Anda di halaman 1dari 21

BAB 5

HUKUM INTERNASIONAL

Sistem Hukum Internasional

Sistem hukum internasional adalah satu kesatuan hukum yang berlaku dan wajib
dipatuhi oleh seluruh komunitas internasional. Artinya hukum internasional harus dipatuhi
oleh setiap negara. Sistem hukum internasional juga merupakan aturan-aturan yang telah
diciptakan bersama oleh negara-negara anggota yang melintasi batas-batas negara.

Pengertian Hukum Internasional

Pengertian hukum internasional secara umum merupakan bagian hukum yang


mengatur aktifitas entitas dalan skala internasional. Awalnya hukum internasional hanya
diartikan sebagai perilaku dan hubungan antar negara namun dalam perkembangan pola
hubungan internasional yang semakin kompleks pengertian ini mulai meluas sehingga hukum
internasional juga mengurusi struktur dan perilaku organisasi internasional dan pada batas
tertentu, perusahaan multinasional dan individu. Namun disamping itu, beberapa sarjana
mengemukakan pendapatnya mengenai hukum internasional. Diantaranya adalah :

1. J.G Starke
Hukun internasional adalah sekumpulan hukum-hukum (body of law) yang sebagian
besar terdiri dari asa-asas dan karena itu biasanya ditaati dalam hubungan
antarnegara.
2. Wirjono Prodjodikoro
Hukum internasional adalah hukum yang mengatur perhubungan hukum antara
berbagi bangsa di berbagai negara.
3. Mochtar Kusumaatmaja
Hukum internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas-batas negara antara :
 Negara dengan negara
 Negara dan subyek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara
satu sama lain

Asal Mula Hukum Internasional

Hukum internasional sudah dikenal oleh bangsa romawi sejak tahun 89 sebelum
masehi. Mereka mengenal adengan nama ius civile (hukum sipil) dan ius gentium (hukum
antar bangsa). Ius civile merupakan hukum nasional yang berlaku yang berlaku bagi warga
romawi dimanapun mereka berada. Ius gentium yang kemudian berkembang menjadi ius
inter gentium ialah hukum yang merupakan bagian dari hukum romawi yang diterapkan bagi
orang asing yang bukan orang romawi, yaitu orang-orang jajahan atau orang-orang asing.
Kemudian hukum ini berkembang menjadi volkernrecht (bahasa Jerman), droit des gens
(bahasa Prancis), dan law of nations atau international law (bahasa Inggris). Pengertian

1
volkernrecht dan ius gentium sebenarnya tidak sama karena dalam hukum Romawi, istilah
ius gentium memiliki pengertian :

a. Hukum yang mengatur hubungan antara dua orang warga kota Roma dan orang
asing.
b. Hukum ynag diturunkan dari tata tertib alam yang mengatur masyarakat segala
bangsa, yaitu hukum alam yang menjadi dasar perkembangan hukum internasional di
Eropa pada abad ke-15 sampai dengan abad ke-19.

Seiring dengan perkembangan yang ada, pemahaman mengenai hukum internasional dapat
dibedakan dalam 2 hal, yaitu :

a. Hukum Perdata Internasional. Yaitu hukum yang mengatur hubungan hukum hukum
antar warga negara suatu negara dan warga negara dari negara lain.
b. Hukum publik internasional, yaitu hukum yang mengatur negara yang satu dengan
negara yang lain dalam hubungan internasional (hukum antarnegara).

Hukum Internasional publik berbeda dengan Hukum Perdata Internasional. Hukum Perdata
Internasional ialah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata
yang melintasi batas negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata. Sedangkan
Hukum Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan
atau persoalan yang melintasi batas negara (hubungan internasional) yang bukan bersifat
perdata. Persamaannya adalah bahwa keduanya mengatur hubungan atau persoalan yang
melintasi batas negara(internasional). Perbedaannya adalah sifat hukum atau persoalan yang
diaturnya (obyeknya).

Hukum Internasional Dalam Arti Modern

Hukum internasional yang kita kenal sekarang merupakan hasil dari diadakannya konfernsi
Wina tahun 1969 yang diikuti oleh para pakar hukum dunia. Hasil konferensi tersebut
menyepakati sebuah naskah hukum internasional, baik yang menyangkut hukum perdata
maupun hukum publik

Asas-asas Hukum Internasional

Dalam menjalin hubungan antar bangsa, ada beberapa asas yang harus diperhatikan oleh
setiap negara.

a. Asas Teritorial
Didasarkan pada kekuasaan negara atas daerahnya. Intinya, negara melaksanakan
hukum bagi semua orang dan semua barang yang ada di wilayah negaranya.

b. Asas Kebangsaan
Didasarkan atas kekuasaan negara untuk warga negaranya. Intinya, setiap warga
negara dimanapun dia berada tetap mnedapatka perlakuan hukum dari negaranya
sendiri meskipun seddang berada di negara asing.

2
c. Asas kepentingan umum
Didasarkan pada wewenang negara untuk melindungi dan mengatur kepentingan
dalam kehidupan masyarakat. Jadi, hukum tidak terikat pada batas-batas wilayah
suatu negara. Ketiga asas ini sangat penting untuk diperhatikan, apabila tidak
diperhatikan dengan baik maka akan timbul ketidak-sesuaian hukum dalam
menjalankan hubungan internasional.

Sumber Hukum Internasional

Menurut Mochtar Kusumaatmaja dalam buku “Hukum Internasional Humaniter”, sumber


hukum internasional dapat dibedakan mennjadi sumber hukum dalam arti material dan
sumber hukum dalam arti formal.

 Dalam Arti Material


Hukum internasional tidak dapat dipaksakan seperti hukum nasional. Pada dasarnya
masyarakat negara-negara atau masyarakat bangsa-bangsa yang anggotanya didasarkan
pada kesukarelaaan dan kesadaran, sedangkan kekuasaan tertinggi tetap berada di
negara masing-masing.

Meski demikian, ada sebagian besar negara anggota masyarakat yang mentaati kaidah-
kaidah hukum internasional. Mengenai hal ini ada dua aliran yang memiliki pendapat
berbeda.

a. Aliran naturalis
Bersandar pada hak asasi dan hak alamiah. Menurut teori ini, hukum internasional
adalah hukum alam sehingga kedudukannya dianggap lebih tinggi dari pada hukum
nasional. Pencetus teori ini adalah Grotius (Hugo De Groot) dan kemudian
disempurnakan oleh Emmerich Vattel, ahli hukum dan diplomat Swiss.
b. Aliran positivisme
Mendasarkan berlakunya hukum internasional pada persetujuan bersama dari
negara-negara ditambah dengan asas pacta sunt servanda yang dianut oleh mazhab
Wina dengan pelopornya yaitu Hans Kelsen. Menurut Hans Kelsen pacta sunt
servanda merupakan kaidah dasar pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum
Perjanjian (Viena Convention of The Law of treatis) tahun 1969.

