Anda di halaman 1dari 34

Hukum Internasional

Resume ‘’ Pengantar Hukum Internasional’’ karya


J.G.Starke

Disusun oleh
M.Gery al januardo (1810113074)
No absen 35
Fakultas Hukum
Universitas Andalas
Tahun 2019
HUKUM INTERNASIONAL PADA UMUMNYA

Bab 1. HAKIKAT, ASAL MULA DAN DASAR-DASAR HUKUM INTERNASIONAL

1. Hakikat dan Asal Mula


Hukum internasional dapat didefinisikan sebagai keseluruhan hukum yang untuk
sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah perilaku yang terhadapnya
negara-negara merasa dirinya terikat untuk menaati, dan karenanya, benar-benar ditaati
secara umum dalam hubungan-hubungan mereka satu sama lain. Dan yang meliputi juga:
a. Kaidah-kaidah hukum yang berkaitan dengan berfungsinya lembaga-lembaga atau
organisasi-organisasi internasional, hubungan-hubungan mereka satu sama lain, dan
hubungan mereka dengan negara-negara dan individu-individu.
b. Kaidah-kaidah hukum tertentu yang berkaitan dengan individu-individu dan badan-
badan non-negara sejauh hak-hak dan kewajiban individu dan badan non-negara
tersebut penting bagi masyarakat internasional.
Definisi ini melampaui batasan tradisional hukum internasional sebagai suatu sistem yang
semata-mata terdiri dari kaidah-kaidah yang mengatur hubungan-hubungan antara negar-
negara saja. Definisi tradisional mengenai pokok permasalahan ini, yaitu dengan
pembatasan pada perilaku negara-negara inter se, dapat dijumpai dalam sebagian besar
karya standar hukum internasional yang lebih tua usianya, tetapi mengingat perkembangan-
perkembangan yang terjadi selama empat dekade yang lampa, definisi tersebut tidak dapat
bertahan sebagai suatu deskripsi komprehensif mengenai semua kaidah yang saat ini diakui
merupakan bagian dari hukum internaisonal.
Tujuan utama hukum internasional lebih mengarah kepada upaya untuk menciptakan
ketertiban daripada sekedar menciptakan sistem hubungan-hubungan internasional yang
adil, akan tetapi dalam perkembangan-perkembangan selanjutnya telah terbukti adanya
suatu upaya untuk menjamin, secara obyektif, adanya keadilan diantara negara-negara. Lagi
pula, selain mengingat bahwa negara-negara memperoleh perlakuan adil, hukum bangsa-
bangsa modern bertujuan untuk menjamin keadilan bagi umat manusia. Selanjutnya, perlu
sekali diingat bahwa kata ‘’justice’’ dipakai pada nama permanent court of international
justice dan penggantinya, international court of justice, keduanya itu merupakan pengadilan-
pengadilan yudusial yang didirikan untuk menyelesaikan sengketa-sengketa antara negara-
negara dan memberikan opini nasihat menurut hukum internasional. Bahwa keadilan
merupakan suatu tujuan utama hukum bangsa-bangsa menekankan pertaliannya pada
hukukm negara.

Kaidah-Kaidah Hukum Internasional Umum dan Regional; Hukum Komunitas


Diakui adanya perbedaan antara kaidah-kaidah hukum internasional umum (general) dan
regional, yaitu antara kaidah-kaidah yang dikatakan secara praktis berlaku universal di satu
pihak, dan di lain pihak kaidah-kaidah yang berkembang dalam suatu wilayah dunia tertentu
di antara negara-negara yang ada di wilayah tersebut, yang tidak merupakan kaidah dengan
karakter universal. Ilustrasi yang sangat tepat untuk kaidah-kaidah regional tersebut adalah
kaidah khusus mengenai suaka diplomatik. Apa yang dinamakan ‘’Hukum Internasional
Amerika Latin’’ dan sifat hakikat kaidah-kaidah regional ini telah dibahas oleh international
court of justice dalam Colombian Peeruvian Asylum Case (1950) ; menurut keputusan
perkara ini:
a. Kaidah-kaidah regional tidak perlu tunduk kepada kaidah-kaidah hukum internasional
umum tetapi mungkin saja dalam pengertian ‘’saling mengisi’’ atau ‘’saling
berkaitan’’
b. Suatu pengadilan internasional harus, sepanjang menyangkut negara-negara dalam
wilayah khusus terkait, memberlakukan kaidah-kaidah regional tersebut sepanjang
benar-benar terbukti mememuhi syarat dari pengadilan.

Asal Mula dan Perkembangan Hukum Internasional

Sistem hukum internasional modern merupakan suatu produk, kasarmya, dari empat ratus
tahun terakhir ini yang berkembang dari adat istiadat dan praktek-praktek negara-negara eropa
modern dalam hubungan-hubungan dan komunikasi-komunikasi mereka, sementara masih
terlihat bukti pengaruh para penulis dan ahli-ahli hukum daro abad-abad keenam belas ketujuh
belas dan kedelapan belas. Lagipula hukum internasional masih tetap diwarnai dengan konsep-
konsep seperti kedaulatan nasional dan kedaulatan teritorial, dan konsep kesamaan penuh serta
kemerdekaan negara-negara, yang meskipun memperoleh kekuatan dari teori-teori politik yang
mendasari sisrem ketatanegaraan eropa modern, anehnya beberapa konsep ini memperoleh
dukungan dari negara-negara non eropa yang baru muncul.
Dalam periode kekuasaan romawi terhadap dunia kuno seseungguhnya sumbangan langsung
dari yunani dan romawi terhadap perkembangan hukum internasional relatif kurang. Kondisi-
kondisi yang mendukung pertumbuhan bangsa-bangsa muncul pada abad ke 15, pada saat di
eropa mulai bermunculan negara-negara beradab yang merdeka. Sebelum masa itu eropa telah
melewati tahap dimana kondisi yang ada demikian kacau-kacau sehingga memungkinkan
berkembangnya kaidah-kaidah yang mengatur hubungan antara bangsa-bangsa, atau keadaan
politik yang sedemikian rupa sehingga tidak membutuhkan perangkat hukum internasional.
Dengan demikian dalam periode akhir sejarah romawi dengan wibawa kekaisaran romawi yang
meluas mencakup keseluruhan dunia beradab, tidak ada satupun negara yang merdeka, dan
karenanya tidak diperlukan adanya hukum bangsa-bangsa.

Selama abad pertengahan, terdapat dua hal khusus yang menjadi pengahalang evolusi suatu
sistem hukum internasional, yaitu :

a. Kesatuan duniawi dan rohani sebagian besar eropa dibawah imperium roma suci (Holy
Roman Empire), meskipun sampai sebegitu jauh ketentuan ini masih merupakan dugaan
dan dibantah oleh sejumlah besar contoh konflik dan ketidakrukunan.
b. Struktur feodal eropa barat yang melekat pada hierarki otoritas yang tidak hanya
menghambat munculnya negara-negara merdeka akan tetapi juga mencegah negara-negara
pada saat itu memperoleh karakter kesatuan dan otoritas negara-negara berdaulat modern.

2. TEORI-TEORI MENGENAI DASAR HUKUM INTERNASIONAL


Pandangan AUSTIN terhadap hukum internasional diwarnai oleh teorinya mengenai
hukum pada umumnya. Menurut teorinya ini, hukum stricto sensu dihasilkan dari
keputusan-keputusan formal yang berasal dari badan legislatif yang benar-benar berdaulat.
Secara logis, apabila kaidah-kaidah yang bersangkutan pada analisis akhir bukan berasal
dari suatu otoritas yang berdaulat, yang secara politis berkedudukan paling tinggi, atau
apabila tidak terdapat ototritas yang berdaulat demikian, maka kaidah-kaidah tersebut tidak
dapat digolongkan dalam kaidah-kaidah hukum, melainkan hanya kaidah-kaidah dengan
validitas moral atau etika semara-mata.
Sebagaimana telah kita ketahui, sejak zaman dahulu konsep ‘’hukum alam’’ telah
memberikan pengaruh penting tehadap hukum internasional. Beberapa teori mengenai sifat
dan kekuatan mengikat hukum internasional telah didasarkan pada konsep tersebut.
Pertama-tama ‘’hukum alam’’ mempunyai kaitan semi-teologis, tetapi Grotius sebegitu
jauh telah mensekularisasi konsep itu, dan seperti diterapkan oleh pengikut-pengikutnya,
hukum alam diartikan sebagai hukum ideal yang didasarkan atas sifat hakikat manusia
sebagai makhluk berpikir, sebagai serangkaian kaidah yang diturunkan oleh alam kepada
akal budi manusia. Atas konsepsi inilah para teoretikus membangun berbagai macam
kerangka, beberapa penulis berpendapat bahwa hukum internasional memperoleh kekuatan
mengikat dari fakta bahwa hukum ini hanyalah suatu penerapan terhadap keadaan-kedaaan
tertentu dari ‘’hukum alam’’, dimana hukum internasional hanyalah merupakan suatu
bagian daripadanya. Konsep ‘’hukum alam’’ menjalani spesialisasi lebih lanjut pada abad
ke 18. Perbaikan-perbaikan yang terakhir dapat dilihat pada bagian buku Vattel, Droit des
gens yang terbit tahun 1958.

