PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai suatu disiplin keilmuan, filsafat hukum melakukan usaha pengkajian tentang
hukum secara mendasar dengan sistematis dan dengan metode yang rasional. Oleh karena
itu filsafat hukum akan memberikan jawaban terhadap "apakah hukum itu", yang pada
hakikatnya pertanyaan ini tidak bisa dijawab oleh hukum dan ilmu-ilmu lainnya.
Atas dasar pendekatan dan pengkajian filsafat hukum inilah maka hukum yang akan
dibangun akan tetap berlandaskan nilai ideologi, nilai budaya, nilai historis. nilai
sosiologis dan nilai yuridis. Di samping itu filsafat hukum bertujuan untuk menjelaskan
nilai-nilai dan dasar-dasar hukum sampai pada dasar-dasar filsafat nya.1
Sejak terjadinya pembajakan pesawat di Amerika terorisme menjadi salah satu
wacana yang akrab di telinga kita. Tragedi WTC, Bom Bali, BEJ, Marriot dan Bom di
depan Kedubes Australia Kuningan pada 9 September 2004, peristiwa serentetan
penangkapan teroris tahun 2008, 2009 hingga 2010, kemudian ditambah dengan
banyaknya film baik asing maupun dalam negeri yang mengupas masalah terorisme
membuat isu terorisme terus terangkat.
Peristiwa teroris memang mengguncang hati kita dengan kengerian yang luar biasa.
Ribuan orang meninggal, trauma, luka dan cacat seumur hidup dalam waktu seketika.
Pengesahan Perpu No. 1 Tahun 2002 menjadi UU No. 15 tahun 2003 mengundang
kontroversi dan polemik diantara para ahli hukum, mulai dari mengenai definisi sampai
apakah terorisme dapat dikatakan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime)
sehingga membutuhkan penanganan yang luar biasa pula, pemberlakukan asas retroaktif
terhadap para pelaku bom bali, dan pernyataan tidak sah Mahkamah Konstitusi terhadap
pemberlakuan asas retroaktif tersebut. Selama tiga tahun terakhir ini, khususnya pada
tahun 2004 terjadi perkembangan dalam penanganan aksi terorisme di seluruh dunia.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat diambil rumusan masalah yaitu,apakah
yang disebut dengan terorisme serta jenis-jenis terorisme dan bagaimana kajian filsafat
hukum dalam memandang terorisme.
1Soerjono Soekamto, 1977, Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, hal.
29.
1
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Jenis-jenis Terorisme
Terorisme secara kasar merupakan suatu istilah yang digunakan untuk penggunaan
kekerasan terhadap penduduk sipil/non-kombatan untuk mencapai tujuan politik, dalam skala
lebih kecil daripada perang.2 Dari segi bahasa, istilah Terorisme berasal dari Perancis pada
abad ke-18. Kata Terrorisme yang artinya dalam keadaan teror (under the terror), berasal dari
bahasa latin Terrere(gemetaran) dan deterre re (takut).3
Istilah terorisme pada awalnya digunakan untuk menunjuk suatu musuh dari sengketa
teritorial atau kultural melawan ideologi atau agama yang melakukan aksi kekerasan terhadap
publik. Istilah Terorisme (Terrorism) dan Teroris (Terrorist) sekarang ini memiliki arti politis
dan sering digunakan untuk mempolarisasikan efek yang mana terorisme tadinya hanyalah
istilah untuk kekerasan yang dilakukan oleh pihak musuh, dari sudut pandang orang yang
diserang. Polarisasi itu terbentuk karena ada relativitas makna terorisme yang mana
menurut William D. Purdue yang menyatakan bahwa :
The use word "terrorism" is one method of delegitimation often use by side that has the
military advantage.4
Sedangkan Teroris merupakan individu yang secara personal terlibat dalam aksi
terorisme. Penggunaan istilah teroris meluas dari warga yang tidak puas sampai pada
nonkonformis politik. Aksi terorisme dapat dilakukan oleh individu, sekelompok orang atau
negara sebagai alternatif dari pernyataan perang secara terbuka. Negara yang mendukung
kekerasan terhadap penduduk sipil menggunakan istilah positif untuk kombatan mereka,
misalnya antara lain paramiliter, pejuang kebebasan atau patriot. Kekerasan yang dilakukan
oleh kombatan negara, bagaimanapun lebih diterima dari pada yang dilakukan oleh teroris
yang mana tidak mematuhi hukum perang dan karenanya tidak dapat dibenarkan melakukan
kekerasan. Negara yang terlibat dalam peperangan juga sering melakukan kekerasan terhadap
penduduk sipil dan tidak diberi label sebagai teroris. Meski kemudian muncul istilah State
2Lihat History and Causes of Terrorism
3Ronny Rahman Nitibaskara State Terrorism", Kompas Cyber Media, www.kompas.com , edisi Sabtu, 20
April 2002. Diakses pada tanggal 12 oktober 2010.