 Dalam Arti Formal

Menurut Brierly, sumber hukum internasional dalam arti formal merupakan sumber
hukum paling utama dan memiliki otoritas tertinggi dan otentik yang dapat
dipergunakan oleh Mahkamah Internasional di dalam memutuskan suatu sengketa
internasional. Pasal 38 Piagam Mahkamah Internasional Permanen tertanggal 16
Desember 1920 dapat dipakai oleh Mahkamah Internasional untuk menyelesaikan
persoalan Internasional.

3
Sumber-sumber hukum internasional sesuai dengan yang tercantum di dalam Piagam
Mahkamah Internasional pasal 38 adalah sebagai berikut :

· Perjanjian Internasional (Traktat=Teraty)


· Kebiasaan-kebiasaan internasional yang terbukti dalam praktik umum dan
diterima sebagai hukum
· Asas-asas umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab
· Keputusan-keputusan hakim dan ajaran-ajaran para ahli hukum internasional
dari berbagai negara sebagai alat tambahan untuk menentukan hukum, dan
· Pendapat-pendapat para ahli hukum yang terkemuka

Subjek Hukum Internasional

Pihak-pihak yang dapat disebut sebagai subyek hukun internasional adalah sebagi berikut :

a. Negara
Merupakan subyek hukum internasional dalam arti klasik, artinya bahwa lahirnya
hukum internasional negara sudah diakui sebagi subyek hukum internasional.
b. Takhta Suci
Subyek hukum yang merupakan peninggalan sejarah sejak zaman dahulu ketika paus
bukan hanya merupakan kepala gereja Roma tetapi juga memiliki kekuasaan duniawi.
c. Palang Merah Internasional
Merupakan salah satu subyek hukum internasional dan hal ini diperkuat dengan
adanya perjanjian, kemudian diperkuat oleh beberapa konvensi Palang Merah
(konvensi Jenewa) tentang perlindungan korban perang.
d. Organisasi Internasional
Merupakan subyek hukum yang mempunyai hak-hak dan kewajiban yang ditetapkan
dalam konvensi-konvensi internasional.
e. Orang Perseorangan
Dalam arti yang terbatas orang perseorangan dapat dianggap sebagai subyek hukum
internasional.
f. Pemberontakan dan Pihak dalam Sengketa
Menurut hukum perang, pemberontak dapat memperoleh kedudukan dan hak sebagai
pihak yang bersengketa dalam beberapa hal tertentu.

Hubungan Hukum Internasional Dengan Hukum Nasional

Adanya hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional ternyata menarik para
ahli hukum untuk menganalisis lebih jauh. Terdapat 2 aliran yang coba memberikan
gambaran bagaimana keterkaitan antara hukum internasional dengan hukum nasional.

4
Kedua aliran itu adalah :

1. Paham Aliran Dualisme


Tokoh utama dari aliran ini ialah “Triepel” seorang pemuka aliran positivism dan
“Anzilotti” pemukaaliran positivisme dari italia. Menurut paham dualisme, “ daya ikat
hukum internasional bersumber pada kemauan negara”, hukum internasional dan
hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah satu dari yanglainnya.
Alasan terletak atau didasarkan pada kenyataan diantaranya, yaitu :
a. Kedua perangkat hukum tersebut yakni hukum nasional dan hukum internasional
mempunyai sumberyang berlainan, hukum nasional bersumber pada “kemauan
negara”, sedangkan hukum internasional bersumber pada kemauan bersama
masyarakat negara.
b. Berlaianan subyek hukumnyaSubyek hukum nasional dalah orang-perorangan,
sedangkan subyek hukum dari hukum internasionaladalah negara.
c. Lembaga yang diperlukan untuk melaksanakan hukum dalam kenyataannya
seperti, mahkamah danorgan eksekutif hanya ada dalam hukum nasional.
d. Daya laku atau keabsahan kaidah hukum nasional tidak terpengaruh oleh
kenyataan bahwa hukumnasional itu bertentangan dengan hukum internasional.

Akibat Pandangan Dualisme ini, antara lain :

 Kaidah-kaidah dari perangkat hukum yang satu tidak mungkin bersumber atau
berdasar padaperangkat hukum yang lain. (tidak ada persoalan hierarki)
 Tidak mungkin ada pertentangan antara kedua perangkat hukum tersebut.
 Ketentuan hukum internasional memerlukan tarnsformasi menjadi hukum nasional.

2. Paham Aliran Monisme


Tokoh nya ialah Hanz kelsen dan george scelle. Menurut aliran ini hukum nasional
dan internasional merupakan satu kesatuan. Hal ini disebabkan :
- Walaupun kedua sistem hukum tersebut mempunyai istilah yang berbeda, tetapi
subjek hukumnya tetap sama, yaitu individu yang terdapat dalam suatu negara.
- Sama-sama meiliki kekuatan hukum yang mengikat
- Aliran Dualisme
Paham monisme didasarkan atas pemikiran kesatuan dari seluruh hukum yang
mengatur hidupmanusia. Dengan demikian hukum internasional dan hukum nasional
merupakan bagian dari satukesatuan yang lebih besar yaitu hukum yang mengatur
kehidupan manusia. Akibat pandangan ini:
 Bahwa antara dua perangkat ketentuan hukum ini. mungkin ada hubunganhierarki
Persoalan hierarki anatara dua perangkat hukum (hukum nasional dan hukum
internasional) ini.melahrkan beberapa sudut pandang yang berbeda dalam aliran
monisme. Mengenai hukum manakah yang utama. Ada pihak yang beranggapan
bahwa dalam hubungan antara hukum nasionaldan hukum internasional yang
utama adalah hukum nasional dan ada pandangan yang sebaliknya yaitu bahwa
hukum iternasional yang pertama disebut “Paham monisme dengan primat

5
hukumnasional “ dan pandangan yang kedua disebut “ Paham monisme dengan
primat hukuminternasional”.

Pandangan monisme dengan primat hukum nasional Menurut pandangan monisme dengan
primat nasional ini, hukum internasional itu tidak lain dari ataumerupakan lanjutan hukum
nasional atau tidak lain dari hukum nasional untuk urusan luar negeri atau “Auszeres
Staatsrecht” . Pandangan monisme dengan primat hukum nasional ini pada hakikatnya
menganggpa bahwa hukuminternasional itu bersumber pada hukum nasional. Alasan utama
anggapan ini ialah ;

a. Bahwa tidak ada satu organisasi di atas negara-negara yang mengatur kehidupan
negara-negara didunia
b. Dasar hukum internasional yang mengatur hubungan internasional terletak dalam
wewenang negarauntuk mengadakan perjanjian internasional

Kelemahan paham monisme ini, ialah :

 Terlalu memandang hukum itu sebagai hukum yang tertulis saja, sehingga sebagai
hukuminternasional dianggap hanya hukum yang bersumberkan perjanjian
internasional saja.
 Bahwa pada hakikatnya pendirian paham monisme dengan primat hukum nasional ini
merupakanpenyangkalan terhadap adanya hukum internasional , sebab apabila
terikatnya negara pada hukuminternasional digantungkan pada hukum nasional. Hal
ini sama-sama saja menggantungkanberlakunya hukum internasional itu pada
kemauan negara.

