Disusun oleh
M.Gery al januardo (1810113074)
No absen 35
Fakultas Hukum
Universitas Andalas
Tahun 2019
HUKUM INTERNASIONAL PADA UMUMNYA
Sistem hukum internasional modern merupakan suatu produk, kasarmya, dari empat ratus
tahun terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek negara-negara eropa
modern dalam hubungan-hubungan dan komunikasi-komunikasi mereka, sementara masih
terlihat bukti pengaruh para penulis dan ahli-ahli hukum daro abad-abad keenam belas ketujuh
belas dan kedelapan belas. Lagipula hukum internasional masih tetap diwarnai dengan konsep-
konsep seperti kedaulatan nasional dan kedaulatan teritorial, dan konsep kesamaan penuh serta
kemerdekaan negara-negara, yang meskipun memperoleh kekuatan dari teori-teori politik yang
mendasari sisrem ketatanegaraan eropa modern, anehnya beberapa konsep ini memperoleh
dukungan dari negara-negara non eropa yang baru muncul.
Dalam periode kekuasaan romawi terhadap dunia kuno seseungguhnya sumbangan langsung
dari yunani dan romawi terhadap perkembangan hukum internasional relatif kurang. Kondisi-
kondisi yang mendukung pertumbuhan bangsa-bangsa muncul pada abad ke 15, pada saat di
eropa mulai bermunculan negara-negara beradab yang merdeka. Sebelum masa itu eropa telah
melewati tahap dimana kondisi yang ada demikian kacau-kacau sehingga memungkinkan
berkembangnya kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara bangsa-bangsa, atau keadaan
politik yang sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan perangkat hukum internasional.
Dengan demikian dalam periode akhir sejarah romawi dengan wibawa kekaisaran romawi yang
meluas mencakup keseluruhan dunia beradab, tidak ada satupun negara yang merdeka, dan
karenanya tidak diperlukan adanya hukum bangsa-bangsa.
Selama abad pertengahan, terdapat dua hal khusus yang menjadi pengahalang evolusi suatu
sistem hukum internasional, yaitu :
a. Kesatuan duniawi dan rohani sebagian besar eropa dibawah imperium roma suci (Holy
Roman Empire), meskipun sampai sebegitu jauh ketentuan ini masih merupakan dugaan
dan dibantah oleh sejumlah besar contoh konflik dan ketidakrukunan.
b. Struktur feodal eropa barat yang melekat pada hierarki otoritas yang tidak hanya
menghambat munculnya negara-negara merdeka akan tetapi juga mencegah negara-negara
pada saat itu memperoleh karakter kesatuan dan otoritas negara-negara berdaulat modern.
POSITIVISME
Teori yang dikenal dengan sebutan ‘’positivisme’’ mendapat dukungan luas, dan telah
dianut oleh sejumlah penulis terkemuka. Kita sebelumnya telah melihat bahwa
Bynkershoek adalah seorang ‘’positivis’’ pada abad ke 18, tetapi teori-teori ‘’kaum
positivis’’ modern telah mengelami perbaikan-perbaikan dan dinyatakan dalam generalisasi-
generalisasi yang tidak dijumpai dalam tulisan-tulisannya.
Penganut-penganut ‘’positivis’’ berpendapat bahwa kaidah-kaidah hukum internasional
pada analisis terakhir memiliki karakter yang sama dengan hukum nasional (yaitu hukum
negara) ‘’positif ‘’ sepanjang kaidah-kaidah hukum tersebut juga berasal dari kehendak
negara. Mereka yakin bahwa hukum internasional secara logis dapat dikembalikan kepada
suatu sistem kaidah yang untuk validitasnya akan bergantung hanya pada fakta bahwa
negara-negara telah menyatakan kesetujuannya.
BAB 2.
SUMBER-SUMBER MATERIAL HUKUM INTERNASIONAL
Sumber-sumber material hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual
dari mana seorang ahli hukum menentukan kaidah hukum yang beraku terhadap keadaan
tertentu. Bahan-bahan ini dimasukkan dalam lima kategori yaitu :
1. Kebiasaan
2. Traktat-traktat
3. Keputusan-keputusan pengadilan atau penagdilan arbitrasi
4. Karya-karya hukum
5. Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organ-organ lembaga-lembaga
internasional.