POSITIVISME
Teori yang dikenal dengan sebutan ‘’positivisme’’ mendapat dukungan luas, dan telah
dianut oleh sejumlah penulis terkemuka. Kita sebelumnya telah melihat bahwa
Bynkershoek adalah seorang ‘’positivis’’ pada abad ke 18, tetapi teori-teori ‘’kaum
positivis’’ modern telah mengelami perbaikan-perbaikan dan dinyatakan dalam generalisasi-
generalisasi yang tidak dijumpai dalam tulisan-tulisannya.
Penganut-penganut ‘’positivis’’ berpendapat bahwa kaidah-kaidah hukum internasional
pada analisis terakhir memiliki karakter yang sama dengan hukum nasional (yaitu hukum
negara) ‘’positif ‘’ sepanjang kaidah-kaidah hukum tersebut juga berasal dari kehendak
negara. Mereka yakin bahwa hukum internasional secara logis dapat dikembalikan kepada
suatu sistem kaidah yang untuk validitasnya akan bergantung hanya pada fakta bahwa
negara-negara telah menyatakan kesetujuannya.

BAB 2.
SUMBER-SUMBER MATERIAL HUKUM INTERNASIONAL
Sumber-sumber material hukum internasional dapat didefinisikan sebagai bahan-bahan aktual
dari mana seorang ahli hukum menentukan kaidah hukum yang beraku terhadap keadaan
tertentu. Bahan-bahan ini dimasukkan dalam lima kategori yaitu :

1. Kebiasaan
2. Traktat-traktat
3. Keputusan-keputusan pengadilan atau penagdilan arbitrasi
4. Karya-karya hukum
5. Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organ-organ lembaga-lembaga
internasional.
A. KEBIASAAN (CUSTOM)
Istilah ‘’ kebiasaan ‘’ dan ‘’ adat istiadat’’ sering digunakan secara bergantian. Secara
tegas dapat dikatakan, ada suatu perbedaan teknis yang tegas diantara kedua istilah
tersebut. Adat istiadat merupakan tahapan yang mendahului adanya kebiasaan. Kebiasaan
mulai apabila adat istiadat berakhir. Adat istiadat adalah suatu kebiasaan bertindak yang
belum sepenuhnya memperoleh pengesahan hukum. Adat istiadat mengkin bertentangan,
kebiasaan harus terunifikasi dan bersesuaian (self-consistent). Viner’s Abrigement yang
berkenaan dengan kebiasaan dalam hukum inggris.

Kaidah-kaidah kebiasaan yang berasal dari adat istiadat atau praktek-praktek


dikembangkan dalam kurang lebih 3 bidang :

a. Hubungan-hubungan diplomatik antara negara-negara.


b. Praktek organ-organ internasional.
c. Perundang-undangan negara, keputusan-keputusan pengadilan nasional dan praktek-
praktek militer secara adminstrasi negara.

B. TRAKTAT-TRAKTAT
Pengaruh dari suatu traktat dalam memberi arahan kepada pembentukan kaidah-kaidah
hukum internasional bergantung pada sifat hakikat traktat yang bersangkutan. Dalam
kaitan ini perlu kiranya untuk membuat perbedaan, meskipun tidak bersifat kaku, antara :
a. Traktat-traktat ‘’ yang membuat hukum’’ (Law-making), yang menetapkan kaidah-
kaidah yang berlaku secara universal dan umum.
b. ‘’traktat-traktat kontrak ‘’ (Treaty contracts) misalnya, suatu traktat antara dua
atau hanya beberapa negara, yang berkenaan dengan suatu pokok permasalahan
khusus yang secara eksklusif menyangkut negara-negara ini.

Suatu traktat ‘’ yang membuat hukum ‘’ pada hakikatnya tidak dapat menjadi suatu
ketentuan yang membuat kaidah-kaidah hukum internasional yang senantiasa berlaku
secra universal. Kita terpaksa menerima adanya pembagian traktat-traktat ‘’ yang
membuat hukum’’ dalam dua macam :

a. Yang membuat kaidah-kaidah hukum internasional universal, misalnya, Piagam


Perserikatan Bangsa-Bangsa.
b. Yang menetapkan kaidah-kaidah umum atau hampir umum.

C. KEPUTUSAN-KEPUTUSAN YUDISIAL DAN PENGADILAN ARBITRASI


KEPUTUSAN-KEPUTUSAN PENGADILAN INTERNASIONAL.
Satu-satunya pengadilan yudisial internasional permanen yang ada yang memiliki
yuridiksi umum adalah International Court of Justice, yang sejak tahun 1946
menggantikan kedudukan Permanent Court of Internasional Justice yang dibentuk pada
tahun 1921. Fungsi-fungsi international Court of Justice menurut Statuta sesungguhnya
memuat aturan-aturan organik yang sama dengan Statuta Permanenet Court of
International Justice telah mengeluarkan banyak keputusan dan opini nasihat menegenai
masalah-masalah internasional penting, yang telah memberikan sumbangan terhadap
perkembangan yurisprudensi internasional sebagaimana yang diharapkan oleh para
pendirinya. Hasil kerja pengadilan yang menggantikan keduduakn juga tidak kalah
pentingnya.
Keputusan-Keputusan Yudisial Nasional
Ada dua cara dimana keputusan-keputusan pengadilan nasional mengarahkan pada
pembentukan kaidah hukum internasional :
a. Keputusan-keputusan yang dapat dipandang sebagai preseden-preseden berbobot,
ataupun sebagai sumber-sumber yang mengikat.
b. Keputusan pengadilan-pengadilan nasional, berdasarkan prinsip-prinsip yang sama
untuk pembentukan kebiasaan, dapat menimbulkan perkembangan kaidah-kaidah
kebiasaan hukum internasional.
D. KARYA-KARYA HUKUM

Karya-karya hukum bukan merupakan ‘’sumber’’ hukum yang berdiri sendiri, walaupun
kadang-kadang opini hukum mengarahkan pada pembentukan hukum internasional. Menurut
laporan sebuah badan ahli pada Liga Bangsa-Bangsa, opini hukum hanya penting sebagai
suatu sarana guna menjelaskan kaidah-kaidah hukum internasional. Opini hukum ini tidak
dengan sendirinuya punya otoritas, meskipun dapat saja menjadi otoritatif apabila kemudian
dalam kaidah kebiasaan hukum internasional; hal inipun karena tindakan negara-negara atau
badan-badan lain untuk menjadikannya sebagai kebiasaan, dan bukan dari kekuatan yang
dimiliki oleh opini hukum tersebut.

E. KEPUTUSAN-KEPUTUSAN ATAU KETETAPAN-KETETAPAN ORGAN-


ORGAN LEMBAGA INTERNASIONAL ATAU KONFERENSI-KONFERENSI
INTERNASIONAL.
1. Keputusan-keputusan atau ketetapan-ketetapan itu dapat merupakan langkah-langkah
antara atau langkah akhir dalam evolusi kaidah-kaidah kebiasaan, khususnya kaidah-
kaidah yang mengatur fungsi-fungsi konstitusional dari lembaga-lembaga ini.
2. Suatu resolusi organ lembaga internasional yang secara sah merumuskna prinsip-
prinsip atau pengaturan-pengaturan bagi tugas intern lembaga itu dapat memilik daya
berlaku hukum secara penuh sebagai kaidah-kaiah yang ditetapkan yang mengikat
anggota-anggota dan organ-organ tersebut.
3. Karena suatu orgaan lembaga internasional mempunyai kekuasaan yang melekat,
dalam hal-hal yang diragukan tercakup secara persis oleh konstitusinya, untuk
menentukan batas-batas kewenangannya, maka keputusan-keputusannya mengenai
masalah-masalah yuridiksi dapat memiliki daya berlaku sebagai pembentukan
hukum.
4. Kadang-kadang, organ-organ lembaga internasional diberi kewenangan untuk
memberikan ketetapan yang mengikat mengenai interprestasi instrumen-instrumen
konstitusi mereka(misalnya, Executive Directors dan Board of Governors dari
International Monetary Fund(IMF) memiliki kewenangan demikian berdasarkan pasal
XVIII Articles of Agreement IMF, 22 Juli 1944 ).
5. Beberapa organ lembaga-lembaga internasional diberi kewenangan untuk
memberikan keputusan-keputusan umum atau perintah-perintah yang berdaya laku
kuasi-legislatif, yang mengikat semua anggota yang dituju oleh keputusan atau
perintah tersebut; misalnya, seperti Council dan Commission dari European
Economic Community (Pasaran Bersama) berdasarkan pasal 189 Traktat Roma
tanggla 25 Maret 1957, yang mendirikan Community tersebut.
6. Suatu hal khusus adalah ketetapan-ketetapan atau opini-opini dari Committes of
Jurists, yang secara khusus diperintahkan oleh organ suatu lembaga internasional
untuk menyelidiki suatu permasalahan hukum.

