Anda di halaman 1dari 23

TUGAS HUKUM INTERNASIONAL

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional

DOSEN PENGAMPU:
Ramlan, S.H., MH.

DISUSUN OLEH:
Lilik Permana Sari (B10020323)
Kelas D Hukum Internasional

FAKULTAS HUKUM
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM UNIVERSITAS JAMBI
2021/2022
RESUME HUKUM INTERNASIONAL
BAB 1 Pengertian, Teori dan Karakteristik Hukum Internasional
A. Pengertian dan Batasan Hukum Internasional
Hukum internasional dimaknai sebagai hukum internasional publik, yang berbeda
dari pengertian hukum perdata internasional. Hal mana istilah merajuk pada hukum yang
membahas mengenai perbedaan perbedaan yang terdapat dalam hukum internasional dari
suatu negara yang bersifat keperdataan.
Hukum internasional adalah hukum yang mengatur hubungan hukum antar negara
dalam dunia internasional. Hukum internasional berlakunya secara universal, baik secara
keseluruhan maupun terhadap negara-negara yang mengikatkan dirinya pada suatu
perjanjian internasional (traktat).
Hukum internasional dimaknai sebagai hukum internasional publik, de droit
internasional publik, yang berbeda dari hukum perdata internasional (Private
Internasional Law) atau the conflict of law. Hal mana istilah yang terjadi merujuk pada
hukum yang membahas mengenai perbedaan perbedaan yang terdapat dalam hukum dari
suatu negara yang bersifat keperdataan.
1. Hukum Publik Internasional merupakan hukum internasional yang mengatur
antara negara yang satu dengan lainnya dalam hubungan internasional (Hukum ini
disebut Hukum Antarnegara).
2. Hukum Perdata Internasional merupakan hukum internasional yang mengatur
antara warga negara pada suatu negara dengan warga negara yang berasal dari negara lain
(hukum ini disebut hukum antar bangsa).
Cakupan pengertian yang komprehensif di kemukakan oleh Ivan A. Shearer
bahwa hukum internasional adalah sekumpulan peraturan hukum yang sebagian besar
mengatur tentang prinsip-prinsip dan aturan aturan yang harus dipatuhi oleh negara
negara subjek hukum internasional dan hubungan nya satu sama lain. Dan juga meliputi:
a. Aturan aturan hukum yang berhubungan dengan fungsi fungsi institusi atau
oraganisasi organisasi, hubungan diantara institusi dan organisasi tersebut, serta
hubungan antara institusi dan organisasi dengan negara dan individu.
b. Aturan aturan hukim yang berhubungan dengan individu yang menjadi
perhatian komunitas internasional selain entitas negara.
Ruang lingkup atau substansi dari hukum internasional yang menurut Mochtar
Kusumaatmadja meliputi:
a. hubungan atau persoalan hukum antar negara dan negara;
b. hubungan atau persoalan hukum antar negara dan subyek hukum bukan
negara;
c. hubungan atau persoalan hukum antara subyek hukum bukan negara dan
subyek hukum bukan negara satu dengan lainnya. Internasional dalam arti
luas mencakup hukum internasional publik dan hukum internasional privat.
B. Komparasi Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Untuk menambah pemahaman komprehensif tentang hukum internasional. Perlu
di kedepankan tentang persamaan dan perbedaan antara humum internasional dan hukum
nasional domestik yang dalam kepustakaan hukum internasional dikenal dengan
municipal law. Hukum lokal menurut Martin Dixon adalah utamanya terkait dengan
persoalan persoalan tentang hak dan kewajiban hukum dari pribadi hukum didalam badan
politik negara.
Hukum Internasional banyak dipengaruhi oleh hukum nasional. Sebagai contoh
hukum internasional dapat tercipta dengan adanya kebiasaan nasional suatu Negara yang
dianut oleh banyak Negara, kebiasaan ini disepakati sebagai hukum internasional. Hukum
Internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
atau persoalan batas Negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat perdata,
sedangkan hukum nasional adalah sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas
prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh masyarakat dalam suatu
negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka
satu dengan lainnya. Mengenai hubungan hukum internasional dengan hukum nasional
terdapat dua paham.
Pertama, paham dualisme yang menyatakan bahwa hukum internasional dengan hukum
nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda secara keseluruhannya.
Kedua, Paham monisme berpendapat hukum internasional dan hukum nasional saling
berkaitan satu sama lainnya.
Hukum Internasional ialah aturan atau prinsip yang disepakati oleh negara-negara
serta dijadikan acuan dalam pelaksanaan hubungan antarnegara. Dalam
perkembangannya, international law atau hukum internasional juga mengatur hubungan
antarnegara dan aktor non-negara seperti organisasi internasional dan individu.
Keberadaan dan peran hukum internasional menjadi salah satu isu yang diperdebatkan
dalam studi hubungan internasional, khususnya antara teori realisme dan liberalisme.
C. Hukum internasional sebagai “Hukum”
Pertama bahwa setiap negara wajib menghormati dan menjamin hak individu.
Kedua dalam hal tidak terdapat nya turan yang terkait negara wajib membuat aturan
aturan lokal bahkan bila perli perjanjian bilateral atau multilateral. ketiga setiap negara
berkewajiban untuk menunjukan itikad baik untuk memenuhi ketentuan hukum
internasional baik hukum material maupun hukum prosedural
D. Teori teori dalam Hukum Internasional
a. Teori hukum alam: Teori hukum alam diartikan sebagai hukum yang ideal yang
didasarkan atas hakekat manusia sebagai mahluk yang berakal atau satuan kaidah
yang diilhamkan alam pada akal manusia, prinsip prinsip hukum dapat ditemukan
dalam sifat-sifat alamiah manusia.
b. Teori positivisme: Teori ini mengatakan kekuatan mengikatnya hukum internasional
pada kehendak negara itu sendiri untuk tunduk pada hukum internasional. Hukum
internasional itu sendiri berasal dan kemauan negara dan berlaku karena disetujui
oleh negara.
c. Teori new haven: Teori ini memandang hukum tidak lebih sebagai proses
pembentukan keputusan, yang merupakan safah satu elemen yang memberi kontribusi
terhadap penyelesaian persoalan internasional.
d. Teori Marxis – Leminisme: Teori ini berkeyakinan untuk menjelaskan hukum
internasional bukannya bersandar pada nilai-nilai kemanusiaan, akan tetapi Iebih pada
hukum objektif mengenal perkembangan sosial dan ekonomi. Sebagai puncak
pencapalan adalah terciptanya komunisme, yakni mereka menyadarkan pada prinsip-
prinsip hukum internasional progresif yang mengacu pada hukum suatu masyarakat
berkembang.
e. Teori restrukturisasi: Teori ini muncul karena Philip Allot menginginkan adanya
restrukturasi hukum internasional dengan menempatkan individu sebagal pusat
perhatian hukum internasional. Keadaan tersebut dapat dicapai melalui kekuatan
berpikir manusia yang dalam kalimatnya ditulis sebagai benikut, ‘we make human
world, including human institutions, through the power of the human mind. What we
have made by thinking we can make new by new thinking’. Sebagai konsekuensinya,
konsep kedaulatan oleh Allot dinyatakan ‘tidak lebih sebagai inkoherensi teoritis dan
kekurangan dalam dimensi praktìs hukum internasional’.
f. Teori feminisme: teori ini merupakan sebuah upaya dan kelompok feminist untuk
melakukan sebuah terobosan atas sistem yang selama ini telah terdistorsi oleh
diskniminasi jender. Namun, kelompok ini tidak benupaya untuk mengganti satu
kebenaran dengan ‘kebenaran’ lainnya. Dalam pandangan Hilary Charlesworth, teori
ini lebih difokuskan pada upaya menyelidiki apa yang menyebabkan berlangsungnya
peran dominan atas satu kelompok lelaki terhadap kelompok lainnya yaitu
perempuan. Pada gilirannya, kelompok feminis ini akan berupaya supaya kejadian
tersebut tidak terulang lagi.
E. Hukum internasional dan Globalisasi
Hukum internasional kontemporer memandang bahwa prinsip non-intervensi
ataupun kedaulatan negara sebagai salah satu basis muncul nya negara-bangsa-negara-
bangsa modern. Sehingga sebagian komentator megatakan bahwa perjanjian Westphalia
telah mendorong kemunculan asosiasi asosiasi politik negara-bangsa-negara-bangsa
modern yang berdaulat.
F. Karakteristik Hukum Internasional Kontemporer
1. Pembentukan komisi hukum internasional: Komisi Hukum Internasional (bahasa
Inggris: International Law Commission, disingkat ILC) adalah lembaga ahli yang
bertugas mendorong perkembangan dan kodifikasi hukum internasional. Lembaga ini
dibentuk pada tahun 1948 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa.Lembaga
ini terdiri dari 34 pakar hukum internasional yang dipilih setiap lima tahun oleh
Majelis. ILC mengadakan sesi tahunannya di Kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa di
Jenewa.
Saat ini keadaan sungguh berbeda, hukum internasional telah datang dengan
memberikan harapan baru bagi seluruh umat manusia untuk mewujudkan keadilan,
walaupun harus di akui perlu membutuhkan perjuangan yang panjang. Perubahan
mencolok ini di mulai dengan muncul nya konsep individual criminal responsibility
yang di tunjukan pada penjahat perang dunia II.
Lembaga ini telah berjasa dalam perumusan beberapa traktat dan dokumen lain yang
berupaya mengodifikasi hukum internasional, contohnya adalah:
a. Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian
b. Konvensi Wina tentang Suksesi Negara dalam Hubungan dengan Perjanjian
Internasional
c. Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik
2. Hukum Internasional dan HAM Dunia
Hukum Hak Asasi Manusia Internasional yang dimaksud dengan hukum HAM
internasional di sini adalah hukum mengenai perlindungan terhadap hak-hak individu
atau kelompok yang dilindungi secara internasional dari pelanggaran yang terutama
dilakukan oleh pemerintah atau aparatnya, termasuk di dalamnya upaya penggalakkan
hak-hak tersebut.
3. Hukum pidana internasional dan peradilan
a. Hukum pidana internasional adalah sekumpulan kaidah-kaidah dan asas-asas
hukum yang mengatur tentang kejahatan internasional yang dilakukan oleh
subyek-subyek hukumnya untuk mencapai suatu tujuan tertentu
b. Peradilan adalah segala sesuatu atau sebuah proses yang dijalankan di Pengadilan
yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara
dengan menerapkan hukum dan/atau menemukan hukum “in concreto” (hakim
menerapkan peraturan hukum kepada hal-hal yang nyata yang dihadapkan
kepadanya untuk diadili dan diputus) untuk mempertahankan dan menjamin
ditaatinya hukum materiil, dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan
oleh hukum formal.