Paham monisme dengan primat hukum internasional

a. Hukum nasional itu bersumber pada hukum internasional karena hukum ini secara
hierarkis lebihtinggi dari hukum nasional.
b. Hukum nasional tunduk pada hukum internasional dan pada hakikatnya kekeuatan
mengikatnya berdasarkan “ Pendelegasian wewenang “ dari hukum internasional

Kelemahan paham monisme ini :

1. Pandangan bahwa hukum nasional, itu tergantung kepada hukum internasional (juga
kekuatannya )seolah-olah mendalilkan bahwa hukum internasional telah ada lebih
dahulu dari hukum nasional.
2. Tidak benar bahwa hukum nasional itu kekeuatan mengikatnya diperoleh dari

Proses Ratifikasi Hukum Internasional Menjadi Hukum Nasional

1. Proses ratifikasi hukum internasional menurut UU no 24 tahun 2000 tentang


Perjanjian Internasional menimbang :
a. Bahwa dalam rangka mencapai tujuan Negara Republik Indonesia
sebagaimana tercantum di dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah

6
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, Pemerintah Negara
Republik Indonesia, sebagai bagian dari masyarakat internasional,
melakukan hubungan dan kerja sama internasional yang diwujudkan dalam
perjanjian internasional;
b. Bahwa ketentuan mengenai pembuatan dan pengesahan perjanjian
internasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945 sangat
ringkas, sehingga perlu dijabarkan lebih lanjut dalam suatu peraturan
perundang-undangan;
c. bahwa Surat Presiden Republik Indonesia No. 2826/HK/1960 tanggal 22
Agustus 1960 tentang "Pembuatan Perjanjian-Perjanjian dengan Negara
Lain" yang selama ini digunakan sebagai pedoman untuk membuat dan
mengesahkan perjanjian internasional sudah tidak sesuai lagi dengan
semangat reformasi;
d. bahwa pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara
Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara-negara lain,
organisasi internasional, dan subjek hukum internasional lain adalah suatu
perbuatan hukum yang sangat penting karena mengikat negara pada bidang-
bidang tertentu, dan oleh sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu
perjanjian internasional harus dilakukan dengan dasar-dasar yang jelas dan
kuat, dengan menggunakan instrumen peraturan perundang-undangan yang
jelas pula;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam Huruf a, b,
c dan d perlu dibentuk Undang-undang tentang Perjanjian Internasional.

Pasal 5 :

1. Lembaga negara dan lembaga pemerintah, baik departemen maupun nondepartemen,


di tingkat pusat dan daerah, yang mempunyai rencana untuk membuat perjanjian
internasional, terlebih dahulu melakukan konsultasi dan koordinasi mengenai rencana
tersebut dengan Menteri.
2. Pemerintah Republik Indonesia dalam mempersiapkan pembuatan perjanjian
internasional, terlebih dahulu harus menetapkan posisi Pemerintah Republik
Indonesia yang dituangkan dalam suatu pedoman delegasi Republik Indonesia. K i
3. Pedoman delegasi Republik Indonesia, yang perlu mendapat persetujuan Menteri,
memuat hal-hal sebagai berikut :

 latar belakang permasalahan;


 analisis permasalahan ditinjau dari aspek politis dan yuridis serta aspek lain
yang dapat mempengaruhi kepentingan nasional Indonesia;
 posisi Indonesia, saran, dan penyesuaian yang dapat dilakukan untuk mencapai
kesepakatan.

7
4. Perundingan rancangan suatu perjanjian internasional dilakukan oleh Delegasi
Republik Indonesia yang dipimpin oleh Menteri atau pejabat lain sesuai dengan
materi perjanjian dan lingkup kewenangan masing-masing.

2. Proses ratifikasi perjanjian internasional menurut pasal 11 UUD 1945

Pengertian Ratifikasi

Ratifikasi merupakan suatu cara yang sudah melembaga dalam kegiatan hukum
(perjanjian) internasional. Hal ini menunbuhkan keyakinan pada lembaga-lambaga
perwakilan-perwakilan rakyat bahwa wakil yang menandatangani suatu perjanjian tidak
melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kepentingan umum.

Proses Ratifikasi

Ratifikasi merupakan proses pengesahan. Berikut adalah contoh proses ratifikasi


hukum (perjanjian internasional) menjadi hukum nasional :

 Persetujuan Indonesia-Belanda mengenai penyerahan Irian Barat yang


ditandatangani di New York (15 Januari 1962) disebut Agreement.
 Perjanjian Indonesia-Australia mengenai garis batas wilayah antara Indonesia
dengan Papua Guinea yang ditandatangani di Jakarta 12 Februari 1973 dalam
bentuk agreement.
 Persetujuan garis batas landas kontinen antara Indonesia-Singapura 25 Mei 1973

3. Proses ratifikasi menurut UUD 1945

Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa “Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain”.
Untuk menjamin kelancaran pelaksanaan kerja sama antara eksekutif (Presiden) dan
legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat), harus diperhatikan hal-hal berikut :

1) Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang,


membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain.

2) Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang dapat menimbulkan


akibat luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan
negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus
dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

3) Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang-undang.

Peradilan Internasional

Peradilan Internasional dilaksanakan oleh Mahkamah Internasional yang merupakan salah


satu organ perlengkapan PBB yang berkedudukan di Denhaag (Belanda). Para angota nya
terdiri atas ahli hukum terkemuka, yakni 15 orang hakim yang dipilih dari 15 negara
berdasarkan kecakapannya dalam hukum. Masa jabatan mereka 9 tahun, sedangkan tugasnya

8
antara lain selain memberi nasehat tentang persoalan hukum kepada majelis umum dan
dewan keamanan, juga memeriksa perselisihan atau sengketa antara negara-negara anggota
PBB yang diserahkan kepada mahkamah internasional.

Mahkamah internasional dalam mengadili suatu perkara berpedoman pada perjanjian-


perjanjian internasional ( traktat-traktat dan kebiasaan- kebiasaan internasional ) sebagai
sumber-sumber hukum. Keputusan Mahkamah Internasional merupakan keputusan terakhir
walaupun dapat diminta banding. Disamping pengadilan mahkamah internasional, terdapat
juga pengadilan arbitrase internasionl. Arbitrase internasional hanya untuk perselisihan
hukum, dan keputusan para arbitet tidak perlu berdasarkan peraturan hukum.

Dalam hukum internasional dikenal juga istilah adjudikation, yaitu suatu tehnik hukum untuk
meyelesaikan persengketaan internasional dengan menyerahkan keputusan kepada peradilan.
Adjudikasi berbeda dengan arbitrase karena adjudikasi mencangkup proses kelembagaan.
Yang dilakukan oleh lembaga peradialan tetap semntara arbitrase dilakukan melalui prosedur
ade hoc. Lembaga peradilan internasional pertama yang berkaitan dengan adjudikasi adalah
permanent court of internasional justice ( PCJI ) yang berfungsi sebagai bagian dari sistem
LBB mulai tahun 1920 hingga 1946. PCJI dilanjutkan dengan kehadiran internasional court
of justice (ICJ), suatu organ pokok PBB

Penyebab Timbulnya Sengketa Internasional dan Cara Pneyelesaian oleh Mahkamah


Internasional

Sengketa Internasional

Sengketa Internasional (international dispute)adalah perselisihan yang terjadi antara negara


dan negara, antara negara dan individu-individu, atau antara negara dan badan-badan atau
lembaga-lembaga yang menjadi subjek hukum Internasional. Atau Sengketa Internasional
adalah sengketa atau perselisihan yang terjadi antara negara baik yang berupa masalah
wilayah, warga negara, hak asasi manusia, maupun wilayah masalah yang bersifat pelik, yaitu
masalah terorisme.