A. KEBIASAAN (CUSTOM)
Istilah ‘’ kebiasaan ‘’ dan ‘’ adat istiadat’’ sering digunakan secara bergantian. Secara
tegas dapat dikatakan, ada suatu perbedaan teknis yang tegas diantara kedua istilah
tersebut. Adat istiadat merupakan tahapan yang mendahului adanya kebiasaan. Kebiasaan
mulai apabila adat istiadat berakhir. Adat istiadat adalah suatu kebiasaan bertindak yang
belum sepenuhnya memperoleh pengesahan hukum. Adat istiadat mengkin bertentangan,
kebiasaan harus terunifikasi dan bersesuaian (self-consistent). Viner’s Abrigement yang
berkenaan dengan kebiasaan dalam hukum inggris.
B. TRAKTAT-TRAKTAT
Pengaruh dari suatu traktat dalam memberi arahan kepada pembentukan kaidah-kaidah
hukum internasional bergantung pada sifat hakikat traktat yang bersangkutan. Dalam
kaitan ini perlu kiranya untuk membuat perbedaan, meskipun tidak bersifat kaku, antara :
a. Traktat-traktat ‘’ yang membuat hukum’’ (Law-making), yang menetapkan kaidah-
kaidah yang berlaku secara universal dan umum.
b. ‘’traktat-traktat kontrak ‘’ (Treaty contracts) misalnya, suatu traktat antara dua
atau hanya beberapa negara, yang berkenaan dengan suatu pokok permasalahan
khusus yang secara eksklusif menyangkut negara-negara ini.
Suatu traktat ‘’ yang membuat hukum ‘’ pada hakikatnya tidak dapat menjadi suatu
ketentuan yang membuat kaidah-kaidah hukum internasional yang senantiasa berlaku
secra universal. Kita terpaksa menerima adanya pembagian traktat-traktat ‘’ yang
membuat hukum’’ dalam dua macam :
Karya-karya hukum bukan merupakan ‘’sumber’’ hukum yang berdiri sendiri, walaupun
kadang-kadang opini hukum mengarahkan pada pembentukan hukum internasional. Menurut
laporan sebuah badan ahli pada Liga Bangsa-Bangsa, opini hukum hanya penting sebagai
suatu sarana guna menjelaskan kaidah-kaidah hukum internasional. Opini hukum ini tidak
dengan sendirinuya punya otoritas, meskipun dapat saja menjadi otoritatif apabila kemudian
dalam kaidah kebiasaan hukum internasional; hal inipun karena tindakan negara-negara atau
badan-badan lain untuk menjadikannya sebagai kebiasaan, dan bukan dari kekuatan yang
dimiliki oleh opini hukum tersebut.
BAB 3.
Menurut Kelsen, tidak ada perbedaan nyata hukum suatu negara dan hukum internsional.
Kedua sistem hukum tersebut mengikat individu-individu, walaupun hukum internasional secara
teknis mengikat negara-negara, itu hanyalah bersifat peraantara (mediately) dan karena konsep
negara.
Bab 4.
A. Umum
Tidak ada satu cara pemahaman yang sebaik-baiknya atas pokok-pokok hukum
internasional yang melebihi pemahaman yang jelas mengenai hubungannya dengan hukum
nasional. Suatu pengenalan yang seksama mengenai topik ini akan sangat penting dari segi
praktis. Terutama dalam hal nilainya untuk menjelaskan hukum traktat – yang mungkin
merupakan cabang hukum internasional yang paling penting, dan satu pokok yang sering
kali menyangkut bidang kekuasaan hukum nasional. Walaupun tujuan dari buku ini hanya
mengemukakan dasar-dasar hukum internasional modern, namun dalam hal ini dipandang
perlu untuk memberikan lebih dari sekedar pemaparan dasar dari hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional (State law).
B. Teori-Teori Mengenai Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Dua teori utama yang dikenal adalah monisme dan dualisme. Menururt teori monisme,
hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem
hukum umumnya, menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem hukum yang saling berbeda, hukum internasional mempunyai suatu
karakter yang berbeda secar (intrinsically) dari hukum nasional.
