati nurani yang
bersih. Disamping itu, maka norma atau kaidah mengatur pula kehidupan antar pribadi
manusia, khususnya mengenai bidang –bidang kesopanan dan hukum. Norma atau
kaidah kesopanan bertujuan agar manusia mengalami kesenangan atau kenikmatan di dalam
pergaulan hidup bersama dengan orang – orang lain. Norma atau kaidah kesopanan bertujuan
agar tercapai kedamaian di dalam kehidupan bersama, di mana kedamaian berarti suatu
keserasian antara ketertiban dengan ketentraman, atau keserasian antara keterkaitan dengan
kebebasan. Itulah yang menjadi tujuan hukum, sehingga tugas hukum adalah tidak lain
daripada mencapai suatu keserasian antara kepastian hukum dengan kesebandingan hukum.

Kerangka berfikir tersebut di atas, akan dipergunakan sebagai titik pola untk
membicarakan masalah penegakan hukum, khususnya mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhinya. Pendekatan utama yang akan dipergunakan adalah pendekatan sosiologi

3
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
hukum, yang pada hakikatnya juga merupakan cabang ilmu hukum, khususnya ilmu hukum
kenyataan. Analisa terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, akan
dilakukan pada berbagai kasus yang terjadi di Indonesia

4
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
2 PENEGAKAN HUKUM: INTI DAN ARTINYA

Secara konsepsional, maka inti dan arti penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-kaidah yang
mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap
akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan
hidup (Soerjono Soekanto 1979). Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut,
memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkrit.

Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-


pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-
pandanagan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu,
sehingga misalnya, ada pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan
pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya. Di dalam
penegakan hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan: umpamanya, perlu
penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketentraman. Sebab, nilai ketertiban
bertitik tolak pada keterikatan , sedangkan nilai ketentraman titik tolaknya adalaha
kebebasan. Di dalam kehidupannya, maka manusia memerlukan keterikatan, sedangkan
nilai ketenteraman titik tolaknya adalah kebebasan. Di dalam kehidupannya, maka
manusia memerlukan keterikatan keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang
serasi. Apakah hal itu sudah cukup?

Pasangan nilai-nilai yang telah diserasikan tersebut, memerlukan penjabaran


secara lebih konkrit lagi . oleh karena nilai-nilai lazimnya bersifat abstrak. Penjabaran
secara lebih konkrit terjadi didalam bentuk kaidah-kaidah, dalam hal ini kaidah-kaidah
hukum, yang mungkin berisikan suruhan, larangan atau kebolehan. Di dalam bidang
hukum tata negara Indonesia, misalnya, terdapat kaidah-kaidah tersebut yang berisikan
suruhan atau perintah untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu, sedangkan di dalam
bidang hukum perdata ada kaidah-kaidah yang berisikan kebolehan-kebolehan.

Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku


atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memlihara dan
mempertahankan kedamaian. Demikianlah konkretisasi dari pada penegakan hukum
secara konsepsional.

Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan


diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh

5
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi (Wayne LaFavre 1964).
Dengan mengutip pendapat Roscoe Pound, maka LaFavre menyatakan, bahwa pada
hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit)

Atas dasar uraian tersebut diatas dapatlah dikatakan, bahwa gangguan terhadap
penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal”
nilai,kaidah dan pola perilaku. Gangguan tersebut terjadi, apabila terjadi ketidakserasian
antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang
bersimpang siur, dab pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian
pergaulan hidup.

Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-
mata berarti pelaKsanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di
Indonesia kecenderungannya adalah demikia, sehingga pengertian “law enforcement”
begitu populer. Selain dari itu, maka ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan
penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat,
bahwa pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-
kelemahan, apabila pelaksanaan daripada perundang-undangan atau keputusan-
keputusan hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian didalam pergaulan hidup.

Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut diatas dapatlah ditarik suatu


kesimpulan sementara, bahwa masalah pokok daripada penegakan hukum sebenarnya
terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya . Faktor-faktor tersebut
mempunyai arti yang netral, sehingga dampak positif atau negatifnya terrletak pada isi
faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut :

1. Faktor hukumnya sendiri, yang di dalam tulisan ini akan dibatasi pada Undang-
Undang saja.
2. Faktor penegak hukum yakni fihak-fihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimata hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa menusia di dalam pergaulan hidup.

Kalima faktor tersebut di atas saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan
esensi dari penegakan hukum.

6
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
3 UNDANG-UNDANG

Di dalam tulisan ini , maka yang diartikan dengan Undang-Undang dalam arti
materiel adalah ( Purnadi Puurbacaraka & Soerjono Soekanto 1979 ) peraturan tertulis
yang berlaku umumdan dibuat oleh Penguasa Pusat maupun daerah yang sdah,
Dengan demikian , maka Undang-Undang dalam materiel (selanjutnya disebut Undang-
Undang) mencakup :

1. Peraturan Pusat yang berlaku untuk semua warg negara atau suatu golongan
tertentusaja maupun yang berlaku umum di sebagian wilayah negara.

2. Peraturan setempat yang hanya berlaku di suatu tempat atau daerah saja.

Mengenai berlakunya Undang-Undang tersebut , terdapat beberapa azas yang


tujuannya adalah agar supaya Undang-Undang tersebut mempunyai dampak yang
positif.

Artinya, agar supaya Undang-Undang tersebut mencapai tujuannya, sehingga efektif.


Azas-azas tersebut antara lain :

1. Undang-Undang tidak berlaku surut ; artinya, Undang-Undang hanya boleh


diterapkan terhadap peristiwa yang disebut di dalam Undang-Undang tersebut, serta
terjadi setelah Undang-Undang itu dinyatakan berlaku.

2. Undang-Undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai


kedudukan yang lebih tinggi pula.

3. Undang-Undang yang bersifat khusus menyampingkan Undang-Undang yang


bersifat umum, apabila pembuatannya sama. Artinya, terhadap peristiwa khusus wajib
diperlakukan Undang-Undang yagn menyebutkan peristiwa yang lebih luas ataupun
lebih umum, yang juga dapat mencakup peristiwa khusus tersebut.

4. Undang-Undang yang berlaku belakangan, membatalkan Undang-Undang yang


berlaku terdahulu. Artinya, Undang-Undang lain yang lebih dahulu berlaku dimana
diatur mengenai suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi apabila ada Undang-Undang
baru yang berlaku belakangan yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan tetapi
makna atau tujuannya berlainanatau berlawanan dengan Undang-Undang lama
tersebut.

7
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
5. Undang-Undang tidak dapat diganggu gugat.

6. Undang-Undang merupakan suatu sarana untuk mencapai kesejahteraan spiritual


dan materiel bagi masyarakat maupun pribadi, melalui pelestarian ataupun
pembaharuan (inovasi) Artinya, supaya pembuat Undang-Undang tidak sewenang-
wenang atau supaya Undang-Undang tersebut tidak menjadi huruf mati, maka perlu
dipenuhi beberapa syarat tertentu , yakni antara lain sebagai berikut :

a. Keterbukaan di dalam proses pembuatan Undang-Undang (A.M bos tanpa tahun)

b. Pemberian hak kepada warga masyarakat untuk mengajukan usul-usul tertentu ,


memlalui cara-cara , sebagai berikut :

1. Penguasa setempat mengungang mereka yang berminat untuk menghadiri suatu


pembicaraan mengenai peraturan tertentu yang akan dibuat.

2. Suatu departemen tertentu emngundang organisasi –organisasi tertentu untk


memberikan masukan bagi suatu rancangan Undang-Undang yagn sedang disusun.

3. Acara dengar pendapat di Dewan Perwakilan Rakyat.

4. Pembentukan kelompok-kelompok penasehat yang terdiri dari tokoh-tokoh atau ahli


– ahli terkemuka.

Untuk memperjelas azas-azas tersebut diatas, akan dicoba untuk menerapkan


salah satu azas tersebut diatas terhadap Undang-Undang yagn berlaku. Di dalam azas
pertama dinyatakan, bahwa Undang-Undang tidak berlaku surut, padahal di dalam
pasal 284 ayat 1 KUHP dinyatakan , bahwa

“Terhadap perkara yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan, sejauh


mungkin diberlakukan ketentuan undang-undang ini”,

Pasal tersebut yang di dalam penjelasannya dinyatakan “cukup jelas”, membuka


kemungkinan untuk menyimpang azas bahwa Undang-Undang tidak berlaku surut.