Penyebab Sengketa Internasional


Ada beberapa sebab terjadinya sengketa internasional, antara lain:
1. Politik luar negeri yang terlalu luwes atau sebaliknya terlalu kaku
Politik luar negeri suatu bangsa menjadi salah satu penyebab kemungkinan timbulnya
sengketa antarnegara. Sikap tersinggung atau salah paham merupakan pemicu utama
terjadinya konfl ik. Salah satu contohnya adalah sikap Inggris yang terlalu luwes
(fleksibel) dalam masalah pengakuan pemerintahan Cina. Pada akhirnya
mengakibatkan ketersinggungan pihak Amerika Serikat yang bersikap kaku terhadap
Cina.
2. Unsur-unsur moralitas dan kesopanan antarbangsa
Dalam menjalin kerja sama atau berhubungan dengan bangsa lain, kesopanan
antarbangsa penting untuk diperhatikan dalam etika pergaulan. Sebab jika kita

9
menyalahi etika bisa saja timbul konfl ik atau ketegangan. Hal ini pernah terjadi saat
Singapura mengundurkan diri dari perjanjian dengan Malaysia, meskipun hubungan
baik telah lama mereka jalin.
3. Masalah klaim batas negara atau wilayah kekuasaan
Negara-negara yang bertetangga secara geografis berpeluang besar terjadi konflik
atau sengketa memperebutkan batas negara. Hal ini dialami antara lain oleh
Indonesia-Malaysia, India-Pakistan, dan Cina-Taiwan.
4. Masalah hukum nasional (aspek yuridis) yang saling bertentangan
Hukum nasional setiap negara berbeda-beda bergantung pada kebutuhan dan kondisi
masyarakatnya. Jika suatu negara saling bekerja sama tanpa mempertimbangkan
hukum nasional negara lain, bukan tidak mungkin konfrontasi bisa terjadi. Hal ini
terjadi saat Malaysia secara yuridis menentang cara-cara pengalihan daerah Sabah dan
Serawak dari kedaulatan Kerajaan Inggris ke bawah kedaulatan Malaysia.
5. Masalah ekonomi
Faktor ekonomi dalam praktek hubungan antara negara ternyata sering kali memicu
terjadinya konflik internasional. Kebijakan ekonomi yang kaku dan memihak adalah
penyebab terjadinya konflik. Hal ini dapat terlihat ketika Amerika Serikat
mengembargo minyak bumi hasil dari Irak yang kemudian menjadikan konflik tegang
antara Amerika Serikat dan Irak.

10
Peranan Mahkamah Internasional Dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional

Mahkamah Internasional adalah salah satu badan perlengkapan PBB yang


berkedudukan di Den Hag (Belanda). Para anggotanya terdiri atas ahli hukum terkemuka,
yakni 15 orang hakim yang dipilih dari 15 negara berdasrkan kecakapannya dalam hokum
dan masa jabatan mereka 9 tahun.

Mahkamah Agung Internasional atau biasa disebut Mahkamah Internasional,


merupakan Mahkamah Pengadilan Tertinggi di seluruh dunia. Pengadilan internasional dapat
mengadili semua perselisihan yang terjadi antara negara bukan anggota PBB. Dalam
penyelesaian ini, jalan damai yang selaras dengan asas-asas keadilan dan hukum internasional
yang digunakan. Mahkamah Internasional, mengadili perselisihan kepentingan dan
perselisihan hukum.

Mahkamah internasional dalam mengadili suatu perkara, berpedoman pada perjanjian


internasional (traktat-traktat dan kebiasaan-kebiasaan internasional) sebagai sumbersumber
hukum. Keputusan Mahkamah Internasional, merupakan keputusan terakhir walaupun dapat
diminta banding. Selain pengadilan Mahkamah Internasional, terdapat juga pengadilan
Arbitrasi Internasional. Arbitrasi Internasional hanya untuk perselisihan hukum, dan
keputusan para arbitet tidak perlu berdasarkan peraturan-peraturan hukum.

Mahkamah memiliki dua peranan yaitu untuk menyelesaikan sengketa menurut


hukum internasional atas perkara yang diajukan ke mereka oleh negara-negara dan
memberikan nasehat serta pendapat hukum terhadap pertanyaan yang diberikan oleh
organisasi-organisasi internasional dan agen-agen khususnya.

Dalam prosedur penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah


Internasional, dikenal dengan istilah Adjudication, yaitu suatu teknik hukum untuk
menyelesaikan persengkataan internasional dengan menyerahkan putusan kepada lembaga
peradilan. Adjudikasi berbeda dari arbitrase, karena adjudikasi mencakup proses
kelembagaan yang dilakukan oleh lembaga peradilan tetap, sementara arbitrase dilakukan
melalui prosedurad hoc.

Tugas Mahkamah Internasional

 Menerima perkara-perkara dari para anggota serta dari luar anggota


dengan syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Dewan Keamanan.
 Menerima persengketaan hokum internasional dari Dewan
Keamanan.
 Memberikan pendapat kepada Majelis Umum PBB tentang
penyelesaian sengketa antar negara-negara anggota PBB.
 Mengadili perselisihan-perselisihan atau persengketaan antar negara-
negara anggota PBB yang persoalannya diajukan oleh negara yang
berselisih.

11
 Mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengambil tindakan
terhadap pihak yang tidak menghiraukan keputusan Mahkamah
International.

Peranan Mahkamah Internasional Dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional :

Wewenang Mahkamah

Wewenang mahkamah diatur oleh Bab II statuta yang khusus mengenai wewenang
mahkaman dengan ruang lingkup masalah-masalah mengenai sengketa. Untuk mempelajari
wewenang mahkamah dapat dilihat dari wewenang rational personal yaitu siapa-siapa saja
yang dapat mengajukan perkara ke mahmah dari wewenang rational material yaitu mengenai
jenis sengketa-sengketa yang dapat diajukan.

a) Wewenang Ratione Personae (siapa yang berhak mengajukan perkara kemahkamah)


Pasal 34 ayat (1) Statuta menyatakan, bahwa hanya negara yang boleh menjadi pihak
dalam perkara-perkara di muka mahkamah. Berarti individu atau organisasi-
organisasi internasional tidak dapat menjadi pihak dari suatu sengketa di muka
mahkamah tersebut. Sedangkan negara-negara lain yang bukan pihak pada statuta
untuk dapat mengajukan suatu perkara ke mahkamah harus memenuhi syarat-syarat
yang ditentukan oleh dewan keamanan.
Banyak perkara yang diperiksa mahkamah berasal dari pelaksanaan perlindungan
diplomatik negara terhadap warga negaranya. Pasal 34 ayat (1) Statuta hanya
memperbolehkan negara-negara untuk mengajukan suatu sengketa ke mahkamah.
Namun, ayat (2), dan (3) pasal tersebut memberikan kemungkinan kerja sama dengan
organisasi-organisasi internasinal. Mahkamah dapat meminta keterangan kepada
organisasi-organisasi internasional mengenai soal-soal yang diperiksanya. Organisasi-
organisasi itu juga dapat mengirim keterangan-keterangan kepada mahkamah atas
inisiatif sendiri.