BAB 2 SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL


Setelah membahas pengertian, teori, hakikat, dan karakter hukum internasional,
pembahasan mengenai sejarah hukum internasional sebagai sebuah sistem penting untuk
dikedepankan. Ada empat bagian yang secara garis besamya perlu pembahasan. Bagian
pertama, akan ditujukan tentang kontribusi masa kuno terhadap hukum' intemasional,
yang didalamnya termasuk masa Yunani dan Romawi. Bagian kedua, akan ditujukan
terhadap masa pertengahan yang dimulai dengan masa berjayanya Gereja sampai
munculnya upaya sekularisasi hukum internasional. Dalam waktu berbarengan dengan
era kegelapan di Eropa, penting dilacak kaitannya dengan hukum internasional. Lalu
kontribusi peradaban Islam, yang dikenal sebagai siyar, sebagai mengingat Islam cukup
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap ilmu pengetahuan Barat secara umumn.
Di bagian terakhir, akan dikemukakan pembahasan mengenai sejarah atau kondisi hukum
internasional modem, dengan memperlihatkan lahirnya organisasi-organisasi
internasional, dan peran Komisi Hukum Internasional atau international Law Commision
(ILC) dalam proses pembentukan hukum internasional kontemporer.
Hukum internasional publik sangat terkait dengan pemahaman dari segi sejarah.
Melalui pendekatan sejarah ini, tidak sekedar proses evolusi perkembangan hukum
internasional dapat dirunut secara faktual kronologis, melainkan juga seberapa jauh
kontribusi setiap zaman bagi perkembangan hukum internasional Sejarah merupakan
salah satu metode bagi pembuktian akan eksistensi dari sebuah norma hukum. Hal ini
dapat dibuktikan antara lain melalui salah satu sumber hukum internasional, yaitu
kebiasaan (customi. Dalam upaya untuk menemukan apakah suatu norma merupakan
kebiasaan dituntut katnya pemahaman terhadap sejarah. Dalam kasus Paquete Habana,
Mahkamah Agung (MA) atau Supreme Coun AS mempersoalkan status kapal penangkap
kan milik sipil dalam hukum perang untuk sampai pada putusannya MA berpaling pada
kenyataan objektif yang terdapat dalam sejarah. Terutama, peran kebisan internasional
sebagai sumbernya yang utama." Secara kronologis unutan waktu yang mencerminkan
perkembangan hukum internasional sampai saat ini oleh John O'Brien dibagi dalam
sembilan phase i) periode sampai tahun 1500: (i) abad 16; id abad 17: (iv) abad 18; M
periode 1500-1914; rv) pendirian Liga Bangsa-Bangsa (LBB): (vii) periode inter war
years (1919-39), (viii) pembentukan sistem PBB: (xl mulainya sistem baru sejak 1945.
Walaupun tulisan ini tidak mengikuti pengunutan O'Brien secara eksplisit, pengurutan
tersebut dapat membantu pemahaman kita terhadap kondisi kontemporer.
A. Masa Klasik
Permulaan dan hukum internasional, dapat kita facak kembali, mulai dari wilayah
Mesopotamia pada sekitar tahun 2100 sebelum Masehi. Di mana telah ditemukannya,
sebuah traktat pada dasawana abad ke-20 yang ditandatangani oleh Ennamatum,
pemimpin Lagash, dan pemimpin Umma. Traktat tersebut dinalis di atas batu yang di
dalamnya mempersoalkan perbatasan antara kedua negara kota tersebut. Traktat tersebut
dirumuskan dalam bahasa Sumeria."
Perjanjian-perjanjian yang berkarakter internasional lainnya dapat ditemukan
misal dalam perjanjian yang dibuat seribu tahun berikutnya oleh Ramses II dan Mesir dan
Raja Hittites yang ditujukan sebagai pernyataan aliansi Raja Hittites pun dalam
hukumnya memiliki referensi atas pentingnya deklarasi formal bagi diberlakukannya
sebuah keadaan perang Tidak ketinggalan Hammurabi, raja Babilon, pun dalam hukum
yang terkenal sebagai Kode Hammurabi memuat ketentuan mengenai pembebasan
tawanan perang lengkap dengan persoalan pembayaran atau tebusannya. Nilai-nilai
kemanusiaan dalam hukum internasional mulai merasuk melalui tindakan Cyrus, raja
Persia, yang menuntut prajurit musuh yang terluka harus mendapatkan perlakuan
sebagaimana yang diterima oleh prajuritnya sendiri.
Selanjutnya, dengan kemunculan monoteisme, perlu diberikan perhatian terhadap
sumbangan ajaran agama monoteisme tertua, yakni Yahudi dengan deuteronomi-nya
yang bisa dikatakan sebagai hukum terlengkap pada masanya. Di dalamnya meliputi
hukum perang, menurut hukum Yahudi pembunuhan terhadap anak dan wanita dilarang
dalam peperangan Bangsa Israel dengan mengunakan landasan agama sebagai dasar bagi
pengaturan mengenai tindak perang dan etika universal, misalnya, memiliki pengaruh
sangat kuat terhadap perkembangan umat manusia berikutnya. Nabi Isaiah mengharuskan
menepati janji bahkan dengan pihak musuh sekalipun. Singka keadilan sosial dan
perdamaian merupakan kunci dalam kehidupan umat manusia.
Bangsa-bangsa lain yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum
internasional kuno adalah bangsa India, Yunani, dan Cina: Ajaran-ajaran Hindu, dengan
kitab-nya Manu menunjukan pengintegrasian nilai-nilai yang memiliki derajat-derajat
kemanusiaan yang tinggi. Hal ini ditunjukan oleh penekanan pada moralitas dan
kebajikan. Sementara Cina memperkenalkan) pentingnya nilai-nilai etika dalam proses
pembelajaran untuk kelompok kelompok yang berkuasa. Lebih signifikan dari itu adalah
pencapaian yang dimiliki Cina dalam kaitannya dengan pembentukan sistem kekuasaan
negara bersifat regional tributary-state. Pencapaian lain yang menarik dari bangsa Cina
adalah upaya pembentukan perserikatan negara-negara Tiongkok yang dicanangkan oleh
Kong Hu Cu yang bisa dianggap telah sebanding dengan konsepsi Liga Bangsa-Bangsa
(L88) pada masa modern.
Dalam praktek hubungan dengan negara luar, Yunani kuno memiliki sumbangan
yang sangat mengesankan dalam kaitannya dengan persoalan arbitrase. Keistimewaan
yang dimiliki oleh Yunani ini pada umumnya sangat terkait dengan persoalan-persoalan
publik. Akan tetapi, sebuah hal yang sangat aneh, bagi sistem arbitrase modem, yang
dimiliki oleh arbitrase Yunani adalah kelayakan bagi seorang arbitrator untuk
mendapatkan hadiah dari pihak yang dimenangkannya.
B. Masa Pertengahan
Pada masa ini hukum alam mengalami transformasi di bawah bendera Gereja unia
manusia, Katolik. Kelompok rasionalis yang diwakili oleh Thomas Aquinas beranggapan
bahwa hukum alam dapat digali oleh rasio manusia. Pada masa ini pemahaman hukum
alam meluas meliputi kehidupan alam dan sosial dan segala hal diluar itu-mulai dari
pergerakan bintang sampai tindak-tanduk semua mahluk, termasuk malaikat. Kehidupan
alam dan sosial dan segala hal di misalnya dengan luar itu-mulai dari pergerakan bintang
sampai tindak-tanduk semua mahluk. termasuk malaikat.
Dalam kaitannya dengan hukum internasional pada saat ini tidak mendapatkan
sentuhan sama sekali-bahkan bisa dikatakan mengalami kemunduran, Peran keagamaan
secara berlebih-lebihan mendominasi sektor sektor sekular, Kemunduran luar biasa ini
berakibat pada terpinggirkannya rasio Karena itu, tidak mengherankan apabila zaman
pertengahan disebut sebagai masa kegelapan The Dark Age).”
Pada masa ini pun muncul kembali apa yang dikenal sebagai perang adil Konsep
ini semula berasal dari Romawi yang pada masa ini menda patkan sentuhan dari ajaran
agama Kristen. Dalam 'ajaran aslinya' tidak dibenarkan peperangan diperlakukan sebagai
jalan keluar, sebab ajaran Kristen sangat menekankan pada kasih. Konsepsi perang adil
muncul ketika perdebatan mengenal apakah seorang Kristen diperbolehkan untuk ambil
bagian dalam perang yang jelas-jelas bertolak belakang dengan ajaran yang dikandung
oleh Kitab suci Injil. Sebagai jalan tengah maka dimunculkan konsep perang adil i yakni
perang yang sesuai dengan ajaran Kristen. Perang adil tersebut harus bertujuan untuk
melakukan tindakan yang motifnya tidak bertentangan dengan semangat ajaran agama
tersebut, yakni atas dasar demi cinta terhadap nilai nilai kemanusiaan.
Elaborasi mengenai perang mendapatkan tempat yang sentral dalam polemik para
teoris hukum internasional pada zaman penengahan. Pada umumnya isu perang tersebut
harus diperlakukan sebagai persoalan sekular. Sebagai contoh Bartolo dari Sassoferrato,
seorang ahli hukum dari Italia, yang menulis mengenai tindakan balas yang seimbang
(reprisals) Contoh lain adalah penulisan mengenal hukum peperangan yang dilakukan
oleh John dari Lenagno. Dan munculnya buku yang sangat berpengaruh, The Tree of
Battles, pada tahun 1380, yang ditulis oleh Honoré de Bonet, seorang pendeta kenamaan.