Suatu masalah lain yang dijumpai di dalam Undang-Undang adalah adanya


sebagai Undang-Undang yang juga belum juga mempunyai peraturan pelaksanaan,
padahal di dalam Undang-Undang tersebut diperintahkan demikian. Suatu contoh
yang nyata adalah Undang-Undang Nomor 3 tahun 1965 tentang Lalu-Lintas dan
Angkutan Jalan Raya. Memang di dalam pasal 36 dari Undang-Undang tersebut
dinyatakan bahwa

“ Peraturan pelaksanaan yang berlaku sekarang tetap berlaku hingga diubah


dengan peraturan – peraturan berdasarkan Undang-Undang ini”

8
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Padahal di dalam Undang-Undang itu sendiri diperintahkan, agar beberapa hal diatur
secara khusus di dalam Peraturan Pemerintah, yang hingga dewasa ini belum juga ada.
Hal-hal tersebut mencakup hal-hal , sebgai berikut :

1. Kecepatan maksimal bagi beberapa macam kendaraan

2. Perlombaab dan pacuan di jalan

3. Surat Izin Mengemudi

4. Cara belajar dan memberikan pelajaran mengemudi kendaraan bermotor

5. Jam mengemudi bagi pengemudi kendaraan motor umu

6. Surat nomor kendaraan dan surat coba kendaraan

7. Pengujian kendaraan dan pengecualiannya

8. Pengangkutan orang bagi keperluan pariwisata

9. Hak dan kewajiban pengusaha kendaraan umum, pegawainya, maupun penumpang

10. Pernyataan , permohonan, pemberian, penolakan dan perubahan izin usaha


angkutan orang dan barang serta bengkel umum

11. Pejahat penyidik

12. Pengecualian bagi kendaraan Angkatan Bersenjata dan alin-lain

Tidak adanya peraturan pelakasanaan sebagaimana diperintahkan tersebut di atas,


akan mengganggu keserasian antara ketertiban dengan ketenteraman di bidang lalu
lintas dan angkutan jalan raya, yang sangat merugikan petugas maupun para pemakai
jalan raya yagn biasanya menjadi “korban”.

Tidak adanya peraturan pelaksanaan sebagaimana diperintahkan.

Pada pasal 8 ayat 1 Undang-Undang Nomor 9 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok


Kesehatan, yang berbunyi, sebagai berikut :

“ Pemerintah mengusahakan pengobatan san perawatan untuk masyarakat di


seluruh wilayah Indonesia secara merata, agar tiap-tiap orang sakit dapat memperoleh
pengobatan dan perawatan dengan biaya yang seringan-ringannya”

Apakah yang sebenarnya siartikan dengan “biaya yang seringan-ringannya”? kata


“goed” (bahas Belanda) yang banyak dijumpai di dalam Weiboek van Strafrecht yang
kemudian diterjemahkan secara tidak resmi ke dalam bahasa Indonesia (Kitab Undang-

9
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Undang Hukum Pidana), seringkali diterjemahkan dengan kata “barang”, Apakah
terjemahan tersebut sudah tepat, oleh karena tenaga listrik umpamanya, yagn tidak
tergolong “barang” termasuk pengertian “goed” tersebut.

Dengan demikian dapatlah ditarik suatu kesimpulan sementara , bahwa


gangguan terhadap penegakan hukum yang berasal dati Undang-Undang mungkin
disebabkan, karena :

1. Tidak diikutinya azas-azas berlakunya Undang-Undang.

2. Belum adanya peraturan pelaksanaan yang sangat dibutuhkan untuk menerapkan


Undang-Undang.

3. Ketidakjelasan arti kata-kata di dalam Undang-Undang yang mengakibatkan


kesimpang-siuran di dalam penafsiran serta penerapannya.

10
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
4 PENEGAK HUKUM

Seorang penegak hukum, sebagaimana halnya dengan warga-warga masyarakat


lainnnya, lazimnya mempunyai beberapa keduduka dan peranan sekaligus. Dengan
demikian tidaklah mustahil, bahwa antara pelbagai kedudukan dan peranan timbul
konklik (“status- conflict” dan conflict of roles”). Kalau di dalam kenyataannya terjadi
suatu kesenjangan antara peanan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya
dilakukan atau peranan aktual,maka terjadi suatu kesenjangan peranan (“role-distance”).

Kerangka sosiologis tersebut di atas, akan diterapkan dalam analisa terhadap


penegak hukum, sehingga pusat perhatian akan diarahkan pada peranannya. Namun
demikian, di dalam hal ini ruang lingkup hanya akan dibatasi pada peranan yang
seharusnya dan peranan aktual.

Masalah peranan dianggap penting, oeh karena pembahasan mengenai penegak


hukum sebenarnya lebih banyak tertuju pada diskresi. Sebagaimana dikatakan di muka,
maka diskresi menyangkut pengambilan keputusan yang tidak sangat terikat oleh
hukum, di mana penilaian pribadi juga memegang peranan. Di dalam penegakkan
hukum diskresi sangat penting, oleh karena (Wayne LaFavre 1964).

1. Tidak ada perundang-undangan yang sedemikian lengkapnya, sehingga dapat


mengatur semua perilaku manusia.
2. Adanya kelambatan-kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan
dengan perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehigga
menimbulkan ketidakpastian.
3. Kurangnya biasa untuk menerapkan perundang-undangan sebagaimana yang
dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.
4. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.

Diskresi diperlukan sebagai (Prajudi Atmosudirdjo 1983)

“...pelengkap daripada Azaz Legalitas, yaitu Azaz Hukum yang mengatakan,


bahwa setiap tindak atau perbuatan Administrasi Negara harus berdasarkan
ketentuan Undang-Undang.

...Pada “diskresi bebas” undang-undang hanya menetapkan batas-batas,dan


administrasi negara bebas mengambil keputusan apa saja asalkan tidak
melampaui /melanggar batas-batas tersebut. Pada “diskrei terikat” undang-
undang menerapkan beberapa alternatif, dan Administrasi Negara bebas memilih
salah satu alternatif”.

11
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Penggunaan perspekif peranan dianggap mempunyai keuntugan-keuntungan
tertentu, oleh karena :

1. Fokus utamanya adalah dinamika masyarakat,


2. Lebih mudah untuk membuat suatu proyeksi, oleh karena pemusatan perhatian
pada segi prosesual,
3. Lebih memperhatikan pelaksanaan hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya,
daripada kedudukan dengan lambang-lambangnya yang cenderung bersifat
konsumtif,

Peranan yang seharusnya dari kalangan penegak hukum tertentu, telah


dirumuskan di dalam beberapa Undang-Undang. Di samping itu, di dalam
Undang-Undang tersebut juga dirumuskan perihal peranan yang ideal. Secara
berurut peranan yang ideak dan yang diharuskan, adalah sebagai berikut.
1. a. Peranan yang ideal :
“Kepolisian Negara dalam menjalankan tugasnya selalu menjunjung
tinggi hak-hak azazi rakyat dan hukum negara”.
b. Peranan yang seharusnya :
“Kepolisian Negara Republik Indonesia, selanjutnya disebut
Kepolisian Negara, ialah alat Negara, ialah alat Negara penegak
hukum yang terutama bertugas memelihar keamanan di dalam
negeri”.

“Dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan dalam pasal 1 maka


Kepolisian Negara mempunyai tugas :
(1). a. memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
b. mencegah dan memberantas menjalarnya penyakit-
penyakit masyarakat;
c. memelihara keselamatan orang, benda, dan masyarakat,
termasuk memberi perlindungan dan pertolongan;dan
e. mengusahakan ketaatan warga-warga dan masyarakat
terhadap peraturan-peraturan Negara;

(2). Dalam bidang peradilan mengadakan penyidikan atas


kejahatan dan pelanggaran menurut ketentuan-ketentuan dalam
undang-undang Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan
Negara;

(3). Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat


membahayakan masyarakat dan Negara;

(4). Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan


kepadanya oleh suatu peraturan Negara.

12
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
2. Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kejaksaan :

a. Peranan yang ideal :

Pasal 1 ayat 2 yang isinya adalah, sebagai berikut :

“Kejaksaan dalam menjalankan tugasnya sealu menjunjung tinggi


hak-hak azazi rakyat dan hukum Negara”

b. Peranan yang seharusnya :

Pasal 1 ayat 1 yang isinya adalah, sebagai berikut :

“Kejaksaan Republik Indonesia selanjutnya disebut Kejaksaan, ialah


alat Negara Penegak Hukum yang terutama bertugas sebagai
penuntut umum”

Pasal 2 yang isinya, adalah sebagai berikut :

“Dalam melakuka ketentuan-ketentuan dalam pasal 1, Kejaksaan


mempunyai tugas :

(1). a. mengadakan penentuan dalam perkara-perkara pidana pada


Pengadilan yang berwenang;

b.menjalankan keputusan dan penetapan Hakim Pidana.

(2). mengadakan penyelidikan lanjutan terhadap kejahatan dan


pelanggaran serta mengawasi dan mengkoordinasikan alat-alat
penyelidik menurut ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang
Hukum Acara Pidana dan lain-lain peraturan Negara.