Tata Urutan Pemakaian ‘’ Sumber’’ Material


1. Traktat-traktat dan Konvensi-konvensi
2. Kebiasaan
3. Prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab
4. Keputusan-keputusan yudisial dan opini-opini hukum, sebagai alat tambahan
bagi penetapan hukum.

BAB 3.

SUBYEK-SUBYEK HUKUM INTERNASIONAL

Beberapa penulis tertentu menyatakan bahwa negara-negaralah satu-satunya subyek hukum


internasional. Keberatan terhadap teori itu senantiasa dikaitkan dengan perkara budak-
budak(slaves) dan perompak (pirates). Sebagai akibat dari traktat-traktat umum, beberapa hak
perlindungan tertentu, dan lain-lain, telah diberikan kepada budak-budak oleh masyarakat
negara-negara.

Menurut Kelsen, tidak ada perbedaan nyata hukum suatu negara dan hukum internsional.
Kedua sistem hukum tersebut mengikat individu-individu, walaupun hukum internasional secara
teknis mengikat negara-negara, itu hanyalah bersifat peraantara (mediately) dan karena konsep
negara.

Bab 4.

HUBUNGAN ANTARA HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL

A. Umum
Tidak ada satu cara pemahaman yang sebaik-baiknya atas pokok-pokok hukum
internasional yang melebihi pemahaman yang jelas mengenai hubungannya dengan hukum
nasional. Suatu pengenalan yang seksama mengenai topik ini akan sangat penting dari segi
praktis. Terutama dalam hal nilainya untuk menjelaskan hukum traktat – yang mungkin
merupakan cabang hukum internasional yang paling penting, dan satu pokok yang sering
kali menyangkut bidang kekuasaan hukum nasional. Walaupun tujuan dari buku ini hanya
mengemukakan dasar-dasar hukum internasional modern, namun dalam hal ini dipandang
perlu untuk memberikan lebih dari sekedar pemaparan dasar dari hubungan antara hukum
internasional dan hukum nasional (State law).
B. Teori-Teori Mengenai Hubungan Antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Dua teori utama yang dikenal adalah monisme dan dualisme. Menururt teori monisme,
hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua aspek yang sama dari satu sistem
hukum umumnya, menurut teori dualisme, hukum internasional dan hukum nasional
merupakan dua sistem hukum yang saling berbeda, hukum internasional mempunyai suatu
karakter yang berbeda secar (intrinsically) dari hukum nasional.
1. DUALISME
Eksponen-eksponen utama dari teori dualisme adalah para penulis positivis, Triepel
dan Anzilotti. Bagi para positivis itu, dengan konsep si teori kehendak (consensual)
mereka tentang hukum internasional, merupakan hal yang wajar apabila menganggap
hukum nasional sebagai suatu sistem yang terpisah. Dengan demikian menurut Triepel,
terdapat dua perbedaan fundamental diantar kedua sisten hukum tersebut, yaitu:
a. Subyek-subyek hukum nasional adalah individu-individu, sedangkan subyek-subyek
hukum internasional adalah semata-mata dan secara eksklusif hanya negara-negara.
b. Sumber-sumber hukum keduanya berbeda: sumber hukum nasional adalah kehenfak
negara itu sendiri, sumber hukum internasional adalah kehendak berasama
(gemeinwille) dari negara-negara.

2. MONISME
Berbeda dengan para penulis yang menganut teori dualisme, pengikut-pengikut
teori monisme menganggap semua hukum sebagai suatu ketentuan tunggal yang
tersusun dari kaidah-kaidah hukum yang mengikat, baik berupa kaidah yang mengikat
negara-negara, individu-individu, atau kesatuan-kesatuan lain yang bukan negara.
Menurut pendapat mereka, ilmu pengetahuan hukum merupakan kesatuan bidang
pengetahuan, dan point yang menentukan karenanya adalaha apakah hukum
internasional itu merupakan hukum yang sebenarnya atau bukan. Jika secara hipotesis
diakui bahwa hukum internasional merupakan suatu sistem kaidah yang benar-benar
berkarakter hukum, maka menurut Kelsen (1881-1973) dan penulis-penulis monitis
lainnya, tidak mungkin untuk menyangkal bahwa kedua sistem hukum tersebut
merupakan bagian dari kesatuan yang sama dengan kesatuan ilmu pengetahuan hukum.
Dengan demikian suatu konstruksi selain monisme, khususnya dualisme, bermuara
pada satu penyangkalan karakter hukum yang sebenarnya dari hukum internasional.
Penulis-penulis monitis tidak akan berpendapat lain selain menyatakan bahwa kedua
sistem tersebut, karena keduanya merupakan sistem kaidah-kaidah hukum, merupakan
bagian-bagian yang saling berkaitan didalam suatu struktur hukum.

C. Praktek Negara menyangkut Pemberlakuan Hukum Internasional di Dalam Wilayah


Nasional.
Praktek Inggris
Praktek inggris adalah menarik suatu perbedaan antara kaidah-kaidah hukum
internasional dan kaidah-laidah yang ditetapkan oleh traktat-traktat.
(i). Aturan mengenai kebiasaan hukum internasional menurut penulis-penulis hukum
modern dewasa ini adalah bahwa kaidah-kaidah kebiasaan hukum internasional dianggap
merupakan bagian dari hukum negara, dan akan diberlakukan seperti demikian oleh
pengadilan-pengadilan nasional inggris, tunduk pada dua syarat penting:

a. Bahwa kaidah-kaidah tersebut tidak bertentangan dengan perundang-undangan


Inggris, baik perundang-undangan itu telah ada sebelum atau baru dibuat setelah
kaidah kebiasaan tersebut.
b. Bahwa sekalinya ruang lingkup kaidah-kaidah tersebut ditentukan oleh pengadilan-
pengadilan tertinggi Inggris, maka pengadilan-pengadilan inggris lainnya akan terikat
oleh keputusan tersebut, meskipun kemudian muncul kaidah kebiasaan hukum
internasional yang berbeda.

(ii). Praktek inggris dibidang traktat-traktat, berbeda dengan kebiasaan hukum


interrnasional, terutama ditentukan oleh prinsip-prinsip konstitusional, yang mengatur
hubungan-hubungan antara pihak eksekutif (yaitu mahkota) dan parlemen.
Perundingan, penandatanganan dan ratifikasi traktat-traktat merupakan hal-hal yang
menjadi kekuasaan prerogatif mahkota.

D. Pengadilan-pengadilan Internasional dan Berlakunya Hukum Nasional.


Fakta bahwa pengadilan-pengadilan nasional pertama-tama harus memperhatikan
hukum nasional dalam hal terjadi konflik dengan hukum internasional, sama sekali tidak
mempengaruhi kewajiban-kewajiban negaraterkait untuk melaksanakan kewajiban-
kewajiban internasional. Pengadilan nasional yang tunduk pada hukum nasional, meskipun
tidak sesuai dengan kaidah hukum internasional, dan sebagai sebuah organ negara,
pihaknya akan memikul tanggung jawab internasional dari negara itu. Oleh karena itu, di
muka pengadilan internasional, suatu negara responden tidak dapat mengemukakan alasan
bahwa hukum nasionalnya (bukan hanya konstitusinya) memuat kaidah-kaidah yang
beretentangan dengan hukum internasional, juga negara itu tidak dapat menyatakan
ketiadaan suatu ketentuan legislatif atau suatu kaidah hukum intern sebagai pembelaan diri
terhadap dakwaan bahwa pihaknya telah melanggar hukum internasional.
E. Konsep Perlawanan (Opposability)
Konsep perlawanan yang telah menjadi biasa dipakai dibidang hukum internasional
dewasa ini, merupakan konsep penting dalam kaitan hubungan antara hukum internasional
dan hukum nasional.
Dalam sengketa dimuka pengadilan internasional antara dua negara, A dan B dimana
negara A berasndar pada suatu landasan untuk mendukung klaimnya, maka negara B boleh
mengajukan upaya, yaitu ‘’ melawan’’ negara A dengan mencari kaidah, lembaga dan
rezim hukum domestik negara B guna mementahkan landasan klaim yang diajukan oleh
negara A. Sebagai prinsip umum, apabila kaidah lembaga dan rezim hukum domestik
tersebut bersesuaian dengan hukum internasional, maka hal ini secara sah dapat dipakai ‘’
melawan’’ negara A tersebut, akan tetapi apabila tidak sesuai dengan hukum internasional,
maka kaidah lembaga atau rezim hukum domestik tersebut tidak boleh dipakai sebagai
sarana untuk ‘’ melawan’’.
Kebaikan konsep perlawanan terletak pada fakta bahwa apabila suatu kaidah hukum
domestik dinyatakan tidak dapat dipakai sebagai sarana untuk melawan, maka hal ini tidak
berarti bahwa kaidah tersebut tidak sah berlakunya di wilayah negara yang bersangkutan,
dan sebagaimana dikatakan oleh Kelsen, bagaimanapun juga hukum internasional tidak
mengatur prosedur ketidakberlakuan suatu kaidah hukum nasional didalam kerangka
nasional. Apabila ternyta bahwa kaidah hukum domestik, yang dinyatakan tidak dapat
dipakai untuk melawan, itu sendiri tidak berlaku berdasarkan ketentuan-ketentuan hukum
tata negara domestik, maka kaidah tersebut juga tidak dapat dipakai untuk melawan
tehadap negara-negara lain selain negara yang mengajukan klaim, kecuali negara lain itu
secara tegas telah menyampingkan ketidakberlakuan secara konstitusional kaidah tersebut.