BAB 3 SUMBER-SUMBER HUKUM INTERNASIONAL


Pembahasan dalam bab ini akan ditujukan pada sumber-sumber hukum
internasional. Sumber hukum menempati kedudukan yang sangat penting dan merupakan
faktor yang menentukan dalam penyelesaian sengketa dalam masyarakat internasional.
Untuk menemukan sumber-sumber hukum dalam hukum internasional tidak semudah
sebagaimana halnya sumber-sumber hukum nasional. Hukum internasional memiliki
keunikan tersendiri, terutama ketiadaan pernyataan secara eksplisit yang menyebutkan
apa sumber-sumber hukum internasional itu sendiri. Apalagi hukum internasional tidak
memiliki organ-organ yang pada umumnya hadir di tingkat kekuasaan nasional, seperti i
lembaga legislatif, eksekutif, judikatif. Hal ini yang kemudian menjadikan hukum
internasional dikenal sebagai sistem hukum yang terdesentralisir.
Adapun Pasal 38 (1) dari Statuta the International Court of Justice (CD) - yang
sebelumnya merupakan tuntunan bagi the Permanent Court of Interna tional Justice (PCI-
tidak lebih hanya sebagai titik awal' bagi penyebutan sumber-sumber hukum
internasional. Sementara itu sumber hukum internasional menurut ketentuan IC) yaitu: (i)
perjanjian internasional interna tional conventions); (ii) kebiasaan internasional
(international custom); (iii) prinsip-prinsip hukum umum general principles of law); dan
(iv) putusan putusan Pengadilan Internasional (judicial decissions) dan ajaran-ajaran ahli
hukum dari berbagai negara yang memiliki reputasi internasional (the teach ings of the
most highly qualified publicists of the various nations), yang dinyatakan sebagai sumber
pelengkap. Mengingat dinamika yang dialami oleh hukum internasional cukup tinggi
maka muncul usulan dari para penulis untuk menggantikan konsep sumber hukum secara
keseluruhan, misal dengan penggunaan istilah 'recognized manifestations of international
law. Usulan yang lebih moderat adalah munculnya keinginan untuk diakuinya sumber.
sumber tambahan. Akan tetapi, dalam prakteknya ICJ masih berpegang pada konstruksi
Pasal 38 ini."
Dalam proses pembuatannya para perancang tidak memiliki keinginan lain
kecuali untuk mencantumkan sumber-sumber yang telah diakui. Oleh karena itu, apabila
timbul pertanyaan apakah sumber-sumber dalam 38 (1) bersitat exhaustive maka,
jawabannya sudah pasti tidak. Pada saat ini telah terdapat upaya dari ICI sendiri untuk
mengakui sumber tambahan lain selain yang tercantum dalam 38 (1). Sehingga, Pasal 38
(1) tidak lebih hanya sebagai starting point bagi pengidentifikasian sumber-sumber
hukum internasional.
Persoalan lain yang tercakup dalam bab ini adalah mengenai relative normativity
yang berkaitan dengan sifat dan struktur hukum internasional itu sendiri, yang kemudian
melibatkan persoalan-persoalan seperti hirarki antar sumber-sumber dan aturan mengenal
hukum (the rule of recognition) yang memiliki kekuatan yang mengikat. Dengan kata
lain, sifat relativitas mengikatnya norma hukum internasional sangat tergantung pada
tantangan hirarkisnya dalam pengakuan masyarakat internasional.
A. Pembedaan Sumber-sumber Hukum Internasional
Pada umumnya para penulis hukum internasional sudah baku untuk mem bedakan
antara sumber hukum formal dan sumber hukum material: Pembedaan lain selain yang di
atas adalah memberikan pembedaan antara sumber-sumber kongkrit dengan sumber-
sumber yang abstrak (intangible). Pembahasan di sini hanya ditujukan kepada distingsi
antara sumber hukum formal dan material. Sumber yang pertama atau formal adalah
prosedur hukum dan metode bagi pembentukan mengenai aturan untuk pengenaan secara
umum mengikat secara hukum kepada pihak-pihak yang dituju. Sedang sumber hukum
dalam arti material adalah sumber hukum dalam pengertian asal mula atau asal-usul
hukum itu sebenarnya, yaitu materi-materi atau bahan-bahan yang membentuk atau
melahirkan kaidah atau/dan norma tersebut, sampai dinamakan hukum yang mempunyai
kekuatan mengikat.
Sumber-sumber material secara sederhana merupakan aturan-aturan dari hukum
internasional misal: traktat, resolusi Majelis Umum, putusan hukum. proposal dari The
International Law Commission, sebuah 'restatement yang dinyatakan oleh sekelompok
orang terpelajar, dan lain-lain. Sedangkan sumber formal adalah sumber yang
menentukan sebuah aturan sebagai rule of law, mengikat terhadap negara-negara, yang
ditentukan oleh sumber-sumber for mal yang telah diidentifikasi oleh Pasal 38 Statuta
ICJ." Sebagaimana dikemu kakan Harris, bahwa sebuah aturan akan mengikat bilamana
telah memenuhi ketentuan bagi sebuah kebiasaan (custom), yang merupakan sumber
formal.
B. Pasal 38 (1) Statuta ICJ
Pencantuman sumber hukum internasional yang telah dijadikan rujukan sebagai
sumber otoritatif dapat ditemukan pada Pasal 38 dari the Statute of Interna tional Court of
Justice (Statuta Mahkamah Internasional). Pasal tersebut secara implisit memberikan
daftar sebagai berikut:
(a) Perjanjian Internasional Unter national conventions), apakah yang berlaku partikular
maupun umum, yang kemudian menunjukan aturan-aturan yang disetujui oleh negara-
negara yang kait;
(b) Kebiasaan internasional (international custom), sebagaimana yang telah dibuktikan
dan diterima sebagai hukum;
(c) prinsip-prinsip hukum umum (the general principles law recognized by civilized
nations) yang dikenal oleh bangsa-bangsa beradab; dan
(d) Putusan-putusan peradilan dan ajaran ajaran para sarjana, the most highly qualified
publicists, sebagai tambahan bagi pengambilan putusan.
Mengingat Pasal 38 ini merupakan adopsi dari Pasal 38 statuta PCIJ sebelumnya,"
maka prinsip-prinsip hukum umum dapat digunakan." Kemudian pada paragraf 2
diberikan pernyataan untuk memberikan kekuasaan bagi Pengadilan untuk memutuskan
kasus secara pantas dan adil (ex aequeo et bono) berdasarkan prinsip-prinsip umum.
Kekuasan pengadilan untuk memutus berdasar pada pertimbangan hakim atau arbitrator
sebagai 'the fair est solution in the circumstances tanpa mempertimbangkan aturan yang
berlaku." Pemutusan kasus secara ex aequo et bono pernah diusulkan oleh hakim Oda,
walau tidak pernah diminta oleh para pihak yang bersengketa. Namun, dalam kaitan
dengan persoalan yang rumit, dasar persetujuan pihak pihak yang bersengketa secara
diam (tacit consent) memungkinkan putusan dengan dasar ex aequeo et bono dapat
diputuskan."
Dalam perkembangannya, sumber hukum internasional menjadi lebih kompleks
yang kemudian mendorong para sarjana menambah daftar panjang dari sumber hukum
yang telah ada. Kebiasaan Internasional, Perjanjian Internasional atau traktat, keputusan
pengadilan, doktrin atau pendapat para sarjana, keputusan-keputusan atau resolusi-
resolusi organisasi Internasional, dan lain-lain.
C. Sumber Hukum Internasional Sumber Hukum Internasional meliputi:
1. Traktat yang berlaku,
2. Hukum Kebiasaan Internasional,
3. Prinsip-prinsip Umum Tentang Hukum,
4. Keputusan-keputusan Hakim dan Tulisan-tulisan Para Ahli,
5. Sumber-sumber Hukum Lainnya.