(3). mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan


masyarakat dan Negara.

(4). melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya


oleh suatu peraturan Negara”.

Pasal 8 yang isinya adalah, sebagai berikut :

“Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan


kepentingan umum”.

3. Undang –Undang Nomor 14 tahun 1970 Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan


Kehakiman.

13
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
a. Peranan yang ideal :
Pasal 1 yang isinya adalah,sebagai berikut :
“Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara
Hukum Republik Indonesia”.
b. Peranan yang seharsnya :
Pasal 2 ayat 1 yang isinya adalah,sebagai berikut :
“Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman tercntum dalam pasal 1
diserakan kepada Badan-Badan Peradilan dan ditetapkan dengan
Undang-Undang, dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikansetiap perkara yang diajukan
kepadanya”.

Pasal 4 ayat 2 yang isinya adalah, sebagai berikut :


“Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan”.
Pasal 5 yang isinya adalah, sebagai berikut :
“(1). Pengadilan mengadili menurut Hukum dengan tidak membeda-
bedakan orang.
(2). Dalam perkara perdata Pengadilan membantu para pencari
keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala
hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan
yang sederhana, cepat dan biaya ringan.”

Pasal 14 ayat 1 yang isinya adalah, sebagai berikut :

“Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili


sesuatu perkara yag diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak/atau
kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya”.

Setelah dengan panjang lebar mengetengahkan peranan yang ideal dan yang
seharusnya, maka menjadi pertanyaan, bagaimanakah perananyang sebenarnya atau
peranan yang aktual. Jelas

bahwa hal itu menyangkut perilaku nyata dari para pelaksana peranan, yakni para
penegak hukum yang di satu fihak menerapkan perundang-undangan, dan di lain fihak
melakukan diskresi di dalam keadaan-keadaan tertentu.

Di dalam membahas peranan yang sebenarnya atau peranan yang aktual, hanya
akan disajikan data singkat yang dapat dijadikan contoh. Contoh tersebut menyangkut
jangka waktu proses banding dan kasasi di dalam periode antara tahun 1974 samapi
dengan tahun 1978, yang mudah-mudahan dewasa ini sudah banyak mengalami
perbaikan atau penyempurnaan. Data tersebut berasal dari hasil penelitian yang

14
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
dilakukanoleh fakultas hukum Universitas Indonesia yang bekerjasama dengan
Kejaksaan Agung Republik Indonesia, pada tahun 1981 yang lalu.

Data dari kuantitatif di atas akan dapat dianalisa sampai seberapa jauh terdapat keserasian
(ataupun kesenjangan) antara peranan yang seharusnya dengan peranan aktual. Mengenai hal
ini, masih perlu diadakan penelitian-penilitian yang lebih luas dan lebih mendalam.

Di dalam melaksanakan peranan yang aktual, penegak hukum sebaiknya mampu


“mulat sarira” atau “mawas diri”, halmana akan tampak pada perilakunya yang merupakan
pelaksanaan daripada peranan aktualnya. Agar mampu untuk mawas diri penegak hukum
harus berikhtiar untuk hidup (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1983).

“1. Sabenere (logis), yaitu dapat membuktikan apa atau mana yang benar dan yang salah.

2. Semestine (ethis), yaitu bersikap tidak maton atau berpatokan dan tidak waton ialah
asal saja sehingga sembrono atau ngawur.

a. “Sabutuhe” yang maksudnya tidak serakah

b. “Sacukupe” yaitu mampu tidak berkekurangan tetapi juga tidak serba


berkelebihan.

c. “Saperlune”, artinya lugu, lugas tidak bertele-tele tanpa ujung pangkal.

3. Sakepenake (estetis) yang harus diartikan : mencari yang enak tanpa menyebabkan
tidak enak pada pribadi lain.”

Hal-hal tersebut diatas hanya mungkin, apabila dilandaskan pada paling sedikit dua azas, yakni
(Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1983)

“1. Apa yang anda tidak ingin alami, janganlah menyebabkan orang lain
mengalaminya...

2. Apa yang boleh anda perdapat, biarkanlah orang lain berikhtiar


mendapatkannya...”

Memang di dalam kenyataannya sangat sukar untuk menerapkan hal-hal tersebut di atas, oleh
karena sedikit banyaknya, penegak hukum juga dipengaruhi oleh hal-hal lain, seperti misalnya,
“interest groups” dan juga “public opinion” yang mungkin mempunyai dampak negatif atau
positif (Steve Vago 1981).

Berbagai situasi mungkin dihadapi oleh para penegak hukum, di mana mereka harus
melakukan diskresi, dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas. Situasi-situasi
tersebut adalah mungkain keadaan dimana harus diadakan penindakan atau pencegahan (yang
kemungkinan diikuti dengan penindakan, apabila pencegahan tidak berhasil). Di dalam kedua
situasi tersebut, inisiatif mungkin berasal dari penegak hukum itu sendiri, atau mungkin dari
warga masyarakat.hal-hal tersebut akan di jelaskan dibawah ini, sehingga memungkinkan
analisa yang lebih mendalam dengan mempergunakan konsep-konsep yang telah di jelaskan di

15
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
muka. Hal-hal tersebut dapat dinamakan “kasus-kasus diskresi”, sebagai berikut (James Q.
Wilson 1968 & Louis A. Radelet 1973) :

1. Kasus 1 : Situasi penindakan yang diprakarsai penegak hukum.

Di dalam kasus seperti ini, maka penegak hukum memprakarsai suatu aksi dimana
wewenang penuh ada padanya, walaupun prakarsa tersebut mungkin merupakan suatu
tanggapan terhadap suatu masalah yang oleh suatu masyarakat dianggap mengganggu. Dalam
situasi-situasi semacam ini, maka pengaruh yang kuat dari atasan mungkin kuat, oleh karena
tolak ukurnya adalah mencapai tujuan sebagaimana ditetapkan oleh pembentuk hukum, yang
biasanya terumuskan didalam bentuk yang tertulis. Peranan aktual dari penegak hukum
berorientasi pada tujuan semata-mata, yang tidak mustahil beralih ke orientasi terhadap alat
atau cara.

Di dalam keadaan semacam ini, kewenangan berdiskresi relatif besar, walaupun dapat
dikendalikan oleh atasan atau suatu instansi tertentu. Dengan demikian, kemungkinan
terjadinya kesenjangan antara peranan yang diharuskan dengan peranan aktual dapat dibatasi,
apabila ataan menghendakinya.

2. Kasus II : Situasi penindakan yang diprakarsai oleh warga masyarakat.

Di dalam kasus seperti ini, maka ada warga masyarakat yang terganggu,
sehingga melaporkan hal itu kepada penegak hukum. Dalam hal semacam ini, maka
penegak hukum mempunyai beberapa pilihan untuk melaksanakan peranan aktualnya.

Apabila kejadiannya menyangkut remaja, maka dapat diadakan tindakan-


tindakan sementara, atau melanjukan proses sampai ke pengadilan. Dalam hal ini,
maka kelelusaan untuk mengadakan diskresi secara relatif adalah sempit (kecuali
didalam kasus-kasus yang menyangkut remaja)

3. Kasus III : Situasi pencegahan yang diprakarsai oleh penegak hukum.

Di dalam kasus seperti ini,maka penegak hukum mengmbil prakarsa untuk


mencegas terjadinya peristiw-peristiwa yang secarapotensial dapatmengakibatkan
terjadinya gangguan terhadap kedamaian

4. Kasus 2 : Situasi pencegahan yang diprakarsai oleh warga masyarakat.

Di dalam kasus seperti ini, maka warga masyarakat meminta bantuan penegak
hukum untuk mencegah terjadinya peristiwa yang mengganggu kedamaian.
Keleluasaan menerapkan diskresi dalam kasus semacam ini adalah relatif besar,
sehingga sukar sekali untuk mencegah kesenjangan antara peranan yang diharuskan
dengan peranan aktual.

Penegak hukum merupakan golongan panutan dalam masyarakat, yang hendaknya


mempunyai kemampuan-kemampuan tertentu, sesuai dengan aspirasi masyarakat. Mereka
harus dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan sasaran, disamping

16
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
mampu membawakan atau menjalankan peranan yang dapat diterima oleh mereka. Kecuali
dari itu, maka golongan panutan harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional
tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi dari golongan sasaran atau masyarakat luas.
Golongan panutan juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat di dalam
memperkenalkan norma-norma atau kaidah kaidah hukum yang baru, serta memberikan
keteladanan yang baik.

Halangan-halangan yang mungkin dijumpai pada penerapan peran yang seharusnya dari
golongan panutan atau penegak hukum, mungkin berasal dari dirinya sendiri atau dari
lingkungan. Halangan-halangan yang memerlukan penanggulangan tersebut, adalah antara
lain :

1. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan fihak lain


dengan siapa dia berinteraksi,

2. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi,

3. Kegairahan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sulit
sekali untuk membuat suatu proyeksi,

4. belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu,


terutama kebutuhan materiel.