4http://en.wikipedia.org/wiki/Definitions_of_Terrorism. Diakses pada tanggal 12 oktober 2010.
Terroris, namun mayoritas masyarakat membedakan antara kekerasan yang dilakukan oleh
negara dengan terorisme hanyalah sebatas bahwa aksi terorisme dilakukan secara acak, tidak
kenal kompromi, korban bisa saja militer atau sipil, pria, wanita, tua, muda bahkan anakanak, kaya, miskin, siapapun dapat diserang.
Kebanyakan dari definisi Terorisme yang ada menjelaskan empat macam kriteria,
antara lain target, tujuan, motivasi dan legitimasi dari aksi terorisme tersebut. Pada bulan
November 2004, Panel PBB mendefinisikan Terorisme sebagai :5
Any action intended to cause death or serious bodily harm to civilians, noncombatans when the purpose of such act by is nature or context, is to intimidate a
population or compel a government or international organization to do or to abstain
from doing any act.
Berdasarkan kalimat diatas maka dapat diterjemahkan bahwa segala aksi yang
dilakukan untuk menyebabkan kematian atau kerusakan tubuh yang serius bagi para
penduduk sipil, nonkombatan dimana tujuan dari aksi tersebut berdasarkan konteksnya
adalah untuk mengintimidasi suatu populasi atau memaksa pemerintah atau organisasi
internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu). Dapat dikatakan secara
sederhana bahwa aksi-aksi terorisme dilatarbelakangi motif-motif tertentu. Seperti misalnya
motif perang suci, motif ekonomi, balas dendam, dan motif-motif berdasarkan aliran
kepercayaan tertentu. Namun patut disadari bahwa terorisme bukan merupakan suatu ideologi
atau nilai-nilai tertentu dalam ajaran agama. Ia sekadar strategi, instrumen atau alat untuk
mencapai tujuan. Dengan kata lain, tidak ada terorisme untuk terorisme, kecuali mungkin
karena motif-motif kegilaan (madness).6 Sedangkan secara Normatif di Indonesia definisi
terorisme diatur dalam Pasal 1 butir ke 1 Perpu 1 Tahun 2001 yaitu :
Tindak pidana terorisme adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak
pidana sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang ini.
Sedangkan berdasarkan penjelasan umum dikatakan bahwa :
Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban serta merupakan
salah satu ancaman serius terhadap kedaulatan setiap negara karena terorisme sudah
merupakan kejahatan yang bersifat internasional yang menimbulkan bahaya terhadap
keamanan, perdamaian dunia serta merugikan kesejahteraan masyarakat sehingga perlu
dilakukan pemberantasan secara berencana dan berkesinambungan sehingga hak asasi
orang banyak dapat dilindungi dan dijunjung tinggi.
Bombings /BOM
Penggunaan Bom adalah merupakan suatu jenis teror yang paling umum
digunakan oleh teroris baik dengan cara bom bunuh diri maupun dengan Peledakan di
tempat tertentu. Hal ini dimungkinkan karena dalam merakit bom tidaklah terlalu sulit
untuk dipelajari dan bahan-bahan yang dibutuhkan juga tidak terlalu mahal dan sangat
mudah di dapat, perangkat modern yang lebih kecil juga cenderung lebih sulit untuk
dideteksi. Sedangkan kemampuan dan daya rusaknya sangat tinggi; misalnya, pada 7
Agustus 1998, Kedutaan besar Amerika di Afrika yang di bom oleh teroris telah
menewaskan/menelan korban 200 orang seketika, termasuk 12 warga Amerika yang
tidak bersalah dan lebih dari 5.000 warga sipil terluka. Masih banyak lagi contohcontoh serngan teroris yang dilakukan dengan cara penggunaan Bom seperti yang
dilakukan di Indonesia.
2.