BAB 4 HUBUNGAN HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL


A. Perbedaan antara Hukum Internasional dan Hukum Nasional
Terdapat perbedaaan-perbedaan yang krusial antara hukum nasional dengan
hukum internasional. Pertama, objek pengaturan dari kedua sistem hukum itu. sendiri
terdapat perbedaan. Hukum internasional memiliki negara sebagai objek utama dari
pengaturan, Sedangkan hukum nasional lebih menekankan pada pengaturan
hubungan antar individu dengan individu dan negara dalam wilayah jurisdiksi dari
masing-masing negara. Akan tetapi, pengertian ini tidak menutup kemungkinan akan
terjadinya tumpang tindih mengingat pada perkembangan selanjutnya hukum
internasional, sesuai dengan hakikatnya, supreme dibanding hukum nasional. Sebagai
bukti argumen ini adalah dengan munculnya hukum HAM internasional. Dalam
hukum HAM internasional, negara di bawah pengawasan organ-organ traktat misal
the Human Rights Commitee, sebagai organ dengan fungsi quasy-judicial Konvensi
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik, International Co venant Civil and
Political Rights (CCPR).
Cara pandang kedua adalah dengan membedakan model atau bentuk hukum yang
sama sekali berbeda. Apabila digunakan pengertian mengenal hukum dari sudut
pandang hukum nasional untuk menjelaskan hukum internasional, dapat berakhir
pada peniadaan eksistensi hukum internasional Hukum internasional tidak memiliki
badan badan seperti legislatif, eksekutif dan yudikatif sebagaimana halnya dalam
hukum nasional. Meskipun terdapat Majelis Umum PBB yang sering berlaku sebagai
badan legislatif tidak dapat dianalogikan sebagai parlemen ataupun ICI, dianalogikan
sebagai lembaga yudikatif, ICI hanya menangani kasus yang diserahkan oleh negara
melalui kesepakatan, yang tertuang dalam compromis, pernyataan para pihak yang
bersengketa untuk mengakui kompetensi dari ICJ. Oleh karena itu, jelaslah bahwa
kedua hukum tersebut memiliki perbedaan yang substansial.
B. Teori-teori Hubungan Hukum Internasional dan Hukum Nasional
1. Teori Monisme
Untuk menjawab persoalan tersebut, timbul tiga aliran (teori) yang
kesemuanya berupaya memberikan jawaban atas persoalan di atas.
Pertama, aliran Monisme yang memandang bahwa hukum nasional dan
hukum intermasional hanyalah merupakan hukum utama bagi hukum
nasional. Kelompok monisme ini terbagi dua, yakni, kelompok yang
diwakili oleh Hans Kelsen, yang mendasarkan pada pandangan
Immanuel Kant. Kelsen berasumsi bahwa hukum adalah sebuah tatanan
yang memberikan bimbingan yang bersifat memaksa bagi perilaku para
subjeknya. Lebih jauh, Kelsen beranggapan, oleh karena negara
memiliki hubungan hukum satu sama lainnya, maka hukum
internasional haruslah lebih utama demi terciptanya hubungan yang
logis antara keduanya sesuai dengan hirarkinya.
2. Teori Dualisme
Aliran kedua adalah aliran Dualisme yang memandang bahwa
hukum internasional memiliki status lebih rendah dibanding dengan
hukum nasional. Menurut kelompok ini, hukum internasional merupakan
dua bidang hukum yang sama sekali berbeda dan berdiri sendiri satu
dengan lainnya. Asumsi yang mendasarinya adalah keberlakuan hukum
internasional murni kewenangan dari penguasa domestik. Oleh karena
itu, hukum nasional memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding
dengan hukum internasional. Pendapat ini dinyatakan oleh Triepel" dan
Strupp.
3. Teori Koordinasi
Kelompok ketiga, yang bisa dikatakan sebagai kelompok moderat
atau teori koordinasi, beranggapan apabila hukum internasional
memiliki lapangan berbeda sebagaimana hukum nasional, sehingga
kedua sistem hukum tersebut memiliki keutamaan di lapangannya
masing-masing. Menurut mereka hukum internasional dengan hukum
nasional tidak bisa dikatakan terdapat masalah pengutamaan. Masing-
masing berlaku dalam areanya sendiri. Oleh karena itu tidak ada yang
lebih tinggi ataupun lebih rendah antara satu dengan lainnya.
Sebenarnya kelompok ini merupakan bagian dari kelompok dualisme
atau pluralisme. Di antara para pengusungnya adalah lan Brownlie, Sir
Gerald Fitzmaurice," dan Rousseau. Pemahaman kelompok ketiga ini
sebenarnya merupakan modifikasi dari paham teori dualisme.
Secara jelas dinyatakan oleh Anzilotti yang berpemahaman bahwa
hukum nasional ditujukan untuk ditaati sedangkan hukum internasional
dibentuk dengan dasar persetujuan yang dibuat antar negara ditujukan
untuk dihormati." Pemahaman Anzilotti ini pada saat ini sangat
diragukan. Karena jika hukum internasional hanya didasarkan pada
persetujuan, sebagaimana tercermin dalam prinsip pacta sunt servanda,
maka persoalan-persoalan yang bersama dan mendesak seperti
perlindungan terhadap lingkungan dan HAM akan menemui jalan buntu.
Dengan demikian, perbedaan antara hukum nasional dan hukum
internasional sebagaimana yang dikemukakan oleh kelompok Dualisme
tersebut diatas untuk kurun waktu sekarang ini sudah tidak relevan lagi.
C. Penerapan Hukum Internasional di Tingkat Nasional
Kedudukan hukum internasional dalam peradilan nasional suatu negara terkait
dengan doktrin inkorporasi dan doktrin transformasi. Doktrin inkorporasi menyatakan
bahwa hukum internasional dapat langsung menjadi bagian dari hukum nasional.
Dalam hal suatu negara menandatangani dan meratifikasi traktat, maka perjanjian
tersebut dapat secara langsung mengikat terhadap para warga negaranya tanpa adanya
sebuah legislasi terlebih dahulu. Contoh seperti Amerika Serikat, Inggris, Kanada,
Australia dan negara-negara lainnya.
Sedangkan, doktrin yang terakhir menyatakan sebaliknya; tidak terdapat hukum
internasional dalam hukum nasional sebelum dilakukannya 'tranformasi yang berupa
pernyataan terlebih dahulu dari negara yang bersangkutan. Dalam kata lain, traktat
tidak dapat digunakan sebagai sumber hukum nasional di pengadilan sebelum
dilakukankannya transformasi' ke dalam hukum nasional 2 Doktrin inkorporasi
beranggapan bahwa hukum internasional merupakan bagian yang secara otomatis
menyatu dengan hukum nasional. Dan doktrin ini lebih mendekati pada teori
monisme yang tidak memisahkan antara kedua sistem hukum nasional dan sistem
hukum internasional. Sedangkan doktrin transformasi menuntut adanya tindakan
positif dari negara yang bersangkutan. Sebagaimana doktrin ini juga dikembangkan
oleh teori dualisme, mendapatkan contohnya di negara-negara Asia Tenggara,
termasuk juga di Indonesia.