1. DUALISME
Eksponen-eksponen utama dari teori dualisme adalah para penulis positivis, Triepel
dan Anzilotti. Bagi para positivis itu, dengan konsep si teori kehendak (consensual)
mereka tentang hukum internasional, merupakan hal yang wajar apabila menganggap
hukum nasional sebagai suatu sistem yang terpisah. Dengan demikian menurut Triepel,
terdapat dua perbedaan fundamental diantar kedua sisten hukum tersebut, yaitu:
a. Subyek-subyek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek-subyek
hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya negara-negara.
b. Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehenfak
negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak berasama
(gemeinwille) dari negara-negara.
2. MONISME
Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualisme, pengikut-pengikut
teori monisme menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang
tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat
negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara.
Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang
pengetahuan, dan point yang menentukan karenanya adalaha apakah hukum
internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan. Jika secara hipotesis
diakui bahwa hukum internasional merupakan suatu sistem kaidah yang benar-benar
berkarakter hukum, maka menurut Kelsen (1881-1973) dan penulis-penulis monitis
lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa kedua sistem hukum tersebut
merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum.
Dengan demikian suatu konstruksi selain monisme, khususnya dualisme, bermuara
pada satu penyangkalan karakter hukum yang sebenarnya dari hukum internasional.
Penulis-penulis monitis tidak akan berpendapat lain selain menyatakan bahwa kedua
sistem tersebut, karena keduanya merupakan sistem kaidah-kaidah hukum, merupakan
bagian-bagian yang saling berkaitan didalam suatu struktur hukum.
Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-hak dan kewajiban- keajiban negara
(yang ditandatangani leh Amerika Serikt dan beberapa negara Amerika Latin)
mengemukakan karakteristik-karakteristik berikut ini:
a. Negara-negara Mikro
“ pada dasarnya semua bangsa mempunyai kedudukan yang sama satu sama lain karena
angsa-banga dianggap sebagai pribadi anusia bebas yang hidup dalam suatu keadaan
alami. Oleh karena itu, karena pada dasarnya semua manusia memiliki kedudukan yang
sama, maka semua bbangsa pun ada dasarnya berkedudukan sama satu sma lain”.
b. Kondominium (condominium)
c. Anggota-anggota Persemakmuran
d. Wilayah-wilayah Perwalian
Tujuan dari netralisasi tersebut adalah: 1. Melindungi negara-negara kecil dari negara-
negara kuat yang berdekatan an dengan cara itu memeligara keseimbangan kekuatan, 2.
Melindungi dan menjaga kemrdekaan negara-negara “penyangga” (buf states) yang
terletak di antara negara-negra besar.
BAB. 6
PENGAKUAN
BAB. 7
1. Kedaulatan Teritorial dan Hak-Hak Lain yang Lebih Kecil yang Dimiliki Negara-Negara
Oleh karena itu muncullah knsep “kedaulatan teritorial” yang menandakan bahwa di
dalam wilayah kekuasaan ini yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap orang-orang dan
harta benda yang menyampingkan negra-negara lain.
Konsep ini memiliki kemiripan dengan pemikiran patrimonial pemilikan menurut hukum
perdata, dan dalam kenyataan memang para peulis pelopor idang hukum internasional
banyakmemakai prinsip-prinsip pemilikan dari hukum spil dalam pembahasan mereka
mengenai kedaulatan teritorial negara. Hingga saat ini, pengaruh mereka masih bertahan
sehingga khususnya kaidah-kaidah mengenai perolehan dan kehilangan keaulatan teritorial
secara jelas menerminkan adanya pengaruh hukum sipil, tetapi disadari baha ada bahayanya
mengambil cara-cara analogi kepada hukum Romawi dan hukum sipil.