7Polmer Situmorang, Jenis-jenis Terorisme, ditulis padan tanggal 13 November 2009, 15:05,
http//www.Polmersitumorang.bloger.com, diakses pada tanggal 12 Oktober 2010.
mendapatkan nilai tawar berupa uang, ataupun melepaskan rekan mereka yang
mungkin berada dalam penjara , dan publisitas untuk periode atau jangka waktu yang
dapat diperpanjang/di ulur sesuai dengan keinginan mereka. Tidak seperti penculikan,
sandera-dapat menjadi alat provokasi konfrontasi dengan pihak berwenang/pemerintah.
Hal ini akan memaksa pihak berwenang untuk membuat keputusan dramatis atau sesuai
dengan keinginan para teroris. Ini sebenarnya dirancang untuk menarik perhatian media
massa. Target utama dari para teroris ini sebenarnya adalah pemirsa media yang terus
mengikuti dan ingin tahu akan berita penyanderaan mereka.
3.
4.
mudah
dilakukan
oleh
kelompok
teroris
yang
mungkin
Kurang
6.
Selain tindak kekerasan yang dibahas di atas, ada juga berbagai jenis kekerasan
yang ada di bawah kerangka terorisme. Kelompok teroris melakukan pemotongan
anggota tubuh terhadap orang-orang mereka sendiri sebagai satu bentuk hukuman
untuk pelanggaran keamanan, pelanggaran karena meninggalkan kelompok , atau
penyebaran informasi kepada pihak lawan. Organisasi teroris juga melakukan
perampokan dan pemerasan apalagi ketika mereka harus membiayai sendiri operasi
mereka disaat tidak ada lagi sponsorship dari negara/organisasi yang bersimpati pada
mereka. Cyberterrorism merupakan bentuk baru terorisme yang terus berkembang,
mereka bergantung pada jaringan komputer untuk memberikan informasi dan
komunikasi
dalam
menghadapi
perkembangan
teknologi
yang
sendiri
atau
mempekerjakan
teknis
terampil
profesional
untuk
untuk berbuat dan mencari jalan keluar yang tidak jarang menghasilkan temuan yang sangat
berharga (necessity is the mother of science) dan juga menghasilkan temuan yang sesat (sesat
pikir). Kemidupa manusia tang banyak diwarnai intrik membuat seorang berfikiran bahwa
semua manusia melakukan dosa. Hanya aku dan golonganku yang tidak berdosa, sehingga
mereka melakukan serangkaian aksi untuk memurnikan ajaran mereka. Nilai-nilai yang
berkaitan dengan kognisi rasio dan pemikiran manusia telah diputar balikan oleh teroris
bahwa membunuh adalah halal. Kemudian afektif seorang teroris menyatakan itu benar,
kemudian hilanglah rasa kemanusiaan sehingga pada aspek konatif teroris tega membunuh
ratusan manusia yang dianggap kafir (bukan golongannya).
Terorisme merupakan fenomena gerakan sosial politik yang cukup kompleks. Ia
dilakukan dengan struktur dan jaringan yang rapi serta pendanaan transnasional yang banyak.
Tidak boleh dilupakan dan menjadi kata kuncinya adalah paham dan ideologi yang masif dan
mengakar. Tumbangnya pelaku tidak serta-merta mematikan paham terorisme tersebut.
Paling tidak, ada dua hal penting yang bisa dilakukan dalam rangka memerangi terorisme,
yakni memutus terorisme lokal dengan jaringan internasionalnya dan memerangi
kepercayaan atau ideologi terorisme. Apabila dua hal ini masih dibiarkan berkembang,
segigih apa pun pengejaran dan perburuan hanya menjadi drama yang tidak menyelesaikan
masalah.
Pada tahun 1970-an, jihad dan semangat radikalisme perjuangan Islam bertumpu pada
perjuangan lokal yang memerangi musuh dekat (al-aduwwu qorib), yakni pemerintahan
Islam di negerinya sendiri yang dianggap menyimpang dari nilai-nilai Islam dan berselingkuh
dengan negara kafir.
Perubahan terjadi memasuki 1990-an menuju gerakan yang disebut dengan gerakan
jihad transnasional yang menjadikan pihak Barat, Amerika dan sekutunya, sebagai musuh
yang jauh. Dalam gerakan tersebut, sebuah struktur rapi dan jaringan internasional yang
meliputi suplai pendanaan dan senjata sangat kuat. Lemahnya tingkat keamanan dan
instabilitas politik dalam suatu negara memudahkan jaringan tersebut masuk. Di Indonesia,
jaringan terorisme begitu mudah berkembang dengan pesat setelah runtuhnya Orde Baru.