BAB 5 SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL


Pada bab ini pembahasan akan ditujukan pada subjek hukum internasional.
Penentuan apa yang merupakan subjek hukum internasional tidak terlepas dari hakekat
hukum internasional yang sangat mendasarkan pada kehendak negara-negara secara
sukarela. Karena itu, hukum internasional seringkali disebut sebagai sistem yang
terdesentralisir. Hal mana dalam perkembangannya. hukum internasional saat ini telah
memiliki subjek yang tidak terbatas pada negara. Konsekuensinya, paham positifisme
yang semata-mata mendasarkan pada tindakan sukarela negara-negara dalam hukum
internasional semakin tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman. Sebelum
membahas aneka ragam subjek hukum internasional, perlu ditinjau tentang personalitas
hukum internasional terlebih dahulu.
A. Personalitas dan Subjek Hukum Internasional
Dalam hukum internasional terdapat subjek hukum yang pada umumnya,
merupakan beberapa entitas yang diberikan hak dan kewajiban oleh hukum itu sendiri.
Dalam hal hukum nasional dikenal individu dan korporasi sebagai subjek utama, di
samping negara atau lebih sempitnya pemerintah. Sehingga, subjek hukum internasional
secara singkat dapat dikatakan sebagai pemegang atau pendukung hak dan kewajiban
menurut hukum internasional. Setiap pendukung atau pemegang hak dan kewajiban
menurut hukum internasional adalah subjek hukum internasional. Konsekuansinya,
subjek hukum inter. nasional tidak sekedar negara. Sedangkan apa yang dimaksud
sebagai subjek hukum adalah entitas yang memiliki personalitas hukum. Dengan
dimilikinya personalitas hukum oleh subjek hukum mengakibatkan subjek hukum dapat
menjalankan fungsinya sebagaimana layaknya subjek hukum.
Sedangkan apa yang dimaksud dengan personalitas hukum adalah yang
menentukan hak-hak dan kewajiban yang dimiliki oleh subjek hukum. Beragamnya
subjek hukum internasional menjadikan pengertian personalitas hukum tidak bersifat
absolut. Sebab, personalitas hukum itu sendiri mengikuti pengakuan yang diberikan oleh
masing-masing instrumen hukum. Disamping itu, personalitas hukum memberikan
kewenangan untuk mengajukan klaim di Mahkamah Internasional, menikmati hak dan
menjalankan kewajiban dalam lapangan hukum internasional, untuk berpartisipasi dalam
pembentukan hukum. internasional termasuk ikut serta dalam organisasi internasional,
dan membentuk traktat.
Pada awal mula kelahiran hukum internasional, hanya negaralah satu satunya
entitas yang dipandang sebagai subjek hukum internasional. Namun dalam
perkembangannya setelah Perang Dunia II, pelaku-pelaku dalam pergaulan internasional
tidak hanya dimonopoli negara. Banyak bermunculan subjek-subjek hukum baru seperti
organisasi internasional dan individu' yang akhirnya diakui sebagai subjek hukum
internasional selain negara, dan tentunya, LSM internasional yang sering dinyatakan
sebagai non state-actor.
Negara yang Berdaulat dan Unsur-unsurnya
Negara masih merupakan subjek hukum yang terpenting dibanding dengan subjek
subjek hukum internasional lainnya. Banyak sarjana yang memberikan definisi terhadap
entitas yang dinamakan negara. Salah satunya adalah C. Humphrey Wadlock yang
memberi pengertian negara sebagai suatu lembaga (institution), atau suatu wadah di mana
manusia mencapai tujuan-tujuannya dan dapat melaksanakan kegiatan-kegiatannya.
Fenwich mendefinisikan negara sebagai suatu masyarakat politik yang diorganisasikan
secara tetap, menduduki suatu daerah tertentu, dan hidup dalam batas- batas daerah
tersebut, bebas dari negara lain, sehingga dapat bertindak sebagai badan yang merdeka di
muka bumi.
Dari sekian banyak definisi yang dikemukakan para ahli, ada satu patokan,
standar atau unsur tradisional dari suatu entitas untuk dinamakan sebagai negara yang
tercantum pada Pasal 1 Montevideo (Pan American) “The Con vention on Rights and
Duties of State of 1933." Pasal tersebut berbunyi sebagai berikut: Negara sebagai subjek
dalam hukum internasional harus memiliki: (a) Penduduk tetap; (b) wilayah tertentu; (c)
pemerintahan; dan (d) kapasitas untuk berhubungan dengan negara lain.
Ketiga kriteria pertama telah mendapatkan pengakuannya sejak abad ke 19 di
Eropa, sedangkan untuk yang terakhir berasal dari para penulis Amerika latin. Keempat
kriteria yang terdapat dalam pasal satu Konvensi Montevideo telah dianggap
mencerminkan hukum kebiasaan internasional.
B. Hak-hak Dasar dan Kewajiban-kewajiban Negara
Upaya masyarakat internasional untuk mempersoalkan hak-hak dan kewajiban
kewajiban negara-negara telah dimulai sejak abad ke-17 dengan landasan teori kontrak
sosial. Kemudian pada 1916, American Institute of International Law (AIIL) mengadakan
seminar dan menghasilkan Declaration of the Rights and Duties of Nations, yang disusul
dengan sebuah kajian yang berjudul Fundamental Right and Duties of American
Republics; dan sampai dirampungkannya Konvensi Montevideo tahun 1933. Hasil
konvensi Montevideo ini kemudian menjadi rancangan Deklarasi tentang hak dan
kewajiban negara-negara yang disusun oleh komisi hukum internasional (ILC) PBB pada
tahun 1949. Namun Komisi tersebut tidak pernah berhasil menghasilkan usulan yang
memuaskan negara-negara.
C. Negara-negara yang Belum Berdaulat
1. Negara Protektorat (Negara Vasal)
Negara protektorat adalah negara yang kekuasaan luar negerinya sepenuhnya
berada di bawah kekuasaan negara lain." Karena tidak ada kekuasaan untuk urusan
luar negeri, maka negara protektorat ini secara internasional sangat tergantung
keberadaannya pada negara induknya (internationally its indepen dence is so
restricted as scarely to exist at all)." Jadi negara protektorat timbul manakala sebuah
negara mengadakan perjanjian dengan negara lain yang memberikan kekuasaan
kepada negara yang lebih kuat untuk melindunginya. Perjanjian protektorat ini tidak
hanya dapat diadakan secara bilateral yaitu antarnegara yang minta dilindungi dengan
negara yang akan melindungi, namun dapat juga diadakan dengan perjanjian
internasional. Sebagai contohnya adalah the lonion Island adalah bekas protektorat
Inggris yang dibentuk berdasarkan perjanjian internasional antara Inggris, Uni Soviet,
Austria, dan Prusia.
Ada empat bentuk utama negara protektorat ini, yakni:
1. Protektorat-protektorat Eropa. Contoh protektorat ini adalah perlindungan Swiss
terhadap Lichtenstein, Perancis terhadap Monaco.
2. Protektorat-protektorat non-Eropa, misalnya Maroko dan Tunisia di bawah
perlindungan Perancis.
3. Protektorat-protektorat non-Eropa terhadap negara-negara yang dilindungi yang
sebelumnya tidak mempunyai personalitas internasional, meskipun acapkali
diperlakukan sebagai negara berdaulat oleh negara yang melindungi dan hubungan
perlindungan tersebut didasarkan pada suatu perjanjian misalnya Sahara Barat di
bawah perlindungan Spanyol.
4. 'Protektorat koloni' bentuk ini biasanya perlindungan terhadap wilayah wilayah
yang tidak terorganisir secara politis walaupun beberapa wilayah protektorat tersebut
biasanya ditetapkan melalui suatu perjanjian. Misalnya, perjanjian antara Inggris
dengan Toro dan dengan protektorat Uganda.
2. Wilayah Trust (Mandat)
Wilayah perwalian (trust)" ini muncul sebagai subjek hukum internasional
sebagai kelanjutan sistem wilayah mandat pada masa Liga Bangsa-Bangsa. Yang
dimaksud wilayah perwalian adalah wilayah jajahan dari negara-negara yang karena
kalah dalam Perang Dunia I kemudian ditempatkan di bawah wilayah dari negara lain
dalam rangka membimbing wilayah itu untuk menjadi negara merdeka,"
Seperti wilayah Afrika Barat Daya atau Namibia di bawah Afrika Selatan. Setelah
Perang Dunia II, Liga Bangsa Bangsa diganti dengan Perserikatan Bangsa Bangsa
dan wilayah mandat diganti status dan namanya dengan wilayah perwalian dibawah
naungan Dewan Perwalian yang merupakan salah satu organ utama dari Perserikatan
Bangsa Bangsa.
Wilayah mandat merupakan wilayah yang tidak mandiri yaitu wilayah yang tidak
mampu mengadakan hubungan dengan pihak asing tanpa dukungan dari negara yang
mendukungnya (mandatory states). Istilah mandat ini lahir pada ekspansi dunia
Islam, wilayah-wilayah koloni Jerman dan sebagian wilayah provinsi Turki seusai
Perang Dunia I.
Kekuasaan negara yang mendukungnya ini terbatas pada perjanjian-perjanjian
yang diadakan oleh negara-negara ini dengan LBB. Sistem wilayah mandat ini diatur
dalam Pasal 22 Piagam LBB yang merupakan bagian integral dari perjanjian-
perjanjian pedamaian. Setelah LBB bubar, wiayah-wilayah mandat ini diambil alih
oleh PBB, dengan tujuan dan maksud yang lebih luas. Untuk wilayah-wilayah
semacam ini PBB memberi nama baru yaitu wilayah trust (trusteeship system) yang
artinya sama saja, yaitu wilayah Perwalian
3. Condominium
Pengertian utama dari condominium adalah keadaan dimana dua atau lebih negara
memiliki kewenangan atas wilayah yang sama, yang juga didalamnya meliputi
kedaulatan. Pengertian ini dapat diterapkan misal pada sudan pada 1898 sampai 1956
dibawah kekuasaan inggris dan mesir.