5. kurangnya daya inovatif yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Halangan-halangan tersebut dapat diatasi dengan cara mendidik, melatih dan


membiasakan diri untuk mempunyai sikap-sikap sebagai berikut:

1. Sikap yang terbuka terhadap pengalaman- pengalaman maupun penemuan-


penemuan baru. Artinya, sebanyak mungkin menghilangkan prasangka terhadap
hal-hal yang baru atau yang berasal dari luar, sebelum dicoba manfaatnya.
2. Senantiasa siap untuk menerima perubahan-perubahan setelah menilai
kekurangan – kekurangan yang ada pada saatitu.
3. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi disekitarnya dengan dilandasi suatu
kesadaran, bahwa persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan dirinya.
4. Senantiasa mempunyai informasi yang selengkap mungkin mengenai
pendiriannya.
5. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu
urutan.
6. Menyadari akan potensi-potensi yang ada didalam dirinya, dan percaya bahwa
potensi-potensi tersebut akan dikembangkan.
7. Berpegang pada suatu perencanaan dan tidak pasrah pada nasib (yang buruk).
8. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi di dalam
meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

17
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
9. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban maupun kehormatan diri sendiri
maupun fihak-fihak lain.
10. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran
dan perhitungan yang mantap.

18
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
5 FAKTOR SARANA ATAU FASILITAS

Tanpa danya sarana atau fasilitas tertentu, maka tidak mungkn penegakan
hukum akan berlanjut dengan lancar. Sarana atau fasilitas tersebut, antara lain,
mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan trampil, organisasi yang baik,
pealatan yang memadai, keuangan yang cukup, dan seterusnya. Kalau hal-hal itu tidak
terpenuhi, maka mustahil penegakan hukum akan mencapai tujuannya. Agar masalah
tersebut dapat difahami dengan mudah, akan disajikan suatu contoh mengenai proses
peradilan.

Di dalam pembicaraan mengenai penegak hukum dimuka, telah disinggung


perihal hasil penelitian yang pernah dilakukan terhadap hambatan pada proses banding
dan kasasi perkara-perkara pidana. Dari hasil-hasil penelitian yang sama, dapat pula
diperoleh data mengenai faktor-faktor penghambat proses penyelesaian dalam proses
bandingdan kasasi tersebut, menurut kalangan penegak hukum tertentu. Secara visual
dan kuantitatif gambarannya adalah sebagai berikut (dikutip dari lampiran 13 laporan
penelitian tersebut):

HAKIM JAKSA PEMBELA


1. Terlampau banyak kasus 58% (11) 50% 41,18%
2. Berkas yang tidak lengkap 79% (15) 35% 35,3%
3. Rumitnya perkara 52,63% (10) 30% 30%
4. Kurangnya komunikasi 42% (8) 30% 35,3%
antar Pengadilan
5. Kurangnya sarana/fasilitas 52,63% (6) 40% 65%

6. Adanya tugas sampingan 31,58% (6) 10% 24%

Di dalam suatu lokakarya yang pernah diadakan di Kota Venesia pada tahun
1970, telah diidentifikasikan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya hambatan
didalam proses penyesuaian perkara.

Faktor-aktor di atas menkup ruang lingkup yang sangat luas, akan tetapi
memang demikianlah halnya. Kalau hal tersebut diatas dihubungkan dengan tabel yang
disajikan dimuka, maka pembicaraan mungkin dapat dibatasi pada kurangnya tenaga
hakim(sehingga kasus terlampaui banyak). Untuk mengatasi masalah tersebut, lazimnya
diusulkan agar diadakan penambahan hakim ( halmana benar) dan sarana tertentu
( seperti misalnya komputer). Apakah usul-usul tersebut sudah lengkap? Mengapa hal
itu, Posner berpendapat, bahwa (Richard . Posner 1977).

19
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
“These suggestions ignore the role of pricing both in the cretion of court delay and in
the formation of effective methods of relieving it”

Ada baiknya untuk mengetengahkan penjelasan Posner mengenai pendapatnya


tersebut, di dalam rangka pembicaraan mengenai sarana atau fasilitas pendukung
penegakan hukum. Akibatnya penyelesaian perkara di Pengadilan.

Adaya hambatan penyelesaian perkara bukanlah semata-mata disebabkan karena


banyaknya perkara yang harus diselesaikan, sedangkan waktu untuk mengadilinya atau
menyelesaikannya adalah terbatas. Permintaan akanudang, misalnya juga besar dan
kapasitas untuk memenuhi permintaan tersebut juga terbatas. Para pencari keadilan
harus antri menunggu penyelesaian perkaranya, akan tetapimereka tidak harus antri
untuk membeli udang, oleh karena waktu untuk menyelesaikan perkara tidak dicatu oleh
harga sedangkan udang dicatu harganya. Kalau permintaan akan udang lebih cepat
meningkatnya dari penyediaannya, maka harga akan naik, sampai permintaan dan
penyediaan serasi kembali. Suatu cara sistematik yang dikenakan pada pencari keadilan
untuk melakukan pembayaran sesuai dengan keinginannya agar perkara diselesaikan
dengan cepat, akan mempunyai efek yang sama.

Kalau yang dilakukan hanyalah menambah jumlah hakim untuk menyelesaikan


masalah perkara, maka hal itu hanya mempunyai dampak yang sangat kecil di dalam
usaha untuk mengatasi hambatan-hambatan pada penyelesaian perkara, terutama dalam
jangka panjang. Posnet mengibaratkannya dengan pembangunan jalan bebas hambatan,
untuk mengatasi kemacetan lalu lintas. Kalau jalan bebas hambatan tersebut sudah
selesai dibangun dan pemakai jalan mulai menikmatinya, maka akan timbul keinginan
yang kuat untuk selalu mempergunakan jalan bebas hambatan tersebut, sehingga
nantinya akan timbul kemacetan lagi. Oleh karena itu yang perlu diperhitungkan
tidaklah hanya biaya.

Dari penjelasan di atas nyata pula, bahwa sarana ekonomis ataupun biaya
daripada pelaksanaan sanksi-sanksi negative diperhitungkan, dengan berpegang pada
cara yang lebih efektif dan efisien, sehungga biaya dapat ditekan dalam program-
program pemberantasan kejahatan jangka panjang. Kepastian (“certainty”) di dalam
penanganan perkara maupun kecepatannya, mempunyai dampak yang lebih nyata,
apabila dibandingkan dengan peningkatan sanksi negative belaka. Kalau tingkat
kepastian dan kecep[atan penanganan perkara ditingkatkan, maka sanksi-sanksui
negative akan mempunyai efek menakuti yang lebih tinggi pula, sehingga akan dapat
mencegah peningkatan kejahatan maupun residifisme.

Kepastian dan kecepatan penanganan perkara senantiasa tergantung pada


masukan sumber daya yang diberikan didalam program-program pencegahan dna
pemberantasan kejahatan. Peningkatan teknbologi deteksi kriminalitas umpamanya,

20
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
mempunyai peranan yang sangat penting bagi kepastian dan kecepatanpenanganan
perkara-perkara pidana.

Dengan demikian dapatlah disimpulkan, bahwa sarana atau fasulitas mempunyai


peranan yang sangat penting di dalam penegakan hukum tanpa adanya sarana atau
fasilitas tersebut, tidak akan mungkin penegak hukum menyerasikan peranan yang
seharusnya dengan peranan yang aktual. Khususnya ungtuk sarana atau fasilitas
tersebut, sebaiknya dianuti jalan pikiran, sebagai berikut (Kurnadi Purbacaraka dan
Soerjono Soekanto 1983):

a. Yang tidak ada – diadakan yang baru betul,


b. Yang rusak atau salah – diperbaiki atau dibetulkan,
c. Yang kurang – ditambah,
d. Yang macet – dilancarkan
e. Yang mundur atau merosot – dimajukan atau ditingkatkan

21
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
6 FAKTOR MASYARAKAT

Penegakan hukum-hukum berasal dari masyarakat, dan bertujuan untuk mencapai


kedamaian di dalam masyarakat. Oleh karena itu, dipandang dari sudut tertentu, maka
masyarakat dapat mempengaruhi penegakan hukum tersebut. Di dalam bagian ini,
akan diketengahkan secara garis besar perihal pendapat-pendapat masyarakat
mengenai hukum, yang sangat mempengaruhi kepatuhan hukumnya. Kiranya jelas,
bahwa hal ini pasti ada kaitannya dengan faktor-faktor terdahulu, yaitu undang undan,
penegak hukum dan sarana atau fasilitas.