Para pelaku terorisme memahami apa yang mereka lakukan sebagai bentuk jihad
melawan musuh dalam hal ini negara Barat yang telah lama melakukan penjajahan di dunia
Islam. Teroris selalu mengonsepsikan dunia dalam kondisi perang (the world is at war) antara
kejahatan dan kebaikan, antara kekuatan Tuhan dan setan, serta antara umat Islam dan Barat.
9Soerjono Soekanto et a,.1994, Antropologi Hukum : Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat. CV. Rajawali,
Jakarta, hal. 202 203.
Karena itulah, dalam aksinya, pemilihan lokasi, seperti di tempat keramaian atau di tempat
yang memiliki simbol kedekatan dengan dunia Barat, selalu menjadi incaran. Untuk itulah,
diperlukan pembongkaran terhadap konsep jihad dan perang yang diyakini oleh teroris
sembari memberikan pencerahan terhadap masyarakat. Jihad dalam Islam mempunyai banyak
bentuk yang salah satunya adalah berperang. Akan tetapi, anehnya saat ini, jihad sangat
identik dengan perang. Kalaupun ada perintah dan narasi historis yang menyebutkan
peperangan yang dilakukan Nabi, konsep perang saat ini apalagi yang dipahami para teroris
sangat beda jauh dengan konsepsi Islam. Banyak sekali narasi historis yang menceritakan sisi
keindahan Islam yang justru hal ini sengaja dilupakan dengan lebih menampilkan ayat dan
cerita peperangan yang dilakukan nabi tanpa memahami latar historisnya. Pada masa nabi,
jihad memiliki makna yang sangat luas karena meliputi segala aspek kesungguhan
pengabdian kepada Tuhan. Kontestasi pemaknaan terhadap jihad terus berlangsung pada
masa setelah kenabian. Perebutan kekuasaan, baik internal maupun perluasan kekuasaan
bangsa Arab pada masa pemerintahan Islam, merupakan ruang sosial yang menentukan
lahirnya konsepsi jihad yang mengerucut pada persoalan perang dan mengenyampingkan
aspek spiritual dan nonmiliter lainnya.
Dalam konsep perang, Imam Syafi'i banyak dikatakan sebagai pemikir pertama yang
mendengungkan kebolehan perang terhadap Muslim sebagai langkah ofensif dengan lahirnya
konsep wilayah, seperti dar al-islam (wilayah kekuasaan Islam), dar al-harb (wilayah perang),
dan dar al-ahd (wilayah perjanjian antara Islam dengan non-Muslim). Konsep tersebut
memainkan peran penting bagaimana para pemikir dan gerakan radikal dalam Islam
mengonsepsikan musuh dan negara di luar Islam. Padahal, konsepsi jihad atau konsepsi
wilayah tersebut bukan ajaran langsung dari Alquran, tetapi buah pemikiran dari ulama
dengan setting politik sosial tertentu. Konsepsi Imam Syafi'i tentu saja berbeda dengan yang
dimiliki oleh ulama sebelumnya, seperti Imam Hanafi. Imam Hanafi hanya mengonsepsikan
dua kategori wilayah. ImamHanafi tetap menyebut Darul Islam karena terdapat penduduk
yang sepakat untuk menghentikan gencatan dan memberikan pajak sebagai kompensasi
perlindungan yang diberikan umat Islam. Hanafi juga menambahkan bahwa umat lain berhak
diperangi, bukan karena ia dianggap tidak percaya terhadap Tuhan, tetapi karena ia lebih
dahulu mengancam keamanan dan perdamaian. Dengan alasan membela diri pun, dalih
terorisme tetap tidak bisa diterima. Perang dalam Islam tidak boleh dilakukan dengan
melampaui batas.10Bahkan, dalam masa peperangan yang sangat genting pun, nabi melarang
10Lihat di dalam Aloquran AlBaqarah (2): 190
9
umat Islam untuk membunuh dan menyakiti orang yang tidak sepadan atau tidak terlibat
dalam peperangan. Beliau berkata :
"Janganlah kalian membunuh orang yang tua renta, anak-anak, dan kalangan
perempuan." 11
Sehingga apabila dicermati melalui filsafat hukum, terjadinya terorisme adalah
dikarenakan sesat pikir yang memandang benar dan salah sehingga hukum positif yang
menjaga kerukunan dan ketertiban bangsa diterobos dengan pemikiran tersebut. Dunia
dikonsepsikan dalam keadaan perang antara baik dan buruk, sedangkan dirinya dianggap
masuk kedalam golongan yang baik. Hukum tidak dapat menjangkau pemikiran tersebut
karena dalamnya doktrin yang telah ditanamkan. Bukan hukum dunia yang mereka takutkan
tetapi kepercayaan akan dimasukkannya ia kedalam surga serta dijauhkan dari neraka yang
membuat pemikiran terorisme tetap subur.