D. Subjek Korporasi 102 dan Asosiasi Negara-Negara


Korporasi diartikan sebagai subjek hukum perdata, tetapi acapkali dalam
menjalankan bisnisnya memerlukan hubungan dengan negara yang dapat diketegorikan
sebagai persoalan publik. Korporasi terbagi dua, yakni, pertama, perusahaan internasional
publik (International Public Company) dan kedua, perusahaan transnasional atau
multinasional (Transnational Corporations). Perbedaan yang menonjol diantara kedua
kelompok korporasi ini dapat dilihat dari kepemilikan perusahaan itu sendiri. Sementara
yang pertama, pada umumnya, dimiliki oleh negara-negara atau bersifat inter-
governmental. Keadaaan ini dapat kita lihat misal di INTELSAT yang merupakan sebuah
sistem telekomunikasi global yang bersifat komersial; EUROFIMA yang didirikan pada
1955 yang didirikan oleh 14 negara-negara Eropa ataupun The Bank of International
Settlement yang didirikan melalui traktat antara 5 negara dan Swiss sebagai tuan rumah.
Sedangkan Perusahaan transnasional pada intinya merupakan badan usaha yang
dikendalikan oleh swasta yang dihubungkan oleh suatu perusahaan induk dan memiliki
jangkauan transnasional atau melampaui batas-batas negara. Sejauh ini hanya berupa
Code of Conducts yang dibuat oleh Komisi PBB bagi perusahaan Multinasional.
Persoalan personalitas dalam hal ini akan menimbulkan pertanyaan mengenai
kewenangan yang diberikan oleh hukum nasional dan personalitas internasionalpun akan
mengikutinya. Meskipun perkembangan pengaturannya masih lambat, sejak kasus
Barcelona Traction terdapat kecenderungan hukum internasional kuat untuk memberikan
tempat bagi perusahaan multinasional sebagai entitas hukum tersendiri.

BAB 6 PENGAKUAN DAN SELF-DETERMINATION


A. Pengakuan Negara (Recognition)
Di tingkat internasional adalah sudah lazim apabila suatu negara yang terlebih
dahulu eksis memberikan pengakuan atas keberadaan negara atau pemerintahan yang
lebih muda usianya. Sebagai contoh, pada masa dekolonisasi, negara negara yang
menjadi korban kolonisasi sangat gencar mencari pengakuan akan eksistensinya sebagai
sebuah negara yang tidak kalah berdaulatnya dari negara-negara eks-koloninya.
Pengakuan pada umumnya didasarkan pada pertimbangan hukum yang dikenal sebagai
pengakuan secara de jure dan berdasar pada pertimbangan fakta yang dikenal sebagai
pengakuan de facto. Namun, dalam praktek, pengakuan lebih banyak diberikan karena
kalkulasi yang bersifat politis dari pada hukum.
Pengakuan adalah metode untuk menerima situasi-situasi faktual yang kemudian
diikuti oleh konsekuensi hukumnya. Pengaruh dari pengakuan adalah memberikan
kemudahan bagi negara yang bersangkutan untuk melakukan transaksi-transaksi
internasional di kemudian hari. Dengan dimilikinya pengakuan oleh suatu negara maka
secara otomatis hal tersebut menunjukan apabila negara tersebut telah menyandang hak-
hak dan kewajiban-kewajiban hukum yang dibebankan oleh hukum internasional. Selain
itu, pengakuan merupakan penerimaan dari negara-negara lain sebagai subjek hukum
terhadap negara lainnya untuk bertindak dalam kapasitas sebagai subjek hukum.
Pengakuan dapat dinyatakan secara terang-terangan ataupun secara diam. diam.
Pengakuan dalam hukum internasional tidak hanya terkait dengan penerapan
kriteria kriteria hukum. Oleh karena itu, lalam penerapannya justru pertimbangan
politiklah yang sangat menentukan. Hal ini ditunjukan oleh sikap Amerika Serikat
terhadap Korea Utara dan Cina. Kedua Negara tersebut dipandang sebagai sekutu Rusia
dengan ideologinya sosialis dan marxisme Jadi, persoalan pemberian pengakuan oleh
suatu negara tidak semata-mata didasarkan pada pertimbangan hukum tapi juga meliputi
pertimbangan politis.
Dalam kaitannya dengan itu, Ivan Shearer menyatakan bahwa pengakuan yang
akan diberikan oleh Negara-negara dihadapkan pada dilema dan pada umumnya
disebabkan oleh dua alasan. Pengakuan lebih terkait dengan kebijakan dibanding
persoalan hukum, sebagaimana yang terlihat dalam praktek ra-negara. Kebijakan negara
yang memberikan pengakuan didasarkan negara-negara. pada pertimbangan-
pertimbangan yang terkait dengan menjaga kepentingannya sendiri. Disamping itu, dalam
hal pemberian pengakuan terdapat pertimbangan pertimbangan politis seperti persoalan
perdagangan yang sangat mempengaruhi proses pengakuan. Selanjutnya, terdapat sebuah
kecenderungan dalam praktek bahwa pemberian pengakuan dengan mendasarkan pada
prinsip-prinsip hukum, tidak lebih sebagai kedok bagi sebuah keputusan politik.
Sebagai tambahan atas dua bentuk pengakuan tadi masih terdapat pengakuan
terhadap entitas lainnya, seperti, pemberontak, organisasi pembebasan bangsa, pengakuan
atas wilayah, traktat baru dan lain-lain. Dan terakhir adalah pengakuan secara de jure dan
de facto. Ada juga pengakuan yang diberikan oleh Negara negara yang didasarkan pada
tuntutan baik secara juridis maupun tuntutan atas kepentingan politik, ekonomi, dan
keamanan lainnya.
B. Self-Determination
Ungkapan self-determination atau lebih lengkapnya dikenal sebagai the right of
self-determination sering dipahami sebagai hak sebuah kelompok atau "bangsa" untuk
menentukan nasib sendiri yang pada titik ekstrim sering dikaitkan dalam konteks
perjuangan untuk mencapai kemerdekaan atau kelahiran sebuah negara dan memisahkan
diri. Hak ini merupakan hak yang sangat kontroversial. Sebagaimana ditunjukan di masa-
masa awal, pemahaman hak ini simpang siur.
Contoh yang kongkret adalah pemahaman berbeda yang dimiliki dua boosters hak
ini, yakni Woodrow Wilson dan V.I. Lenin. Di satu sisi, Wil son memandang hak ini
sebagai hak atas rakyat terhadap pemerintahan yang mendasarkan diri pada kedaulatan
rakyat. Sedangkan di sisi lain, Lenin memandang hak ini sebagai hak untuk terbebas dari
kekuasaan kolonial yang kemudian menjadi dasar bagi realisasi komunisme secara
universal. Kontroversi terus berlanjut sampai kini, ini ditunjukan oleh sikap negara-
negara korban penjajahan yang dulu mengagungkannya kini setelah mendapatkannya, ia
mulai dicampakannya.
Terlepas dari pro-kontra yang ditimbulkannya, supremasi hak ini mendapatkan
pengakuan dari masyarakat internasional berupa ditempatkannya dalam Piagam
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selanjutnya, hak in menempati kedudukan sentral
dalam hukum internasional Hak-hak Asas Manusia (HAM). Ini, selain di atas, ditunjukan
dengan dimuatnya hak tersebut dalam dua instrumen HAM utama, The International
Covenant on Civil and Political Rights (CCPR) dan The International Covenant on
Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang mana keduanya merupakan bagian
utama bersama “The Universal Declaration of Human Rights dari apa yang disebut
sebagai the International Bill of Rights." Bahkan, hak ini ditempatkan pada pasal pertama
dari kedua instrumen tersebut." Sehingga, disebut sebagai "The Common Articles”.
Pengertian yang diberikan oleh Pasal 1 ICCPR dan ICESCR dinyatakan sebagai
berikut:
1. All peoples have the right of self-determination. By virtue of that right
they freely determine their political status and pursue their economic, social and
cultural development.
2. All peoples may, for their own ends, freely dispose of their natural
wealth and resources without prejudice to any obligations arising out of
international economic cooperation, based upon the principle of mutual benefit,
and benefit, and international law. In no case may a people be deprived of its
means of subsistence.
3. The State Parties to the present Covenant, including those having
responsibility for the administration of Non-Self-Governing and Trust Territories,
shall promote the realization of the right of self-determi nation, and shall respect
that right, in conformity with the provisions of the Charter of the United Nations.
Hak untuk menentukan nasib sendiri ini merupakan satu-satunya hak yang
dimuat dalam bagian I dari kedua Kovenan tersebut -yang tentunya, selain sebagai
pasal pertama. Keadaan ini menunjukan pentingnya hak ini.
The Human Rights Committee, sebagai treaty-based organ dari ICCPR,
menyatakan pentingnya hak ini sebagai berikut:
“The rights of self-determination of particular importance because its
realization is an essential condition for the effective guarantee and obser vance of
individual human rights and for the promotion and strengthen ing of those rights.
It is for that reasons that States set forth the right of self-determination in a
provision of positive law in both Covenants and placed this provision as article 1
apart from and before all of the other rights in the two Covenants."
Di samping diatur dalam kedua Kovenan di atas, hak ini pun diatur dalam
beberapa instrumen lainnya. Sehingga, hak ini telah menjadi bagian dari hukum
kebiasaan. Bahkan, beberapa penulis setelah mempertimbangkan statusnya dalam
hukum internasional beranggapan bahwa hak ini telah tergolong ke dalam bagian
dari norma jus cogen."
Terlepas dari status penting yang dimilikinya, sebagaimana disinggung di
atas, hak ini memiliki tingkat ketidakjelasan yang tinggi pula. Hal mana ini sangat
jelas terlihat dalam persoalan: di mana hak ini dapat diterapkan; bagaimana
pelaksanaannya; bagaimana kewajiban yang diemban oleh negara dalam
kaitannya dengan ini; dan, yang paling penting, siapa yang berhak atas hak ini.
Untuk mendapatkan pemahaman atas hak ini perlu kita tinjau terlebih dahulu
konteks yang menyertai kelahiran hak ini.