BAB 5. NEGARA-NEGARA PADA UMUMNYA

1. Hakikat Negara Menurut Hukum Internasional

Sebagaimana telah kita lihat sebelumnya negara-neragra merupakan subyek-suyek utama


hukum internasinal. Mengenai istilah “negara” itu sendiri tidak terdapat deinisi yang yang
tepat, tetapi dengan melihat kondisi-kondisi modern saat ini, dapat ditentukan karakteritik-
karakteristik pkok dari suatu negara.

Pasal 1 Konvensi Montevideo 1933 mengenai Hak-hak dan kewajiban- keajiban negara
(yang ditandatangani leh Amerika Serikt dan beberapa negara Amerika Latin)
mengemukakan karakteristik-karakteristik berikut ini:

“ Negara sebagai pribadi hukum internasionl haru memiliki syarat-syarat berikut: a.


Penduduk tetap , b. Wilayah yang tertentu , c. Pemerintah ,dan d. Kemampuan untuk
melakukan hubungan-hubungan dengan negara-negara lain”

Seperti yang telah dikemukakan, konsepsi Kelsen menegnai negara menekakankan


bahwa negara merupakan suatu gagasan teknis semata-mata yang menytakan faktabahwa
serangkaian kaidah hukum tertentu mengikat sekelmpok individu yang hidup didalam suatu
wilayah teritrial terbatas; dengan perkataan lain, negara dan hukum merupakan suatu istilah
yang sinonim. Namun konsepsi Kelsen tidak memperoleh dukungan dari sekian banyak
penulis yang modern, khususnya Jerman, yang menyatakan baha Kelsen, yang menekankan
keidentikn negara dan hukum, tidak berhasil menenmatkan seara panta aspek-aspek
kekuasaan plitik dan akibat-akibat sosiologosnya yang timbul dari pembentukan negara dan
kesinambungannya.

a. Negara-negara Mikro

Didefinisikan oleh Sekretaris Jendral Perserikatan Bangsa-bangsa di dalam bagian


pendahuluan laporan tahunan mengenai tugas organisasi tahun 1966-1967 sebagaia suatu
keatuan “yang memiliki wilayah, penduduk dan sumber-sumber daya manusia dan
sumber daya ekonomi yang sangat kecil” tetapi wilayah tersebut munul sebagai suatu
negra yang merdeka.

b. Doktrin Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban Dasar Negara-negara

Doktrin Hak-hak dan Kewajiban-kewajiban dasar didukung oleh beberapa penuliss


naturalis, dari mereka inilah berasal pemikiran-pemikiran bahwa negara merupakan
ciptaan hukum alam.
Hak-hak dasar yang paling serig ditekankan adalah mengenai hak kemerdaan dan
persamaan negara-negara, yurisdiksi teritorial dan hak memela diri atau hak
memepertahankan diri. Kewajiban-kewajiban daar yang ditekankan, antara lain, keajiban
utnuk tidak mengambil jalan kekerasaan (perang), keajiban untuk mlakanakan
kewajiban-kewajiban traktat dengan itikad baik, dan tidak menampuri urusan negara
lain.

c. Kedaulatan dan Kemerdekaan Negara-negara

Biasanya suatu negara dianggap memiliki kemerdekaan dan “kedaulatan” terhadap


warga-warga negaranya dan urusan-urusannya serta dalam batas wilayah teritorialnya.
“Kedaulatan” pada saat ini mempunyai arti yang lebih sempit dibandingkan dengan masa
abad kedelapan belas dan kesembilan belas, pada masa itu, bersamaan dengan
munculnya negara-negara nasional yang berpengaruh, hanya sedikit dikenal pembatsan-
pembatasan terhadap otonomi negara.

d. Doktrin Persamaan Derajat Negara-Negara

Doktrin persamaan derajat negara-negra (doctrine of the euality of states) telah


dikemangkan sejak permulan sejarah hukum internasional modern leh penulis-penulis
yang menekankan pentingnya hubungan anatar hukum bengsa-banga dan hukum alam.
Dukungan ini terlihat dari, mialnya, kutipan karya utaa Christian Wolff berikut ini:

“ pada dasarnya semua bangsa mempunyai kedudukan yang sama satu sama lain karena
angsa-banga dianggap sebagai pribadi anusia bebas yang hidup dalam suatu keadaan
alami. Oleh karena itu, karena pada dasarnya semua manusia memiliki kedudukan yang
sama, maka semua bbangsa pun ada dasarnya berkedudukan sama satu sma lain”.

e. Aturan-Aturan mengenai Hubungan Bersahabat Antara Negara-Negara

Ada satu syaratpenting dari kemerdekaan dan persamaan kedudukan negara-negara,


yang pernyataanya dapat ditemukan d dalam keputusan-keputusan pengadilan-
pengadilan internsional belum lama ini dan dalam bberapa resolusi lembaga-lembaga
internasional. Adalah prinsip, yang mungkin sejalan dengan larangan dalam hukum
nasinal terhadapn “pemyalahgunaan hak” (abuse the right), baha suatu negara tidak
boleh mengizinkan wilayahnya digunkan untuk tujuan-tujuan yang membahayakan
kepentingn negara-negara lain.

2. Perbedaan Negara-Negara dan Kesatuan-Kesatuan bukan Negara

a. Negara-Negara Federal dan Konfederasi-Konfederasi

Terdiri dari sejumlah negara merdeka yang bersama-sama mengikatkan dirirnya


dengan suatu traktat internasional atau menggabungkan diri dalam suatu persatuan (unin)
dengan organ-organ pemerintahan yang menjngkau negara-negara anggota dan dibentuk
dengan tujuan utuk meemlihara/mempertahankan kemerdekan ekstern dan intern
mereka.

b. Kondominium (condominium)

Ada apabila terhadap suatu wilayah tertentu dilaksanakannnya penguasaan bersama


oleh dua atau lebih negara luar.

c. Anggota-anggota Persemakmuran

Dahulu bernama British Commobwealth of Nations, senantiasa merupakan


ssuigeneris. Barulah setlah berakhirnya pernag dunia kedua negara-negara yang
sekarang menjadi anggpta persemamuran tersebut pada akhirnya mengakhiri proses
panjang dalam rangka memperleh emansipasi.

d. Wilayah-wilayah Perwalian

Karena alasan-alasan praktis, wilayah-wilayah perwalian (trust territories ) yang saat


ini hanya penting dari segi sejarah dalam buku ini hanyalah akan dibahas secara ringkas,
pembaca dipersilahkan untuk melihat kepada edisi sembilan (1984) buku ini untuk
memperoleh uraian yang lengkap tentang masalah ini.
e. Negara-Negara Netral

Tujuan dari netralisasi tersebut adalah: 1. Melindungi negara-negara kecil dari negara-
negara kuat yang berdekatan an dengan cara itu memeligara keseimbangan kekuatan, 2.
Melindungi dan menjaga kemrdekaan negara-negara “penyangga” (buf states) yang
terletak di antara negara-negra besar.

3. Perhimpunan-Perhimpunan atau Pengelompokan Negara-Negara

Sesuai dengan kewajiban-kewajiban mereka menurut Charter erseikatan Bangsa-Bngsa,


negara-negara memiliki kebebasan untuk membentuk perhimunan-perhimpunan
(associations) atau pengelompokan-pengelompokan (groupings) dengan tujuan yang bersifat
umum atau pun khusus.