Seperti diperlihatkan dalam opini nasihat internasional Court of Justice mengenai perkara
Western Sahara (1975), pertalian hukum dari kedaulatan teritorial terhaadap rakyat atau
tanah harus dibedakan dari kedaulatan teritorial terhadap rakyat atau tanah harus dibedakan
dari pertlian kesetiaan, dalam hal orang-orang, dan yang semata-mata hak kebiasaan
berkaitan dengan tana
Lima cara tradisional dan yang pada umumnya diakui untuk diperoleh nya kedaulatan
teritorial adalah:
a. Okupasi (Occupation)
b. Aneksasi (Annexatin)
Apabila wilayah yang dianeksasi telah dilakukan atau ditundukan oleh negara
yang menganeksasi.
d. Penyerahan (Cession)
e. Preskripsi (Prescription)
Merupaka hasil dari pelaksanna kedaulatan de facto secara damai untuk jangka
waktu yang sangat lama atas wilayah yang tundukmpada kedaulatan negara lain, dan
preskripsi ini mungkin sebagi akiat dari pelaksanaan kedaulatan emikian yag sudah
berjalan lama sekali (mislanya, karena deng jangkanwaktu tersebut menghilagkan
kesan kedaulatan oleh negara pendahulu) atau sebgai akibat lamanya kepemilikan
yang bertentangan semata-mata.
Lima Kebebaan di Udara atau Five Freedom of the Air yaitu hak perusahaan
penerbangan setiap negara untuk:
Menurunkan trafik di suatu negara asing yang beraal dari negara asal pesawat
udara itu;
Menurunkan trafik di suatu negara asing yang dituju dengan tujuan negara asal
pesawat udara:
Seperti yang dikataakn oleh Hakim Manfred Lachs dari International Court of
Justice, yang juga pakar hukum ruang angkasa ternama, dalam kaitan lain menyatakan: “
Kapan saja hukum dihadapkan pada fakta alamiah atau teknologi, maka jalan keluarnya
harus dilandaskan kepada kriteria yang berasal dari hal-hal tersebut. Karena hukum
dimaksudkan untuk memecah persoalan-persoalan yang dihadapi oleh fakta demikian
dan dala hal ini kaitan anatara hukum dan realita-realita kehidupan menjelma, bukan
teori hukum yang memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut; yang
dilakukanny adalah untuk memilih dan menerapkan suatu jawaban yang paling sesuai
dengan tujuan-tujuannya dan mengintegrasikannnya di dalam kerangka hukum”.
a. Perbatasan
Merupakan salah satu manifestasi yang terpenting dari kedaulatan teritorial. Sejauh
perbatasan itu secara tegas diakui dengan traktat atau diakui secara umum tanpa
pernyataan yang tegas, maka perbataan merupakan bagian dari suatu hak negara
terhadap wilayah.
b. Sungai-sungai
Servitut merupakan sebagai suatu pembatasan eksepsional yang dibebankan oleh traktat
terhadap kedaulatan teritorial negara tertentu di mana wilayah negara tersebut dibebani
kewajiban-kewajiban atau restriksi-restriksi yang melayani kepentingan-kepentingan dari
negara llain, aatu kesatuan non-negara. Suatu contoh terkenal adaalh syarat bahwa ota
perbatasan Hunungen di Alsace tidak boleh dibentengi demi kepentingan Canton of Blase
(Swos).
Pada awalnya, doktrin seritut internsional diambil dari hukum perdata, dan banyak
pengarang berpendapat bahwa translasinya pada bidang hukum internasional belum berhasil.
Terapat alasan kuat bahwa doktrin tersebut sesungguhnya kurang begitu perlu, dan bahwa
hukum internasional dapat menghapus penerapan doktrin ini. Pendapt ini paling sedikit
didukung oleh penolakan dala dua kasus yang telah disebut yang mengenai kalim seritut.
BAB. 8
YURISDIKSI
1. Tinjauan Umum
Praktek pelaksanaan yurisdiksi oleh negara-negara terhadap orang, harta benda atau
tindakan-tindakan atau peristiwa-peristiwa berbeda-beda disetiap negara dan perbedaan-
perbedaann ini disebabkan faktor-faktor historis dan geografis, yang meskipun kurang
memainkan peranan penting karena, dengan alsan perkembnagn-perkembnagan teknologi,
negara-negara secara geografis lebih bersatu.Secara historis,negara-negara seperti Inggris,
yang perbatasan lautnya menonjol, sangat menaati prinsip yurisdiksi teritorial, yang
menurut mana setiap negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap harta benda dan orang
di, atau terhadap tindakan atau peristiwa yang terjadi dalam wilayahnya ; hal ini karena
pergerakan bebas atau tidak terbatas dari indiidu-indiidu atau harta benda ke atau dari
negara-negara yang sebagian besar terikat oleh perbatasan-perbatasan daratan.
