Anda di halaman 1dari 7

TUGAS HUKUM HAM HALAMAN 117

1. Tanggung jawab pemerintah dalam penegakan hak asasi manusia ada yang
bersifat yuridis (justiciable) maupun non yuridis (non justiciable), buatlah
contoh masing-masing sebanyak 3 buah!
2. Apa tugas dan fungsi Komnas HAM di Indonesia?
- Menurut UU No. 39 Tahun 1999, Komnas HAM berwenang melakukan
penyelidikan terhadap pelanggaran hak asasi manusia berat dengan
dikeluarkannya UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia. Berdasarkan UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan
Diskriminasi Ras dan Etnis, Komnas HAM mendapatkan tambahan
kewenangan berupa pengawasan. Pengawasan adalah serangkaian
tindakan yang dilakukan oleh Komnas HAM dengan maksud untuk
mengevaluasi kebijakan pemerintah baik pusat maupun daerah yang
dilakukan secara berkala atau insidentil dengan cara memantau, mencari
fakta, menilai guna mencari dan menemukan ada tidaknya diskriminasi
ras dan etnis yang ditindaklanjuti dengan rekomendasi.
- Berdasarkan Pasal 76 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, Komnas HAM memiliki fungsi pengkajian, penelitian,
penyuluhan, pemantauan, dan mediasi yang berkaitan dengan hak asasi
manusia. Fungsi ini dijelaskan secara lebih mendalam di Pasal 89.
a. Fungsi pengkajian dan penelitian, Komnas HAM memiliki tugas dan
wewenang untuk
1. Mengkaji dan meneliti berbagai instrument internasional hak asasi
manusia. Tujuannya untuk memberi saran atas kemungkinan aksesi
(pengaksesan) dan atau ratifikasi (pengesahan dokumen negara
oleh parlemen).
2. Mengkaji dan meneliti berbagai peraturan perundang-undangan
untuk memberi rekomendasi atas pembentukan, pengubahan, serta
pencabutan peraturan perundang-undangan yang berhubungan
dengan hak asasi manusia
3. Menerbitkan hasil pengkajian dan penelitian
4. Melakukan studi kepustakaan, studi lapangan, dan studi banding
tentang hak asasi manusia di negara lain.
5. Membahas masalah tentang perlindungan, penegakan serta
pemajuan hak asasi manusia.
6. Melakukan kerja sama pengkajian dan penelitian dengan
organisasi, lembaga atau pihak lain, baik di tingkat nasional,
regional maupun internasional, dalam bidang hak asasi manusia.
b. Fungsi penyuluhan, Komnas HAM memiliki tugas dan wewenang
untuk:
1. Menyebarluaskan wawasan tentang hak asasi manusia ke
masyarakat Indonesia.
2. Mengupayakan peningkatan kesadaran masyarakat tentang hak
asasi manusia, lewat Lembaga pendidikan formal dan non formal
serta kalangan lainnya.
3. Melakukan kerja sama dengan organisasi, lembaga atau pihak lain,
baik di tingkat nasional, regional maupun internasional, dalam
bidang hak asasi manusia.
c. Fungsi pemantauan, Komnas HAM memiliki tugas dan wewenang
untuk:
1. Melakukan pengamatan pelaksanaan hak asasi manusia dan
Menyusun laporan hasil pengamatannya.
2. Menyelidiki dan memeriksa peristiwa di masyarakat yang patut
diduga terdapat pelanggaran hak asasi manusia.
3. Memanggil pihak mengadu atau korban maupun pihak yang
dilakukan untuk dimintai serta didengar keterangannya.
4. Memanggil saksi untuk diminta dan didengar keterangannya serta
meminta saksi pengadu untuk menyerahkan bukti yang diperlukan.
5. Meninjau tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu.
6. Memanggil pihak terkait untuk memberi keterangan tertulis atau
menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya
yang telah disetujui oleh Ketua Pengadilan.
7. Memeriksa pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan,
terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia yang proses
peradilannya sedang berjalan.
d. Fungsi mediasi, Komnas HAM memiliki wewenang dan tugas untuk:
1. Mendamaikan kedua belah pihak.
2. Menyelesaikan perkara lewat konsultasi, negosiasi, mediasi,
konsiliasi, serta penilaian ahli.
3. Memberi saran kepada pihak bersangkutan untuk menyelesaikan
sengketa lewat pengadilan.
4. Menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak
asasi manusia kepada pemerintah untuk ditindaklanjuti
penyelesaiannya.
5. Menyampaikan rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran hak
asasi manusia kepada DPR untuk ditindaklanjuti.

3. Jelaskan unsur perbuatan pelanggaran HAM berat!


- Adapun unsur-unsur yang menyertai dari pelanggaran berat HAM
dilakukan secara sistematis dan bersifat meluas. Secara sistematis dapat
diartikan hal tersebut dilakukan sebagai suatu kebijakan yang
sebelumnya tidak direncanakan. Pelanggaran HAM berat juga memiliki
unsur menimbulkan akibat yang meluas atau widespread. Hal ini
biasanya mengarah kepada jumlah korban yang sangat berat dan
kerusakan serius secara luas yang ditimbulkannya.
4. Jelaskan pemahaman asas hukum berlaku surut, mungkinkah?