BAB 7 KEDAULATAN DAN JURISDIKSI NEGARA


A. Pengertian
Jurisdiksi merupakan ‘turunan’ dari prinsip yang mendasar dalam hukum
internasional yakni kedaulatan dan persamaan kedudukan (equality) antar negara-negara.
Dunia telah terkotak-kotak menjadi negara-bangsa atau federasi negara masing- masing
penguasa di wilayah negara-negara memiliki kewenangan (jurisdiksi) untuk menerapkan
kekuasaannya itulah kedaulatan; yang membentuk peraturan dan menegakannya.
Jurisdiksi merupakan ‘efek samping’ dari pengakuan atas entitas negara. Suatu entitas
politik dikatakan sebagai negara tentunya harus memiliki kedaulatan eksternal dan
internal.
Kedaulatan eksternal adalah memiliki kedudukan yang sama dengan negara lain.
Prinsip persamaan antar negara mengakibatkan negara tersebut memiliki:
1. Sebuah jurisdiksi atas wilayah dan warga yang mendiaminya;
2. Kewajiban negara lain untuk tidak campur tangan atas persoalan yang terjadi di
wilayah negara lain;
3. Kewajiban yang diakibatkan oleh hukum kebiasaan dan perjanjian internasional
didasarkan pada kehendak negara itu sendiri.
Dan Kedaulatan internal adalah kedaulatan yang ditujukan ke dalam wilayah
hukum dari negara yang bersangkutan. Direalisasikan dalam bentuk kewenangan atau
kemampuan untuk:
1. Membentuk hukum;
2. Mendapatkan ketundukan;
3. Memutus persoalan yang timbul dalam jurisdiksinya.
Pembahasan jurisdiksi akan terkait dengan aktivitas dari lembaga Judikatif,
Eksekutif, Legislatif dari suatu negara.
Michael Akehurst mengartikan jurisdiksi dalam 4 kelompok:
1. Jurisdiksi eksekutif berarti kemampuan suatu negara menjalankan fungsinya di
wilayah negara asing.
2. Juridiksi judisial sebagai kemampuan dari Pengadilan suatu negara untuk
menilai/mengadili kasus yang memuat elemen asing.
3. Jurisdiksi legislative memiliki arti negara memiliki kemampuan menerapkan
peraturannya pada kasus yang memuat elemen asing.
4. Kewajiban yang dibebankan ke negara untuk menghormati pelaksanaan
jurisdiksi negara lain.
Jurisdiksi menyebabkan kemampuan untuk membuat hukum (the prescriptive
jurisdiction) dan kemampuan untuk memaksa agar hukum tersebut ditegakkan (the
enforcement jurisdiction). Vaughan Lowe menyatakan jurisdiksi merupakan istilah yang
menggambarkan batasan di mana kompetensi legal dari sebuah negara atau otoritas
pengatur untuk menerapkan, membuat dan menegakan aturan terhadap tingkah laku para
subjeknya.
Contoh: dalam melakukan kejahatan di Indonesia tapi orang yang diduga berada
di wilayah Malaysia, petugas Indonesia tidak bisa begitu saja melakukan penangkapan di
Malayasia. Kemudian, Indonesia akan mengajukan permohonan terlebih dahulu kepada
pihak berwenang Malaysia. Persoalan ini menjadi subjek hukum jurisdiksi internasional.
B. Prinsip Jurisdiksi Domestik
Konsep jurisdiksi domestic terkait erat dengan ketentuan yang terdapat dalam
pasal 2 (7) Piagam PBB yang berbunyi nothing contained in the present Charter shall
authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the
domestic jurisdiction of any state or shall require the Members to submit such matters
to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the
application of enforcement measures under Chapter VII.
Jurisdiksi domestic adalah wilayah kompetensid ari suatu negara untuk
melaksanakan kedaultannya secara penuh tanpa campur tangan dari pihak atau negara
lain, bahkan hukum internasional sekalipun. Sedangkan konsep jurisdiksi domestic
dalam Piaga menurut Brownlie ditujukan untuk bersifat fleksibel yang dicirikan dengan
tidak adanya badan yang diberi kewenangan untuk memutuskannya dan bersifat non-
tehnical.
PBB melalui organnya telah menafsirkan secara liberal mengenai ancaman
terhadap perdamaian dan keamanan dunia, hal ini bisa dilihat dengan sikap yang
ditunjukkan oleh Majelis Umum atas reaksinya terhadap diskriminasi rasial di Afrika
Selatan dan persoalan lainnya. Pemahaman dari asal-usul pasal 2 (7):
1. Ketentuan ini ditujukan untuk mencegah PBB mempersoalkan hal yang
merupakan persoalan domestic jurisdiksi dari negara anggota;
2. Memberi referensi pada pasal 15 Kovenan LBB dan penggunaan istilah
exclusively dan essentially yang kemudian memperluas jurisdiksi domestic negara
peserta yang tentunya membatasi lapangan aktivitas bagi PBB. Majelis Umum
mengambil pandangan dalam kaitannya dengan persoalan HAM apabila telah
sampai pada tahap yang bisa dikatakan sudah dapat menggangu hubungan antar
negara, maka Majelis berwenang melakukan intervensi. Rosalyn Higgins
menyatakan bahwa dikotomi antara hukum internasional dan moralitas
internasional merupakan tindakan destruktif. Tetapi secara keseluruhan PBB
dalam praktiknya cenderung untuk menginterpretasikan dalam pengertian sempit.
C. Jurisdiksi dalam Hukum Internasional
Aturan terkait dengan persoalan juridis dari suatu negara sangat penting dalam
pembahasan hukum internasional. Jurisdiksi sebagai topic dalam monograf hukum
internasional di negara common law mendapatkan tempat pembahasannya. Sementara
itu monograf continental mengambil langkah berbeda, dengan menjadikannya sebagai
salah satu aspek dalam pembahasan mengenai kenegaraan dan wilayah atau hukum laut
dikaitkannya dengan aspek lain yang terdapat dalam hukum internasional.
D. Dasar-dasar Jurisdiksi
Dasar utama bagi suatu negara untuk mengklaim jurisdiksi adalah dengan
mendasarkan pada wilayah dan kebangsaan. Perkembangan selanjutnya dalam klaim
atas jurisdiksi adalah dengan berdasarkan pada alasan perlindungan dan prinsip passive
personality.
Kedua prnsip ini merupakan perluasan dari prinsip pertama yang pada saat ini
sudah sering digunakan. Kemudian prinsip yang mendasarkan pada pengaruh yang
ditimbulkan, prinsip yang disebut sebagai the effect doctrine yang digunakan AS
sangat kontroversial karena dapat menjangkau persoalan ekstra-teritorial dan yang
dilakukan oleh bukan warga negaranya.
Jurisdiksi universal yang ditujukan pada kejahatan yang dipercaya berskala
internasional dalam artian kejahatan tersebut tidak hanya berpengaruh terhadap satu
negara saja dan dalam pelaksanaanya tidak menimbulkan tentangan dari negara lain.
American Law Institute (ALI) memberikan kategori terhadap jurisdiksi:
1. Jurisdiction to prescribe adalah kemampuan unntuk menjadikan hukumannya
dapat diterapkan terhadap aktivitas, hubungan, atau ketertarikan seseorang
terhadap hal-hal apakah melalui legilasi, tindakan eksekutif, pengaturan yang
administratif atau penetapan dari pengadilan;
2. Jurisdiction to adjudicate adalah kemampuan menjadikan pribadi maupun beda
sebagai subjek dalam proses pengadilan maupun peradilan administrative.
3. Jurisdiction to enforce adalah kemampuan memaaksa bahkan untuk
menghukum pihak yang tidak menaati aturannya apakah melalui proses yudisial
atau bukan.
1. Teritorial
Memberikan kewenangan terhadap suatu negara untuk melaksanakan
kedaulatannya terhadap kejadian yang berlangsung dalam wilayahnya. Prinsip ini
merupakan bentuk kedaultan negara. Dengan prinsip ini negara memiliki kewenangan