2. Yurisdiksi Terirorial
Pelaksanaan yurisdiksi oleh suatu negara terhadap harta benda, orang tindakan atau
peristiwa yang terjadi di dalam wilyahnya jelas diakui oleh hukum intrnasional untuk semua
negara anggota masyarakat internasional. Prisnsip tersebut telah dikemukakan dengan tepat
oleh Lord Macmillan: “Adalah suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini,
seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi
terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dala semua
perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini’.
a. Negara-Negara Asing dan Kepala-Kepala Negara Asing
Secara historis, barangkali ada benarnya menyatakan bahwa, kecuali dalam kasus
keterlibatan negara-negara dalam transaksi-transaksi yang sifatnya komersial dan non-
pemerintahan, ada suatu praktek yang umum yang mendukung keberadaan prinsip
hukum internasional bahwa negara-negara asing dan kepala-kepala negara asing dapat
berperkara di pengadilan-pengadilan itu kecuali secara sukarela mereka tunduk dapat
dituntut di pengadilan-pengadilan terebut baik ad hoc ataupun umum melalui traktat atau
traktat-traktat.
Mereka itu menikmati imunitas absolut dari yurisdiksi kriminal negara tuan rumah dan
imunitas dari yurisdiksi sipil dan administratif kecuali dalam tiga hal khusus yang
dinyatakan dalam pasal 31 yaitu;
Terdapat dua teori mengenai yurisdiksi terhadap kapal-kapal negara milik negara asing:
Teori “pulau terapung” (floating island) menurut teori mana sebuah kapal negara
harus dianggap sebagai bagian dari wilayah negara yang memilikinya.
Pengadilan teritorial suatu negara memberikan kepada kapal dan awak kapal
serta isi kapal tersebut imunitas-imunitas tertentu yang tidak bergantung atas
suatu teori obyektif yang menytakan bahwa kapal negara merupakan wilayah
negara asing, tetapi atas suatu implikasi yang diberikan oleh hukum terirtorial
lokal.
Angkatan bersenjata yang diterima di wilayah negara asing menikmati suatu imunitas
terbatas, tetapi bukan suatu imunitas absolut, dari yurisdiksi teritorial tersebut.
e. Lembaga-Lembaga Internasional
Berbeda dengan yurisdiksi atas wilayah, bergantung kepaad orang yang terlibat dalam
peristwia hukum. Kualitas ini dapat membenarkan suatu negara atau negara-negara
menjalankan yurisdiksi apabial orang itu berada dalam kekuasaan negara, dan proses
peradilan dapat dilaksanakan terhadapnya.
Suatu tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi universl adaalah tindak pidana yang
berada di abwah yurisdiksi semua negara di aman pun tindakan itu dilakukan. Karena
umumnya diterima, tindakan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat
internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai delik de jure genium dan semua negara
berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku-pelakunya.
Salah satu akibat meningkatnya volume, jangkauan dan frekeunsi laluintas udara
internasional, yang dibarengi dengan meningkatnya jumlah negara di mana pesawat udara
perusahaan penerbangan didaftrakan telah menimbulkan peningkatan persoalan-persoalan
yurisdiksi yang pleik berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan di dalam pesawat
udara dalam penerbangan.
Apabila hal ini belum cukup,perkembnagn lain telah menjadi ancaman besar terhadap
keselmatan dan kepercayaan terhadap penerangan sipil internasional karena miningkatnya
pristiwa pembajakan (hijacking) dan tindakan terorisme terhadap pesawat udara yang akan
tinggal landas atau mendarat serta terhadap penumpang-penumpang pesawat udara terkait.