Seperti dikemukakan di atas, Persemakmran (commonwealth) merupkan suatu onth


penting dan juga organiasi negara-negra Amerika (Organisation of american States – OAS)
serta organisasi Persatan Afrika (organisation of African Unity (OAU)). Beberapa
perhimpunan atau pengelompkan negara-negara ini, misalnya masyarakat Ekonomi Erp
(EEC) dan North Atlantic Treaty Organisation (NATO), memiliki karakter oragnisasi-
organisasi internasional, dan karena nya termasuk dalam lingkup kajian Bab 20 dalam buku
ini. Sebuah ontoh uni atau aliansi utnuk tujuan pertahanan keamanan bersama, yang
didukung dengan perangkat kerja permanen, adalah North Atlantic Treaty Organisation
(NATO) yang dibentuk berdasarkann North Atlantic Security Pact tanggal 4 April 1949.

BAB. 6

PENGAKUAN

1. Pengakuan Pada Umunnya


Pengakuan menurut praktek negara modern bukan sekedar menegetahui (cognition),
atau lebih daripada suatu pernyataan mengetahui bahwa suatu negara atau pemerintahan
memennuhi syarat untuk diakui. Hal ini dibuktikan oleh faakta, antara lain, bahwa
mungkin asaja terjadi penundaan sebelum suatu negara atau pemerintahan diakui,
meskipun status negara atau pemerintah itu tidak perku diragukan lagi. Tujuan praktis
pengakuan adalah diawalinya hubungan resmi dengan negara yang mengakui, hal ini pun
perlu diperhatikan. Sekali pengakuan itu diberikaan, maka tindakan itu berarti
menghilangkan kemungkinan negara yang mengakui untuk memepersoalkan kembali
syarat-syarat untuk diakuinya negara atau pemeritah terkait.
Ada dua teori pokok mengenai hakikat, fungsi dan pengaruh pengakuan, yaitu :
a. Menurut teori konstitutif (constitutive thoery), hanya tindakan pengakuanlah yang
kenegaraan atau yang melengkapi pemerintah baru dengan otoritasnya
dilingkungan internasional.
b. Menurut teori deklarator atau evidenter (declaratory atau evidentiary), status
kenegaraan atau otoritas pemerintah baru telah ada sebelum adanya pengakuan dan
status ini tidak bergantung pada pengakuan. Tindakan pengakuan semata-mata
hanya pengumuman resmi terhadap situasi fakta yang telah ada.
i. Pengakuan tidak langsung
Pengakuan tidak langsung atau diam-diam (implied recognition) melebihi masalah
kehendak tersebut negara yang dinyatakan dalam pemberian pengakuan. Kehendak
tersebut diungkapkan hanya apabila keadaan-keadaan secra tegas mengindikasikan
kemauan untuk menjalin hubungan resmi dengan negara baru atau pemerintah baru.
Kasus-kasus yang secara tegas menunjukan hal tersebut agak terbatas. Ada kasus lainnya
dimana suatu negara atau pemerintah membiarkan pihak lain mengambil kesimpulan
bahwa negara itu telah mengakui negara atau pemerintahan lain, misalnya dengan
menjalin hubungan dengan negara yang diakui.
ii. Pengakuan bersyarat
Akibat pengakuan bersyarat adalah apabial kewajiban-kewajiban tidak dipenuhi tidak
akan menghapus pengakuan, karena sekali pengakuanitu diberikan maka tindakan
tersebut tidak dapat ditarik kembali. Dengan pelanggaran atas syarat-syarat tersebut maka
negara yang diakui dapat dinyatakan bersalah melanggar hukum internasional, dan
terbuka kemungkinan bagi negara yang mengakui untuk memutuskan hubungan
diplomatik sebagai sanksinya atau dilakukan sanksi lain.
2. PENGAKUAN DE JURE DAN DE FACTO
Pengakuan de jure berarti bahwa menurut negara yang mengakui, negara atau
pemerintah yang diakui secara formal telah memenuhi persyaratanyang ditentukan
hukum internasional untuk dapat berpartisipasi secara efektif dalam masyarakat
internasional.
Pengakuan de facto berarti bahwa menurut negara yang mengakui, untuk sementara
dan secara temporer serta dengan segala reservasi yang layak dimasa mendatang, bahwa
negara atau pemerintah uang diakui telah memenuhi syarat berdasarkan fakta (de facto).
Oleh karena itu mungkin tampak bahwa sebutan ‘’’de jure’’ dan ‘’ de facto’’, secara
tegas tidak merupakan deskripsi atas proses pengakuan itu sendiri, tetapi mempunyai
hubungan dengan status negara atau pemerintah tertentu untuk siapa pengakuan itu
dikeluarkan.
3. AKIBAT-AKIBAT HUKUM DARI PENGAKUAN
Pengakuan menimbulkan akibat-akibat/ konsekuensi hukum yang menyangkut hak-hak,
kekuasaan-kekuasaan dan privilege-privilege dari negara atau pemerintah yang diakui
baik menurut hukum internasional maupun menurut hukum nasional negara yang
memberikan pengakuan. Juga apabila masalah pengakuan timbul karena pengujian,
meskipun sifatnya insidental, oleh pengadilan-pengadilan nasionla maka persoalan-
persoalan pembuktian, penafsiran hukum dan prosedur perlu diperhatikan.
4. PENGAKUAN TERHADAP PEMBERONTAK DAN PIHAK BERPERANG
Persoalan perang saudara di suatu negara tertentu dapat melibatkan negara-negara luar
yang dapat disimpulkan sebagai berikut : negara-negara luar ini pada umumnya, kecuali
apabila kepentingan-kepentingan mereka dipertaruhkan, akan mempertahankan
kebijaksanaan non-interferensi dalam urusan-urusan dalam negeri suatu negara lain.
Namun, pada suatu saat negara tersebut tidak mungkin lagi meneruskana kebijaksanaan
praktis demikian, kaena :
i. Kegiatan-kegiatan kekuatan pemberontak telah mencapai suatu tingkat
keberhasilan dimana mereka mendudukisecara efektif dan membentuk otoritas
de facto di sebagian besar wilayah yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah
induk.
ii. Peperangan yang aktual antara pemerintah induk dan pihak pemberontak dapat
mencapai dimensi-dimensi sedemikian rupa sehingga negara-negara luarr
terpaksa menganggap perang saudara tersebut sebagai perang sesungguhnya
antara dua kekuatan yang bersaing, dan bukan semata-mata sebagai suatu
perebutan kekuasaan.

5. HAK-HAK ATAS WILAYAH BARU, PERUBAHAN-PERUBAHAN WILAYAH


DAN PERUBAHAN LAINNYA, DAN TRAKTAT-TRAKTAT; TIDAK MEMBERI
PENGAKUAN.
Sering negara-negara memperoleh wilayah baru atau hak-hak lain melalui tindakan
sepihak yang kemungkinan :

a. Sesuai dengan hukum internasional, atau


b. Melanggar hukum internasional.
Dalam hal b, pengakuan mungkin dapat diupayakan untuk mengubah keraguan atas hak
tersebut menjadi sesuatu yang sah dan karena pengakuan itu akan menjadu pelepasan dari
tuntutan negara-negara lain berupa klaim-klaim atau keberatan-keberatan yang tidak
sesuai denga hak yang diakui. Dengan cara ini kemungkinan bahwa tidak diberikannya
pengakuan akan melemahkan tuntutan yang didasarkan atas persetujuan diam-diam
dikesampingkan. Kesinambungan hubungan-hubungan resmi dengan negara yang
bersangkutan, setelah pengambil alihan wilayah tersebut, tidak dengan sendirinya
mengandung arti pengakuan terhadap hak atas wilayah baru.

BAB. 7

KEDAULATAN TERITORIAL NEGARA DAN HAK-HAK TERITORIAL


LAINNYA YANG LEBIH KECIL YANG DIMILIKI OLEH NEGARA

1. Kedaulatan Teritorial dan Hak-Hak Lain yang Lebih Kecil yang Dimiliki Negara-Negara

Oleh karena itu muncullah knsep “kedaulatan teritorial” yang menandakan bahwa di
dalam wilayah kekuasaan ini yurisdiksi dilaksanakan oleh negara terhadap orang-orang dan
harta benda yang menyampingkan negra-negara lain.
Konsep ini memiliki kemiripan dengan pemikiran patrimonial pemilikan menurut hukum
perdata, dan dalam kenyataan memang para peulis pelopor idang hukum internasional
banyakmemakai prinsip-prinsip pemilikan dari hukum spil dalam pembahasan mereka
mengenai kedaulatan teritorial negara. Hingga saat ini, pengaruh mereka masih bertahan
sehingga khususnya kaidah-kaidah mengenai perolehan dan kehilangan keaulatan teritorial
secara jelas menerminkan adanya pengaruh hukum sipil, tetapi disadari baha ada bahayanya
mengambil cara-cara analogi kepada hukum Romawi dan hukum sipil.