b) Wewenang Rational Material


Pasal 36 ayat 1 statuta dengan jelas menyatakan bahwa wewenang mahkamah
meliputi semua perkara yang diajukan pihak-pihak yang bersengketa kepadanya dan
semua hal, terutama yang terdapat dalam piagam PBB atau dalam perjanjian-
perjanjian dan konvensi-konvensi yang berlaku.
Meskipun Pasal 36 ayat 1 ini tidak mengadakan pemberdayaan antar sengketa hukum
dan politik yang boleh dibawa ke mahkamah, dalam prakteknya mahkamah selalu
menolak memeriksa perkara-perkara yang tidak bersifat hukum.
Selanjutnya, wewenang mahkamah pada prinsipnya bersifat fakultatif. Ini berarti
bahwa bila terjadi suatu sengketa antar dua negara, intervensi mahkamah baru dapat
terjadi bila negara-negara yang bersengketa dengan persetujuan bersama membawa
perkara mereka ke mahkamah. Tanpa adanya persetujuan antar pihak-pihak yang
bersengketa, wewenang mahkamah tidak akan berlaku terhadap sengketa tersebut.

12
Wewenang Wajib (Compulsory Jurisdication), wewenang wajib dari mahkamah hanya
dapat terjadi bila negara-negara sebelumnya dalam suatu persetujuan, menerima wewenang
tersebut.

 Wewenang wajib berdasarkan ketentuan konvensional


Seperti juga halnya dengan arbitrasi, dalam prakteknya wewenang wajib ini dapat
diterima dalam bentuk perjanjian-perjanjian umum. Klausal khusus ini terdapat dalam
suatu perjanjian sebagai tambahan dari perjanjian itu sendiri. Klausul ini bertujuan
menyelesaikan sengketa-sengketa yang mungkin lahir di masa yang akan datang
mengenai pelaksanaan dan interpretasi perjanjian tersebut di muka mahkamah.
Klausul-klausul khusus ini dijumpai dalam perjanjian perdamaian tahun 1919,
perjanjian-perjanjian wilayah mandat dan perjanjian-perjanjian mengenai monoritas.
Sesudah Perang Dunia II, klausul-klausul yang demikian juga terdapat dalam piagam-
piagam konstitutif organisasi-organisasi international. Klausul-klausul tersebut juga
terdapat dalam konvensi-konvensi kodifikasi yang baru. Misalnya konvensi-konvensi
mengenai hubungan diplomatik tahun 1961 dan mengenai hukum perjanjian tahun
1969.
Disamping itu, ada pula perjanjian-perjanjian umum bilateral maupun multilateral
yaitu perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh negara-negara khusus bertujuan untuk
menyelesaikan secara damai sengketra-sengketa hukum mereka di masa datang dan di
muka mahkamah. Perlu diingat bahwa keharusan untuk menerima wewenang wajib
mahkamah hanya terbatas pada sengketa-sengketa hukum.
 Klausul opsional
Pasal 36 ayat 2 statuta mengatakan bahwa negara-negara pihak statuta, dapat setiap
saat menyatakan untuk menerima wewenang wajib mahkamah dan tanpa persetujuan
khusus dalam hubungannya dengan negara lain yang menerima kewajiban yang sama,
dalam sengketa hukum mengenai :
· Penafsiran suatu perjanjian
· Setiap persoalan hukum internasional
· Adanya suatu fakta yang bila terbukti akan merupakan pelanggaran terhadap
kewajiban international.
· Jenis atau besarnya ganti rugi yang harus dilaksanakan karena pelanggaran
dari suatu kewajiban international.

Fungsi Konsultatif Mahkamah Internasional

Mahkamah juga mempunyai fungsi konsultatif, yaitu memberikan pendapat-pendapat yang


tidak mengikat atau apa yang disebut advisory opinion. Hal ini ditulis dalam pasal 69 ayat 1
Piagam Statuta dan aturan prosedur, mahkamahlah yang menetapkan syarat-syarat
pelaksanaan pasal tersebut yang terdapat pada Bab IV Statuta.

1) Natur Yuridik Pendapat Hukum (Advisory Opinion) Terdapat perbedaan dalam


penyelesaian sengketanya, keputusan-keputusan mahkamah merupakan keputusan-
keputusan hukum yang mengikat pihak-pihak yang bersengketa, sedangkan pendapat-
pendapat yang dikeluarkan mahkamah bukan merupakan keputusan hukum dan tidak

13
mempunyai kekuatan mengikat. Apalagi pelaksanaan pendapat-pendapat tersebut
sama sekali tidak bisa dipaksakan. Jadi yang dikeluarkan mahkamah hanyalah suatu
pendapat dan bukan merupakan suatu keputusan. Pendapat ini bertujuan memberikan
penjelasan-penjelasan kepada badan-badan yang mengajukan pertanyaan kepada
mahkamah atas permasalahan hukum. Sebagai contoh, konvensi 1946 mengenai hak-
hak istimewa, dan kekebalan PBB, menyebutkan bahwa kalau terjadi sengketa antara
PBB dan negara-negara anggota mengenai pelaksanaan dan intrepretasi konvensi,
sengketa dapat diajukan ke mahkamah untuk meminta pendapatnya. Selain itu, pihak-
pihak yang bersengketa berjanji untuk bertindak sesuai dengan pendapat mahkamah
tersebut. Mekanisme pendapat yang menjadi wajib ini merupakan jalan keluar bagi
organisasi internasional yang diperbolehkan mengajukan sengketa ke mahkamah
dengan keputusan yang mengikat. Dengan demikian, pendapat-pendapat mahkamah
tidak mempunyai kekuatan hukum dan jika pihak-pihak yang bersengketa
menerimanya, semata-mata disebabkan kekuatan moral pendapat-pendapat itu sendiri.
Pada umumnya, organ-organ yang meminta pendapat dan negara-negara yang
bersangkutan menerima pendapat-pendapat mahkamah dan jarang sekali pendapat
mahkamah itu dilaksanakan.
2) Permintaan Pendapat Mahkamah Internasional
Pasal 96 dan pasal 65 statuta menyatakan bahwa mahkamah dapat memberikan
pendapat mengenai semua persoalan hukum. Berbeda dengan mahkamah yang dulu,
mahkamah yang sekarang dapat diminta pendapatnya untuk semua persoalan hukum,
baik yang bersifat konkrit maupun yang abstrak, sedangkan mahkamah yang dulu
hanya dapat ditanya tentang sengketa-sengketa hukum yang konkrit. a) Badan yang
dapat meminta pendapat mahkamah Kebalikan dari prosedur wajib, prosedur
konsultatif hanya terbuka bagi organisasi-organisasi internasional dan bukan bagi
negara-negara. Menurut pasal 96 ayat 1, Majelis Umum dan Dewan Keamanan PBB
dapat minta advisori opinion mengenai masalah hukum ke mahkamah. Selanjutnya,
menurut ayat 2 pasal tersebut, hak untuk meminta pendapat mahkamah ini juga dapat
diberikan kepada organ-organ lain PBB dan badan-badan khusus dengan syarat bahwa
semua harus mendapat otoritas terlebih dahulu dari Majelis Umum. b) Pemberian
pendapat oleh mahkamah Secara teoritis, mahkamah tidak diwajibkan untuk
menjawab. Namun, dalam praktiknya, mahkamah tidak pernah lalai dalam melakukan
tugasnya, bahkan mahkamah harus berpegang teguh pada pendapat mahkamah bahwa
sebagai organ hukum PBB, kewajiban memberikan pendapat-pendapat kalau diminta,
untuk membantu lancarnya tugas PBB. Sebaliknya, mahkamah dapat menolak
permintaan pendapat kalau dianggap terdapat ketidak normalan dalam permintaan
tersebut. Selain itu, mahkamah memeriksa apakah pertanyaan yang diajukan suatu
organisasi internasional betul-betul berada di bawah wewenang organisasi tersebut,
serta apakah organisasi-organisasi mempunyai wewenang khusus. Juga dilihat dari
prakteknya mahkamah menolak memberikan pendapat terhadap soal-soal politik atau
soal-soal yang berada di bawah wewenang nasional suatu negara.