Masyarakat Indonesia pada khususnya, mempunyai pendapat pendapat tertentu


mengenai hukum. Pertamatama adalah pelbagai pengertian atau arti yang diberikan
pada hukum, yang variasinya adalah sebagai berikut:

1. Hukum diartikan sebagai ilmu pengetahuan


2. Hukum diartikan sebagai disiplin, yakni sistem ajaran tentang kenyataan,
3. Hukum diartikan sebagai nirma atau kaidah, yakni patokan perilaku pantas yang
diharapkan.
4. Hukum diartikan sebagai kata hukum (yakni hukum posiif tertulis)
5. Hukum diartikaan sebagai petugas ataupun pejabat
6. Hukum diartikan sebagai keputusan pejabat atau pebguasa
7. Hukum diartikan sebagai proses pemerintahan
8. Hukum diartuikan sebagai perilaku teratur dan unik,
9. Hukum diartikan sebagi jaminan nilai,
10. Hukum diartikan sebagai seni

Dari sekian banyaknya pengertian yang diberikan masyarakat, untuk mengartikan


hukum dan bahkan mengidentifikasikannya dengan pertugas (dalam hal ini penegak
hukum sebagai pribadi). Salah satu akibatnya adalah, bahwa baik buruknya hukum
senantiasa dikaitkan dengan pola perilaku penegak hukum tersebut, yang menurut
pendapatnya merupakan pencerminan dari hukum sebagai struktur maupun proses.
Untuk jelasnya, akan dikemukakan suatu contoh yang diambil dari suatu unsure
karangan penegak hukum, yakni polisi yang dianggap sebagai hukum oleh masyarakat
luas (di samping unsurunsur lainnya, seperti misalnya, hakim, jaksa, dan seterusnya).

22
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Warga masyarakat ratarata mempunyai pengharapan, agar polisi dengan serta
merta dapat menanggulangimasalah yang dihadapi tanpa memperhitungkan apakah
polisi tersebut baru saja menamatkan pendidikan kepolisian, atau merupakan polisi
yang sudah berpengalaman. Berpengharapan tersebut tertuju kepada polisi yang
mempunyai pangkat terendah sampai dengan pangkat tertinggi. Orang-orang yang
berhadapan dengan polisi, tidak “sempat”memikirkan taraf pendidikan yang pernah
dialami oleh polisi dengan pangkat terendah, misalnya.

Di dalam kehidupan sehari-hari, maka begitu menyelesaikan pendidikan


kepolisian, maka seorang anggota polisi langsung terjun ke dalam masyarakat, dimana
dia akan menghadapi pelbagai masalah, yang mungkin pernah dipelajarinya di sekolah,
atau mungkin sama sekali belum pernah diajarkan. Masalah-masalah tersebut ada
yang memerlukan penindakan dengan segera, akan tetapi ada juga persoalan-
persoalan yang baru kemudian.

Menentukan penindakan, apabila tidak tercegah. Hasilnya akan dinilai secara


langsung oleh masyarakat tanpa pertimbangan bahwa anggota polisi tersebut baru saja
menyelesaikan pendidikan, atau baru saja ditempatkan di daerah yang bersangkutan.
Warga masyarakat mempunyai persepsi bahwa setiap anggota polisi dapat
menyelesaikan gangguan-gangguan yang dialami oleh warga masyarakat, dengan hasil
yang sebaik-baiknya.

Kalau seorang anggota Angkatan Perang harus senantiasa siap tempur dan
memelihara kemampuan tersebut dengan sebaik-baiknya, maka anggota polisi harus
selalu siap menghadapi masalah-masalah kemasyarakatan yang merupakan gangguan
terhadap kedamaian. Masalah-masalah tersebut tidak hanya terbatas pada kejahatan dan
pelanggaran belaka, mungkin dia harus menolong orang yang sudah tua untuk
menyeberang jalan raya yang padat dengan kendaraan bermotor, atau dia harus melerai
suami-isteri yang sedang bertengkar, atau dia harus menolong orang yang terluka di
dalam kasus tabrak-lari, dan lain sebagainya. Alangkah banyaknya tugas polisi, akan
tetapi warga masyarakat memang mempunyai harapan demikian. Warga masyarakat
menghendaki polisi-polisi yang senantiasa “siap pakai” untuk melindungi warga
masyarakat terhadap aneka macam gangguan.

Di dalam kehidupan sehari-hari polisi pasti akan menghadapi bermacam-macam


manusia dengan latar belakang maupun pengalaman masing-masing. Di antara mereka
itu ada yang dengan sendirinya taat pada hokum, ada yang pura-pura mentaatinya, ada
yang tidak mengacuhkannya sama sekali, dan ada pula yang dengan terang-terangan
melawannya. Yang dengan sendirinya taat, harus diberi perangsang agar tetap taat,

23
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
sehingga dapat dijadikan keteladanan. Akan tetapi timbul masalah dengan mereka yang
pura-pura mentaati hukum, oleh karena mencari peluang di mana penegak hokum
berada dalam keadaan kurang siaga. Masalah lainnya adalah, bagaimana menangani
mereka yang tidak mengacuhkan hokum, ataupun yangsecara terang-terangan
melanggarnya.

Tidak setiap kegiatan atau usaha yang bertujuan supaya warga masyarakat
mentaati hokum, menghasilkan kepatuhan tersebut. Ada kemungkinan bahwa kegiatan
atau usaha tersebut malahan menghasilkan sikap tindak yang bertentangan dengan
tujuannya. Misalnya, kalau ketaatan terhadap hokum dilakukan dengan hanya
mengetengahkan sanksi-sanksi negatif yang berwujud hukuman apabila hukum
dilanggar, maka mungkin warga masyarakat malahan hanya taat pada saat ada petugas
saja. Hal ini bukanlah berarti bahwa cara demikian (yakni yang “coercive”) selalu
menghasilkan ketaatan yang semu. Maksutnya adalah bahwa apabila cara demikian
selalu ditempuh, maka hukum dan penegak hukum dianggap sebagai sesuatu yang
menakutkan. Cara-cara lain dapat diterapkan, misalnya, cara yang lunak (atau
“persuasion”) yang bertujuan agar warga masyarakat secara mantap mengetahui dan
memahami hukum, sehingga ada persesuaian dengan nilai-nilai yang dianut oleh warga
masyarakat. Kadang-kadang dapat diterapkan cara mengadakan penerangan dan
penyuluhan yang dilakukan berulang kali, sehingga menimbulkan suatu penghargaan
tertentu terhadap hukum (cara ini lazimnya dikenal dengan sebutan “pervasion”). Cara
lainnya yang agaknya menyudutkan warga masyarakat tidak mempunyai pilihan lain,
kecuali mematuhi hukum. Memang, dengan mempergunakan cara ini, tercipta suatu
situasi di mana warga masyarakat agak terpaksa melakukan atau tidak melakukan
sesuatu.

Oleh karena masyarakat mengharapkan bahwa polisi akan dapat melindunginya,


maka dengan sendirinya polisi harus mengenal lingkungan di mana dia bertugas, dengan
sebaik-baiknya. Pengenalan lingkungan dengan sebaik-baiknya tidak mungkin terjadi,
kalau operasi tidak menyatu dengan lingkungan tersebut. Keadaan akan bertambah
buruk lagi, apabila sama sekali tidak ada motivasi untuk mengenal dan memahami
lingkungan tersebut, oleh karena terlampau berpegang pada kekuasaan formal atau
kekuatan fisik belaka.

Dari sudut sistem social dan budaya, Indonesia meupakan suatu masyarakat
majemuk (“plural society”), dengan sekian banyaknya golongan etnik dengan
kebudayaan-kebudayaan khususnya. Di samping itu, maka bagian terbesar penduduk
Indonesia tinggal di wilayah pedesaan yang berbeda ciri-cirinya dengan wilayah
perkotaan. Masalah-masalah yang timbul di wilayah pedesaan mungkin harus lebih
banyak ditangani dengan cara-cara tradisional, di wilayah perkotaan juga tidak semua
masalah dapat diselesaikan tanpa mempergunakan cara-cara yang tradisional. Kalau
demikian halnya, bagaimanakah cara untuk mengenal lingkungan (social) dengan
sebaik-baiknya?

24
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Pertama seorang penegak hukum harus mengenal stratifikasi sosial atau
pelapisan masyarakat yang ada di lingkungan terebut, beserta tatanan status/kedudukan
dan peranan yang ada. Setiap stratifikasi sosial pasti ada dasar-dasarnya, seperti
misalnya, kekuasaan, kekayaan materiel, kehormatan, pendidikan, dan lain sebagainya.
Dari pengetahuan dan pemahaman terhadap stratifikasi sosial tersebut, akan dapat
diketahui lambang-lambang kedudukan yang berlaku dengan segala macam gaya
pergaulannya. Di samping itu akan dapat diketahui factor-faktor yang mempengaruhi
kekuasaan dan wewenang, beserta penerapannya di dalam kenyataan. Hal itu semua
akan dapat diketahui melalui wawancara dengan berbagai tokoh atau warga masyarakat
biasa, maupun dengan jalan mengadakan pengamatan-pengamatan terlibat maupun
tidak terlibat.