Seperti diperlihatkan dalam opini nasihat internasional Court of Justice mengenai perkara
Western Sahara (1975), pertalian hukum dari kedaulatan teritorial terhaadap rakyat atau
tanah harus dibedakan dari kedaulatan teritorial terhadap rakyat atau tanah harus dibedakan
dari pertlian kesetiaan, dalam hal orang-orang, dan yang semata-mata hak kebiasaan
berkaitan dengan tana

A. Diperolehnya Kedaulatan Teritorial

Lima cara tradisional dan yang pada umumnya diakui untuk diperoleh nya kedaulatan
teritorial adalah:

a. Okupasi (Occupation)

Merupakan penegakan kedaulatan atas wilayah yang tidak berada di bawah


penguasaan negara manapun, baik wilayah yang baru ditemukan, ataupun – suatu
hal yang tidak mugkin – yang ditinggalkan oleh neraga yang semula menguasainya.

b. Aneksasi (Annexatin)

Merupakan suatu metode perolehan kedaulatan teritorial yang dipaksakan dengan


dua entuk keadaan:

 Apabila wilayah yang dianeksasi telah dilakukan atau ditundukan oleh negara
yang menganeksasi.

 Apabila wilayah yang dianeksasi dalam kedudukan yang benar-benar berada


di bawah negara yang menganeksasi pada waktu diumumkan nya kehendak
aneksasi oleh negara tersebut.
c. Penambahan (Accretion)

Hak melalui penambahan wilayah terjadi apabila wilyah baru ditambahkan,


terutama karena seba-sebab alamiah, yang mungkin timbul karena pergerakan sungai
atau lainnya (misalnya tumpukan pasir karena tiupan angin), terhadap wilayah yang
telah ada yang berada di bawha kedaulatan negara yang memperoleh hak tersebut.

d. Penyerahan (Cession)

Merupakan suatu metode pentimg diperolehnya kedaulatan teritorial. Metode ini


didasarkan atas prinsip bahwa hak pegalihan wilayah adalah atribut fundaental dari
kedaulatan suatu negara.

e. Preskripsi (Prescription)

Merupaka hasil dari pelaksanna kedaulatan de facto secara damai untuk jangka
waktu yang sangat lama atas wilayah yang tundukmpada kedaulatan negara lain, dan
preskripsi ini mungkin sebagi akiat dari pelaksanaan kedaulatan emikian yag sudah
berjalan lama sekali (mislanya, karena deng jangkanwaktu tersebut menghilagkan
kesan kedaulatan oleh negara pendahulu) atau sebgai akibat lamanya kepemilikan
yang bertentangan semata-mata.

B. Diperolehnya Kedaulatan Teritorial Oleh Negara yang Baru Muncul

Menurut pendapat penulis, kesulitan abstrak ini dapat dipecakan dengan


memperlakukan rakyat wilayah tersebut seperti yang seharusnya, dengan kedaulatan
meeraka telahmemiliki suatu tingkat kematangan politik yang memadai, seperti telah
memiliki atau memperoleh kedaulatan sementara menunggu didapatkan nya status
kenegaraan. Di atas landasan negara baru tersebut, terdapat suatu krisalisasi keadaan,
yaitu kedaulatan teritorial dari rakyat yang kemudian menjadi keadaulatan negara itu
sendiri.

C. Hilangnya Kedaulatan Teriatorial


Cara-cara memperoleh kedaulatan teritorial yang telah diuraikan di atas ersis sama
dengan metode-metode kehilangan kedaulatan tertorial . Jadi kedaulatan teritrial dapat
hilang karena ditinggalkannya (dereliction) wilayah (berhubungan adanya okupasi oleh
pihka yang memperoleh dan yang menyatakan kehendak sebaiknya dari negara yang
meninggalkannya utnuk melepaskan kontrol efektifnya), karena penaklukan , karena
kejadian-kejadian ilmiah (yang berkaitan dengan penambahan wilayah d pihak negara
yang memperoleh wilayah), dan karena preskripsi. Namun, ada satu cara kehilangan
wilayah yang tidak berkitan dengan cara perolehan oleh negara lain, yaitu revolusi yang
diikuti dengan pemisahan sebagian dari wilayah negara terkait.

D. Kedaulatan Atas Ruag Udara

Lima Kebebaan di Udara atau Five Freedom of the Air yaitu hak perusahaan
penerbangan setiap negara untuk:

 Terbang melintasi wilyah asing tanpa mendarat

 Mendarat untuk tujuan-tujuan non-trafik

 Menurunkan trafik di suatu negara asing yang beraal dari negara asal pesawat
udara itu;

 Menurunkan trafik di suatu negara asing yang dituju dengan tujuan negara asal
pesawat udara:

 Mengangkut trafik di antara dua negara asing.

E. Lapisan-lapisan Atmosfer Bagian Atas, Ruang Angkasa dan Kosmos

Seperti yang dikataakn oleh Hakim Manfred Lachs dari International Court of
Justice, yang juga pakar hukum ruang angkasa ternama, dalam kaitan lain menyatakan: “
Kapan saja hukum dihadapkan pada fakta alamiah atau teknologi, maka jalan keluarnya
harus dilandaskan kepada kriteria yang berasal dari hal-hal tersebut. Karena hukum
dimaksudkan untuk memecah persoalan-persoalan yang dihadapi oleh fakta demikian
dan dala hal ini kaitan anatara hukum dan realita-realita kehidupan menjelma, bukan
teori hukum yang memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan tersebut; yang
dilakukanny adalah untuk memilih dan menerapkan suatu jawaban yang paling sesuai
dengan tujuan-tujuannya dan mengintegrasikannnya di dalam kerangka hukum”.

2. Perbatasan dan Sungai-Sungai

a. Perbatasan

Merupakan salah satu manifestasi yang terpenting dari kedaulatan teritorial. Sejauh
perbatasan itu secara tegas diakui dengan traktat atau diakui secara umum tanpa
pernyataan yang tegas, maka perbataan merupakan bagian dari suatu hak negara
terhadap wilayah.

b. Sungai-sungai

Beerapa penulis hukum internasional, yang dipelopori oleh Grotius, berpendaapt


bahwa terdapat hak umum utnuk melints bagi semua negara sepanjang sungai-sungai
internasional demikian, tetapi pendapat ini belum diterima secara umum dalam praktek
dan tentunya tidak diakui sebagi suatu prinsip hukum kebiasaan internasional.

3. Servitut dan Fasilitas-Fasilitas Teritorial

Servitut merupakan sebagai suatu pembatasan eksepsional yang dibebankan oleh traktat
terhadap kedaulatan teritorial negara tertentu di mana wilayah negara tersebut dibebani
kewajiban-kewajiban atau restriksi-restriksi yang melayani kepentingan-kepentingan dari
negara llain, aatu kesatuan non-negara. Suatu contoh terkenal adaalh syarat bahwa ota
perbatasan Hunungen di Alsace tidak boleh dibentengi demi kepentingan Canton of Blase
(Swos).

Pada awalnya, doktrin seritut internsional diambil dari hukum perdata, dan banyak
pengarang berpendapat bahwa translasinya pada bidang hukum internasional belum berhasil.
Terapat alasan kuat bahwa doktrin tersebut sesungguhnya kurang begitu perlu, dan bahwa
hukum internasional dapat menghapus penerapan doktrin ini. Pendapt ini paling sedikit
didukung oleh penolakan dala dua kasus yang telah disebut yang mengenai kalim seritut.

BAB. 8

YURISDIKSI

1. Tinjauan Umum

Praktek pelaksanaan yurisdiksi oleh negara-negara terhadap orang, harta benda atau
tindakan-tindakan atau peristiwa-peristiwa berbeda-beda disetiap negara dan perbedaan-
perbedaann ini disebabkan faktor-faktor historis dan geografis, yang meskipun kurang
memainkan peranan penting karena, dengan alsan perkembnagn-perkembnagan teknologi,
negara-negara secara geografis lebih bersatu.Secara historis,negara-negara seperti Inggris,
yang perbatasan lautnya menonjol, sangat menaati prinsip yurisdiksi teritorial, yang
menurut mana setiap negara dapat melaksanakan yurisdiksi terhadap harta benda dan orang
di, atau terhadap tindakan atau peristiwa yang terjadi dalam wilayahnya ; hal ini karena
pergerakan bebas atau tidak terbatas dari indiidu-indiidu atau harta benda ke atau dari
negara-negara yang sebagian besar terikat oleh perbatasan-perbatasan daratan.