14
Prosedur Penyelesaian Sengketa Internasional melalui Mahkamah Internasional

Ketentuan-ketentuan prosedural dalam penyelesaian sengketa internasional berada di


luar kekuasaan negara-negara yang bersengketa. Ketentuan-ketentuan tersebut sudah ada
sebelum lahirnya sengketa-sengketa dan hal ini terdapat dalam Bab III statuta.
Selanjutnya, pasal 30 statuta memberikan wewenang kepada mahkamah untuk membuat
aturan-aturan tata tertib guna melengkapi Bab III tersebut. Jadi, jika statuta merupakan suatu
konvensi, aturan prosedural tadi merupakan satu perbuatan unilateral mahkamah
yang mengikat negara-negara yang bersengketa. Di sini teknik internasional identik dengan
teknik intern suatu negara. Mengenai isi ketentuan-ketentuan prosedural dicatat bahwa proses
di depan mahkamah mempunyai banyak kesamaan dengan yuridiksi intern suatu negara,
yaitu :

a. Prosedur tertulis dan perdebatan lisan diatur sedemikian rupa untuk menjamin
setiap pihak dalam dalam mengemukakan pendapatnya
b. Sidang-sidang mahkamah terbuka untuk umum, sedang sidang-
sidang arbitrasitertutup. Tentu saja rapat hakim-hakim mahkamah diadakan
dalam sidang tertutup.

Selanjutnya, sesuai pasal 26 statuta, mahkamah dari waktu kewaktu dapat membentuk satu
atau beberapa kamar yang terdiri atas tiga hakim atau lebih untuk memeriksa kategori
tertentu kasus-kasus seperti perburuhan atau masalah-masalah yang berkaitan dengan transit
dan komunikasi. Kemungkinan ini telah digunakan beberapakali oleh mahkamah. Sengketa
internasional dapat diselesaikan oleh Mahkamah Internasional melalui prosedur berikut :

Keterangan :
 Telah terjadi pelanggaran HAM/kejahatan humaniter (kemanusiaan) di suatu negara terhadap
rakyat/negara lain.
 Ada pengaduan dari korban (rakyat) dan pemerintahan negara yang menjadi korban terhadap
pemerintahan dari negara yang bersangkutan karena didakwa telah melakukan pelanggaran HAM
atau kejahatan humaniter lainnya.
 Pengaduan disampaikan ke Komisi Tinggi HAM PBB atau melalui lembaga-lembaga HAM
internasional lainnya.
 Pengaduan ditindaklanjuti dengan penyelidikan, pemeriksaan, dan penyidikan jika ditemui bukti-
bukti kuat akan terjadinya pelanggaran HAM atau kejahatan kemanusiaan lainnya, maka
pemerintahan dari negara yang didakwa melakukan kejahatan humaniter dapat diajukan ke
Mahkamah Internasional atau Pengadilan Internasional.
 Dimulailah proses peradilan sampai dijatuhkan sanksi.

Sanksi dapat dijatuhkan bila terbukti bahwa suatu pemerintahan atau individu yang
bersangkutan telah melakukan pelanggaran terhadap traktat atau konvensi-konvensi
internasional berkaitan dengan pelanggaran HAM atau kejahatan humaniter. Dalam hal ini,
sesungguhnya pemerintah/individu mempunyai wewenang untuk mencegah terjadinya
pelanggaran tersebut, tetapi tidak dilakukan dan tidak melakukan apa-apa untuk mencegah

15
terjdinya perbuatan tersebut. Berikut ini terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan
prosedur penyelesaian sengketa internasional melalui Mahkamah Internasional.

Wewenang Mahkamah

Mahkamah dapat mengambil tindakan sementara dalam bentuk ordonasi. Tindakan


sementara ialah tindakan yang diambil mahkamah untuk melindungi hak-hak dan
kepentingan pihak-pihak yang bersengketa sambil menunggu keputusan dasar atau
penyelesaian lainnya yang akan ditentukan mahkamah secra defenitif. Dalam
kasusokupasiKedutaan Besar Amerika Serikat oleh kelompokmilitan di Teheran tanggal 4
Nopember 1979, mahkamah menetapkan tindakan-tindakan sementara agar menyerahkan
kembali kedutaan besar tersebut dan pembebasan sandera. Demikian juga dalam sengketa
antara Amerika Serikat dan Nikaragua, mahkamah pada 10 Mei 1984 menetapkan tindakan-
tindakan sementara agar hak Nikaragua atas kedaulatan dan kemerdekaan politiknya
tidakdiancam oleh kegiatan-kegiatan militer Amerika Serikat. Selanjutnya, selama
berlangsungnya proses, mahkamah dapat membuat angket, melakukan pemeriksaan-
pemeriksaan oleh para ahli, berkunjung ke tempat sumber sengketa untuk keperluan
pengumpulan bukti.