BAB. 9
Tidak ada hukum intrnasioal yang lebih banyak mnegalami perubahan secara reolusiner
selama empat dekade terakhir, dan khususnya selama satu setngah dekade terakhir, selain
daripada hukum laut dan jalur-jalur marititm (maritime highways). Penandatanganan akhir
pada tanggal 0 Desember 1982, di montego Bay – Jamaica, oleh sejumlah besar negara
(tidak kurang dari 118 negra) yang terwakili dalam konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Ketiga tentang hukum Laut 1973-1982 (UNCLOS) guna menyusun suatu ketentuan hukum
internasional yang komprehensif berkaitan degan hukum laut di bawah judul Konvensi
Perkembangan paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional
berkenaan dengan lautan bebas.
Grotius merupakan salah seorang yang dari kalangan yang merasa snagat keberatan
dengan adanya kalim-klaim kedaulatan luas ini. Keberatan-keberatannya itu terutama
didasarkan atas dua landasan:
Tidak ada lautan yang dapat menjadi sutu bangsa atau negara karena tidak mungkin
bigai suatu negara untuk scra efektif mnegmbilnya sebgai hak milik dengan cara
okupasi.
Alam tidak memberikan hak kepada siapapaun untuk memiliki sarana yang dapat
dimanfaatkan oleh setiap orang yang serta yang sifatnya tidak dapat habis
(exhaustble) – dengan perkataan lain, laut terbukaatau lepas adalah hak semua
bangsa (res gentium) atua barang non-komersial (ras extra comercium).
2. Hukum Laut Menurut Rezim yang Dibentuk Oleh Konvensi Perserikatan Bngasa-Bangsa
Desember 1982
a. Definisi-definisi (Bagian I)
Dimuat dalam pasal 1, yang terdapat dalam bagian I istilah “Kawasan” (Area)
diartikan sebagai dasar laut dan dasar samudra serta lapisan tanah di bawahnya di luar
batas yurisdiksi nasional. Pasal itu juga memberikan definisi “Otoritas” (Authority –
International Seabed Authory), “kegiatan-kegiatan di kawasan” (eksplorasi dan
eksploitasi sumber-sumber daya alam), “pencemaran lingkungan” (dengan penekanan
pada pengaruh-pengaruh yang merusak, penciptaan bahaya-bahaya dan kerusakan
mutu lingkungan), “pembuangan limbah” (“dumping” – dengan penekanan pada
kesengajaan membuang limbah, dll), dan “Negara-negara Peserta”.
Pasal 2 menyatakan bahwa kedaulatan negara pantai selain di wilayah dartan dan
peraian pedalamannya dan, dalam hal sutau negara kepulauan, peraian kepulauanya,
meliputi juga laut teritorial, ruang udara di atasnya dan dasar laut serta lapisan tanah
di bawahnya (bandingkan pasal 1-2 Konvensi Janewa 1958 mengenai Laut Teritorial
dan Zona Tambahan). Lebar dan batas-batas laut teritorial negara-negara diatur dalam
pasal 3-7, menurut pasal-pasal itu bats laut teritorial tidak melebihi 12 mil laut diukur
dari garis pangkal, garis pangkal biasa (normal) adalah marka pasang surut seperti
terlihat pada peta skala besar yang secara resmi diakui oleh negara pantai.
Pertama, deinis ZEE terdapat dalam pasal 55 dan 57 sebagai suatu wilayah di luar
dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tidak melebihi jarak 200 mil laut dari
garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur (yaitu, 200 mil laut yang tidak
diukur dari batas laut terluar dari laut teritorial).
d. Landas Kontinen
Bagian VI (Pasal 76-85); bandingkan dengan pasal 1-15 Konvensi Janewa 1958
mengenai Landas Kontinen tidak hanya mengatur landas kontinen, tetapi juga tepian
kontinen (continental margin). Sebenarnya, landas kontinen dibatasi dengan mengacu
kepada tepi kontinen sebagai berikut (lihat ayat 1 Pasal 76)
e. Perbudakan (Slavery)
Masalh pembajkan jure gentium, yang diatur dalam pasal 100-107 Konvensi,
hanya dapat dibahas secara layak dalm konteks hukum internasional tradisional yang
menyangkut masalah itu, yang dianggap berkaitan dengan pasal-pasal Konvensi.