2. Yurisdiksi Terirorial

Pelaksanaan yurisdiksi oleh suatu negara terhadap harta benda, orang tindakan atau
peristiwa yang terjadi di dalam wilyahnya jelas diakui oleh hukum intrnasional untuk semua
negara anggota masyarakat internasional. Prisnsip tersebut telah dikemukakan dengan tepat
oleh Lord Macmillan: “Adalah suatu ciri pokok dari kedaulatan dalam batas-batas ini,
seperti semua negara merdeka yang berdaulat, bahwa negara harus memiliki yurisdiksi
terhadap semua orang dan benda di dalam batas-batas teritorialnya dan dala semua
perkara perdata dan pidana yang timbul di dalam batas-batas teritorial ini’.
a. Negara-Negara Asing dan Kepala-Kepala Negara Asing

Secara historis, barangkali ada benarnya menyatakan bahwa, kecuali dalam kasus
keterlibatan negara-negara dalam transaksi-transaksi yang sifatnya komersial dan non-
pemerintahan, ada suatu praktek yang umum yang mendukung keberadaan prinsip
hukum internasional bahwa negara-negara asing dan kepala-kepala negara asing dapat
berperkara di pengadilan-pengadilan itu kecuali secara sukarela mereka tunduk dapat
dituntut di pengadilan-pengadilan terebut baik ad hoc ataupun umum melalui traktat atau
traktat-traktat.

b. Perwakilam-Perwakilan Diplomatik dan Konsul-Konsul Negara Asing

Mereka itu menikmati imunitas absolut dari yurisdiksi kriminal negara tuan rumah dan
imunitas dari yurisdiksi sipil dan administratif kecuali dalam tiga hal khusus yang
dinyatakan dalam pasal 31 yaitu;

 Tindakan-tindakan untuk mendapatkan kembali harta benda tidak bergerak yang


semata-mata pribadi;

 Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan suksesi di mana mereka terlibat dalam


kapasitas yang benar-benar pribadi.

 Tindakan-tindakan yang berkaitan dengan suatu aktivitas profesi atau komersial


pribadi yang diklakukan oleh mereka.

c. Kapal-Kapal Milik Negara Asing

Terdapat dua teori mengenai yurisdiksi terhadap kapal-kapal negara milik negara asing:

 Teori “pulau terapung” (floating island) menurut teori mana sebuah kapal negara
harus dianggap sebagai bagian dari wilayah negara yang memilikinya.

 Pengadilan teritorial suatu negara memberikan kepada kapal dan awak kapal
serta isi kapal tersebut imunitas-imunitas tertentu yang tidak bergantung atas
suatu teori obyektif yang menytakan bahwa kapal negara merupakan wilayah
negara asing, tetapi atas suatu implikasi yang diberikan oleh hukum terirtorial
lokal.

d. Angkatan Bersenjata Negara Asing

Angkatan bersenjata yang diterima di wilayah negara asing menikmati suatu imunitas
terbatas, tetapi bukan suatu imunitas absolut, dari yurisdiksi teritorial tersebut.

e. Lembaga-Lembaga Internasional

Seperti misalnya Liga Bangsa-Bangsa,Organisasi Burh Internasional (ILO) dan


sebagainya, juga memperoleh imunitas dari yurisdiksi teritorial baik dalam traktat-traktat
internasional, miaslanya Konvensi tentang Privilege dan imunitas-imunitas Perserikatan
Bangsa-Bangsa dan Badan-badan khusus, yang disahan oelh Perserikatan Bangsa-
Bangsa pada tahun 1946 maupun dalam hukum nasional (lihat misalnya British
International Organisasion (imunitities privilege) Act 1950, dan United States Federal
International Organisation Immunitities Act 1945)

3. Yurisdiksi Terhadap Individu

Berbeda dengan yurisdiksi atas wilayah, bergantung kepaad orang yang terlibat dalam
peristwia hukum. Kualitas ini dapat membenarkan suatu negara atau negara-negara
menjalankan yurisdiksi apabial orang itu berada dalam kekuasaan negara, dan proses
peradilan dapat dilaksanakan terhadapnya.

4. Yurisdiksi Menurut Prinsip Perlindungan

Hukum internasional mengakui bahwa setiap negara mempunyai kewengangan


yurisdiksi terhadap kejshstsn ysng menyangkut keamanan dan integritas atau kepentingan
ekonomi yang vital. Wewewnangn ini berdasarkan atas prinsip perlindungan (protektive
principle).

5. Yurisdiksi Menurut Prinsip Universal : Perompakan

Suatu tindak pidana yang tunduk pada yurisdiksi universl adaalah tindak pidana yang
berada di abwah yurisdiksi semua negara di aman pun tindakan itu dilakukan. Karena
umumnya diterima, tindakan yang bertentangan dengan kepentingan masyarakat
internasional, maka tindakan itu dipandang sebagai delik de jure genium dan semua negara
berhak untuk menangkap dan menghukum pelaku-pelakunya.

6. Persoalan Yurisdiksi Berkaitan dengan Pesawat Udara

Salah satu akibat meningkatnya volume, jangkauan dan frekeunsi laluintas udara
internasional, yang dibarengi dengan meningkatnya jumlah negara di mana pesawat udara
perusahaan penerbangan didaftrakan telah menimbulkan peningkatan persoalan-persoalan
yurisdiksi yang pleik berkaitan dengan tindak pidana yang dilakukan di dalam pesawat
udara dalam penerbangan.

Apabila hal ini belum cukup,perkembnagn lain telah menjadi ancaman besar terhadap
keselmatan dan kepercayaan terhadap penerangan sipil internasional karena miningkatnya
pristiwa pembajakan (hijacking) dan tindakan terorisme terhadap pesawat udara yang akan
tinggal landas atau mendarat serta terhadap penumpang-penumpang pesawat udara terkait.

BAB. 9

HUKUM LAUT DAN JALUR-JALUR MARITIM

1. Umum dan Pengantar Sejarah

Tidak ada hukum intrnasioal yang lebih banyak mnegalami perubahan secara reolusiner
selama empat dekade terakhir, dan khususnya selama satu setngah dekade terakhir, selain
daripada hukum laut dan jalur-jalur marititm (maritime highways). Penandatanganan akhir
pada tanggal 0 Desember 1982, di montego Bay – Jamaica, oleh sejumlah besar negara
(tidak kurang dari 118 negra) yang terwakili dalam konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Ketiga tentang hukum Laut 1973-1982 (UNCLOS) guna menyusun suatu ketentuan hukum
internasional yang komprehensif berkaitan degan hukum laut di bawah judul Konvensi
Perkembangan paling penting dalam keseluruhan sejarah ketentuan hukum internasional
berkenaan dengan lautan bebas.
Grotius merupakan salah seorang yang dari kalangan yang merasa snagat keberatan
dengan adanya kalim-klaim kedaulatan luas ini. Keberatan-keberatannya itu terutama
didasarkan atas dua landasan:

 Tidak ada lautan yang dapat menjadi sutu bangsa atau negara karena tidak mungkin
bigai suatu negara untuk scra efektif mnegmbilnya sebgai hak milik dengan cara
okupasi.

 Alam tidak memberikan hak kepada siapapaun untuk memiliki sarana yang dapat
dimanfaatkan oleh setiap orang yang serta yang sifatnya tidak dapat habis
(exhaustble) – dengan perkataan lain, laut terbukaatau lepas adalah hak semua
bangsa (res gentium) atua barang non-komersial (ras extra comercium).

2. Hukum Laut Menurut Rezim yang Dibentuk Oleh Konvensi Perserikatan Bngasa-Bangsa
Desember 1982

a. Definisi-definisi (Bagian I)

Dimuat dalam pasal 1, yang terdapat dalam bagian I istilah “Kawasan” (Area)
diartikan sebagai dasar laut dan dasar samudra serta lapisan tanah di bawahnya di luar
batas yurisdiksi nasional. Pasal itu juga memberikan definisi “Otoritas” (Authority –
International Seabed Authory), “kegiatan-kegiatan di kawasan” (eksplorasi dan
eksploitasi sumber-sumber daya alam), “pencemaran lingkungan” (dengan penekanan
pada pengaruh-pengaruh yang merusak, penciptaan bahaya-bahaya dan kerusakan
mutu lingkungan), “pembuangan limbah” (“dumping” – dengan penekanan pada
kesengajaan membuang limbah, dll), dan “Negara-negara Peserta”.

b. Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Bagian II)

Pasal 2 menyatakan bahwa kedaulatan negara pantai selain di wilayah dartan dan
peraian pedalamannya dan, dalam hal sutau negara kepulauan, peraian kepulauanya,
meliputi juga laut teritorial, ruang udara di atasnya dan dasar laut serta lapisan tanah
di bawahnya (bandingkan pasal 1-2 Konvensi Janewa 1958 mengenai Laut Teritorial
dan Zona Tambahan). Lebar dan batas-batas laut teritorial negara-negara diatur dalam
pasal 3-7, menurut pasal-pasal itu bats laut teritorial tidak melebihi 12 mil laut diukur
dari garis pangkal, garis pangkal biasa (normal) adalah marka pasang surut seperti
terlihat pada peta skala besar yang secara resmi diakui oleh negara pantai.