Hal lain yang perlu diketahui dan dipahami adalah perihal lembaga-lembaga
sosial yang hidup, serta yang sangat dihargai oleh bagian terbesar warga-warga
masyarakat setempat. Lembaga-lembaga sosial tersebut adalah, misalnya, lembaga
pemerintahan, lembaga pendidikan, lembaga penegakan hukum, dan seterusnya. Secara
teoretis lembaga-lembaga sosial tersebut mempunyai hubungan fungsional, sehingga
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap stabilitas maupun perubahan-
perubahan sosial-budaya yang akan atau sedang terjadi.

Dengan mengetahui dan memahami hal-hal tersebut di atas, maka terbukalah


jalan untuk dapat mengidentifikasikan nilai-nilai dan norma-norma atau kaidah-kaidah
yang berlaku di lingkungan tersebut. Pengetahuan serta pemahaman terhadap nilai-nilai
seta norma-norma atau kaidah-kaidah sangat penting di dalam pekerjaan menyelesaikan
perselisihan-perselisihan yang terjadi (ataupun yang bersifat potensial). Di samping itu
akan dapat diketahui (serta mungkin selanjutnya dissadari), bahwa hukum tertulis
mempunyai pelbagai kelemahan yang harus diatasi dengan keputusan-keputusan yang
cepat dan tepat (dikresi).

Di dalam situasi-situasi tertentu, polisi mau tidak mau harus melaksanakan


peranan actual yang tidak dikehendaki oleh masyarakat, misalnya, penerapan
kekerasan. Akan tetapi di dalam keadaan demikian perlu diteliti apakah kekerasan
tersebut memang berasal dari polisi tersebut, atau merupakan suatu akibat dari
lingkungan (ataupun faktor-faktor lainnya). Mengenai hal ini, Satjipto Rahardjo pernah
mengetengahkan hasil penilitian Sugiarso yang berusaha mengkaitkan kondisi
penggunaan kekerasan dengan tipe masyarakat madya dan modern. Secara visual
hasilnya adalah sebagai berikut (Satjipto Rahardjo1982) (lihat table sebelah).

Tipe Masyarakat
Madya Modern
No. Kondisi Penggunaan Kekerasan
KORES KODAK VII/
(1054) Metro Jaya
1 Masyarakat yang melawan perintah polisi 12% 27%
2 Melindungi jiwa dan harta benda orang 34% 82%

25
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
lain
3 Pembelaan terpaksa 2% 18%
4 Mengatasi keadaan darurat 8% 47%
5 Menghadapi penjahat 11% 36%
Masyarakat yang menyinggung harga diri
6 17% 21%
petugas
Karena emosi petugas yang tidak tertahan
7 2% 8%
lagi

(Catatan : Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa prosentase tersebut di atas agak


“membingungkan”, hal mana mungkin disebabkan karena ada respoden
yang memberikan lebih dari satu jawaban. Namun demikian, data
kuantitatif tersebut dapat memberikan gambaran deskritif yang menarik
untuk dianalisa dan untuk mengadakan penelitian yang lebih mendalam).

Terhadap table tersebut di atas, Satjipto Rahardjo memberikan ulasan, sebagai berikut
(Satjipto Rahardjo 1982) :

“. . . . penggunaan kekerasan oleh polisi bukan merupakan suatu tindakan yang


murni digerakkan oleh keinginannya untuk melakukan hal itu. Tampaknya cukup
banyak faktor yang turut menyebabkannya, bahkan bisa dikatakan juga : yang
memancingnya untuk berbuat demikian. Dengan demikian perbuatan petugas polisi itu
kiranya dapat digolongkan ke dalam tindakan yang benar-benar bersifat relational . . . . .
Apa yang dilakukan oleh seseorang juga merupakan reaksi terhadap perbuatan yang
dilakukan oleh orang lain.”

Selanjutnya Satjipto Rahardjo juga menyatakan, bahwa (Satjipto Rahardjo1982):

“Seorang polisi akan mengalami, bahwa penggunaan kekerasan itu merupakan suatu sarana
untuk melakukan persuasi. Dari pengalaman ini, yaitu menggunakan kekerasan
untukmenjalankan tugas-tugasnya sebagaimana dikehendaki oleh hukum, polisi
mengembangkan suatu pertanggung jawaban . . . . terhadap penggunaan kekerasan itu. Dari
perkembangan yang demikian itu tampaknya dengan tidak begitu sulit keadaan menggelincir ke
arah penggunaan kekerasan secara di luar hukum. Juga penggunaan kekerasan yang demikian ini
ditafsirkan sebagai saranayang bersifat fungsional bagi tugas-tugas kepolisian. . .”

Kiranya hal terakhir tersebut di atas yang harus dapat dicegah, oleh karena akan
dapat memberikan gambaran yang keliru mengenai hukum yang diidentikkan dengan
petugas hukum atau penegak hukum. Memang, di sinilah letak masalahnya yang
menyangkut faktor masyarakat di dalam kaitannya dengan penegakan hukum.
Anggapan dari masyarakat bahwa hukum adalah identik dengan penegak hukum (atau
sebaliknya) mengakibatkan bahwa harapan-harapan yang tertuju pada peranan aktual
penegak hukum terlampau banyak, sehingga mungkin mengakibatkan terjadinya
kebingungan pada diri penegak hukum oleh karena terjadi berbagai konflikdalam
dirinya. Akan tetapi di lain fihak, keadaan ini keadaan ini juga dapat memberikan

26
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
pengaruh yang baik, yakni bahwa penegak hukum akan merasa bahwa perilakunya
senantiasa mendapat perhatian dari warga masyarakat.

Masalah lain yang timbul sebagai akibat anggapanmasyarakat sebagaimana


disinggung di muka itu, adalah mengenai segi penerapan perundang-undangan. Kalau
penegak hukum menyadari bahwa dirinya dianggap hukum oleh masyarakat, maka tidak
mustahil bahwa perundang-undangan ditafsirkan terlalu luas atau terlalu sempit. Selain
dari itu, maka mungkin timbul kebiasaan untuk kurang menelaah bahwa perundang-
undangan kadangkala tertinggal dengan perkembangan dalam masyarakat; bukankah hal
itu dapat ditanggulangi dengan diskresi, yang secaralahiriyah tampak begitu sederhana.

Dengan demikian dapat dikatakan, bahwa anggapan-anggapan dari masyarakat


tersebut harus mengalami perubahan-perubahan di dalam kadar-kadar tertentu.
Perubahan-perubahan tersebut dapat dilakukan melaluipenerangan atau penyuluhan
hukum yang sinambung dan senantiasa dievaluasi hasil-hasilnya, untuk kemudian
dikembangkan lag. Kegiatan-kegiatan tersebut nantinya akan dapat menempatkan
hukum pada kedudukan dan peranan yang semestinya.

Di samping adanya kecenderungan yang kuat dan masyarakat untuk mengartikan


hukum sebagai penegak hukum atau petugas hukum, maka ada golongan-golongan
tertentu dalam masyarakat untuk mengartikan hukum sebagai tata hukum atau hukum
positif tertulis. Di dalam suatu penelitianyang diadakan terhadap sejumlah mahasiswa di
27 kota di Indonesia pada tahun 1977 – 1978 diperoleh hasil bahwa 61,07% dari seluruh
responden yang berjumlah 1893 mahasiswa mengartikan hukum sebagai tata hukum
(penelitian terhadap ciri-ciri kepribadian mahasiswa Indonesia pada perguruan-
perguruan tinggi Negeri dan Swasta se Indonesia oleh Direktorat kemahasiswaan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Angaapan-anggapan semacam itu
sebenarnya juga ada pada kalangan hukum umumnya, yaitu terutama yang menduduki
posisi-posisi formal tertentu. Hal itu tampak dari program-program resmi yang
diterapkan, misalnya, program penyuluhan hukum (tertulis). Salah satu akibatnya yang
positif adalah, kemungkinan bahwa warga masyarakat mempunyai pengetahuan yang
pasti mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban mereka menurut hukum (yang
kemungkinan besar akan berkelanjutan dengan adanya pemahaman-pemahaman
tertentu). Kalau warga masyarakat sudah mengetahui hak-hak dan kewajiban-kewajiban
mereka, maka mereka juga akan mengetahui aktivitas-aktivitas peenggunaan upaya-
upaya hukum untuk melindungi, memenuhi dan mengembangkan kebutuhan-kebutuhan
mereka sesuai dengan aturan yang ada. Hal itu semua dinamakan kompetensi hukum
yang tidak mungkin ada, apabila warga masyarakat:

1. Tidak mengetahui atau tidak menyadari, apabila hak-hak mereka dilanggar


atau terganggu,
2. Tidak mengetahui akan adanya upaya-upaya hukum untuk melindungi
kepentingan-kepentingannya,

27
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
3. Tidak berdaya untuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor-faktor
keuangan, psikis, sosial atau politik,
4. Tidak mempunyai pengalaman menjadi anggota organisasi yang
memperjuangkan kepentingan-kepentingannya,
5. Mempunyai pengalaman-pengalaman kurang baik di dalam proses interaksi
dengan berbagai unsur kalangan hukum formal.