Kapal-kapal perang harus melintasi Terusan tanpa tertangguh, tid tinggal leih dari 24 jam
di Port Said dan Sue. Pasukan-pasukan tentar, amunisi dan perangkat peralatan perang
lainnya tidak boleh dikapalkan dan diturunkan di dalam Terusan atau di pelabuh-
pelabuhannya, dan tidak diizinkan adanya kubu-kubu pertahanan di Terusan, atau
penempatan kapal perang. Tunduk pada ketentuan-ketentuan Konvensasi tahun 1888,
Terusan Suez merupakan bagian wilayah Mesir.
BAB. 10
Tanggung jawab negara telah dinyatakan secara tegas dibatasi pada “pertanggungjawaban
negara-negara agi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah”. Ini merupakan
tanggung jawab negara dari arti tegas, sunber tanggung jawab tersebut adalah suatu
tuindakan atau tindakan tindakan yang melanggar hukum internasional.
a. Negara-Negara Federal, Negara-Negara di bawah Perlindungan dan Unsur-Unsur
Teritorial Kesatuan-Kesatuan Pemerintah
Perlu kiranya pada waktu membahas hal-hal praktis tanggung jawab negara itu
mengingat baik-baik batas-batas antara hukum internasinal dan hukum nasional.
Perbedaan ini secara khusus ada kaitannya dengan dua hal:
Tanggung jjawab negara atas pelanggaran suatuu kewajiban traktat bergantug pada
ketetapan syarat-syarat ketentuan perjanjian yang dituduhtelah dilanggar. Seringkali hal ini
hanya merupakan masalh penafsiran kata-kata yang digunakan dalam traktat itu. Apabila
ketentuan-ketentuan traktat itu dilanggar, maka muncul tanggung jawab. Menururt
Permanent Court of Internasional Justice dalam Chorow Factory (indemnity) Case, yang
menjadi prinsip hukum internasional adlah bahwa “setiap pelanggaran atas perjanjian
menimbulkan suatu kewajiban untuk memberikan ganti kerugian”.
Dalam praktek, sebagian besar kasus tanggung jawab negara, paling tidak di hadapkan
pengadilan-pengadilan internasional, timbul dari kesalahan-kesalahan yang dituduhkan telah
dilakukan oleh negara yang bersangkutan. Kesalahan yang dimaksud dalam kaitan ini berarti
pelanggran beberapa kewajiban yang dibebankan terhadap suatu negara berdasarkan hukum
internasional dan bukan pelanggaran terhadap kewajiban kontraktual semata-mata. Terhadap
kesalahan-kesalahan demikian, seringakli diterapkan istilah “pelanggran internasional”
(international delinquency). Memang terlalu dini untuk mengukur berlakunya dampak pada
tpik mengenai meningkatnya tendensi berdasarkan hukum internasional untuk
membebankan tanggung jawab atas individu-individu bagi pelanggran-pelanggarn yang
dilakukannya saat inni (lihat Bab 3 di atas)
4. Klaim-Klaim
Karena suatu negara memiliki hak untuk melindungi para warga negarannya di luar negri,
maka negara itu berhak campur tangan secara diplomatik atau mengajukan suatu klaim
untuk menyelesaikan yang memuaskan (satisfaction) di hadapkan suatu pengadilan arbitrase
internasional apabila salah satu dari rakyatnya telah mendapat kerugian tidak sah yang untuk
mana negara lain bertanggung jawab. Negara penuntut itu dianggap telah dirugikan melalui
rakyatnya, atau untuk menuntut hak nya bagi jaminan dihormatinya kaidah-kaidah hukum
internasional vis a vis para warganya, dan sekali campur tangan itu dilakukan atau sekali
klaim diajukan, maka persoalan itu menjadi suatu hal yang menyangkut kedua negara itu
saja. Satunya-satunya hak subyek yang dirugikan adalah menuntut melalui negara-negara
nya terhadap negara yang bertanggung jawab. Beberapa pebulis memang berpendapat
bahwaa andaikatappun subyek dapat mengajukan klaim untuk kerugian yang dilakukan
terhadap diri subyek itu.