c. Zona Ekonomi Eksklusif

Pertama, deinis ZEE terdapat dalam pasal 55 dan 57 sebagai suatu wilayah di luar
dan berdampingan dengan laut teritorial, yang tidak melebihi jarak 200 mil laut dari
garis pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur (yaitu, 200 mil laut yang tidak
diukur dari batas laut terluar dari laut teritorial).

d. Landas Kontinen

Bagian VI (Pasal 76-85); bandingkan dengan pasal 1-15 Konvensi Janewa 1958
mengenai Landas Kontinen tidak hanya mengatur landas kontinen, tetapi juga tepian
kontinen (continental margin). Sebenarnya, landas kontinen dibatasi dengan mengacu
kepada tepi kontinen sebagai berikut (lihat ayat 1 Pasal 76)

e. Perbudakan (Slavery)

Setiap negara berdasarkan Pasal 99 harus mengambil tindakan efektif guna


mencegah dan menghukum pengangkutan budak belian dalam kapal yang
mengibarkan benderanya, dan untuk mencegah pemkian secar tidak sah benderanya
untuk keperluan tersebut.

f. Pembajakan Jure Gentium (Priracy Jure Gentium)

Masalh pembajkan jure gentium, yang diatur dalam pasal 100-107 Konvensi,
hanya dapat dibahas secara layak dalm konteks hukum internasional tradisional yang
menyangkut masalah itu, yang dianggap berkaitan dengan pasal-pasal Konvensi.

3. Terusan-Terusan Laut (Maritime Canals)


Terusan-terusan yang merupakan jalan-jalan air pedalaman (inland waterways) adalah
bagian wilayah dari wilayah teritorial negar-negara memulai ana mereka lewat, dan dengan
melalui analogi tunduk pada ketentuna-ketentuan mengenai sungai-sungai.

Bertalian dengan terusan-terusan laut, ketentuan perjanjian khusus berlaku terhadap


Terusan Suez, Panama dan Kiel. Terusan Sue sampai sebegitu jauh dinetralisasi dan
didemilitarisasi oleh konvensi Konstantinovel tahun 1888, bebas pada masa damai dan masa
perang bagi kapal-kapal dagang dan apal-kapal perang semua negara. Terusan Uez tersebut
tidk oleh diblokade, dan pada masa perang tidak diperbolehkan adanya tndakn perusuhan
baik di dalam Terusan itu sendir ataupun dalam jarak tiga mil laut dari pelbuhan-
pelabuhannya. Ketentuan ini tidak dapat, dan dalam praktek tidak enghalangi suatu angkatan
laut yang kuat, seperti Inggris, pada masa perang, utnutk meblokade masuknya kapal-kapal
musuh ke Terusan di luar batas tigal mil laut dari pelabihan-pelabuhannya.

Kapal-kapal perang harus melintasi Terusan tanpa tertangguh, tid tinggal leih dari 24 jam
di Port Said dan Sue. Pasukan-pasukan tentar, amunisi dan perangkat peralatan perang
lainnya tidak boleh dikapalkan dan diturunkan di dalam Terusan atau di pelabuh-
pelabuhannya, dan tidak diizinkan adanya kubu-kubu pertahanan di Terusan, atau
penempatan kapal perang. Tunduk pada ketentuan-ketentuan Konvensasi tahun 1888,
Terusan Suez merupakan bagian wilayah Mesir.

BAB. 10

TANGGUNG JAWAB NEGARA

1. Sifat dan Jenis-Jenis Tanggung Jawab Negara

Tanggung jawab negara telah dinyatakan secara tegas dibatasi pada “pertanggungjawaban
negara-negara agi tindakan-tindakan yang secara internasional tidak sah”. Ini merupakan
tanggung jawab negara dari arti tegas, sunber tanggung jawab tersebut adalah suatu
tuindakan atau tindakan tindakan yang melanggar hukum internasional.
a. Negara-Negara Federal, Negara-Negara di bawah Perlindungan dan Unsur-Unsur
Teritorial Kesatuan-Kesatuan Pemerintah

Seringkali timbul persoalan mengenai timbulnya tanggung jawab (inidence of


liability) apabila kerugian ditimbulkan oleh atau melalui suatu negara anggota sebuah
federasi, atau oleh ataupun melalui suatu negara yang dilindungi (proteted state). Kaidah
yang diakui kelihatannya adalah bahwa negara federal dan negara yang melindungi-lah
yang bertanggung jawab utnutk tindakan yang diaakukan negara anggota federal dan
negara dilindungi, karena di bidang hubungan luar negri negara-negara itualh yang
dikaui memiliki kapasitas untuk mengadakan hubungan dengan negara-negara lain.

b. Batas-Batas Hukum Internasional dan Hukum Nasional

Perlu kiranya pada waktu membahas hal-hal praktis tanggung jawab negara itu
mengingat baik-baik batas-batas antara hukum internasinal dan hukum nasional.
Perbedaan ini secara khusus ada kaitannya dengan dua hal:

 Pelanggaran kewajiban atau tidak dilaksanakannya beberapa kaidah tindakan


oleh suatu negara yang diangggap menimbulkan tanggung jawab.

 Kewenangan atau kmpetensi badan negara yang melakukan kesalahan.

c. Pembelaan Diri dan Dasar-Dasar Pembenaran

Masalah pembelaan diri dan dasar-dasar pembenaran (defense and justifiations)


berkaitan dengan suatu klaim terhadap tanggung jawab negara – suatu pokok
permsalahan yang pada umumnya tidak diuraikan dalam beberapa traktat hukum
internasional – namun benar-benar memperoleh perhatian dari Komisi Hukum
Internasional 1979, Komisi Hukum Internasional mengelurkan rancangan ketentuan-
ketentuan yang berkaitan dengan pembelaan diri.

2. Tanggung Jawab atas Pelanggaran Traktat atau Berkenaan dengan Kewajiban-Kewajiban


Kontraktual; Pengambilalihan Hak Milik

Tanggung jjawab negara atas pelanggaran suatuu kewajiban traktat bergantug pada
ketetapan syarat-syarat ketentuan perjanjian yang dituduhtelah dilanggar. Seringkali hal ini
hanya merupakan masalh penafsiran kata-kata yang digunakan dalam traktat itu. Apabila
ketentuan-ketentuan traktat itu dilanggar, maka muncul tanggung jawab. Menururt
Permanent Court of Internasional Justice dalam Chorow Factory (indemnity) Case, yang
menjadi prinsip hukum internasional adlah bahwa “setiap pelanggaran atas perjanjian
menimbulkan suatu kewajiban untuk memberikan ganti kerugian”.

3. Tanggung Jawab Bagi Pelanggaran-Pelanggaran Internasional (Kesalan-Kesalahn yang


Tidak Ada Kaitannya Dengan Kewajiban-Kewajiban Kontraktual)

Dalam praktek, sebagian besar kasus tanggung jawab negara, paling tidak di hadapkan
pengadilan-pengadilan internasional, timbul dari kesalahan-kesalahan yang dituduhkan telah
dilakukan oleh negara yang bersangkutan. Kesalahan yang dimaksud dalam kaitan ini berarti
pelanggran beberapa kewajiban yang dibebankan terhadap suatu negara berdasarkan hukum
internasional dan bukan pelanggaran terhadap kewajiban kontraktual semata-mata. Terhadap
kesalahan-kesalahan demikian, seringakli diterapkan istilah “pelanggran internasional”
(international delinquency). Memang terlalu dini untuk mengukur berlakunya dampak pada
tpik mengenai meningkatnya tendensi berdasarkan hukum internasional untuk
membebankan tanggung jawab atas individu-individu bagi pelanggran-pelanggarn yang
dilakukannya saat inni (lihat Bab 3 di atas)

4. Klaim-Klaim

Karena suatu negara memiliki hak untuk melindungi para warga negarannya di luar negri,
maka negara itu berhak campur tangan secara diplomatik atau mengajukan suatu klaim
untuk menyelesaikan yang memuaskan (satisfaction) di hadapkan suatu pengadilan arbitrase
internasional apabila salah satu dari rakyatnya telah mendapat kerugian tidak sah yang untuk
mana negara lain bertanggung jawab. Negara penuntut itu dianggap telah dirugikan melalui
rakyatnya, atau untuk menuntut hak nya bagi jaminan dihormatinya kaidah-kaidah hukum
internasional vis a vis para warganya, dan sekali campur tangan itu dilakukan atau sekali
klaim diajukan, maka persoalan itu menjadi suatu hal yang menyangkut kedua negara itu
saja. Satunya-satunya hak subyek yang dirugikan adalah menuntut melalui negara-negara
nya terhadap negara yang bertanggung jawab. Beberapa pebulis memang berpendapat
bahwaa andaikatappun subyek dapat mengajukan klaim untuk kerugian yang dilakukan
terhadap diri subyek itu.

Anda mungkin juga menyukai