Berlaku surut atau sering disebut dengan asas retroaktif adalah


pemberlakuan peraturan perundang-undangan lebih awal daripada saat
pengundangannya.
Pemberlakuan peraturan perundang-undangan pada hakekatnya berlaku pada
saat pengundangan, dalam artian setiap norma yang terkandung dalam
peraturan baik itu memerintahkan maupun melarang atau jenis lainnya sudah
berlaku mulai dari saat peraturan tersebut diundangkan.
Karena itu sebuah peraturan tidak dapat dikenakan pada kejadian sebelum
peraturan disahkan sesuai dengan asas legalitas. Lantas apakah berlaku surut
dalam pemberlakukan peraturan masih bisa diterapkan.
Asas legalitas adalah salah satu asas umum hukum pidana, sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 ayat (1) KUHP bahwa “Suatu perbuatan tidak dapat
dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan perundang-undangan pidana yang
telah ada”. Dengan pengertian tersebut bahwa asas legalitas diterapkan pada
perbuatan pidana atau hukum pidana, jika dirumuskan dalam norma maka
pemberlakuan surut tersebut boleh dimuat namun harus dikecualikan untuk
ketentuan pidana jika peraturan tersebut memuat ketentuan pidana.
Secara umum berarti pemberlakuan surut bisa diterapkan dalam peraturan
kecuali ketentuan pidana dan pembebanan konkret kepada masyarakat,
namun untuk peraturan yang berlaku surut harus memuat status dari
tindakan hukum yang terjadi atau hubungan hukum yang ada dalam
tenggang waktu antara tanggal berlaku surut dan tanggal berlakunya
peraturan tersebut.
Penormaan hubungan hukum dalam tenggang waktu tersebut dimaksudkan
untuk memberikan “kepastian hukum” dalam tenggang waktu tersebut agar
adanya kejelasan tindakan hukum, hubungan hukum dan akibat hukum
dengan adanya berlaku surut dalam peraturan dengan penempatan norma
tersebut dalam pasal atau bab “ketentuan peralihan”.
Dalam satu peraturan dapat diterapkan dua pemberlakuan sekaligus,
diterapkan berlaku surut dan pemberlakuan pada saat tanggal pengundangan.
Dengan kata lain bahwa peraturan tersebut berlaku surut pada tanggal
sebelum pengundangan kecuali norma yang ada ketentuan pidana atau
“pembebanan konkret” yang berlaku pada tanggal pengundangan.
Walaupun pemberlakuan surut dapat diterapkan dalam peraturan bukan
berarti setiap peraturan yang bukan kategori norma pidana dan pembebanan
masyarakat dengan mudah diberlakusurutkan sebab untuk diberlakusurutkan
suatu peraturan harus ada alasan yang kuat kenapa harus diberlakukan
sebelum tanggal pengundangannya, tanpa alasan yang kuat tentu berlaku
surut tersebut justru dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dan menjadi
alat kesewenang-wenangan.
5. Dalam pertanggungjawaban komando, siapakah komando yang efektif?
Berdasarkan pada Pasal 42 UU Nomor 22 Tahun 2000 dapat dirumuskan,
Komandan militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai
komandan militer dapat dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana
yang berada dalam yuridiksi pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan
yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif, atau di
bawah kekuasaan dan pengendalian yang efektif dan tindak pidana tersebut
merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut.
Pertanggungjawaban komando yakni,
- Seorang Komando atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai
komandan militer tersebut, mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu
seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau baru
saha melakukan pelanggaran HAM berat.
- Seorang Komando atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai
komandan militer tersebut, tidak melakukan Tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada
pejabat yang berwenang untuk melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan
6. Mengapa pelanggaran HAM berat tidak mengenal daluwarsa?
Daluwarsa berarti hilangnya kewenangan untuk menuntut suatu tindak
pidana, atau dengan kata lain dengan lampaunya masa daluwarsa, maka
seseorang yang diduga melakukan tindak pidana tidak lagi dapat diproses
hukum. Daluwarsa diatur dalam Pasal 78 KUHP sebagai berikut:
- Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa :
1. mengenai semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan
percetakan sesudah satu tahun;
2. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana
kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam
tahun;
3. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari
tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
4. mengenai kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana
penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
- Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan
belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi
menjadi sepertiga.
Mengenai daluarsa pelanggaran HAM diatur secara lex specialis
menyimpang dari ketentuan KUHP yaitu dalam Pasal 46 UU 26/2000 yang
menyatakan “untuk pelanggaran hak asasi manusia yang berat sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang ini tidak berlaku ketentuan mengenai
kadaluarsa.” Dengan tidak berlakunya ketentuan daluwarsa dalam kasus
pelanggaran HAM yang berat, maka segala bentuk pelanggaran HAM yang
berat di masa lampau tetap dapat diproses dan diadili.
Dengan demikian pelanggaran HAM berat tidak mengenal daluwarsa
karena hal itu diatur dalam Pasal 46 UU 26/2000. Namun, apabila
pelanggaran HAM yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU
26/2000, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc yang dibentuk
atas usul Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan
peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden.

Anda mungkin juga menyukai