Penolakan Hadir di Mahkamah

Sehubungan dengan ketidakhadiran salah satu pihak yang bersengketa di mahkamah,


pasal 53 statuta menyatakan bahwa sikap salah satu pihak tidak muncul di mahkamah atau
tidak mempertahankan perkaranya, pihak lain dapat meminta mahkamah mengambil
keputusan untuk mendukung tuntutannya. Masalah ketidakhadiran salah satu pihak dalam
perkara di mahkamah pernah terjadi pada waktu mahkamah tetap dan dalam sistem
mahkamah sekarang. Sebagai contoh dapat diambil ketidakhadiran Albania dalam
peristiwa Selat Corfu(keputusan mahkamah 15 Desember 1949), ketidak hadiran Islandia
dalam peristiwa wewenang dibidang penangkapan ikan (keputusan 25 Juli 1974), Prancis 20
Desember 1974 dalam peristiwa uji coba nuklir, Turki dalam peristiwa landas kontinen laut
Egie (19 Desember 1978), Iran dalam peristiwa personel diplomatik, dan konsulat Asdi
Teheran tanggal 21 Mei 1980, serta tanggal 21 Mei 1980, serta tanggal 27 Juni1986 dalam
aktivitas militer kontra- Nikaragua. Negara bersengketa yang tidak hadir di mahkamah tidak
menghalangi organ tersebut untuk mengambil keputusan dengan syarat seperti tercantum
dalam pasal 53 ayat 2 statuta. Pasal tersebut menjelaskan bahwa sebelum menjatuhkan
keputusan kepada pihak yang tidak hadir , mahkamah harus yakin bahwa ia bukan saja
mempunyai wewenang, melainkan juga keputusannya betul-betul didasarkan atas fakta dan
hukum. Dengan demikian, pihak yang dihukum, walaupun tidak hadir pada prinsipnya tidak
dapat menolak keputusan yang telah ditetapkan oleh mahkamah.

Keputusan Mahkamah Internasional dalam Menyelesaikan Sengketa Internasional

Keputusan mahkamah internasional diambil dengan suara mayoritas dari hakim-


hakim yang hadir. Jika suara seimbang, suara ketua atau wakilnya yang menentukan.
Keputusan mahkamah terdiri dari 3 bagian. Bagian pertama berisikan komposisi mahkamah,
informasi mengenai pihak-pihak yang bersengketa, serta wakil-wakilnya, analisis mengenai

16
fakta-fakta, dan argumentasi hukum pihak-pihak yang bersengketa. Bagian kledua berisikan
penjelasan mengenai motivasi mahkamah. Pemberian motivasi keputusan mahkamah
merupakan suatu kaeharusan karena penyelesaian yuridiksional sering merupakan salah satu
unsur dari penyelesaian yang lebih luas dari sengketa dan karena itu, perlu
dijagasensibilitas pihak-pihak yang bersengketa. Bagian ketiga berisi dispositif. Dispositif ini
berisikan keputusan mahkamah yang mengikat negara-negara yang bersengketa. Seperti
halnya dengan praktik peradilan intern negara-negara Anglo Saxon, pernyataan pendapat
yang terpisah diperbolehkan. Maksud pendapat terpisah ialah jika suatu keputusan tidak
mewakili seluruh atau hanya sebagian dari pendapat bulat para hakim, hakim-hakim yang
lain berhak memberikan pendapat secara terpisah (pasal 57 Statuta). Jadi pendapat terpisah
ini disebut Jissenting Opinion (pendapat seorang hakim yang tidak menyetujui suatu
keputusan dan menyatakan keberatan terhadap motif-motif yang diberikan dalam keputusan
tersebut). Dengan kata lain, pendapat terpisah adalah pendapat hakim yang tidak setuju
dengan keputusan yang diambil oleh kebanyakan hakim. Pengaturan resmi pendapat terpisah
akan melemahkan kekuatan keputusan mahkamah, walaupun di lain pihak akan
menyebabkan hakim-hakim mayoritas berhati-hati dalam memberikan motif keputusan
mereka. Pasal 13 Pakta Liga Bangsa-Bangsatelah menegaskan jika suatu keputusan peradilan
tidak dilaksanakan, dewan dapat mengusulkan tindakan-tindakan yang akan menjamin
pelaksanaan keputusan tersebut. Selain itu Piagam PBB dalam pasal 94 menjelaskan hal-hal
berikut.

a. Tiap-tiap negara anggota PBB harus melaksanakan keputusan mahkamah


internasional dalam sengketa.
b. Jika negara yang bersengketa tidak melaksanakan kewajiban-kewajiban yang
dibebankan oleh mahkamah kepadanya, negara pihak lain dapat mengajukan
persoalannya kepada Dewan Keamanan. Kalau perlu, dapat membuat
rekomendasi-rekomendasi atau memutuskan tindakan-tindakan yang akan diambil
supaya keputusan tersebut dilaksanakan.

Peranan Hukum Internasional Dalam Menjaga Perdamaian Dunia

Permasalahan yang terjadi antara satu negara dan negara lain atau satu negara dan
banyak negara akan dapat menimbulkan konflik dan pertentangan, baik dalam kaitannya
dengan hak suatu negara atau banyak negara, maupun dengan kebiasaan seorang kepala
negara, diplomatik atau duta besar. Kesemua subjek ini mempunyai hak dan kewajiban
masing-masing, yang dalam pelaksanaannya harus mengikuti permainan internasional dan
mengikuti aturan yang telah disepakati secara bersama atau secara internasional. Suatu negara
yang telah membina hubungan kerja dengan negara lain, haruslah mempunyai korps
diplomatik pada negara yang bersangkutan. Seorang diplomat harus tunduk pada hukum
diplomatik yang telah ditentukan secara internasional. Berikut ini ada beberapa contoh
mengenai peranan hukum internasional (berdasarkan sumber-sumbernya) dalam menjaga
perdamaian dunia. Perjanjian pemanfaatan Benua Antartika secara damai (Antartika
Treaty)pada tahun 1959. Perjanjian pemanfaatan nuklir untuk kepentingan perdamaian (Non-
Proliferation Treaty) pada tahun 1968. Perjanjian damai Dayton (Ohio- AS) pada tahun 1995
yang mengharuskan pihak Serbia, Muslim Bosnia, dan Kroasia

17
untuk mematuhinya.untuk mengatasi perjanjian tersebut, NATO menempatkan pasukannya
guna meneggakkan hukum internasional yang telah disepakati.

Prinsip Hidup Berdampingan Secara Damai Berdasarkan Persamaan Derajat

Dalam penyelesaian sengketa internasional, diupayakan melalui cara-cara damai dan


pelarangan akan penggunaan kekerasan. Keharusan untuk menyelesaikan sengketa secara
damai ini, pada mulanya dicantumkan dalam Pasal 1 konvensi mengenai penyelesaian
sengketa-sengketa secara damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober
1907, kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat 3 Piagam PBB, selanjutnya oleh deklarasi
prinsip-prinsip hukum internasional mengenai hubungan bersahabat dan kerjasama antar
negara yang diterima oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 24 Oktober 1970. Deklarasi
tersebut meminta agar semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai agar
perdamaian, keamanan internasional, dan keadilan tidak sampai terganggu. Dengan
demikian, pelarangan penggunaan kekerasan dan penyelesaian sengketa secara damai
merupakan norma-norma imperatif dalam pergaulan antarbangsa. Oleh karena itu, hukum
internasional telah menyusun berbagai cara penyelesaian sengketa secara damai dan
menyumbangkannya kepada masyarakat dunia demi terpeliharanya perdamaian dan
keamanan serta terciptanya pergaulan antarbangsa yang serasi. Prinsip penyelesaian sengketa
internasional secara damai didasarkan pada prinsip-prinsip hukum internasional yang berlaku
secara universal. Hal tersebut dimuat dalam deklarasi mengenai hubungan bersahabat dan
kerjasama antarnegara tanggal 24 Oktober 1970 (A/RES/2625/XXV), serta deklarasi Manila
tanggal 15 November 1982 (A/RES/37/10) mengenai penyelesaian sengketa internasional
secara damai sebagaiberikut.

a. Prinsip bahwa negara tidak akan menggunakan kekerasan yang bersifat


mengancam integritas teritorial atau kebebasan politik suatu negara, atau
menggunakan cara-cara lainnya yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan PBB.
b. Prinsip non-intervensi dalam urusan dalam negeri dan luar negeri suatu
negara.
c. Prinsip-prinsip persamaan hak menentukan nasib sendiri bagi setiap bangsa.
d. Prinsip persamaan kedaulatan negara.
e. Prinsip hukum internasional mengenai kemerdekaan, kedaulatan, dan
integritas teritorial suatu negara.
f. Prinsip itikad baik dalam hubungan internasional.
g. Prinsip keadilan dan hukum internasional.