Sebagai salah satu akibat negatif dan pandangan atau anggapan bahwa hukum
adalah hukum positif tertulis belaka adalah, adanya kecenderungan yang kuat sekali
bahwa satu-satunya tugas hukum adalah adanya kepastian hukum. Dengan adanya
kecenderungan untuk lebih menekankan pada kepastian hukum belaka, maka akan
muncul anggapan yang kuat sekali bahwa satu-satunya tujuan hukum adalah ketertiban.
Lebih mementingkan ketertiban berarti lebih menekankan pada kepentingan umum,
sehingga timbul gagasan-gagasan yang kuat bahwa semua bidang kehidupan akan dapat
diatur dengan hukum tertulis. Kecenderungan-kecenderungan yang legistis tersebut
pada akhirnya akan menemukan kepuasan pada lahirnya perundang-undangan yang
belum tentu berlaku secara sosiologis. Di lain fihak kecenderungan-kecenderungan
zaman Hindia-Belanda, secara yuridis telah berlaku.

Adanya keinginan-keinginan yang sangat kuat untuk menyusun kodifikasi atau


pembukuan norma-norma hukum bidang tertentu, merupakan suatu akibat yang lebih
lanjut yang mempunyai segi positif dan segi negatifnya. Selama usaha mengadakan
kodifikasi tersebut memperhitungkan bidang-bidang kehidupan netral dan spiritual,
serta tujuan kodifikasi tersebut memperhitungkan bidang-bidang kehidupan netral dan
spiritual, serta tujuan kodifikasi adalah kepastian hukum, keseragaman hukum dan
kesedarhanaan hukum, maka usaha mengadakan kodifikasi adalah positif. Akan tetapi,
kalau usaha tersebut hanya bertujuan untuk mencapai kepastian hukum dan mencoba
membukukan norma-norma hukum yang mengatur bidang kehidupan spiritual (atau
non-netral), maka sifatnya adalah negatif.

28
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
7 FAKTOR KEBUDAYAAN

Faktor kebudayaan yang sebenarnya bersatu padu dengan faktor masyarakat


sengaja dibedakan, oleh karena di dalam pembahasannya akan diketengahkan masalah
sistem nilai-nilai yang menjadi inti dari kebudayaan spiritual atau non-materiel. Sebagai
suatu sistem (atau subsistem dari sistem kemasyarakatan), maka hukum mencakup
struktur, substansi, dan kebudayaan (Lawrence M Friedman 1977). Struktur mencakup
wadah ataupun bentuk dari sitem tersebut yangumpamanya mencakup tatanan lembaga-
lembaga hukum formal, hubungan antara lembaga-lembaga tersebut, hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya, dan seterusnya. Substansi mencakup isi norma-norma hukum
beserta perumusannya maupun acara untuk menegakkannya yang berlaku bagi
pelaksana hukum maupun pencari keadilan. Kebudayaan (sistem) hukum pada dasarnya
mencakup nilai-nilai yang mendasari hukum yang berlaku, nilai-nilai mana merupakan
konsepsi-konsepsi abstrak mengenai apa yang dianggap baik (sehingga dianuti) dan apa
yang dianggap buruk (sehinnga dihindari). Nilai-nilai tersebut, lazimnya merupakan
pasangan nilai-nilai yang mencerminkan dua keadaan ekstrim yang harus diserasikan.
Hal itulah yang akan menjadi poko pembicaraan di dalam bagian mengenai faktor
kebudayaan ini.

Pasangan nilai yang berperanan dalam hukum, adalah sebagai berikut (Purnadi
Purbacaraka & Soejono Soekanto 1983)

1. Nilai ketertiban dan niali ketentraman


2. Nilai jasmaniah/kebendaan dan nilai rohaniah/keahlakan
3. Nilai kelanggengan/konservatisme dan nilai kebaruan/inovatisme

Di dalam keadaan sehari-hari, maka nilai ketertiban biasanya disebut dengan


keterikatan atau disiplin, sedangkan nilai ketentraman merupakan suatu kebebasan.
Schuyt pernah memperinci ciri-ciri ketertiban atau keadaan tertib, sebagai berikut
(C.J.M.Schuyt 1976) :

1. Voorspelbaarheid (dapat diperkirakan);


2.  Cooperatie (kerjasama);
3.  Controle van geweld (pengendalian kekerasan);
4.  Consistentie (kesesuaian);
5.  Duurzaamheid (langgeng);
6.  Stabiliteit (mantap);
7.  Hierarchie (berjenjang);

29
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
8.  Conformiteit (ketaatan);
9.  Afwezigheid van conflict (tanpa perselisihan);
10.Uniformiteit (keseragaman);
11.Gemeenschappelijkheid (kebersamaan);
12. Relegmaat (ajeg);
13. Bevel (suruhan);
14. Volgorde (keberurutan);
15. Uiterlijke stijl (corak lahiriah);
16. Rangschikking (tersusun);

Keadaan tidak tentram atau tidak bebas akan terjadi, apabila (Purnadi Purbacaraka
dan Soerjono Soekanto 1983) :
A. …ada hambatan dari pihak lain(dipaksa),
B. …tidak ada pilihan lain (terpaksa- tanpa kesalahan… pihak lain),
C. …karena keadaan diri sendiri(takut, merasa tidak pada tempatnya)

Secara psikologis keadaan tentram ada, bila seorang tidak merasa khawatir, tidak
merasa diancam dari luar, dan tidak terjadi konflik batiniah. Pasangan nili-nilai tersebut
diatas yaitu ketertiban dan ketentraman, sebenarnya sejajar dengan nilai kepentingan
umum dan kepentingan pribadi. Didalam bidang tata hukum, maka bidang hukum
publik (seperti misalnya hukum tata Negara, hukum administrasi Negara, dan hukum
pidana) harus mengutmakan nilai ketertiban dan dengan sendirinya nilai kepentingan
umum. Akan tetapi didalam bidang hukum perdata (misalnya hukum pribadi, hokum
harta kekayaan, hokum keluarga dan hukum waris), maka nilai ketentraman lebih
diutamakan. Hal ini bukanlah berarti bahwa didalam hokum public nilai ketentraman
boleh diabaikan, sedangkan didalam hokum perdata nilai ketertiban yang sama sekali
tidak diperhatikan. Pasangan nilai ketertiban dan nilai ketentraman, merupakan
pasangan nilai yang bersifat universal; mungkin keserasiannya berbeda menurut
keadaan masing-masing kebudayaan, dimana pasangan nilai tadi diterapkan.

Di Indonesia nilai-nilai yang menjadi dasar hokum adat, adalah antara lain, sebagai
berikut (Moh. Koesnoe 1969):
1. Individu adalah bagian dari masyarakat yang mempunayi fungsi masing-masing
demi untuk melangsungkan dan kelangsungan dari pada masyarakat (sebagai
lingkungan kesatuan)
2. Setiap individu didalam lingkungan kesatuan itu, bergerak berusaha sebagai
pengabdian kepada keseluruhan kesatuan,
3. Dalam pandangan adat yang demikian mengenai kepentinagn-kepentingan
individu itu, maka sukarlah dapatnya dikemukakan adanya suatu keperluan
yang mendesak untuk menertipkan segala kepentingan- kepentinagn para
individu-individu itu. Bagi adat, ketertiban itu telah ada dalam semesta, didalam
cosmos. Ketertiban itu adalah berubah hubungan yang harmonis antara
segalanya ini. Gerak dan usaha memenuhi kepentingan individu, adalah gerak
dan usha yang ditempatkan didalam garis ketertiban cosmis tersebut.bagi setiap
orang, maka garis ketertiban cosmis itu dijalani dengan serta merta. Bialamana
tidak dijalankan pada itu, garis yang dijelmakan di dalam adat, maka baik
jalanya masyarakatnya, maupun jalan kehidupan orang yang bersngkutan akan
menderita karena berada di luar garis tertib cosmis tersebut, yaitu, adat.