Secara sosiologis harus diakui, munculnya tindak terorisme menandakan ada sesuatu
yang salah dalam sistem sosial, politik, dan ekonomi. Para pelaku teroris menjadi sedemikian
radikal umumnya karena merasa terasing atau termarginalisasi dari kehidupan sosial, politik,
dan/atau ekonomi masyarakatnya. Keterasingan tersebut pada umumnya bersifat struktural
yang termanifestasi pada kebijakan pemerintah yang kurang akomodatif atau merugikan
dalam waktu panjang. Hal ini mengakibatkan adanya perasaan tidak puas, benci pada
pemerintah dan kelompok masyarakat tertentu, seperti orang-orang kaya, penguasa, dan
orang asing yang dianggap telah melangkahi kepentingan mereka. Namun, upaya mereka
untuk lepas dari keterasingan tersebut secara normal mengalami hambatan karena tidak
adanya ruang bagi untuk berpartisipasi atau menyalurkan harapan dan kepentingan mereka
sehingga timbullah aksi radikal seperti terorisme.
Amatlah penting untuk menerapkan cara-cara lain yang lebih persuasif dan
akomodatif terhadap kepentingan berbagai kelompok yang dianggap berpotensi melakukan
tindak terorisme. Misalnya dengan menerapkan kebijakan yang lebih sensitif terhadap
kepentingan berbagai kelompok yang merasa termarginalisasikan atau dirugikan dengan
berbagai kebijakan yang telah diterapkan selama ini. Termasuk kemungkinan penerapan
kebijakan yang bersifat dan mengandung unsur Konsesi dan "rekonsiliasi" antara pemerintah
dan masyarakat dan unsur-unsur dalam masyarakat itu sendiri.
11
10
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Bahwa terorisme adalah kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban dengan
menggunakan kekerasan maupun ancaman kekerasan untuk mengganggu stabilitas
nasional maupun internasional yang didasarkan atas motif dan tujuan tertentu.
2. Bahwa filsafat hukum dalam mengkaji terorisme memandang telah terjadi sesat
pikir yang memandang benar dan salah sehingga hukum positif yang menjaga
kerukunan dan ketertiban bangsa diterobos dengan pemikiran tersebut. Dunia
dikonsepsikan dalam keadaan perang antara baik dan buruk, sedangkan dirinya
dianggap masuk kedalam golongan yang baik. Hukum tidak dapat menjangkau
pemikiran tersebut karena dalammnya doktrin yang telah ditanamkan.
B. Saran
Setelah mencermati dasar terjadinya teroris melalui kacamata filsafat maka penulis
menyarankan perlunya rehabilitasi terhadap pelaku terorisme. Wacana integrasi bangsa
Indonesia harus terus di kumandangkan serta stabilitas nasional perlu ditingkatkan melalui
politik pertahanan dan keamanan Nasional.
11
DAFTAR PUSTAKA
Rinjin, Ketut. 1997. Pengantar Filsafat Ilmu dan Ilmu Sosial Dasar. CV Kayumas. Bandung.
Situmorang, Polmer. Jenis-jenis Terorisme. Ditulis pada tanggal 13 November 2009, 15:05,
http//www.Polmersitumorang.bloger.com, diakses pada tanggal 12 Oktober 2010.
Rahman, Ronny. State Terrorism". Kompas Cyber Media, www.kompas.com , edisi Sabtu,
20 April 2002. Diakses pada tanggal 12 oktober 2010.
Soekamto, Soerjono. 1977. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
. 1994. Antropologi Hukum : Proses Pengembangan Ilmu Hukum Adat. CV. Rajawali.
Jakarta.
Sumber-sumber Lain
http://en.wikipedia.org/wiki/Definitions_of_Terrorism. Diakses pada
tanggal
12
oktober 2010.
Lihat
History
and
Causes
of
Terrorism
http
://
en
.wikipedia
12