Menghargai Keputusan Mahkamah Internasional

Mahkamah Internasional ialah organ hukum utama PBB yang berkedudukan di Den
Haag(Belanda). Sejak didirikan tahun 1945, lembaga ini bertugas memutuskan hukum antar
negara dan memberikan pendapat hukum bagi PBB dan lembaga-lembaganya tentang hukum
internasional. Seluruh anggota PBB secara otomatis menjadi anggota Mahkamah
Internasional. Oleh sebab itu, jika terjadi sengketa maka sudah menjadi ketentuan bagi

18
negara-negara anggota untuk menggunakan haknya bila merasa dirugikan oleh negara lain.
Akan tetapi sebaliknya, jika suatu keputusan Mahkamah Internasional telah diputuskan maka
dengan segala konsekuensi yang ada harus mau menerimanya. Hal tersebut mengingat bahwa
apa yang menjadi keputusan Mahkamah Internasional merupakan keputusan terakhir
walaupun dapat dimintakan banding. Berikut ini adalah beberapa contoh negara-negara dan
orang-perorang yang karena ketaatannya terhadap ketentuan hukum internasional, maka mau
menerima proses penyelesaian sengketa internasional sebagai wujud penghargaan terhadap
keputusan Mahkamah Internasional.

19
No Pihak-Pihak Yang Uraian Kasus atau Kejadian Keterangan
Terlibat
1. Amerika Serikat di G Tahun 1906, tentara Amerika telah melakukan Para pelaku kejaha-tan
Filipina, Indo China kejahatan perang dengan membunuh warga Filipina perang telah diajukan
& Jepang (moro massacre), pada waktu itu detasemen Amerika ke peng-adilan militer,
menyerang sebuah desa Moro dan membunuh lebih na-mun tidak lama
dari 600 rakyat desa itu, membakar sawah beserta kemudian banyak
rumah-rumahnya.G Tahun 1968, peristiwa yang yang dibebaskan.
lebih dikenal dengan My Lai Massacre, sebuah kompi (Mahkamah inter-
Amerika menyapu warga desa dengan senjata nasional belum dapat
otomatis hingga menewaskan sekitar 500 berbuat banyak).
korban.G Pada tahun 1945, lebih dari 40.000 rakyat
Jepang yang tidak berdosa telah terpanggang dengan
dijatuhkannya bom atom di Hirosima dan Nagasaki
(Jepang). Hal ini belum termasuk dampak kelainan
genetis yang dialami korban cedera dan keturunanya.

2. Jerman & Jepang G Peeriode antara tahun 1933 s.d. 1939 Jerman di Sebelum Perang Dunia
dalam aksinya di bawah pimpinan Adolf Hitler telah melakukan II, kolonia-lisme Barat
Eropa dan Asia. pembasmian terhadap lawan politik maupun orang- dengan jutaan korban
orang Yahudi serta penyerbuan terhadap negara tidak tersentuh. Baru
Austria, Polandia dan Cekoslowakia dengan cara-cara sete-lah sekutu
yang sangat biadab (holocaust).G Demikian juga membukaPengadilan
Pasukan Jepang baik di Indonesia, Korea maupun di Nu-remberg(1945-
China yang sangat kejam selama pendudukan di 1946) untuk Nazi dan
nagara-negara tersebut. Di Indonesia, selama Jepang, dimu-lailah
pendudukan Jepang yang dikenal proses pelem-bagaan
dengan Romusha telah memaksa rakyat Indonesia untuk keja-hatan
menjadi budak dan diperlakukan sangat kejam. Tidak perang mela-lui
kurang dari 10.000 rakyat Indonesia hilang dan tidak empat Konvensi
pernah kembali selama berlangsungnya romusha Geneva tahun 1949.
tersebut.
3 Serbia di Kroasia G Kurun waktu antara tahun 1992-1995, pasukan Tahun 1994 penga-
dan Bosnia Serbia telah melakukan pemmbersihan etnik (etnic dilan terhadap para
Herzegovina cleansing) terutama terhadap warga sipil muslim penjahat perag telah
(Yugoslavia) Bosnia (di Sarajevo) dan daerah-daerah lain serta di terbukti Den Haag
Kroasia yang ingin melepaskan diri dari Serbia setelah (Belanda). Proses
bubarnya negara federasi Yugoslavia. Tidak kurang pengadilan terus
700.000 warga sipil telah disiksa dan dibunuh dengan berlangsung, namun
kejam. Beberapa nama yang harus bertanggungjawab hasilnya belum sesuai
atas perbuatan kejahatan perang tersebut antara lain harapan. Banyak yang
: Stanislav Galic, Gojko Jankovic, Janco Janjic, masih gagal ditangkap.
Dragon Zelenovic, Karadzic, Mladic, dan lain-lain.

20
4 Pemerintah Rwanda G Dalam waktu tiga bulan di tahun 1994, tidak PBB menggelar pe-
terhadap etnis Hutu kurang 500.000 etnis Hutu dan Tutsi telah terbunuh. ngadilan kejahatan
dan Tutsi Pemerintah Rwanda bertanggung-jawab atas kasus perang yang digelar di
terbunuhnya kedua etnis tersebut. Arusha (Tan-zania),
namun ha-nya mampu
menye-rat 29 orang
yang diadilli.

Contoh lain dalam penyelesaian sengketa internasional selain kejahatan perang, yaitu :
Timor-Timur yang akhirnya diselesaikan secara Internasional dengan cara referandum dan
sejak tahun 1999, Timor-Timur berdiri sendiri menjadi sebuah negara Republik Timor
Lorosae. Demikian juga perselisihan antara Indonesia dengan Malaysia tentang status pulau
Sipadan dan Ligitan. Karena kedua negara tersebut tidak mampu menyelesaikan dengan
hukum nasionalnya, akhirnya diserahkan kepada Mahkamah Internasional. Pada tahun 2002,
keluar keputusan Mahkamah Internasional yang memenangkan Malaysia sebagai pemilik sah
kedua pulau tersebut. Meskipun bangsa Indonesia sangat menyesalkan hilangnya pulau
Sipadan dan Ligitan dari peta wilayah kedaulatan republik Indonesia, namun demi
penghormatan terhadap keputusan Mahkamah Internasional maka dengan besar hati (legowo)
keputusan tersebut dapat dipahami.

21

Anda mungkin juga menyukai