menghukum bahkan warga asing yang melakukan pelanggaran/kejahatan dalam
wilayahnya.
Prinsip ini telah di modifikasi menjadi dua model:
a. Prinsip territorial subjektif yaitu negara memiliki kewenangan atas sebuah
kejahatan yang direncakan di negara tersebut tapi diselesaikan di negara lain.
b. Prinsip territorial objektif yaitu kebalikan dari territorial subjektif.
Sementara itu maraknya kejahatan seksual terhadap anak-analk yang
terkait pariwisata seks di negara berkembang, mendorong negara maju untuk
memperluas jangkuan jurisdiksinya yang dituntut oleh masyarakat. Sebagaimana
dinayatakan dalam Konvensi mengenai Hak-hak Anak yang menuntut negara
supaya menekan kejahatan tersebut.
2. The Effect Doctrine
Amerika Serikat dalam kasus Alcoa mengklaim memiliki jurisdiksi atas tindakan
dari perusahaan asing yang merupakan anggota kartel. Aktivitasnya ditujukan
mempengaruhi impor maupun ekspor terhadap AS yang kemudian tuduhan terbukti.
Konsep The Effect Doctrine kita lihat dalam kasus The Uranium Antitrust Litigation
dalam kasus tersebut beberapa perusahaan produsen uranium dengan sepengetahuan dari
pemerintahnya masing-masing membentuk Kartel melakukan monopoli harga uranium
dunia.
Tindakan tersebut sebagai respon atas hukum AS yang sangat protektif.
Sementara itu, Westinghouse, perusahaan AS telah menandatangani kontrak menjual
uranium untuk penggunaan public di AS. Keadaan yang diakibatkan karte; tersebut
menyebabkan Westinghouse tidak mampu memenuhi kontraknya.
Di bawah hukum Antritrust Westinghouse menuntut balik beberapa perusahaan
yang tergbaung dalam Kartel sebelumnya Westinghouse dituntut terlebih dahulu oleh
karena ketidakmampuannya memenuhi kontrak. Salah satunya yang memberikan
jurisdiksi AS untuk mempersoalkan kasus ini hanyalah ‘efek’ yang dirasakan AS atas
tindakan Kartel, hal inilah yang emmbedakan antara jurisdiksi dengan hanya
mendasarkan pada efek dan jurisdiksi territorial objektif. Doktrin efek dengan mendasar
pada akibat ekonomi yang dirasakan oleh negara sudah cukup. Sedangkan jurisdiksi
territorial objektif menuntut adanya tindakan intrateritorial.
3. Kebangsaan
Hak dari negara untuk mengklaim atas jurisdiksi dari persoalan dengan
mendasarkan pada factor kebangsaan yang dimiliki oleh pihak terkait di mana pun ia
berada memiliki sejarah yang lebih tua disbanding prinsip territorial. Sedangkan untuk
menentukan syarat yang menjadikan seseorang berkebangsaan suatu negara dinyatakan
pasal 2 dari Hague Convention on Certain Questions Relating to the Conflict of
Nationality Laws sebagai ‘any question as tow ether a person prosesses the nationality of
a particular State shall be determined in accordance with law of that State. Pernyataan
yang mirip dapat ditemukan dalam kasus Nottebohm ICI menyatakan kewenangab dari
semua negara untuk mengurusi persoalan yang terkait nasionalitas.
Persoalan yang terkait kebangsaan didasarkan pada hubungan terhadap negara
yang bersangkutan, bisa disebabkan karena dilahirkan di wilayah negara tersebut (ius
soli) atau karena keturunan atau orang tuanya warga dari engaara tersebut (ius sanguinis.
4. Prinsip Nasionalitas Pasif
Suatu negara dapat mengklaim memiliki jurisdiksi untuk mengadili seseorang
yang berada di luar negeri yang diduga telah atau akan merugikan kepentingan dari
negara yang bersangkutan. Mulanya prinsip ini tidak mendapatkan tempat dan
menuai kritikan keras, tapi dalam konteks saat ini telah terjadi pengakuan atas prinsip
personalitas pasif dengan menggunakannya sebagai respon atas tindakan criminal.
Keuntungan prinsip personal pasif adalah negara bukan saja dapat melindungi warga
negaranya dari negara lain, melainkan dapat dikaitkan dengan pelaksanaan perjajian
ektrasidisi.
5. Prinsip Protektif
Prinsip ini kadang disebut competence reele, prinsip ini memeberikan
kemungkinan untuk negara melakukan penuntutan atas seseorang yang telah
melskuksn kejahatan yang merugikan terhadap kepentingan nasional negara tersebut.
Prinsip ini sering digunakan dalam perjanjian-perjanjian internasional yang ditujukan
untuk kejahatan khusus.
6. Prinsip Universal
Tiap negara memiliki jurisdiksi atas kejahatan tertentu tanpa adanya
pertimbangan lain, pemikiran yang mendasari munculnya prinsip universal adalah
adanya anggapan apabila krjshstsn tersebut telah menjadi kejahatan bagi seluruh umat
manusia. Prinsip ini pertama kali muncul dalam hukum kebiasaan internasional pada
abad 17 dalam kaitannya dengan pembajakan. Setiap negara memiliki kewenangan
untuk mengadili pelaku, sebab setiap negara beranggapan apabila mereka mengadili
pelaku maka mereka tidak hanya melindungi kepentingan sendiri tapi juga
kepentingan seluruh negara.
Kejahatan universal menjadi bagian dari jurisdiksi universal tidak terlepas dari
hukum kebiasaan. Jurisdiksi universal timbul tanpa memandang siapa pelakunya dan
di mana perbuatan dilakukan. Dalam hukum pidana internasional itu sendiri saat ini
bisa dikatakan apabila tindak penyiksaan dan terorisme menjadi bagian dari kejahatan
yang menimbulkan jurisdiksi universal. Salah satunya tindakan terorisme yaitu
perbuatan yang ditujukan menciptakan ketakutan di masyarakat.
7. Treaty-Based Extensions of Jurisdiction
Jurisdiksi ini diperoleh negara melalui ketentuan yang terdapat dalam perjanjian
internasional. Umumnya perjanjian ini memiliki kesamaan contohnya pasal 1 dari the
1971 Montreal Convention fro the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety
of Civil Aviation menyatakan bahwa seseorang melakukan ekkerasan terhadap orang
lain dalam pesawat terbang dan dapat membahayakan pesawat tersebut, Konvensi
menuntut negara peserta untuk menyediakan hukuman bagi perbuatan tersebut dan
memberikan jurisdiksi dalam keadaan tertentu, yang termasuk kejahatan yang
dilakukan dalam wilayah negara, dalam pesawat yang didaftarkan negara tersebut,
dilakukan dalam epsawat yang mendarat di wilayah dengan pelaku di dalamnya. Hal
ini mencerminkan provisi aut dedere, aut idiucare, yang memberikan kewajiban
negara untuk mengekstradisi pelaku dengan tujuan mendaoatkan hukuman atau
negara tersebut harus menuntut pelaku. Tujuan adanya jurisdiksi model ini untuk
mencegah pelaku kejahatan dari hukuman atau bisa juga dikatakan jurisdiksi
universal antar negara peserta.
E. Ekstradisi
Merupakan upaya dari negara kepada negara lain afar negara tersebut
menyerahkan orang yang dimaksud untuk diadili di negara yang memintanya. Syarat
ekstradisi pada umumnya kejahatan yang diakui dua negara, yakni pemohon ektradisi
dan pemberi ekstradisi. Pihak yang diekstradisi hanya diadili terhadap tuduhan yang
menjadi alasan ekstradisi. Ekstradiis tidak berlaku atas kejahatan politik, sebab
kejahatan politik boleh jadi subjektif dan dapat terjadi bila pemerintahan tidak
demokratis sehingga dapat saja negara tetangga tidak terlihat oleh perjuangan
ekstradisi. Umumnya hanya dipraktikan oleh negara demokratis. Bukti pendahuluan
apabila tertuduh memiliki indikasi yang kuat.

Anda mungkin juga menyukai