30
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
4. Dalam pandangan adat, tidak ada pandangan bahwa ketentuan adat itu harus
disertai dengan syarat yang menjamin berlakunya dengan jalan mempergunakan
paksaan. Apa yang disbut sebagai salah kaprah, yaitu dengan sebutan hokum
adat, tidaklah merupakan hukuman. Akan tetapi itu adalah suatu upaya adat,
untuk mengembalikan langkah yang berada di luar garis tertib cosmis itu, demi
untuk tidak terganggu ketertiban cosmis. Upaya adat dari lahirnya adalah
terlihat sebagai adanya penggunaan kekuasaan melaksanakan ketentuan yang
tercantum didalam pedoman hidup yang disebut adat. Tetapi dalam intinya itu
adalah lain, itu bukan pemaksaan dengan menggunakan alat paksa.itu bukan
bekerjanya suatu sanctie. Itu adalah upaya membawa kembalinya keseimbangan
yang terganggu, dan bukan suatu “hukuman”, buakn suatu “leed” yang
diperhitungkan bekerjanya bagi individu yang bersangkutan”.

Hal-hal yang telah dijelaskan oleh Moh. Koesnoe secara panjang lebar di atas,
merupakan kebudayaan Indonesia yang mendasari hokum adat yang berlaku. Hukum
adat tersebut merupakan hokum kebiasaan yang berlaku di kalangan rakyat terbanyak.
Akan tetapi di samping itu berlaku pula hokum tertulis (perundang-undangan) yang
timbul dari golongan tertentu dalam masyarakat yang mempunyai kekuasaan dan
wewenang yang resmi. Hukum perundang-undangan tersebut harus dapat
mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hokum adat agar supaya hokum
perundang-undangan tersebut dapat berlaku secara efektif.

Pasangan nilai-nilai kebendaan dan keahlakan, juga merupakan nilai yang bersifat
universal. Akan tetapi di dalam kenyataan pada masing-masing masyarakat timbul
perbedaan-perbedaab karena pelbagai macam pengaruh. Pengaruh dari kegiatan-
kegiatan modernisasi di bidang material, misalnya, sehingga akan timbul pula suatu
keadaan yang tidak serasi. Penempatan nilai kebendaan pada posisi yang lebih tinggi
dan lebih penting, akan mengakibatkan bahwa pelbagai aspek proses pelembagaan
hokum dalam masyarakat, adanya sanksi-sanksi negative lebih dipentingkan daripada
kesadaran untuk mematuhi hokum. Artinya, berat-ringannya ancaman hukuman
terhadap pelanggaran menjadi tolak ukur kewibawaan hokum ; kepatuhan hokum
kemudian juga disandarkan pada “cost and benefit”.

Mengenai hal tersebut di atas, memang belum pernah diadakan penelitian di


Indonesia, yang secara langsung memeriksa efek daripada penempatan nilai kebendaan
pada posisi yang lebih penting daripada nilai keahlakan. Akan tetapi secara tidak
langsung pernah dipersoalkan mengani hubungan antara pasal 283 dan 534 KUHP yang
berpokok pangkal pada nilai keahlakan, dengan pelaksanaan program keluarga
berencana. Akan tetapi di Negara lain, misalnya di Amerika Serikat pernah diadakan
berbagai penelitian, untuk mengukur mana yang lebih efektif, yakni penanaman
kesadaram ataukah ancaman hukuman yang tinggi. Contoh dari penelitian tersebut
hukuman yang pernah dilakukan oleh Schwarz dan Orleans terhadap efektifitas sanksi,
khususnya terhadap kepatuhan untuk membayar pajak (Richard D. Schwartz dan Sonya
Orleans 1967). Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan, bahwa sanksi-sanksi
lebih efektif bagi mereka yang berasal dari kelas social yang relative tinggi (dari sudut
kedudukan ekonomis). Bagi masyarakat luas yang menduduki kelas social yang lebih
rendah, maka penanaman kesadaran jauh lebih efektif daripada ancaman-ancaman
hukuman.

31
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Pasangan nilai konservatisme dan nilai inovatisme, senantiasa berperan di dalam
perkembangan hokum, oleh karena itu satu fihak ada yang menyatakan bahwa hokum
hanya mengikuti perubahan yang terjadi dan bertujuan untuk mempertahan “Status-
Quo”. Di lain fihak ada anggapan-anggapan yang kuat pula, bahwa hokum juga dapat
berfungsi sebagai sara untuk mengadakan perubahan dan menciptakan hal-hal yang
baru. Keserasian antara dua nilai tersebut akan menempatkan hokum pada kedudukan
dan peranan yang semestinya.

32
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
8 PENUTUP

Dari ulasan ulasan yang telah diketengahkan dimuka, maka kelima faktor yang telah
disebutkan, mempunyai pengaruh terhadap penegakan hukum mungkin pengaruhnya
adalah positif dan mungkin juga negatif. Akan tetapi, diantara semua faktor tersebut,
maka faktor penegak hukum menempati titik central. Hal itu disebabkan oleh karena
undangundang disususn oleh penegak hukum, penerapapnnya dilaksanakan oleh
penegak hukum dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh
masyarakat luas.

Penegak hukum didalam proses penegakan hukum seharusnya dapat menerapkan dua
pola yang merupakan pasangan, yakni pola isolasi dan pola integrasi. Pola-pola
tersebut merupakan titik-titik ekstrem, sehingga penegak hukum bergerak antara
kedua titik ekstrem tersebut. Artinya, kedua pola tersebut memberikan batas-batas
sampai sejauh mana kontribusi penegak hukum bagi kesejahteraan masyarakat.

Faktor-faktor yang memungkinkan mendekatnya penegak hukum pada pola isolasi


adalah antara lain, sebagai berikut:

1. Pengalaman dari warga masyarakat yang pernah berhubungan dengan penegak


hukum, dan merasakan adanya suatu intervensi terhadap kepentingan-
kepentingan pribadinya yang dianggap sebagai gangguan terhadap
ketentraman (pribadi).
2. Peristiwa-peristiwa yang terjadi yang melibatkan penegak hukum dalan
tindakan kekerasan dan paksaan yang menimbulkan rasa takut.
3. Pada masyarakat yang mempunyai taraf stigmatisasi yang relative tinggi,
memberikan “cap”yang negatif pada warga masyarakat yang pernah
berhubungan dengan penegak hukum.
4. Adanya haluan tertentu dari atasan penegak hukum, agar membatasi
hubungan dengan warga masyarakat, oleh karena adanya golongan tertentu
yang diduga akan dapat memberikan pengaruh buruk kepada penegak hukum.

33
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Namun dibalik itu semua, didalam konteks sosial tertentu, pola isolasi mempunyai
keuntungan-keuntungan tertentu, yakni antara lain, sebagai berikut :

1. Hubungan yang formal dalam interaksi sosial dapat merupakan faktor yang
mantap bagi penegak hukum untuk menegakkan hukum.
2. Apabila penegak hukum meupakan pelopor perubahan hukum maka
kedudukan yang lebih dekat pada pola isolasi akan memeberikan kemungkinan
yang lebih besar untuk melaksanakan fungsi tersebut.
3. Adanya kemungkinan bahwa tugas-tugas penegak hukum secara paralel
berlangsung bersamaan dengan perasaan anti penegak hukum namun dalam
keadaan damai, oleh karena ( Robert K.merton 1967 ) :
“ ... mechanism of insulating roel-activities from observability by members of
the role-set may contribute to social stability by allowing those in the same
role-set who are differently located in the social structure to play their
individual roles without ofert conflic “
4. Memungkinkan berkembangnya profesinalisasi bagi para penegak hukum.

34
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum
Daftar pustaka

Fakultas hukum Universitas Indonesia ( PSHPP ) dan kejaksaan agung.

Penelitian tentang Faktor-Faktor yang Menghambat Penyelesaian Perkara


Pidan Proses Banding dan kasasi. Jakarta.

Moch. Kosnoe. Peranan Hukum Adat didalam Pembangunan Nasional. Rae-advies


seminar awig-awig, denpasar, Bali.

Pound, roscoe. Interpretaions of legal history.

Prajudi atmo soedirdjo. Hukum administrasi Negara, Jakarta: galia Indonesia.

Purnadi Purbacaraka dan Soerjono soekanto. Perundang-undangan dan urisrudensi.


Bandung: Penerbit Alumni.

Purnadi Purbacaraka dan soerjono soekanto. Renungan tentang filsafat hukum. Jakarta
: C.V. rajawali.

Satjipto rahardjo. “hukum, kekerasan dan penganiyayaan”. Masalah-masalah hukum.


Nomor 1-6 tahun ke XII.

Soejono soekanto. “penegakan hukum dan kesadaran hukum”. Makalah pada seminar
hukum nasional ke IV, Jakarta.

35
Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum

Anda mungkin juga menyukai